Anda di halaman 1dari 32

USULAN PENELITIAN

MANAJEMEN BISNIS PARIWISATA BERKELANJUTAN

POTENSI DAN PENGEMBANGAN DESA WISATA


KAMASAN KABUPATEN KLUNGKUNG

TIM PENGUSUL :
Luh Putu Puspawati
(2032125004)
Putu Agus Widi Widiantara
(2032125009)
I Gst. Agung Ayu Nym. Giri Sundari
(2032125014)
Ni Luh Cika Febriani
(2032125033)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS WARMADEWA
DENPASAR
2020
DAFTAR ISI
                                           
Daftar Isi……………………………………………………………………... i
Daftar Tabel………………………………………………………………….. iii
Daftar Gambar……………………………………………………………….. iii
BAB I Pendahuluan…………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………….. 4
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………... 4
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………. 4
BAB II Kajian Pustaka dan Kerangka Pemikiran……………………….. 6
2.1 Kajian Pustaka…………………………………................... 6
2.1.1 Manajemen…………………………………………... 6
2.1.2 Business Plan atau Perencanaan Bisnis……………… 9
2.1.3 Kewirausahaan………………………………………. 10
2.1.4 Pengertian Product dan Service……………………… 12
2.1.5 Analisis Situasi………………………………………. 13
2.1.6 Studi Kelayakan Bisnis……………………………… 13
2.1.7 The Startup Triangle Team………………………….. 15
2.1.8 Karakteristik Perusahaan Startup……………………. 17
2.1.9 Perkembangan Dunia Startup di Indonesia………….. 18
2.1.10 Sikap dan Aturan yang Diadopsi dari Startup……… 19
2.1.11 Membangun Startup Bisnis Kelas Kakap………….. 21
2.1.12 Mengapa Startup Bisnis bisa Sukses……………….. 23
2.2 Kerangka Pemikiran…………………………………….….. 27
BAB III Metodologi Penelitian…………..………………………………. 29
3.1 Objek Perancangan………………………………………… 29
3.2 Metode Perancangan………………………………………. 29
3.2.1 Langkah Perancangan Model……………………….. 29
3.2.2 Gambar Skematik Perancangan Model……………… 30
3.2.3 Operasional Parameter……………………………….. 31
3.3 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi Lapangan……... 34
BAB IV Analisis dan Hasil Perancangan Model…………………………. 35
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian………………………... 35
4.2 Analisis Situasi…………………………………………….. 36

Page | i
4.2.1 Faktor Eksternal……………………………………… 36
4.2.2 Faktor Internal……………………………………….. 37
4.3 Hasil Perancangan Model…………………………………. 39
4.3.1 Aspek Pasar dan Pemasaran…………………………. 39
4.3.2 Aspek Keuangan…………………………………….. 42
4.3.3 Aspek Operasional…………………………………… 42
4.3.4 Aspek SDM………………………………………….. 42
4.3.5 Aspek Manajemen dan Organisasi…………………... 43
4.4 Pembahasan Hasil Perancangan Model……………………. 43
4.5 Program Kerja Ruang Manajemen…………………………. 45
BAB V Penutup………………………………………………………….. 48
A. Simpulan…………………………………………………… 48
B. Rekomendasi………………………………………………. 48
Daftar Pustaka………………………………………………………………. 49

Page | ii
DAFTAR TABEL

No Halaman

3.1 Operasionalisasi Parameter…………………………………………… 31


4.1 Matrik Analisa SWOT Ruang Manajemen…………………………… 38
4.2 Pembahasan Hasil Perancangan Model…………….…………………. 43
4.3 Program Kerja Ruang Manajemen…….…………….…………………. 45

Page | iii
DAFTAR GAMBAR

No Halaman

2.1 Kerangka Pemikiran Business Plan Ruang Manajemen………………... 28


3.1 Skematik Perancangan Model…………………………………………... 30

Page | iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sektor pariwisata merupakan sektor industri terbesar yang menghasilkan
devisa bagi negara dari sektor nonmigas. Dalam membangun kawasan wisata yang
dapat menjadi daya tarik wisatawan baik dalam negeri ataupun luar negeri, perlu
didukung dari pengembangan destinasi wisata profesional, konsep yang jelas,
pelayanan dan jasa dari wisata tersebut yang handal serta pemasaran yang terus aktif
dan inovatif. Salah satu kegiatan pariwisata yang dikembangkan di Indonesia adalah
pariwisata perdesaan. Pariwisata perdesaan tentunya berbeda dengan pariwisata
perkotaan baik dalam hal obyek, lokasi, fungsi, skala maupun karakternya yang
tentunya membawa konsekuensi terhadap perencanaan dan pengembangannya.
Pengembangan pariwisata perdesaan di Indonesia dikembangkan salah satunya
melalui desa wisata yang dapat memperkenalkan potensi-potensi bagi suatu desa.
Desa wisata merupakan suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan
suasana yang mencerminkan keaslian pedesaaan baik dari kehidupan sosial ekonomi,
sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata
ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta
mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan,
misalnya atraksi, akomodasi, makanan-minuman, cinderamata, dan kebutuhan wisata
lainnya.
Dikutip dari halaman bali.bisnis.com, Bali memiliki 110 desa wisata pada
perhitungan terakhir selama tahun 2018 atau meningkat hingga 124% dibanding
pendataan pada empat tahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) Bali juga mencatat
jumlah desa dengan objek wisata naik 32% pada 2018. Perhitungan terakhir pada
2018, ada 162 desa dengan objek wisata yang sebelumnya pada 2014 hanya ada 122.
Salah satu desa wisata yang ada di Kabupaten Klungkung adalah Desa Kamasan
dengan keunggulan wisata budaya. Desa Wisata Kamasan memiliki daya tarik utama
berupa daya tarik wisata budaya seperti lukisan gaya kamasan, kerajinan seni logam
dan kerajinan tenun. Potensi pariwisata di Desa Wisata Kamasan juga dapat dilihat

Page | 5
dari struktur ruang yang masih menggunakan konsep Tri Hita Karana dan Sanga
Mandala serta struktur masyarakat yang masih bersifat tradisional dan mengacu
kepada adat istiadat setempat. Selain itu, terdapat beberapa kelompok masyarakat
lokal yang terbagi atas dasar pekerjaan menjadi salah satu potensi wisata yang dapat
dikembangkan bersifat budaya dan masyarakat. Namun, hingga saat ini persiapan dan
pengelolaan kawasan Desa Wisata Kamasan belum optimal, hal ini ditandai dengan
minimnya jumlah pengunjung ke Desa Wisata Kamasan dan juga masih ada program
maupun kebijakan pemerintah yang belum terimplementasi optimal seperti program
City Tour di Kawasan Desa Wisata Kamasan.
Program-program pengembangan kawasan Desa Wisata Kamasan seringkali
belum optimal pelaksanaannya dikarenakan kurang sinkronnya pelaksanaan peran
masing masing pihak pada umumnya dan pelibatan kelompok masyarakat pada
khususnya dalam pengembangan kawasan Desa Wisata Kamasan. Dengan tidak
adanya kepastian dalam pengembangan konsep desa wisata, hal ini berdampak dengan
adanya perubahan pekerjaan pada masyarakat Desa Kamasan dikarenakan para
pengrajin mengalami penurunan penghasilan, secara signifikan ini berdampak kepada
keajegan budaya Bali sehingga hal tersebut akan menyebabkan kerajinan lukisan
Wayang Kamasan dan juga komunitas lokal di Desa Wisata Kamasan akan punah.
Melihat beberapa permasalahan di atas, hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja
karena akan mengancam keberlanjutan dari pariwisata itu sendiri.
Saat ini, masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan memiliki
kedudukan dan peran penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan
pariwisata. Mulai dari kerangka perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan
pembangunan kepariwisataan, dan untuk mendukung keberhasilan pembangunan
kepariwisataan, maka setiap upaya atau program pembangunan yang dilaksanakan
harus memperhatikan posisi, potensi, dan peran masyarakat sebagai subjek atau
pelaku pembangunan. Secara konseptual, prinsip dasar kepariwisataan berbasis
masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui
pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga manfaat
kepariwisataan sebesar-besarnya diprioritaskan keperuntukannya bagi masyarakat.
Sasaran utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan

Page | 6
masyarakat setempat di kawasan pembangunan pariwisata. Saat ini, Desa Wisata
Kamasan masih memerlukan arahan untuk merealisasikan elemen-elemen di dalam
pariwisata berdasarkan pengembangan kepariwisataan berbasis masyarakat.
Pengembangan pariwisata di Desa Wisata Kamasan Kabupaten Klungkung
selama ini tidak terlepas dari strategi kebijakan yang diterapkan. Terdapat berbagai
kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan dan pengembangan pariwisata
untuk meningkatkan potensi ataupun daya tarik wisata. Kebijakan-kebijakan pariwisata
ini merupakan payung hukum dalam rangka pembangunan dan pengembangan pariwisata di
Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Klungkung.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, tampak penting dilakukan suatu kajian
untuk memahami lebih jauh tentang potensi, keunikan, keunggulan, dan upaya
pengembangan Desa Kamasan, sebagai desa wisata. Untuk mendapatkan pemahaman
itu, beberapa pertanyaan penelitian dapat diajukan sebagai berikut.
1. Bagaimana Desa Kamasan tumbuh menjadi desa wisata?
2. Potensi apa yang dimiliki Desa Kamasan sebagai desa wisata?
3. Bagaimana strategi pengembangan Desa Wisata Kamasan di Kabupaten
Klungkung?
4. Bagaimana peran kebijakan pemerintah di bidang pariwisata dalam
rangka pengembangan Desa Wisata Kamasan dan peningkatkan
pendapatan ekonomi masyarakat Desa Kamasan Kabupaten Klungkung?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui proses tumbuhnya Desa Kamasan Klungkung sebagai
desa wisata di Karangasem.
2. Untuk memahami potensi dan keunikan yang dimiliki Desa Kamasan
dilihat sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Klungkung.

Page | 7
3. Untuk mengetahui strategi pengembangan Desa Wisata Kamasan di
Kabupaten Klungkung.
4. Untuk mengetahui peran kebijakan pemerintah di bidang pariwisata
dalam rangka pengembangan Desa Wisata Kamasan dan peningkatkan
pendapatan ekonomi masyarakat Desa Kamasan Kabupaten Klungkung.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis dan akademis, sebagai
berikut.
1. Kontribusi Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
potensi dan keunikan yang dimiliki Desa Wisata Kamasan Klungkung dan
pengembangan desa wisata ini ke depan.
2. Kontribusi Teoritis. Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran terhadap ilmu sosial humaniora,
khususnya mengenai pembangunan pariwisata dan pemberdayaan
masyarakat.

Page | 8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka


Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993). Desa wisata juga
merupakan bentuk ekowisata (eco-tourism). Ekowisata merupakan suatu bentuk
perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke area-area alami yang dilakukan dengan
tujuan konservasi lingkungan serta melestarikan kehidupan dan mensejahterakan
penduduk setempat. Ekowisata merupakan sebuah aktivitas yang ramah lingkungan
dan sanggup mendukung konservasi keanekaragaman hayati (Li, 2006 dalam Baksh,
dkk., 2012). Diperlukan upaya yang lebih untuk pengembangan desa mengingat
kondisi lokal, ketersediaan infrastruktur yang ada, serta ketersediaan sumber daya
yang ada dan program terencana serta keterlibatan lintas sektor sebagai bentuk kerja
sama (Yohana, 2018).
Menurut Priasukmana dan Mulyadin (2001), penetapan suatu desa dijadikan
sebagai desa wisata harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : (1) aksesibilitasnya
baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat
transportasi; (2) memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda,
makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata; (3)
masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi
terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya; (4) keamanan di
desa tersebut terjamin; (5) tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang
memadai; (6) beriklim sejuk atau dingin; dan (7) Berhubungan dengan obyek wisata
lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Beberapa hasil penelitian tentang strategi pengembangan desa wisata antara
lain Joko Utomo, dkk (2017) hasil penelitiannya menyatakan strategi yang digunakan
berupa klaster pengembangan desa wisata, lembaga desa wisata dan pengembangan
desa wisata dengan tema desa wisata berperspektif go green yang unik, khas, dan
sehat yang berbasis pada keunggulan hortikultura. Nalayani (2016) hasil penelitian

Page | 9
menyebutkan bahwa rencana strategi pengembangan untuk kelompok desa wisata
yang sedang berkembang adalah diversifikasi produk wisata, pengelolaan desa wisata
yang lebih serius, mempertahankan budaya yang unik, peningkatan kualitas SDM,
peningkatan kerjasama antar sektor pendukung pariwisata, peningkatan promosi serta
pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan keamanan lingkungan. Sedangkan
rencana strategi pengembangan desa wisata yang belum berkembang adalah
penganekaragaman atraksi wisata, pemberdayaan kelompok sadar wisata, mencari
potensi yang berbeda dengan desa wisata lainnya, mengemas atraksi wisata sebagai
bahan promosi, meningkatkan promosi, penyuluhan tentang desa wisata, membentuk
pengelola desa wisata, pemberdayaan masyarakat dalam menciptakan keamanan
lingkungan dan peningkatan sarana transportasi.
Sanjaya (2018) menyatakan bahwa strategi pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat adalah melakukan strategi pengembangan kelembagaan dan SDM, strategi
promosi, strategi penguatan produk unggulan, dan strategi pengembangan daya tarik
wisata berkelanjutan. Sunaryo (2013) menyatakan bahwa untuk mewujudkan
pengembangan pariwisata berjalan dengan baik dan dikelola dengan baik maka hal
yang paling mendasar dilakukan adalah bagaimana memfasilitasi keterlibatan yang
luas dari komunitas lokal dalam proses pengembangan dan memaksimalkan nilai
manfaat sosial dan ekonomi dari kegiatan pariwisata untuk masyarakat setempat.
Masyarakat lokal memiliki kedudukan yang sama pentingnya sebagai salah satu
pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pembangunan kepariwisataan, selain
pihak pemerintah dan industri swasta.
Dalam pembangunan kepariwisataan yang berbasis pada masyarakat menurut
Suansri (2003) dalam Rahayu dkk (2015) menyebutkan prinsip dari Community
Based Tourism yang harus dilakukan, yaitu : (1) mengenali, mendukung, dan
mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam pariwisata; (2) melibatkan anggota
masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata dalam berbagai aspeknya; (3)
mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan; (4) meningkatkan
kualitas kehidupan; (5) menjamin keberlanjutan lingkungan; (6) melindungi ciri khas
(keunikan) dan budaya masyarakat lokal; (7) mengembangkan pembelajaran lintas
budaya; (8) menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia; (9)

Page | 10
mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsioanal
kepada anggota masyarakat; (10) memberikan kontribusi dengan persentase tertentu
dari pendapatan yang diperoleh untuk pengembangan masyarakat; dan (11)
menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.

2.2 Konsep
Sesuai judul dari penelitian ini yaitu “Potensi dan Pengembangan Desa Wisata
Kamasan Kabupaten Klungkung”, secara substansial konsep-konsep yang
dipergunakan dalam kajian ini adalah konsep Pengembangan, Pariwisata Alternatif,
konsep Desa Wisata, dan Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat dan
Kebijakan Pariwisata. Penjelasan konsep-konsep tersebut secara lebih detail menjadi
penting karena merupakan unsur pendukung penelitian ini. Konsep-konsep tersebut
diuraikan satu persatu sebagai berikut.

2.2.1 Pengembangan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:679), kata pengembangan mengandung
pengertian: pembangunan secara bertahap dan teratur, dan yang menjurus ke sasaran
yang dikehendaki. Selanjutnya Suwantoro (1997:120), menyatakan bahwa
pengembangan bertujuan untuk mengembangkan produk dan pelayanan yang
berkualitas, seimbang dan bertahap. Sedangkan Poerwadarminta (2002:474), lebih
menekankan kepada suatu proses atau suatu cara menjadikan sesuatu menjadi maju,
baik sempurna dan berguna. Dengan kata lain, pengembangan berarti pembangunan
yang dilakukan secara terus-menerus sampai mendapatkan hasil yang diharapkan.
Berkaitan dengan pembangunan pariwisata, Paturusi (2001) menyatakan,
pengembangan adalah suatu strategi yang dipergunakan untuk memajukan,
memperbaiki dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu daya tarik wisata
sehingga dapat dikunjungi wisatawan serta mampu memberikan manfaat dan
keuntungan bagi wisatawan, industri pariwisata (investor), pemerintah, maupun bagi
masyarakat lokal dimana daerah tujuan wisata tersebut berada. Mill (2000: 168)
menyatakan, bahwa pada dasarnya pengembangan pariwisata dilakukan untuk
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan permasalahan.

Page | 11
Menurut Butler, (1999:60) ada 6 tahap pengembangan pariwisata yang
membawa implikasi serta dampak yang berbeda, secara teoritis diantaranya :
1. Tahap exploration (eksplorasi, pertumbuhan spontan dan
penjajakan)
Pada tahap ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka
cenderung dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami
di daerah tujuan wisata. Fasilitas pariwisata dan kemudahan yang didapat
wisatawan juga kurang baik. Atraksi di daerah wisata belum berubah oleh
pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal relatif tinggi.
2. Tahap involvement (keterlibatan)
Pada tahap ini mulai adanya inisiatif masyarakat lokal menyediakan
fasilitas wisata, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu
keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadinya peningkatan jumlah
kunjungan wisatawan.
3. Tahap development (pengembangan dan pembangunan)
Pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada
musim puncak wisatawan biasanya menyamai, bahkan melebihi jumlah
penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata,
masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol
secara nasional dan regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk
memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran
internasional.
4. Tahap consolidation (konsolidasi)
Pada tahap ini tingkat pertumbuhan sudah mulai menurun, walaupun total
jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum
berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya
monopoli yang sangat kuat

Page | 12
5. Tahap stagnation (kestabilan)
Pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang pada puncaknya, wisatawan
sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Ini disadari
bahwa kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan
komponen-komponen lain pendukungnya adalah dibutuhkan untuk
mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan
wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan, sosial dan
ekonomi.
6. Tahap decline (penurunan kualitas) dan rejuvenation (kelahiran
baru)
Pada tahap decline, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang
diketahui semula dan menjadi ‘resort” baru. ‘Resort’ menjadi tergantung
pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan
harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk
berubah dan fasilitas-fasilitas pariwisata, seperti akomodasi akan berubah
pemanfaatannya. Akhirnya pengambilan kebijakan mengakui tingkatan ini
dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai ‘kelahiran baru’.
Selanjutnya terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang, seperti
pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi
daerah tujuan wisata tersebut.

2.2.2 Pariwisata Alternatif


Secara umum, pengembangan pariwisata dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: mass tourism (pariwisata massal/konvensional) dan alternative tourism
(pariwisata alternatif). Mass tourism bersifat konvensional, standar dan berskala
besar. Pariwisata alternatif secara lebih luas didefinisikan sebagai bentuk
kepariwisataan yang konsisten terhadap nilai alam, sosial, dan masyarakat yang
memungkinkan masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi positif dan
wajar, serta menikmati indahnya berbagai pengalaman (William dan Valene, 1992:3
dalam www.google.com, 15 Agustus 2015).

Page | 13
Pesatnya pembangunan dan pengembangan pariwisata massal (mass tourism)
di seluruh dunia disamping memberikan keuntungan, juga telah terbukti turut secara
luas memberikan dampak negatif bagi destinasi wisata (Cooper dan Ozdil, 1992
dalam France, 1997: 15). Untuk mengurangi dampak negatif yang terjadi, Wheeller
(1990) menyarankan untuk mengontrol volume pariwisata massal tersebut terutama di
daerah-daerah yang memiliki kerawanan lingkungan, seperti di daerah pegunungan
dan daerah pesisir pantai (France, 1997:15). Menurut Kodhyat (1997:32; Suwantoro,
2002) istilah pariwisata alternatif (alternative tourism) mempunyai 2 (dua) pengertian
sebagai berikut.
1. Sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang timbul sebagai reaksi
terhadap dampak-dampak negatif dari pengembangan dan perkembangan
pariwisata konvensional.
2. Sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda (yang merupakan alternatif)
dari pariwisata konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan.
Pada sisi yang lain, meningkatnya minat wisatawan pada bentuk-bentuk
pariwisata alternatif merupakan respon terhadap eksploitasi lingkungan yang
ditimbulkan oleh mass tourism terutama yang terjadi di negara-negara berkembang
(Fennell dan Smale, 1992 dalam France, 1997:15).
Pengembangan pariwisata massal (mass tourism) dengan skala besar diyakini
telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan (polusi) dan keramain berlebihan
(overcrowded). Kondisi ini menimbulkan dampak ketidaknyamanan bagi wisatawan,
sehingga mereka ingin mendapatkan dan menikmati sesuatu yang baru, berskala kecil,
berwawasan lingkungan, berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal. Dengan
adanya pariwisata alternatif, wisatawan diharapkan mendapatkan pengalaman yang
baru. Dalam hal ini, tampak jelas perbedaan antara pariwisata masal (mass tourism)
dengan pariwisata alternatif (alternative tourism) sebagaimana dikutip oleh Pearce
(1992:23), yang menyatakan konsep pariwisata alternatif kontras dengan konsep
pariwisata komersial/konvensional dengan skala besar, kapitalistik, kepemilikan
asing, ataupun hard tourism.
Hasslacher (1984), sebagaimana dikutip Pearce (1992:22-25), merangkum
beberapa variabel yang digunakan untuk membedakan mass (hard) tourism dengan

Page | 14
alternative (soft) tourism. Secara umum, perbedaan di antara kedua jenis pariwisata
tersebut dapat dilihat dari dari hal-hal berikut.
1. Karakteristik kontekstual, dalam bentuk fisik, sosial, budaya, lingkungan,
atau ekonomi. Hal ini akan berkaitan dengan dampak yang akan
ditimbulkan.
2. Fasilitas, baik jenis maupun skala. Bila pariwisata masal membangun
fasilitas akomodasi dengan skala besar, kualitas standar, dan harga
standar, maka pariwisata alternatif membangun fasilitas akomodasi
dengan skala kecil (terbatas) namun bervariasi dalam hal atraksi wisata
serta fasilitas lainnya. Umumnya, pariwisata alternatif cenderung
mempunyai harga yang lebih mahal dengan kualitas pelayanan yanag
lebih baik.
3. Lokasi, yaitu tempat di mana fasilitas tersebut dibangun. Bila pariwisata
masal cenderung dibangun secara ekstensif, maka pariwisata alternatif
cenderung dibangun terlokalisasi.
4. Pengembang/kepemilikan (ownership). Fasilitas pariwisata masal
cenderung dimiliki oleh investor terutama orang asing, dengan operasional
usahanya menggunakan jaringan (networking) internasional. Sedangkan
pariwisata alternatif cenderung dikembangkan dan dimiliki oleh orang
lokal yang termotivasi untuk memanfaatkan kehadiran wisatawan demi
keuntungan masyarakat orang lokal.
5. Proses pembangunan. Dalam pembangunan pariwisata masal, cenderung
memerlukan sumber daya yang sangat besar (listrik, air, tenaga kerja,
modal, dan sebagainya) serta memerlukan waktu yang lama. Namun,
dalam proses pembangunan pariwisata alternatif, cenderung menggunakan
sumber daya yang terbatas.
6. Pasar dan pemasaran. Pariwisata masal biasanya dipasarkan untuk
berbagai segmen pasar yang berasal dari berbagai negara dengan
karakteristik berbeda serta dibuat dalam paket dan promosi yang beragam.
Namun, pariwisata alternatif cenderung membidik segmen pasar tertentu

Page | 15
dengan jalur promosi dan paket yang terbatas namun mengedepankan
kualitas.
7. Dampak. Pariwisata massal telah banyak dikeluhkan memiliki dampak
yang negatif yang luas terhadap destinasi, sedangkan pada pariwisata
alternatif belum banyak penelitian yang dilakukan karena
perkembangnnya relatif baru. Namun demikian, secara hipotetis, karena
pariwisata alternatif muncul sebagai reaksi dari pariwisata masal, maka
peluang meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak
positif akan lebih besar.
Lebih lanjut, dilihat dari jenisnya, menurut Mieczkowski (1995:459 dalam
www.google.com, 15 Agustus 2015), pariwisata alternatif terdiri dari lima macam,
yaitu: (1) cultural tourism (pariwisata budaya), pengembangan pariwisata alternatif
berbasis budaya (culture) masyarakat lokal; (2) educational tourism (pariwisata
pendidikan), disediakan bagi mereka yang berwisata sambil mengikuti pendidikan dan
pelatihan tertentu; (3) scientific tourism (pariwisata science/ilmu pengetahuan); (4)
adventure tourism (pariwisata petualangan); dan (5) agritourism (pariwisata
pertanian) yang keseluruhannya merupakan pariwisata berwawasan lingkungan
(ecotourism). Dari keseluruhan Bentuk pengembangan pariwisata alternatif sesuai
pendapatnya Mieczkowski di atas, yang paling sesuai dikembangkan di pedesaan
adalah dalam bentuk cultural tourism (pariwisata budaya) yang memanfaatkan budaya
lokal masyarakat setempat sebagai daya tarik wisata, adventure tourism (pariwisata
petualangan), biasanya memanfaatkan kawasan pegunungan sebagai daya tarik
wisata, dan agritourism (pariwisata pertanian), dengan memanfaatkan sebagian atau
keseluruhan aktivitas pertanian yang dilakukan masyarakat.

Page | 16
Bentuk-bentuk pariwisata alternatif menurut Burns dan Holden dibedakan
menjadi menjadi tiga jenis. Ketiga bentuk pariwisata alternatif tersebut serta
karakteristiknya dijelaskan sebagai berikut.
1. Adventure tourism (pariwisata petualangan): melibatkan tantangan secara
fisik, mengandung unsur pendidikan, dan kontak dengan alam.
2. Nature tourism (pariwisata alam): merupakan bagian dari aspek pariwisata
petualangan yang lebih fokus pada kegiatan studi dan/atau kegiatan
konservasi flora, fauna, serta lingkungan alam (lanscape).
3. Community tourism (pariwisata masyarakat): jenis pariwisata ini dikelola
oleh dan untuk masyarakat lokal (Burns dan Holden (1997: 16).
Berkaitan dengan ketiga bentuk pariwisata alternatif di atas, dengan mengutip
pendapat Kallen (1990: 37) yang merujuk kepada definisi yang dikeluarkan oleh The
World Wild Fund for Nature (WWF) tentang ecotourirm (ekowisata) sebagai
pariwisata yang mengusung konsep perlindungan sumber daya alam dan kelestarian
lingkungan dan mampu memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat
lokal, Burns dan Holden juga memberikan gambaran scope atau cakupan wilayah
antara pengembangan pariwisata massal dan pariwisata alternatif seperti tampak
dalam gambar 2.1.
Dalam gambar 2.1, tampak wilayah cakupan pariwisata alternatif lebih luas
dibandingkan pariwisata massal. Pariwisata alternatif memiliki cakupan keseluruhan
pengembangan ekowisata (ecotourism), mencakup sebagian wilayah pariwisata
masyarakat (community tourism), pariwisata petualang (adventure tourism), dan
wilayah pariwisata alam (nature tourism).

Page | 17
ECOTOURI

COMMUNITY

MASS

Gambar 2.1 Jenis dan Cakupan Pariwisata


(Sumber : Burns dan Holden, 1997: 17)

2.2.3 Desa Wisata


Pariwisata pedesaan dalam dekade terakhir telah menjadi wacana menarik
dalam mencari alternatif dari pengembangan pariwisata konvensional. Jenis
pariwisata ini menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keunikan
pedesaan, baik dari kehidupan sosial budaya, adat istiadat keseharian, aktivitas
spiritual, arsitektur bangunan maupun struktur tata ruang desa yang khas atau kegiatan
perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkan
menjadi berbagai atraksi wisata.
Pariwisata pedesaan termasuk ke dalam jenis usaha berskala kecil,
memerlukan modal relatif lebih sedikit, memanfaatkan sumber daya setempat, dan
dimiliki serta dikelola oleh masyarakat lokal. Kunci utama pariwisata pedesaan adalah
keunikan dan originalitas adat istiadat, budaya, dan aktivitas daily life masyarakatnya.
Keaslian dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut
misalnya, tata ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentang alam, jasa peristiwa
sejarah dan budaya yang penting, serta pengalaman yang eksotik khas daerah.

Page | 18
Secara khusus berkaitan dengan perilaku, integritas, keramah-tamahan, dan
kesungguhan penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Oleh karena itu, pariwisata
pedesaan dapat djadikan media dalam pengembangan identitas dan ciri khas daerah
sesuai dengan prinsip dan tata cara adat setempat. Adapun caranya adalah dengan
mengembangkan mutu produk wisata pedesaan, pengembangan kelompok usaha
lokal, dan memberikan kesempatan pada masyarakat setempat untuk ikut
mengendalikan strategi dan pelaksanaan kegiatan tersebut (Nasikun, 1997, Fagence,
1997). Salah satu bentuk realisasi pengembangan pariwisata pedesaan adalah dalam
bentuk desa wisata.
Menurut Suwantoro (1997), desa wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang
menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari
tata ruang, arsitektur bangunan, maupun pola kehidupan sosial-budaya masyarakat,
adat istiadat keseharian serta mampu menyediakan komponen-komponen kebutuhan
pokok wisatawan seperti akomodasi, makanan dan minuman, cinderamata, dan
atraksi-atraksi wisata. Sedangkan Edward Inskeep, dalam Tourism Planning An
Integrated and Sustainable Development Approach memberikan definisi desa wisata
sebagai berikut.
Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional,
often remote villages and learn about village life and the local environment
(Wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau
dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan
belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat) (Inskeep,: 1991)
Berdasarkan definisi desa wisata di atas, substansi yang terkandung dalam
desa wisata adalah pengembangan suatu wilayah desa memanfaatkan berbagai potensi
serta kemampuan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat desa yang berfungsi
sebagai atribut produk wisata, menjadi suatu rangkaian aktifitas pariwisata yang
terpadu.

2.2.4 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Page | 19
Pembangunan berbasis masyarakat merupakan wacana yang harus
dikedepankan dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan di berbagai sektor,
termasuk pada sektor pariwisata. Wacana pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat (community based tourism development ) yang saat ini kerap kali
dijadikan dasar pembangunan pariwisata baik secara nasional, regional, maupun
internasional.
Pariwisata berbasis masyarakat identik dengan pembangunan pariwisata
berkelanjutan dan sering dikaitkan dengan pariwisata alternatif, ingin
menyeimbangkan antara sumber daya alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat,
sehingga bermanfaat secara positif bagi masyarakat lokal dan wisatawan. “Forms of
tourism that are consistent with natural, social, and community values and which
allow both hosts and guests to enjoy positive and whorth while interaction and shared
experience” (Eadigton and Smith, 1992). Dalam pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat, masyarakat lokal merupakan pelaku utama (actor) pembangunan
pariwisata berbasis masyarakat karena yang paling tahu potensi wilayah atau karakter
dan kemampuan unsur-unsur yang ada dalam desa termasuk indigenous knowledge
yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga pembangunan yang akan direncakanan
sesuai keinginan masyarakat lokal dari oleh dan untuk rakyat (Adhisakti, 2001).
Natori (2001) menambahkan, pariwisata berbasis masyarakat ingin
menyeimbangkan (harmonis) antara sumberdaya, masyarakat dan wisatawan. Tolak
ukur pembangunan pariwisata berbasis berbasis masyarakat adalah terciptanya
hubungan yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya alam/budaya dan
wisatawan, yang dapat dilihat dari hal-hal berikut.
1. Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat melalui
pembentukan suatu wadah organisasi untuk menampung segala aspirasi
masyarakat, melalui sistem kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat
lokal.
2. Adanya keberlanjutan lingkungan fisik yang ada di masyarakat, caranya
adalah melalui konservasi, promosi dan menciptakan tujuan hidup yang
harmonis antara sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber

Page | 20
daya manusia. Penemuan kembali potensi sumber daya alam, dan sumber
daya budaya.
3. Adanya keberlanjutan ekonomi melalui pemerataan dan keadilan dalam
menikmati hasil-hasil pembangunan.
4. Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat seperti sistem
informasi yang dapat digunakan bersama-sama.
5. Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang lebih baik,
pengadaan informasi yang efektif, efisien, tepat guna serta mengutamakan
kenyamanan bagi wisatawan (Natori, 2001).
Hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara komponen
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dapat dilihat dalam gambar 2.2. Pada
gambar ini, tampak ketiga unsur pariwisata berbasis masyarakat, yaitu sumber daya,
masyarakat lokal, dan wisatawan saling memberi dan menerima manfaat
pengembangan pariwisata.

Sumber Daya

Regulasi
(aturan

Masyarakat Wisatawan
Lokal

Gambar 2.2. Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat


Sumber : Natori (2001)

Page | 21
Untuk menghasilkan pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan
dilakukan dengan berbagai pendekatan sistem yang utuh dan terpadu, bersifat
interdisipiner, participactory; dan holistik antara komponen terkait. Bentuk-bentuk
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu; (1) swadaya (sepenuhnya dari masyarakat); (2) kemitraan (melalui pengusaha
angkat); dan (3) pendampingan oleh LSM atau pihak perguruan tinggi selama
masyarakat dianggap belum mampu untuk mandiri, namun apabila mereka sudah
dianggap mampu mandiri maka secara pelan-pelan ditinggalkan oleh pendamping
(Ardika, 2001).
Pengembangan pariwisata pedesaan yang merupakan penjabaran dari
pengembangan pariwisata alternatif, merupakan bentuk kegiataan pariwisata yang
sangat kental nuansanya pada pemberdayaan masyarakat baik sebagai objek maupun
subjek kegiatan pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, sistem pariwisata berbasis
masyarakat dapat dijadikan acuan pengembangan pariwisata di masa-masa
mendatang.
Sistem pariwisata yang berbasis masyarakat hendaknya dilandasi konsep hidup
masyarakat lokal secara berkesinambungan. Konsep harmonisasi unsur kehidupan
yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat Bali dikenal dengan Tri Hita Karana.
Konsep ini merupakan harmonisasi tiga unsur kehidupan yaitu hubungan manusia
dengan sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan
sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Korten (1987) mengemukakan tiga alasan mengapa Community Based
Management sangat penting dilaksanakan sebagai rancangan dasar dalam
pembangunan. Pertama, adanya sumber daya lokal yang secara tradisional dikuasai
dan dikelola oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal sudah dianggap mampu
mengelola lingkungannya, karena mereka telah mewarisi kearifan itu secara turun-
temurun. Kedua, adanya tanggung jawab lokal, artinya pengelolaan yang dilakukan
oleh masyarakat setempat biasanya lebih bertanggung jawab, karena kegiatan yang
mereka lakukan secara langsung akan berpengaruh pada kehidupan mereka, sehingga
orang luar dianggap tidak memiliki kedekatan moral dengan masyarakat lokal. Ketiga,

Page | 22
adanya variasi antar daerah, sehingga daerah yang satu dengan yang lainnya tidak
boleh diperlakukan sama dan menuntut adanya sistem pengelolaan yang berbeda.
Community Management (Pitana, 1999) disamakan dengan istilah Community
Based Approach (Pendekatan berbasis berbasis masyarakat). Hal ini didasarkan pada
suatu kenyataan bahwa masyarakat setempat sudah mempunyai kearifan local dalam
mengelola sumber daya alam yang ada di daerahnya dan hal itu diwariskan secara
turun-temurun. Kearifan local tersebut dikenal dengan istilah Tradisional Knowledge,
Local knowledge dan Ethnoscience harus diperhatikan dalam rangka pembangunan
pariwisata yang berwawasan budaya dan lingkungan. Titik dasar aktivitas pengelolaan
dalam konsep “Community Management” dimulai dari masyarakat itu sendiri, yaitu
identifikasi kebutuhan, analisis kemampuan, dan kontrol terhadap sumber-sumber
yang ada.
Pitana (2002:101-102) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat memiliki beberapa karakteristik ideal sebagai berikut.
1. Usaha yang dikembangkan berskala kecil, bukan skala raksasa.
2. Pemilikan dan pengelolaan dilakukan oleh masyarakaat lokal (locally
owned and managed).
3. Sesuai dengan skalanya yang kecil dan pengelolaannya oleh masyarakat
lokal, maka sebagian besar input yang digunakan, baik pada saat kontruksi
maupun operasi, berasal dari daerah setempat sehingga komponen
impornya kecil.
4. Aktivitas berantai (Spin-off activity) yang ditimbulkan banyak, oleh
karena itu adanya keterlibatan masyarakat lokal baik secara individual
maupun secara melembaga, menjadi semakin besar.
5. Adanya aktivitas berantai tersebut memberikan manfaat langsung yang
lebih besar bagi masyarakat lokal.
6. Berbasiskan kebudayaan lokal, karena pelakunya adalah masyarakat lokal.
7. Pengembangan ramah lingkungan (environmentally friendly), yang terkait
dengan adanya konversi lahan secara besar-besaran, serta tiadanya
pengubahan bentuk bentang alam yang berarti.

Page | 23
8. Melekatnya kearifan lokal (local wisdom), karena masyarakat telah
beradaptasi dengan alam sekitarnya.
9. Penyebarannya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan, tetapi dapat
menyebar keberbagai daerah.
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan mampu
memberikan berbagai keuntungan bagi masyarakat, seperti keuntungan ekonomi
sehingga pemeliharaan lingkungan bisa dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat
setempat, adanya penyebaran penduduk, dan menciptakan kawasan wisata alternatif
Keuntungan ekonomi yang diterima langsung oleh masyarakat pedesaan
adalah dengan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan.
Penyediaan barang dan jasa dapat dilakukan oleh kaum perempuan sementara laki-
laki bekerja di ladang. Winter, (dalam Parining dkk, 2001:12) mengatakan, pariwisata
pedesaan menciptakan lapangan pekerjaan bagi perempuan. Pendapat ini didukung
oleh Schneider insentif untuk petani lokal dan pemerataan dan perluasan produksi
pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan untuk wisatawan.
Di samping itu, dalam konsep pembangunan pariwisata yang berbasis berbasis
masyarakat perlu pula diperhatikan suatu konsep keseimbangan antara resources dan
resident. Dalam suatu pembangunan yang terintegrasi, yang mana masyarakat sebagai
pemain kunci kegiatan kepariwisataan. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata
berbasis berbasis masyarakat, salah satunya dalam bentuk desa wisata, ke depan dapat
dijadikan acuan pengembangan pariwisata alternatif, khususnya di Kabupaten
Karangasem.

2.2.5 Kebijakan Pariwisata


Menurut Goeldner dan Ritchie (2006) mendefinisikan kebijakan pariwisata
sebagai regulasi, aturan, pedoman, arah, dan sasaran pembangunan/promosi serta
strategi yang memberikan kerangka dalam pengambilan keputusan individu maupun
kolektif yang secara langsung mempengaruhi pengembangan pariwisata dalam jangka
panjang dan sekaligus kegiatan sehari-hari yang berlangsung di suatu destinasi.
Biederman (2007) menambahkan hal penting dalam definisi kebijakan
kepariwisataan dengan mengemukakan bahwa prinsip dari kebijakan kepariwisataan

Page | 24
adalah harus menjamin negara maupun daerah mendapatkan manfaat yang sebesar-
besarnya dari kontribusi sosial dan ekonomi yang diberikan pariwisata. Biederman
juga menyebutkan bahwa sasaran akhir dari kebijakan pariwisata adalah peningkatan
kemajuan negara atau daerah dan kehidupan warga negaranya.
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Edgell, dkk (2008) yang
mengemukakan bahwa kebijakan pariwisata merupakan kerangka etis yang terfokus
pada isu-isu yang dihadapi dan mempertemukan secara efektif keinginan/kebutuhan
masyarakat dengan rencana, pembangunan, produk, pelayanan, pemasaran, serta
tujuan dan sasaran keberlanjutan bagi pertumbuhan pariwisata di masa yang akan
datang, seperti yang dinyatakan berikut ini.
Definisi terakhir menjadikan pemasaran, pengembangan produk, dan
pelayananhospitalitymemegang peranan penting dalam kebijakan kepariwisataan.
Lebih penting lagi, definisi tersebut mengisyaratkan bahwa kebijakan kepariwisataan
bersifat dinamis dan fleksible dalam melakukan penyesuaian dan penyempurnaan
terhadap perkembangan yang terjadi.
Kebijakan kepariwisataan terkait erat dengan perencanaan kepariwisataan.
Menurut Edgell, dkk. (2008) perencanaan kepariwisataan memperkuat kedudukan
kebijakan kepariwisataan dalam pembangunan. Edgell, dkk (2008) mengemukakan
bahwa model perencanaan pariwisata mencakup pernyataan visi dan misi yang diikuti
oleh serangkaian tujuan, sasaran, strategi, dan taktik dalam pengembangan pariwisata.
Kebijakan dan perencanaan kepariwisataan seharusnya dapat berfungsi secara
efektif sebagai arah pembangunan kepariwisataan suatu destinasi. Akan tetapi, pada
kenyataannya banyak sekali konflik kepentingan di tingkat para pengambil keputusan
pada saat mengimplementasikan kebijakan maupun perencanaan kepariwisataan yang
sebenarnya sudah disepakati bersama sehingga perkembangan pariwisata tidak lagi
mengacu pada kebijakan dan perencanaan yang sudah dibuat.

Page | 25
2.2.6 Dampak Pariwisata terhadap Ekonomi Masyarakat
Ilmu ekonomi adalah suatu studi mengenai individu-individu dan masyarakat
membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber-
sumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk
menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan mendistribusikannya untuk
kebutuhan konsumsi, sekarang dan di masa depan, kepada individu dan golongan
masyarakat (Samuelson dalam Erista, 2014:24). Definisi yang lebih populer yang
sering digunakan untuk menerangkan ilmu ekonomi tersebut adalah salah satu cabang
ilmu sosial yang khusus mempelajari tingkah laku manusia atau segolongan
masyarakat dalam usahanya memenuhi kebutuhan yang relatif tak terbatas dengan alat
pemuas kebutuhan yang terbatas adanya (Deliarnov dalam Kurniawan, 2015:17). Dari
definisi di atas mengenai sosial dan ekonomi bahwa sosial ekonomi adalah suatu
interaksi masyarakat yang terjadi, dan didalamnya ada proses kegiatan ekonomi yaitu
perindustrian, perdagangan dan lain sebagainya serta selalu memperhatikan
kepentingan masyarakat (Firdaus, 2011:28-29).
Dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:65) merupakan
pengaruh yang dapat timbul karena suatu akibat (baik positif atau negatif). Secara
ekonomi memiliki makna yakni pengaruh suatu pelaksanaan terhadap kondisi
perekonomian di suatu Negara. Dampak merupakan perubahan yang terjadi
dilingkungan karena adanya aktifitas manusia (Suratmo, 2004:24).
Menurut para ahli menurut Santosa (2011:34) mengklasifikasikan dampak
ekonomi yang timbul akibat adanya pariwisata, terdiri dari efek langsung, efek tidak
langsung dan efek induksi. Dimana efek tidak langsung dan efek induksi termasuk
efek sekunder, sedangkan efek tidak langsung merupakan efek primer. Dampak total
ekonomi pariwisata adalah keseluruhan jumlah dari pengaruh yang terjadi secara
langsung atau tidak, dan dapat di ukur sebagai pengeluaran bruto atau penjualan,
penghasilan, penempatan tenaga kerja dan nilai tambah.
Menurut Cohen (1984) dalam Waluya (2013:2) dampak pariwisata terhadap
kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan
kelompok, yaitu :

Page | 26
1. Dampak terhadap penerimaan devisa;
2. Dampak terhadap pendapatan masyarakat;
3. Dampak terhadap kesempatan kerja;
4. Dampak terhadap harga-harga;
5. Dampak terhadap distribusi manfaat atau keuntungan;
6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol;
7. Dampak terhadap pada pembangunan pada umumnya;
8. Dampak terhadap pembangunan pendapatan pemerintah.
Menurut Waluya (2013:2-3) dampak positif ekonomi pariwisata, yaitu :
1. Memperluas lapangan pekerjaan;
2. Bertambahnya kesempatan berusaha;
3. Meningkatkan pendapatan;
4. Terpeliharanya kebudayaan setempat;
5. Dikenalnya kebudayaan setempat oleh wisatawan.
Sedangkan dampak negatif dari ekonomi pariwisata adalah :
1. Terjadinya tekanan tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah;
2. Timbulnya komersialisasi;
3. Berkembangnya pola hidup konsumtif;
4. Terganggunya lingkungan;
5. Semakin terbatasnya lahan pertanian;
6. Pencemaran budaya;
7. Terdesaknya masyarakat setempat.

Page | 27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Desa Wisata Budaya Kamasan terletak di Kecamatan Klungkung,
Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Jarak dari Denpasar ke desa ini sekitar 43
km. Akses sangat mudah karena dekat (± 2km) dari pusat Kota Semarapura,
Klungkung. Desa Wisata Budaya Kamasan merupakan salah satu tujuan wisata
yang terdapat di Kabupaten Klungkung. Desa Wisata ini terdiri atas tiga wilayah
desa Dinas yaitu Glegel, Tojan dan Kamasan yang tergabung satu desa adat. 
Desa wisata ini terkenal dengan keindahan seni budayanya dalam membuat
kerajinan perak, ukiran selongsong peluru, emas dan lukisan wayang tradisional.
Luas desa kamasan hanya sekitar 249 hektar dengan jumlah penduduk
sekitar 3.400 jiwa dan tersebar di 10 banjar adat atau dusun pemerintah. desa
kemasan hanya berjarak 4 km saja dari kota semarapura, yang merupakan ibukota
Kabupaten Klungkung.

3.2 Metode Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Dua teknik pengumpulan data yaitu
dengan observasi dan dokumentasi guna mendapatkan data yang dibutuhkan.
Penjelasan dari teknik yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Observasi, merupakan kegiatan manusia yang menggunakan panca indera
untuk mengamati suatu hal. Penggunaan teknik observasi juga dapat
mengeksplorasi dengan memberikan gambaran jelas tentang permasalahan dan
petunjuk pemecahannya (Sugiyono, 2005).
b. Dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan telaah
data historis atau dokumen yang lalu untuk menunjang data penelitian.
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa, jurnal, dan
Media Sosial.

Page | 28
3.3 Metode Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, dilakukan tabulasi, pengelompokan data, dan
selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki.
Analisis dilakukan dengan metode deskriptif analisis, mengarah pada
pencaharian makna Desa Wisata Budaya Kamasan, menuju kesejahteraan
masyarakat. Seberapa jauh berbagai faktor berpengaruh mendorong kemajuan
atau menjadi hambatan di dalamnya akan dianalisis menggunakan SWOT
analysis. Selanjutnya dilakukan rekonstruksi hasil analisis data untuk disusun
dalam bentuk laporan tertulis.

3.4 Metode Penyajian Hasil Penelitian


Teknik penyajian hasil analisis dilakukan dengan cara menggabungkan
hasil rekonstruksi yang bersifat informal (data kualitatif) dan hasil rekonstruksi
formal (bentuk gambar, tabel, angka), sebagai hasil bentuk penelitian secara
keseluruhan. Selanjutnya, laporan disusun dalam bentuk bab-bab dan sub-sub bab
sehingga menggambarkan satu laporan tertulis sistematis, dengan data dan arah
yang jelas.

Page | 29
BAB IV. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN

4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Uraian
No. 18 19 20 21 22 23 24 25 29
Kegiatan
Pengajuan
1                  
Proposal
Pengumpulan
2                  
Data

3 Analisis Data                  

Penyusunan
4                  
Hasil
Penyerahan
5                  
Hasil

4.2 Anggaran Penelitian

No. Jenis Anggaran Jumlah


300,000.0
1 Perjalanan
0
200,000.0
2 Barang habis pakai
0
500,000.0
  Jumlah
0

Page | 30
DAFTAR PUSTAKA

Putu Jiwandana Winata dan Hertiari Idajati, Karakteristik Desa Berdasarkan Kriteria
Community Based Tourism di Desa Wisata Kamasan, Kabupaten Klungkung.
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS).
I W. Pantiyasa, 2019, Konstruksi Model Pengembangan Desa Wisata menuju Smart
Eco-Tourism di Desa Paksebali, Klungkung, Bali, Sekolah Tinggi Pariwisata
Bali Internasional.
Timang Setyorini, S.H., Kebijakan Pariwisata Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan
Ekonomi Kota Semarang, Tesis, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
https://bali.bisnis.com/read/20190103/537/875046/jumlah-desa-wisata-di-bali-
meningkat-signifikan.
https://gpswisataindonesia.info/desa-wisata-budaya-kamasan-klungkung-bali/
https://klungkungkab.go.id/halaman/detail/desa-wisata-kamasan

Page | 31

Anda mungkin juga menyukai