Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di


Indonesia. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan
psikologis baik dari luar individu maupun dari dalam individu. Beberapa hal yang
menjadi penyebab adalah ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap
gangguan jiwa ini. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa
prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, 25% dari penduduk dunia
pernah menderita masalah kesehatan jiwa, 1% diantaranya adalah gangguan jiwa
berat (Hawari,2007).

Potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa memang tinggi, setiap


saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak permasalahan jiwa, saraf,
maupun perilaku. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia
adalah gangguan mental organik. Gangguan mental organik meliputi berbagai
gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat
dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi
otak, disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang
langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan
penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau
sistem tubuh (Maslim,2003).

Dari berbagai macam gangguan mental organik salah satunya yang sering
dijumpai adalah gangguan kepribadian. Gangguan mental organik yang terkait
dengan berbagai kondisi medis lain yaitu, epilepsi, depresi pada kondisi medis
umum (pascastroke, pascapersalinan, akibat zat), dan depresi pada tumor otak
(Sadock & Sadock, 2015).

1.2 Tujuan

Tujuan laporan ini adalah menambah pengetahuan mengenai Gangguan


Kepribadian dan Perilaku Akibat Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi otak akibat
Epilepsi mulai dari definisi hingga penatalaksanaan.

1
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1. Data Medis Pasien.


A. Identitas Pasien.
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Bontang
Usia : 28 tahun
Agama : Islam
Status Pernikahan : Belum Kawin
Pekerjaan : Tidak ada
Pendidikan : SMK
B. Identitas Penanggung Jawab.
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Hubungan : Ibu Kandung
Alamat : Bantong

C. Riwayat Psikiatri.
 Keluhan Utama.
Berkelahi dengan Saudara kandung

 Autoanamnesis.
Pasien Berkelahi dengan Saudara kandungnya karena pasien
dibilang tidak bisa bekerja karena ada penyakit. Pasien bilang kalau
pasien ingin bekerja untuk mencari uang, pasien juga tidak
mengingat kapan awalnya pasien berkelahi dengan saudara
kandungnya.
Pasien juga bilang kalau pasien adalah suami dari ibunya, untuk
menggantikan Alm. Ayah pasien, dan Suadara kandunganya
dianggap sebagai anaknya, sehingga pasien mengatakan kalau
pasien dibawa ke RSJ untuk mendapatkan pekerjaan.
Pasien juga pernah masuk RS bontang karena kejang-kejang, dan
pasien tidak mengingat kapan terkakhir masuk RS Bontang.

 Heteroanamnesis.
Pasien diantar oleh ibunya ke RSJ karena sering mengamuk,
marah-marah, mengancam orangtua, keluhan ini dialami sejak
sekitar 10 hari sebelum masuk RSJ.
Sejak umur 18 tahun kelas 3 SMK pasien Mengalami sakit kepala
Ibunya menganggap Sakit kepalanya itu karena kelelahan, dan

2
diberi obat Paracetamol oleh ibunya, lalu beberapa hari setelah itu
pasien kejang-kejang, sebelumnya pasien juga sering kejang-
kejang di Sekolahnya dan ibunya tidak mengetahui hal itu dan
diceritakan oleh teman Sekolahnya, setelah itu pasien dibawa ke
RS bontang dan diagnosis Epilepsi diberi obat Risperidon dan
Depakote, dan diminum rutin selama 11 tahun, saat pasien
mengalami epilepsi pasien masih bisa beraktivitas seperti biasa
membantu ibunya di rumah dan menjaga toko.
Selama menjalani Pengobatan epilepsy sekitar 11 tahun pasien
berteriak keras memanggil ibunya sampai pasien dibawa ke RS
Bontang dan ditanggani disana, gejala psikotik mulai muncul
sesudah pulang dari RS, pasien suka menyendiri, berbicara sendiri
dan pasien merasa dia adalah para ulama yang ditugaskan oleh
malaikat Gabriel untuk menyelamatkan manusia keluahan ini
dialami 6 tahun. Dan pada bulan desember 2020 pasien mengamuk,
mengajak orang yang ditemuinya dijalan untuk berkelahi sehingga
ditangkap oleh Pak RT setempat dan setelah itu memarahi ibu dan
kakaknya dan diajak berkelahi, sehingga Ibu dan Saudara
kandungnya membawa pasien ke RSJ Samarinda untuk dilakukan
penangganan.

 Riwayat Penyakit Dahulu.


Pernah cedera kepala kelas 3 SMP, riwayat kejang terakhir tanggal
5 Desember 2020.

 Riwayat Penyakit Keluarga.


Tidak ada.

 Genogram.

3
Keterangan :
: Perempuan
: Laki-Laki
: Pasien

 Riwayat Pribadi.
o Masa kanak-kanak awal (0-3 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan usia.
Tinggal bersama Orangtuanya.
o Masa kanan-kanak pertengahan (3-5tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan usia.
Tinggal bersama orangtuanya
o Masa kanak-kanak pertengahan (5-13 tahun)
Bermain dengan teman sebayanya, dan mempunyai banyak
teman.
o Masa remaja (13-21 tahun).
Masa sekolah tingkat SMP dan SMA Tidak mempunyai sahabat
tetapi punya teman banyak. Dan pernah perkelahi dengan
teman-temanya setelah itu baikan lagi. Pernah didorong
temannya saat SMP kelas 3 sehingga jatuh dari tangga sekolah
dan Pernah Kejang-kejang kelas 3 SMA.
o Dewasa
Tidak bekerja. Hanya saja membantu ibunya di rumah dan
menjaga Toko

2.2. Pemeriksaan Fisik.


Kesadaran : Komposmentis, GCS E4 V5 M6
Tanda vital : TD : 112/63 mmHg N : 63/menit
O
RR : (-) x/menit T : (-) C
Kepala : Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris
Jantung : Auskultasi: normal, murmur (-/-)
Paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-).
Perut BU (+) normal, nyeri tekan (-).
Anggota gerak : Akral hangat (+/+), Edema (-/-).

4
2.3. Pemeriksaan Psikiatri.
Kesan Umum :Berpenampilan rapi, wajah sesuai usia, dan tampak
pasien bingung
Kontak : Kontak verbal (+) tidak lancar dan relevan dan
visual (+)
Kesadaran : Komposmentis Berubah
Emosi/ Afek : Labil
Proses Berpikir : Arus pikiran : circumstance, Isi pikiran: ada
waham Kebesaran
Intelegensi : Cukup
Persepsi : Halusinasi (-)
Psikomotor : Tidak menunjukan adanya kelainan
Kemauan : Normal

2.4. Pemeriksaan Laboratorium.


Hasil pemeriksaan : Dalam batas Normal

2.5. Diagnosis Multiaksial.


Axis I : F07.0 Gangguan Kepribadian dan Perilaku akibat
Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi Otak.
Axis II : Waham Kebesaran
Axis III : Epilepsi
Axis IV :Masalah terkait dengan psikososial dan Lingkungan.
Axis V : GAF scale 60-51. Gejala sedang (Moderate),
disabilitas Sedang.
2.6. Rencana Terapi.
 Depakote 500 mg ( Mengandung Asam Valproat)
 Resperidon 2x2 mg
2.7. Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubia/ragu-ragu dikarenakan berulangnya
penyakit yang sama, tetapi pasien sekarang telah menerima pengobatan
dengan baik.
2.8. Resume medis.
F07.0 Gangguan Kepribadian dan Perilaku akibat Penyakit, Kerusakan dan
Disfungsi Otak.

5
2.9 .Diagnosa Banding

F23.3 Gangguan Psikotik Akut Lainnya dengan predominan Waham

D23.8 Gangguan Psikotik Akut dan sementara lainnya

F23.2 Gangguan Psikotik Lir Skizofrenia Akut

6
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi.

Epilepsi adalah suatu jenis kejang yang disebabkan oleh gangguan


phatophysiologis paroksisimal sementara akibat gangguan fungsi serebral yang
menyebabkan pelepasan neuron berlebihan secara spontan. Dikatakan epilepsi
jika ia memiliki kondisi kronis yang ditandai dengan kejang berulang (Sadock
& Sadock, 2015).

Ictus, atau peristiwa ictal, adalah kejang itu sendiri. Periode nonictal
dikategorikan sebagai preictal, postictal, dan interictal. Gejala selama peristiwa
ictal ditentukan terutama oleh pencetus asal di otak dan oleh pola penyebaran
aktivitas kejang yang menyebar di otak. Gejala interictal dipengaruhi oleh
peristiwa ictal dan faktor neuropsikiatri dan psikososial lainnya, seperti hidup
berdampingan dengan gangguan kejiwaan atau neurologis, adanya stres
psikososial, dan ciri-ciri kepribadian premorbid (Sadock & Sadock, 2015).

3.2. Epidemiologi.

Epilepsi adalah penyakit neurologis kronik paling sering pada populasi


umum dan menyerang kurang lebih 1 persen populasi di Amerika Serikat. 30
sampai 50 persen penderita epilepsi mengalami kesulitan psikiatri pada suatu
waktu selama perjalanan penyakit (Sadock & Sadock, 2015).

3.3. Etiologi
Bila penyebab kekacauan proses elektrobiokimiawi itu sehingga timbul
epilepsi diketahui, maka epilepsi itu dikatakan simptomatis. Bila tidak diketahui
dikatakan idiopatik atau kriptogenik yang artinya masih tersembunyi. Kira-kira
77 % dari semua epilepsi adalah idiopatik. Yang idiopatik biasanya mulai antara
umur 10 dan 20 tahun. Permulaan yang timbul sebelum dan sesudah usia-usia
ini sering merupakan epilepsi simptomatis dan dipelukan pemeriksaan yang
seksama. Terdapat faktor keturunan, tetapi tidak besar dan belum lagi jelas
bagaimana (Maramis, 2012).

7
Menurut Buku Ajar Psikiatrik FK UI Penyebab utama kejang dapat
dikelompokan menjadi :
1. Gangguan metabolik
• Hipoglikemia, hypomagnesemia, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, porfiria intermitten akut, gangguan asam amino.
2. Gangguan neurologis
Tumor. trauma serebrovaskuleri degeneratif dan stroke, penyakit
demyelinisasi (jarang) sindrome Sturge-Weber, sclerosis tuberkulosa,
3. Racun
Timah, striknin
4. Trauma
• Trauma kepala
5. Infeksi
Ensefalitis viral, AIDS. sitomegalovirus, toksoplasmosis. meningitis,
sisteserkosis, sifilis
6 Putus zat
• Alkohol, benzodiazepine, barbiturate.
7. Delisiensi vitamin
• Piridoksin
8. Suhu tubuh
Demam

Banyak peneliti menemukan bahwa terdapat hubungan antara munculnya


gejala psikotik dengan fokus epilepsi ditobus temporal meiodhasal. Pada
kondisi yang kronik. psikosis interiktal menunjukan fenomenologis skizofrenia.
Beberapa faktor resia yang diduga adalah kondisi epilepsi yang berat,
intraktabel, epilepsi awitan muda. kejang umun sekunder, problem penggunaan
obat-obatan antikonvulsan, dan lobektomi temporal. Penelitian neuropatologi
lain menemukan adanya disgenesis kortikal atau keruskan otak difus.
Disimpulkan bahwa banyak mekanisme yang mungkin menghubungkan
epilepsy dengan psikosis lir skizofrenia. Contohnya abnormalitas struktur otak,

8
seperti disgenesis kortikal atau lesi otak difus mendasari kedua kondisi epilepsi
dan psikosis. Kejang-kejang memodifikasi munculnya psikosis dan sebaliknya,
Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar radioaktif
lainnya, terutama pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat menyebabkan
kerusakan otak. Trauma yang menyebabkan cedera otak pada bayi selam proses
persalinan maupun trauma kepala yang dialami seseorang pada semua usia
dapat menimbulkan epilepsi.

3.4. Manifestasi Klinis.


a) Gejala Praiktal
Kejadian praiktal (Aura) pada epilepsi parsial kompleks mencakup
sensasi otonom (seperti perut kembung, pipi memerah, dan
perubahan napas), sensasi kognitif (seperti dejavu, jamaisvu,
pikiran yang dibuat-buat, keadaan seperti bermimpi), keadaan
afektif (seperti takut, panik, depresi, dan elasi), dan yang klasik,
otomatisme (seperti menampar bibir, menggosok-gosok,
mengunyah).
b) Gejala Iktal
Perilaku singkat, kacau, dan tak terinhibisi menandai kejadian iktal.
Meski beberapa pengacara pembela mengklaim sebaliknya,
seseorang jarang menunjukkan perilaku kasar yang direncanakan
dan bertujuan selama suatu episode epilepsi. Gejala kognitif
meliputi amnesia akan waktu selama serangan dan periode delirium
yang menyembuh setelah serangan. Pada pasien epilepsi parsial
kompleks, fokus serangan dapat ditemukan elektroensefalogram
(EEG) pada 25 sampai 50 persen pasien. Penggunaan elektroda
sfenoidal atau temporal anterior dan EEG pada keadaan kurang
tidur dapat meningkatkan kemungkianan menemukan abnormalitas
EEG. EEG mormal multiple sering diperoleh pada pasien epilepsi
parsial kompleks; oleh karena itu, EEG normal tidak dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis epilepsi parsial
kompleks. Pengguanaan rekaman EEG jangka panjang (biasanya

9
24 sampai 72 jam) dapat membantu klinisi mendeteksi fokus kejang
pada sejumalah pasien.
c) Gejala Interiktal
1. Gangguan Kepribadian
Abnormalitas psikiatri yang paling sering dilaporkan pada
pasien epileptik adalah gangguan kepribadian, dan
gangguan tersebut terutama cenderung terjadi pada pasien
dengan epilepsi yang berasal dari lobus temporal.
Gambaran tersering adalah tampak sangat religious,
pengalaman emosi yang meninggi-suatu kualitas yang biasa
disebut viskositas kepribadian dan perubahan perilaku
seksual. Sindrom dalam bentuk yang komplek relative
jarang, bahkan pada mereka dengan kejang parsial
kompleks yang berasal dari lobus temporal. Banyak pasien
tidak mengalami gangguan kepribadian; yang lain
menderita serangkaian gangguan yang sangat berbeda
dengan sindrom yang klasik.
2. Gejala Psikotik
Awitan gejala psikotik pada epilepsi bervariasi. Secara
klasik, gejala psikotik tampak pada pasien yang telah
mengalami epilepsi dalam jangka waktu lama dan awitan
gejala psikotik didahului oleh timbulnya perubahan
kepribadian yang berhubungan dengan aktivitas epileptik
otak. Gejala psikosis yang paling khas adalah halusinasi dan
waham paranoid. Faktor risiko gejala ini meliputi jenis
kelamin perempuan, timbulnya kejang saat pubertas dan lesi
di sisi kiri otak.
3. Kekerasan
Kekerasan episodik menjadi masalah pada sebagian pasien
epilepsi, terutama epilepsi yang berasal dari lobus temporal
dan frontal. Belum dimetahui dengan pasti apakah
kekerasan merupakan manifestasi serangan itu sendiri atau

10
memiliki sumber psikopatologis interictal. Sebagian besar
bukti menunjukkan kekerasan sangat jarang menjadi
fenomena iktal. Hanya pada kasus yang langka saja
kekerasan pada seorang pasien epilepsi dianggap
disebabkan oleh serangan kejang itu sendiri.
4. Gejala Gangguan Mood
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, lebih
jarang terlihat pada epilepsi dibanding gejala lir-skizofrenia.
Kalau pun terjadi, gejala gangguan mood cenderung bersfiat
episodik dan paling sering muncul bila fokus epilepsi
mengenai lobus temporal hemisfer serebri nondominant.
Makna gejala gangguan mood dapat diperlihatkan oleh
meningkatnya insiden percobaan bunuh diri pada orang
dengan epilepsi.
(Sadock & Sadock, 2015).

Serangan psikis : macam-macam gejala mental yang timbul dalam


bentuk serangan berulang-ulang misalnya perubahan persepsi; barang-barang
kelihatan kecil atau besar atau jauh; perubahan tahu diri (self awareness)
;depersonalisasi, dejavu, jamais vue (belum pernah melihat, perubahan pikiran);
mendadak suatu kata, kalimat atau ide mendesak ke alam sadar dan mengisi
seluruhnya;perubahan afek serangan cemas sampai panic depresi, putus asa atau
lebih jarang senang, gembira, pengalaman halusinasi yang kompleks;sering
pendengaran(akustik), kadang-kadang baginya; otomatis yang kompleks.
(Maramis, 2012)

11
3.5. Diagnosis

Berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di


Indonesia III (PPDGJ-III)

Pedoman Diagnostik F07. Gangguan Kepribadian dan Perilaku akibat


Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi Otak
 Riwayat yang jelas atau hasil pemeriksaan yang mantap
menunjukkan adanya penyakit, kerusakan, atau disfungsi otak
 Disertai, dua atau lebih, gambaran berikut:
a. Penurunan yang konsisten dalam kemampuan untuk
mempertahankan aktivitas yang bertujuan, terutama yang
memakan waktu lebih lama dan penundaan kepuasaan.
b. Perubahan perilaku emosional, ditandai oleh labilitas
emosional, kegembiraan yang dangkal dan tak beralasan,
mudah berubah menjadi iritabilitas atau cetusan amarah dan
agresi yang sejenak; pada beberapa keadaan, apati dapat
merupakan gambaran yang menonjol
c. Pengungkapan kebutuhan dan keinginan tanpa
mempertimbangkan konsekuensi atau kelaziman social,
pasien mungkin terlibat dalam tindakan dissosial, seperti
mencuri bertindak melampaui batas kesopanan seksual, atau
makan secara lahap atau tidak sopan, kurang
memperhatikan kebersihan dirinya
d. Gangguan proses pikir, dalam bentuk curiga atau pikiran
paranoid dan.preokupasi berlebihan pada satu tema yang
biasanya abstrak (seperti soal agama, benar dan salah)
e. Kecepatan dan arus pembicaraan berubah dengan nyata,
dengan gambaran seperti berputar-putar, bicara banyak, dan
hipergrafia
f. Perilaku seksual yang berubah

(Rudi, 2013)

12
Untuk pasien yang sebelumnya telah menerima diagnosis epilepsi,
munculnya gejala psikiatri baru harus dianggap sebagai evolusi dari gejala
epilepsinya. Munculnya gejala psikotik, gangguan mood, gangguan
kepribadian, gangguan kecemasan (serangan panik), klinisi harus
mengevaluasi pengendalian epilepsi pada pasien dan menilai gangguan
mental pada pasien. Dokter harus mengevaluasi kepatuhan pasien
mengkonsumsi obat antikonvulsan dan mempertimbangkan apakah gejala
kejiwaan merupakan efek samping obat anti epilepsi. Dipertimbangkan
untuk mendapatkan hasil EEG pasien (Sadock & Sadock, 2015).

3.6. Diagnosis Banding


Psedoseizure, dimana pasien mempunyai kontrol diri untuk meniru
gerakan kejang.

Gambar 3.6 Membedakan Pseodoseizure dan Kejang Epileptik (Sadock &


Sadock, 2015).

3.7. Tatalaksana.

Obat antikonvulsan merupakan terapi pilihan utama. Obat lini


pertama untuk kejang umum adalah valproate dan fenitoin. Obat lini
pertama untuk kejang parsial meliputi karbamazepin, okskarbazepin dan
fenitoin. Etosuksimid dan valproate adalah obat lini pertama untuk kejang
absans (petit mal). Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi kelompok

13
berguna untuk membicarakan masalah psikososial yang berkaitan dengan
epilepsi. Sebagai tambahan, klinisi sebaiknya menyadari bahwa banyak
obat antiepileptik menyebabkan hendaya kognitif derajat ringan sampai
sedang, dan penyesuaian dosis atau perubahan obat sebaiknya
dipertimbangkan jika gejala hendaya kognitif merupakan masalah bagi
pasien (Sadock & Sadock, 2015).

Gambar 3.7 Obat Antikejang (Sadock & Sadock, 2015).

14
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Epilepsi sendiri adalah suatu jenis kejang yang disebabkan oleh gangguan
phatophysiologis paroksisimal sementara akibat gangguan fungsi serebral yang
menyebabkan pelepasan neuron berlebihan secara spontan.

Gejala psikiatri pada epilepsi dibagi menjadi tiga yaitu ictal, praiktal, dan
interiktal. Gejala interiktal dibagi menjadi 4 bagian yaitu gejala psikotik, gejala
gangguan mood, gangguan kepribadian dan kekerasan. Sekitar 30 sampai 50 persen
penderita epilepsi mengalami kesulitan psikiatri pada suatu waktu selama
perjalanan penyakit.

Tatalaksana awal ialah dengan menggunakan farmakoterapi obat


antikonvulsan sesuai jenis kejangnya. Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi
kelompok juga berguna untuk membicarakan masalah psikososial yang berkaitan
dengan epilepsi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hawari D. Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

Maslim R. Pedoman penggolongan diagnostik gangguan jiwa (PPDGJ III):


Direktoral Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Unika Atmajaya; 2003.
Maramis WF, Maramis AA. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2012
Rudi, M. (2013). DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA RUJUKAN RINGKAS DARI PPDGJ
III dan DSM 5. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
AtmaJaya; 2013

Sadock, B., & Sadock, V. R. (2015). Kaplan and Sadock's. New York: Wolters
Kluwer.

16

Anda mungkin juga menyukai