PENDIDIKAN
ISLAM
SEJARAH
PENDIDIKAN
ISLAM
Pada Periode Klasik
dan Pertengahan
Kata Pengantar
[
sahabatnya, diiringi dengan upaya meneladani akhlaknya yang
mulia.
Selanjutnya disampaikan bahwa penerbitan buku ini didasari
oleh keinginan untuk ikut serta mengembangkan khazanah ilmiah
dalam bidang pendidikan Islam dalam perspektif sejarah, yang
hingga saat ini masih dirasakan kurang.
Dengan penerbitan buku ini diharapkan dapat men- dorong para
peneliti untuk menggali lebih lanjut khazanah ilmiah dalam bidang
sejarah pendidikan Islam. Hasil penelitian tersebut nantinya selain
untuk membuktikan kiprah pengab-
Sejarah Pendidikan islam
VI
dian pendidikan Islam bagi kemajuan umat juga sekaligus untuk
mendorong timbulnya rasa bangga dan kecintaan pada pendidikan
Islam.
Dengan sifatnya sebagai kumpulan makalah yang ditulis oleh
para mahasiswa saya di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, maka buku ini sudah dipastikan selain
memiliki keragaman gaya bahasa dan logika, juga memiliki
kekurangan di sana sini, seperti adanya pengulangan,
kekurangpiawaian dalam menuangkan gagasan dan seterusnya.
Sehubungan dengan berbagai kekurangan tersebut di atas, maka
saran, kritik, masukan dan sebagainya sangat kami harapkan.
Kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan
dorongan untuk penerbitan buku ini kami ucapkan terima kasih.
Akhirnya doa kami panjatkan semoga upaya yang kita lakukan
ini mendapatkan ridha Allah Swt., dan menjadi amal ibadah bagi kita
semua. Amin.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR V
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM PENDIDIKAN
ISLAM
Oleh: Syahraini Tambak 9
A. Pendahuluan 9
B. Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 11
C. Kesimpulan 26
A. Pendahuluan 155
B. Hubungan Ilmuwan Muslim
dengan Filsafat Yunani 156
C. Dasar-dasar Pemikiran Filosof Yunani 160
D. Pengaruh Filsafat Yunani dalam
Pendidikan Islam pada Masa Klasik 165
E.
Kesimpulan 170
Daftar Isi XI
A.
Pendahuluan 171
B. Madrasah dan Perkembangan
Ilmu Pengetahuan Islam 173
C. Fungsi Madrasah dalam Mentransmisikan Ilmu
Pengetahuan Agama 178
D. Peranan Ulama dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan Islam 182
E. Kesimpulan 183
A. Pendahuluan 203
XII Sejarah Pendidikan Islam
A.
Pendahuluan 271
B. Perkembangan Pendidikan pada
Masa Turki Utsmani 272
C. Kesimpulan 280
A. Pendahuluan 281
B. Perkembangan Pendidikan
Islam Utsmani 283
C. Kesimpulan 290
BAB I
Pendahuluan
dap ilmu pendidikan yang bersifat normative perennialis ini telah banyak
dilakukan sarjana Muslim, antara lain Muhammad Quthb melalui
karyanya Sistem Pendidikan Islam, Shalih Abdullah Shalih melalui
bukunya Islamic Education: Quranic Outlook; Muhammad Nashih Ulwan
melalui bukunya Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam. Di Indonesia kajian
terhadap ayat- ayat Alquran dan Al-Hadis yang berkaitan dengan
pendidikan dikembangkan di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Di antara yang mengembangkannya adalah Abuddin Nata,
melalui bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, serta para pakar lainnya
dalam berbagai tulisannya pada Jurnal Islamika Didaktika pada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, serta dalam bentuk artikel pada berbagai buku tentang ke-
Islaman.
Ilmu pendidikan Islam yang bercorak filosofis adalah ilmu
pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran
filsafat Islam yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Dengan
sifatnya yang mendalam, radikal, universal dan sistematis, filsafat
pendidikan Islam berupaya menjelaskan konsep-konsep yang
mendasar tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan
berbagai aspek pendidikan Islam, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum,
bahan pelajaran, guru, murid, hubungan guru murid, proses belajar
mengajar, mana- jemen, dan aspek pendidikan lainnya dikaji secara
mendalam untuk ditemukan inti gagasan yang terdapat di dalamnya.
Dengan demikian, ilmu ini berguna untuk membangun ber- bagai
konsep yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut. Kajian
terhadap ilmu pendidikan Islam yang bercorak filosofis ini telah
banyak dilakukan oleh para sarjana pendidikan. Mereka itu, antara
lain Mohammad Al-Taomy Al-Syaibani
Pendahuluan 3
ini antara lain dilakukan oleh Prof. Dr. H. Mahmud Yunus melalui
karyanya berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia-, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, M.A. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru; Dr. H. Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya;
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. melalui karyanya Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia; Pendidikan Islam
di Indonesia Tantangan dan Peluang, serta Manajemen Pendidikan Islam:
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia.
Adapun ilmu pendidikan Islam yang bercorak aplikatif adalah
ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada upaya
menerapkan konsep-konsep pendidikan dalam kegiatan yang lebih
konkret dan dapat diukur serta dilihat hasilnya. Kajian ini
mengharuskan adanya uji coba konsep melalui eksperimen di kelas
dan lainnya. Hasilnya adalah konsep-konsep yang siap diaplikasikan.
Upaya ini termasuk yang agak kurang dilakukan oleh para sarjana
pendidikan Muslim dibandingkan dengan yang dilakukan oleh para
sarjana Barat. 1 Di Indonesia, kajian terhadap pendidikan
1Kajian ilmu pendidikan yang bersifat aplikatif termasuk yang paling banyak
digemari oleh para peneliti pendidikan di Barat. Dengan menggunakan uji coba atau
eksperimen di laboratorium atau pada unit-unit kegiatan yang - sengaja mereka adakan
dan lakukan selama bertahun-tahun, mereka dapat menghasilkan berbagai model konsep
pendidikan yang siap diaplikasikan. Kajian ini mencoba memanfaatkan berbagai konsep
atau teori yang telah dikembangkan oleh para ahli dalam berbagai bidang, seperti kajian
tentang konsep-konsep psikologi, sosiologi, antroplogi dan sebagainya. Melalui teori-
teori psikologi, mereka telah berhasil mengembangkan model-model pembelajaran yang
dinilai dapat mempercepat proses pembelajaran. Se- perti konsep pembelajaran Quantum
Teaching oleh Boby de Porter; Cooperative
Pendahuluan 5
Islam yang bercorak aplikatif ini, misalnya kita jumpai pada Prof. Dr.
H. Mahmud Yunus melalui konsepnya dalam bidang metodologi
pengajaran bahasa Arab. Setelah melakukan pengamatan selama
beberapa tahun terhadap metode peng- ajaran bahasa Arab yang
dilakukan di pesantren-pesantren, Mahmud Yunus sampai pada
kesimpulan, bahwa metode pengajaran bahasa Arab yang menekankan
gramatika yang dilakukan secara parsial di pesantren amatlah sulit,
rumit dan melelahkan, tapi hasilnya tidak sebanding dengan upaya
yang dilakukan. Para lulusan pesantren sangat kaya dan mendalam
pengetahuan teoretisnya dalam bidang bahasa, tapi mereka tidak
mampu mengaplikasikannya dalam bentuk percakapan, dan tulisan
yang berbahasa Arab. Upaya ini harus segera diatasi dengan membuat
metode pengajaran yang baru yang ia kenalkan dengan nama Al-
Thariqah al- Mubasyarah (Direct Methode) yang mengajarkan berbagai
komponen ilmu bahasa Arab secara integrated dan ditekankan pada
penerapannya dalam percakapan sehari-hari di dalam kelas dan
pergaulan selama di pesantren. Upaya ini telah berhasil ia wujudkan
melalui lembaga pendidikan Adabiyah School di Sumatera Barat, dan
salah seorang muridnya
Learning, Partisipative Learning, dan sebagainya. Dengan berbagai konsep tersebut proses
belajar mengajar makin dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Di Dunia
Islam kajian terhadap pendidikan yang bercorak aplikatif masih kurang dibandingkan
dengan konsep kajian pendidikan Islam yang bercorak normatif, perenialis, historis
dan filosofis. Hal yang demikian terjadi karena untuk melakukan kajian yang bersifat
uji coba eksperimen dibutuhkan lebih banyak modal dibandingkan dengan modal
untuk penelitian dalam kajian pendidikan lainnya.
Sejarah Pendidikan Islam
6
memiliki sikap mental mandiri dan akhlak yang mulia, juga mampu berkomunikasi dan
menulis bahasa Arab dengan baik. Para lulusannya diakui oleh Universitas Al-Azhar
Cairo dengan diterimanya sebagai mahasiswa di Universitas tersebut tanpa testing.
Sejumlah tokoh nasional yang disegani juga banyak yang tamatan Gontor Ponorogo.
Mereka itu antara lain Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, K.H.
Syukron Makmun dan sebagainya masih banyak lagi. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), cet I, hlm. 167.
3 Metode Iqra telah diakui sebagai metode yang banyak membantu masyarakat
yang ingin mampu membaca Alquran dalam waktu yang tidak terlalu lama. Metode ini
sudah sangat populer dan menjadi nama yang khas pada sejumlah pergujuan yang
mengajarkan cara membaca Alquran. Departemen Agama RI telah menetapkan metode
Iqra sebagai cara meng- ajarkan Alquran yang menjadi gerakan nasional pemberantasan
buta aksara baca tulis Alquran.
Pendahuluan 7
BAB II
A. PENDAHULUAN
Dalam Alquran ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia
agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai
pengabdiannya kepada Allah. 1 Aktivitas yang dimaksud tersimpul
dalam ayat Alquran yang menegas- kan bahwa manusia adalah
khalifah Allah. 2 Dalam statusnya sebagai khalifah, manusia hidup di
alam mendapat tugas dari Allah untuk memakmurkan bumi sesuai
dengan konsep yang ditetapkan-Nya. 3 Manusia sebagai khalifah Allah
memikul beban yang sangat berat. Tugas ini dapat diaktualisasikan
jika manusia dibekali dengan pengetahuan. Semua ini dapat dipenuhi
hanya dengan proses pendidikan.
Pendidikan Islam terjadi sejak nabi diangkat menjadi Rasul di
Makkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendi-
4 Azyumardi Azra, Pendidikan lslam:Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:
6 Lih. Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
hlm. 5.
8 Philip K. Hitty, History of the Arab, London: Macmillan Press, 1974,
hlm. 240.
9 Secara umum tujuan pendidikan Islam itu diarahkan pada pemben- ...
tukan kepribadian yang utama dan akhlakul karimah. Ini sesuai dengan misi
kerasulan Nabi Muhammad Saw. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
yang berdasar pada wahyu Allah, li-utammima makarimal akhlak. Lih. Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan hlam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 49
10 Tujuan hidup manusia ini tercermin dalam QS'Al-An’am, 162. Sesung-
12 Sejarah Pendidikan Islam
a. Universal (menyeluruh)
Agama Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat
menyeluruh dalam pandangannya terhadap agama, manusia,
masyarakat dan kehidupan. Islam berusaha membina individu
sebagaimana ia membina masyarakat dan meng- hargainya sekaligus.
Pendidikan Islam berdasar pada prinsip ini bertujuan untuk
membuka, mengembangkan, dan mendidik segala aspek pribadi
manusia dan dayanya. Juga mengembangkan segala segi kehidupan
dalam masyarakat, turut menyelesai- kan masalah sosial dan
memelihara sejarah dan kebuda-
guhnya sembahyangku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Tuhan seluruh alam.
11 Lih. Hasan Langgulung, Asas Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1988, hlm. 7.
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 13
c. Kejelasan
Prinsip ini memberi jawaban yang jelas dan tegas pada jiwa dan
akal dalam memecahkan masalah, tantangan dan krisis. Prinsip ini
merupakan prinsip penting yang harus ada dalam setiap tujuan-
tujuan pengajaran. Kejelasan tujuan memberi makna dan kekuatan
terhadap pengajaran. Men- dorong pengajaran untuk bertolak pada
arah yang jelas untuk mencapai tujuan dan menghalangi terjadinya
perselisihan dalam persepsi dan interpretasi. 14
e. Prinsip dinamisme
Pendidikan Islam tidak beku dalam tujuan, kurikulum dan
metode-metodenya, tetapi selalu memperbarui dan berkem- bang. Ia
memberi respon terhadap perkembangan individu, sosial dan
masyarakat, bahkan inovasi-inovasi dari bangsa- bangsa lain di
dunia. 16
kajian ilmiah baru pada awal abad ke-20.19 Kurikulum pen- didikan
Islam klasik hanya berkisar pada bidang studi ter- tentu.20 Ilmu-ilmu
agama mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata
pelajaran hadis dan tafsir, fiqih, retorika dakwah 21 (dianggap sebagai
sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan klasik), 22 ilmu
kalam, ilmu filsafat dan ilmu-ilmu hellenis.
Namun dengan perkembangan sosial dan kultural, isi kurikulum
semakin meluas. Dengan perkembangan ini diperlukan prinsip-prinsip
umum yang menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan
Islam. Dalam meletakkan cetak biru (blue print) pendidikan Islam adalah
dengan meng- integrasikan ajaran-ajaran ideologi dan pandangan Islam
secara menyeluruh ke dalam mata pelajaran (subject matter)
Pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990, hlm. 75. Lih. pula Abdurrahman Saleh
Abdullah, Educational Theory Qur’ani Outlook, Makkah Al-Mukarra- mah: Ummul Qura
University, tt, him. 123, dan literatur-literatur lain yang membahas pendidikan.
19 G. A. Beuchamp, Curriculum Theory, Wilmete: The Kagg Press, 1968, hlm. 26.
1. Ruh Islamiyah
Setiap yang berkaitan dengan kurikulum-termasuk falsa- fah,
tujuan, metode dan lainnya-harus berdasar pada agama dan akhlak
Islam. Terisi dengan jiwa agama Islam dan bertujuan untuk
mencapai tujuan-tujuan spiritual dan akhlak dalam membina pribadi
mukmin. 24
2. Universal
Antara tujuan dan kandungan kurikulum harus meliputi segala
aspek. Apabila tujuan meliputi segala aspek pribadi pelajar,
kandungannya juga meliputi segala aspek yang ber- guna untuk
membina pribadi pelajar yang berpadu dan bermanfaat bagi
perkembangan masyarakat. 25
3. Balancing
Antara tujuan dan kandungan kurikulum harus memiliki
keseimbangan (balance) dalam penyusunannya. Agama Islam yang
merupakan sumber ilham kurikulum dalam mencip- takan falsafah
dan tujuan-tujuannya menekankan kependngan duniawi dan ukhrawi
dengan memperhatikan perkembangan
24 Lih. Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany, op. cii, hlm. 520.
25 Dalam perkembangan'masyarakat ini perlu diperhatikan perkem- bangan
spiritual, ke'budayaan, sosial, ekonomi dan politik, termasuk ilmu- ilmu agama, bahasa,
kemanusiaan, fisik, praktis, profesional, seni rupa dan lain- lain. Lih. Ibid.
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 17 .
timbulnya proses belajar pada murid-murid atau jalan yang dengannya pelajaran itu
menjadi terkesan. Edgard Gruce Wesley, Teaching Social Studies in High School, Boston: USA
Press, 1950, hlm. 421. Ghunaimah mengatakan bahwa metode pengajaran adalah cara-cara
guru yang praktis dalam men- jalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran.
Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, Tarikh al-]ami’at al-Islamiyah al-Kubra, Maroko: Dar al-Tiba’ah al-
Mughribiyah, 1953, hlm. 77.
18 Sejarah Pendidikan Islam
d. Partisipasi praktikal
Penekanan dalam prinsip ini adalah pada amal (action) untuk
menanamkan dan meneguhkan tujuan pelajaran. Dalam tercapainya
“perubahan” dalam pendidikan dapat diketahui melalui tingkah laku
dan metode pelaksanaannya melalui pengamalan dan partisipasi yang
berulang-ulang.33
31 Lih. Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, loc. cit. 32 lbid, hlm. 598.
33 Lih. Ibid' hlm. 604
20 Sejarah Pendidikan Islam
34 Guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran
yaitu: Pertama, murid, secara harfiyah adalah orang yang menginginkan atau
membutuhkan sesuatu. Kedua, tilmidz yang berarti murid, dan yang ketiga adalah thalib al-’ilm
yang berarti yang menuntut ilmu,-pelajar atau mahasiswa. Lih. Abuddin Nata op. cit.,
hlm. 79.
’'Azyumardi Azra, Pendidikan Islam..., op. cit., hlm. 6.
37Banking Concept of Education adalah salah satu istilah yang diperkenal- kan Paula
Preire. Konsep ini merupakan suatu gejala di mana guru berlaku sebagai penyimpan
yang memperlakukan murid sebagai tempat penyim-
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 21
sekarang ini. Dari pola hubungan guru dan murid ini dapatlah
dikemukakan prinsip-prinsip umum yang mendasari, yaitu:
a. Prinsip humanistik
Dalam kegiatan proses belajar mengajar, dominasi tidak berada
pada guru saja dan bukan pula pada siswa, akan tetapi proses
pembelajaran itu berlangsung dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Mengajar anak didik dengan rendah hati dan memberikan petunjuk
dan mengarahkannya sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan
pemikiran anak didik. 38
b. Prinsip egaliter
Dalam prinsip ini bukanlah guru yang menduduki posisi tinggi
dan murid dianggap sebagai yang terendah, akan tetapi antara guru
dan murid berada dalam posisi yang sama yang memiliki kesederajatan
dalam pembelajaran. Dan bukan pula seperti yang dikemukakan oleh
Bullet, bahwa ciri pendidikan Islam klasik adalah teacher oriented,
sehingga kualitas suatu pendidikan tergantung pada guru, 39 akan
tetapi all oriented (berorientasi pada guru dan murid) dan tentu pula
kualitas pendidikan itu bergantung pada guru dan murid.
panan-semacam bank-yang kosong yang karenanya perlu diisi. Dalam proses seperti ini
murid tidak lebih sebagai gudang, yang tak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada
dalam kebodohan absolut (absolute ignurance). Ini merupakan suatu penindasan kesadaran
manusia. Lih. Ibid, hlm. 7.
38 Lih. Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latif,
c. Prinsip demokratis
Dalam sistem pembelajaran, pendidik memiliki sifat yang baik,
terbuka dan tidak bersifat otoriter. Sikap keter- bukaan antara guru
dan murid merupakan hal pokok yang perlu dikembangkan. Dalam
proses belajar mengajar, murid bebas mengeluarkan pendapat, baik
untuk bertanya maupun mengkritik guru, dan berada pada bingkai
norma-norma religi. Dengan prinsip seperti ini, kreativitas anak
dapat terbongkar dan hasil belajar pun akan berpeluang besar pada
skala tinggi.
Zakiyah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi
42 Lih.
a. Prinsip objektivitas
Pemberian nilai yang dilakukan pendidik merupakan bagian
integral dari proses belajar mengajar. Evaluasi dida- sarkan atas
hasil pengukuran yang komprehensif yang meliputi aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. 46 Dalam Islam, penilaian ini meliputi
penilaian pada segi ucapan, perbuatan, dan hati sanubari, yang
dikenal dengan istilah
sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan. Yuyun Nurkancana dan PPN
Sumantara, Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1986, hlm. 1. Lih. pula
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hlm. 3.
Lih. pula M. Ngalim Purwanto, Prinsip- Prinsip dan Teknik-Teknik Evaluasi Pengajaran,
Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992, hlm. 3.
45 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perbandingan
b. Prinsip keadilan
Keadilan merupakan pokok penting yang harus diper- hatikan
seorang guru dalam evaluasi. Tidak terjadi ketim- pangan-
ketimpangan. Dalam proses pemberian nilai ini ada dua macam
penilaian yang perlu diperhatikan, yaitu peni- laian norm referenced dan
orientation referenced. Yang pertama berkaitan dengan hasil belajar
sedang yang kedua berkaitan dengan penempatan. 48
c. Prinsip kejujuran
Dalam proses penilaian, seorang guru harus mengatakan
sesuatu sesuai dengan realitas konkretnya, 49 tanpa mengurangi dan
menambah esensi kebenarannya. Orang yang menilai seperti ini
dalam Islam disebut dengan shadiq.50 Dengan demikian, seorang guru
yang melakukan penilaian harus meyakini terhadap hasil
penilaiannya. Perlu diingat, guru tidak boleh menilai sesuatu yang
belum diketahui secara pasti 51 (sesuatu yang masih diragukan).
Islam Pola Hidup Manusia Beriman), Bandung: Diponegoro, 1977, hlm. 17.
48 Lih. Ibid.
49 Ahmad Amin, Al-Akhlaq, terj. Farid Mu’arif dengan judul ilmu Akhlak,
d. Prinsip keterbukaan
Penilaian yang berkaitan dengan tujuan akhir proses belajar
mengajar dilakukan dengan sistem penilaian keter- bukaan. Dalam
artian, penilaian tersebut mempergunakan sistem yang jelas,
sistematis dan teratur, sehingga tidak me- nimbulkan sikap
kebingungan bagi murid. 52
C. KESIMPULAN
Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia.
Manusia bisa menghadapi alam semesta demi memperta- hankan
hidupnya agar tetap survive melalui pendidikan. Karena pentingnya
pendidikan, Islam menempatkan pen- didikan pada kedudukannya
yang penting dan tinggi dalam doktrinnya.
Mengingat pentingnya pendidikan tersebut, sesuai dengan
uraian di atas, agar tidak terjadi miss discussion dalam pelaksanaan
pendidikan tersebut pada anak dan untuk mencapai tujuan
pendidikan, diperlukan prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan
tersebut. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip-prinsip yang mendasari tujuan pendidikan Islam
adalah prinsip universal (menyeluruh), keseimbangan dan
kesederhanaan, kejelasan, realisme dan realisasi, serta
dinamisme. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari kurikulum
pendidikan Islam itu adalah prinsip ruh Isla- miyah, universal,
balancing, kesesuaian dengan perkem-
BAB III
A. PENDAHULUAN
Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muham- mad Saw
mengandung implikasi kependidikan yang bertu- juan untuk
menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung
suatu potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan, 1
yaitu: Pertama, potensi psikologis dan paedagogis yang
mempengaruhi manusia untuk men- jadi pribadi yang berkualitas
bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk
lainnya. Kedua, potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai
khalifah di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsif
terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang
ijtima’iyah, di mana Tuhan menjadi potensi sentral perkem-
bangannya.
Untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi tersebut
ke dalam pribadi manusia diperlukan upaya kepen-
Muzayin Arifin, Pendidikan Islam dalam Anis Dinamika Masyarakat, Jakarta Golden
1
1. Shuffah
Pada masa Rasulullah Saw. shuffah adalah suatu tempat yang
telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. 4 Biasanya tempat ini
menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang
tergolong miskin. Di sini para siswa diajar- kan membaca dan
menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam di bawah
bimbingan langsung dari nabi. Pada masa itu setidaknya telah ada
sembilan shuffah yang tersebar di kota Madinah. Salah satu di
antaranya berlokasi di samping Masjid Nabawi. Rasulullah Saw.
mengangkat Ubaid ibn Al-Samit sebagai guru pada sekolah shuffah di
Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga
menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran,
astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.
3 George Makdisi, Typology ofl nstitutions of Learning dalam An Antology Studies oleh
Issa J. Boullata, Montreal: McGill Indonesia IAIN Develop- ment Project, 1992, hlm.
16.
4 Abuddin Nata (terj.), 'Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan, Canada:
2. Kuttab/Maktab
Kuttab/maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba
yang artinya menulis. Sedangkan 'kuttab/maktab berarti tempat
untuk menulis, atau tempat di mana dilang- sungkan kegiatan tulis
menulis 5 . Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat
bahwa keduanya meru- pakan istilah yang sama, dalam arti lembaga
pendidikan Is- lam tingkat 6 dasar yang mengajarkan membaca dan
menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan penge-
tahuan agama tingkat dasar. Namun Abdullah Fajar membe-
dakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman
klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern. 7
Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di
kuttab ini berorientasi kepada Alquran sebagai suatu texbook. Hal
ini mencakup pengajaran membaca dan me- nulis, kaligrafi,
gramatikal bahasa Arab, sejarah nabi hadis, khususnya yang
berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Mengenai kurikulum ini
Ahmad Amin pun menyepakatinya. 8
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan penge- tahuan
umum di samping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya
persentuhan antara Islam dengan warisan budaya
5 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 89.
3. Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar me- ngajar di
sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang
guru biasanya duduk di lantai menerang
9 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 49.
l0 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1966, hlm. 15.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 35
4. Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama
Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan
belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia
pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di
mana aktivitas pengajaran 12 atau diskusi berlangsung. Dan
belakangan majlis diartikan sebagai sejum- lah aktivitas pengajaran,
sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh
nabi, atau majlis Al- Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih
imam Syafi’i.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis
digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga
majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam
majlis, sebagai berikut: 13
d.
36 Sejarah Pendidikan Islam
a. Majlis al-Hadis
Majlis ini biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli
dalam bidang hadis. Ulama tersebut membentuk majlis untuk
mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Majlis ini bisa
berlangsung antara 20 - 30 tahun. Dan jumlah peserta yang
mengikuti majlis ini dapat mencapai ratusan ribu orang, seperti
majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa
diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang.
b. Majlis al-Tadris
Majlis ini biasanya menunjuk kepada majlis selain dari- pada
hadis, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.
c. Majlis al-Munazharah
Majlis ini biasanya dipergunakan sebagai sarana untuk
perdebatan mengenai suatu masalah oleh para ulama. Me- nurut
Syalabi, khalifah Muawiyah sering mengundang para ulama untuk
berdiskusi di istananya, demikian juga khalifah Al-Ma’mun dari
dinasti Abasiyah. Di luar istana, majlis ini ada yang dilaksanakan
secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes
terbuka di kalangan ulama. Untuk model ini biasanya hanya dipakai
untuk mencari popularitas ulama saja.
d. Majlis al-Muzakarah
Majlis ini. merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar
hadis. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul
dan saling mengingat dan mengulang pelajaran yang sudah diberikan
sambil menunggu kehadiran
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 37
e. Majlis al-Syu’ara
Majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair dan juga sering
dipakai untuk kontes para ahli syair.
f. Majlis al-Adab
Majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang
meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang
yang terkenal.
5. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi Saw. masjid telah menjadi
pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik
yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang
lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga
pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai
sarana infor masi dan penyampaian doktrin ajaran Islam. 14
6. Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang
dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki
banyak toko, seperti khan al-Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh
di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk
murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam di
suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn
Di’lij pada akhir abad ke-10 M di Suwaiqat Ghalib dekat maqam
Suraij. Di samping fungsi di atas, khan juga digunakan seba- gai
sarana untuk belajar privat. 18
7. Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan
diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsen- trasikan diri untuk
semata-semata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan
keilmuan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang terkenal dengan
ilmu dan kesalehannya. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah
munculnya mad-
8. Rumah-rumah Ulama
Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan
belajar mengajar. Namun para ulama di zaman klasik banyak yang
mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar
mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. 19 Hal ini umumnya
disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan
memberikan pe- lajaran di masjid, sedangkan para pelajar banyak
yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya. Setidaknya itulah yang
dilakukan oleh Al-Ghazali ketika ia memilih kehidupan sufi,
demikian juga Ali ibn Muhammad Al-Fasihi ketika ia dipecat dari
Madrasah Nizhamiyah karena dituduh syi’ah dan juga Ya’qub ibn
Killis. 20
C. KESIMPULAN
Pada zaman Nabi Muhammad Saw. pendidikan Islam secara
institusional telah berproses secara mapan dengan embrio model
pendidikan, seperti Halaqah, Majlis, Kuttab, Zawiyah dan lain-lain. Hal
ini dimungkinkan mengingat pendidikan memiliki peranan strategis
dalam rangka pena- naman nilai-nilai Islam kepada Masyarakat.
BAB IV
A. PENDAHULUAN
Sesuai catatan sejarah umat Islam pernah mengalami masa
keemasan dan masa kemunduran. Masa keemasan umat Islam
terjadi antara 650-1200 Masehi. Oleh para ahli sejarah, masa ini
disebut periode klasik dalam sejarah perkembangan Islam. Umat
Islam pada periode ini boleh disebut sebagai super power yang
berkuasa di sebagian besar negara-negara yang mencakup di tiga
benua.
Setelah itu umat Islam dilanda perpecahan dan kejumu- dan
yang pada akhirnya membawa kemunduran. Daerah- daerah yang
tadinya berada di bawah kekuasaan Islam menjadi jajahan Barat.
Pada masa ini tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh ilmu pengetahuan
seperti masa sebelumnya. Walaupun pada awal abad XIX Masehi
umat Islam mulai
1 Zuhairini,et. al, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997) Cet. ke 5
hlm. 100. Lihat pula Abdullah Fadjar, Peradaban dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1996) hlm. 22.
Sejarah Pendidikan Islam
48
2 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 51. Lihat
2. Fenomena Madrasah
Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa,
mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses
pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madra- sah
menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan memiliki
konotasi spesifik. Madrasah itu sendiri merupakan institusi
peradaban Islam yang sangat penting. 3
Madrasah (bahasa Arab) yang akan dibicarakan pada bagian ini
berbeda dengan madrasah (bahasa Indonesia) yang merupakan
lembaga pendidikan dasar dan menengah. Di sini madrasah
didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara luas
berkembang di Dunia Islam pra mo- dern sebelum era universitas
(al-Jami’ah).
Hasan Asy’ari 4 mengasumsikan ciri-ciri madrasah tidak dapat
dikonotasikan dengan lembaga pendidikan yang ada sekarang dan
kesulitan besar menerjemahkan kata madrasah itu sendiri.
Sedangkan Nakosteen dan beberapa sarjana lain, me-
nerjemahkan kata madrasah dengan university, 5 Walaupun tidak terlalu
tepat, tapi sedikitnya dapat mewakili. Sebab,
3 Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, Terj. Abuddin Nata,
6Ibid,
hlm. 48. Lihat Ahmad Amin, Dhubal Islam. Cairo, Lajnah al-ta’lif wal-
tarjamah wal-nasr, 1952 Jilid II hlm. 49.
52 Sejarah Pendidikan Islam
Afganistan, dan daerah bekas Uni Soviet antara laut Kaspia dan laut Aral.
9 Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999)
Ketiga, madrasah sudah eksis semenjak awal Islam seperti gait al-
Hikmah yang didirikan Al-Makmun di Baghdad abad ke-3 H.
Dari informasi yang diterima di atas dapat diketahui, bahwa
madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu
kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri
pada waktu itu masih bersifat ahliyah (keluarga), berdasarkan wakaf
keluarga dan sejarah baru mencatat sesuatu bila telah menjadi
fenomena yang meluas. Di samping itu, tidak ada campur tangan
dari penguasa seba- gaimana halnya Madrasah Nizhamiyah, sehingga
tidak di- sangkal bahwa pengaruh Madrasah Nizhamiyah melampaui
pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya.
Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk mad- rasah
merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan
yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid.
Dalam pandangan Hasan Ashari 11 bahwa madrasah merupakan
hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendi- dikan dan Khan
sebagai asramanya. Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, 12 antara lain
bahwa Masjid Khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan fiqih
merupakan bidang studi utama.
Selanjutnya Zuhairini 13 mengemukakan alasan-alasan berdirinya
madrasah di luar masjid:
F. KESIMPULAN
Motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu selain motivasi
agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan,
juga motivasi politik. Madrasah sebagai sebuah institusi pendidikan yang
lahir karena kon- disi sosial politik pada masa itu yang mendukung
lahirnya madrasah di samping faktor-faktor lainnya. Dengan berdi- rinya
madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru, yaitu
pendidikan menjadi fungsi bagi negara dan madrasah-madrasah
dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi
politik.
Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di
Dunia Islam baru timbul sekitar abad ke-4 H.
l8 Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), dalam
Stanton, op. cit., hlm. vi. l9 Alavi, op. cit., hlm. 15.
20 lbid
Sejarah Pendidikan Islam
58
Madrasah Nizhamiyah
Oleh:M.Akmansyah
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam
berbagai bentuk dan variasi. Di samping lembaga yang bersifat
umum, seperti masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang
mencerminkan kekhasan orientasinya. Ahmad Syalabi
menyebutkan tempat-tempat itu, antara lain al-Kuttab, al-Qushur,
Hawanit, Manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah, al-Masjid dan
Madrasah. Lalu ia membagi institusi- institusi pendidikan Islam
tersebut menjadi dua kelompok, yakni kelompok sebelum
madrasah dan sesudah madrasah. 1 Dengan demikian, berdirinya
madrasah merupakan tonggak baru dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam dan untuk membedakannya dengan era
pendidikan Islam sebelumnya.
59.
60 Sejarah Pendidikan Islam
2 Lahir di Radkan, Tusi (50 mil sebelah utara Mashad), 10 April 1018/ 1017 dan
wafat di Sinha, 14 Oktober 1092. Perdana Menteri Salajikah (Saljuk) pada masa
pemerintahan Sultan Alp Arsalan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Khwaja Abu Ali
Al-Hasan bin Ali bin Ishaq Al-Tusi. Informasi lebih lanjut lihat Dr. Faisal Ismail, Islam
dan 'Realitas llahiyah dan Realitas Insanijah, (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999) hlm. 127-131, lihat
pula Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) hlm. 43.
5 A.L.Tibawi, Arabic and Islamic Themes, (London, Luzac & Company Ltd., 1976) hlm.
224. Lihat pula Charles Michael Stanton, Pengadilan Tinggi dalam Islam, (Pen. H. Afandi dan
Hasan Asari Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994) hlm. 47.
Agung, 1992) hlm. 73. Lihat pula Ross E Dunn, Petualangan Ibnu Batuta, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1995) hlm. 138.
9 Ia menceritakan pengalamannya bersama Dr. Mustafa Jawad ke Baghdad
madrasah muncul beberapa tradisi, seperti penggunaan seragam sekolah, yaitu gaun
yang berwarna hitam, pembagian fakultas-fakultas Undergraduate dan Graduate, dan banyak
yang lain. Lihat Cryl Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, (London: Tien Wah Press,
1989) hlm. 245. Penyediaan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, seorang imam,
dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas agama, merupakan asal
muasal dari penyediaan tempat tinggal bagi ilmuwan-ilmuwan miskin di universitas-
universitas praktik yang pada abad pertengahan berakar kuat di Paris, Oxford, dan
Cambrige. Charles Michael Stanton, op.cit, hlm. 47. l8 Abdul Majid Abdul Futuh, op.cit.,
hlm. 179.
66 Sejarah Pendidikan Islam
hafal, dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi Muhammad Saw. dan
berhitung, dengan menitikberatkan pada mazhab Syafi’i dan sistem
teologi Asy’ariyah. 24 Abdul Majid ketika menjelaskan segi-segi
negatif Madrasah Nizhamiyah menga- takan bahwa madrasah ini
mengkonsentrasikan usahanya pada pengajaran ulum al-syariah dan
ushul al-din sesuai tujuan yang telah ditetapkan padanya.
Konsekuensinya, Madrasah Nizhamiyah mengabaikan ilmu-ilmu
terapan yang praktis (al-ulum al-tatbiqiyah al-amaliyah)25
Pengajaran di Madrasah Nizhamiyah berjalan dengan cara para
guru berdiri di depan kelas menyajikan materi-materi kuliah
(ceramah/talqin), sementara para siswa duduk mende- ngarkan di atas
meja-meja kecil yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan
dialog atau diskusi (munaqasjah) antara guru dan para siswa mengenai
materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang
tinggi. 26
Sumber yang lain mengatakan bahwa di madrasah ini ilmu
fiqih 27 diuraikan oleh seorang guru dalam satu silabus yang disebut
ta’liqah. Karangan ini disusun oleh masing- masing tenaga pengajar
28
29 Penjelasan lebih lanjut lihat Charles Michael Stanton, op.cit., hlm. 23-24.
30 Beberapa penulis, seperti Charles Michael Stanton, Ahmad Syalabi, Sayyed
Hossein Nasr, Mohd. Athiyah Al-Abrasyi dll. menyebutkan madrasah merupakan
pendidikan tingkat tinggi (the institution of higher learning). Jika ini diartikan sama dengan
universitas, sebenarnya di dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi
lebih dikenal dengan nama aljami’ah, yang secara historis tentu berkaitan dengan masjid
jami’. Al-Jami’ah yang muncul paling awal dengan pretensi “lembaga pendidikan
tinggi” adalah al-Azhar di Cairo, Zaituna di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez.
36 Charles Michael Stanton, op. cit., hlm. 47. lihat pula Mohd. Athiyah
al-Abrasyi, op. cit., hlm. 81.
37 Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm.75, Ahmad Syalabi menga-
D. KESIMPULAN
Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi lembaga
pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tong- gak baru dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik
tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi
dengan sistem asrama. Peme- rintah/penguasa ikut terlibat di dalam
menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana
fisik dan lain-lain, yang memberikan inspirasi pada pendirian
universi- tas-universitas modern.
Kendati Madrasah Nizhamiyah mampu melestarikan tradisi
keilmuan dan menyebarkan ajaran Islam dalam versi tertentu, tetapi
keterkaitan dengan standardisasi dan pelesta- rian ajaran kurang
mampu menunjang pengembangan ilmu dan penelitian yang
inovatif. Wallahu a ‘lam bi al-sbawab.
75
BAB VI
A. PENDAHULUAN
Madrasah adalah salah satu bentuk institusi (lembaga)
pendidikan formal dalam Islam. Model madrasah tidak sama
dengan masjid atau lembaga pendidikan Islam lainnya, Mad- rasah
merupakan perkembangan dari masjid. Akibat antusias dan
besarnya semangat belajar (menuntut ilmu) umat Islam, membuat
masjid-masjid penuh dengan halaqah-halaqah. Dari tiap-tiap halaqah
terdengar suara guru-guru yang menjelas- kan pelajaran atau suara
perdebatan (muhadharah/tanya jawab) dalam proses belajar
mengajar, sehingga menimbulkan kebi- singan yang mengganggu
orang ibadah.1 Semakin banyak umat Islam interes pada ilmu,
semakin banyak pula para penuntut ilmu tersebut, masjid pun
penuh dan tidak menam- pung murid-murid. Lahirlah madrasah,
yang bermula dari
1 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Tarikh at-Tarbiyyah al-lslamiy- Jah) terj. Mukhtar
Jahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 106.
76 Sejarah Pendidikan Islam
Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 99, lihat
2 Hanun
pula, Arif Subhan, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol. 3, No. 2,
(Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1999), hlm. 33.
3Ibid.,
hlm. 100.
4 George Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islam and The West (Edinburg
University Press, 1981), hlm. 27-28, lihat pula, Charles Michael Stanton, Pendidikan
Tinggi Dalam Islam (High Learning in Islam) terj. H. Afandi dan Hasari Asari, (Jakarta: Logos,
1994), hlm. 46-47.
Azra, Jaringan Ulama: TimurTengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
5 Azyumardi
6 Ahmad Syalabi, Taarikh al-Tarbiyyah al-lslamiyyah (Beirut, Libanon: Daar al-Kasyf, 1954),
hlm. 99-100.
7 Philip K. Hitti, History of The Arab (London: Mac Millan Press L.Td., 1974), hlm. 410.
B. MADRASAH-MADRASAH DI MAKKAH
Terlepas dari pro-kontra tentang mula pertama pemun- culan
madrasah. Asma Hasan Fahmi menyatakan berkem- bangnya
madrasah-madrasah dalam waktu yang cepat itu merupakan satu
manifestasi yang bertujuan untuk melawan golongan Syi’ah yang
telah kuat dan berkembang di seluruh pelosok Dunia Islam pada
abad ke-4 Hijriah. Gerakan Syi’ah ini bukan saja merupakan gerakan
politik yang dikembangkan oleh pengikut-pengikut Ali untuk
mengendalikan pemerin- tahan, akan tetapi dalam waktu yang sama
ia juga merupakan satu gerakan ilmu pengetahuan yang sejalan
dengan falsafah dan pendapat-pendapat golongan mistik yang
beraliran ekstrim. Gerakan ini telah mendapat tantangan yang hebat
dari penganut mazhab Ahlu al-Sunnah.
Munculnya orang-orang Saljuk pada abad ke-11 Masehi yang
merupakan golongan mazhab Ahlu al-Sunnah yang fanatik terhadap
kepercayaan agama. Jatuhnya sebagian besar kerajaan Islam ke
tangan mereka dan sikap mereka yang sangat setia kepada khalifah
merupakan faktor-faktor yang utama yang dapat mengukuhkan
mazhab Ahlu al-Sunnah dan melemahkan pengaruh kedudukan
golongan Syi’ah. Munculnya madrasah-madrasah yang banyak dalam
abad ini merupakan satu alat untuk menyatakan satu sikap baru
dalam berpikir dan untuk melahirkan gelora semangat keagamaan
yang meluap-luap pada masa ini, sehingga terjadinya perang Salib di
antara umat Islam dan Kristen. Madrasah tersebut tersebar hampir
di seluruh Dunia Islam, 14 untuk memperkuat mazhab Ahlu al-
Sunnah dengan cara
15 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat (Mabadi al-Tad)iyyah, al-lsla- miyyah), terj. Ibrahim Husen,
M.A., (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 41.
16 M.Athiyah Al-Abrasyi, op. cit., hlm. 82-83.
17 Ahmad Syalabi, Taarikh al-Tarbiyyah al-lslamiyyah, op. cit., hlm. 100.
18 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
19 Hillenbrand, Madrasah dalam TheEnciklopedia of Islam, Vol. V, (Leiden: E.J. Brill. 1986,
Tinggi untuk para biarawan), dalam Islam, yang dimaksud adalah lembaga pendidikan
untuk para sufi/ahli tasawuf, lihat A.L. Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical Educational
and Uterary Studies, op. cit., him. 218:
24 Azyumardi, op. cit., hlm. 63.
25Ibid.,
hlm. 79.
26 George Makdisi menyebutnya dengan iwan, lihat Hanun Asrohah, op. cit., hlm.
100.
27 Azyumardi Azra, loc. cit., hlm. 63-64.
Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah 83
C. MADRASAH-MADRASAH DI MADINAH
Dibanding dengan madrasah-madrasah di Makkah, pelacakan
mengenai sejarah madrasah-madrasah di Madinah
di Madinah itu. Kasus yang sama, dialami pula oleh Ibn Bathuthah
di Madinah menjelang akhir 728/1326. 32
Sebagai bukti, Al-Fasi memberikan deskripsinya tentang Sultan
Giyats Al-Din atau A’zam Syah di Madinah, terletak di dekat
kawasan Bab al-Salam, masjid Nabawi, Nur Al-Din Ali Ibn Ahmad
Al-Samhudi (w. 911/1411), memperkuat deskripsi Al-Fasi, bahwa
Sultan Giyats Al-Din membangun madrasah lengkap dengan
ribathnya di Madinah pada tahun 814/1411. Namun sayang, nama
madrasahnya tidak disebut. Pada tahun 724/1323 Jauban Ata Bek,
penguasa Mamluk, mendirikan madrasah Jaubaniyah di wilayah
antara Dar al- Syibak dan al-Husna al-Atiq. Kemudian, masih
menurut informasi Al-Samhudi, beberapa penguasa Mamluk juga
mendirikan madrasah, yang secara kolektif dikenal dengan
madrasah Asyrafyah. Deskripsi, Al-Fasi dan Al-Samhudi, dengan
tegas diperkuat lagi oleh Syams Al-Din Al-Sakhawi (831-902/1428-
1497). Al-Sakhawi menyebut beberapa madrasah lain di Madinah
selama periode ini, mereka di antaranya adalah madrasah Qoi’t Bey.
Madrasah al-Basithiyah didirikan, Zayni Aba Al-Basith, madrasah
al-Zamaniyah dibangun, Syams al-Din al-Zaman, madrasah al-
Sanjariyah, terletak dekat Bab al-Nisa, madrasah al-Syahabiyah
diwa- kafkan al-Muzaffar al-Gazzi, dan madrasah al-Mazhariyah
didirikan Zaini Kadb. Berdasarkan seluruh informasi ini kita dapat
mengasumsikan, setidaknya ada delapan madrasah di Madinah pada
periode ini.
Periode belakangan, 1232/1815, Burchardt, seperti ditulis
Azyumardi, menyanjung ulama-ulama di Madinah,
D. KESIMPULAN
Informasi tentang madrasah mendapat dukungan ba- nyak
dari berbagai literatur. Namun sayang para sejarawan tidak cukup
tertarik berbicara madrasah di Makkah dan di Madinah. Hal ini
mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut
kurang lengkap. Namun demikian, data-data teoretis dari para
sejarawan, cukup memberikan spirit untuk melacak lebih lanjut
madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah.
Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah-madrasah di Makkah
cukup banyak bila dibanding di Madinah, walau di Makkah juga
ada masjid al-Haram. Namun hal ini bukan penyebab tidak
munculnya madrasah-madrasah di Makkah. Walaupun pada
kenyataannya para pendiri madrasah di Makkah adalah para
dermawan dan penguasa non-Hijazi. Lain dengan di Madinah,
eksistensi masjid Nabawi masih sangat karismatik untuk
menyelenggarakan aktivitas pem- belajaran. Inilah barangkali yang
menyebabkan suramnya kemunculan madrasah-madrasah di
Madinah, di samping para sejarawan tidak banyak memberikan
informasi tentang hal itu.
BAB VII
A. PENDAHULUAN
2 Richard W. Bulliet, The Patrician of Nisaphur:A Study in Medieval Islamic Social History,
tertua di dunia. Karena pembahasan ini sangat luas dan ter- batasnya
referensi yang penulis temui, penulis membatasi hanya pada masalah
latar belakang berdirinya al-Azhar seba- gai universitas tertua di
Dunia Islam, bagaimana kurikulum dan metodologi pengajarannya,
bagaimana keberadaan al- Azhar di bawah naungan para penguasa
terutama setelah Dinasti Fatimiyah, dan bagaimana peranan al-
Azhar ketika kota Baghdad sebagai pusat kekhalifahan dan
peradaban di wilayah Timur serta kota Cordoba wilayah Barat
mengalami kehancuran atas serangan tentara Mongol dan jatuhnya
ke- dua kota tersebut ke tangan tentara non-Muslim.
B. PEMBAHASAN
4 Dr. Ahmad, Muhammad Uf, Al-Azhar fi alf Am, Cairo: Majma’ al- Buhuts al-
5 Hanun Asrohah, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, Cet, I hlm.
60.
Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj Bustami A. Gani dan
6 M.
Djohar Bahri L.I. S dari, al-Tarbiyah al-lslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet VIII hlm.
61.
Ateek, Al Azhar, The Mosque and The University, dalam Konsep Universitas Islam, Dr.
7 A.A
Hamid Hasan Al-Bilgrami, Dr. Sayid Ali Asyraf, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, hlm.
40.
8Ibid,
hlm. 40.
Djumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin, Jakarta: Rhineka
9 Ali
10 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 hlm. 403.
11 Mahmud Yunus; Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, hlm. 174.
92 Sejarah Pendidikan Islam
21 Untuk lebih lengkap nama ulama yang dimaksud, lihat Mahmud Yunus, Sejarah
C. KESIMPULAN
Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah
dikenal sebagai universitas tertua di dunia, karena sejak itu telah
mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu agama,
seperti fiqih, Alquran, hadis, tasawuf, bahasa Arab, nahwu, sharaf,
dan lain-lain. Sedangkan ilmu-ilmu umum, yang diajarkan meliputi
ilmu kedokteran, matema- tika, logika, sejarah, dan lain-lain.
Latar belakang berdirinya al-Azhar adalah untuk ke- pentingan
para penguasa dari Dinasti Fatimi yang ingin menanamkan
kekuasaannya melalui pendekatan pengajaran ajaran Syi’ah. Al-Azhar
sejak berdirinya mengalami pasang surut karena pengaruh
kepentingan penguasa saat itu. Hal ini karena posisi al-Azhar yang
tidak independen. Memang sejak awal al-Azhar sudah dijadikan alat
dan tunggangan politik Dinasti Fatimi yang bermazhab Syi’ah,
sehingga setiap pergantian kekuasaan, aturan yang sudah ada me-
ngalami penyesuaian bahkan perombakan oleh kekhalifahan yang
berkuasa berikutnya.
Setelah tentara Mongol pimpinan Hulagu Kan meng- hancurkan
peradaban Baghdad serta jatuhnya pusat peradaban Islam di Spanyol,
menjadikan al-Azhar sebagai tempat perlindungan para ulama dari
kezaliman tentara Mongol. Itulah awal paroh kedua bagi al-Azhar
memasuki aktivitas- nya setelah diberhentikan aktivitasnya oleh
pemerintahan Dinasti Al-Ayubi sampai 17 tahun masa kekuasaan
Dinasti Mamalik. Momentum ini menjadikan al-Azhar menjadi
masyhur namanya di kalangan Dunia Islam, secara tidak langsung hal
ini ternyata menjadi dorongan bagi masyarakat
98 Sejarah Pendidikan Islam
BAB VIII
A. PENDAHULUAN
Pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan Islam yang
formal dan sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang
berlangsung dapat dikatakan masih bersifat informal dan peranan
pendidikan Islam sendiri masih sebatas pada upaya- upaya dakwah
Islamiyah, yaitu penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan
dan ibadah. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses
pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah Arqam yang
sering disebut dengan Dar Al-Arqam. Namun setelah masyarakat
Islam sudah ter- bentuk, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid
dengan memakai sistem balaqah.1 Menurut M. Stanton, pendidikan
formal Islam baru muncul dengan didirikannya Madrasah
Nizhamiyah oleh Wazir Nizham Al-Mulk pada tahun 1064. Walaupun
menurut penelitian Richard Bulliet mengatakan bahwa eksistensi
madrasah sudah ada sejak tahun 1009 M,
B. PEMBAHASAN
2 Richard W. Bulliet, The Partitions of Niibafur: A Study in Medievel Islamic Social Society,
Cambridge, 1992.
3 Aljamiah
dalam Islam dikenal sebagai institusi lembaga pendidikan yang secara
historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid Jami’, yaitu masjid besar tempat
berkumpul jama’ah untuk menunaikan shalat Jum’at. Al-Jami’ah yang muncul paling
awal dengan pretensi sebagai “lembaga pendidikan tinggi” adalah al-Azhar di Cairo,
Zaitunna di Tunis, dan Qorow- wiyyin di Fez.
Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 101
4 Dewan Penyusun, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan ke-
kali yang beliau lakukan adalah membangun masjid. Pada salah satu
bagian masjid itu beliau pergunakan secara khusus untuk mengajar
para sahabat. Ruangan itu dikenal dengan sebutan “al-Shuffah” yang
berfungsi sebagai tempat penam- pungan para siswa yang miskin.
Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami melukiskan bahwa
pendidikan al-Shuffah merupakan perguruan tinggi yang pertama
kali dalam Islam. Bahkan sebenarnya tidak pernah ada perguruan
dalam sejarah Islam yang kualitasnya meng- ungguli perguruan al-
Shuffah. Betapa tidak, di antara yang menjadi staf pengajar
perguruan tinggi al-Shuffah adalah Nabi Muhammad sendiri
sedangkan para mahasiswanya adalah para sahabat beliau.
Apabila dibandingkan dengan perguruan tinggi Daar- Arqam
Makkah tentulah perguruan al-Shuffah ini lebih stabil dibandingkan
ketika nabi masih di Makkah sehingga proses belajar mengajar
berjalan dengan lancar. Tentang jumlah mu- rid al-Shuffah, para
ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Nu’aim, jumlah mereka
tidak tetap, tergantung situasi. Se- dangkan menurut Ibnu Taimiah,
jumlah mereka mencapai 400 orang. Sementara Qothadah
menyebut, mencapai 900 orang.
Ada suatu hal yang menarik dari pendidikan al-Shuffah ini,
bahwa semua siswa belajar secara gratis. Untuk mencapai
kebutuhan mereka, Nabi Saw. menugasi para sahabat untuk
menjamin mereka. Suatu saat beliau pernah bersabda, “Siapa yang
mempunyai persediaan makanan untuk dua orang hendaklah ia mengajak
seseorang siswa al-Shuffah”.5
Ali Mustafa Ya’qub, Sejarab dan Metode Da’tmh, PT. Pustaka Firdaus.
5
Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 103
1. Abu Hurairah
Abu Hurairah r.a. adalah nama gelar yang diberikan Rasulullah
Saw. semenjak ia membawa kucing kecil di hadapan beliau, yang
berarti “Bapak Kucing Kecil.” Nama aslinya di zaman Jahiliah adalah
Abdus Syamsi. Kemudian setelah masuk Islam, ia berganti nama
Abdur Rahman yang paling banyak merawikan hadis di antara
kalangan sahabat- sahabat rasul. Ia dapat meriwayatkan sebanyak
5.374 (lima ribu tiga ratus tujuh puluh empat) hadis kepada Baqi bin
Mukhlid.
b. Al-Azhar
Al-Azhar sebagai bukti historis monumental dan produk
peradaban Islam yang tetap eksis sampai sekarang merupa- kan
lembaga pendidikan tertua di Dunia Islam. Serta sebagai pelopor
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut
menunjukkan suatu fenomena sebuah peradaban yang sangat maju
pada saat itu karena masjid dapat difungsi- kan dengan lebih luas lagi,
tidak hanya sebagai tempat melak- sanakan shalat saja. Pada awalnya
al-Azhar bukan sebagai perguruan tinggi, tetapi al-Azhar merupakan
sebuah masjid yang oleh khalifah Fatimiyah dijadikan sebagai pusat
untuk menyebarkan dakwah mereka. Pada masa itu pula dibangun
gedung atau istana khalifah yang berfungsi sebagai tempat untuk
mengkoordinir dakwah dan membantu dalam penyebar- luasannya.
Untuk menangani hal ini, dipilihlah seorang kepala dari para da’i yang
telah memenuhi persyaratan, di antara persyaratannya ialah orang
alim dari mazhab ahlul bait. Ada-
10Loc.cit..
Sejarah Pendidikan Isiam
108
beliau adalah Al-Maqrizi (wafat 1442 M), Ibnu Hajar Al-Asqo- lani
(wafat 1447), Syakhowi (wafat 1497), dan Jalaluddin Al-Suyuti
(wafat 1505). 13
Ibnu Khaldun yang pernah menjabat sebagai Hakim Agung
kerajaan dipandang sebagai peletak dasar ilmu sosial dengan hasil
karyanya yang sangat gemilang, yaitu Muqad- dimah. Dalam kajian
sejarahnya tentang Arab Timur, Ibnu Khaldun banyak bersandar
kepada sejarahwan sebelumnya, seperti Al-Thabari dan Ibnu Al-
Atsir. 14
c. Madrasah Nizhamiyah
13Op.
cit., hlm. 83.
14 Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999, Cetakan ke-3, hlm. 241.
l3 Muhammad Athiyyah al-Abrasi, Al-Tarbiyah al-lslamiyah, Cairo: Daar
al-Qaumiyyah al-Thibaah wa al-Nashr, cetakan ke-3, hlm. 93.
110 Sejarah Pendidikan Islam
1. Al-Ghazali
Beliau dikenal sebagai seorang ahli filosof, ahli fiqih, sufi,
reformer dan juga negarawan. Ia disebut oleh Watt sebagai orang
terbesar kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad. Karena beliau
mempertahankan Islam dari serangan luar, ia digelari Hujjat al-Islam
(bukti agama Islam). Al-Ghazali menulis lebih dari 400 dan risalah-
risalah. Ia pernah diserang keraguan terhadap dirinya, tetapi
mendapatkan kembali keyakinannya pada kebenaran. 18
2. Al-Juwaini
Ia adalah seorang ahli fiqih, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Nama
lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin
Muhammad Al-Juwaini Al-Naisaburi. Beliau terkenal dengan julukan
Imam Haramain karena pernah tinggal di dua
16 Ahmad Syalabi, History of Moslem Education, Beirut: Daar Kasyaf: 1954, hlm. 207.
C. KESIMPULAN
Lembaga pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat penting
dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan. Kegi- atan intelektual
dalam sejarah peradaban Islam merupakan salah satu mata rantai dari
serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan Islam pada masa
nabi dan khulafaur rasyidin dengan al-Suffah dilanjutkan pada masa
Bani Umay- yah, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa
Abbasiyah yang ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan
tersebut. Walaupun pada umumnya hanya ilmu-ilmu agama yang
dikaji dan mendapat perhatian besar dalam lembaga tersebut, per-
kembangan ilmu aqli atau umum juga sangat pesat walaupun mereka
berkembang di luar pagar lembaga madrasah.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
BAB IX
1 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang
3 Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta. Logos, 1994,
hlm. 83.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 115
7 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1992, hlm.
113 lihat juga Asma Hasan Fahmi, op. cit., hlm. 58-85.
8 Asma Hasan Fahmi, ibid., hlm. 59.
9 Ibid, hlm. 59-60.
118 Sejarah Pendidikan Islam
21 Mehdi Nakoosten, op. cit., hlm. 74, lihat juga Fahmi, op. cit., hlm. 81.
Syalaby, op. cit., hlm. 181-184, lihat juga, Muhammad Athiyah
22 Lihat
23 Pada prinsipnya madrasah ini bukanlah yang pertama dilihat dari seja- rah
berdirinya. Namun inilah madrasah pertama yang mendapat pengakuan dan dukungan
pemerintah dan sekaligus menjadi cikal bakal dari madrasah- madrasah sesudahnya.
Dan anggapan yang berkembang bahwa Islam Sunni memperoleh kemenangan berkat
dukungan negara tidaklah semuanya benar. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan negara
yang baru selalu mengikuti kecenderungan yang sudah berakar di kalangan masyarakat.
Adalah jelas sekali bahwa Dinasti Fatimiyah, walaupun mereka melakukan usaha-usaha
untuk menyebarkan doktrin Ismailiyah melalui pendidikan dan sarana-sarana lain, tapi
gagal untuk menimbulkan dampak berskala besar di masyarakat. Lihat Fazlur Rahman,
op. cit., hlm. 268.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 125
D. KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan Islam mengalami kemajuan yang
mengesankan selama periode “abad klasik” melalui orang- orang
kreatif, seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Masudi,
Al-Tabari, Al-Ghazali, Nasil Khusru, Omar Khayyam dan lain-lain.
Pengetahuan Islam telah melakukan investigasi dalam ilmu
kedokteran, teknologi, matematika, geografi dan bahkan sejarah.
Namun semua ini dilakukan di dalam frame work, keagamaan dan
skolastikisme.
Suatu sebab yang menjadikan Islam dapat menghasilkan ilmu
pengetahuan begitu banyak dalam waktu yang singkat, kemudian
menjadi steril sedemikian cepat, dapat diketahui melalui sifat dasar
skolastikisme Islam itu juga. Bersifat kreatif dan dinamis pada satu
sisi, tetapi juga reaksioner dan finalistik di sisi lain. Sementara itu,
beberapa orang khalifah dan para crusader Islam membakar
perpustakaan-perpustakaan dan membungkam para cendekiawan,
sedangkan lainnya berbangga menjadi penyalin dan penyalur buku
untuk dijadi- kan perpustakaan besar dan menjadikannya sebagai
pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum.
Bagaimanapun juga, Islam tetap kreatif dan progresif sepanjang
kebebasan berpikir dan investigasi menandingi fatalisme. Sepanjang
Islam menganggap dunia adalah buku yang terbuka untuk dibaca
dan dipahami oleh semua orang; apabila unsur-unsur fatalisme dan
ortodoksi tertanam dalam skolastikisme, maka ia dapat memberi
pengaruh yang nyata. Dan apabila unsur-unsur dinamis dan liberal
menyerah kepada kepatuhan total pada ortodoksi nasib dan berganti
menjadi kepasrahan pada konsep-konsep takdir dan nasib, serta
menga-
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik
A. PENDAHULUAN
Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendi- dikan
yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendi- dikan. Tanpa
anak didik, pengajaran tidak akan ada dan pendidikan tidak akan
terjadi. Sebagai salah satu komponen pendidikan, anak didik
mendapat perhatian yang serius dari para ahli pendidikan. Untuk
keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran khususnya, dan
pendidikan pada umumnya, anak didik harus diperlakukan sebagai
subjek dan objek. 1
Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term students
(siswa); yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan
talib (seeker of knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang
menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa. 2
1 Maksud anak didik sebagai subjek dan objek adalah anak didik tidak hanya pasif
menerima segala apa yang diberikan guru, tetapi mereka juga aktif mengolah dan
mencari informasi dari berbagai sumb.er. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 79.
2 George Makdisi, The Rise of Colleges, Institutions of Teaming in Islam and
130 Sejarah Pendidikan Islam
1. Karakteristik Murid
the West, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981, hlm. 175. Lihat juga Abuddin
Nata, loc.cit.
3 W.J.S.Poerwadarminta, Kamus,Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982,
hlm. 664.
4 Muniruddin Ahmad, Muslim Education and the Scholars Social Status upto the 5th Century
Muslim Era (11th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad, Verlag: Der Islam Jurich,
1968, hlm. 143.
Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik 131
5 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1988,
hlm. 111.
6 Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, him.
101. Lihat juga Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, hlm. 26.
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H.Afandi dan Hasan
Asari, Jakarta: Logos, 1994.
132 Sejarah Pendidikan Islam
3. Keadaan Murid
Menurut Mahmud Yunus, 15 para murid di kuttab belajar enam
hari dalam seminggu. Pelajaran dimulai pada hari Sabtu dan berakhir
pada hari Kamis. Waktu belajar dimulai pada pagi hari dan berakhir
setelah selesai shalat Asar. Biasanya sehabis shalat Zuhur para murid
pulang ke rumah untuk makan. 16
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada
siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para
12 Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1988, dan Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al- Gbazali, Jakarta: Bumi Aksara,
1991, him. 8.
l3 Lihat Mahmud Yunus, Sedjarah Pendidikan Islam, Djakarta: Mutiara,
2. Karakteristik Mahasiswa
a. Pembagian Mahasiswa
Mahasiswa adalah pelajar pada perguruan tinggi. 20 Me- reka yang
belajar di perguruan tinggi harus melewati pendi- dikan dasar dan
menengah. Berbeda dengan sekarang, di masa
dimulai pada pagi hari dan berakhir pada malam hari. Pagi hari
sampai tengah hari diisi oleh syaikh, selanjutnya pada sore hari
sampai malam diisi oleh mu'id (mahasiswa paling senior) dan mufid
(mahasiswa senior yang membantu maha- siswa pemula). Mu’id dan
mufid mengulangi materi yang diajarkan oleh syaikh sebelumnya. 22
Lama belajar bagi mahasiswa untuk menyelesaikan bidang
hukum, selama empat tahun. Selanjutnya untuk mem- pelajari bidang
studi lain sampai mereka mendapat ijazah mengajar memerlukan
waktu yang berbeda bagi setiap maha- siswa. Ibn Wahab (197/813)
belajar dengan Malik bin Anas selama 20 tahun. AU bin Isa Al-Raba’i
(410/1019), belajar di bawah asuhan Abu Ali Al-Fahrisi selama 20
tahun. Sharif Abu Ja’far belajar dengan Qadi Abu Ya’la kurang lebih
23 tahun. 23
Ada juga sebagian mahasiswa yang belajar di bawah asuhan guru
besar yang berbeda. Ibn Al-Banna misalnya, dia belajar fiqih di
bawah asuhan Abu Tahir bin Al-Ghubari (432/1014), Abu Ali bin
Musa (428/1037), Abu Al-Fadl (410/1019) dan Abu Al-Faraj Al
Tamimi (425/1034). Abd Al-Ghafir Al-Farisi belajar dengan
pamannya, kemudian belajar dengan Abd Al-Razzaq Al-Mani’i,
setelah itu dia belajar dengan Imam Al-Haramain Al-Juwaini selama
empat tahun.24
22 Ibid., hlm. 95. Lihat juga Charles Michael Stanton, op.cit., hlm. 59. 23 Ibid.,
hlm. 97.
24Ibid., hlm. 98.
Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik 137
c. Keadaan Mahasiswa
25 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1999, hlm. 83-
4.
26 Muniruddin Ahmad, op. cit., hlm. 154.
138 Sejarah Pendidikan Islam
bukti bahwa dia belajar kepada guru/ulama (dosen) yang ter- kenal.
Tampaknya, bagi mahasiswa tertentu belajar dengan beberapa dosen
memberikan kebanggaan tersendiri.
Mahasiswa pada masa klasik, terbagi kepada mahasiswa yang
belajar di masjid Jami27 secara halaqah dan mahasiswa yang belajar di
madrasah-madrasah. Mahasiswa yang belajar di masjid Jami’ ada yang
tinggal di rumah-rumah dekat masjid dan ada pula yang tinggal di
asrama. Mereka pada umumnya belajar secara cuma-cuma.28 Berbeda
dengan mahasiswa yang khusus belajar di rumah dosen tertentu,
mahasiswa ini harus membayar sesuai kesepakatan dengan dosen
tersebut. Semen- tara itu, mahasiswa yang belajar di madrasah bisa
mengajukan beasiswa dan fasilitas asrama. 29
Para mahasiswa yang belajar, mereka duduk mengelilingi
seorang syaikh (dosen). Mahasiswa yang memiliki pengetahuan lebih
tinggi duduk di depan. Beberapa di antaranya menjadi shuhbah
(persahabatan). Mereka ini memiliki pergaulan yang akrab dengan
dosen. Bahkan ada di antara mereka yang diang- kat menjadi mu’id
atau mufid. Mu’id atau mufid ini membantu dosen untuk membimbing
para mahasiswa pada sore hari. 30
27 Dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi masih lebih dikenal
dengan nama al-Jami’ah, yang secara historis dan kelembagaan berkaitan erat dengan
masjid jami’- masjid besar tempat berkumpul jama an untuk menunaikan shalat Jum’at.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999, hlm. viii.
C. KESIMPULAN
Umur murid yang belajar di kuttab bervariasi. Perbedaan itu
disebabkan tidak adanya ketentuan tegas tentang umur murid yang
akan memasuki kuttab. Para murid juga tidak semuanya harus
membayar biaya pelajaran. Bagi murid yang keluarganya miskin,
belajar di kuttab bisa dengan cuma- cuma. Murid-murid di kuttab lebih
banyak menghabiskan waktu siang mereka bergaul dengan guru dan
sesama murid. Hal ini disebabkan waktu belajar mereka cukup lama,
yaitu sejak pagi hari sampai selesai shalat Asar. Lamanya waktu
mereka di kuttab memungkinkan guru membina para murid- nya
dengan baik. Murid-murid yang cerdas akan dapat me- nyelesaikan
pelajaran relatif lebih cepat, dan selanjutnya mereka meneruskan
pelajaran di halaqah masjid Jami’ atau madrasah. Ukuran kelulusan
seorang murid adalah kemam- puan menghafal Alquran.
Mahasiswa, dibagi kepada tingkat mubtadi, mutawassit, dan muntahi.
Pada tingkat muntahi, mahasiswa terbagi kepada mutafaqqih dan faqih.
Mahasiswa yang menyelesaikan kesarjanaannya diberi kesempatan
untuk memperdalam bidang studi tertentu yang diminati. Mereka
memerlukan waktu yang bervariasi untuk menyelesaikan bidang
studinya di bawah asuhan seorang atau beberapa orang guru besar.
Para mahasiswa ada yang mendapat beasiswa, dan ada yang
Mendapat fasilitas asrama. Mahasiswa sebuah madrasah bisa
Mendapatkan beasiswa dan fasilitas asrama, sedang maha- siswa di
halaqah masjid Jami’ hanya mendapatkan fasilitas asrama. Meskipun
demikian, mahasiswa di halaqah masjid
Sejarah Pendidikan Islam
140
dan masjid Jami’ tidak dipungut bayaran. Kecuali bagi me- reka yang
belajar di rumah dosen-dosen (syaikh) tertentu, mereka harus
membayar sesuai kesepakatan dengan dosen (syaikh) bersangkutan.
141
BAB XI
A. PENDAHULUAN
Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung
jawab yang berat sekaligus mulia. Dikatakan berat karena guru
mengemban kepercayaan (amanat) yang diberi- kan oleh masyarakat
guna melaksanakan fungsi pendidikan. Pemberian amanat masyarakat
tersebut tidak hanya berorien- tasi pada transformasi ilmu
pengetahuan (menghafal beberapa materi pelajaran), tetapi juga
sebagai murabbi dan sebagai dinamisator masyarakat.1 Sebagai murabbi ia
bertanggung jawab memantau perkembangan kepribadian anak dari
segala dimensinya sedangkan sebagai dinamisator masyarakat ia
bertanggung jawab memberikan pelayanan yang baik, mem-
bangkitkan mereka dan mengangkat derajat mereka ke arah yang
lebih baik. Keberhasilan seorang guru dalam mengem- ban tugasnya,
baik sebagai murabbi maupun sebagai agen
1 Makalah
dipresentasikan Dalam Diskusi Kelas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan
Islam pada hari Jumat, tanggal 10 November 2000 di Jurusan Pendidikan Islam
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2 Hasan Hafidz dkk, Usbulal-Tarbiyah wa ‘ilmu al-Nafs, 1956, hlm. 73.
Sejarah Pendidikan Islam
142
3 Ketika anak membaca Quran sampai pada sebuah ayat yang bunyinya Wa inna
la’nata 'alaika kemudian anak berhenti membaca dan melihat wajah gurunya maka
gurunya meneruskan Wa inna la’nata 'alaika wa 'ala walidaika-
4 Ketika anak membaca ayat Alquran Ghulibat al-ruum maka oleh guru diganti Ghulibat
al-Turki dengan alasan baik Roma maupun Turki dia sebut sebagai musuh mereka, maka
antara Roma dan Turki tidak ada bedanya.
5 Ahmad Salaby, Sejarah Pendidikan Islam (terj.) 1973, hlm. 208-209.
Guru Masa Klasik 143
1. Syarat Fisik:
1) Bentuk badannya bagus
2) Manis muka (selalu berseri-seri)
3) Lebar dahinya
4) Bermuka bersih.
2. Syarat Psikis:
1) Berakal sehat
2) Hadnya beradab
3) Tajam pemahamannya
4) Adil terhadap siswa
5) Bersifat perwira
6) Sabar dan tidak mudah marah
7) Bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya
8) Perkataannya jelas, mudah dipahami
9) Dapat memilih perkataan yang baik dan mulia
10) Menjauhi perbuatan yang tidak terpuji.
9 Hal ini sebagaimana dialami oleh Abu Yusuf, ketika ia sakit berat lalu dijenguk
oleh gurunya yakni Imam Abu Hanifah Al-Nu’man seraya berkata: Aku harapkan
engkau untuk mengajar kaum Muslimin sesudahku”.
10Op. cit., Ahmad Syalabi, hlm. 259.
11 Ahmad Muniruddin, Islam Education and The Scholar's Social Status up to the 5 th Century Muslim
Era (11 th Century Christian Era) in the Eight of Tarikh Baghdad, 1968, hlm. 147.
150 Sejarah Pendidikan Islam
12
Op. cit., Hasan Hafidz. hlm. 75.
Guru Masa Klasik 151
F. KESIMPULAN
Dari pembatasan di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan
bahwa status sosial guru sangat ditentukan oleh kualitas keilmuan
dan kepribadian masing-masing. Mereka yang mempunyai
kompetensi mengajar yang kualifaid serta dapat memegang amanah
keguruan dengan baik, ia akan mendapat kehormatan dan
penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat.
Sejarah membuktikan bahwa muallim kuttab yang suka marah dan
tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tu- gas keguruannya,
ia dicemooh dan kurang mendapat simpati dari masyarakat.
Sebaliknya muallim kuttab yang mempunyai keahlian dalam bidangnya
dan serius dalam melaksanakan amanahnya sebagai pendidik, ia
dihormati dan disegani, bahkan masyarakat mengucapkan rasa
terima kasih kepada mereka yang luar biasa. Ia dianggap mampu
memberikan dasar-dasar pengetahuan yang kokoh bagi anak-anak
mereka sehingga anak tersebut mampu menggapai prestasi sebagai-
mana yang mereka harapkan. Hal senada juga terjadi pada diri para
muaddib dan guru-guru yang mengajar di masjid- masjid, mereka
mendapatkan pengakuan dari masyarakat
154 Sejarah Pendidikan Islam
BAB XII
A. PENDAHULUAN
Penaklukan daerah-daerah dalam pemerintahan Islam, sejak masa
Khulafaur Rasyidin Umar bin Khattab sampai pada masa Daulah Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah, banyak berpengaruh pada peradaban dan
pendidikan Islam. Dan yang paling berharga dari penaklukan negara-
negara tersebut adalah pengetahuan dari filsafat Yunani.1 Sejak itu dasar-
dasar filsafat Yunani ikut memberikan pengaruh pada kemajuan
pendidikan Islam.
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi bangsa (umat)
yang ingin maju. Tanpa pendidikan, umat itu akan tertinggal dari bangsa
(umat) yang lain. Tarbiyah al-lslam
2 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. I, UI Press Jakarta, 1985.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 157
5 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 10.
Philosophical Theology (Albany: SUNY Press), hlm. 14-17, lihat juga Charles
Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, terj., Logos, Jakarta,
1994, hlm. 67.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 159
1. Socrates
Cara berfilsafat Socrates dikenal dengan istilah dialektika, yaitu
cara berfilsafat dengan tanya jawab 9. Socrates tidak bermaksud
memaksakan orang lain menerima suatu ajaran. Dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia berusaha agar teman
bicaranya memperoleh keinsyafan yang lebih mendalam
mengenai sesuatu masalah yang sedang dihadapi, yang pada
umumnya bertalian dengan perilaku manusia dan orang
ditanyapun menyadari bahwa
2. Plato
Plato senantiasa mengajarkan agar orang berpangkal pada
sesuatu yang terdapat di atas kenyataan duniawi, tapi sekaligus
berpegang erat pada kenyataan duniawi. Ke- adaan ini harus
senantiasa ditinjau dari segi idea-idea 11. Menurut ajaran Plato
dalam dunia ini kita hanya menang- kap hal-hal yang berubah-
ubah dan fana. Yang selalu berubah-ubah kita ketahui dengan
tangkapan inderawi, sedang yang tetap-tidak berubah-ubah-kita
ketahui de- ngan berpikir. Jiwa menurut Plato adalah sesuatu
yang bersifat immaterial dan terpisah dari badan. Hal ini di-
berikan dengan kekuatan untuk mengetahui kebenaran
10 Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soernargono, Tiara
12 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Per tengahan, terj.
(ideas) dan cita-cita (ideals) sebagai hasil perasaan. Plato men- ciptakan, dunia di mana
angan-angan kekal mewujudkan kenyataan dan dunia pengalaman biasa menjadi
bayang-bayangnya. Ensiklopedi Umum, op. cit., hlm. 439.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 163
3. Aristoteles
Bila Socrates lekat dengan filsafat dialetikanya,, Plato dengan
filsafat idealismenya, Aristoteles populer dengan filsafat
logikanya. Logika 14 formal adalah hasil ciptaan Aristoteles, inti
ajarannya adalah mengenai penalaran dan pembuktian. Di
Athena Aristoteles pernah mendirikan sekolah yang disebut
sekolah peripatetik, yaitu dengan cara memberikan pelajaran
sambil berjalan-jalan.
4. Neoplatonisme (Plotinus)
Bagi Plotinus yang dipandang bernilai hanyalah peng- hayatan
secara batiniah mengenai persatuan dengan Tuhan. Untuk itu,
dunia lahiriah merupakan sarana dan sekaligus bahaya yang
mengancam. Gagasan mengenai Tuhan merupakan inti
pemikiran Plotinus. Tuhan adalah kebaikan dan merupakan
tujuan segala upaya 15 . Yang Esa, hanyalah kata-kata yang
mengacu kepada hakikat Tuhan, karena keadaan diri-Nya tidak
dapat disebut de- ngan kata-kata. Jiwa merupakan pelimpahan
dari Tuhan, tapi jiwa itu tidak lagi esa. Jiwa ini selalu berusaha
akan kembali kepada Tuhan. Karena segala sesuatu adalah me-
rupakan pelimpahan dari Tuhan, tugas manusia mengem-
Setelah Ibnu Sina, Al-Razi adalah orang kedua dalam tulisan dan
pengetahuannya dalam masalah medis.
Matematika juga memiliki daya tarik tersendiri bagi ilmu- an
Muslim karena perwakilan simboliknya tentang alam. Mereka
memandangnya sebagai pensekatan transendensi dari dunia fisik
menuju dunia supernatural. Pada dasar-dasar teori matematika itu
terletak konsep kesatuan (alam), yang merupakan tema utama dalam
Islam. Matematika menun- jukkan alam dan bagian-bagiannya secara
simbolik. Ahli matematika Islam menggunakan teori geometri yang
diwarisi dari bangsa Yunani dengan membuat pengembangan yang
melebihi teori Yunani 23 . Tabel-tabel geometri dalam dunia seni dan
arsitektur adalah hasil kreatif ilmuan Muslim karena dalam Islam
dilarang membuat figur-figur manusia.
Para ilmuwan Muslim menyempurnakan aljabar dalam
menyelesaikan masalah perdagangan, pembagian warisan, dan
sebagainya. Penguasaan ilmuwan Muslim terhadap aljabar ini
mencapai puncaknya pada abad ke-11 oleh Umar Khayyam (Umar
Ibnu Ibrahim Al-Khayyami) hidup 433-517 H/1040- 1123 M, yang
menyajikan pembahasan lebih maju mengenai subjek itu dibanding
dengan pembahasan Al-Khwarazmi 24 . Sebelumnya telah dikenal pula
Jabir Ibn Hayyan (hidup 721- 815 M), bapak ilmu kimia dan pendiri
laboratorium pertama yang dikenal oleh bangsa Latin sebagai Geber.
Atas dukungan pemerintah Khalifah Harun Al-Rasyid dia telah
menulis 3000 karangan kebanyakan tentang kimia, juga logika,
filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu supernatural, fisika, mekanik, dan
23 Nasr, Science and Civilization in Islam, New American Library, New York,
1968, hlm. 31-36, lihat juga C. M. Stanton, hlm. 132.
26 Ali Abdullah al-Daffa, The Muslim Contribution to Mathemathics, Croom
E. KESIMPULAN
Filsafat Yunani adalah kegiatan berpikir yang dilakukan oleh
para filosof Yunani untuk mencari kebenaran tentang sesuatu, baik
yang bersifat abstrak maupun yang konkret.
Filsafat Yunani mulai berpengaruh di kalangan ilmuwan Muslim
pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan mencapai puncaknya
pada masa Bani Abbasiyah ketika karya-karya filosof Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Syria oleh Hunayn, dan anaknya
menerjemahkan dari bahasa Syria ke bahasa Arab.
Al-Ma’mun adalah khalifah yang banyak jasanya dalam
penerjemahan ini dengan tidak segan membayar biaya pener-
jemahan berupa emas seberat yang diterjemahkan. Karya- karya
Yunani yang dibaca oleh ilmuwan Muslim ini membe- rikan motivasi
untuk menggunakan logika dalam membahas ajaran Islam dan
mengembangkan serta menemukan berbagai macam ilmu
pengetahuan yang baru.
Unsur dialetika dari Socrates, idealisme Plato dan logika
Aristoteles dan sebagainya termasuk berpengaruh terhadap lahirnya
beberapa aliran dalam Islam, seperti Qadariyah, Asy’ariyah, dan
Mu’tazilah.
Metode berpikir yang digunakan oleh filosof Yunani
memberikan motivasi bagi ilmuwan Muslim untuk lebih banyak
berkarya dalam kemajuan pendidikan Islam, sehingga muncul
ilmuwan seperti Jabir Ibn Hayyan, Al-Kindi, Al-Razi, Al-
Khawarazmi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Umar Khayyam, Ibnu Rusyd, dan
sebagainya.
171
BAB XIII
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Da- lam
pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan
kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana
Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap
dengan usaha-usaha pendidikan merupakan transformasi besar. Sebab
masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pen-
didikan formal. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya
bersifat informal, dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya
dakwah Islamiyah, penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan
dan ibadah Islam.
Pada masa ini, berlangsung pendidikan Islam yang diselenggarakan
di rumah-rumah sahabat tertentu dan yang paling terkenal adalah Dar al-
Arqam. Namun ketika masya- rakat Islam sudah terbentuk, pendidikan
diselenggarakan di masjid yang dikenal dalam bentuk halaqah.
Kebangkitan
172 Sejarah Pendidikan Islam
4 George Makdisi, Law and Traditionalism In The Institusion of Medievaal Islam, dalam G.E. Von
Grunebaum (ed), Theology And Law In Islam (Weisbaden: Harrassowitz, 1971) hlm. 83.
Sejarah Pendidikan Islam
176
5 Aydin Mehmed Sayili, The Institution of Science and Learning, (Harvard University, 1941)
hlm. 44.
6 Ahmad Syalabi, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hlm.
111.
7 Aydi Mehmed Sayili, op. cit., hlm. 31-32.
Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam 177
13 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Sejarah dan Peranannya Dalam
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta; Logos Publishing House, 1994), cet. I, hlm. 21.
14 George Makdisi, op. at., hlm. 99-104.
E. KESIMPULAN
Keberadaan madrasah dalam pendidikan Islam turut mewarnai
pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Hal ini
184 Sejarah Pendidikan Islam
BAB XIV
A. PENDAHULUAN
Gagasan program modernisasi pendidikan Islam mem- punyai
akar-akarnya tentang “modernisasi” pemikiran dan institusi Islam
secara keseluruhan. Dengan kata lain, “moder- nisasi” pendidikan
Islam tidak bisa dipisahkan dengan ga- gasan dan program modernisasi
Islam. Kerangka dasar yang berada di balik “modernisasi” Islam secara
keseluruhan adalah “modernisasi” pemikiran dan kelembagaan Islam
merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslim di masa modern. 1
Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan
haruslah dimodernisasi, sederhananya harus di- sesuaikan dengan
kerangka “modernitas”; mempertahankan kelembagaan Islam
“tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan
kaum Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.
1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Logos, 1999).
186 Sejarah Pendidikan Islam
D. AL-AZHAR
1. Sejarah Berdirinya
Universitas al-Azhar yang paling terkenal di Dunia Is- lam,
berada di Cairo Mesir. Universitas ini didirikan oleh
1996.
Modernisasi Pendidikan Islam 191
7 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Sumber Widya, 1995,
hlm. 235.
Modernisasi Pendidikan Islam 195
9 Syaikh Abdul Rahim, al-Ta’lim fi al-Madrasah al-Salafiayah, Persada, 1970, hlm. 15.
F. KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pem-
bahasan ini antara lain:
1. Sistem pendidikan Islam al-Azhar dan pendidikan Islam di
Indonesia sudah lebih banyak bersifat klasikal.
2. Meskipun para penulis sejarah al-Azhar menyatakan mulai
tahun 1872 sebagai tahun di mana pendidikan telah modern,
tapi baru pada kepemimpinan Syaikh Al- Nawawi kira-kira
mulai tahun 1903 pengetahuan umum dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan.
3. Al-Azhar sebagai universitas menjadi salah satu kiblat
pendidikan Islam dunia termasuk kiblat pendidikan Islam
Indonesia sampai tahun 1980.
4. Metodologi pendidikan di al-Azhar sampai sekarang, lebih
didominasi oleh hafalan daripada analisis.
d
i
s
a
m
p
a
i
k
a
n
p
a
d
a
d
Modernisasi Pendidikan Islam 201
BAB XV
A. PENDAHULUAN
Pada periode awal, pendidikan Islam berlangsung hanya untuk
menyebarkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muham- mad kepada
seluruh umat, kemudian berkembang menjadi upaya sadar yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan ahli dalam bidang
tertentu, baik di bidang agama, ma- syarakat dan pemerintahan. Ini
semua karena Islam semakin berkembang dan telah membentuk
pemerintahan Islam.
Sesederhana apa pun pendidikan Islam klasik, pola 1 interaksi 2
guru dan siswa pasti sudah ada, karena guru dan siswa adalah elemen
yang ada dalam pendidikan tersebut. Untuk itu, kita perlu membahas
tentang bagaimana bentuk pola interaksi guru dan siswa pada
pendidikan Islam klasik,
1 Pola: Bentuk tetap yang dijadikan ukuran untuk membuat sesuatu. Lihat Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Dua, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1993), cet. II, hlm. 778. 2 Interaksi: saling melakukan aksi,
berhubungan. Lihat, Ibid., 383.
204 Sejarah Pendidikan Islam
Pada pola kedua, nabi langsung menjadi guru umat dan model
dari akhlak yang diinginkan. Dengan demikian, umat langsung dapat
melihat bentuk yang diinginkan Alquran dari sikap Rasulullah sehari-
hari, karena nabi mengemban tugas- nya tidak sebatas di atas mimbar
atau di dalam masjid. Seba- gaimana firman Allah dalam surah Al-
Ahzab: 21.
a. Pola Keikhlasan
Pola keikhlasan 4, mengandung makna bahwa interaksi yang
berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan
yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi
tersebut, dan menganggap interaksi itu berlang- sung sesuai dengan
panggilan jiwa untuk mengabdikan diri pada Allah dan mengemban
amanah yang ia berikan.
Rasa ikhlas yang ada pun, menimbulkan rasa tanggung jawab
yang besar dalam diri guru untuk menjalankan tugas dengan baik.
Maka guru memperhatikan kompetensi yang hendaknya ia miliki
sebagai pendidik, yaitu;
1) Mempersiapkan segala sesuatu yang menunjang dalam proses
belajar mengajar. 5
2) Menjelaskan tujuan 6 sebelum menjelaskan materi. 7
4 Keikhlasan guru pada masa klasik sangat didukung oleh kondisi saat itu, yaitu
5 Lihat
pendapat Al-Qalqasyandi yang dikutip oleh Ahmad Salabi, “bila anda
hendak memikirkan materi-materi pembicaraan yang akan disam- paikan...”, Lihat
Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, Judul asli, Tatikh Tarbiyah Islamiyah, penerjemah,
Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta. Bulan Bintang, t.th.), hlm 250.
b. Pola Kekeluargaan
Pada masa ini, guru memposisikan dirinya dan siswa seperti
orang tua dan anak. Artinya, mereka mempunyai tanggung jawab
yang penuh dalam pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih
sayang seperti menyayangi anak sendiri. Sebagaimana sabda
Rasulullah:
c. Pola Kesederajatan
Adakah kalian memerintah manusia dengan kebajikan dan kalian melupakan diri
kalian sendiri.
a. Pola Ketaatan
Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah
dalam proses pencarian ilmu 16 . Untuk itu, maka siswa dalam
interaksi dengan guru merupakan upaya mencari ridha- nya (kerelaan
hatinya), menjauhi amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya
selama tidak bertentangan dengan agama. 17
D. KESIMPULAN
Bentuk pola sikap guru terhadap siswa, yaitu pola ke- ikhlasan,
kekeluargaan, kesederajatan dan uswab al-hasanah, sedangkan pola
sikap siswa terhadap guru, yaitu pola ketaatan dan kasih sayang.
Dari pembahasan di atas, kita dapat mengetahui karak- teristik
pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik, yaitu:
• Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin
yang tercermin pada kesadaran sosial dan usaha-usaha
BAB XVI
A. PENDAHULUAN
Salah satu fitrah kebutuhan wajib dan esensial manusia adalah
pendidikan. Dengannya, manusia dapat dididik untuk mengenal
berbagai konsep bagi eksistensi dan keberlangsungan hidupnya ke
arah tertentu. Dengannya pula manusia terlatih untuk berjalan ke
arah tujuannya tersebut.
Sebagai aset umat, pendidikan menjadi sangat penting karena ia
adalah agen perubahan dan transformasi tata nilai yang terorganisir
dengan baik. Pada awal masa Islam klasik (sekitar abad VII, masa
Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin), didirikan kelompok
belajar di rumah Arqam bin Abi Al-Arqam yang kemudian
dilanjutkan di masjid dengan sistem As-Suffahnya. Kuttab—sebagai
pendidikan dasar dan disinyalir ada sejak pra Islam—dimanfaatkan
sebagai sarana untuk mengajarkan baca tulis Alquran sebagai
pelajaran inti. Pada perkembangan selanjutnya, muncul madrasah
yang pada awal pendiriannya dipakai secara sempit untuk propa-
ganda paham-paham tertentu dan jalur politik serta birokrasi
216 Sejarah Pendidikan Islam
_____________________
1 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1992),
cet. II, hlm. 138-9.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 217
2 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mutiara, 1966), hlm. 63.
3 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. I, hlm. 46
218 Sejarah Pendidikan Islam
1. Subsidi Pemerintah/Negara
Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang
besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa Khulafaur Rasyidin.
Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu
pengetahuan dan pendidikan, ter- masuk lembaga-lembaganya. As-
Suffah4 yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi berada di
Madinah tersebar luas ke luar Madinah sejalan dengan penyebaran
masjid. Keber- langsungan as-Suffah ini sangat diperhatikan oleh
Khulafaur Rasyidin. Umar bin Khattab misalnya, senantiasa
mengangkat para sahabat rasul yang memiliki ilmu pengetahuan
agama yang luas sebagai panglima dan gubernur. Mereka banyak
mendirikan masjid dengan as-Suffah di dalamnya. Kegiatan pendidikan
ini kemudian dibantu pembiayaannya dengan dana pemerintah yang
tersedia. Thomas W. Arnold yang dikutip oleh Soekarno dan Ahmad
Supardi menyatakan, “.... Demi-
lokal. Masjid Jami’ umumnya adalah bangunan besar yang dihiasi dengan indah
melalui biaya negara dan berfungsi sebagai tempat diumum- kannya berbagai hal
tentang negara dan agama pada masyarakat. Masjid lokal biasanya lebih kecil,
dibangun untuk kebutuhan kelompok masyarakat tertentu.
7 Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Hasan Asari dan
2. Wakaf
Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang
berkaitan dengan harta benda. Sebagai bagian dari sis- tem
pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang
terorganisir dengan baik dan menjadi mode di masa Abbasiyah
terutama masa keemasan peradaban Islam.
Khalifah Al-Makmun dianggap sebagai pemrakarsa ber- dirinya
badan-badan wakaf untuk lembaga pendidikan, se- hingga
pembiayaan berbagai kegiatan keilmuan, termasuk gaji para
ulamanya, dapat berlangsung terus dan kokoh. Prakarsa Al-Makmun
ini kemudian meluas pada para penggantinya dan pembesar-
pembesar negara, sehingga badan wakaf yang permanen dipandang
sebagai suatu keharusan dalam men- dirikan suatu lembaga ilmiah.
Selanjutnya wakaf-wakaf ini berkembang peruntukannya bagi
orang-orang atau kelom- pok studi yang menyediakan dirinya untuk
kesibukan- kesibukan ilmiah di berbagai masjid.
8 Dana suatu tempat pendidikan tidak hanya berasal dari satu sumber. Ia dapat
dibiayai oleh beberapa hartawan, wakaf dan negara. Lihat A. Syalabi, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 374.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 221
9 Pada mazhab Maliki, seorang pemberi wakaf tidak dibenarkan me- nentukan
3. Orang Tua
Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini ber- variasi
dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi finansial orang tua
murid. Biaya ini juga merefleksikan kemajuan siswa. Sebab, di
samping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika
siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran,
ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan
pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa tersebut.
Langgulung, op.cit., hlm. 98-9 dan Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), cet. II, hlm. 98-9.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 223
1. Siswa
Seorang ilmuwan yang mengajar di masjid, madrasah, atau
lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut
5. Sumber lain/Perorangan
Pandangan bahwa ilmu agama, terutama Alquran harus
diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendo- rong para
pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan
16Ibid, hlm.
317.
17 Muniruddin Ahmed, membagi pelajar menjadi 2 kelompok, yaitu pelajar
tetap dan pelajar tidak tetap. Pelajar tetap adalah orang yang mem- punyai tujuan
utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk ilmu. Pelajar tidak
tetap merupakan orang yang mengikud pelajaran hanya pada waktu-waktu tertentu,
biasanya untuk menunjang profesi me- reka. Lihat Muniruddin Ahmed, Islam Education
and the Scholar’s Social Status Up to 5th Century Muslim Era (11 th Century Christian Era) in the Light of Tarikh
Baghdad, (Verlag: Der Islam Zurich, 1968), hlm. 142.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 225
1. Sentralisasi
Yang dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana
pendidikan direncanakan dan dikelola oleh birokrat atau pe- megang
otoritas kekuasaan, bukan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Sejarah pendidikan Islam yang panjang menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh negara, tidak
memiliki otoritas untuk mengatur sumber keuangan yang memang
tidak dimilikinya. Semua keperluan pendidikan akan dipenuhi oleh
pemerintah melalui kas negara atau Bait al-Mal. Sehingga, napas
kehidupan lembaga pen- didikan tersebut akan mengembang atau
mengempis sesuai dengan kebijakan pemerintah terhadap sektor
pendidikan,
21 Kedai buku adalah kedai atau toko yang menyalurkan dan menjual buku-
buku serta naskah-naskah langka. Kedai-kedai ini berkembang pesat pada periode
Abbasiyah dan Umayyah II (Spanyol). Banyak para cendekiawan yang menghabiskan
waktunya berjam-jam di sini untuk membaca, meneliti, mempelajari, bahkan
berdiskusi sesama mereka, atau juga membeli buku- buku yang menarik untuk
dikoleksi. Salon sastra yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan
ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, merupakan tempat pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan. Lihat Mehdi Nakosteen,
Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I, hlm. 64-5
dan A. Syalabi, op. cit., hlm. 52-62.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 227
2. Desentralisasi
Sistem desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola
manajemen keuangan lembaga pendidikan yang bukan hanya
berorientasi pada kebutuhan riil lembaga tersebut dalam segala
perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak memiliki otoritas
mudak dalam kerjanya (fleksibel dan partisipatif).
Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Tradisional
Dalam corak ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa
perencanaan yang jelas dan jauh terarah. Berbagai ke- perluan
operasional pendidikan akan dapat dipenuhi ketika ada pemasukan
dari sumber-sumber biaya, seperti orang tua siswa, murid, dermawan
atau pengajar itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya tersebut
kering, maka tertahanlah ber- bagai kebutuhan pendidikan itu.
Lembaga-lembaga pendidikan nonformal banyak yang memakai
pola pengelolaan desentralisasi dengan corak ini.
24 Lebih lanjut tentang Madrasah Qayt Bey, lihat Muhammad bin Ahmad bin
a. Non-Tradisional
D. KESIMPULAN
Sistem pendanaan pada pendidikan Islam di masa klasik, dalam hal
ini sumber biaya dan pola pengelolaannya, bervariasi
25 Wakaf untuk madrasah Asy-Syamiyyah ini diberikan oleh Sittus Syam, saudara
perempuan Shalahuddin Al-Ayyubi, Sultan Ayvubiah Mesir. Lihat A. Syalabi, op. cit.,
hlm. 382-3.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 231
BAB XVII
A. PENDAHULUAN
Mazhab secara terminologis memiliki beberapa arti. Pertama,
tempat kembali atau rujukan mengenai hukum fiqih yang menjadi
ikutan umat Islam yang dikenal empat mazhab, yakni mazhab
Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. 1 Dasar pembentukan
mazhab berdasarkan pada pola atau kecenderungan pemikiran
tokoh pembentuknya. Imam Maliki hidup dalam komunitas
masyarakat Madinah yang memegang teguh norma-norma agama,
terutama Alquran dan Sunnah. Oleh sebab itu, pola pemikiran yang
berkem- bang dalam masyarakat demikian ini adalah pemikiran nor-
matif-religius. Sementara Hanafi lebih rasional dan cenderung
menempatkan pemikiran logis dalam setiap istinbath hukum yang
dikeluarkannya. Imam Syafi’i berbeda dengan penda- hulunya,
cenderung berpikir eklektis dan Arabisme. Sedang-
kan Ahmad bin Hanbal lebih kuat orientasinya pada tradisi (hadis)
nabi. Kedua, mazhab berarti golongan pemikir yang sepaham dalam
suatu teori ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang
pengetahuan. Ketiga, dalam pembicaraan atau diskursus filsafat atau
kalam, mazhab berarti school, paham, aliran yang dianut dan menjadi
mainstrem pemikiran tertentu di bidang filsafat atau teologi. Misalnya
Al-Farabi’s School, yaitu mazhab yang mengikuti pola pemikiran Al-
Farabi; Kindian School, mazhab yang mengikuti pemikiran Al-Kindi
dalam lapangan filsafat Islam. 2 Mazhab dalam arti ini sama dengan
firqah dalam kajian ilmu kalam (teologi).
Dari pengertian di atas tampaknya arti kedua dan ketiga lebih
dekat dan tepat untuk kepentingan pembahasan me- ngenai mazhab
pendidikan Islam. Penelusuran semantis ini penting untuk
mengetahui sekaligus menempatkan adakah pendidikan Islam dalam
sejarahnya memiliki mazhab tertentu atau mazhab-mazhab yang
berbeda. Pembatasan istilah ini meniscayakan penelusuran lebih jauh
terhadap tokoh (yang dimasukkan sebagai tokoh) pendidikan Islam
atau berdasar- kan wacana pemikiran yang dikembangkan masing-
masing tokoh, atau mungkin berdasarkan teritori/wilayah tertentu di
mana sang tokoh atau lembaga pendidikan berada. Hal ini mungkin
terjadi, sebab cakupan pendidikan Islam klasik di satu sisi, tidak
mengenal batas wilayah, tapi di sisi lain tampaknya seseorang yang
mengembangkan wacana filo-
2 BacaJoel L. Kraemer, Humanism in the Renaissance of Islam (Leiden E.J. Brill, 1986),
bab II. Lihat juga Everett K. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and its Tate, (New
Haven-Connecticut American Oriental Society, 1988).
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 235
sofis tidak begitu saja dapat dimasukkan sebagai tokoh (yang benar-
benar) dalam lapangan pendidikan Islam. Keberatan- keberatan ini
menambah kesulitan untuk mengidentifikasi dan menemukan adakah
mazhab itu berlaku dalam kajian pendidikan Islam klasik.
Berpijak dari realitas yang ada, pembahasan ini akan mencoba
terlebih dahulu menganalisis konsep-konsep yang dikembangkan
oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kemu- dian merekonstruksi dan
menemukan mazhab-mazhab yang dianut oleh sang tokoh dan
implementasinya dalam pemi- kiran pendidikan Islam. Tokoh-tokoh
pendidikan Islam yang bisa dianalisis pemikirannya adalah Ibn Sina,
Ikhwanus Shafa, Ibn Miskawaih, Al-Ghazali, Al-Qabisi, Al-Mawardi,
Ibn Khaldun, Ibn Shahnun, Ibn Jama’ah, Al-Zarnuji, dan Ibn
Taimiyah.
Sesungguhnya tidak mudah untuk menggeneralisir pemikiran
pendidikan Islam ke dalam sebuah atau beberapa mazhab karena
memang umumnya pemikir (yang dimasuk- kan sebagai tokoh)
pendidikan Islam yang nota bene filosof itu tidak secara khusus
membahas mengenai pendidikan Islam, tetapi lebih sebagai
pemikiran filosofis mengenai komponen-komponen yang kita kenal
sekarang sebagai komponen pendidikan, misalnya tujuan, si terdidik
(pan- dangan mengenai manusia), pendidik, materi, metode, dan alat
pendidikan.
Dengan alasan itu, analisis terhadap mazhab atau aliran
pendidikan Islam—meskipun agak dipaksakan—mengguna- kan
kerangka pandang modern yang membagi aliran pen- didikan
menjadi tiga kategori besar, yaitu nativisme empirisme
236 Sejarah Pendidikan Islam
1. Ibnu Sina
Ibnu Sina sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang filosof
ketimbang pakar atau pemikir pendidikan. Namun, klasifikasi
Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Arab Klasik dan Pertengahan, terjemahan
3 Ziauddin
Abuddin Nata dari Muslim Educational Thought in the Middle Ages, (Montreal, Canada, 2000),
bab II, III.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 237
ilmu yang tidak tedalu rigid saat itu menjadikan seorang filo- sof,
termasuk Ibnu Sina, mengetahui dan menguasai segala jenis ilmu
secara excellent, antara lain mengenai pendidikan. Konsep pendidikan
Ibnu Sina, misalnya, dalam banyak hal merupakan sintesis antara
pemikiran Yunani (terutama Aristoteles dan neo-Platonis) dan Islam,
karena dia lahir dan dibesarkan dalam sebuah tradisi berfilsafat yang
sedang merebak di kalangan umat Islam. Sebagai bukti masa yang
mengantarai Al-Farabi dengan Ibnu Sina terdapat beberapa figur
yang signifikan dan menjadi latar belakang bagi Ibnu Sina. Beberapa
nama yang dapat disebut sebagai figur saintis/ ilmuwan, antara lain
Abu Al-Wafa’, Abu Sahi Al-Kuhi, Ibn Yunus, Abd Al-Jalil Al-Sijzi,
Al-Biruni, 4 dan Ikhwan Al- Shafa’. 5 Dua figur terakhir ini oleh
Seyyed Hussein Nasr diang- gap sebagai pendahulu yang signifikan
terhadap Ibnu Sina. Figur ensiklopedis yang juga mengantarai Ibnu
Sina adalah
bibliografi karya-karya Al-Razi Al-Biruni juga menunjukkan ketajaman ana- lisis dan
kritiknya terhadap sejumlah doktrin Al-Razi yang dianggap kurang tepat.
Sebagaimana diketahui, Al-Razi membawa pemikiran-pemikiran yang radikal dalam
sistem filsafat Islam. Uraian lengkap lihat Seyyed Hussein Nasr, Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines, (Colorado: Shambala Publication Ltd., 1978), bagian II, hlm. 107-
176.
5 Ikhwan Al-Shafa’ terutama signifikan sebagai propaganda ide-ide Pythagorean
8 Signifikansi tokoh-tokoh ini dibahas tuntas oleh Joel L. Kraemer, Humanism in the
Renaissance of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1986). Buku ini meru- pakan karva mutakhir yang
menyingkap “awan” yang selama ini menyeli- muti sejarah filsafat Islam, terutama
berkenaan dengan filosof-filosof Mus- lim yang belum dikenal di lingkungan
akademisi dan ilmuwan yang tertarik terhadap filsafat Islam.
9 Seyyed
Hossein Nasr, Three Muslim Sages Avicenna-Suhrawardi-lbn ‘Arabi, (Cambridge
Harvard University Press, 1964), hlm. 19-20.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 239
lunya. Oleh sebab itu, di kalangan filosof Ibnu Sina dikenal sebagai
pembangun filsafat peripatetik (al-Hikmah al-Masy- sya’iyah). Apakah
mazhab pendidikan yang dianut Ibn Sina juga bertumpu pada
pemikiran filosofis-idealis? Jika menilik tujuan pendidikan yang
dirumuskan Ibn Sina, yaitu pengem- bangan seluruh potensi yang
dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, meliputi
fisik, intelektual, dan budi pekerti, tampaknya Ibn Sina berdiri di
antara fak- tor dasar (potensi yang dimiliki manusia sejak lahir,
fitrah) dan ajar (pembinaan yang dilakukan melalui pendidikan). Ini
berarti, dalam pandangan Barat, Ibn Sina mengikuti mazhab
konvergensi. Selain itu, Ibnu Sina berpendapat, tujuan pen- didikan
harus diarahkan pada upaya mempersiapkan sese- orang agar dapat
hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan
pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan
kecenderungan dan potensi yang dimili- kinya. Juga diberikan
pendidikan keterampilan supaya tumbuh tenaga-tenaga profesional.
Pandangan ini tidak akan jelas tanpa mengaitkan dengan
pandangannya mengenai hakikat manusia (anak didik) dan materi
kurikulum yang dirumuskan oleh Ibn Sina.
Pandangan dasar Ibn Sina tentang manusia bertolak dari
ke”duaan”, yaitu tubuh dan jiwa manusia sebagaimana pandangan
filosof Yunani dan diikuti oleh beberapa filosof lain. 10 Karena
mengakui dualitas ini, Ibn Sina menghendaki:
10 Pembahasan mengenai tubuh dan jiwa dalam filsafat Ibnu Sina baca: TJ. De
Boer, Tarikh, al-Falsafah fi al-lslam (Cairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah al-Nasyir, tt);
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), dan lain-
lain.
240 Sejarah Pendidikan Islam
2. Ibn Miskawaih
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai ahli etika ketim- bang
seorang filosof. Etika mempunyai hubungan dengan psikologi,
bidang yang juga menjadi perhatian serius Ibnu Sina. Salah satu
karya utamanya yang banyak berbicara tentang etika dan jiwa adalah
Tahdzib al-Akhlaq. Ia menggu- nakan prinsip-prinsip yang diikuti oleh
para pemikir per- tengahan akhir abad ke-4, yaitu jiwa merupakan
atom tunggal yang tidak bisa diindera dan ia bisa dikenal adanya dan
ia tahu bahwa ia diketahui. Jiwa adalah jauhar ruhani yang kekal. Ia
tidak akan hancur karena kematian jasad.
Sebagaimana filosof pendahulunya, Ibnu Miskawaih juga
menyebutkan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga daya, yaitu daya
bernafsu (al-nafs al-bahimiyyah) sebagai daya teren- dah, daya
kebinatangan atau daya marah (al-nafs al-sabilijjahiJ sebagai daya tengah,
dan daya pikir (al-nafs al-nathiqoh) sebagai daya tertinggi. Daya yang
terakhir ini terdiri dari dua bagian, yaitu akal teoretis (al-nadzary) dan
praktis (al- ’amali)12 Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia
yang asal kejadi- annya berbeda. Daya bernafsu dan marah berasal
dari unsur materi sedangkan daya pikir berasal dari immateri. Daya
yang berasal dari materi bakal hancur bersama hancurnya tubuh,
sedangkan daya immateri akan kekal. Ia akan menerima balasan di
akhirat nanti dan akan mengalami kebahagiaan.” Namun demikian,
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa ketiga daya itu diperlukan untuk
kebahagiaan manusia. Namun jiwa
Islam, (Cairo: Ttp, 1945), him. 85-102; Suwito, Konsep Pendidikan Akhlaq
Menurut Ibnu Miskawaih, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Jakarta,
1995. Terutama hlm. 104-135.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 243
20 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 8; Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 30.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 245
3. Al-Ghazali
Al-Ghazali juga membicarakan mengenai filsafat etika. Namun
berbeda dengan Miskawaih, Al-Ghazali mendasarkan filsafat
etikanya pada teori bahwa unsur fundamental dari naluri manusia
adalah pemikiran, rasa kebanggaan diri, dan dorongan nafsu yang
pemenuhannya harus seimbang. 21 Pada bagian lain, Al-Ghazali
mengatakan bahwa kehidupan ma- nusia dinilai baik jika ditopang
adanya supremasi pemikiran/ rasio dan pengabdian kepada Allah.
Pada tataran ini Al- Ghazali sebenarnya mengikuti paham idealis-
spiritualis. 22 Namun, penelusuran lebih lanjut terhadap konsep
pendidikan Al-Ghazali, terutama berkaitan dengan pendidikan anak,
23 Lihat Mehdi Nakostayi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1996), hlm. 130; Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 54; Bandingkan dengan
penjelasan Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, tt), hlm. 132-33.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 247
4. Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan Al-Shafa merupakan kelompok persaudaraan para
filosof dan pemikir yang diduga hidup di Basrah sekitar paruh kedua
abad 4 H/10 M pada saat Baghdad berada di bawah pemerintahan
Bani Buwaihi. 25 Gerakan ini bersifat rahasia dan memiliki pemikiran
yang radikal. Ketika kebe- basan berpikir dibatasi, kelompok ini
menempuh cara berbuat bebas secara rahasia dan menghimpun
pemikiran filsafat
History Muslim Philosophy, (Liebaden: Otto Harrasowitz, 1963); Ikhwan al-Shafa, Rasail Ikhwan
al-Shafa, vol. IV, (Cairo: Ttp., 1928), hlm. 113-6.
250 Sejarah Pendidikan Islam
29 Tibawi, “Ikhwan al-Shafa and Their Rasa’il”, dalam The Islamic Quar- terly, vol. 21,
no. 3, tahun 1938, hlm. 62.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam
251
5. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332. Dia
seorang filosof dan Bapak sosiolog dan antropolog Is- lam. Latar
belakang dan kariernya sebagai guru di berbagai universitas di Mesir,
birokrat, dan hakim menjadikannya matang dalam mengelaborasi
teori-teori sosiologi maupun pemikiran pendidikannya.
Berbeda dengan pemikiran umumnya filosof, Ibnu Khaldun
melihat manusia tidak pada segi kepribadian atau akalnya, tapi
manusia dalam hubungan dan interaksinya dengan masyarakat.
Sebagai seorang sosiolog dia lebih realis dan sosiologis dalam
memandang sesuatu. Namun, sebagai filosof, pemikiran filosofis
juga tidak dipungkiri. Dalam kitab Muqaddimahnya, bab keenam dari
pasal pertama, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa yang membedakan
manusia dari binatang adalah karena manusia berpikir dan binatang
tidak. Dengan pikiran itulah manusia bisa mencari penghidupannya,
dan dapat bergaul dengan sesamanya. Dari berpikir inilah timbulnya
ilmu pengetahuan. Binatang lain bisa menyadari adanya benda-benda
lain di luar dirinya, dengan perantaraan indera luarnya, yaitu
pendengaran, penglihatan, penciuman,
3l Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hlm. 113.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 253
6. Ibnu Taimiyah
Jika para tokoh di atas adalah para filosof, Ibnu Taimiyah (1263-
1328) lebih sebagai teolog dan ideolog. Karena itu,
C. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap empat tokoh pendidikan Islam di
atas menunjukkan bahwa mereka tidak mengikuti pola mazhab
tertentu yang menjadi mainstream pemikiran di zamannya. Memang
secara umum bahwa tokoh-tokoh ini mengakui bahwa manusia
terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun ada kecenderungan karena
mereka ini seorang filosof, maka
BAB XVIII
A. PENDAHULUAN
Negeri Andalus (Spanyol) sejak dari abad VIII Masehi merupakan
salah satu pondasi yang kuat dari peradaban, kebudayaan dan
pendidikan Islam, yang di mulai dengan mempelajari ilmu agama dan
sastra, kemudian meningkat dengan mempelajari ilmu-ilmu akal. Karena
dalam waktu relatif singkat Cordova dapat menyaingi kota Baghdad dan
Cairo dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa
pemerintahan Abdurrahman III pada abad X Masehi, negeri Andalus
telah mencapai puncak kemegahan dalam segi materi dan maknawi serta
memperoleh kekuatan dan kebesaran yang telah dicapai oleh kerajaan-
kerajaan di bagian Timur abad IX Masehi. (Dr. Asma Hasan Fahmi,
1979: 22).
Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu menda- tangkan
penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya menghasilkan para
pemikir hebat. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat
majemuk yang terdiri dari komunitas-
258 Sejarah Pendidikan Islam
Musa bin Nushair, Tharif bin Malik dan Thariq bin Ziyad. Dari
ketiga nama tersebut, nama terakhirlah yang sering disebut paling
terkenal, karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata.
Pasukannya terdiri dari sebagian suku Barbar (Muslim dari Afrika
Utara) yang didukung Musa bin Nushair dan sebagian lagi orang
Arab yang dikirim Al-Walid. Pasukannya yang berjumlah 7000 orang
menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. (Cari
Brockelmann, 1980: 83) Tentara Spanyol di bawah pimpinan Raja
Roderick dapat ditaklukkan. Cordova jatuh pada tahun 711 M. Dari
sana, wilayah-wilayah Spanyol, seperti Toledo, Sevilla, Malaga, dan
Granada dapat dikuasai dengan mudah.
Sukses Thariq bin Ziyad di masa Al-Walid (Daulat Umayyah-
Damaskus) diikuti oleh Abd Al-Rahman Al-Dakhil (penguasa
pertama Daulat Umayyah-Spanyol), yang ber- usaha menata sistem
pemerintahan. Ia melihat masyarakat Spanyol adalah masyarakat
heterogen, baik berdasarkan strata sosial, suku, ras, maupan agama.
Dia memiliki tentara yang terorganisir dengan baik yang jumlahnya
tidak kurang dari 40.000 tentara bayaran Barbar dan juga
membangun angkatan laut yang kuat. Gebrakan lain yang
dilakukannya adalah mendirikan masjid agung Cordova dan sekolah
di kota-kota besar di Spanyol.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga
jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam me- mainkan peranan
yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah
abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat
dibagi menjadi enam periode, yaitu:
260 Sejarah Pendidikan Islam
1. Kuttab
Pada lembaga pendidikan Kuttab ini para siswa mem- pelajari
beberapa bidang studi dan pelajaran-pelajaran yang meliputi fiqih
bahasa dan sastra, serta musik dan kesenian.
a. Fiqih
1. Pendidikan Tinggi
Masyarakat Arab yang berada di Spanyol merupakan pelopor
peradaban dan kebudayaan juga pendidikan, antara pertengahan
abad kedelapan sampai dengan akhir abad kedgabelas. Melalui usaha
yang mereka lakukan, ilmu penge- tahuan kuno dan ilmu
pengetahuan Islam dapat ditransmisikan ke Eropa. Bani Umayyah
yang berada di bawah kekuasaan Al-Hakam menyelenggarakan
pengajaran dan telah mem- berikan banyak sekali penghargaan
kepada para sarjana. Ia telah membangun Universitas Cordova
berdampingan dengan Masjid Abdurrahman III yang selanjutnya
tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang terkenal di antara jajaran
lembaga pendidikan tinggi lainnya di dunia. Universitas ini menan-
dingi dua universitas lainnya, yaitu Al-Azhar di Cairo dan
Nizhamiyah di Baghdad, dan telah menarik perhatian para pelajar
ddak hanya dari Spanyol, tetapi juga dari tempat lain seperti dari
negara-negara Eropa lainnya, Afrika, dan Asia. (Ziauddin Alavi;
pen.Abuddin Nata, 2000: 16).
266 Sejarah Pendidikan Islam
a. Filsafat
Atas inisiatif Al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan
filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehing- ga Cordova
dengan perpustakaan dan universitas-universi- tasnya mampu
menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia
Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin Dinasti Bani
Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan
filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spa- nyol
adalah Abu Bakr Muhammad ibn Al-Sayigh yang lebih dikenal
dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Zaragoza, ia pindah
Pendidikan Islam di Spanyol
267
b. Bidang Sains
C. KESIMPULAN
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak
berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang
berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana
peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang
Salib, tetapi saluran yang terpen- ting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam
menyerap ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam di sana
serta peradabannya, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial,
maupun perekonomian dan peradaban antar- negara. Orang-orang
Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah
kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di
Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping
bangunan fisik. (Philip K. Hitti, 1970: 526-530). Yang terpenting di
antaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd (1120-1198 M). Ia
melepaskan beleng-
270 Sejarah Pendidikan Islam
BAB XIX
A. PENDAHULUAN
Umat Islam mengalami puncak keemasan pada masa
pemerintahan Abbasiyah. Pada masa itu bermunculan para pemikir
Islam kenamaan yang—sampai sekarang— pemikirannya masih
diperbincangkan dan dijadikan dasar pijakan bagi pemikiran di masa
mendatang, baik dalam bidang keagamaan maupun umum.
Kemajuan Islam ini tercipta berkat usaha dari berbagai komponen
masyarakat, baik ilmuwan, birokrat, agamawan, militer, dan ekonom
maupun masyarakat umum.
Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami
kemajuan kembali setelah muncul dan ber- kembangnya tiga
kerajaan besar, yaitu Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi
di Persia. Kerajaan Utsmani di samping merupakan kerajaan Islam
pertama yang berdiri juga yang terbesar dan paling lama bertahan
dibanding dua kerajaan lainnya. 1
3Ibid. Gambaran yang cukup jelas mengenai silsilah kerajaan Utsmani dapat dibaca
pada Syalaby, Mausu 'ah alTarikh alIslamy wa alHadhoroh allslamy, Mesir maktabah al-Nahdah,
1979, jilid IV, hlm. 662-663.
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani
273
Mahmuddunaser, Islam It’s Concept and History, New Delhi: Nusrat Ali Nasri,
4 Syaikh
6 Stanford Show, History of The Ottoman Empire and Modern Turkey, London: Cambridge
7 Eleazar Bimbaum, Turkey From Cosmopolitan Empire To Nation State, In RM. Savory (Ed)
Introduction To Islamic Civilisation, London: Cambridge University Press, 1976, hlm. 184.
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani 275
8 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidayah Agung, 1989, hlm, 164.
9 Ahmad Salaby, Musu ‘ah alTarikh al-lslamy al-Hadorob al-lslamiyah, Mesir Maktabah al-Nahdhoh,
26 Qudus - 609
Jumlah Buku: 29.844
A. KESIMPULAN
Puncak kemajuan Islam dalam bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan terjadi pada masa Abbasiyah. Ketika dinasti Abbasiyah
hancur oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulughul Khan,
pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai sarana pengembangan
sumber daya manusia pun menga- lami kemunduran. Bahkan kondisi
ini tidak bisa diatasi oleh tiga kerajaan besar Islam pasca Baghdad,
yaitu kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan
Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan Utsmani sebagai kerajaan yang mampu ber- tahan
lama dari dua kerajaan besar lainnya hanya mampu mengembangkan
sistem kemiliterannya, sehingga konsen- trasi mereka lebih banyak
pada masalah kemiliteran dan perluasan wilayah. Sementara untuk
pendidikan dan ilmu pengetahuan kurang mendapat perhatian serius.
Namun demikian, ulama-ulama, buku-buku, dan perpustakaan yang
dihasilkan pada masa ini tidak sedikit. Tercatat tidak kurang dari 16
ulama kenamaan yang muncul ke permukaan 26 perpustakaan dan
29.844 buah buku yang dihasilkan pada zaman Turki Utsmani.
281
BAB XX
A. PENDAHULUAN
Ketika me-remnd jejak Turki Utsmani (Ottoman), kita akan
terbawa pada kilas balik sejarah panjang imperium Islam zaman
pertengahan yang heroik sekaligus mencemas- kan. Dalam catatan
sejarah, sejak Utsman I naik tahta secara terhormat menggantikan
Alauddin (khalifah terakhir Turki Saljuk) pada 1300 M. hingga
sultan terakhir (ke-40), Abdul Majid II turun pada awal abad ke-20
M (1922), Utsmani telah memerintah selama 600 tahun.
Pada etape dua abad pertama di bawah pimpinan Sultan
Sulaeman I (diangkat tahun 1520), wilayah kekuasaan Turki telah
sampai di semenanjung Balkan. Pasukan Turki yang secara
etnografis dan geneologis memiliki ketangguhan dalam perang,
terus melakukan ekspansi dan penyebaran Islam langsung di bawah
komando sultan. Keberhasilan menduduki Konstantinopel, simbol
kekuatan terakhir imperium Romawi Timur, adalah salah satu
romantisme sejarah- heroik yang memukau. Demikian halnya
penguasaan wilayah-wilayah yang
282 Sejarah Pendidikan Islam
2 Sejumlah masjid dibangun dengan tatanan yang megah dan di Anatolia Gereja
Aya Sophia diubah pula menjadi masjid indah sebagai peninggalan arsitektur Islam.
284 Sejarah Pendidikan Islam
rakat, dengan kritik terhadap adat istiadat Timur dan memuja Barat
dalam kemajuan ilmu pengetahuan, kemerdekaan dalam agama,
patriotisme, dan meratanya pendidikan.
Kemudian gerakan pembaharuan lanjutan dikenal de- ngan
istilah Tanzimat, bentukan dari kata nidzam yang berarti mengatur,
menyusun, dan memperbaiki. Di zaman inilah kemudian banyak
dibuat peraturan dan undang-undang baru di mana pemukanya
banyak yang telah terdidik di Eropa dan berpengalaman di bidang-
bidang strategis.
Pada masa Sultan Abdul Hamid (diangkat 1876), sultan ke-37,
di tengah pergolakan politik Utsmani dan pro-kontra sistem
pemerintahan dengan kelompok pembaru Utsmani Muda, di
lapangan pendidikan ia telah mendirikan pergu- ruan-perguruan
tinggi, Sekolah Hukum Tinggi (1878), Sekolah Tinggi Keuangan
(1878), Sekolah Tinggi Kesenian (1879), Sekolah Tinggi Dagang
(1882), Sekolah Tinggi Teknik (1888), Sekolah Dokter Hewan
(1889), Sekolah Tinggi Polisi (1891), dan Universitas Istambul
(1900).
Gerakan Utsmani Muda telah ditumpas oleh Sultan. Lalu
muncul gerakan Turki Muda yang juga terdiri dari kaum intelegensia
yang dipengaruhi oleh pemikiran liberal. Gerakan ini meluas ke
berbagai kalangan dan mengambil peran oposisi terhadap
pemerintahan absolut Sultan. Mereka bergerak dalam perkumpulan-
perkumpulan rahasia hingga di luar negeri. Di antara pemikirannya
adalah bahwa selama Turki masih bersifat kolektif, sultan akan tetap
berkuasa absolut. Jalan ampuh untuk mengubah sifat masyarakat
dari kolektif menjadi individual adalah pendidikan. Rakyat Turki
harus dididik dan dilatih berdiri sendiri untuk mengubah nasibnya.
Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani 289
C. KESIMPULAN
Demikian paparan singkat sejarah Turki Utsmani khu-
susnya berkenaan dengan perkembangan pendidikan Islam.
Karena sekadar dibilang ‘rangkuman’ saja, pembahasan ini
dapat dikatakan belum cukup, setidaknya penulis mencoba me-
review pembahasan yang telah didiskusikan bersama pada kuliah
Sejarah Pendidikan Islam.
Beberapa kesimpulan akhir dapat penulis petik sebagai
berikut:
1. Sejak awal Turki Utsmani berdaulat, tahun 1300 M umat
Islam sedang dalam kondisi terpuruk fisik maupun men-
tal di atas puing-puing peradaban yang telah dibangun
sejak masa Rasulullah. Masa kejayaan baru saja usai ber-
lalu. Dalam keadaan “lemah”, umat menemukan ‘pence-
rahan’ dan jalan kembali dengan menekuni sufisme yang
subur pada masa itu. Tak jarang di antaranya memba-
hayakan essensi akidah islamiyah. Mereka memilih
kehidupan asketik dan bersikap fatalistik.
2. Sultan mengutamakan pendidikan militer sebagai lang-
kah strategis dalam menunjang misi ekspansi kekuasaan
dan penyebaran Islam. Sementara madrasah-madrasah
yang telah ada lebih banyak diisi dengan kegiatan tarekat-
tarekat. Pelajaran pun terbatas materi agama dengan sistem
studi tekstual dan hafalan, bukan pemahaman apalagi
telaah kritis.
Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani 291
BAB XXI
Penutup
Daftar Pustaka
AA. Teek, Al-Azhar, The Mosque and the University dalam Konsep Universitas
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989).
Abrasyi, Al, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj.) H.
Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry L.I.S., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970).
Abud, Abdul Ghani, Fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Araby, t.t.).
Ahmad Muhammad UF, Al-Azhar fi Alf, (Cairo: Majma al- Buhuts al-
Islamiyah, 1982).
Ahmed, Muniruddin, Islamic Education and the Scholar’s Social Status Upto 5
Century Muslim Era 11 Century Christian Era) in the Light of Tarikh
Baghdad, (Verlag: Der Islam Zurich, 1968).
Ali, A. Mukti, Sejarah Islam Pramodern, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995).
Arsyad, Natsir, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan,
1995).
Sejarah Pendidikan Islam
296
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Mabadi al-
Tarbiyah al-Islamiyah), (terj.) Ibrahim Hasan M.A., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979).
Fahrurrazi, Sejarah Pendidikan Islam, (Medan: Rimbow, 1986).
Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (terj.) Mulyadi Karta- negara dari
judul asli Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1986).
Futuh, Abdul Madjid Abdul, al-Tarikh al-Siyasi wa al-Fikr, (al- Mansur:
Mathba’ah al-Wafa, 1980).
Ghazali, Al, Ihya’ Ulum al-Din, (Qahirah: Dar al-Hadits, 1994).
Ghunaimah, Moh. Abd. Rahim, Tarikh al-Jamiat al-Islamiyah al-Kurba
(Maroko: Dar al-Thiba’ah al-Mughribiyah, 1953).
Goodlad, J.L., Curriculum as a Field of Study, dalam A. Lewy, (ed.), the
International Encyclopedia of Curriculum, (Toronto: Pergamon
Press, 1991).
Hafidz, Hasan, dkk., Ushul al-Tarbiyah wa Ilmu al-Nafs, (Mesir: Dar al-
Jihad, 1956).
Hassan, Ali, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Hassan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi
wa al-Ijrima’I, (Mesir: al-Nahdlah al-Mishriyah, 1967).
Hillenbrand, Madrasa dalam The Encyclopedia in Islam, Vol. V, (Leiden:
E.J.Brill, 1995).
Hitty, Philip K. History of The Arab, (London: Macmillan Press, 1974).
Hodgson, Marshal, The Venture of Islam, Conscience and History in World
Civilization, (Chicago: The University Chicago Press, 1974).
Daftar Pustaka 299