Anda di halaman 1dari 160

CASE STUDY

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN


Konsep Kehilangan, Kematian, dan Berduka

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok IV

Bambang Maulana 1610913210005


Muhamad Raghib Ansyary 1610913210010
Muhammad Faisal Amir 1610913310022
Evi Novianti 1610913220007
Irene Adelina Silalahi 1610913220008
Barkatur Rahmaniyah 1610913120002
Desty Ria Safithri 1610913120003
Novita Sari 1610913320032

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Dosen Pengampu : Ifa Hafifah, Ns., M.Kep

Kelompok : IV (Empat)

Nama Anggota : Bambang Maulana (1610913210005)

Muhamad Raghib Ansyary (1610913210010)

Muhammad Faisal Amir (1610913310022)

Evi Novianti (1610913220007)

Irene Adelina Silalahi (1610913220008)

Barkatur Rahmaniyah (1610913120002)

Desty Ria Safithri (1610913120003)

Novita Sari (1610913320032)

Banjarbaru, 14 Maret 2018

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep


BAB 1

KASUS

Nyonya Nurul, 75 tahun, dirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia


berulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondisinya memburuk dan dia
meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya,
yang tinggal di dekatnya dan sering merawat ibunya, mengatur pemakaman dan
mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tapi berhasil
kembali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan untuk
menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat berkonsentrasi
di tempat kerja, dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal. Anak tengah
tidak menangis saat pemakaman dan tidak banyak bicara kepada saudara laki-
lakinya atau kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang terletak di kota lain
dan kembali bekerja tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-


masing anak yang masih hidup!
Berdasarkan pengalaman melayani para pasien yang menderita penyakit
mematikan selama bertahun-tahun, psikiater Elizabeth Kubler Ross dalam
bukunya On Death and Dying mengemukakan teori yang dikenal sebagai Five
Stages of Death (Lima Tahap Kematian). Meskipun kelima tahap tersebut dipakai
untuk menyelami aneka perasaan pasien yang akan menghadapi kematian, dalam
perkembangan selanjutnya banyak orang mengaplikasikan teori tersebut untuk
memahami permasalahan hidup lainnya, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan
orang karena kematian, perceraian, dan lain-lain (Andew Abdi Setiawan, 2009).
Teori yang dikemukakan oleh Elizabeth Kubler, yaitu (Moyle & Hogan 2006):
a) Menyangkal (Denial)
Pada tahap ini individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan yang
nampak dalam tahap ini, seperti “Tidak, tidak mungkin ini terjadi pada saya!”.
Respon fisiologis yang terjadi berupa kelemahan otot, gemetaran, menghela nafas,
kulit dingin, pucat, dan berkeringat banyak.
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
mendukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan, menawarkan diri
untuk tetap bersama pasien atau keluarga (tanpa memberikan solusi kecuali jika
pasien atau keluarga memulainya, sehingga dalam hal ini perawat berperan
menjadi pendengar yang aktif), menawarkan pasien atau keluarga perawatan dasar
seperti makanan, minuman, oksigenasi, kenyamanan, dan keamanan.
b) Marah (Anger)
Pada tahap ini individu melawan kehilangan dan dapat bertindak pada
seseorang dan segala sesuatu di lingkungan sekitarnya. Individu dapat
mengekspresikan marah dan ditujukan kepada keluarga, staf, perawat, dokter,
maupun Tuhan. Jika terjadi kematian, keluarga mungkin mengekspresikan marah
kepada pasien yang telah meninggal.
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
memberikan dorongan kepada pasien atau keluarga untuk mengekspresikan
perasaan mereka. Perawat hendaknya tidak mengambil hati akibat kemarahan
yang dilontarkan pasien atau keluarga.

c) Tawar Menawar (Bargainning)


Pada tahap ini terjadi penundaan realitas kehilangan. Individu berupaya untuk
membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan.
Pasien atau keluarga seringkali mencari pendapat orang lain selama tahapan ini.
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah memberikan
informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.
d) Depresi (Depression)
Pada tahap ini kehilangan sudah disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan. Respon yang dialami pasien atau keluarga pada tahap ini adalah
merasa sangat kesepian, kebingungan, kurang motivasi, menangis, menarik diri,
atau melakukan perilaku yang tidak sehat (seperti bunuh diri).
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
memberikan dukungan dan empati. Mendukung respon menangis dengan
memberikan sentuhan yang mengomunikasikan kepedulian, mendengarkan
dengan penuh perhatian, mengkaji resiko yang membahayakan diri, serta jika
diperlukan dapat merujuk ke tenaga profesional kesehatan mental.
e) Penerimaan (Acceptance)
Pada tahap ini telah tercapai penerimaan. Reaksi fisiologis dan interaksi sosial
berlanjut. Pada tahap ini lebih menunjukkan sikap menghadapi situasi
dibandingkan menyerah untuk pasrah atau putus asa.
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
membantu pasien atau keluarga mendiskusikan rencana masa mendatang.
Berdasarkan teori Five Stages of Death tersebut, maka jika dihubungan dengan
kasus, setiap anak menurut kami mengalami tahap sebagai berikut:
a) Putra Tertua
Tahap penerimaan (acceptence) sebab dalam kasus putra tertua menunjukkan
sikap menghadapi situasi dibandingkan menyerah untuk pasrah dan putus asa
serta interaksi sosial yang berlanjut, ditunjukkan dengan dirinya mengunjungi
kerabat, berhasil kembali bekerja di minggu berikutnya, dan mampu mengatur
pemakaman ibunya. Sikap dirinya mengunjungi kerabat ini dapat menjadi salah
satu cara ia mencari saran yang tepat untuk mendiskusikan rencana masa datang,
sebab dirinya butuh bantuan dari orang lain untuk mendiskusikan mengenai hal
ini.
b) Anak Tengah
Tahap depresi (depression) sebab dalam kasus anak tengah menunjukkan sikap
menarik diri dan kurang motivasi. Sikap menarik diri terlihat saat dirinya tidak
banyak bicara kepada saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya. Sikap kurang
motivasi terlihat saat ia mulai kembali bekerja namun merasa sangat lelah dan
tidak bersemangat.
c) Anak Bungsu
Tahap menyangkal (denial) sebab dalam kasus anak bungsu menunjukkan
sikap menolak mempercayai bahwa telah terjadinya kehilangan, yaitu
menunjukkan dirinya tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal. Anak bungsu
juga bertindak menyangkal dengan kesulitan menghadiri pemakaman, tidak dapat
tidur atau makan, serta tidak dapat berkonsentrasi di tempat kerja.

2. Faktor apa saja yang mungkin mempengaruhi reaksi masing-masing


anak terhadap kematian ibu mereka ?

a. Perkembangan

• Anak- anak.

* Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.


* Belum menghambat perkembangan.

* Bisa mengalami regresi

Saat kehilangan terjadi pada masa kanak-kanak maka akan mengancam


kemampuan anak untuk berkembang dan kadang kala menimbulkan kemunduran,
mereka dapat merasa takut, terabaikan, dan kesepian. Ketika yang
meninggalkannya adalah orang yang dia kasihi dan menjaga mereka selama dia
hidup. Contohnya, kedua orang tua yang salah satunya meningggal.

• Orang Dewasa.

Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup,


menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.

b. Keluarga

Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya


menunjukan sikap kuat, tidak menunjukan sikap sedih secara terbuka. Makna
kehilangan setiap orang berbeda, itu semua tergantung pada persepsi masing –
masing individu saat mengalami kehilangan. Sejumlah faktor yang mempengaruhi
makna kehilangan antara lain: makna orang, dan objek yang hilang, perubahan
yang harus dilakukan karena kehilangan, dan keyakinan yang dianut oleh
seseorang.

c. Faktor Sosial Ekonomi

Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga,


beraati kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan
hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.

d. Pengaruh Kultural

Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur ‘barat’


menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya
diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukan pada orang lain. Kultur lain
menggagap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan
menangis keras-keras.

e. Agama

Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan


bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang
menyalahkan Tuhan akan kematian.

f. Penyebab Kematian

Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan


menyebabkan shock dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang
menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.
Bila dikaitkan dengan kasus, anak-anak Ny. Nurul usia 75 tahun sudah menginjak
usia dewasa. Yang mana, pada usia tersebut memiliki respon kehilangan yang
berbeda-beda. Namun dalam hal ini, anak pertama selalu memberikan respon
penerimaan terhadap kehilangan.

3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya
Nurul sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
Proses psiko-somatis yang melibatkan seluruh jiwa dan raga dari pasien disebut
kematian. Maka dari itu terdapat tanda-tanda psikis dan somatis yang
menunjukkan bahwa kejadian kematian itu telah makin mendekat. Berikut
tanda-tandanya sebagai berikut:
1. Tanda-tanda Psikis
Tanda- tanda psikis berupa : Disorientasi mental: kekacauan dan
kekeliruan dalam daya pemikiran, perasaan dan pengamatannya. Ia bisa
mengalami tiga gejala yaitu ilusi, halusinasi dan delusi. Ketiga gejala
tersebut timbul karena kondisi mental pasien yang makin menurun hingga
ia kerap berada dalam kondisi setengah sadar, seakan-akan sedang
setengah bermimpi. Berikut penjelasan mengenai tiga gejala sebagai
berikut:
a) Ilusi adalah kesalahan dalam membaca/mentafsirkan kesan atau
stimulus indrawi eksternal. Misalnya: bunyi angin dipersepsi
sebagai suara orang menangis, harum parfum sebagai bau mayat,
rasa gatal sebagai adanya serangga di balik selimut, ada cacing
kecil dalam gelas susu dan lain-lain. Dalam kehidupan normal, kita
juga bisa mengalami ilusi indrawi semacam itu, namun pada
umumnya kita bisa segera melakukan koreksi. Dalam diri pasien
yang terminal, kemampuan untuk mengkoreksi-diri itu telah
menurun/menghilang hingga ilusi itu bisa sungguh terasa sebagai
real.
b) Halusinasi adalah produk internal imaginasi kita sendiri.
Contohnya dari bayangan/gambaran yang halusioner adalah
gambaran-gambaran yang muncul saat kita bermimpi atau berada
dalam pengaruh narkoba. Mungkin karena pengaruh obat penenang
dan kegalauan emosional yang dirasakannya, pasien sering nampak
mendapat halusinasi tertentu seperti ia seakan-akan melihat atau
berbicara dengan orang-orang tertentu yang tidak ada di sekitarnya,
termasuk juga berbicara/melihat orang-orang yang sudah
meninggal dunia. Beberapa orang yang menganut paham spiritisme
(komunikasi dengan roh) mentafsirkan gejala ini sebagai terkaitnya
antara alam fana dengan alam baka. Persepsi halusioner ini bisa
terungkap secara fisik juga: pasien menjadi tegang dan gelisah
(agitasi), ia menggerak-gerakan anggota badannya secara kacau tak
menentu, seakan-akan seperti hendak mengusir, menghindar atau
menjangkau sesuatu atau ia terengah-engah mencengkram ujung
seprai atau selimutnya erat-erat dan lain sebagainya.
c) Delusi adalah produk dari pemikiran yang salah. Dimana disini
pasien bisa mendadak mengambil keputusan bahwa ia sudah
sembuh, lalu berusaha turun dari ranjang dan menolak segala
bantuan medis atau pemikiran lainnya ia akan sembuh bila pergi ke
tempat/orang/obat keramat tertentu padahal kondisinya jelas tidak
memungkinkan. Ringkasnya, pikiran dan perbuatannya bisa
nampak irasional dan sebagainya.
2. Tanda-tanda somatis
Selain tanda-tanda psikis terdapat juga tanda-tanda somatis yang
menunjukkan bahwa kematian itu sudah semakin mendekat. Beberapa
tanda tanda yang di antaranya yaitu:
a. Kebiruan dan pucat mulai dari ujung jari, kaki dan bibir lalu
menjalar ke bagian tubuh yang lain
b. Denyut nadi tidak teratur dan lemah
c. Nafas berbunyi keras dan kerap ngorok
d. Penglihatan dan pendengaran mulai kabur
e. Hilangnya kesadaran diri

4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?


a. Masa Kanak-Kanak
Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep dasar
tentang kematian. Namun, karena bayi mengembangkan keterkaitan dengan
pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta
kecemasan yang menyertainya. Tapi anak-anak tidak memahami waktu
sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami
sebagai pepisahan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali
akan memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi
kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang
kehialangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuh tidak
digantikan, yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan bayi.
Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan tidak sama sekali
mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka sering kali bingung
antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan keheranan, “Mengapa ini tidak
bergerak?” Diusia prasekolah, anak-anak jarang kaget dengan pemandangan
seekor binatang yang mati atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka
percaya bahwa orang yang mati dapat menjadi hidup kembali secara spontan
karena adanya hal yang magis atau dengan memberi mereka makan atau
perawatan medis (Lonetto, 1980). Anak-anak sering kali percaya bahwa hanya
orang-orang yang ingin mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati,
yang benar-benar mati. Mereka mungkin juga menyalahkan diri mereka kenal
baik, mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu mungkin terjadi
karena tidak patuh terhadap orang yang mati. Kadang-kadang dimasa kanak-
kanak tengah dan akhir, konsep yang tidak logis mengenai kematian yang lambat
laun berkembang hingga diperoleh suatu persepsi kematian yang lebih realistis.
Dalam satu penelitian awal mengenai persepsi kematian seorang anak, usia 3-5
tahun menolak adanya kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa kematian itu
ada, tetapi hanya dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas
akhirnya mengenali kematian dan universalitasnya.
Kebanyakan ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi
terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak. Mempermalukan
konsep sebagai hal yang tidak pantas disebutkan merupakan strategi yang tidak
sesuai, walau kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat dimana
kematian sangat jarang didiskusikan. Dalam suatu penelitian, peneliti berusaha
menilai sikap 30.000 orang usia dewasa muda terhadap kematian. Hasilnya, lebih
dari 30% berkata bahwa mereka tidak dapat mengingat kembali diskusi mengenai
kematian selama mereka kanak-kanak; dengan jumlah yang sama, yang lain
mengatakan bahwa, meskipun kematian didiskusikan, namun diskusinya
berlangsung dalam suasana yang tidak nyaman. Hampir setiap 1 dari 2 responden
berkata bahwa kematian kakek atau neneknya merupakan kematian pertama kali
mereka hadapi.
b. Masa Remaja
Dimasa remaja pada usia 11 tahun sampai dengan 16 tahun, pandangan
terhadap kematian, seperti juga pandangan terhadap penuaan dianggap sebagai
suatu hal yang begitu jauh dan tidak memiliki banyak relavasi. Subjek kematian
barang kali dihindari, ditutupi, diolok-olok, dinetralisir, dan dikontrol, dengan
orientasi sebagai penonton (spektatorlike orientation). Perspektif ini merupakan
tipe pemahaman kesadaran diri pada masa remaja. Bagaimanapun, beberapa
remaja menunjukkan perhatiaannya kepada kematian, mencoba untuk memahami
maksud dari kematian, dan menghadapi saat kematian mereka.
Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara lebih abstrak
dibanding anak-anak. Sebagai contoh, para remaja menggambarkan kematian
dengan istilah kegelapan, cahaya terang, transisi, atau ketiadaan sama sekali.
Mereka juga mengembangkan pandangan filosof religious mengenai hakikat
kematian dan kehidupan sesuadah mati.

c. Masa Dewasa
17 sampai dengan 30 tahun tidak ada bukti yang menunjukkan di masa
dewasa awal dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai
kematian. Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul sejalan saat mereka
beranjak tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa tengah. Dalam diskusi
kita mengenai masa dewasa tengah, kita mengindikasikan bahwa usi paruh baya
merupakan saat dimana orang dewasa mulai berfikir lebih jauh mengenai berapa
banyak waktu yang tersisa dalam hidup mereka. Para peneliti menemukan bahwa
mereka yang berusia dewasa tengah sebenarnya lebih takut menghadapi kematian
dibandingkan mereka yang berusia dewasa awal maupun dewasa akhir. Orang-
orang di usia dewasa akhir lebih banyak berfikir mengenai kematian dan mereka
lebih banyak membicarakan tentang kematian dengan orang lain dibandingkan
usia dewasa tengah maupun dewasa muda. Mereka juga mengalami kematian
secara lebih langsung seiring dengan sakit dan meninggalnya teman-teman dan
keluarga mereka. Di usia dewasa akhir ini, orang dewasa lanjut didorong untuk
lebih sering menguji arti kehidupan dan kematian dibandingkan orang dewasa
muda.
d. Masa tua
30 sampai dengan 60 kematian seseorang lebih wajar dibicarakan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemikiran dan pembicaraan mengenai
kematian meningkat, perkembangan integritas pun meningkat melalui peninjauan
hidup yang positif dan hal ini mungkin dapat membantu mereka untuk menerima
kematian. Di usia dewasa akhir urusan yang belum selesai lebih sedikit
dibandingkan ketika di usia dewasa muda. Mereka biasanya tidak lagi memiliki
anak yang perlu dibimbing hingga matang, pasangan hidup mereka biasanya mati
lebih dahulu, dan cenderung tidak memiliki kerja yang berhubungan dengan
proyek yang menginginkan kesempurnaan. Kurangnya antisipasi terhadap
kematian barangkali akan menyebabkan rendahnya rasa sakit yang ditimbulkan
secara emosional pada diri mereka. Bahkan diantara orang dewasa akhir, sikap
terhadap kematian terkadang bersifat individualistis sama seperti mereka yang
memegang prinsip tersebut. Seorang wanita 82 tahun mengumumkan bahwa ia
telah menjalani hidupnya dan saat ini siap menyongsong kematian. Wanita 82
tahun lainnya, mengumumkan bahwa kematian akan menjadi suatu interupsi yang
menyedihkan karena ia akan kehilangan partisipasinya dalam aktifitas dan
hubungan sosial.
Konsep Tentang Kematian
a. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung. Dalam
PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung
dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman
kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jatung dan paru-paru yang
semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
b. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan
nyawa dapat ditarik kembali.

c. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen


Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri
tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep
ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena
kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.

d. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan


interaksi social
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu individu
yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat,
mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara
fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak
dalam batang otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini
bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan seperti ini,
kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do
not resuscitation).
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian
sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ
besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan
yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian.

5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.


Dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
berduka tentunya juga memerlukan beberapa tahapan yang sama seperti
dalam pemberian asuhan keperawatan dengan masalah yang lain, yang
meliputi tahapan pengkajian hingga evaluasi.
1) Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan
di dalam proses pemberian asuhan keperawatan. Pengkajian dilakukan
agar perawat dapat memberikan tindakan keperawatan dengan tepat
sesuai dengan masalah-masalah keperawatan yang ditemukan pada
klien. Pengkajian yang dapat dilakukan meliputi pengkajian identitas,
riwayat penyakit (baik riwayat saat ini, dahulu, maupun riwayat penyakit
keluarga), pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dan juga pengkajian
psikososial, sosial serta spiritual klien.
Pengkajian yang dapat dilakukan dalam menentukan diagnosa
keperawatan berduka harus didukung oleh data-data yang mengarah
pada masalah berduka. Data yang mungkin muncul pada klien yang
mengalami masalah berduka dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu data mayor dan minor (Carpenito, 2006):
a. Data Mayor
Ekspresi distress tentang kehilangan yang terjadi.
b. Data Minor
• Penyangkalan
• Rasa bersalah
• Kemarahan
• Sikap putus asa
• Ketidakmampuan berkonsentrasi
• Halusinasi penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mengenai
objek atau orang.
• Ide untuk bunuh diri
• Tangis
• Penderitaan
• Perilaku mengharap/mencari
• Fobia
• Perasaan tidak berharga
No Diagnosa NOC NIC

1 Dukacita - Perasaan Depresi - Bantu anggota keluarga


Terganggu keluarga menghilang melalui proses berduka dan
(00135) kematian.
- keluarga berminat - Jadilah pendengar yang baik
DO: untuk melakukan bagi keluarga.
kegiatan. - Bina hubungan saling
DS : - Putra -Keluarga dapat percaya dengan keluarga
tertuanya kembali - Rujuk pada terapis keluarga,
merindukan berkonsentrasi jika diperlukan.
ibunya dan
menangis sesekali -Nafsu makan
tapi berhasil Meningkat
kembali bekerja
- Kesedihan keluarga
minggu
menjadi berkurang
berikutnya.
- Dapat Kembali
-Anak bungsu
tidur dengan normal.
mengalami
kesulitan untuk
menghadiri
pemakaman, tidak
dapat tidur atau
makan, tidak dapat
berkonsentrasi di
tempat kerja, dan
tidak percaya
bahwa ibunya
telah meninggal.

-Anak tengah
tidak menangis
saat pemakaman
dan tidak banyak
bicara kepada
saudara laki-
lakinya atau
kerabat lainnya.

-
REFERENSI

Kozier, Erb, Berman, Synder. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan,


konsep, proses, dan praktik, (edisi 7). Jakarta : EGC

Kubler-Ross.e.1998.Kematian Sebagai Kehidupan: On Death and Dying.Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Rando,T.A.1986.Loss and Anticipatory Grief.Lexington:Lexiton Mass.

Santrock, John W. 2012. Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup


Edisi 13 Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Setiawan, Andew Abdi.2009.Ya Tuhan, Mengapa Kau Ambil Dia Dariku?:


Penghibur bagi Orang Berduka.Jakarta: Gramedia

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan,


Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto
BAB I
KASUS

Topik: Konsep Kehilangan, Kematian dan Berduka


Kasus
Nyonya Nurul, 75 tahun dirawatdi rumah sakit setelah episode pneumonia
brulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondisinya memburuk dan dia
meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya,
yang tinggal didekatnya dan sering merawat ibunya, mengatur pemakaman dan
mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tetapi
berhasil kembali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan
untuk menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat
berkonsentrasi di tempat kerja, dan tidak percaya baha ibunya telah meninggal.
Anak tengah tidak menangis saat pemakaman dan tidak banyak bicara kepada
saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang terletak
di kota lain dan kembali bekerja tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.
BAB II
PEMBAHASAN

Diskusikan Mengenai:
1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung yang dialami oleh
masing-masing anak yang masih hidup?
Kubler Ross 1969 berpendapat bahwa terdapat 5 tahapan proses kehilangan
(Patricia A. Potter. 2005):
1. Denial (Mengingkari)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan
mengatakan Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi, itu tidak mungkin. Bagi
individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus
mencari informasi tambahan.Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran
adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat
berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
2. Anger (Marah)
Sadar kenyataan kehilangan Proyeksi pada orang sekitar tertentu, diri
sendiri dan obyek Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang
sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau
ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif,
bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak
becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan
Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata kalau saja kejadian itu bisa
ditunda maka saya akan sering berdoa. Apabila proses berduka ini dialami oleh
keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai kalau yang sakit
bukan anak saya.
4. Depresi (Bersedih yang mendalam)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri,
tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan
menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak
berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah
tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu
terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu
telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau
orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih
pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata
seperti saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya
manis juga, atau apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh.Apabila
individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau
fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi
perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah
satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi
maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.

Berdasarkan kasus, kami mendapatkan hasil bahwa putra pertama sudah


berada pada fase penerimaan karena semakin bertambahnya hari dia semakin
menyadari tentang hal yang harus dilakukannya yaitu kembali bekerja seperti hari
biasanya, anak bungsu berada pada fase depresi karena masih belum percaya
dengan kehilangan ibunya bahkan dia tidak sanggup menghadiri pemakaman
ibunya sendiri, bahkan dia tidak bisa tidur dan tidak selera makan, anak tengah
berada pada fase denial yaitu masih syok dengan apa yang dia alami bahkan tidak
banyak bicara dengan memilih diam, bahkan saat bekerja dia terlihat lemah yang
menunjukan adanya rasa tidak percaya akan kejadian yang menimpanya.
2. Faktor apa saja yang mungkin mmengaruhi reaksi masing-masing anak
terhadap kematian ibu mereka?
Duka cita adalah perasaan subjektif yang disebabkan karena kematian
seseorang yang sangat dicintai. Duka cita awalnya sering kali
dimanifestasikan sebagai keadaan terguncang yang diekspresikan sebagai
perasaan mati rasa dan perasaan kebingungan. Keadaan tersebut diikuti oleh
ekspresipenderitaan dan ketegangan seperti berkeluh kesah dan menangis.
Hurlock (1997) mengatakan duka cita adalah trauma psikis, suatu kesengsaraan
emosional, yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai.
Kavanaugh (Leming & Dickinson, 1998) mengidentifikasi tujuh perilaku dan
perasaan sebagai bagian dari proses penanggulangan duka cita; shock dan
penolakan,kekacauan, perasaan yang berubah-ubah, rasa bersalah, kehilangan dan
kesepian, kelegaan dan kembali hidup (Patricia A. Potter. 2005).
a. Shock dan penolakan
Penolakan tidak hanya merupakan pengalaman yang biasa terjadi diantara
orang yang diantara orang yang baru berduka, tapi juga memberikan fungsi positif
dalam proses adaptasi. Fungsi utama melakukan penolakan adalah untuk
memberikan tempat sementara yang aman bagi mereka yang berduka karena
kehilangan dari kenyataan buruk dari dunia sosial yang hanya menawarkan
kesepian dan rasa sakit yang dirasakan oleh mereka yang berada pada fase ini.
b. Kekacauan
Kekacauan adalah suatu tingkatan dalma proses berduka cita dimana
seseorang mungkin benar-benar merasa tidak sesuai dengan kenyataan hidup
sehari-hari. Merasa hidupnya sudah tidak terrah lagi dan tak ada aturan.
c. Reaksi yang mudah berubah
kapanpun seseorang mengalami duka cita dihadapkan pada
kemungkinan kecenderungan seseorang merasa marah, frustasi, tidak berdaya, dan
atau sakit hati. Reaksi yang berubah-ubah terhadap teror, kebencian, penguraian
baru, dan kecemburuan sering dialami sebagai manifestasi emosi dari perasaan
tersebut.
d. Rasa bersalah
Rasa bersalah adalah kemarahan dan kebencian pada diri seseorang dan
seringkali membuat orang menyalahkan dirinya sendiri dan depresi. Rasa bersalah
adalah bagian yang normal dalam proses duka cita setelah fase reaksi yang mudah
berubah
e. Kehilangan dan kesepian
Kehilangan dan kesepian adalah sisi lain dari penolakan. Mereka yang lari
dari pengalaman ini akan berubah menjadi penolakan dalam usaha untuk menolak
perasaan kehilangan atau berusaha untuk menemukan pengganti-teman baru. Lari
dari kenyataan tidak akan terjadi selamanya, tetapi karena merasa kehilangan dan
kesepian merupakan bagian penting dari pengalanan yang menyedihkan.
Kavanaugh (Leming & Dickinson,1998)berpendapat bahwa tujuan pokok
melawan kesedihan adalah membangun kebebasan baru atau untuk menemukan
kebebasan baru dan hubungan yang aktif antara yang satu dengan lainnya.
f. Kelegaan
Walaupun perasaan lega dapat meningkatkan perasaan bersalah, seperti
penolakan, rasa bersalah juga menjadi tempat yang aman dari rasa sakit,
kehilangan, dan kesepian yang ditahan ketika seseorang merasa sedih.
g. Hidup kembali
sebagai seseorang yang terus maju dalam hidup, tanpa adanya kematian
sangatlah jelas jika proses yang melibatkan penyesuaian diri dan penyesuaian
waktu, terutama jika hubungannya sangat berarti. Hubungan dengan seseorang
yang merasa kesepian dan kacau pada saat yang sama dan seseorang yang merasa
lega pada sesuatu maka akan terjadi gerakan penolakan terhadap kematian.
Kesedihan adalah hal yang normal dan menyadari apa yang diharapkan
(membantu orang yang bersedih dengan berfantasi akan menjanjikan kehidupan
yang baru yang diisi dengan peraturan, tujuan, dan makna kehidupan.
3. Isyarat apa, selain tanda fisik yang merupakan indikasi bahwa nyonya
nurul sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tidak terduga?
Selain tanda fisik juga ada tanda-tanda psikis. Sekitar dua minggu
menjelang kematian, pasien bisa memperlihatkan tanda-tanda psikis berupa
disorientasi mental: kekacauan dan kekeliruan dalam daya pemikiran, perasaan
dan pengamatannya. Ia bisa mengalami tiga gejala berikut: ilusi, halusinasi dan
delusi. (Kubler-Ross, E. 1998):
a. Ilusi
Ilusi adalah kesalahan dalam membaca/mentafsirkan kesan atau stimulus
indrawi eksternal. Misalnya: bunyi angin dipersepsi sebagai suara orang
menangis, harum parfum sebagai bau mayat, rasa gatal sebagai adanya serangga
di balik selimut, ada cacing kecil dalam gelas susu.
b. Halusinasi
Halusinasi adalah produk internal imaginasi kita sendiri. Contoh dari
bayangan atau gambaran yang halusioner adalah gambaran-gambaran yang
muncul saat kita bermimpi atau berada dalam pengaruh narkoba. Mungkin kerna
pengaruh obat penenang dan kegalauan emosional yang dirasakannya, pasien
sering nampak mendapat halusinasi tertentu: ia seakan-akan melihat atau
berbicara dengan orang-orang tertentu yang tidak ada di sekitarnya, termasuk juga
berbicara atau melihat orang-orang yang sudah meninggal dunia.
c. Delusi
Delusi adalah produk dari “wrong thinking” (false belief). Pasien bisa
mendadak mempunyai “fixed ideas” bahwa ia sudah sembuh, lalu berusaha turun
dari ranjang dan menolak segala bantuan medis; atau ia merasa ada konspirasi
tersembunyi untuk meracuninya, bukan mengobatinya; atau ia akan sembuh bila
pergi ke tempat atau orang atau obat keramat tertentu padahal kondisinya jelas
tidak memungkinkan. Ringkasnya, pikiran dan perbuatannya bisa nampak
irasional.
Tanda-tanda somatis
Menunjukkan bahwa saat ajal itu sudah semakin mendekat. Kita deretkan
saja beberapa di antaranya: kulit kebiruan dan pucat, mulai dari ujung jari, kaki
dan bibir lalu menjalar ke bagian tubuh yang lain, denyut nadi tidak teratur dan
lemah, nafas berbunyi kerasdan kerap ngorok, penglihatan dan pendengaran mulai
kabur.

4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?

Banyak penelitian menemukan bahwa seiring dengan

perkembangan manusia, mereka mengembangkan pendekatan

tentang kematian yang lebih matang, konsep kematian berdasarkan

usia ada 3, yaitu (Monks, F. J dkk. 2001):

1) Masa Kanak-Kanak

Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki

konsep dasar tentang kematian. Namun, karena bayi

mengembangkan keterkaitan dengan pengasuhnya, mereka dapat

mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan

yang menyertainya. Tapi anak-anak tidak memahami waktu

sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat

mungkin dialami sebagai pepisahan total. Bagi kebanyakan bayi,

kedatangan pengasuh kembali akan memberikan suatu kontinuitas

eksistensi dan hal ini akan mereduksi kecemasan. Kita sangat

sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang kehialangan

walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuh tidak


digantikan, yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan

bayi.

Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan tidak sama

sekali mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka

sering kali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan

keheranan, “Mengapa ini tidak bergerak?” Diusia prasekolah, anak-

anak jarang kaget dengan pemandangan seekor binatang yang mati

atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya

bahwa orang yang mati dapat menjadi hidup kembali secara

spontan karena adanya hal yang magis atau dengan memberi

mereka makan atau perawatan medis (Lonetto, 1980). Anak-anak

sering kali percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin mati, atau

mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar

mati. Mereka mungkin juga menyalahkan diri mereka kenal baik,

mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu

mungkin terjadi karena tidak patuh terhadap orang yang mati

(Santrock, John W. 2012).

Kadang-kadang dimasa kanak-kanak tengah dan akhir,

konsep yang tidak logis mengenai kematian yang lambat laun

berkembang hingga diperoleh suatu persepsi kematian yang lebih

realistis. Dalam satu penelitian awal mengenai persepsi kematian

seorang anak, usia 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia
6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya dialami

oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya

mengenali kematian dan universalitasnya.

Kebanyakan ahli psikologi percaya bahwa kejujuran

merupakan strategi terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan

anak-anak. Mempermalukan konsep sebagai hal yang tidak pantas

disebutkan merupakan strategi yang tidak sesuai, walau

kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat

dimana kematian sangat jarang didiskusikan. Dalam suatu

penelitian, peneliti berusaha menilai sikap 30.000 orang usia

dewasa muda terhadap kematian (Shneidman, 1973). Hasilnya,

lebih dari 30% berkata bahwa mereka tidak dapat mengingat

kembali diskusi mengenai kematian selama mereka kanak-kanak;

dengan jumlah yang sama, yang lain mengatakan bahwa, meskipun

kematian didiskusikan, namun diskusinya berlangsung dalam

suasana yang tidak nyaman. Hampir setiap 1 dari 2 responden

berkata bahwa kematian kakek/neneknya merupakan kematian

pertama kali mereka hadapi.

2) Masa Remaja

Dimasa remaja, pandangan terhadap kematian, seperti juga

pandangan terhadap penuaan dianggap sebagai suatu hal yang

begitu jauh dan tidak memiliki banyak relavasi. Subjek kematian


barang kali dihindari, ditutupi, diolok-olok, dinetralisir, dan dikontrol,

dengan orientasi sebagai penonton (spektatorlike orientation).

Perspektif ini merupakan tipe pemahaman kesadaran diri pada

masa remaja. Bagaimanapun, beberapa remaja menunjukkan

perhatiaannya kepada kematian, mencoba untuk memahami maksud

dari kematian, dan menghadapi saat kematian mereka.

Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara

lebih abstrak dibanding anak-anak. Sebagai contoh, para remaja

menggambarkan kematian dengan istilah kegelapan, cahaya terang,

transisi, atau ketiadaan sama sekali. Mereka juga mengembangkan

pandangan filosof religious mengenai hakikat kematian dan

kehidupan sesuadah mati.

3) Masa Dewasa

Tidak ada bukti yang menunjukkan di masa dewasa awal

dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai

kematian. Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul

sejalan saat mereka beranjak tua, yang biasanya meningkat pada

masa dewasa tengah. Dalam diskusi kita mengenai masa dewasa

tengah, kita mengindikasikan bahwa usi paruh baya merupakan

saat dimana orang dewasa mulai berfikir lebih jauh mengenai

berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidup mereka. Para

peneliti menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah


sebenarnya lebih takut menghadapi kematian dibandingkan mereka

yang berusia dewasa awal maupun dewasa akhir.

Orang-orang di usia dewasa akhir lebih banyak berfikir

mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan

tentang kematian dengan orang lain dibandingkan usia dewasa

tengah maupun dewasa muda. Mereka juga mengalami kematian

secara lebih langsung seiring dengan sakit dan meninggalnya

teman-teman dan keluarga mereka. Di usia dewasa akhir ini, orang

dewasa lanjut didorong untuk lebih sering menguji arti kehidupan

dan kematian dibandingkan orang dewasa muda.

Di usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemikiran dan pembicaraan

mengenai kematian meningkat, perkembangan integritas pun

meningkat melalui peninjauan hidup yang positif dan hal ini

mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian. Di

usia dewasa akhir urusan yang belum selesai lebih sedikit

dibandingkan ketika di usia dewasa muda. Mereka biasanya tidak

lagi memiliki anak yang perlu dibimbing hingga matang, pasangan

hidup mereka biasanya mati lebih dahulu, dan cenderung tidak

memiliki kerja yang berhubungan dengan proyek yang

menginginkan kesempurnaan.
Kurangnya antisipasi terhadap kematian barangkali akan

menyebabkan rendahnya rasa sakit yang ditimbulkan secara

emosional pada diri mereka. Bahkan diantara orang dewasa akhir,

sikap terhadap kematian terkadang bersifat individualistis sama

seperti mereka yang memegang prinsip tersebut. Seorang wanita

82 tahun mengumumkan bahwa ia telah menjalani hidupnya dan

saat ini siap menyongsong kematian. Wanita 82 tahun lainnya,

mengumumkan bahwa kematian akan menjadi suatu interupsi yang

menyedihkan karena ia akan kehilangan partisipasinya dalam

aktifitas dan hubungan social (Papalia, Diane E., & Feldman, Ruth

Duskin. 2014).

5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian serta duka cita


Faktor yang
No. Data NDx
berhubungan
Putra Tertua kematian orang terdekat Duka cita (00136)
DO:
a. Ibunya klien
meninggal dunia.
DS:
a. klien
1.
mengatakan dia
mengatur
pemakaman
ibunya,
mengunjungi
kerabat.
b. Klien
mengatakan
merindukan
ibunya.
c. Klien
mengatakan masih
bisa bekerja.

Anak Tengah
DO:
a. Ibu klien
meninggal dunia.
DS:
a. Klien
mengatakan saat
pemakaman Duka cita terganggu
ibunya, klien tidak berhubungan dengan
2. Duka Cita (00135)
menangis dan kematian orang terdekat
tidak banyak
bicara dengan
saudara serta
kerabatnya.
b. Klien merasa
sangat lelah dan
tidak bersemangat
saat bekerja.
Anak Bungsu Duka cita terganggu Duka cita (00135)
DO: berhubungan dengan
a. Ibu klien kematian orang terdekat
3.
meninggal dunia.
DS :
a. Klien
mengatakan tidak
bisa tidur, tidak
bisa makan, sulit
berkonsentrasi
ditempat kerja,
dan tidak percaya
ibunya meninggal
dunia.
b. Klien
mengatakan
mengalami
kesulitan untuk
menghadiri
pemakaman.
DO: Gangguan pengelolaan Gangguan pengelolaan
mood (00741)
a. Ibunya klien mood berhubungan
meninggal dunia. dengan pikiran tentang
DS: kematian yang berulang
a. Klien
mengatakan tidak
4. bisa tidur, tidak
bisa makan, sulit
berkonsentrasi
ditempat kerja,
dan tidak percaya
ibunya meninggal
dunia

No. NDx NOC NIC


Resolusi berduka. Fasilitasi proses

1. Duka cita Setelah dilakukan berduka


tindakan keperawatan a. Dukung klien untuk
selama 1x45 menit mengekspresikan
resolusi berduka klien perasaan mengenai
dari kadang kehilangan.
menunjukkan b. Buat pernyataan
menunjukkan skala 3 empatik mengenai
menjadi secara duka cita.
konsisten menunjukkan c. Berikan instruksi
skala 5. Dengan dalam proses fase
outcome : berduka dengan tepat.
a. Menjelaskan arti d. Bantu
kehilangan. mengidentifikasi
b. Melewati fase strategi-strategi
berduka. koping pribadi.
e. Komunikasikan
penerimaan dalam
rangka mendiskusikan
kehilangan.
f. Kuatkan kemajuan
yang dibuat dalam
proses berduka.

Duka cita terganggu Resolusi berduka. Fasilitasi proses


berhubungan dengan Setelah dilakukan berduka
kematian orang tindakan keperawatan a. Dukung klien untuk
terdekat selama 2x30 menit mengekspresikan
resolusi berduka klien perasaan mengenai

2. dari jarang kehilangan.


menunjukkan skala 2 b. Buat pernyataan
menjadi secara empatik mengenai
konsisten menunjukkan duka cita.
skala 5. Dengan c. Berikan instruksi
outcome : dalam proses fase
a. Menyatakan berduka dengan tepat.
menerima kehilangan. d. Bantu
b. Menjelaskan arti mengidentifikasi
kehilangan. strategi-strategi
c. Melewati fase koping pribadi.
berduka. e. Komunikasikan
d. Mengekspresikan penerimaan dalam
harapan positif rangka mendiskusikan
mengenai masa depan. kehilangan.
f. Kuatkan kemajuan
yang dibuat dalam
proses berduka.
Duka cita terganggu Tingkat depresi. Fasilitasi proses
berhubungan dengan Setelah dilakukan berduka
kematian orang tindakan keperawatan a. Dukung klien untuk
terdekat 3x60 menit tingkat mengekspresikan
depresi klien dari perasaan mengenai
cukup berat skala 2 kehilangan.
menjadi tidak ada skala b. Buat pernyataan
5. Dengan outcome : empatik mengenai
a. Perasaan depresi. duka cita.
b. Kehilangan minat c. Berikan instruksi
3.
pada kegiatan. dalam proses fase
c. Gangguan berduka dengan tepat.
konsentrasi d. Bantu
d. Insomnia. mengidentifikasi
e. Nafsu makan strategi-strategi
menurun. koping pribadi.
f. Kesedihan. e. Komunikasikan
penerimaan dalam
rangka mendiskusikan
kehilangan.
f. Kuatkan kemajuan
yang dibuat dalam
proses berduka.

EVALUASI
Setelah dilakukan intervensi kepada klien, outcome yang ditargetkan
tercapai serta terus mengalami peningkatan secara signifikan. Klien diharapkan
dapat mempertahankan outcome yang sudah dicapai selama ataupun setelah
intervensi, tidak mengalami masalah psikologis berkelanjutan, serta dapat
menjalankan perannya seperti sedia kala.
Daftar Pustaka

Kubler-Ross, E. 1998. Kematian Sebagai Kehidupan: On Death and Dying.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Monks, F. J dkk. 2001. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah

Mada University Press

Papalia, Diane E., & Feldman, Ruth Duskin. 2014. Menyelami

Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika

Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice.


Jakarta: EGC
Santrock, John W. 2012. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup.
Jilid II. Penerjemah: Benedictine Widyasinta. Jakarta: Erlangga
CASE STUDY 5
PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN

Disusun oleh:
Kelompok III

Aditama Mahatmaputra Ramadan 1610913210001


Helna Fitriana 1610913120005
Henni Devioni 1610913120006
Mega MaryaUlfah 1610913220009
Muhammad Hafiz 1610913310023
Putri Wulandari 1610913320034
Rabiatul Adawiah 1610913320035
Rifda Nur Achriyana Arif 1610913220016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Dosen Pengampu : Selvia Harum Sari, Ns.


Dosen Pengajar : Ifa Hafifah, Ns., M.Kep.
Kelompok : III (Tiga)
Nama Anggota : Aditama Mahatmaputra Ramadan 1610913210001
Helna Fitriana 1610913120005
Henni Devioni 1610913120006
Mega Marya Ulfah 1610913220009
Muhammad Hafiz 1610913310023
Putri Wulandari 1610913320034
Rabiatul Adawiah 1610913320035
Rifda Nur Achriyana Arif 1610913220016

Banjarbaru, 14 Maret 2018

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa selalu diberikan kepada tim penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah case study 5 Psikososial dan
Budaya dalam Keperawatan.
Dalam penyusunan makalah ini, tim penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini, yaitu Ners Selvia Harum
Sari. Dan semua yang tim penulis lakukan tidak lepas dari doa dan dukungan
beberapa pihak yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun materil.
Tim penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, besar harapan penulis semoga makalah
ini dapat memberi manfaat, khususnya bagi mahasiswa dan umumnya bagi pihak-
pihak yang terkait.

Banjarbaru, 14 Maret 2018

Kelompok 3

iii
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i i
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………….. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………….. iii iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………. iv iv
BAB I. KASUS …………….……………………………………... 1 1
BAB II. LAPORAN HASIL STUDI KASUS ……………………. 2 8
BAB III. PENUTUP ………………………………………………. 29
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………… v

iv
BAB I
KASUS

TOPIK : Konsep Kehilangan, Kematian, dan Berduka

Nyonya nurul, 75 tahun, dirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia


berulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondisinya memburuk dan dia
meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya,
yang tinggal di dekatnya sering merawat ibunya , mengatur pemakaman dan
sering mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tapi
berhasil kemabali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan
untuk mengahadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat
berkonsentrasi ditempat kerja, dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal.
Anak tengah tidak menangis saat pemakaman dan tidak banyak bicara kepada
saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya. Dia kembali kerumahnya yang terletak
dikota lain dan kembali bekerja tetapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.

Diskusikan mengenai :

1. berdasarkan dikasus diatas, jealskam fase berkabung dialami oleh masing-


masing anak yang masih hidup!
2. factor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak
terhadap kematian ibu mereka?
3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa nyonya
nurul sedang sekarat, meski kematiannya tidak terduga ?
4. bagaiman perkembangan konsep kematian berdasarkan usia ?
5. proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.

1
BAB II
LAPORAN HASIL STUDI KASUS

1. Berdasarkan dikasus diatas, jealaskan fase berkabung dialami oleh


masing- masing anak yang masih hidup!

Rentang Respon Berduka Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry


(1997), respon berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap
berikut:
a. Tahap Denial (Penyangkalan)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali
individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung selama
beberapa menit hingga beberapa tahun.
a. Tahap Anger (Kemarahan)
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul
sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang
mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh
dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon fisik yang sering terjadi antara
lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal,
dan seterusnya.
b. Tahap Bargaining (Tawar Menawar)
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau
terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin
berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan
Tuhan.
c. Tahap Depression (Depresi)

2
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang bersikap sangat menurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusan,
rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik
ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.
d. Tahap Acceptance (Penerimaan)
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
selalu berpusat pada objek yg hilang akan mulai berkurang atau bahkan
hilang. Perhatiannya akan beralih pada objek yg baru. Apabila individu dapat
memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat
mengakhiri proses kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke proses
ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan
selanjutnya.
PERBANDINGAN TEORI PROSES BERDUKA

ENGELS KUBLES- MARTOCCHIO RANDO (1991)


(1964) ROSS (1969) (1985)
Syok dan tidak Menyangkal Syok dan tidak Penghindaran
percaya percaya
Berkembangnya Marah Kerinduan dan Konfrontasi
kesadaran protes
Kesedihan yang Akomodasi
mendalam,
Restitusi (ganti disorganisasi,
rugi) Tawar-menawar putus asa
Identifikasi
Idealisasi Depresi kehilangan
Reorganisasi dan
Reorganisasi restitusi (ganti
(hasil) Penerimaan rugi)

3
Putra tertuanya : tinggal di dekat ibunya dan sering merawat ibunya,
mengatur pemakaman dan megunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan
menangis sesekali tapi berhasil kembali bekerja minggu berikutnya. Dalam kasus
ini putra pertama sudah masuk ke fase yaitu acceptance atau tahap penerimaan
karna dia sudah bisa sedikit mengalihkan pikirannya yaitu dengan bisa bekerja
kembali tidak banyak menangis.

Kemudian pada kasus yang dialami, anak tengah tidak menangis saat
pemakaman dan tidak banyak bicara kepada saudara laki lakinya atau kerabat
lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang terletak di kota lain dan kembali bekerja
tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat. Tahap yang dirasakan oleh anak
tengah juga fase acceptance alasannya karna dia sudah mampu bekerja kembali
dia juga tidak menangis dia hanya tidak mau bicara namun itu adalah hal yag
wajar dan itu hanya permulaan saja lama kelamaan bisa saja menghilang dan bisa
menerima sebuah kenyataan serta bisa kembali bersemangat lagi.
Sedangkan Anak bungsu mengalami kesulitan untuk mengahadiri
pemakaman, tidak dapat tidur atau makan , tidak dapat berkonsentrasi di tempat
kerja , dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal . Hal ini anak bungsu
mengalami fase depression atau tahap depresi karna dia masih belum bisa
menerima kenyataaan, hal ini bisa di lihat dari gejala fisik yaitu tidak mau makan
tidak bisa tidur tidak dapat konsentrasi lagi hal ini lah yang benar benar fase yang
sangat memuncak dan harus di bantu dengan orang khusus seperti tenaga
kesehatan spesialis kejiwaan.
2. Faktor apa saja yang mungkin mempengaruhi reaksi masing-masing
anak terhadap kematian ibu mereka?

Kehilangan merupakan suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat


dialami individu, ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi
perasaan kehilangan. Berduka merupakan respon total terhadap pengalaman
emosional akibat kehilangan yang menyebabkan kesedihan yang mendalam
(Sutejo, 2018).

4
Dalam kehidupan sehari – hari, ada berbagai macam variabel yang
mempengaruhi cara seseorang merasakan dan merespon rasa kehilangan yang
dihadapinya. Variabel tersebut meliputi berbagai faktor. Faktor yang
mempengaruhi adalah sebagai berikut (Alimul Hidayat, 2006) :
a. Perkembangan Manusia (Usia)
Usia klien dan tahap perkembangan sangat mempengaruhi respon
terhadap berduka. Individu biasanya tidak mengalami kehilangan orang
yang dicintai pada interval yang teratur. Akibatnya, Pengalaman terhadap
situasi ini sulit untuk dilakukan.
b. Hubungan personal ( sistem pendukung )
Ketika rasa kehilangan melibatkan individu lain, kualitas dan arti
hubungan yang hilang akan mempengaruhi respon terhadap berduka.
Ketika suatu hubungan antara dua individu telah menjadi sangat dekat dan
terjalin dengan baik, maka dapat dimengerti bahwa individu yang masih
hidup sulit untuk melanjutkan hidupnya.
Dari hal di atas kehadiran orang terdekat individu yang sedang berduka
seringkali menjadi aorang pertama yang mengetahui dan memberikan
bantuan emosional, fisik, dan fungsional yang dibutuhkan. Namun, karena
banyak orang yang tidak berpengalaman dalam mengatasi kehilangaan,
orang yang biasanya mendukung malah menarik diri dari individu yang
berduka.
c. Makna Kehilangan ( Sifat Rasa Kehilangan )
Makna kehilangan setiap orang berbeda, itu semua tergantung pada
persepsi masing – masing individu saat mengalami kehilangan. Sejumlah
faktor yang mempengaruhi makna kehilangan antara lain: makna orang,
dan objek yang hilang, perubahan yang harus dilakukan karena
kehilangan, dan keyakinan yang dianut oleh seseorang.
d. Strategi Koping
Pengalaman hidup membentuk strategi koping yang digunakan seseorang
untuk mengatasi tekanan karena rasa kehilangan. Pengungkapan emosi (
pelepasan, atau membicarakan tentang perasaan seseorang ) telah

5
dipandang sebagai cara yang penting untuk beradaptasi dengan rasa
kehilangan.
e. Status Sosial dan Ekonomi
Status sosial dan ekonomi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
memasukkan dukungan dan sumber daya untuk beradaptasi dengan rasa
kehilangan dan respon fisik terhadap tekanan. Ketika individu kekurangan
sumber daya finansial, pendidikan, dan pekerjaan, beban kehilangan akan
menjadi berlipat.
f. Penyebab Kehilangan dan Kematian
Pandangan individu dan masyarakat mengenai penyebab kehilangan atau
kematian dapat secara bermakna mempengaruhi respon berduka. Karena
kehilangan atau kematian di luar kendali orang yang terlibat mungkin
lebih diterima dibandingkan dengan kehilangan atau kematian yang dapat
dicegah.
g. Kepercayaan dan Pengaruh Spiritual
Keyakinan dan praktik spiritual sangat mempengaruhi reaksi seseorang
terhadap kehilangan dan perilaku yang ditimbulkannya. Penanganan
penyakit secara serius pada klien biasanya melibatkan intervensi medis
untuk memulihkan atau menjaga kesehatan. Sebagai rangkaian praktik
kedua, mengakui keterbatasan hidup, dan membantu individu yang sekarat
menemukan arti dalam penderitaan sehingga mereka dapat memelampaui
atau melangkah lebih ke depan dengan senantiasa percaya dan tidak takut
pada kematian karena berlandaskan kepada keyakinan atau kepercayaan
yang dianut masing – masing orang.
h. Harapan
Pengharapan memberikan individu kemampuan untuk melihat bahwa
kehidupan adalah suatu keabadian yang memiliki arti serta tujuan. Sebagai
suatu bentuk dorongan atau motivasi. Harapan, membantu pasien
mempertahankan suatu keinginan yang baik, dan pengurangan terhadap
sesuatu yang tidak menyenangkan. Dengan harapan, seorang pasien
berpindah dari perasaan lemah, menuju ke kehidupan yang penuh
kesenangan.

6
Dalam kasus ini, ada 3 orang anak yang mana masih belum bisa menerima
bahwa ibu mereka sudah tiada, dengan berbagai respon atau reaksi yang
ditimbulkan. Adapun faktor yang paling memepengaruhi mereka adalah strategi
koping, usia, hubungan personal dan makna kehilangan (Sutejo, 2018).
3. Isyarat apa, selain tanda fisik yang merupakan indikasi Nyonya Nurul
sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?

Seseorang yang kehilangan karena kematian secara mendadak biasanya


menginginkan informasi secepatnya dan biasanya yang detail mengenai penyebab
kematian, guna membantu orang yang kehilangan untuk merasakan kehilangan.
Selain itu kematian yang mendadak bukan hanya tidak diduga-duga tetapi
menyebabkan orang yang ditinggalkan tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan
yang belum selesai dengan orang yang meninggal.
Pandangan lansia tentang kematian memengaruhi kesiapan lansia dan
menghadapi kematian. Lansia yang memiliki iman dan kesadaran bahwa kematian
akan membawa mereka kembali kepada Tuhan akan membuat mereka menerima
kematian yang akan datang. Pada kasus yang menimpa Ny. Nurul, kematian
mendadak yang menimpanya berkaitan dengan perjalanan penyakit pneumonia
berulang yang dideritanya. Patogen yang mengakibatkan pneumonia sampai ke
trakea dikarenakan aspirasi bahan yang ada di orofaring, kebocoran melalui mulut
saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber patogen yang mengalami kolonisasi di
pipa endotrakeal. Selain itu ada beberapa faktor yang menyebabkan patogen ini
terus berkembang di dalam tubuh.
Faktor risiko pada inang dan terapi yang diberikan yaitu pemberian
antibiotik, penyakit penyerta yang berat, dan tindakan invansif pada saluran nafas.
Faktor resiko kritis adalah ventilasi mekanik >48 jam dan lama perawatan di ICU.
Faktor predisposisi lain seperti pada pasien dengan imunodefisien menyebabkan
tidak adanya pertahanan terhadap kuman patogen akibatnya terjadi kolonisasi di
paru dan menyebabkan infeksi. Proses infeksi dimana patogen tersebut masuk ke
saluran nafas bagian bawah setelah dapat melewati mekanisme pertahanan inang
berupa daya tahan mekanik ( epitel,cilia, dan mukosa), pertahanan humoral
(antibodi dan komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag, limfosit dan sitokinin).

7
Kemudian infeksi menyebabkan peradangan membran paru ( bagian dari
sawar-udara alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler
masuk. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen
menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel
radang dan cairan , dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh
patogen, akan tetapi dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun akan
mengakibatkan kesulitan bernafas, dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan
kematian. Sehingga pada kasus yang dialami oleh Ny. Nurul, beliau telah lama
mengalami kesusahan bernafas bahkan dalam beberapa kasus memerlukan alat
bantu nafas. Ketika alat bantu nafas tersebut mengalami gangguan atau pun tidak,
misal dikarenakan terjadi komplikasi di saluran nafas Ny. Nurul, maka membuat
dia susah bernafas dan berujung kematian yang mendadak.
Berhubungan dengan kematian dan kondisi menuju kematian (sekarat) :
Tahapan dalam proses kondisi menuju kematian. Dalam kehidupan makhluk
hidup, khususnya manusia tentunya akan menemui akhir dari segala perjalanan
kehidupannya yakni pada kematian. Dari adanya anggapan mengenai kematian
munculah berbagai pertanyaan dalam benak manusia terkait kematian dan kondisi
sekarat. Tiga pertanyaan utama yang umumnya diajukan adalah seperti apakah
kondisi sekarat itu?, apakah kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi
untuk kita semua ?, dan bagaimana kondisi sekarat dipandang dari orang yang
sedang mengalami hal tersebut?. Pada tahun 1986, Elisabeth Kübler-Ross dalam
bukunya yang berjudul On Death and Dying ia menjelaskan mengenai lima
tahapan yang dilalui oleh pasien dalam kondisi sekarat. Dimana dalam
menjelaskan hal tersebut sebelumnya ia melakukan wawancara mendalam kepada
400 orang pasien yang telah didiagnosis oleh tenaga medis bahwa waktunya sudah
tidak akan lama lagi bagi mereka untuk mencapai kematian akibat penyakit yang
dideritanya.
Kelima tahapan tesebut diantaranya adalah
a) Tahap penolakan (Denial)
b) Tahap kemarahan (Anger)
c) Tahap penawaran (Bargaining)
d) Tahap bersiap menuju kematian/depresi (Preparatory grief/Deppression)

8
e) Tahap penerimaan (Acceptance).
Kelima tahap yang dibentuk oleh Kübler-Ross sedikit banyak mampu
memberikan gambagaran bagi kita untuk memperkirakan bagaimana perilaku dan
apa yang dirasakan oleh orang yang berada dalam proses menuju kematian
(sekarat).
a) Penolakan
Pada tahap pertama yakni penolakan, pasien cenderung merasakan kondisi
terguncang dan menolak diagnosa dari tenaga medis bahwa penyakit yang
dideritanya sudah sangat parah dan memang sudah tidak lama lagi waktu yang ia
miliki untuk tetap hidup di dunia. Menurut Kübler-Ross pada tahap ini umumnya
pasien memberikan reaksi seperti “Hal ini tidak mungkin, dan tidak mungkin saya
yang harus mengalami hal ini, setiap harinya banyak orang lain diluar sana
memang mengalami hal ini tapi kenapa sekarang harus saya yang mengalami hal
ini, setidaknya tidak untuk hari ini”. Penolakan yang terjadi dalam diri pasien
mengenai kematian yang telah dekat baginya untuk dialami disebabkan juga oleh
adanya persepsi yang selama ini tertanam kuat dalam pemahaman manusia pada
umumnya bahwa sesulit apapun kondisinya dan sebesar apapun biaya yang harus
dikeluarkan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari kematian hal tersebut
haruslah dilakukan dan ketika seseorang menerima kondisi dan berbicara bahwa
ia mengalami kondisi sakit yang parah dan menuju kematian maka orang tersebut
dipandang sebagai orang yang gagal dalam menjalani tugas dengan baik atas
kehidupan di dunia yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
b) Kemarahan
Pada tahap kedua yakni kemarahan, pada tahap ini perasaan terguncang
yang dialami pasien berubah menjadi kemarahan yang menurut Kübler –Ross
identik dengan respon “Bukan saya” dan “Kenapa harus saya”. Dalam hal ini yang
dimaksudkan bahwa pasien marah dengan kondisi menuju kematian yang
dibebankan kepadanya karena membuatnya merasa sendiri ketika orang-orang
disekitarnya tidak berada bersamanya lagi seperti saat ia sehat dan mampu
beraktifitas dengan baik dalam kehidupannya. Kemarahan yang ada pada dirinya
akan kondisi sebenarnya coba disembunyikan oleh pasien yang kemudian
berimbas pada dilepaskannya kemarahan yang ia rasakan kepada orang-orang

9
sekelilingnya yang mencoba memberikan perhatian kepadanya seperti kepada
para dokter, perawat, teman, keluarga dengan mengatakan bahwa ia merasa
terganggu dengan kehadiran mereka, ia baik-baik saja dan mampu mengurus
dirinya sendiri dan sebagainya.
c) Penawaran
Pada tahap ketiga yakni penawaran, pada tahap ini pasien sudah lebih
mampu mengontrol emosinya dan mulai menyadari bahwa sebesar apapun
kemarahan yang ia rasakan tidak akan mampu membuatnya berada pada kondisi
yang lebih baik maka ia mencoba untuk memikirkan hal apa yang sebaiknya
dilakukan untuk memanfaatkan waktunya yang sudah tidak lama lagi di dunia.
Dengan kesadarannya bahwa memang saat ini dirinyalah yang berada pada
kondisi kematian pasien masih berusaha untuk kembali kepada sang penciptanya
dan melakukan penawaran kepada Tuhan, yang memang hal tersebut cenderung
dapat dipahami sebagai permohonan pasien tersebut kepada tuhannya dengan
harapan agar diberikan waktu untuk hidup yang lebih panjang dan berjanji untuk
menjalani kehidupan degan lebih baik. Semisalnya pasien tersebut berdoa dan
berjanji ketika diberi kesembuhan dan waktu untuk hidup lebih lama lagi maka ia
akan lebih berbakti kepada orang tua, taat beragama, memperhatikan kehidupan
anak yatim, dan sebagainya.
d) Tahap bersiap menuju kematian/depresi
Pada tahap keempat yakni persiapan menuju kematian atau depresi, pada
tahap ini terjadi perubahan dalam diri pasien yang sebelumnya memberikan reaksi
bahwa “bukan saya” yang kemudian menjadi “iya, saya”. Yang dimaksud dari hal
ini adalah pasien telah berusaha menerima kenyataan bahwa memang waktu
kematiannya akan tiba dalam waktu yang tidak lama lagi dan proses penawaran
(permohonan) yang ia lakukan terhadap Tuhan-nya telah berakhir. Kemudian
pada tahap ini pula pasien mulai untuk meneguhkan hatinya untuk perlahan
mengiklaskan untuk melepaskan hubungannya selama di dunia dengan orang-
orang terkasihnya untuk menuju akhir dari kehidupan.
e) Penerimaan
Kemudian pada tahap kelima yang merupakan tahap terakhir, pada tahap
penerimaan ini pasien merasa bahwa kematian sudah tidak lagi dapat dihindari

10
dan siap untuk mencapai kematian dengan perasaan yang tenang dan iklas bukan
dengan perasaan yang merasa kalah dan terpaksa harus menerima kematian.
Menurut Kübler-Ross reaksi yang umunya dilakukan oleh pasien adalah “ Saya
telah menyelesaikan segala urusan saya, saya talah mengucapkan segala hal yang
harus saya katakan, dan saya sudah siap untuk pergi meninggalkan dunia”. Maka
pada tahap ini pasien telah yakin dan tenang dalam mencapai kematiannya yang
dijelaskan pula oleh Kübler-Ross bahwa di dunia yang berbeda dari dunia
manusia pasien tersebut akan menjalani kehidupannya yang baru.
Jadi, isyarat atau tanda-tanda seseorang dalam masa sekarat atau dalam
masa akan menuju kematian selain tanda-tanda dari fisiknya yaitu, pada tahap
pertama yakni penolakan, pasien cenderung merasakan kondisi terguncang dan
menolak diagnosa dari tenaga medis bahwa penyakit yang dideritanya sudah
sangat parah dan memang sudah tidak lama lagi waktu yang ia miliki untuk tetap
hidup di dunia. Pada tahap kedua yakni kemarahan, pada tahap ini perasaan
terguncang yang dialami pasien berubah menjadi kemarahan identik dengan
respon “Bukan saya” dan “Kenapa harus saya”. Pada tahap ketiga yakni
penawaran, pada tahap ini pasien sudah lebih mampu mengontrol emosinya dan
mulai menyadari bahwa sebesar apapun kemarahan yang ia rasakan tidak akan
mampu membuatnya berada pada kondisi yang lebih baik maka ia mencoba untuk
memikirkan hal apa yang sebaiknya dilakukan untuk memanfaatkan waktunya
yang sudah tidak lama lagi di dunia. Pada tahap keempat yakni persiapan menuju
kematian atau depresi, pada tahap ini terjadi perubahan dalam diri pasien yang
sebelumnya memberikan reaksi bahwa “bukan saya” yang kemudian menjadi
“iya, saya”. Kemudian pada tahap kelima yang merupakan tahap terakhir, pada
tahap penerimaan ini pasien merasa bahwa kematian sudah tidak lagi dapat
dihindari dan siap untuk mencapai kematian dengan perasaan yang tenang dan
iklas bukan dengan perasaan yang merasa kalah dan terpaksa harus menerima
kematian, yang umunya dilakukan oleh pasien adalah “ Saya telah menyelesaikan
segala urusan saya, saya talah mengucapkan segala hal yang harus saya katakan,
dan saya sudah siap untuk pergi meninggalkan dunia”.
4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan umur?

11
Kematian merupakan sesuatu yang mutlak terjadi dalam kehidupan manusia.
Bakker (2005) mengatakan bahwa segala yang hidup pasti mati, oleh sebab itu
kematian dinilai sebagai nasib natural bagi yang hidup. Bakker (2005)
menjelaskan bahwa hakekat kematian dapat dirumuskan sebagai “berakhirnya
kehidupan” (cessatio vitae) ataau “berhentinya makhluk” (cessatio entis viventis).
Pembahasan mengenai kematian seolah hanya berdasarkan pemahaman akan
kehidupan yang harus berakhir pada suatu titik yaitu kematian. Hal tersebut
ternyata tidak cukup mampu memberikan kelegaan dan penerimaan untuk
menganggap kematian sebagai sesuatu yang baik. Pemahaman yang didapat
seolah menjadi pisau bermata dua yang memberikan dua gambaran berbeda bagi
manusia khususnya lanjut usia yang dekat dengan kematian. Pemahaman yang
hanya didasarkan pada sisi dogmatis padahal masih ada banyak permasalahan
hakiki yang belum terselesaikan menimbulkan kecemasan baru sehingga membuat
kehidupan manusia menjadi tidak tenang dan tidak bahagia.
a. Angka kematian pada kelompok umur 0-4 tahun :
Tingginya angka kematian pada kelompok umur 0-4 tahun disebabkan beberapa
faktor berikut :
1. Penyebab utama kematian bayi berumur 0-6 hari adalah asfiksia (36 persen),
prematur (32 persen) dan sepsis (12 persen). Faktor ibu yang berperan
terhadap kematian perinatal adalah ketuban pecah dini (23 persen), hipertensi
maternal (22 persen), komplikasi kehamilan dan kelahiran (16 persen),
gangguan nutrisi (10 persen) . Untuk penanganan masalah perinatal harus
difokuskan terhadap perbaikan kondisi kesehatan bayi sejak konsepsi dan
pertumbu-hannya dalam rahim, peningkatan nutrisi dan kesehatan ibu, serta
pertolongan persalinan dengan standar mutu yang baik untuk ibu maupun bayi
baru lahir . Berarti, peningkatan kualitas PONED dan PONEK dituntut
semakin tinggi seiring dengan besar-nya masalah kematian perinatal yang
dihadapi.
2. Faktor penyulit persalinan, penyakit yang diderita bayi, maupun perawatan
bayi di rumah, kondisi ibu saat hamil. Ini terbukti menurut data yang diperoleh
bahwa faktor penyebab kematian sangat beragam seperti melahirkan

12
sungsang, kelainan sejak dalam kandungan, kondisi ibu saat hamil yang
menyebabkan bayi prematur, BBLR, dan asfiksia.
3. Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Dengan jarak kelahiran yang kurang dari
2 tahun, kesehatan fisik dan rahim ibu masih butuh cukup istirahat dan ada
kemungkinan ibu masih menyusui.
4. Informasi yang berhubungan dengan perawatan kehamilan sangat dibutuhkan
oleh semua ibu hamil dan keluarganya. Sebagian besar tingkat pendidikan ibu
tamat SMA. Adapun fenomena yang ditemukan di lapangan berkaitan dengan
tingkat pendidikan yaitu anak yang dilahirkan merupakan anak pertama yang
dimiliki oleh ibu dengan usia<20 tahun dan usia ideal (21-34 tahun).
Meskipun pendidikan cukup tinggi, jika dilihat menurut usia, kemungkinan
pengetahuan ibu mengenai kehamilan masih sangat rendah dan tidak cukup
waktu untuk mencari pelayanan semaksimal mungkin. Sehingga ibu kurang
memperhatikan kondisinya saat hamil. Kebiasaan ibu yang menganggap
bahwa kehamilan merupakan hal biasa memiliki riwayat pendidikan yang
rendah serta ekonomi yang rendah. Sehingga faktor tersebut secara tidak
langsung diduga dapat mempengaruhi kehamilan, proses persalinan dan pasca
persalinan.
5. Menyusui sebaiknya dilakukan setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit
setelah bayi lahir) karena daya hisap pada saat itu paling kuat untuk
merangsang pengeluaran ASI selanjutnya (Kamila, 2005). Pada kasus
kematian bayi hampir semua bayi tidak mendapatkan ASI. Hal tersebut
diakibatkan karena ASI yang belum keluar sama sekali saat bayi sudah lahir,
ASI yang diproduksi sangat lancar namun bayi tidak sempat diberi ASI, serta
bayi mendapatkan campuran susu formula dari pihak rumah sakit.Penyebab
ASI yang tidak bisa keluar diduga karena bayi lahir prematur sehingga kondisi
fisik maupun psikologisnya dapat mempengaruhi pengeluaran ASI, ibu sedang
menderita sakit, ibu yang mengalami depresi, cemas sedang ada masalah,
mulut bayi yang kecil serta kurang mendapat dukungan dari suami atau
keluarganya dalam menyusui bayinya. Sehingga ASI yang diproduksinya
kurang lancar atau bahkan tidak bisa keluar sama sekali.

13
6. Pola pengasuhan bayi yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi,
pada hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI dengan
tingkat pendidikan rendah ataupun tinggi hasilnya tidak jauh berbeda. Pada
tingkat pendidikan ibu, baik rendah ataupun tinggi, tidak menjamin bahwa
pengetahuan ibu tentang pola pengasuhan bayi sudah cukup baik. Disisi lain
informasi yang diberikan petugas kesehatan seputar kehamilan, terutama
mengenai ASI tidak jelas dan kurang lengkap. Jika dibandingkan dengan
kelompok umur yang lain kematian pada kelompok umur 0-4 tahun cukup
tinggi, hal ini dikarenakan dua faktor utama yaitu faktor ibu dan faktor bayi itu
sendiri.
b. Angka kematian pada kelompok umur 5-9 tahun :
Jika dilihat dari kelompok umur sebelumnya pada kelompok umur 5-9 tahun
angka kematian mengalami penurunan yang cukup tinggi.Dapat dikatakan angka
harapan hidup mengalami kenaikan. Semakin bertambahnya Angka Harapan
Hidup itu berarti perlu adanya peranpemerintah di dalam menyediakan fasilitas
seperti pendidikan, kesehatan dsb, perlunya perhatian keluarga dan pemerintah
didalam penyediaan gizi yang memadai bagi anak-anak (Balita) agar angka
harapan hidup bayi terus meningkat.
c. Angka kematian pada kelompok umur 10-14tahun :
Jika dilihat dari kelompok umur sebelumnya angka kematian pada kelompok
umur 10-14 tahun mengalami penurunan yang juga berarti angka harapan hidup
terus mengalami peningkatan.Semakin bertambahnya Angka Harapan Hidup itu
berarti perlu adanya peranpemerintah di dalam menyediakan fasilitas seperti
pendidikan, kesehatan dsb.
d. Angka kematian pada kelompok umur 15-19tahun :
Memang sedikit mengalami kenaikan dari kelompok umur 10-14 tahun tetapi
angka kematian pada kelompok umur ini masih dapat dikatakan rendah yang juga
berarti angka harapan hidup terus mengalami peningkatan.Semakin bertambahnya
Angka Harapan Hidup itu berarti perlu adanya peranpemerintah di dalam
menyediakan fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, serta penyediaan lapangan
kerja.
e. Angka kematian pada kelompok umur 20-24 tahun :

14
Pada usia produktif ini angka kematian mengalami sedikit peningkatan dari
kelompok umursebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan hidup
masih cukup tinggi. Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia produktif ini
yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk
permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.
f. Angka kematian pada kelompok umur 25-29 tahun :
Pada usia produktif ini angka kematian hampir sama dengan kelompok umur
sebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan hidup masih cukup tinggi.
Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia produktif ini yaitu penyediaan
lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk permukiman serta
fasilitas rekreasi/wisata.
g. Angka kematian pada kelompok umur 30-34 tahun :
Pada usia produktif ini angka kematian hampir sama dengan kelompok umur
sebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan hidup masih cukup
tinggi.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi secara
tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh darah otak.
Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma,
penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan lalu lintas, kanker paru-paru dsb.
Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia produktif ini yaitu penyediaan
lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk permukiman serta
fasilitas rekreasi/wisata.
h. Angka kematian pada kelompok umur 35-39 tahun :
Pada usia produktif ini angka kematian mengalami sedikit peningkatan dari
kelompok umur sebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan hidup
masih cukup tinggi.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-50 tahun yang
terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh
darah otak. Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes,
asma, penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan lalu lintas, kanker paru-
paru dsb. Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia produktif ini yaitu
penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk
permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.
i. Angka kematian pada kelompok umur 40-44tahun :

15
Pada usia produktif ini angka kematian mengalami sedikit peningkatan dari
kelompok umur sebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan hidup
masih cukup tinggi.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-50 tahun yang
terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh
darah otak. Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes,
asma, penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan lalu lintas, kanker paru-
paru dsb. Peranan pemerintah yang dibutuhkan pada usia produktif ini yaitu
penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk
permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.
j. Angka kematian pada kelompok umur 45-54tahun :
Pada kelompok umur 45-54 tahun ini mengalami sedikit peningkatan angka
kematian.Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007),penyebab kematian
nomor 6 dari semua kelompok umur adalah diabetes melitus. Angka kematian
penderita diabetes melitus pada kelompok umur 45-54 tahun di daerah perkotaan
mencapai 14,7% dan di pedesaan sekitar 5,8%. Penyakit diabetes melitus
merupakan penyakit tidak menular yang mengalami kenaikan jumlah penderita
terus-menerus dari tahun ke tahun selain itu penyakit yang juga paling banyak
diderita seperti ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), diare, demam berdarah,
malaria, difteri, penyakit kulit, hipertensi, penyakit lambung dan jantung
(kardiovaskuler).
k. Angka kematian pada kelompok umur 55->80tahun :
Pada kelompok umur 55 sampai dengan 80 tahun keatas ini hampir sama
dengan kelompok umur sebelumnya yang mengalami sedikit peningkatan angka
kematian. Penyakit penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit
sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak), selanjutnya penyakit infeksi dan
pernapasan. Angka kematian untuk penyakit infeksi dan pernapasan lebih tinggi di
pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan penyebab
kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi
(jantung dan pembuluh darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di
Indonesia berada dalam proses transisi epidemiologik seiring dengan proses
transisi demografi. Pemerintah dihadapkan pada beban ganda dalam menangani
penyebab kematian yang merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana

16
pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit
non-infeksi.
Kondisi usia pada dewasa akhir sering disebut sebagai lansia atau usia
lanjut (old age). Suardiman (2011: 1) menjelaskan bahwa siklus kehidupan
menjadi tua diawali dari proses kelahiran tumbuh menjadi dewasa dan
berkembang biak, menjadi semakin tua, dan akhirnya meninggal. Hurlock dalam
Asti ( 2004: 19) menyatakan lanjut usia sebagai periode penutup dalam rentang
kehidupan seseorang, yaitu suatu periode seseorang telah “beranjak jauh” dari
periode sebelumnya yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang
penuh manfaat.
Lanjut usia merupakan proses kehidupan manusia dengan waktu yang
begitu panjang dan mencapai perubahan signifikan seperti kondisi fisik dan
psikologis. Samino dalam Suardiman (2011) mangatakan bahwa proses menua
didefinisikan sebagai akumulasi secara progresif dari berbagai perubahan
patofiologi organ tubuh yang berlangsung berdampingan dengan perubahan waktu
dan ada kemungkinan untuk terserang penyakit atau kematian. Manusia
berkembang secara evolusioner menuju tingkataan yang lebih sempurna dalam hal
emosional dan fungsional organ tubuh, namun pada saat lanjut usia justru terjadi
kemunduran sesuai hukum alam yang disebut sebagai “menua” atau senesense.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Prof. Dr. Siti Partini Suardiman, S.U.
dalam Asti (2004) bahwa manusia lanjut usia adalah manusia yang telah
menjalani proses penuaan dalam arti mengalami penurunan daya tahan fisik yang
ditandai dengan semakin rentannya fisik terhadap serangan berbagai penyakit
yang dapat menyebabkan kematian.
Rentang waktu yang lama dalam perkembangan lanjut usia semakin
menimbulkan perubahan dan permasalahan. Kondisi ini jelas memerlukan suatu
sikap untuk menanggapinya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan
penyesuaian diri. Secara lebih jauh, penyesuaian diri diperlukan supaya para
lanjut usia tersebut dapat mencapai kebahagiaan dengan memiliki keterbukaan
akan isu-isu kehidupan, termasuk isu kematian. Kematian menjadi salah satu isu
yang popular di kalangan lanjut usia.

17
Kondisi tersebut ternyata ditanggapi beragam oleh lanjut usia. Pada suatu
sisi, kematian seolah menjadi suatu kondisi yang tidak jelas dan menakutkan.
Wijaya & Savitri (2015) menjelaskan bahwa kecemasan mengenai kematian
merupakan kondisi emosional yang tidak menyenangkan ketika para lanjut usia
memikirkan kematian. Hal ini disebabkan oleh kondisi tidak jelas yang menyertai
kematian. Kematian seolah-olah menjadi begitu dekat namun terkadang seperti
diberi jarak seolah masih lama akan datang. Sedangkan Chusairi dalam Wijaya &
Savitri (2015) mengatakan kematian merupakan pengalaman yang tidak
terelakkan yang dapat terjadi setiap saat, sehingga dapat menimbulkan kecemasan
dalam diri individu.
Meski demikian, pada satu sisi yang lain kematian mampu dipandang
secara lebih jernih dan terbuka. Hal tersebut nampak ketika kematian mampu
menimbulkan ketertarikan bagi manusia secara khusus lanjut usia untuk
memenuhi keingintahuan akan kematian diri sendiri (Asti, 2004). Pertanyaan yang
muncul dari kondisi tersebut meliputi kapan akan mati, penyebab kematian,
bagaimana kondisi menghadapi kematian, dan bagaimana kondisi saat mati.
Kondisi ini bersifat positif karena lanjut usia berusaha berdamai dengan proses
kehidupannya untuk akhirnya sampai pada kematian. Sikap positif ini berkaitan
erat dengan kondisi psikologis yang sehat dimana lansia secara sadar menerima
kematian sebagai suatu proses yang memang akan terjadi pada setiap individu
sehingga tidak perlu ditolak apalagi dihindari. Pada akhirnya, sikap manusia
secara khusus lanjut usia menghadapi isu kematian terbentuk menjadi dua sisi
yang saling bertolak belakang.
5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.
a. Pengkajian 1
1) Identitas klien :
Nama : Anak Bungsu
Usia : tidak terkaji
Jenis kelamin : tidak terkaji
2) Fisik : TB= tidak terkaji; BB= tidak terkaji; T= tidak terkaji; N= tidak
terkaji; RR= tidak terkaji; TD= tidak terkaji.
3) Riwayat kesehatan dahulu : tidak terkaji

18
4) Riwayat kesehatan sekarang : tidak terkaji
5) Perilaku dan respon :
- Kognitif : klien mengungkapan ketidakmampuan dalam menghadapi
peristiwa, klien masih tidak percaya dengan kematian ibunya, tidak
dapat berkonsentrasi di tempat kerja.
- Afektif : kesulitan menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau
makan,
- Sosial : tidak terkaji
6) Peran dan hubungan : klien sebgai anak tidak dapat menghadiri
pemakaman dan tidak mampu berkonsentrasi di tempat kerja setelah
kematian ibunya
7) Coping terhadap stress : pasien tampak belum mampu mengatasi
kejadian yang ia alami.
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
No Data Pengkajian Faktor yang berhubungan Masalah
1 DS : - Krisis situasi Ketidakefektifan
Klien mengatakan Koping (00069)
mengalami kesulitan (skala Prioritas)
untuk menghadiri
pemakaman, tidak dapat
tidur atau makan, serta
tidak dapat
berkonsentrasi di tempat
kerja.
2 DO: Ny. Nurul 75 tahun - Kematian orang terdekat Dukacita terganggu
meninggal tak terduga 1 - Kurang dukungan sosial (00135)
minggu setelah dirawat
di RS dengan episode
pneumonia berulang
walaupun telah diberi
terapi antibiotic agresif,
kondisi beliau

19
memburuk.
DS: Klien mengatakan
mengalami kesulitan
untuk menghadiri
pemakaman, serta tidak
dapat berkonsentrasi di
tempat kerja.

c. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan
Hasil
1. Ketidakefektifan Koping NOC NIC
(00069) Koping (1302) Peningkatan Koping
Kriteria Hasil (5230)
-Mengidentifikasi -Bantu klien untuk
pola koping yang memecahkan masalah
tidak efektif dengan cara yang
-Menyatakan konstruktif
penerimaan terhadap - Gunakan pendekatan
situasi yang tenang dan berikan
- Menggunakan jaminan
strategi koping yang -Berikan penilaian dan
efektif diskusikan respon
alternative terhadap
Ketiga kriteria situasi yang ada.
tersebut skala target -Dukung penggunaan
dari tidak pernah sumber-sumber spiritual
menunjukan (1) -Dukung keterlibatan
menjadi sering keluarga

20
menunjukan (4) -Bantu klien untuk
mengidentifikasi
strategi-strategi positif
untuk mengatasi
keterbatasan dan
mengelola kebutuhan
gaya hidup maupun
perubahan peran.
2. Dukacita terganggu NOC NIC
(00135) Resolusi Berduka Fasilitasi proses berduka
(1304) (5290)
Kriteria Hasil -Identifikasi kehilangan
-Menyatakan -Dengarkan ekspresi
menerima tentang berduka
kehilangannya -Berikan interuksi dalam
-Melaporkan tidur proses berduka yang
yang cukup tepat
-Melaporkan intake -Dukung klien
nutrisi yang cukup mengimplementasikan
-Mengekspresikan kebiasaan budaya,
harapan positif agama, social yang
mengenai masa terkait dengan
depan. kehilangan.
-Komunikasikan
Keempat kriteria penerimaan dalam
hasil diatas skala rangka mendiskusikan
targetnya dari tidak kehilangan.
pernah menunjukan -Dukung usaha untuk
(1) menjadi sering penyelesaian konflik
menunjukan (4). yang terjadi
-Bantu mengidentifikasi
kebutuhan untuk

21
modifikasi gaya hidup.

Peningkatan Tidur
(1850)
-Tentukan pola
tidur/aktivitas klien
-Jelaskan pentingnya
tidur yang cukup
-Sesuaikan Lingkungan
misalnya cahaya,
kebisingan, suhu, kasur,
dan tempat tidur untuk
meningkatkan tidur.
-Dorong klien untuk
menetapkan rutinitas
tidur untuk memfasilitasi
perpindahan dari terjaga
menuju tidur.

Manajemen Nutrisi
(1100)
-Tentukan status gizi
klien dan kemampuan
klien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
-Berikan pilihan
makanan sambil
menawarkan bimbingan
terhadap pilihan
makanan yang sehat
-Tawarkan makanan
ringan padat gizi

22
-Monitor kecenderungan
terjadinya penurunan
atau kenaikan BB
-Monitor asupan
makanan

a. Pengkajian 2
1) Identitas klien
Nama : Anak Tengah
Usia : tidak terkaji
Jenis kelamin : tidak terkaji
2) Fisik : TB= tidak terkaji; BB= tidak terkaji; T= tidak terkaji; N= tidak
terkaji; RR= tidak terkaji; TD= tidak terkaji.
3) Riwayat kesehatan dahulu : tidak terkaji
4) Riwayat kesehatan sekarang : tidak terkaji
5) Perilaku dan respon :
- Kognitif : tidak terkaji
- Afektif : tidak menangis saat pemakaman dan tidak banyak berbicara
kepada saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya, merasa sangat lelah
dan tidak bersemangat
6) Sosial : -
7) Peran dan hubungan : tidak banyak berbicara kepada saudara laki-
lakinya atau kerabat lainnya
8) Coping terhadap stress : pasien tampak belum mampu mengatasi
kejadian yang ia alami.
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
No Data Pengkajian Faktor yang berhubungan Masalah

23
1 DS : - Gaya koping yang tidak Ketidakmampuan
Klien tidak menangis sesuai antara individu koping keluarga
saatpemakaman dan pendukung dan klien (00073)
tidak banyak berbicara (skala Prioritas)
pada saudara laki-
lakinya atau kerabat
lainnya. Dia kembali ke
rumahnya yang terletak
di kota lain dan kembali
bekerja tapi merasa
sangat lelah dan tidak
bersemangat.

c. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil Keperawatan
1. Ketidakmampuan NOC NIC
koping keluarga Koping Keluarga Peningkatan
(00073) (2600) Keterlibatan Keluarga
Kriteria Hasil (7110)
-Mengungkapkan -Bangun hubungan
perasaan dan emosi pribadi dengan klien
secara terbuka dan anggota keluarga
diantara anggota yang akan terlibat
keluarga dalam perawatan
-Mengatur perawatan - Monitor struktur dan
jadwal istirahat peran keluarga

Ketiga kriteria
tersebut skala target
dari tidak pernah
menunjukan (1)

24
menjadi sering
menunjukan (4)

a) Pengkajian 3
1) Identitas klien :
Nama : Anak Sulung
Usia : tidak terkaji
Jenis kelamin : laki-laki
2) Fisik : TB= tidak terkaji; BB= tidak terkaji; T= tidak terkaji; N= tidak
terkaji; RR= tidak terkaji; TD= tidak terkaji.
3) Riwayat kesehatan dahulu : tidak terkaji
4) Riwayat kesehatan sekarang : tidak terkaji
5) Perilaku dan respon :
- Kognitif : merindukan ibunya dan menangis sesekali
- Afektif : mengatur pemakaman dan baru bisa kembali bekerja seminggu
setelah kematian sang ibu
- Sosial : mengunjungi kerabat
6) Sosial : -
7) Peran dan hubungan : klien sebagai anak sering merawat sang ibu selama
proses pengobatan, mengatur pemakaman dan tetap mengunjungi kerabat.
8) Coping terhadap stress : pasien mampu mengatasi kesedihan yang ia alami
seminggu kemudian.
b) DIAGNOSA KEPERAWATAN
No Data Pengkajian Faktor yang berhubungan Masalah
1. DO: Ny. Nurul 75 tahun - Kematian orang terdekat Dukacita
meninggal tak terduga 1 - Kurang dukungan sosial terganggu (00135)
minggu setelah dirawat
di RS dengan episode
pneumonia berulang
walaupun telah diberi
terapi antibiotic agresif,
kondisi beliau

25
memburuk.
DS: Klien mengatakan
mengalami kesulitan
untuk menghadiri
pemakaman, serta tidak
dapat berkonsentrasi di
tempat kerja.

c) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan
Hasil
1. Dukacita NOC NIC
terganggu (00135) Resolusi Berduka Fasilitasi proses berduka
(1304) (5290)
Kriteria Hasil -Identifikasi kehilangan
-Menyatakan -Dengarkan ekspresi
menerima tentang berduka
kehilangannya -Berikan interuksi dalam
-Melaporkan tidur proses berduka yang tepat
yang cukup -Dukung klien
-Melaporkan intake mengimplementasikan
nutrisi yang cukup kebiasaan budaya, agama,
-Mengekspresikan social yang terkait dengan
harapan positif kehilangan.
mengenai masa -Komunikasikan
depan. penerimaan dalam rangka
mendiskusikan
Keempat kriteria hasil kehilangan.
diatas skala targetnya -Dukung usaha untuk
dari tidak pernah penyelesaian konflik yang
menunjukan (1) terjadi

26
menjadi sering -Bantu mengidentifikasi
menunjukan (4). kebutuhan untuk
modifikasi gaya hidup.

Peningkatan Tidur (1850)


-Tentukan pola
tidur/aktivitas klien
-Jelaskan pentingnya tidur
yang cukup
-Sesuaikan Lingkungan
misalnya cahaya,
kebisingan, suhu, kasur,
dan tempat tidur untuk
meningkatkan tidur.
-Dorong klien untuk
menetapkan rutinitas tidur
untuk memfasilitasi
perpindahan dari terjaga
menuju tidur.

Manajemen Nutrisi
(1100)
-Tentukan status gizi
klien dan kemampuan
klien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
-Berikan pilihan makanan
sambil menawarkan
bimbingan terhadap
pilihan makanan yang
sehat
-Tawarkan makanan

27
ringan padat gizi
-Monitor kecenderungan
terjadinya penurunan atau
kenaikan BB
-Monitor asupan makanan

28
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ketika seseorang mengalami stress, baik karena orang lain maupun karena
dirinya sendiri. Itu akan berdampak buruk baginya. Hal itu dikarenakan, apabila
seseorang stress akan membuat tubuh dia merespon buruk pada fisik maupun
psikologis. Itu dapat terlihat saat seseorang stres dia akan murung, diam,
menangis menarik diri dari keramaian dan sesekali marah terhadap orang
sekitarnya. Stress juga dapat memperburuk keadaan penyakit seseorang. Maka
dari itu peran kita sebagai perawat yaitu melakukan pendekatan terhadap klien
kemudian menentukan model stress apa yang cocok untuk mengatasi stress yang
dialaminya dan membantu klien untuk berpikir positif hingga membuat dia
merasa lebih nyaman.

29
DAFTAR PUSTAKA
• Niven, N. 2013. Psikologi Kesehatan. Jakarta : EGC
• Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Dengan Klien Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
• Monks, F. J dkk. 2001. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada
University Press.
• Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D.,2008. Psikologi Perkembangan
edisi kesembilan. Jakarta: Kencana Prenada media group.
• Kubler –Ross, Elisabeth. 1998. On Death and Dying. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
• Senewe, Felly Philipus dan Sarimawar Djaja, 2009, “Status Mortalitas Dan
Pola Penyebab Kematian Di Kabupaten Sukabumitahun 2007”.Jurnal
Ekologi Kesehatan Vol. 8 No 4, Desember 2009 :1117 – 1125.
• Djaja, Sarimawar, Agus Suwandono, Soeharsono Soemantri, 2003, “Pola
penyakit penyebab kematian di perkotaan dan pedesaan di Indonesia, Studi
Mortalitas Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001”.Mei-Agustus
2003, Vol.22 No.2.
• Sutejo, 2018. Keperawatan Jiwa, Konsep dan Praktik Asuhan
Keperawatan Jiwa : Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta : PT.
Pustaka Baru. Hal : 161-170.
• Alimul Hidayat, Aziz. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba
Medika
• Ananda Ruth Naftali, Yulius Yusak Ranimpi, M. Aziz Anwar. 2017.
Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi Kematian.
Buletin Psikologi. Vol. 25, No. 2, 124 – 135

v
PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN

CASE STUDY VI

Ifa Hafifah, Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :

KELOMPOK VI

Achmad Fauzi (1610913310001)


Anna Sessi Inti Peranita (1610913220002)
Erna Auliana Ariantina Putri (1610913320008)
Devy Ayu Karym (1610913320007)
Muhammad Fendi Ashar (1610913310015)
Okta Vianus Agustus Musi Waso (Ketua) (1610913210014)
Yuliani (1610913120018)
Yulia Noor Agriani (1610913320044)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Mata Kuliah : Psikososial Dan Budaya Dalam Keperawatan

Dosen Pengampu : M. Akbar Nugraha, Ns

Dosen Pengajar : Ifa Hafifah, Ns.,M.Kep

Kelompok : VI (Enam)

Anggota :
Achmad Fauzi (1610913310001)
Anna Sessi Inti Peranita (1610913220002)
Erna Auliana Ariantina Putri (1610913320008)
Devy Ayu Karym (1610913320007)
Muhammad Fendi Ashar (1610913310015)
Okta Vianus Agustus Musi Waso (Ketua) (1610913210014)
Yuliani (1610913120018)
Yulia Noor Agriani (1610913320044)

Banjarbaru, 14 Maret 2018

Ifa Hafifah, Ns.,M.Kep


BAB I
Topik : Konsep Kehilangan, Kematian, dan Berduka

Nyonya Nurul, 75 tahun, dirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia


berulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondisinya memburuk dan dia
meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya, yang
tinggal di dekatnya dan sering merawat ibunya, mengatur pemakaman dan mengunjungi
kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tapi berhasil kembali bekerja
minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan untuk menghadiri pemakaman,
tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat berkonsentrasi di tempat kerja, dan tidak
percaya bahwa ibunya telah meninggal. Anak tengah tidak menangis saat pemakaman
dan tidak banyak bicara kepada saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya. Dia kembali
ke rumahnya yang terletak di kota lain dan kembali bekerja tapi merasa sangat lelah dan
tidak bersemangat.

Diskusikan mengenai:
1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-masing
anak yang masih hidup!
2. Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak terhadap
kematian ibu mereka?
3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya Nurul
sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?
5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.
BAB II
1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-
masing anak yang masih hidup?
Terdapat empat fase berduka yang harus dialami seseorang saat
mengalami kehilangan. Yaitu (Suseno, 2004):
1. Fase Denial (menyangkal)
Dimana reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
yang dihadapinya. Respon Verbal;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak
percaya itu terjadi ”. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah
2. Fase Anger (marah)
Mulai sadar tetapi menolak keadaannya dan mengekspresikannya
dengan kemarahan yang diproyeksikan pada orang lain. Reaksi fisik;
muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal. Perilaku
agresif.
3. Fase Bargaining (tawar- menawar)
Merupakan fase penundaan kenyataan. Dimana reaksi klien
meminta kesempatan untuk merubah keadaannya sesuai keinginannya.
Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit
bukan saya “ seandainya saya hati-hati “.
1. Fase Depresi

Merupakan fase yang menunjukan sikap menarik diri, sangat


menurut tetapi tidak mau bicara, putus asa, merasa diri tidak berharga,
bahkan dalam beberapa kasus ingin melakukan bunuh diri. Gejalanya
yaitu ; susah makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase Acceptance (penerimaan)
Merupakan fase dimana pikiran yang berpusat pada objek yang
hilang berkurang. Perhatian akan dialihkan kepada objek yang baru dan
individu yang menerima dengan perasaan damai, maka dapat
mengakhirinya dengan tuntas. Verbalisasi ;” apa yang dapat saya
lakukan agar saya cepat sembuh”,“ yah, memang ini kenyataannya“.
Pada respon anak-anak Alm Ny. Nurul memiliki perbedaan dimana
anak sulung (pertama) dia yang mengatur pemakaman dan kunjungan
kerabat. Respon dia merindukan ibunya dan sesekali menangis tetapi
berhasil bekerja kembali minggu berikutnya. Dari respon ini anak sulung
mengalami fase penerimaan meskipun masih sering mengalami
Pada anak tengah tidak menangis saat pemakaman dan tidak banyak
bicara kepada kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang berada di
kota lain kembali bekerja tetapi masih terasa sangat lelah dan tidak
bersemangat. Dari respon anak tengan (kedua) saat ini dia mengalami fase
depresi tetapi sudah bersiap masuk ke fase penerimaan.
Sedangkan pada anak bungsu (ketiga) mengalami kesulitan untuk
menghadiri pemakaman ibunya, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat
berkonsentrasi di tempat kerja,dan tidak percaya bahwa ibunya telah
meninggal. Dari respon anak terakhir ini dia mengalami fase menyangkal.

2. Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak


terhadap kematian ibu mereka?
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kehilangan Antara lain :
a) Perkembangan
• Anak- anak.
a) Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.
b) Belum menghambat perkembangan.
c) Bisa mengalami regresi
• Orang Dewasa
Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang
hidup,tujuan hidup,menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal
yang tidak bisa dihindari.
b) Keluarga.
Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak
terbesar biasanya menunjukan sikap kuat, tidak menunjukan sikap
sedih secara terbuka.
c) Faktor Sosial Ekonomi.
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab
ekonomi keluarga, beraati kehilangan orang yang dicintai sekaligus
kehilangan secara ekonomi,Dan hal ini bisa mengganggu
kelangsungan hidup.
d) Pengaruh Kultural.
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur
‘barat’ menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi
sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukan
pada orang lain. Kultur lain menggagap bahwa mengekspresikan
kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.
e) Agama.
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman.
Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama.
Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.

f) Penyebab Kematian.
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba
akan menyebabkan shock dan tahapan kehilangan yang lebih lama.
Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan
diasosiasikan dengan kesialan.
Kebutuhan Keluarga yang Berduka membutuhkan :
a) Harapan
a. Perawatan yang terbaik sudah diberikan.
b. Keyakinan bahwa mati adalah akhir penderitaan dan kesakitan.
b) Berpartisipasi.
a. Memberi perawatan
b. Sharing dengan staf perawatan.
c) Support
a. Dengan support klien bisa melewati kemarahan, kesedihan, denial.
b. Support bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan yang
terjadi.
d) Kebutuhan spiritual.
a. Berdoa sesuai kepercayaan.
b. Mendapatkan kekuatan dari Tuhan.

3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya
Nurul sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
Walaupun kematian nyoya nurul tergolong mendadak tapi kita
dapat mengetahui factor-factor yang yang bisa membuat nyoya nurul
meninggal seperti di kasus kita dapat melihat nyoya nurul menderita
penyakit phenumonia yang berulang dan umur nyoya nurul juga sudah
tergolong usia lanjut yaitu 75 tahun. Yang bisa di artikan bahwa selain
faktir fisiknya yang semakin menuruh yaitu keadaan yang menburuk
walaupun sudah dilakukan terapi antibiotok agresif, factor lain yang bisa
mengakibatkan nyoya nurul meninggal secara mendadak adalah factor
umur dan factor penyakit nyoya nurul.
4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?
Kematian adalah peristiwa hilangnya semua tanda-tanda kehidupan
secara permanen yang bisa terjadi tiap saat setelah kelahiran hidup (
LDFEUI, 1981). Pengembangan konsep kematian tampaknya tergantung
sampai batas tertentu pada perkembangan kognitif. Sikap terhadap
kematian pada beberapa fase yang berbeda dalam masa Kkhidupan usia
kanak-kanak dan dewasa mempengaruhi pengalaman dan pemikiran
mereka tentang kematian. Seorang dewasa yang telah matang, akan
berfikir dan memahami bahwa kematian merupakan akhir kehidupan dan
hal itu tidak dapat diubah lagi, dimana kematian menggambarkan akhir
kehidupan dan segala yang hidup akan mati (Speece & Brent, 1989).
Banyak penelitian menemukan bahwa seiring dengan perkembangan
manusia, mereka mengembangkan pendekatan tentang kematian yang
lebih matang (Wass & Stillion, 1988). Pada perkembangan konsep
kematian berdasarkan usia tebagi menjadi tiga, yaitu :
1) Masa Kanak-Kanak
Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki
konsep dasar tentang kematian. Namun, karena bayi
mengembangkan keterkaitan dengan pengasuhnya, mereka dapat
mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan
yang menyertainya. Tapi anak-anak tidak memahami waktu
sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat
mungkin dialami sebagai pepisahan total. Bagi kebanyakan bayi,
kedatangan pengasuh kembali akan memberikan suatu kontinuitas
eksistensi dan hal ini akan mereduksi kecemasan. Kita sangat
sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang kehialangan
walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuh tidak
digantikan, yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan
bayi.
Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan tidak sama
sekali mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka
sering kali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan
keheranan, “Mengapa ini tidak bergerak?” Diusia prasekolah, anak-
anak jarang kaget dengan pemandangan seekor binatang yang mati
atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya bahwa
orang yang mati dapat menjadi hidup kembali secara spontan
karena adanya hal yang magis atau dengan memberi mereka makan
atau perawatan medis (Lonetto, 1980). Anak-anak sering kali
percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin mati, atau mereka
yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati.
Mereka mungkin juga menyalahkan diri mereka kenal baik,
mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu
mungkin terjadi karena tidak patuh terhadap orang yang mati.
Kadang-kadang dimasa kanak-kanak tengah dan akhir,
konsep yang tidak logis mengenai kematian yang lambat laun
berkembang hingga diperoleh suatu persepsi kematian yang lebih
realistis. Dalam satu penelitian awal mengenai persepsi kematian
seorang anak, usia 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia
6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya dialami
oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya
mengenali kematian dan universalitasnya (Nagy, 1948).
Kebanyakan ahli psikologi percaya bahwa kejujuran
merupakan strategi terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan
anak-anak. Mempermalukan konsep sebagai hal yang tidak pantas
disebutkan merupakan strategi yang tidak sesuai, walau
kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat
dimana kematian sangat jarang didiskusikan. Dalam suatu
penelitian, peneliti berusaha menilai sikap 30.000 orang usia
dewasa muda terhadap kematian (Shneidman, 1973). Hasilnya,
lebih dari 30% berkata bahwa mereka tidak dapat mengingat
kembali diskusi mengenai kematian selama mereka kanak-kanak;
dengan jumlah yang sama, yang lain mengatakan bahwa, meskipun
kematian didiskusikan, namun diskusinya berlangsung dalam
suasana yang tidak nyaman. Hampir setiap 1 dari 2 responden
berkata bahwa kematian kakek atau neneknya merupakan kematian
pertama kali mereka hadapi.
2) Masa Remaja
Dimasa remaja, pandangan terhadap kematian, seperti juga
pandangan terhadap penuaan dianggap sebagai suatu hal yang
begitu jauh dan tidak memiliki banyak relavasi. Subjek kematian
barang kali dihindari, ditutupi, diolok-olok, dinetralisir, dan
dikontrol, dengan orientasi sebagai penonton (spektatorlike
orientation). Perspektif ini merupakan tipe pemahaman kesadaran
diri pada masa remaja. Bagaimanapun, beberapa remaja
menunjukkan perhatiaannya kepada kematian, mencoba untuk
memahami maksud dari kematian, dan menghadapi saat kematian
mereka.

Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara


lebih abstrak dibanding anak-anak. Sebagai contoh, para remaja
menggambarkan kematian dengan istilah kegelapan, cahaya terang,
transisi, atau ketiadaan sama sekali (Wenestam & Wass, 1987).
Mereka juga mengembangkan pandangan filosof religious
mengenai hakikat kematian dan kehidupan sesuadah mati.
3) Masa Dewasa
Tidak ada bukti yang menunjukkan di masa dewasa awal
dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai
kematian. Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul
sejalan saat mereka beranjak tua, yang biasanya meningkat pada
masa dewasa tengah. Dalam diskusi kita mengenai masa dewasa
tengah, kita mengindikasikan bahwa usi paruh baya merupakan
saat dimana orang dewasa mulai berfikir lebih jauh mengenai
berapa banyak waktu yang tersisa dalam hidup mereka. Para
peneliti menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah
sebenarnya lebih takut menghadapi kematian dibandingkan mereka
yang berusia dewasa awal maupun dewasa akhir (Kalish &
Reynolds, 1976).
Orang-orang di usia dewasa akhir lebih banyak berfikir
mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan
tentang kematian dengan orang lain dibandingkan usia dewasa
tengah maupun dewasa muda. Mereka juga mengalami kematian
secara lebih langsung seiring dengan sakit dan meninggalnya
teman-teman dan keluarga mereka. Di usia dewasa akhir ini, orang
dewasa lanjut didorong untuk lebih sering menguji arti kehidupan
dan kematian dibandingkan orang dewasa muda.
Di usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemikiran dan pembicaraan
mengenai kematian meningkat, perkembangan integritas pun
meningkat melalui peninjauan hidup yang positif dan hal ini
mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian. Di
usia dewasa akhir urusan yang belum selesai lebih sedikit
dibandingkan ketika di usia dewasa muda. Mereka biasanya tidak
lagi memiliki anak yang perlu dibimbing hingga matang, pasangan
hidup mereka biasanya mati lebih dahulu, dan cenderung tidak
memiliki kerja yang berhubungan dengan proyek yang
menginginkan kesempurnaan. Kurangnya antisipasi terhadap
kematian barangkali akan menyebabkan rendahnya rasa sakit yang
ditimbulkan secara emosional pada diri mereka. Bahkan diantara
orang dewasa akhir, sikap terhadap kematian terkadang bersifat
individualistis sama seperti mereka yang memegang prinsip
tersebut. Seorang wanita 82 tahun mengumumkan bahwa ia telah
menjalani hidupnya dan saat ini siap menyongsong kematian.
Wanita 82 tahun lainnya, mengumumkan bahwa kematian akan
menjadi suatu interupsi yang menyedihkan karena ia akan
kehilangan partisipasinya dalam aktifitas dan hubungan sosial.

5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.


a. Pengkajian
1) Perasaan sedih atau menangis
2) Mengingkari kehilangan
3) Kesulitan mengekspresikan perasaan
4) Konsentrasi menurun
5) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
6) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, dn tingkat
aktivitas
b. Diagnosa
1) Dukacita terganggu (00136)
2) Keputusasaan (00124)

Data Pengkajian Etiologi Masalah


DO: Kematian orang terdekat Dukacita terganggu
Anak bungsu mengalami (00136)
kesulitan untuk
menghadiri pemakaman
DS:
Anak bungsu mengatakan
tidak percaya bahwa
ibunya telah meninggal

DO :anak tengah tidak Isolasi social Keputusasaan (00124)


menangis saat
pemakaman
DS :
Anak tengah mengatakan
sangat merasa lelah dan
tidak bersemangat saat
kembali bekerja

C. Intervensi Keperawatan dan Implementasi Keperawatan


Diagnosa Keperawatan Outcome Intervensi

Dukacita terganggu NOC NIC


(00136)
- Tingkat depresi Fasilitasi proses berduka
- resolusi berduka - Dukung pasien untuk
mengekspresikan
Kriteria hasil perasaan mengenali
- gangguan konsentrasi dari kehilangan
berat (skala 1) menjadi tidak - Berikan instruksi dalam
ada (skala 5). proses fase berduka
- insomnia berat (skala 1) dengan tepat
manjadi tidak ada (skala 5) - Bantu mengidentifikasi
- nafsu makan menurun strategi-strategi koping
berat (skala 1) menjadi tidak pribadi
ada (skala 5). - Bantu mengidentifikasi
kebutuhan untuk
medifikasi gya hidup
Konseling
- Tunjukkan empati,
kehangatan, dan
ketulusan
- Bantu pasien
mengidentifikasi
masalah atau situasi
yang menyebabkan
distress
- Bantu pasien
mengindentifikasi
kekuatan, dan
menguatkan hal
tersebut

Keputusasaan (00124) NOC : NIC


- Energi psikomotor Peningkatan koping
- bantu pasien dalam
Kriteria hasil mengembangkan penilain
- menunjukkan afek yang terkait dengan kejadian
sesuai dengan situasi dari dengan lebih obyektif
tidak pernah menunjukkan - Batu pasien untuk
(skala 1) menjadi secara melewati proses berduka
konsisten menunujukkan dan melewati kondisi
(skala 5) kehilangan dengan tepat
- menunjukkan tingkat - dukung pasien untuk
energy yang stabil dari mengealuasi perilakunya
jarang menunjukkan (skala sendiri
2) menjadi secera konsisten
menunjukkan (skala 5)

DAFTAR PUSTAKA
Dacey, John S. dan Travers, John F. 2004. Human Development. North America:
McGraw-Hill.
Gloria Bulechek, dkk.2013.Nursing Inteventions Classification (NIC) 6th edition.

Monks, F. J dkk. 2001. Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada


University Press.
Papalia, Diane E., & Feldman, Ruth Duskin. 2014. Menyelami Perkembangan
Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan,


Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

Santrock, John W. 2012. Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup


Edisi 13 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Sue Moorhead, dkk.2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th edition.

T. Heather, Herdman.2015.NANDA Interanitional Inc. diagnose


keperawatan:definisi & klasifikasi 2015-2017.Jakarta:EGC.
CASE STUDY 5
PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN
KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN, DAN BERDUKA

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep


Disusun Oleh:
Kelompok VII

Ervina Dwi Atika Arisandi 1610913320009


Ilham Budi Prawira 1610913310014
Nadila 1610913320027
Nur Millah Tsariy 1610913320033
Rahmad 1610913210015
Sayyidina Scleropages 1610913210020
Siti Syifa Agustina 1610913120015
Yulia Rahayu 1610913120017

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Dosen Pengampu : Selvia Harum Sari, Ns.

Kelompok : VII (Tujuh)

Nama Anggota : Ervina Dwi Atika Arisandi 1610913320009

Ilham Budi Prawira 1610913310014

Nadila 1610913320027

Nur Millah Tsariy 1610913320033

Rahmad 1610913210015

Sayyidina Scleropages 1610913210020

Siti Syifa Agustina 1610913120015

Yulia Rahayu 1610913120017

Banjarbaru, 19 Maret 2018

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep


BAB I
KASUS

Topik: Konsep Kehilangan, Kematian, dan Berduka


Nyonya Nurul, 75 tahun, dirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia
berulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondisinya memburuk dan dia
meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya, yang
tinggal di dekatnya dan sering merawat ibunya, mengatur pemakaman dan
mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tapi berhasil
kembali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan untuk
menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat berkonsentrasi di
tempat kerja, dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal. Anak tengah tidak
menangis saat pemakaman dan tidak banyak bicara kepada saudara laki-lakinya atau
kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang terletak di kota lain dan kembali
bekerja tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.

Diskusikan mengenai:
1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-masing
anak yang masih hidup!
2. Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak terhadap
kematian ibu mereka?
3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya Nurul
sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?
5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.
BAB II
LAPORAN STUDI KASUS

1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-


masing anak yang masih hidup!
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur,
dan lain-lain.

Ada lima fase kehilangan diantaranya yaitu:


1. Fase Pengingkaran (Denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,
tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan
mengatakan " Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi", " Itu tidak
mungkin". Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal,
akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi
pada fase peenginkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, tidak tahu berbuat apa.
Reaksi tersebut cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa
tahun.
2. Fase Marah (Anger)
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang
sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang orang
tertentu atau ditujukan kepada dririnya sendiri. Tidak jarang menunjukkan
perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh dokter dan
perawat yang tidak becus. Respon fisik yang terjadi pada fase ini antara lain,
muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Fase Tawar Menawar (Bergaining)
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata " Kalau
saja kejadian ini bisa ditunda maka saya yang akan sering berdoa" Apabila
proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataan sebagai berikut
sering dijumpai "Kalau saja yang sakit bukan anak saya".
4. Fase Depresi (Depression)
Individu pada fase ini sering menunujukkan sikap antara lain menarik
diri, tidak mau bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat
baik dan menurut, atau dengan ungkapan-ungkapan yang menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan
adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase Penerimaan
Fase ni berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
selalu terpusat kepada objek atau orang hilang akan mulai berkurang atau
hilang, individu telah menerima kenyataan kehilanganbyang dialaminya,
gambaran tentang objek atau irang yang hilang mulai dilepaskan dan secara
bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima biasanya
dinyatakan dengan kata-kata "Saya betul-betul menyayangi baju saya yang
hilang tapi baju saya yang baru manis juga," atau "Apa yang dapat saya
lakukan agar saya dapat cepat sembuh?".
Jenis-jenis berduka, ada 5 jenis konsep berduka, yaitu :
a) Berduka Normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan. Misal : kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan
menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
b) Berduka Antisipatif
Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau
kematian yang sesungguhnya terjadi. Misal : ketika menerima diagnosis
terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan
diri dengan berbagai urusan dunia sebelum ajalnya tiba.
c) Berduka yang Rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya,
yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung
berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan
orang lain.
d) Berduka Tertutup
Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara
terbuka. Misal: kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami
kematian orang tua, ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika
bersalin.
e) Berduka Disfungsional
Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun
potensial. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/ kekacauan.
Konsep kehilangan, ada 5 jenis konsep kehilangan, yaitu :
a) Kehilangan Objek Eksternal
Kehilangan ini mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi
usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang
bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang
dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. Contoh : kehilangan sepeda
motor, kehilangan uang, kehilangan rumah.
b) Kehilangan Lingkungan yang telah Dikenal
Kehilangan ini mencakup meninggalkan lingkungan yang telah
dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contoh :
pindah rumah baru dan alamat baru atau yang ekstrim lagi dirawat di
rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah
dikenal dapat terjadi melalui situasi naturasional, misal : lansia pindah
kerumah perawatan.
c) Kehilangan Orang Terdekat
Kehilangan yang terjadi pada orang-orang terdekat seperti
orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, dan lain-lain..
Contoh: pindah rumah, pindah pekerjaan karena promosi atau mutasi,
melarikan diri, dan kematian.
d) Kehilangan Aspek Diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis. Kehilangan ini dapat terjadi karena penyakit,
cedera, atau perubahan perkembangan situasi. Kehilangan seperti ini dapat
menurunkan kesejahteraan individu, mengalami kehilangan kedudukan,
mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
Contoh: kehilangan anggota tubuh dan harus diamputasi karena kecelakaan
lalu lintas, menderita kanker organ tubuh yang ganas, terkena penyakit HIV
atau AIDS.
e) Kehilangan Hidup
Kehilangan ini ada pada orang-orang yang akan menghadapi
kematian sampai dengan terjadinya kematian. Hal ini sering menyebabkan
kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, gelisah, takut, bergantung pada
orang lain, putus asa dan malu. Contoh: pasien yang divonis menderita
kanker otak, luekimia atau penyakit langka lainnya yang tidak bisa
disembuhkan oleh dokter.

Berdasarkan kasus, fase yang dialami oleh anak-anak klien ada lima fase
yaitu fase pengingkaran (denial), fase marah (anger), fase tawar menawar
(bergaining), fase depresi (depression), dan fase penerimaan. Ketiga anaknya merasa
sangat sedih dan sering menangis karena kehilangan orang yang terdekat dengan dia
yaitu ibunya yang meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit.
Berdasarkan kasus anak tertua mengalami fase pengingkaran yang dimana dalam
kasus sesekali ia menangis karena merindukan ibunya, tetapi pada seminggu
kemudian ia memasuki fase penerimaan yang dimana kita melihat pada kasus bahwa
anak tertua sudah berhasil kembali bekerja pada minggu berikutnya setelah kemarian
sang ibu , anak kedua mengalami fase depresi yang dimana ia terlihat menarik diri,
tidak banyak bicara dan juga saat ia kembali bekerja ia merasa lelah dan tidak
bersemangat, anak bungsu mengalami fase pengingkaran, fase marah dan fase
depresi yang dimana ia tidak dapat tidur atau makan dan ia tidak percaya atas
kematian sang ibu. Jenis berduka yang dialami oleh ketiga anak nyonya nurul yaitu
berduka tertutup yang dimana mereka mengalami kematian orang tua.

2. Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak


terhadap kematian ibu mereka?
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan:
1. Faktor Perkembangan
a) Anak-anak
• Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.
• Belum menghambat perkembangan.
• Bisa mengalami regresi.
b) Orang dewasa
• Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan
hidup.
• Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
2. Faktor Keluarga
Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar
biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara
terbuka.
3. Faktor Sosial Ekonomi
Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi
keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara
ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.
4. Faktor Kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat
menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya
diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur
lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak
dan menangis keras-keras.
5. Faktor Agama
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman.
Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada
juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.
6. Faktor Penyebab Kematian
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih
lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan
dengan kesialan.
Kebutuhan keluarga yang kehilangan membutuhkan hal-hal sebagai berikut:
a) Harapan
Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir
penderitaan dan kesakitan.
b) Partisipasi
Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan.
c) Dukungan
Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan
penyangkalan. Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan
yang terjadi.
d) Kebutuhan Spiritual
Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan kekuatan dari
Tuhan.
Konsep dan teori berduka:
1. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
Berikut beberapa fase yang dilalui.
a) Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri,
duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat,
insomnia dan kelelahan.
b) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
c) Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang hampa/
kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian
yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan
seseorang.
d) Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e) Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/ disadari.
Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi
pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut.
a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak
untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti
“tidak, tidak mungkin seperti itu!” atau “tidak akan terjadi pada saya!”
sangat umum dilontarkan.
b) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada
setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan.
Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung
dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa
kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi
kehilangan.
c) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau
jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari
pendapat orang lain.
d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross
mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi
kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus
asa.

Berdasarkan kasus Ny. Nurul. Putra sulungnya termasuk kedalam faktor


reaksi yang disebabkan rasa kehilangan, akan tetapi dia memiliki rasa atau strategi
koping yang cukup bagus dapat dilihat dia kembali bekerja walaupun sesekali dia
merasa kehilangan. Sedangkan anak bungsu Ny. Nurul terlihat strategi kopingnya
yang kurang bagus dia masih merasa sangat kehilangan ibunya dan mengalami tidak
bisa tidur, makan, bahkan tidak bisa konsentrasi saat bekerja.

3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya
Nurul sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam
organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara
permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab
tidak alami seperti kecelakaan.
Beberapa bulan menjelang kematian, perubahan yang paling tampak adalah
suasana hati dan perilakunya. Berikut ciri-cirinya:
a) Menarik diri dari orang-orang terdekat, misalnya tidak mau dikunjungi
di rumah sakit.
b) Lebih sering berdiam diri (pada anak-anak mungkin justru tambah
cerewet).
c) Jarang makan atau minum.
d) Berhenti melakukan hal-hal favorit atau hobi.
e) Mudah lelah dan mudah tertidur.
f) Mengompol (karena inkontinensia urine).

Beberapa minggu menjelang kematian, seiring berjalannya waktu, tubuh


orang akan mengalami penurunan fungsi. Hal ini bisa terlihat dari tanda-tanda
berikut ini.
a) Pola tidur berubah-ubah.
b) Mengeluh atau mendesah karena menahan rasa sakit. Bicarakan
dengan dokter dan perawat untuk mendapatkan obat-obatan pereda
nyeri.
c) Mengigau, berhalusinasi, atau mengalami disorientasi. Misalnya
bingung sedang berada di mana, siapa saja orang-orang di sekitarnya,
melihat cahaya terang, dan mengaku berbicara dengan keluarga atau
sahabat yang sudah meninggal.
d) Tidak bisa meninggalkan tempat tidur sama sekali.
e) Tidak bisa makan tanpa bantuan selang.
f) Makin jarang buang air kecil atau buang air besar.
g) Tekanan darah, detak jantung, dan irama pernapasan melemah.
h) Suhu tubuh menurun dan meningkat secara tak pasti.
i) Kulit, bibir, dan kuku jadi lebih pucat atau membiru karena aliran
darah berkurang.

Beberapa hari atau jam menjelang kematian, biasanya orang yang sudah
tinggal beberapa hari atau jam mendekati ajalnya akan menunjukkan ciri-ciri
berikut ini:
a) Tiba-tiba gelisah atau jadi tampak bertenaga. Misalnya dengan bicara
panjang lebar atau minta jalan-jalan. Namun, gelombang energi ini
biasanya tidak bertahan lama. Dalam waktu beberapa saat orang
tercinta Anda mungkin akan jadi lemas lagi.
b) Detak jantung sangat lemah, bahkan nyaris tak terdeteksi.
c) Suhu tubuh menurun drastis.
d) Tidak bisa makan sama sekali.
e) Tidak buang air kecil atau buang air besar sama sekali.
f) Pernapasan jadi sangat lambat.
g) Muncul bercak-bercak ungu kebiruan di sekujur tubuh.

Manifestasi Klinis Kehilangan dan berduka:


a) Perasaan sedih, menangis.
b) Perasaan putus asa, kesepian
c) Mengingkari kehilangan
d) Kesulitan dalam mengekspresikan perasaan
e) Konsenterasi menurun
f) Kemarahan yang berlebihan
g) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
h) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
i) Reaksi emosional yang lambat
j) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas.

Berdasarkan kasus tersebut tidak dijelaskan bahwa ibu nurul menunjukan


isyarat atau tanda dia akan meninggal, karena kematiannya pun mendadak, tetapi
keluarga merasakan manifestasi klinis kehilangan berupa perasaan sedih, menangis,
konsentrasi menurun, tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain, dan
adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur , tingakat aktivitas.

4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?


Usia mempengaruhi pengalaman dan pemikiran tentang kematian. Seorang
dewasa yang telah matang, akan memahami bahwa kematian merupakan akhir
kehidupan dan itu tidak dapat diubah lagi, dan segala yang hidup akan mati. Banyak
peneliti menemukan bahwa seiring dengan perkembangan anak, mereka
mengembangkan pendekatan tentang kematian yang lebih matang.
a. Masa kanak-kanak
Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep tentang
kematian. Namun, karena bayi mengembangkan keterikatan dengan
pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan
serta kecemasan yang menyertainya.tetapi anak-anak tidak memahami waktu
sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami
sebagai kehilangan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali
akan memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi
kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang
kehilangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuhan tidak
digantikan yang dapat berpengaruh negatif pada kesehatan bayi.
Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan sama sekali tidak
mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka seringkali bingung
antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan keheranan “Mengapa ini tidak
bergerak?”. Di usia sekolah anak-anak jarang kaget oleh pemandangan seekor
binatang yang mati atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya
bahwa orang telah mati dapat kembali hidup secara spontan karena adanya hal
yang magis atau dengan memberi mereka makan atau perawatan medis (Lanetto,
1980). Anak-anak kecil seringkali percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin
mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati.
Mereka mungkin menyalahkan diri mereka sendiri terhadap kematian orang yang
mereka kenal baik, mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu
mungkin terjadi karena mereka tidak patuh terhadap orang yang mati tersebut.
Kadang-kadang di masa kanak-kanak tengah atau akhir, konsep
kematian yang tidak logis mengenai kematian lambat laun berkembang hingga
diperoleh suatu persepsi tentang kematian yang lebih realistik. Dalam penelitian
awal mengenai persepsi kematian seorang anak, anak 3-5 tahun menolak adanya
kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya
dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya mengenali
kematian dan universalitasnya (Nagy, 1948).
Kebanyak ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi
terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak. Memperlakukan
konsep sebagai hal yang tidak pantas disebutkan sebagai strategi yang tidak
sesuai, walaupun kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat
dimana kematian sangat jarang didiskusikan.
b. Masa remaja
Di masa remaja, pandangan tentang kematian, seperti juga pandangan
terhadap penuaan dianggap sebagai suatu hal yang begitu jauh dan tidak banyak
memiliki relevansi. Subjek kematian barangkali dihindari, ditutupi, diolok-olok,
dinetralisasi, dan dikontrol dengan orientasi sebagai penonton (spektatorlike
orientation). Perspektif ini merupakan tipe pemahaman kesadaran diri pada masa
remaja. Bagaimanapun, beberapa remaja menunjukkan perhatiannya terhadap
kematian, mencoba untuk memahami maksud dari kematian, dan menghadapi
saat kematian mereka.
Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara lebih abstrak
dibandingkan anak-anak. Sebagai contoh, para remaja menggambarkan kematian
dengan istilah kegelapan, cahaya terang, transisi, atau ketiadaan sama sekali
(Wenestam & Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan filosofi religius
mengenai hakikat kematian dan kehidupan sesudah mati.
c. Masa dewasa
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa di masa dewasa awal
dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai kematian.
Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul sejalan saat mereka beranjak
tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa tengah. Para peneliti
menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah sebenarnya lebih takut
menghadapi kematian dibandingkan mereka yang berusia dewasa awal maupun
dewasa akhir (Kalish & Reynolds, 1976). Orang-orang dewasa akhir lebih
banyak berpikir mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan
kematian.
Di usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan. Pemikiran dan
pembicaraan tentang kematian meningkat, perkembangan integritaspun
meningkat. Melalui peninjauan hidup yang positif dan hal inimungkin dapat
membantu mereka untuk menerima kemaatian. Mereka cenderung tidak memiliki
kerja byang berhubungan dengan proyek yang menginginkan kesempurnaan.
Kurangnya antipasi terhadap kematian barangkali akan menyebabkan rendahnya
rasa sakit yang ditimbulkan secara emosional pada diri mereka.

Berdasarkan kasus, nyonya nurul berusia 75 tahun. Usia tersebut termasuk


usia tua. Di mana pada usia tua pemikiran dan pembicaraan tentang kematian
meningkat, perkembangan integritas pun meningkat. Melalui peninjauan hidup yang
positif dan hal ini mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian.
5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.
Askep pada Klien dengan Kehilangan dan Berduka
1. Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien: apa
yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku.
2. Analisa data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1 Do : putra pertama terlihat
menangis sesekali tapi Kematian orang Risiko Duka Cita
berhasil kembali bekerja terdekat Terganggu
minggu berikutnya
Ds : -

2 d Do : anak kedua tidak


menangis saat pemakaman -Kematian orang -Duka Cita Terganggu
dan tidak banyak bicara pada terdekat
saudara laki-lakinya atau
kerabat lainnya,merasa sangat -Ketiadaan orang -Hambatan Interaksi
lelah dan tidak bersemangat terdekat sosial
dalam bekerja
dd Ds : -
D
3 Do : Anak bungsu mengalami
kesulitan dalam mengahdiri
pemakaman tidak dapat tidur Kematian orang Duka Cita
atau makan tidak dapat terdekat
berkonsentrasi ditempat kerja
dan tidak percaya bahwa
ibunya telah meninggal
D Ds : -

3. Diagnosa keperawatan
1. Risiko duka cita terganggu
2. Duka cita terganggu
3. Hambatan interaksi sosial
4. Duka cita

4. Intervensi
No Diagnosa NOC NIC
1 Risiko duka cita Tindakan personal untuk Peningkatan koping :
terganggu mengelola stresor yang membantu pasien untuk
membebani sumber beradaptasi dengan persepsi
individu stresor, perubahan atau
ancaman yang dapat
mengganggu pemenuhan
tuntutan hidup dan peran
2 Duka cita terganggu Penyesusaian terhadap Peningkatan peran :
kehilangan aktual atau membantu klien
yang akan datang memperbaiki hubungan
dengna mengklarifikasi atau
menambahkan perilaku
peran tertentu
3 Hambatan interaksi Interaksi sosial dengan Pembinaan hubungan yang
sosial
orang, kelompok, dan kompleks : membina
organisasi hubungan terapeutik dengan
klien yang mengalami
kesulitan berinteraksi dengan
orang lain
4 Duka cita Menyesuaikan diri -Dukungan emosi :
dengna kehilangan memberikan penenangan,
aktual atau yang akan penerimaan, dan dorongan
terjadi selama periode stres
-fasilitasi proses duka cita :
membantu mengatasi
kehilangan yang berarti
REFERENSI

Santrock, John W.. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa


Hidup. Jilid 2. Penerjemah: Juda Damanik, Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga.

Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan
Gerontik Edisi 2. Penerjemah: Nety Juniarti, S.Kp & Sari Kurnianingsih, S.Kp.
Jakarta: EGC.

Potter, Patricia A., Perry, Anne Griffin. 2005. Fundamental Keperawatan


Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Penerjemah: Asih Yasmin, Dkk. Jakarta: EGC.

Nasir, Abdul, Dkk. 2011. Komunikasi Dalam Keperawatan Teori dan


Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.

Mardiati Ratna. 2008. Pengantar Neuropsikologi. Jakarta:SAGUNG SETO.

Budi, Anna Keliat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta:EGC.

Iyus, Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa. RefikaAditama : Bandung.

NANDA.2011. Diagnosis Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi. Jakarta :


EGC.

Judith M. Wilkinson, dkk. 2015. Buku saku diagnosis keperawatan : diagnosis


nanda, intervensi NIC, kriteria hasil NOC, Ed.9. Jakarta : EGC.

Potter, Perry. (2010). Fundamental Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Alimul Hidayat, Aziz. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia, aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Afrian Saputra, Zaenal Abidin. Pengalaman Kehilangan Anak Pada Ibu


Korban Tragedi Trisakti 1998 (Sebuah Studi Kualitatif Fenomenologis). 2016.
Volume 5 (2). 236-240.
CASE STUDY V
PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN
KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN & BERDUKA

Ifa Hafifah, Ns.,M.Kep

Disusun oleh:
Kelompok VIII
Adhitria R. P 1610913310002
Ahmad Alqipari 1610913310004
Rahmida Miliyanti 1610913120013
Ramadanisa Ihtianingsih 1610913120014
Maulinda 1610913320017
Maya Aulia Ahda 1610913320018
Miftakhul Jannah 1610913320019
Yhoggy Putra Mulya Bahtera 1610913310043

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

DosenPengampu : Devi Rahmayanti, Ns.,M.Kep


Kelompok : VIII (Delapan)
Anggota Kelompok :
Adhitria R. P 1610913310002
Ahmad Alqipari 1610913310004
Rahmida Miliyanti 1610913120013
Ramadanisa Ihtianingsih 1610913120014
Maulinda 1610913320017
Maya Aulia Ahda 1610913320018
Miftakhul Jannah 1610913320019
Yhoggy Putra Mulya B. 1610913310043

Banjarbaru, 08 Maret 2018

Ifa Hafifah , Ns.,M.Kep


Kasus

Topik : Kondep Kehilangan, Kematian, dan Berduka

Nyonya Nurul, 75 tahun, ddirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia berulang.
Meski mendapat terapi antibiotic agresif, kondisinya memeburuk dan dia meninggal tak terduga 1
minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya, yang tingga di dekatnya dan sering merawat
ibunya, mengatur pemakaman dan mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis
sesekali tapi berhasil kembali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan untuk
menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat berkonsentrasi di tempat kerja,
dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal. Anak tengah tidak menangis saat pemakaman dan
tidak banyak bicara kepada saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya
yang terletak di kota lain dan kembali bekerja tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.
1. Berdasarkan kasus di atas jelaskan fase berkabung dialami oleh masing masing anak
yang masih hidup !

Menurut Teori Kubler Ross (1969) dalam Moyle & Hogan (2006, tahapan berduka antara lain :

1. Menyangkal (Denial)

Pada tahap ini, individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan dapat menolak
untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin
ini terjadi pada saya !”.Respon fisiologis yang terjadi adalah kelemahan otot, gemetaran,
menghela nafas, kulit dingin, pucat, dan berkeringat banyak.

2. Marah (Anger)

Pada tahap ini individu melawan kehilagan dan dapat bertindak pada seseorang
dan segala sesuatu di lingkungan sekitarnya. Seseorang yang mengalami hal ini dapat
mengespresikan kemarahannya dan ditujukan kepada keluarga, ataupun yang lainnya yang ada
di sekitarnya.

3. Tawar Menawar (Bargaining)

Pada tahap ini terjadi penundaan realitas kehilangan. Individu berupaya untuk
membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Individu
atau keluarga sering kali mencari pendapat orang lain selama tahapan ini.

4. Depresi

Pada tahap ini kehilangan sudah disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan. Respon yang dialami individu yang ditinggalkan yaitu adalah merasa sangat
kesepian, kebingungan, kurang motivasi, menangis, menarik diri, atau melakukan perilaku yang
tidak sehat seperti bunuh diri.

5. Penerimaan (Acceptance)
Pada tahap ini sudah tercapai penerimaan. Reaksi fisiologis dan interaksi social
berlanjut. Tahap ini lebih sebagai menghadapi situasi dibandingkan menyerah untuk pasrah atau
putus asa.

Fase berkabung pada putra tertua yaitu Depresi ia merindukan ibunya dan menangis sesekali.

Fase berkabung pada anak bungsu yaitu Menyangkal ia tidak percaya bahwa ibunya telah
meninggal

Fase berkabung pada anak tengah yaitu marah ia tidak mau berbicara terhadap saudara laki
lakinya.

2. Faktor apa saja yang mungkin mempengaruhi reaksi masing-masing anak terhadap
kematian ibu mereka ?

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI KEHILANGAN

a. Perkembangan :

- Anak- anak : Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.

Belum menghambat perkembangan.

Bisa mengalami regresi

- Orang Dewasa : Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup,
menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.

b. Keluarga. Keluarga mempengaruhi respon dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya
menunjukan sikap kuat, tidak menunjukan sikap sedih secara terbuka.

c. Faktor Sosial Ekonomi. Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi
keluarga, beraati kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi dan hal ini
bisa mengganggu kelangsungan hidup.

d. Pengaruh Kultural. Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur ‘barat’
menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada
keluarga, kesedihan tidak ditunjukan pada orang lain. Kultur lain menggagap bahwa
mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.

e. Agama. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa
kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan
kematian.

f. Penyebab Kematian .Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan shock dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa
kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.

Kemudian di sesuakan dengan faktor kehilangan dari kasus didapatkan 3 anak yang mana terdiri
dari

a. Putra tertuanya

Perkembangan Orang Dewasa, Penyebab Kematian, Keluarga

b. Anak tengah

Pengaruh Kultural, Perkembangan Orang Dewasa

c. Anak bungs

Penyebab Kematian,

3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupkan indikasi bahwa Ny. Nurul sedang sekarat,
meski kematiannya terjadi tak terduga ?

Kematian mendadak yang tidak diharapkan dan tidak dapat dijelaskan ditemukan pada
sebagian besar kasus pada praktek kedokteran forensik. Kematian mendadak yang tidak dijelaskan
sering tercatat sebagai kematian karena sebabyang alami. Para ahli percaya bahwa kebanyakan dari
kematian ini dikarenakan Sudden Death Syndrome (sindroma kematian mendadak) atau Sudden
Cardiac Death kematian jantung mendadak).
Penyebab kematian mendadak akibat penyakit dapat diklasifikasikan menurut sistem tubuh,
diantaranya sistem SusunanSaraf Pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan.
Secara garis besar kebanyakan dari kematian tak terduga ini disebabkan oleh Trauma,
keracunan, dan penyakit. Sehingga kaitannya dengan kasus dimana Ny. N ini menderita pneumonia
yang berulang dan dimana kondisi dari Ny. N ini juga memburuk sehingga Ny. N ini meninggal
dunia tak terduga.

4. konsep kematian berdasarkan usia

Kematian (mortalitas)

adalah peristiwa hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen yang bisa terjadi tiap
saat setelah kelahiran hidup. ( LDFEUI, 1981)

1. Angka kematian pada kelompok umur 0-4 tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 48,42 kematian sedangkan perempuan 44,98 kematian per
1000 penduduk pada kelompok umur 0-4.

Dapat dilihat kematian penduduk laki-laki pada kelompok umur 0-4 tahun lebih besar daripada
kematian penduduk perempuan.Walaupun perbedaan nya hanya sedikit. Tingginya angka kematian
pada kelompok umur 0-4 tahun disebabkan beberapa faktor berikut :

Penyebab utama kematian bayi berumur 0-6 hari adalah asfiksia (36 persen), prematur (32
persen) dan sepsis (12 persen). Faktor ibu yang berperan terhadap kematian perinatal adalah
ketuban pecah dini (23 persen), hipertensi maternal (22 persen), komplikasi kehamilan dan
kelahiran (16 persen), gangguan nutrisi (10 persen) . Untuk penanganan masalah perinatal harus
difokuskan terhadap perbaikan kondisi kesehatan bayi sejak konsepsi dan pertumbu-hannya dalam
rahim, peningkatan nutrisi dan kesehatan ibu, serta pertolongan persalinan dengan standar mutu
yang baik untuk ibu maupun bayi baru lahir . Berarti, peningkatan kualitas PONED dan PONEK
dituntut semakin tinggi seiring dengan besar-nya masalah kematian perinatal yang dihadapi.

Faktor penyulit persalinan, penyakit yang diderita bayi, maupun perawatan bayi di rumah,
kondisi ibu saat hamil. Ini terbukti menurut data yang diperoleh bahwa faktor penyebab kematian
sangat beragam seperti melahirkan sungsang, kelainan sejak dalam kandungan, kondisi ibu saat
hamil yang menyebabkan bayi prematur, BBLR, dan asfiksia.

Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Dengan jarak kelahiran yang kurang dari 2 tahun, kesehatan
fisik dan rahim ibu masih butuh cukup istirahat dan ada kemungkinan ibu masih menyusui.

Informasi yang berhubungan dengan perawatan kehamilan sangat dibutuhkan oleh semua
ibu hamil dan keluarganya. Sebagian besar tingkat pendidikan ibu tamat SMA. Adapun fenomena
yang ditemukan di lapangan berkaitan dengan tingkat pendidikan yaitu anak yang dilahirkan
merupakan anak pertama yang dimiliki oleh ibu dengan usia<20 tahun dan usia ideal (21-34 tahun).
Meskipun pendidikan cukup tinggi, jika dilihat menurut usia, kemungkinan pengetahuan ibu
mengenai kehamilan masih sangat rendah dan tidak cukup waktu untuk mencari pelayanan
semaksimal mungkin. Sehingga ibu kurang memperhatikan kondisinya saat hamil. Kebiasaan ibu
yang menganggap bahwa kehamilan merupakan hal biasa memiliki riwayat pendidikan yang rendah
serta ekonomi yang rendah. Sehingga faktor tersebut secara tidak langsung diduga dapat
mempengaruhi kehamilan, proses persalinan dan pasca persalinan.

Menyusui sebaiknya dilakukan setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir)
karena daya hisap pada saat itu paling kuat untuk merangsang pengeluaran ASI selanjutnya
(Kamila, 2005). Pada kasus kematian bayi hampir semua bayi tidak mendapatkan ASI. Hal tersebut
diakibatkan karena ASI yang belum keluar sama sekali saat bayi sudah lahir, ASI yang diproduksi
sangat lancar namun bayi tidak sempat diberi ASI, serta bayi mendapatkan campuran susu formula
dari pihak rumah sakit.Penyebab ASI yang tidak bisa keluar diduga karena bayi lahir prematur
sehingga kondisi fisik maupun psikologisnya dapat mempengaruhi pengeluaran ASI, ibu sedang
menderita sakit, ibu yang mengalami depresi, cemas sedang ada masalah, mulut bayi yang kecil
serta kurang mendapat dukungan dari suami atau keluarganya dalam menyusui bayinya. Sehingga
ASI yang diproduksinya kurang lancar atau bahkan tidak bisa keluar sama sekali.

Pola pengasuhan bayi yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi, pada hasil
penelitian menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI dengan tingkat pendidikan rendah
ataupun tinggi hasilnya tidak jauh berbeda. Pada tingkat pendidikan ibu, baik rendah ataupun tinggi,
tidak menjamin bahwa pengetahuan ibu tentang pola pengasuhan bayi sudah cukup baik. Disisi lain
informasi yang diberikan petugas kesehatan seputar kehamilan, terutama mengenai ASI tidak jelas
dan kurang lengkap.

Jika dibandingkan dengan kelompok umur yang lain kematian pada kelompok umur 0-4 tahun
cukup tinggi, hal ini dikarenakan dua faktor utama yaitu faktor ibu dan faktor bayi itu sendiri.

2. Angka kematian pada kelompok umur 5-9 tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 3,80 kematian dan perempuan 3,80 kematian per 1000
penduduk pada kelompok umur 5-9 tahun. Tingkat kematian laki-laki dan perempuan pada
kelompok umur ini sama.Jikadilihat dari kelompok umur sebelumnya pada kelompok umur 5-9
tahun angka kematian mengalami penurunan yang cukup tinggi.Dapat dikatakan angka harapan
hidup mengalami kenaikan. Semakin bertambahnya Angka Harapan Hidup itu berarti perlu adanya
peranpemerintah di dalam menyediakan fasilitas seperti pendidikan, kesehatan dsb, perlunya
perhatian keluarga dan pemerintah didalam penyediaan gizi yang memadai bagi anak-anak (Balita)
agar angka harapan hidup bayi terus meningkat.

3. Angka kematian pada kelompok umur 10-14tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 2,20 kematian dan penduduk perempuan 2,30 kematian
per 1000 penduduk pada kelompok umur 10-14 tahun. Tingkat kematian anatara penduduk laki-laki
dan perempuan hampir sama. Jika dilihat dari kelompok umur sebelumnya angka kematian pada
kelompok umur 10-14 tahun mengalami penurunan yang juga berarti angka harapan hidup terus
mengalami peningkatan.Semakin bertambahnya Angka Harapan Hidup itu berarti perlu adanya
peranpemerintah di dalam menyediakan fasilitas seperti pendidikan, kesehatan dsb.

4. Angka kematian pada kelompok umur 15-19tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 3,30 kematian dan penduduk perempuan 3,29 kematian
per 1000 penduduk pada kelompok umur 15-19 tahun. Tingkat kematian anatara penduduk laki-laki
dan perempuan dapat dikatakan sama.Memang sedikit mengalami kenaikan dari kelompok umur
10-14 tahun tetapi angka kematian pada kelompok umur ini masih dapat dikatakan rendah yang
juga berarti angka harapan hidup terus mengalami peningkatan.Semakin bertambahnya Angka
Harapan Hidup itu berarti perlu adanya peranpemerintah di dalam menyediakan fasilitas seperti
pendidikan, kesehatan, serta penyediaan lapangan kerja.

5. Angka kematian pada kelompok umur 20-24tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 5,00 kematian sedangkan penduduk perempuan 4,20
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 20-24 tahun.Tingkat kematian anatara penduduk
laki-laki dan perempuan sedikit mengalami perbedaan yaitu tingkat kematian penduduk laki-laki
sedikit lebih besar dibandingkan penduduk perempuan.Pada usia produktif ini angka kematian
mengalami sedikit peningkatan dari kelompok umursebelumnya dan masih dapat dikatakan angka
harapan hidup masih cukup tinggi. Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia produktif ini
yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk permukiman serta
fasilitas rekreasi/wisata.

6. Angka kematian pada kelompok umur 25-29tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 5,00 kematian dan penduduk perempuan 4,60 kematian
per 1000 penduduk pada kelompok umur 25-29 tahun.Tingkat kematian anatara penduduk laki-laki
dan perempuan sedikit mengalami perbedaan yaitu tingkat kematian penduduk laki-laki sedikit
lebih besar dibandingkan penduduk perempuan. Pada usia produktif ini angka kematian hampir
sama dengan kelompok umur sebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan hidup masih
cukup tinggi. Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia produktif ini yaitu penyediaan
lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk permukiman serta fasilitas
rekreasi/wisata.

7. Angka kematian pada kelompok umur 30-34tahun :

Penduduk laki-laki 5 kematian dan penduduk perempuan 5 kematian per 1000 penduduk pada
kelompok umur 30-34 tahun. Pada usia produktif ini angka kematian hampir sama dengan
kelompok umur sebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan hidup masih cukup
tinggi.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba
biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh darah otak. Selain itu juga beberapa
penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan
lalu lintas, kanker paru-paru dsb. Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia produktif ini yaitu
penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan, lahan untuk permukiman serta fasilitas
rekreasi/wisata.

8. Angka kematian pada kelompok umur 35-39tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 6,20 kematian sedangkan penduduk perempuan 5,40
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 35-39 tahun. Tingkat kematian anatara
penduduk laki-laki dan perempuan sedikit mengalami perbedaan yaitu tingkat kematian penduduk
laki-laki sedikit lebih besar dibandingkan penduduk perempuan.Pada usia produktif ini angka
kematian mengalami sedikit peningkatan dari kelompok umur sebelumnya dan masih dapat
dikatakan angka harapan hidup masih cukup tinggi.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-
50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh darah
otak. Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran
pernapasna kronis, kecelakaan lalu lintas, kanker paru-paru dsb. Peranan pemerintah yang
dibuuhkan pada usia produktif ini yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan,
lahan untuk permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.

9. Angka kematian pada kelompok umur 40-44tahun :

Tingkat kemaatian penduduk laki-laki 7,90kematian sedangkan penduduk perempuan 6,10


kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 40-44 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki sedikit lebih besar dibandingkan tingkat kematian penduduk perempuan.Pada usia produktif ini
angka kematian mengalami sedikit peningkatan dari kelompok umur sebelumnya dan masih dapat
dikatakan angka harapan hidup masih cukup tinggi.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-
50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh darah
otak. Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran
pernapasna kronis, kecelakaan lalu lintas, kanker paru-paru dsb. Peranan pemerintah yang
dibutuhkan pada usia produktif ini yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan,
lahan untuk permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.

10. Angka kematian pada kelompok umur 45-49tahun :

Tigkat kematian penduduk laki-laki 10,10 kematian sedangkan penduduk perempuan 7,10
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 45-49 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki lebih besar dibandingkan tingkat kematian penduduk perempuan.Kematian yang terjadi pada
kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan
pecahnya pembuluh darah otak. Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik usia dewasa
diabetes, asma, penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan lalu lintas, kanker paru-
paru dsb.Pada kelompok umur 45-49 tahun ini mengalami sedikit peningkatan angka
kematian.Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007),penyebab kematian nomor 6 dari semua
kelompok umur adalah diabetes melitus. Angka kematian penderita diabetes melitus pada kelompok
umur 45-54tahun di daerah perkotaan mencapai 14,7% dan di pedesaan sekitar 5,8%. Penyakit
diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang mengalami kenaikan jumlah penderita
terus-menerus dari tahun ke tahun selain itu penyakit yang juga paling banyak diderita seperti ISPA
(infeksi saluran pernafasan atas), diare, demam berdarah, malaria, difteri, penyakit kulit, hipertensi,
penyakit lambung dan jantung (kardiovaskuler).

11. Angka kematian pada kelompok umur 50-54tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 13,80 kematian sedangkan penduduk perempuan 9,70
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 50-54 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki lebih besar dibandingkan tingkat kematian penduduk perempuanPada kelompok umur 50-54
tahun inihampir sama dengan kelompok umur sebelumnya yang mengalami sedikit peningkatan
angka kematian.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi secara tiba-
tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh darah otak. Selain itu juga beberapa
penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan
lalu lintas, kanker paru-paru dsb.Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007), penyebab
kematian nomor 6 dari semua kelompok umur adalah diabetes melitus. Angka kematian penderita
diabetes melitus pada kelompok umur 45-54 tahun di daerah perkotaan mencapai 14,7% dan di
pedesaan sekitar 5,8%. Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang
mengalami kenaikan jumlah penderita terus-menerus dari tahun ke tahun selain itu penyakit yang
juga paling banyak diderita seperti ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), diare, demam berdarah,
malaria, difteri, penyakit kulit, hipertensi, penyakit lambung dan jantung (kardiovaskuler).

12. Angka kematian pada kelompok umur 55-59tahun :


Tingkat kematian penduduk laki-laki 19,20 kematian sedangkan penduduk perempuan 13.61
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 55-59 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki lebih besar dibandingkantingkat kematian penduduk perempuan Pada kelompok umur 55-59
tahun ini hampir sama dengan kelompok umur sebelumnya yang mengalami sedikit peningkatan
angka kematian. Penyakit penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit
sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak), selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka
kematian untuk penyakit infeksi dan pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan
Pada tahun 2000 terjadi perubahan penyebab kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi
menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian
di Indonesia berada dalam proses transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi.
Pemerintah dihadapkan pada beban ganda dalam menangani penyebab kematian yang merupakan
masalah kesehatan masyarakat, dimana pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit
infeksi dan penyakit non-infeksi.

13. Angka kematian pada kelompok umur 60-64tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 28,28 kematian sedangkan penduduk perempuan 21,80
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 60-64 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki lebih besar dibandingkan tingkat kematian penduduk perempuan.Pada kelompok umur 60-64
tahun ini mengalami peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak),
selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk penyakit infeksi dan
pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan
penyebab kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan
pembuluh darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah dihadapkan pada beban
ganda dalam menangani penyebab kematian yang merupakan masalah kesehatan masyarakat,
dimana pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

14. Angka kematian pada kelompok umur 65-69tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 41,30 kematian sedangkan penduduk perempuan 34,40
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 65-69 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki lebih besar dibandingkantingkat kematian penduduk perempuan.Pada kelompok umur 65-69
tahun ini mengalami peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak),
selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk penyakit infeksi dan
pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan
penyebab kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan
pembuluh darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah dihadapkan pada beban
ganda dalam menangani penyebab kematian yang merupakan masalah kesehatan masyarakat,
dimana pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

15. Angka kematian pada kelompok umur 70-74tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 63,00 kematian sedangkan penduduk perempuan 55,70
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 70-74 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki lebih besar dibandingkantingkat kematian penduduk perempuan Pada kelompok umur 70-74
tahun ini mengalami peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya. Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak),
selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk penyakit infeksi dan
pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan
penyebab kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan
pembuluh darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah dihadapkan pada beban
ganda dalam menangani penyebab kematian yang merupakan masalah kesehatan masyarakat,
dimana pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

16. Angka kematian pada kelompok umur 75-79tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 93,50 kematian sedangkan penduduk perempuan 85,40
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 75-79 tahun. Tingkat kematian penduduk laki-
laki lebih besar dibandingkantingkat kematian penduduk perempuan. Pada kelompok umur 75-79
tahun ini mengalami peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak),
selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk penyakit infeksi dan
pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan
penyebab kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan
pembuluh darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah dihadapkan pada beban
ganda dalam menangani penyebab kematian yang merupakan masalah kesehatan masyarakat,
dimana pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

17. Angka kematian pada kelompok umur 80+tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 200,01 kematian sedangkan penduduk perempuan 199,99
kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 80+ tahun. Tingkat kematian penduduk laki-laki
hampir sama dengantingkat kematian penduduk perempuan. Pada kelompok umur 80+ tahun ini
mengalamipeningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit penyebab
utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak), selanjutnya
penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk penyakit infeksi dan pernapasan lebih
tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan penyebab
kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh
darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses transisi
epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah dihadapkan pada beban ganda
dalam menangani penyebab kematian yang merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana
pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Tingkat kematian awalnya pada kelompok umur 0-4 tahun cukup
tinggi (lebih tinggi daripada kelompok umur 65-69 tahun), kemudian mengalami penurunan yang
cukup drastis pada kelompok umur berikutnya dan angka harapan hidup perlahan mulai meningkat
di setiap kelompok umurnyahingga tingkat kematian tertinggi pada kelompok umur 80+. Tingkat
kematian antara penduduk laki-laki dan perempuan lebih tinggi tingkat kematian pada penduduk
laki-laki walaupun ada beberapa yang tingkat kematian antara penduduk laki-laki dan perempuan
sama.
Tetapi, tingginya tingkat kematian penduduk laki-laki tersebut dibandingkan penduduk
perempuan berbanding lurus dengan jumlah kematian penduduk laki-laki yang memang lebih tinggi
daripada jumlah kematian penduduk perempuan.

5.Proses Keperawatan dan kehilangan, kematian , serta duka cita.

Anak tertua

NO Data (DO/DS) Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan (NOC) (NIC)
1 DO: Duka Cita b/d Kesedihan : Peningkatan Koping
- Memelihara Kematian orang kesedihan yang - Bantu klien
hubungan dengan terdekat dirasakan saat dalam
almarhum (merawat berduka cita mengidentifikasi
dan mengatur serta (1/4 dari sedih tujuan jangka
mengunjugi keluarga) berat menjadi pendek dan
- Distres (merindukan sedih ringan) jangka panjang
dan menangis - Dukung pasien
sesekali) untuk
mengidentifikasi
DS : deskripsi yang
- realistik terhadap
adanya
perubahan dalam
peran
- Berikan suasana
penerimaan
Anak Bungsu

NO Data (DO/DS) Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan (NOC) (NIC)
1 DO: Duka Cita Kesedihan : Peningkatan Koping
- Menghindari Terganggu b/d kesedihan yang - Bantu klien
berduka Kematian orang dirasakan saat dalam
(Kesulihatan terdekat berduka cita (1/4 mengidentifikasi
menghadiri dari sedih berat tujuan jangka
pemakamam) menjadi sedih pendek dan
- Penurunan fungsi ringan) jangka panjang
peran dalam hidup - Dukung pasien
(tidak dapt untuk
berkonsentrasi dalam mengidentifikasi
bekerja) deskripsi yang
- Tidak percaya/Tidak realistik terhadap
menerima kematian adanya
(tidak percaya perubahan dalam
bahwa ibunya peran
meninggal) - Berikan suasana
- Distres perpisahan penerimaan

DS:
-
2. DO: Ketidakefektifan Kegelisahan :
- Ketidakmapuan koping b/d Kegelisahan yang
memenuhi ketidakadekuatan dirasakan saat Dukungan emosional :
kebutuhan dasar kesempatan untuk berduka cita (1/4 - Diskusikan
(tidak dapat tidur bersiap terhadap kegelisahan dari dengan klien
dan tidak dapat stressor. berat menjadi tentang
makan) ringan) emosinya
- Perubahan - Buat pernyataan
konsentrasi (tidak yang mendukung
dapat berkonsentrasi dan berempati
dalam bekerja) - Dorong klien
untuk
mengekspresikan
presaan sedih,
cemas, dan
marah

Anak Tengah

NO Data (DO/DS) Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan (NOC) (NIC)
1. DO: Ketidakefektifan Memisahkan diri : Dukungan emosional :
- Perubahan pola koping b/d memisahkan diri dari - Buat pernyataan
komunikasi (tidak ketidakadekuatan sosial saat berduka yang mendukung
banyak bicara atau kesempatan untuk cita (1/4 memisahkan dan berempati
kerabat lainnya) bersiap terhadap diri yang berat - Temani dan
- Perubahan stressor. menjadi ringan0 berikan jaminan
konsentrasi keamanan dan
- Letih (sangat lelah keselamatan
dan tidak selama periode
bersemangat) cemas
- Rangkul dan
sentuh klien
DS: dengan penuh
- dukungan
Implementasi Keperawatan

Anak tertua

NO Hari, tanggal , jam Diagnosa Implementasi


Keperawatan
1 16-xx-20xx Duka Cita b/d Peningkatan Koping
Jam xx.xx WITA Kematian orang - Dalam 2 X 24 jam
terdekat perawat membantu
klien dalam
mengidentifikasi tujuan
jangka pendek dan
jangka panjang
- Dalam 1 X 24 Jam
perawat memantu
mendukung pasien
untuk mengidentifikasi
deskripsi yang realistik
terhadap adanya
perubahan dalam peran
- Dalam 1 x 24 jam
Berikan suasana
penerimaan

Anak Bungsu

NO Hari, Tanggal, Jam Diagnosa Implementasi


Keperawatan
1 17-xx-20xx Duka Cita Terganggu Peningkatan Koping
Jam xx.xx WITA b/d Kematian orang - 2 X 24 jam perawat
terdekat membantu klien dalam
mengidentifikasi tujuan
jangka pendek dan
jangka panjang
- 1 X 24 jam perawat
mendukung pasien
untuk mengidentifikasi
deskripsi yang realistik
terhadap adanya
perubahan dalam peran
- 1 X 24 jam Berikan
suasana penerimaan
kepada pasien
2 1x-xx-20xx Ketidakefektifan Dukungan emosional :
Jam xx.xx WITA koping b/d 1 X 24 jam Diskusikan
ketidakadekuatan dengan klien tentang
kesempatan untuk emosinya
bersiap terhadap
stressor.

Anak Tengah
NO Hari, Tanggal, Jam Diagnosa Implementasi
Keperawatan
1 1x-xx-20xx Ketidakefektifan Dukungan emosional :
Jam xx.xx WITA koping b/d - 1x 24 jam Buat
ketidakadekuatan pernyataan yang
kesempatan untuk mendukung dan
bersiap terhadap berempati
stressor. - 2 x 24 jam
Temani dan
berikan jaminan
keamanan dan
keselamatan
selama periode
cemas
- 1 x 24 jam
Rangkul dan
sentuh klien
dengan penuh
dukungan

Evaluasi
Pada evaluasi ini kami melakukan tindakan keperawatan mengambil dari jurnal proses
berduka akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh lansia di kabupaten Ngada. Pada
evaluasi ini di peroleh data bahwa proses berduka yg dialami anak2 ny. (Kd ingt ngaran nya)
berbeda-beda. Dengan penggunaan implementasi yg berpacu pada nic noc Diharapkan dapat
mengatasi diagnosa di masing2 anak Ny...bersosialisasi lebih sering dan lebih intensif melalui
berbagai cara yang masih dapat dilakukannya, baik itu dengan tetangga di lingkungan tempat
tinggalnya maupun dengan kerabat-kerabatnya. Kegiatan ini ditujukan agar klien/anak2 Ny.... tidak
terlalu terfokus pada peristiwa kematian yang telah terjadi dan perlahan-lahan dapat menerima
peristiwa kematian sebagai sesuatu yang wajar dan memang sudah seharusnya terjadi ini kami
ambil Dari jurnal proses berduka akibat kematian org yg di cintai yg dialami oleh lansia di kab.
Ngada
a. Klien mampu mengungkapkan perasaannya secara spontan
b. Klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan terhadap kehilangan
c. Klien dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain
d. Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah akibat kehilangan
e. keluarga bisa dapat berkomunikasi dengan keluarganya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,


Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Djaja, Sarimawar, Agus Suwandono, Soeharsono Soemantri, 2003, “Pola penyakit


penyebab kematian di perkotaan dan pedesaan di Indonesia, Studi Mortalitas Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001”.Mei-Agustus 2003, Vol.22 No.2

Sanusi, Sri Rahayu,SKM,Mkes., 2003, “Masalah Kependudukan di Negara


Indonesia”. Digited by USU Digital Library.

Sumber : Kristanto, Erwin, Tjahjanegara Winardi. Kematian Mendadak


(Sudden natural Unexpected Death ).2013

Lestari D R, Ifa H. 2017. Buku Panduan Praktikum Komunikasi Keperawatan II.


Banjarbaru

Julian Fritz Chesar P S, dkk . 2014 . PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN


ORANG YANG DICINTAI YANG DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN
NGADA . Vol.2
PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN
KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN DAN BERDUKA

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok II

Nurfiqri Ilham Zulfikar 1610913110012

Surya Anggi Pratama 1610913110016

Muhammad Hasan 1610913310024

Rika Divianty 1610913220017

Rismayanti Maimunah 1610913220018

Laila Rahmaniah 1610913120007

Ni Luh Eviana Charenina 1610913120009

Shanisa Mairestika 1610913320037

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Dosen Pengampu :

Kelompok : II (Dua)

Nama Anggota : Nurfiqri Ilham Zulfikar 1610913110012

Surya Anggi Pratama 1610913110016

Muhammad Hasan 1610913310024

Rika Divianty 1610913220017

Rismayanti Maimunah 1610913220018

Laila Rahmaniah 1610913120007

Ni Luh Eviana Charenina 1610913120009

Shanisa Mairestika 1610913320037

Banjarbaru, 13 Maret 2018

Ifa Hafifah, Ns., M.Kep


BAB I
KASUS
Case Study
Topik: Konsep Kehilangan, Kematian, dan Berduka

Nyonya Nurul, 75 tahun, dirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia


berulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondsinya memburuk dan dia
meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya,
yang tinggal di dekatnya dan sering merawat ibunya, mengatur pemakaman dan
mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tapi berhasil
kembali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan untuk
menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat berkonsentrasi
di tempat kerja, dan tidak percaya bahwa ibunya meninggal. Anak tengah tidak
menangis saat pemakaman dan tidak banyak bicara kepada saudara laki-lakinya
atau kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang terletak di kota lain dan
kembali bekerja tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.

Diskusikan mengenai:
1) Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-
masing anak yang masih hidup ?
2) Faktor apa saja yang mungkin mempengaruhi reaksi masing-masing anak
terhadap kematian ibu mereka ?
3) Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan ndikasi bahwa nyonya Nurul
sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga ?
4) Bagaimanakah perkemabangan konsep kematian berdasarkan usia ?
5) Proses keperawatan da kehilangan, kematian, serta duka cita ?
BAB II
LAPORAN HASIL STUDI KASUS

1) Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-


masing anak yang masih hidup ?
Kematian merupakan akhir dari tahap kehidupan manusia. Setiap orang yang
hidup akan mengalami kematian. Ketidakpastian tentang kematian itu sendiri
menimbulkan rasa takut pada diri manusia. Demikian juga dengan kematian salah
satu anggota keluarga ataupun teman dekat, akan menimbulkan rasa duka cita
bagi orang yang ditinggalkannya. Menurut Dr. Elisabeth Kubler-Ross, seorang
psikiatri dari Swiss, Ada lima fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika
mengalami duka cita akibat kematian salah seorang anggota keluarga atau teman
dekat yaitu shock, denial, anger, mourning dan recovery.

1. Shock (Terkejut)

Adalah fase dimana seseorang merasa terkejut dan tidak percaya dengan kabar
kematian yang didengar. Dalam dirinya mengatakan “Tidak”, ini tidak boleh dan
tidak mungkin terjadi.

2. Denial (Penyangkalan)

Adalah fase dimana seseorang merasa kematian keluarga atau teman dekatnya
hanyalah mimpi buruk saja, dan bukan merupakan suatu kenyataan. Menurut
Kubler-Ross, kata ‘meninggal’ merupakan suatu kata yang memperhalus kata
‘mati’ sebagai produk dari budaya masyarakat yang menyangkal kematian.

3. Anger (Kemarahan)

Adalah fase dimana seseorang tidak terima dengan kematian dan mulai
menyalahkan semua pihak yang menyebabkan itu terjadi.

4. Mourning (Berkabung)

Menurut Kubler-Ross, Fase ini merupakan fase yang berlangsung cukup lama,
bisa berlangsung dalam beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun. Perasaan
depresi, rasa bersalah, rasa kehilangan, kesepian, panik dan menangis tanpa
pemicu yang jelas bisa saja ditampakkan dalam fase ini, bahkan bisa
termanifestasi dalam penyakit fisik ringan.

5. Recovery (Pemulihan)

Menurut beberapa orang, kondisi setelah kehilangan seseorang karena kematian


tidak bisa dipulihkan karena kematian telah mengubah hidup mereka selamanya
dan tidak bisa mengembalikan situasi kembali seperti sebelumnya. Namun
demikian rasa sakit akibat kematian akan berkurang seiring dengan berjalannya
waktu.

Berdasarkan pengalaman melayani para pasien yang menderita penyakit


mematikan selama bertahun-tahun, psikiater Elizabeth Kubler Ross dalam
bukunya On Death and Dying mengemukakan teori yang dikenal sebagai Five
Stages of Death (Lima Tahap Kematian). Meskipun kelima tahap tersebut dipakai
untuk menyelami aneka perasaan pasien yang akan menghadapi kematian, dalam
perkembangan selanjutnya banyak orang mengaplikasikan teori tersebut untuk
memahami permasalahan hidup lainnya, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan
orang karena kematian, perceraian, dan lain-lain (Andew Abdi Setiawan, 2009).
Teori yang dikemukakan oleh Elizabeth Kubler, yaitu (Moyle & Hogan 2006):
a) Menyangkal (Denial)
Pada tahap ini individu bertindak seperti tidak terjadi sesuatu dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan yang
nampak dalam tahap ini, seperti “Tidak, tidak mungkin ini terjadi pada saya!”.
Respon fisiologis yang terjadi berupa kelemahan otot, gemetaran, menghela nafas,
kulit dingin, pucat, dan berkeringat banyak.
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
mendukung kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan, menawarkan diri
untuk tetap bersama pasien atau keluarga (tanpa memberikan solusi kecuali jika
pasien atau keluarga memulainya, sehingga dalam hal ini perawat berperan
menjadi pendengar yang aktif), menawarkan pasien atau keluarga perawatan dasar
seperti makanan, minuman, oksigenasi, kenyamanan, dan keamanan.
b) Marah (Anger)
Pada tahap ini individu melawan kehilangan dan dapat bertindak pada
seseorang dan segala sesuatu di lingkungan sekitarnya. Individu dapat
mengekspresikan marah dan ditujukan kepada keluarga, staf, perawat, dokter,
maupun Tuhan. Jika terjadi kematian, keluarga mungkin mengekspresikan marah
kepada pasien yang telah meninggal.
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
memberikan dorongan kepada pasien atau keluarga untuk mengekspresikan
perasaan mereka. Perawat hendaknya tidak mengambil hati akibat kemarahan
yang dilontarkan pasien atau keluarga.

c) Tawar Menawar (Bargainning)


Pada tahap ini terjadi penundaan realitas kehilangan. Individu berupaya untuk
membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah
kehilangan. Pasien atau keluarga seringkali mencari pendapat orang lain selama
tahapan ini. Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
memberikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan.
d) Depresi (Depression)
Pada tahap ini kehilangan sudah disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan. Respon yang dialami pasien atau keluarga pada tahap ini adalah
merasa sangat kesepian, kebingungan, kurang motivasi, menangis, menarik diri,
atau melakukan perilaku yang tidak sehat (seperti bunuh diri).
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
memberikan dukungan dan empati. Mendukung respon menangis dengan
memberikan sentuhan yang mengomunikasikan kepedulian, mendengarkan
dengan penuh perhatian, mengkaji resiko yang membahayakan diri, serta jika
diperlukan dapat merujuk ke tenaga profesional kesehatan mental.
e) Penerimaan (Acceptance)
Pada tahap ini telah tercapai penerimaan. Reaksi fisiologis dan interaksi sosial
berlanjut. Pada tahap ini lebih menunjukkan sikap menghadapi situasi
dibandingkan menyerah untuk pasrah atau putus asa.
Tugas perawat dalam berkomunikasi terapeutik pada tahap ini adalah
membantu pasien atau keluarga mendiskusikan rencana masa mendatang.

Berdasarkan kasus, dari ketiga anak tersebut fase fase yang dialami adalah sebagai
berikut:

1. anak tertua

Anak tertua adalah orang yang tinggal dekat dan sering merawat ibunya, dia
merindukan ibunya dan sesekali menangis, namun dapat kembali bekerja di
minggu berikutnya. Dia pula yang mengatur pemakaman serta mengunjungi
kerabat. Dalam kasus ini, anak tertua adalah yang bersikap paling dewasa diantara
adik adiknya, dia cenderung lebih dapat menerima kondisi yang dialami meskipun
sesekali dia menangis. Anak tertua berada di fase berkabung, ditandai dengan
kondisinya yang masih merindukan ibunya dan sesekali menangis. Namun anak
tertua sudah berproses ke fase recovery, karena anak tertua sudah mampu bekerja
pada minggu berikutnya.

2. Anak tengah

Anak tengah tidak menangis saat menghadiri pemakaman, dan tidak banyak
bicara pada saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya. Dalam hal ini,
kemungkinan yang terlihat adalah anak tengah berada pada fase shock, sehingga
belum mampu menunjukkan ekspresi kehilangannya. Anak tengah kemudian
masuk kedalam fase berkabung, hal ini ditandai dengan anak tengah yang masih
merasa lelah dan tidak bersemangat bekerja pada minggu berikutnya saat ia
kembali kerumahnya di kota lain.

3. Anak bungsu

Anak bungsu mengalami kesulitan dalam menghadiri pemakaman, tidak dapat


tidur atau makan, sulit berkonsentrasi ditempat kerja dan tidak percaya bahwa
ibunya sudah meninggal. Dalam hal ini, anak bungsu adalah anak yang paling
belum bisa menerima kondisinya sekarang. Anak bungsu mengalami fase shock,
dimana dia masih terkejut dengan kepergian ibunya yang secara tiba tiba, dan
kemudian masih berada pada fase denial, dimana dia masih belum bisa menerima
keadaan bahwa ibunya telah meninggal.

2) Faktor apa saja yang mungkin mempengaruhi reaksi masing-masing anak


terhadap kematian ibu mereka ?
Faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut :
a. Perkembangan Manusia (Usia)
Usia klien dan tahap perkembangan sangat mempengaruhi respon terhadap
berduka. Individu biasanya tidak mengalami kehilangan orang yang dicintai pada
interval yang teratur. Akibatnya, Pengalaman terhadap situasi ini sulit untuk
dilakukan.
b. Hubungan personal ( sistem pendukung )
Ketika rasa kehilangan melibatkan individu lain, kualitas dan arti
hubungan yang hilang akan mempengaruhi respon terhadap berduka. Ketika suatu
hubungan antara dua individu telah menjadi sangat dekat dan terjalin dengan baik,
maka dapat dimengerti bahwa individu yang masih hidup sulit untuk melanjutkan
hidupnya.
Dari hal di atas kehadiran orang terdekat individu yang sedang berduka
seringkali menjadi aorang pertama yang mengetahui dan memberikan bantuan
emosional, fisik, dan fungsional yang dibutuhkan. Namun, karena banyak orang
yang tidak berpengalaman dalam mengatasi kehilangaan, orang yang biasanya
mendukung malah menarik diri dari individu yang berduka.
c. Makna Kehilangan ( Sifat Rasa Kehilangan )
Makna kehilangan setiap orang berbeda, itu semua tergantung pada
persepsi masing – masing individu saat mengalami kehilangan. Sejumlah faktor
yang mempengaruhi makna kehilangan antara lain: makna orang, dan objek yang
hilang, perubahan yang harus dilakukan karena kehilangan, dan keyakinan yang
dianut oleh seseorang.
d. Strategi Koping
Pengalaman hidup membentuk strategi koping yang digunakan seseorang
untuk mengatasi tekanan karena rasa kehilangan.
Pengungkapan emosi (pelepasan, atau membicarakan tentang perasaan seseorang)
telah dipandang sebagai cara yang penting untuk beradaptasi dengan rasa
kehilangan.
e. Status Sosial dan Ekonomi
Status sosial dan ekonomi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
memasukkan dukungan dan sumber daya untuk beradaptasi dengan rasa
kehilangan dan respon fisik terhadap tekanan. Ketika individu kekurangan sumber
daya finansial, pendidikan, dan pekerjaan, beban kehilangan akan menjadi
berlipat.
f. Penyebab Kehilangan dan Kematian
Pandangan individu dan masyarakat mengenai penyebab kehilangan atau
kematian dapat secara bermakna mempengaruhi respon berduka. Karena
kehilangan atau kematian di luar kendali orang yang terlibat mungkin lebih
diterima dibandingkan dengan kehilangan atau kematian yang dapat dicegah.
g. Kepercayaan dan Pengaruh Spiritual
Keyakinan dan praktik spiritual sangat mempengaruhi reaksi seseorang
terhadap kehilangan dan perilaku yang ditimbulkannya.
Penanganan penyakit secara serius pada klien biasanya melibatkan intervensi
medis untuk memulihkan atau menjaga kesehatan. Sebagai rangkaian praktik
kedua, mengakui keterbatasan hidup, dan membantu individu yang sekarat
menemukan arti dalam penderitaan sehingga mereka dapat melampaui atau
melangkah lebih ke depan dengan senantiasa percaya dan tidak takut pada
kematian karena berlandaskan kepada keyakinan atau kepercayaan yang dianut
masing – masing orang.
h. Harapan
Pengharapan memberikan individu kemampuan untuk melihat bahwa
kehidupan adalah suatu keabadian yang memiliki arti serta tujuan. Sebagai suatu
bentuk dorongan atau motivasi. Harapan, membantu pasien mempertahankan
suatu keinginan yang baik, dan pengurangan terhadap sesuatu yang tidak
menyenangkan. Dengan harapan, seorang pasien berpindah dari perasaan lemah,
menuju ke kehidupan yang penuh kesenangan.
3) Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan ndikasi bahwa nyonya Nurul
sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga ?
Proses psiko-somatis yang melibatkan seluruh jiwa dan raga dari pasien disebut
kematian. Maka dari itu terdapat tanda-tanda psikis dan somatis yang
menunjukkan bahwa kejadian kematian itu telah makin mendekat. Berikut
tanda-tandanya sebagai berikut:
1. Tanda-tanda Psikis
Tanda- tanda psikis berupa : Disorientasi mental: kekacauan dan kekeliruan
dalam daya pemikiran, perasaan dan pengamatannya. Ia bisa mengalami tiga
gejala yaitu ilusi, halusinasi dan delusi. Ketiga gejala tersebut timbul karena
kondisi mental pasien yang makin menurun hingga ia kerap berada dalam
kondisi setengah sadar, seakan-akan sedang setengah bermimpi. Berikut
penjelasan mengenai tiga gejala sebagai berikut:
a) Ilusi adalah kesalahan dalam membaca/mentafsirkan kesan atau stimulus
indrawi eksternal. Misalnya: bunyi angin dipersepsi sebagai suara orang
menangis, harum parfum sebagai bau mayat, rasa gatal sebagai adanya serangga
di balik selimut, ada cacing kecil dalam gelas susu dan lain-lain. Dalam
kehidupan normal, kita juga bisa mengalami ilusi indrawi semacam itu, namun
pada umumnya kita bisa segera melakukan koreksi. Dalam diri pasien yang
terminal, kemampuan untuk mengkoreksi-diri itu telah menurun/menghilang
hingga ilusi itu bisa sungguh terasa sebagai real.
b) Halusinasi adalah produk internal imaginasi kita sendiri. Contohnya dari
bayangan/gambaran yang halusioner adalah gambaran-gambaran yang muncul
saat kita bermimpi atau berada dalam pengaruh narkoba. Mungkin karena
pengaruh obat penenang dan kegalauan emosional yang dirasakannya, pasien
sering nampak mendapat halusinasi tertentu seperti ia seakan-akan melihat atau
berbicara dengan orang-orang tertentu yang tidak ada di sekitarnya, termasuk
juga berbicara/melihat orang-orang yang sudah meninggal dunia. Beberapa
orang yang menganut paham spiritisme (komunikasi dengan roh) mentafsirkan
gejala ini sebagai terkaitnya antara alam fana dengan alam baka. Persepsi
halusioner ini bisa terungkap secara fisik juga: pasien menjadi tegang dan
gelisah (agitasi), ia menggerak-gerakan anggota badannya secara kacau tak
menentu, seakan-akan seperti hendak mengusir, menghindar atau menjangkau
sesuatu atau ia terengah-engah mencengkram ujung seprai atau selimutnya erat-
erat dan lain sebagainya.
c) Delusi adalah produk dari pemikiran yang salah. Dimana disini pasien bisa
mendadak mengambil keputusan bahwa ia sudah sembuh, lalu berusaha turun
dari ranjang dan menolak segala bantuan medis atau pemikiran lainnya ia akan
sembuh bila pergi ke tempat/orang/obat keramat tertentu padahal kondisinya
jelas tidak memungkinkan. Ringkasnya, pikiran dan perbuatannya bisa nampak
irasional dan sebagainya.

2. Bagaimanakah perkemabangan konsep kematian berdasarkan usia ?


Angka kematian pada kelompok umur 0-4 tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 48,42 kematian sedangkan perempuan 44,98


kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 0-4. Dapat dilihat kematian
penduduk laki-laki pada kelompok umur 0-4 tahun lebih besar daripada kematian
penduduk perempuan.Walaupun perbedaan nya hanya sedikit. Tingginya angka
kematian pada kelompok umur 0-4 tahun disebabkan beberapa faktor berikut :

• Penyebab utama kematian bayi berumur 0-6 hari adalah asfiksia (36 persen),
prematur (32 persen) dan sepsis (12 persen). Faktor ibu yang berperan terhadap
kematian perinatal adalah ketuban pecah dini (23 persen), hipertensi maternal
(22 persen), komplikasi kehamilan dan kelahiran (16 persen), gangguan nutrisi
(10 persen) . Untuk penanganan masalah perinatal harus difokuskan terhadap
perbaikan kondisi kesehatan bayi sejak konsepsi dan pertumbu-hannya dalam
rahim, peningkatan nutrisi dan kesehatan ibu, serta pertolongan persalinan
dengan standar mutu yang baik untuk ibu maupun bayi baru lahir . Berarti,
peningkatan kualitas PONED dan PONEK dituntut semakin tinggi seiring
dengan besar-nya masalah kematian perinatal yang dihadapi.
• Faktor penyulit persalinan, penyakit yang diderita bayi, maupun perawatan bayi
di rumah, kondisi ibu saat hamil. Ini terbukti menurut data yang diperoleh
bahwa faktor penyebab kematian sangat beragam seperti melahirkan sungsang,
kelainan sejak dalam kandungan, kondisi ibu saat hamil yang menyebabkan
bayi prematur, BBLR, dan asfiksia.
• Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Dengan jarak kelahiran yang kurang dari 2
tahun, kesehatan fisik dan rahim ibu masih butuh cukup istirahat dan ada
kemungkinan ibu masih menyusui.
• Informasi yang berhubungan dengan perawatan kehamilan sangat dibutuhkan
oleh semua ibu hamil dan keluarganya. Sebagian besar tingkat pendidikan ibu
tamat SMA. Adapun fenomena yang ditemukan di lapangan berkaitan dengan
tingkat pendidikan yaitu anak yang dilahirkan merupakan anak pertama yang
dimiliki oleh ibu dengan usia<20 tahun dan usia ideal (21-34 tahun). Meskipun
pendidikan cukup tinggi, jika dilihat menurut usia, kemungkinan pengetahuan
ibu mengenai kehamilan masih sangat rendah dan tidak cukup waktu untuk
mencari pelayanan semaksimal mungkin. Sehingga ibu kurang memperhatikan
kondisinya saat hamil. Kebiasaan ibu yang menganggap bahwa kehamilan
merupakan hal biasa memiliki riwayat pendidikan yang rendah serta ekonomi
yang rendah. Sehingga faktor tersebut secara tidak langsung diduga dapat
mempengaruhi kehamilan, proses persalinan dan pasca persalinan.
• Menyusui sebaiknya dilakukan setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah
bayi lahir) karena daya hisap pada saat itu paling kuat untuk merangsang
pengeluaran ASI selanjutnya (Kamila, 2005). Pada kasus kematian bayi hampir
semua bayi tidak mendapatkan ASI. Hal tersebut diakibatkan karena ASI yang
belum keluar sama sekali saat bayi sudah lahir, ASI yang diproduksi sangat
lancar namun bayi tidak sempat diberi ASI, serta bayi mendapatkan campuran
susu formula dari pihak rumah sakit.Penyebab ASI yang tidak bisa keluar
diduga karena bayi lahir prematur sehingga kondisi fisik maupun psikologisnya
dapat mempengaruhi pengeluaran ASI, ibu sedang menderita sakit, ibu yang
mengalami depresi, cemas sedang ada masalah, mulut bayi yang kecil serta
kurang mendapat dukungan dari suami atau keluarganya dalam menyusui
bayinya. Sehingga ASI yang diproduksinya kurang lancar atau bahkan tidak
bisa keluar sama sekali.
• Pola pengasuhan bayi yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi,
pada hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI dengan
tingkat pendidikan rendah ataupun tinggi hasilnya tidak jauh berbeda. Pada
tingkat pendidikan ibu, baik rendah ataupun tinggi, tidak menjamin bahwa
pengetahuan ibu tentang pola pengasuhan bayi sudah cukup baik. Disisi lain
informasi yang diberikan petugas kesehatan seputar kehamilan, terutama
mengenai ASI tidak jelas dan kurang lengkap.

Jika dibandingkan dengan kelompok umur yang lain kematian pada kelompok
umur 0-4 tahun cukup tinggi, hal ini dikarenakan dua faktor utama yaitu faktor ibu
dan faktor bayi itu sendiri.

Angka kematian pada kelompok umur 5-9 tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 3,80 kematian dan perempuan 3,80 kematian
per 1000 penduduk pada kelompok umur 5-9 tahun. Tingkat kematian laki-laki
dan perempuan pada kelompok umur ini sama.Jika dilihat dari kelompok umur
sebelumnya pada kelompok umur 5-9 tahun angka kematian mengalami
penurunan yang cukup tinggi.Dapat dikatakan angka harapan hidup mengalami
kenaikan. Semakin bertambahnya Angka Harapan Hidup itu berarti perlu adanya
peranpemerintah di dalam menyediakan fasilitas seperti pendidikan, kesehatan
dsb, perlunya perhatian keluarga dan pemerintah didalam penyediaan gizi yang
memadai bagi anak-anak (Balita) agar angka harapan hidup bayi terus meningkat.

Angka kematian pada kelompok umur 10-14tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 2,20 kematian dan penduduk perempuan


2,30 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 10-14 tahun. Tingkat
kematian anatara penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama. Jika dilihat
dari kelompok umur sebelumnya angka kematian pada kelompok umur 10-14
tahun mengalami penurunan yang juga berarti angka harapan hidup terus
mengalami peningkatan.Semakin bertambahnya Angka Harapan Hidup itu berarti
perlu adanya peranpemerintah di dalam menyediakan fasilitas seperti pendidikan,
kesehatan dsb.

Angka kematian pada kelompok umur 15-19tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 3,30 kematian dan penduduk perempuan


3,29 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 15-19 tahun. Tingkat
kematian anatara penduduk laki-laki dan perempuan dapat dikatakan
sama.Memang sedikit mengalami kenaikan dari kelompok umur 10-14 tahun
tetapi angka kematian pada kelompok umur ini masih dapat dikatakan rendah
yang juga berarti angka harapan hidup terus mengalami peningkatan.Semakin
bertambahnya Angka Harapan Hidup itu berarti perlu adanya peranpemerintah di
dalam menyediakan fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, serta penyediaan
lapangan kerja.

Angka kematian pada kelompok umur 20-24tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 5,00 kematian sedangkan penduduk


perempuan 4,20 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 20-24
tahun.Tingkat kematian anatara penduduk laki-laki dan perempuan sedikit
mengalami perbedaan yaitu tingkat kematian penduduk laki-laki sedikit lebih
besar dibandingkan penduduk perempuan.Pada usia produktif ini angka kematian
mengalami sedikit peningkatan dari kelompok umursebelumnya dan masih dapat
dikatakan angka harapan hidup masih cukup tinggi. Peranan pemerintah yang
dibuuhkan pada usia produktif ini yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan
fasilitas kesehatan, lahan untuk permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.

Angka kematian pada kelompok umur 25-29tahun :


Tingkat kematian penduduk laki-laki 5,00 kematian dan penduduk perempuan
4,60 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 25-29 tahun.Tingkat
kematian anatara penduduk laki-laki dan perempuan sedikit mengalami perbedaan
yaitu tingkat kematian penduduk laki-laki sedikit lebih besar dibandingkan
penduduk perempuan. Pada usia produktif ini angka kematian hampir sama
dengan kelompok umur sebelumnya dan masih dapat dikatakan angka harapan
hidup masih cukup tinggi. Peranan pemerintah yang dibuuhkan pada usia
produktif ini yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas kesehatan,
lahan untuk permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.

Angka kematian pada kelompok umur 30-34tahun :

Penduduk laki-laki 5 kematian dan penduduk perempuan 5 kematian per 1000


penduduk pada kelompok umur 30-34 tahun. Pada usia produktif ini angka
kematian hampir sama dengan kelompok umur sebelumnya dan masih dapat
dikatakan angka harapan hidup masih cukup tinggi.Kematian yang terjadi pada
kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung,
stroke, dan pecahnya pembuluh darah otak. Selain itu juga beberapa penyakit
pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran pernapasna kronis,
kecelakaan lalu lintas, kanker paru-paru dsb. Peranan pemerintah yang dibuuhkan
pada usia produktif ini yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas
kesehatan, lahan untuk permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.

Angka kematian pada kelompok umur 35-39tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 6,20 kematian sedangkan penduduk


perempuan 5,40 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 35-39 tahun.
Tingkat kematian anatara penduduk laki-laki dan perempuan sedikit mengalami
perbedaan yaitu tingkat kematian penduduk laki-laki sedikit lebih besar
dibandingkan penduduk perempuan.Pada usia produktif ini angka kematian
mengalami sedikit peningkatan dari kelompok umur sebelumnya dan masih dapat
dikatakan angka harapan hidup masih cukup tinggi.Kematian yang terjadi pada
kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung,
stroke, dan pecahnya pembuluh darah otak. Selain itu juga beberapa penyakit
pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran pernapasna kronis,
kecelakaan lalu lintas, kanker paru-paru dsb. Peranan pemerintah yang dibuuhkan
pada usia produktif ini yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas
kesehatan, lahan untuk permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.

Angka kematian pada kelompok umur 40-44tahun :

Tingkat kemaatian penduduk laki-laki 7,90kematian sedangkan penduduk


perempuan 6,10 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 40-44 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki sedikit lebih besar dibandingkan tingkat
kematian penduduk perempuan.Pada usia produktif ini angka kematian
mengalami sedikit peningkatan dari kelompok umur sebelumnya dan masih dapat
dikatakan angka harapan hidup masih cukup tinggi.Kematian yang terjadi pada
kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung,
stroke, dan pecahnya pembuluh darah otak. Selain itu juga beberapa penyakit
pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran pernapasna kronis,
kecelakaan lalu lintas, kanker paru-paru dsb. Peranan pemerintah yang dibutuhkan
pada usia produktif ini yaitu penyediaan lapangan keja, penyediaan fasilitas
kesehatan, lahan untuk permukiman serta fasilitas rekreasi/wisata.

Angka kematian pada kelompok umur 45-49tahun :

Tigkat kematian penduduk laki-laki 10,10 kematian sedangkan penduduk


perempuan 7,10 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 45-49 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan tingkat
kematian penduduk perempuan.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-
50 tahun yang terjadi secara tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan
pecahnya pembuluh darah otak. Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik
usia dewasa diabetes, asma, penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan lalu
lintas, kanker paru-paru dsb.Pada kelompok umur 45-49 tahun ini mengalami
sedikit peningkatan angka kematian.Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(2007),penyebab kematian nomor 6 dari semua kelompok umur adalah diabetes
melitus. Angka kematian penderita diabetes melitus pada kelompok umur 45-
54 tahun di daerah perkotaan mencapai 14,7% dan di pedesaan sekitar 5,8%.
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit tidak menular yang mengalami
kenaikan jumlah penderita terus-menerus dari tahun ke tahun selain itu penyakit
yang juga paling banyak diderita seperti ISPA (infeksi saluran pernafasan atas),
diare, demam berdarah, malaria, difteri, penyakit kulit, hipertensi, penyakit
lambung dan jantung (kardiovaskuler).

Angka kematian pada kelompok umur 50-54tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 13,80 kematian sedangkan penduduk


perempuan 9,70 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 50-54 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan tingkat
kematian penduduk perempuanPada kelompok umur 50-54 tahun inihampir sama
dengan kelompok umur sebelumnya yang mengalami sedikit peningkatan angka
kematian.Kematian yang terjadi pada kelompok umur 30-50 tahun yang terjadi
secara tiba-tiba biasanya akibat jantung, stroke, dan pecahnya pembuluh darah
otak. Selain itu juga beberapa penyakit pada kelimpik usia dewasa diabetes, asma,
penyakit saluran pernapasna kronis, kecelakaan lalu lintas, kanker paru-paru
dsb.Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007), penyebab kematian nomor 6
dari semua kelompok umur adalah diabetes melitus. Angka kematian penderita
diabetes melitus pada kelompok umur 45-54 tahun di daerah perkotaan mencapai
14,7% dan di pedesaan sekitar 5,8%. Penyakit diabetes melitus merupakan
penyakit tidak menular yang mengalami kenaikan jumlah penderita terus-menerus
dari tahun ke tahun selain itu penyakit yang juga paling banyak diderita seperti
ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), diare, demam berdarah, malaria, difteri,
penyakit kulit, hipertensi, penyakit lambung dan jantung (kardiovaskuler).

Angka kematian pada kelompok umur 55-59tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 19,20 kematian sedangkan penduduk


perempuan 13.61 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 55-59 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki lebih besar dibandingkantingkat kematian
penduduk perempuan Pada kelompok umur 55-59 tahun ini hampir sama dengan
kelompok umur sebelumnya yang mengalami sedikit peningkatan angka
kematian. Penyakit penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit
sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak), selanjutnya penyakit infeksi dan
pernapasan. Angka kematian untuk penyakit infeksi dan pernapasan lebih tinggi
di pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan
penyebab kematian di Indonesia yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit
sirkulasi (jantung dan pembuluh darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian
di Indonesia berada dalam proses transisi epidemiologik seiring dengan proses
transisi demografi. Pemerintah dihadapkan pada beban ganda dalam menangani
penyebab kematian yang merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana
pencegahan dan penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit
non-infeksi.

Angka kematian pada kelompok umur 60-64tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 28,28 kematian sedangkan penduduk


perempuan 21,80 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 60-64 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan tingkat
kematian penduduk perempuan.Pada kelompok umur 60-64 tahun ini mengalami
peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh
darah otak), selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk
penyakit infeksi dan pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di
perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan penyebab kematian di Indonesia
yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh
darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah
dihadapkan pada beban ganda dalam menangani penyebab kematian yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana pencegahan dan
penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.
Angka kematian pada kelompok umur 65-69tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 41,30 kematian sedangkan penduduk


perempuan 34,40 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 65-69 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki lebih besar dibandingkantingkat kematian
penduduk perempuan.Pada kelompok umur 65-69 tahun ini mengalami
peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh
darah otak), selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk
penyakit infeksi dan pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di
perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan penyebab kematian di Indonesia
yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh
darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah
dihadapkan pada beban ganda dalam menangani penyebab kematian yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana pencegahan dan
penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

Angka kematian pada kelompok umur 70-74tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 63,00 kematian sedangkan penduduk


perempuan 55,70 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 70-74 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki lebih besar dibandingkantingkat kematian
penduduk perempuan Pada kelompok umur 70-74 tahun ini mengalami
peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya. Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh
darah otak), selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk
penyakit infeksi dan pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di
perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan penyebab kematian di Indonesia
yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh
darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah
dihadapkan pada beban ganda dalam menangani penyebab kematian yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana pencegahan dan
penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

Angka kematian pada kelompok umur 75-79tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 93,50 kematian sedangkan penduduk


perempuan 85,40 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 75-79 tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki lebih besar dibandingkantingkat kematian
penduduk perempuan. Pada kelompok umur 75-79 tahun ini mengalami
peningkatan angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit
penyebab utama kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh
darah otak), selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk
penyakit infeksi dan pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di
perkotaan Pada tahun 2000 terjadi perubahan penyebab kematian di Indonesia
yaitu dari penyakit infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh
darah otak). Situasi penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses
transisi epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah
dihadapkan pada beban ganda dalam menangani penyebab kematian yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat, dimana pencegahan dan
penanganannya berbeda antara penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

Angka kematian pada kelompok umur 80+tahun :

Tingkat kematian penduduk laki-laki 200,01 kematian sedangkan penduduk


perempuan 199,99 kematian per 1000 penduduk pada kelompok umur 80+ tahun.
Tingkat kematian penduduk laki-laki hampir sama dengantingkat kematian
penduduk perempuan. Pada kelompok umur 80+ tahun ini mengalamipeningkatan
angka kematian dibanding kelompok umur sebelumnya.Penyakit penyebab utama
kematian terbesar adalah penyakit sirkulasi(jantung/pembuluh darah otak),
selanjutnya penyakit infeksi dan pernapasan. Angka kematian untuk penyakit
infeksi dan pernapasan lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan Pada
tahun 2000 terjadi perubahan penyebab kematian di Indonesia yaitu dari penyakit
infeksi menjadi penyakit sirkulasi (jantung dan pembuluh darah otak). Situasi
penyakit penyebab kematian di Indonesia berada dalam proses transisi
epidemiologik seiring dengan proses transisi demografi. Pemerintah dihadapkan
pada beban ganda dalam menangani penyebab kematian yang merupakan masalah
kesehatan masyarakat, dimana pencegahan dan penanganannya berbeda antara
penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa :

Tingkat kematian awalnya pada kelompok umur 0-4 tahun cukup tinggi (lebih
tinggi daripada kelompok umur 65-69 tahun), kemudian mengalami penurunan
yang cukup drastis pada kelompok umur berikutnya dan angka harapan hidup
perlahan mulai meningkat di setiap kelompok umurnyahingga tingkat kematian
tertinggi pada kelompok umur 80+. Tingkat kematian antara penduduk laki-laki
dan perempuan lebih tinggi tingkat kematian pada penduduk laki-laki walaupun
ada beberapa yang tingkat kematian antara penduduk laki-laki dan perempuan
sama.

Tetapi, tingginya tingkat kematian penduduk laki-laki tersebut dibandingkan


penduduk perempuan berbanding lurus dengan jumlah kematian penduduk laki-
laki yang memang lebih tinggi daripada jumlah kematian penduduk perempuan.

3. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita ?


A. Pengkajian
Dalam Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa yang ditulis oleh Ah. Yusuf,
Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati (2015) terdapat beberapa hal yang
menjadi acuan pengkajian pada pasien dengan masalah psikososial kehilangan
dan berduka, diantaranya :

a. Faktor Predisposisi
1. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam
keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan
dalam bersikap optimis dan menghadapi kehilangan.
Hal ini tidak terkaji dalam kasus
2. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur
mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
Hal ini tidak terkaji dalam kasus
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat
kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk
kambuh kembali.
Hal ini tidak terkaji dalam kasus
4. Pengalaman kehilangan sebelumnya Kehilangan dan perpisahan dengan
orang berarti di masa kanak-kanak akan memengaruhi kemampuan
individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.
Hal ini tidak terkaji dalam kasus
b. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi
individu dan kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit,
kehilangan fungsi seksual, kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan,
kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
Dalam hal ini klien (anak pertama, tengah, dan bungsu) yang menjadi
faktor pencetus adalah kehilangan sosok yang sangat berpengaruh dalam
hidup mereka yakni sang ibu.
c. Perilaku
1. Menangis atau tidak mampu menangis.
Dari kasus diketahui anak pertama menangis sesekali sedangkan
anak ketiga tidak (kami mengasumsikan bahwa klien tidak menangis
bukan dikarenakan tidak merasa sedih melainkan tidak mampu untuk
menangis)
2. Marah.
Hal ini tidak terkaji dalam kasus
3. Putus asa.
Dari kasus keputusasaan yang dialami klien ditunjukkan dengan
gangguan pada pola tidur dan pola makan serta perubahan pola
komunikasi.
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.
Hal ini tidak terkaji dalam kasus

d. Mekanisme Koping
1. Denial
2. Regresi
3. Intelektualisasi/rasionalisasi
4. Supresi
5. Proyeksi

Diagnosa Keperawata
DIAGNOSA
NO DATA ETIOLOGI
KEPERAWATAN

Anak Pertama

1 a. Putra tertua mengatur


pemakaman dan
mengunjungi kerabat
(menunjukkan
keinginan
meningkatkan
dukungan sosial)
Kesiapan
b. Dia merindukan ibunya
meningkatkan
dan menangis sesekali
koping (00158)
tapi berhasil kembali
bekerja minggu
berikutnya
(menunjukkan
keinginan
meningkatkan
manajemen stresor)
Anak Tengah

1 a. Klien An. Tengah


Tingkat persepsi
tidak banyak bicara
kontrol yang tidak
pada saudara laki-laki
adekuat dan
maupun pada kerabat
dukungan sosial Ketidakefektifan
lainnya (perubahan
yang tidak adekuat koping (00069)
pola komunikasi
yang diciptakan
b. Klien An. Tengah
oleh karakteristik
kembali bekerja namun
hubungan
ia merasa sangat lelah
dan tidak bersemangat
2 a. Klien An. Tengah
kembali ke rumahnya
yang terletak di kota
lain
b. Klien An. Tengah
tidak banyak bicara
pada saudara laki-laki
Kematian orang
maupun kerabat Dukacita (00136)
terdekat (ibu)
lainnya
c. Anak tengah kembali
bekerja tapi merasa
sangat lelah dan tidak
bersemangat
(penurunan fungsi
dalam peran)
Anak Bungsu

1 a. Klien An. Bungsu


tidak dapat tidur dan
makan Tingkat persepsi
Ketidakefektifan
b. Klien An. Bungsu kontrol yang tidak
koping (00069)
tidak dapat adekuat

berkonsentrasi di
tempat kerja
2 a. Anak bungsu tidak
percaya bahwa ibunya
telah meninggal (tidak Kematian orang Dukacita

menerima kematian terdekat terganggu (00135)

b. Anak bungsu
mengalami kesulitan
untuk menghadiri
pemakaman
(menghindari berduka)
c. Anak bungsu tidak
dapat berkonsentrasi di
tempat kerja
(penurunan fungsi
dalam peran)

Intervensi Keperawatan

Intervensi
No. NDx Outcome Keperawatan

1 Dukacita terganggu Setelah dilakukan intervensi Label NIC : Konseling


(00135) keperawatan 3 x 24 jam klien dan fasilitasi proses
mampu menunjukkan resolusi berduka
berduka dengan kriteria hasil
a. Bangun hubungan
:
terapeutik yang
a. Menyampaikan perasaan
didasarkan pada rasa
akan penyelesaian
saling percaya dan
mengenai kehilangan
menghormati
dari tidak pernah
b. Tunjukkan
menunjukkan menjadi
kehangatan, empati
kadang-kadang
dan ketulusan
menunjukkan (1-3)
c. Dukung ekspresi
b. Mendiskusikan konflik
perasaan klien
yang belum diselesaikan
d. Identifikasi
dari tidak pernah
kehilangan
menunjukkan menjadi
e. Bantu klien untuk
kadang-kadang mengidentifikasi
menunjukkan (1-3) kealamiahan
c. Menyatakan fakta keterikatan klien
tentang kehilangan dari dengan orang yang
dari tidak pernah hilang
menunjukkan menjadi f. Bantu klien untuk
konsisten menunjukkan mendeteksi reaksi
(1-5) awal dari kehilangan
d. Gangguan konsentrasi g. Dengarkan ekspresi
dari berat menjadi berduka
sedang (1-3) h. Komunikasikan
penerimaan dalam
rangka mendiskusikan
kehilangan
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan intervensi Label NIC :
koping (00069) keperawatan berkelanjutan Peningkatan peran,
selama kurang lebih 4 x 24 peningkatan koping
jam diharapkan klien dapat a. Bantu pasien untuk
menunjukkan koping adaptif mengidentifikasi
dengan kriteria hasil : bermacam peran
a. Mengidentifikasi pola dalam kehidupan
koping yang efektif dari b. Fasilitasi diskusi
yang sebelumnya jarang mengenai adaptasi
menunjukkan menjadi peran
sering menunjukkan (2- c. Jelaskan pentingnya
4) tidur dan makan
b. Adaptasi perubahan yang cukup
hidup dari yang d. Bantu pasien dalam
sebelumnya tidak pernah mengidentifikasi
menunjukkan menjadi tujuan jangka
sering menunjukkan (1- pendek dan jangka
4) panjang yang tepat
Setelah dilakukan intervensi e. Dukung hubungan
keperawatan diharapkan pasien dengan orang
tingkat depresi klien dapat yang mempunyai
berkurang dengan kriteria ketertarikan yang
hasil : sama
a. Gangguan konsentrasi f. Bantu pasien
dari yang sebelumnya menyelesaikan
cukup berat menjadi masalah dengan cara
ringan (2-4) yang konstruktif
b. Kelelahan dari yang
sebelumnya cukup berat
menjadi ringan (2-4)
c. Peningkatan nafsu
makan
Setelah dilakukan intervensi
keperawatan diharapkan
tingkat stres klien dapat
berkurang dengan kriteria
hasil :
a. Gangguan tidur dari
yang semula besar
menjadi rigan (2-4)
b. Ketidakmampuan
berkonsentrasi pada
tugas dari yang semula
besar menjadi rigan (2-4)
3 Dukacita (00136) Setelah dilakukan intervensi Label NIC : Dukungan
keperawatan 3 x 24 jam klien Emosional dan fasilitasi
mampu menunjukkan resolusi proses berduka
berduka dengan kriteria hasil a. Buat pernyataan yang
: mendukung dan
a. Membagi perasaan berempati
kehilangan dengan orang b. Bantu pasien untuk
terdekat dari yang mengenali
b. Mendiskusikan konflik perasaannya
yang belum terselesaikan c. Dorong pasien untuk
mengekspresikan
perasaannya
d. Dengarkan ekspresi
berduka
e. Komunikasikan
penerimaan dalam
rangka mendiskusikan
kehilangan
4 Kesiapan Setelah dilakukan intervensi Label NIC :
meningkatkan keperawatan 3 x 24 jam Peningkatan sistem
koping (00158) diharapkan klien dapat dukungan
memperoleh dukungan sosial a. Identifikasi respon
lebih, dengan kriteria hasil : psikologis terhadap
a. Kemauan untuk ketersediaan sistem
menghubungi orang lain dukungan
untuk meminta bantuan b. Tentukan kecukupan
b. Bantuan yang dari jaringan sosial
ditawarkan oleh orang yang ada
lain c. Monitor situasi
c. Waktu yang disediakan keluarga dan jaringan
oleh orang lain dukungan saat ini
d. Dukungan emosi yang d. Anjurkan hubungan
disediakan oleh orang dengan orang yang
lain mempunyai
ketertarikan yang
sama
e. Sediakan layanan
dengan sikap yang
peduli dan
mendukung

B. Implementasi Keperawatan

No. NDx Implementasi

1 Dukacita terganggu 1. Membangun hubungan terapeutik yang didasarkan


(00135) pada rasa saling percaya dan menghormati
2. Menunjukkan kehangatan, empati dan ketulusan
3. Mendukung ekspresi perasaan klien
4. Mengidentifikasi kehilangan
5. Membantu klien untuk mengidentifikasi kealamiahan
keterikatan klien dengan orang yang hilang
6. Membantu klien untuk mendeteksi reaksi awal dari
kehilangan
7. Mendengarkan ekspresi berduka
8. Mengkomunikasikan penerimaan dalam rangka
mendiskusikan kehilangan
2 Ketidakefektifan 1. Membantu pasien untuk mengidentifikasi bermacam
koping (00069) peran dalam kehidupan
2. Memfasilitasi diskusi mengenai adaptasi peran
3. Menjelaskan pentingnya tidur dan makan yang
cukup
4. Membantu pasien dalam mengidentifikasi tujuan
jangka pendek dan jangka panjang yang tepat
5. Mendukung hubungan pasien dengan orang yang
mempunyai ketertarikan yang sama
6. Membantu pasien menyelesaikan masalah dengan
cara yang konstruktif

3 Dukacita (00136) 1. Membuat pernyataan yang mendukung dan


berempati
2. Membantu pasien untuk mengenali perasaannya
3. Mendorong pasien untuk mengekspresikan
perasaannya
4. Mendengarkan ekspresi berduka
5. Mengkomunikasikan penerimaan dalam rangka
mendiskusikan kehilangan

4 Kesiapan 1. Mengdentifikasi respon psikologis terhadap


meningkatkan ketersediaan sistem dukungan
koping (00158) 2. Menentukan kecukupan dari jaringan sosial yang ada
3. Memoonitor situasi keluarga dan jaringan dukungan
saat ini
4. Menganjurkan hubungan dengan orang yang
mempunyai ketertarikan yang sama
5. Menyediakan layanan dengan sikap yang peduli dan
mendukung

EVALUASI

Menurut Jurnal dengan Judul “Pengalaman Kehilangan dan Berduka Pada Ibu
yang Mengalami Kematian Bayi di Depok” Oleh Zakiyah Mujahidah, Achir Yani
S. Hamid dan Yossie Susanti E.P pada pasien yang berjumlah 10 orang dengan
usia 20-40 Tahun dalam penelitian ini merupakan ibu-ibu yang pernah
mempunyai pengalaman kehilangan berupa kematian bayi. Kematian bayi yang
dialami oleh para partisipan berada dalam kurun waktu 2005-2015. Usia kematian
bayi berada antara 0-18 bulan dengan kasus yang berbeda-beda. Semua partisipan
mengalami tahapan berduka berupa tahapan penolakan, tahapan marah, tahapan
tawar menawar, tahapan depresi dan terakhir yaitu tahapan penerimaan.

Lima partisipan menunjukkan sikap penolakan pada saat kematian bayinya. Pada
tahapan ini muncul sikap pengingkaran terhadap kematian anaknya, perasaan
sedih, tidak percaya dan tidak menentu. Beberapa partisipan menyatakan respon
yang muncul setelah kematian bayi mereka adalah bangkit dari kesedihan.
Sementara beberapa partisipan lainnya menyatakan respon mereka adalah adanya
suatu sikap/keyakinan terhadap kesehatan yang mereka jadikan acuan untuk
mengantisipasi gangguan yang mengancam kesehatan bayi. Hampir keseluruhan
dari partisipan menyatakan memperoleh dukungan. Sumber dukungan yang
diperoleh datang dari orang-orang terdekat seperti suami, keluarga, teman ataupun
tetangga. Bentuk dukungan yang diterima bermacam-macam dengan tujuan untuk
selalu menyemangati. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh salah seorang
partisipan :“Dari orangtua apalagi mertua ya, Alhamdulillah sih makanya semua
keluarga mendukung saya, intinya kita semangat aja jangan eee,,,apa,,jangan
mikirin yang udahudah kayak gitu, kembali semangat jangan sampai terjadi lagi
gitu,”(P4)

Dukungan bagi partisipan dalam melalui peristiwa kematian bayi menjadi


sangat signifikan agar bisa terus bertahan dalam kondisi yang teramat sulit.
Dukungan yang datangpun beragam. Partisipan juga menyatakan dukungan yang
datang dari berbagai sumber berupa bentuk dukungan seperti semangat/ motivasi
maupun support. Separuh dari jumlah partisipan yang ada mencaoba untuk
mencari dukungan spiritual dengan cara mencari kisah-kisah inspirartif dan
meningkatkan ibadah. Hal lain yang diungkapkan partisipan adalah dengan
berupaya mengalihkan kedukaan dengan bekerja, berbagi dengan orang lain,
mencari hiburan ataupun menerima secara pasif, seperti pernyataan salah satu
partisipan berikut ini: “,,,cari kisah-kisah yang menginspirasi gitu, kisah-kisah
gitu, aku baca ternyata banyak yang dapat cobaan lebih dari aku tapi mereka
kuat, disitu aku pikir mereka aja bisa kuat masa aku nggak,,,”(P1) Peristiwa
kematian bayi yang dihadapi oleh partisipan bukanlah hal yang mudah untuk
dilaluinya. Guncangan emosi dan jiwa bisa dan sangat mungkin dialami oleh
partisipan setelah peristiwa tersebut.,meskipun hal itu telah berlalu beberapa lama.
Beberapa partisipan mencoba untuk menggunakan strategi koping dengan
mencari dukungan spiritual. Kondisi spiritualitas partisipan yang baik diharapkan
bisa membantu partiispan dalam melalui peristiwa kematian bayi dan tahapan
berduka. Selain itu partisipan juga dapat mengalihkan kedukaannya sehingga rasa
kehilangan dan berduka yang dialaminya dapat teralih ke hal-hal lain yang posistif
seperti bekerja.

Kaitannya pada kasus Ny. Nurul ketiga anaknya belum bisa menerima
kematian ibunya sehingga menyebabkan rasa duka yang mendalam dan juga pada
kasus tersebut tidak dijelaskan peran orang tua laki-laki sehingga tidak ada
dukungan keluarga teman atau kerabat, anak-anak Ny. Nurul sering menangis dan
saat kembali bekerja masih merasa lelah dan tidak bersemangat sehingga perlu
dukungan semangat dari orang-orang terdekat untuk bangkit dan menjalani hidup
tanpa ibunya. Peristiwa kematian ibu yang dihadapi oleh anak-anak Ny. Nurul
bukanlah hal yang mudah untuk dilaluinya. Guncangan emosi dan jiwa bisa dan
sangat mungkin dialami oleh anak-anaknya setelah peristiwa tersebut. Sehingga
perlu digunakan strategi koping dengan dukungan spiritual agar anak-anak Ny.
Nurul dapat melewati tahap berduka dan dapat bekerja dengan baik seperti
semula.

Daftar Pustaka

Potter, Perry. 2010. Fundamental Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Samba, Suharyati, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta. EGC


Uliyah musrifatul. Buku Ajar Keterampilan Dasar Praktik Klinik (KDPK) untuk
pendidikan bidan.Surabaya,Health books,2011.

Djaja, Sarimawar, Agus Suwandono, Soeharsono Soemantri, 2003, “Pola


penyakit penyebab kematian di perkotaan dan pedesaan di Indonesia, Studi
Mortalitas Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001”.Mei-Agustus
2003, Vol.22 No.2.

Kusuma, Arinta Wandira dan Indawati, Rachmah, 2012,“ Faktor Penyebab


Kematian Bayi Di Kabupaten Sidoarjo”.Jurnal Biometrika dan
Kependudukan, Volume 1 Nomor 1, Agustus 2012 : 33-42

Zakiyah Mujahidah, Achir Yani S. Hamid dan Yossie Susanti E.P. Pengalaman
Kehilangan dan Berduka Pada Ibu yang Mengalami Kematian Bayi di
Depok. Volume 3, No. 2, November 2015; 124-136

Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati. 2015.Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
Dochterman, J. M., dan Buluchek, G. M. 2004. Nursing Interventions
Classifiation (NIC). 5th ed. Amerika : Mosby Elseiver
Moorhad, S., Jhonson, M., Maas, M., dan Swanson, L. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th ed. United states of America: Mosby Elsevir.
Nanda Internasional. 2015. Diagnosa keperawatan: definisi dan klasifikasi 2015-
2017. 10th ed. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai