Anda di halaman 1dari 307

SEJARAH

PENDIDIKAN
ISLAM
SEJARAH
PENDIDIKAN
ISLAM
Pada Periode Klasik
dan Pertengahan

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (Ed.)

Divisi Buku Perguruan Tinggi PT


J RajaGrafindo
A K A R Persada
T A
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Nata, Abuddin, Haji
Sejarah pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan/
H. Abuddin Nata (Ed.) —Ed. 1, Cet. 1,—
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
XII, 304 hlm.; 21 cm ISBN 979-3654-02-3

1. Pendidikan agama Islam. I. Judul


297.64

Hak cipta 2004, pada penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi
buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara
penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan pertama, Juni 2004
2004.0758 RAJ
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (Ed.)
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM Pada Periode Klasik
dan Pertengahan
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Desain cover oleh Rahmatika

Dicetak di Fajar Interpratama Offset


PT RajaGrafindo Persada Jl. Pelepah Hijau IV TN I. No. 14 -
15 Kelapa Gading Permai Jakarta 14240
Tel/Fax : 4520951—452§409 E-mail : rajapers@indo.net.id
Http : //www.rajawalipers.com
V

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt., karena
berkat taufik dan hidayah-Nya, buku Sejarah Pendidikan Islam
ini dapat diterbitkan dan sampai kepada para pembaca yang
budiman.
Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk
junjungan kita Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan

[
sahabatnya, diiringi dengan upaya meneladani akhlaknya yang
mulia.
Selanjutnya disampaikan bahwa penerbitan buku ini didasari
oleh keinginan untuk ikut serta mengembangkan khazanah ilmiah
dalam bidang pendidikan Islam dalam perspektif sejarah, yang
hingga saat ini masih dirasakan kurang.
Dengan penerbitan buku ini diharapkan dapat men- dorong para
peneliti untuk menggali lebih lanjut khazanah ilmiah dalam bidang
sejarah pendidikan Islam. Hasil penelitian tersebut nantinya selain
untuk membuktikan kiprah pengab-
Sejarah Pendidikan islam
VI
dian pendidikan Islam bagi kemajuan umat juga sekaligus untuk
mendorong timbulnya rasa bangga dan kecintaan pada pendidikan
Islam.
Dengan sifatnya sebagai kumpulan makalah yang ditulis oleh
para mahasiswa saya di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, maka buku ini sudah dipastikan selain
memiliki keragaman gaya bahasa dan logika, juga memiliki
kekurangan di sana sini, seperti adanya pengulangan,
kekurangpiawaian dalam menuangkan gagasan dan seterusnya.
Sehubungan dengan berbagai kekurangan tersebut di atas, maka
saran, kritik, masukan dan sebagainya sangat kami harapkan.
Kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan
dorongan untuk penerbitan buku ini kami ucapkan terima kasih.
Akhirnya doa kami panjatkan semoga upaya yang kita lakukan
ini mendapatkan ridha Allah Swt., dan menjadi amal ibadah bagi kita
semua. Amin.

Jakarta, 22 Maret 2004 Editor


VI I

Daftar Isi

KATA PENGANTAR V
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PRINSIP-PRINSIP UMUM PENDIDIKAN
ISLAM
Oleh: Syahraini Tambak 9
A. Pendahuluan 9
B. Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 11
C. Kesimpulan 26

BAB III LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


SEBELUM MADRASAH Oleh: Susari 29
A.
Pendahuluan 29
B. Lembaga-lembaga Pendidikan Sebelum Madrasah 31
C. Kesimpulan 42
VIII Sejarah Pendidikan Islam

BAB IV PERTUMBUHAN MADRASAH PADA


PERIODE AWAL SEBELUM LAHIRNYA
MADRASAH NIZHAMIYAH
Oleh: Ahmad Qurtubi 45
A. Pendahuluan 45
B. Latar Belakang Munculnya Istilah Madrasah 47
C. Sejarah dan Motivasi Pendirian Madrasah 51
D. Madrasah Sebagai Institusi Pendidikan 55
E. Madrasah Pra Madrasah Nizhamiyah 56
E Kesimpulan 57
BAB V MADRASAH NIZHAMIYAH
Oleh: M. Akmansyah 59
A. Pendahuluan 59
B. Letak Geografis dan Motivasi Pendirian
Madrasah Nizhamiyah Baghdad 61
C. Sistem Pendidikan Madrasah
Nizhamiyah Baghdad 65
D. Pengaruh Madrasah Nizhamiyah 71
E. Kesimpulan 73
BAB VI MADRASAH-MADRASAH DI MAKKAH DAN
MADINAH
Oleh: Muhajir 75
A. Pendahuluan 75
B. Madrasah-madrasah di Makkah 79
C. Madrasah-madrasah di Madinah 83
D. Kesimpulan 86
Daftar Isi IX

BAB VII MADRASAH TINGKAT TINGGI


(UNIVERSITAS AL-AZHAR)
Oleh: Imamudin 87
A. Pendahuluan 87
B. Pembahasan 89
C. Kesimpulan 97

BAB VIII PERAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


KLASIK DALAM MENCETAK ULAMA Oleh:
Fauzan Asiy 99
A. Pendahuluan 99
B. Pembahasan 100
C. Kesimpulan 111

BAB IX KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


KLASIK 750-1350 M
Oleh: Hasani Asro 113
A. Pengertian Kurikulum Pendidikan 115
B. Kurikulum Pendidikan Islam
Sebelum Berdirinya Madrasah 116
C. Kurikulum Setelah Berdirinya Madrasah 123
D. Kesimpulan 126

BAB X KEHIDUPAN PARA SISWA DI ZAMAN ISLAM


KLASIK Oleh: Nurika Khali la Daulay 129
A. Pendahuluan 129
X Sejarah Pendidikan Islam

B. Kehidupan Para Siswa di Masa


Islam Klasik 130
C. Kesimpulan 139

BAB XI GURU MASA KLASIK


Oleh: Moh. Miftachul Choiri, S Ag. 141
A. Pendahuluan 141
B. Kompetensi Mengajar Guru Pada
Masa Klasik 143
C. Pranata Sosial dan Guru 146
D. Peranan Guru dalam Kehidupan
Masyarakat 148
E. Organisasi Guru Pada Masa Klasik 152 -
F. Kesimpulan 153

BAB XII UNSUR-UNSUR FILSAFAT YUNANI


DALAM PENDIDIKAN ISLAM PADA
MASA KLASIK
Oleh: Sitti Salmiah 155

A. Pendahuluan 155
B. Hubungan Ilmuwan Muslim
dengan Filsafat Yunani 156
C. Dasar-dasar Pemikiran Filosof Yunani 160
D. Pengaruh Filsafat Yunani dalam
Pendidikan Islam pada Masa Klasik 165
E.
Kesimpulan 170
Daftar Isi XI

BAB XIII FUNGSI MADRASAH DALAM


PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
ISLAM Oleh: Elza Fachria 171

A.
Pendahuluan 171
B. Madrasah dan Perkembangan
Ilmu Pengetahuan Islam 173
C. Fungsi Madrasah dalam Mentransmisikan Ilmu
Pengetahuan Agama 178
D. Peranan Ulama dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan Islam 182
E. Kesimpulan 183

BAB XIV MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM


Oleh: Syahril 185
A. Pendahuluan 185
B. Definisi Modernisasi Pendidikan Islam 187
C. Latar Belakang dan Pola Pembaruan 188
D. Al-Azhar 188
E. Pendidikan Islam di Indonesia 194
F. Kesimpulan 200

BAB XV POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA PADA


PENDIDIKAN ISLAM KLASIK Oleh: Nurul
Hikmah 203

A. Pendahuluan 203
XII Sejarah Pendidikan Islam

B. Gambaran Interaksi Rasulullah dan Sahabat


Pada Periode Awal Pendidikan Islam 204
C. Pola Sikap Guru dan Siswa Pada Pendidikan
Islam Klasik 205
D.
Kesimpulan 212

BAB XVI PENDANAAN PENDIDIKAN ISLAM


MASA KLASIK
Oleh: Maftuhah 215
A. Pendahuluan 215
B. Sumber Biaya Pendidikan Islam
Masa Klasik 218
C. Pola Pengelolaan Dana Pendidikan 226
D. Kesimpulan 230

BAB XVII MAZHAB-MAZHAB DALAM


PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Lathifatul Hasanah 233
A. Pendahuluan 233
B. Mengenal Pemikiran Tokoh 236
C. Kesimpulan 255

BAB XVIII PENDIDIKAN ISLAM DI SPANYOL


Oleh: Ahmad lrfan Mufid 257
A. Pendahuluan 257
B. Islam Masuk ke Spanyol 258
C. Pendidikan Islam di Spanyol 263
Daftar Isi XIII

D. Faktor-faktor Pendukung Kemajuan


Pendidikan di Spanyol 268
E.
Kesimpulan 269

BAB XIX PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA


KERAJAAN TURKI UTSMANI (I)
Oleh: Nur’ani 271

A.
Pendahuluan 271
B. Perkembangan Pendidikan pada
Masa Turki Utsmani 272
C. Kesimpulan 280

BAB XX PENDIDIKAN ISLAM DI KERAJAAN TURKI


UTSMANI (II)
Oleh: Muhammad Syukur 281

A. Pendahuluan 281
B. Perkembangan Pendidikan
Islam Utsmani 283
C. Kesimpulan 290

BAB XXI PENUTUP 293

DAFTAR PUSTAKA 295


1

BAB I

Pendahuluan

Dilihat dari sifat, corak dan pendekatannya, ilmu pendidikan


Islam dapat dibagi menjadi empat bagian. Pertama, ilmu pendidikan
Islam yang bercorak normatif-perenialis (Islamic Education in Normatif and
Perennialis Perspective). Kedua, ilmu pendidikan Islam yang bercorak
filosofis (Islamic Education in Filosofical Perspective). Ketiga, pendidikan Islam
yang bercorak sejarah (Islamic Education in Historical Perspective), dan
keempat, pendidikan Islam yang bercorak aplikatif, (Islamic Education in
Applicative Perspective).
Ilmu pendidikan Islam yang bercorak normatif-perenialis adalah
ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada penggalian
ajaran Alquran dan Hadis yang berkaitan dengan pendidikan Islam
yang diyakini sebagai ajaran yang pasti benar, harus diamalkan dan
dinilai lebih unggul dibandingkan konsep pendidikan yang berasal
dari sumber agama lainnya. Ajaran-ajaran tersebut telah terseleksi
dalam sejarah yang amat panjang, yakni dari sejak Nabi Adam a.s.,
hingga Nabi Muhammad Saw. Dengan sifatnya yang demikian, ajaran
ini harus diabadikan sepanjang sejarah. Kajian terha-
Sejarah Pendidikan Islam
2

dap ilmu pendidikan yang bersifat normative perennialis ini telah banyak
dilakukan sarjana Muslim, antara lain Muhammad Quthb melalui
karyanya Sistem Pendidikan Islam, Shalih Abdullah Shalih melalui
bukunya Islamic Education: Quranic Outlook; Muhammad Nashih Ulwan
melalui bukunya Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam. Di Indonesia kajian
terhadap ayat- ayat Alquran dan Al-Hadis yang berkaitan dengan
pendidikan dikembangkan di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Di antara yang mengembangkannya adalah Abuddin Nata,
melalui bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, serta para pakar lainnya
dalam berbagai tulisannya pada Jurnal Islamika Didaktika pada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, serta dalam bentuk artikel pada berbagai buku tentang ke-
Islaman.
Ilmu pendidikan Islam yang bercorak filosofis adalah ilmu
pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran
filsafat Islam yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Dengan
sifatnya yang mendalam, radikal, universal dan sistematis, filsafat
pendidikan Islam berupaya menjelaskan konsep-konsep yang
mendasar tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan
berbagai aspek pendidikan Islam, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum,
bahan pelajaran, guru, murid, hubungan guru murid, proses belajar
mengajar, mana- jemen, dan aspek pendidikan lainnya dikaji secara
mendalam untuk ditemukan inti gagasan yang terdapat di dalamnya.
Dengan demikian, ilmu ini berguna untuk membangun ber- bagai
konsep yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut. Kajian
terhadap ilmu pendidikan Islam yang bercorak filosofis ini telah
banyak dilakukan oleh para sarjana pendidikan. Mereka itu, antara
lain Mohammad Al-Taomy Al-Syaibani
Pendahuluan 3

melalui karyanya yang berjudul Falsafah al-Tarbiyah al- Islamiyah;


Majid Fakhry dengan karyanya Sejarah dan Filsafat Pendidikan. Di
Indonesia kajian terhadap ilmu pendidikan dalam perspektif
filsafat ini, antara lain dilakukan oleh Prof. Drs. H.M. Muzayyin
Arifin, M.Ed., dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., dengan bukunya antara lain Filsafat Pendidikan
Islam, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam serta Pola Hubungan Guru
Murid dalam Perspektif Pendidikan Islam. Kajian ilmu pendidikan Islam
dalam perspektif filsafat ini juga dikembangkan di Pasca- sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya, ilmu pendidikan Islam yang bercorak historis
adalah ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada
data-data empiris yang dapat dilacak dalam sejarah, baik yang
berupa karya tulis, peninggalan berupa lembaga mau- pun
pendidikan dengan berbagai aspeknya. Melalui kajian ini, umat akan
diajak untuk menyaksikan maju mundurnya pendidikan Islam
sepanjang sejarah untuk kemudian direnung- kan, dianalisis dan
diambil hikmahnya untuk dijadikan bahan perbandingan dan
masukan untuk membangun kemajuan pendidikan Islam di masa
sekarang. Dengan kajian ini, umat diajak untuk melihat masa lalu
untuk kemajuan masa depan. Kajian terhadap ilmu pendidikan Islam
dalam perspektif sejarah ini telah banyak pula dilakukan oleh
sarjana Muslim. Mereka itu antara lain Prof. Dr. A. Syalabi melalui
karyanya Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah (Sejarah Pendidikan Islam);
Dr. Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha; Dr.
Mahmud Qombar dengan bukunya Dirasah Turasiyah fi al-Tarbiyah al-
Islamiyah. Di Indonesia kajian terhadap ilmu pendidikan Islam dan-
perspektif sejarah
4 Sejarah Pendidikan Islam

ini antara lain dilakukan oleh Prof. Dr. H. Mahmud Yunus melalui
karyanya berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia-, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, M.A. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru; Dr. H. Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya;
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. melalui karyanya Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia; Pendidikan Islam
di Indonesia Tantangan dan Peluang, serta Manajemen Pendidikan Islam:
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia.
Adapun ilmu pendidikan Islam yang bercorak aplikatif adalah
ilmu pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada upaya
menerapkan konsep-konsep pendidikan dalam kegiatan yang lebih
konkret dan dapat diukur serta dilihat hasilnya. Kajian ini
mengharuskan adanya uji coba konsep melalui eksperimen di kelas
dan lainnya. Hasilnya adalah konsep-konsep yang siap diaplikasikan.
Upaya ini termasuk yang agak kurang dilakukan oleh para sarjana
pendidikan Muslim dibandingkan dengan yang dilakukan oleh para
sarjana Barat. 1 Di Indonesia, kajian terhadap pendidikan

1Kajian ilmu pendidikan yang bersifat aplikatif termasuk yang paling banyak
digemari oleh para peneliti pendidikan di Barat. Dengan menggunakan uji coba atau
eksperimen di laboratorium atau pada unit-unit kegiatan yang - sengaja mereka adakan
dan lakukan selama bertahun-tahun, mereka dapat menghasilkan berbagai model konsep
pendidikan yang siap diaplikasikan. Kajian ini mencoba memanfaatkan berbagai konsep
atau teori yang telah dikembangkan oleh para ahli dalam berbagai bidang, seperti kajian
tentang konsep-konsep psikologi, sosiologi, antroplogi dan sebagainya. Melalui teori-
teori psikologi, mereka telah berhasil mengembangkan model-model pembelajaran yang
dinilai dapat mempercepat proses pembelajaran. Se- perti konsep pembelajaran Quantum
Teaching oleh Boby de Porter; Cooperative
Pendahuluan 5

Islam yang bercorak aplikatif ini, misalnya kita jumpai pada Prof. Dr.
H. Mahmud Yunus melalui konsepnya dalam bidang metodologi
pengajaran bahasa Arab. Setelah melakukan pengamatan selama
beberapa tahun terhadap metode peng- ajaran bahasa Arab yang
dilakukan di pesantren-pesantren, Mahmud Yunus sampai pada
kesimpulan, bahwa metode pengajaran bahasa Arab yang menekankan
gramatika yang dilakukan secara parsial di pesantren amatlah sulit,
rumit dan melelahkan, tapi hasilnya tidak sebanding dengan upaya
yang dilakukan. Para lulusan pesantren sangat kaya dan mendalam
pengetahuan teoretisnya dalam bidang bahasa, tapi mereka tidak
mampu mengaplikasikannya dalam bentuk percakapan, dan tulisan
yang berbahasa Arab. Upaya ini harus segera diatasi dengan membuat
metode pengajaran yang baru yang ia kenalkan dengan nama Al-
Thariqah al- Mubasyarah (Direct Methode) yang mengajarkan berbagai
komponen ilmu bahasa Arab secara integrated dan ditekankan pada
penerapannya dalam percakapan sehari-hari di dalam kelas dan
pergaulan selama di pesantren. Upaya ini telah berhasil ia wujudkan
melalui lembaga pendidikan Adabiyah School di Sumatera Barat, dan
salah seorang muridnya

Learning, Partisipative Learning, dan sebagainya. Dengan berbagai konsep tersebut proses
belajar mengajar makin dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Di Dunia
Islam kajian terhadap pendidikan yang bercorak aplikatif masih kurang dibandingkan
dengan konsep kajian pendidikan Islam yang bercorak normatif, perenialis, historis
dan filosofis. Hal yang demikian terjadi karena untuk melakukan kajian yang bersifat
uji coba eksperimen dibutuhkan lebih banyak modal dibandingkan dengan modal
untuk penelitian dalam kajian pendidikan lainnya.
Sejarah Pendidikan Islam
6

bernama Imam Zarkasyi berhasil menguasainya dengan baik dan


mempraktikkan di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
Melalui metode ini, Gontor Ponorogo telah ber- hasil mencetak
lulusan yang di samping memiliki keman- dirian dan ketangguhan
sikap dan akhlak, juga mahir dalam berbahasa Arab dan Inggris
hingga diakui oleh Dunia Islam. 2 Kajian terhadap ilmu pendidikan
Islam dalam corak yang aplikatif ini telah dilakukan pula oleh para
pakar ilmu Alquran. Mereka telah berhasil mengembangkan
berbagai metode mengajarkan membaca Alquran dengan cepat,
seperti metode Iqra 3 , metode al-Barqi, dan lain-lain.
Berdasarkan pada pembagian paradigma keilmuan pen-
didikan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa kajian yang terdapat dalam buku ini adalah kajian yang
ketiga, yaitu ilmu pendidikan Islam dalam perspektif sejarah.

2 Lulusan Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur selain

memiliki sikap mental mandiri dan akhlak yang mulia, juga mampu berkomunikasi dan
menulis bahasa Arab dengan baik. Para lulusannya diakui oleh Universitas Al-Azhar
Cairo dengan diterimanya sebagai mahasiswa di Universitas tersebut tanpa testing.
Sejumlah tokoh nasional yang disegani juga banyak yang tamatan Gontor Ponorogo.
Mereka itu antara lain Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, K.H.
Syukron Makmun dan sebagainya masih banyak lagi. Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), cet I, hlm. 167.

3 Metode Iqra telah diakui sebagai metode yang banyak membantu masyarakat
yang ingin mampu membaca Alquran dalam waktu yang tidak terlalu lama. Metode ini
sudah sangat populer dan menjadi nama yang khas pada sejumlah pergujuan yang
mengajarkan cara membaca Alquran. Departemen Agama RI telah menetapkan metode
Iqra sebagai cara meng- ajarkan Alquran yang menjadi gerakan nasional pemberantasan
buta aksara baca tulis Alquran.
Pendahuluan 7

Kajian terhadap ilmu pendidikan Islam dalam empat kate- gori


tersebut kini semakin berkembang dan kehadirannya sangat dibutuhkan
oleh masyarakat akademik pada umumnya, dan oleh para peneliti
pendidikan Islam pada khususnya.
Melalui buku ini, para pembaca akan menjumpai kajian secara
mendalam dan komprehensif tentang prinsip-prinsip umum pendidikan
Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum madrasah,
pertumbuhan madrasah pada periode awal sebelum timbulnya madrasah,
Madrasah Nizhamiyah, madrasah di Makkah dan Madinah, madrasah
Tingkat Tinggi (Al-Azhar), para sarjana Muslim dan lembaga pendidikan
Islam, kurikulum pendidikan Islam klasik (750-1350 M), ke- hidupan
para siswa di zaman Islam masa klasik, guru masa klasik: kajian historis
tentang status sosial dan peran guru, unsur filsafat Yunani dalam
pendidikan Islam, fungsi madra- sah dalam pengembangan pengetahuan
Islam, modernisasi pendidikan Islam: alam dan lembaga pendidikan
Islam di Indonesia, pola interaksi guru dan siswa dalam pendidikan Islam
klasik, sistem pendanaan pendidikan Islam masa klasik, mazhab-mazhab
dalam pendidikan Islam: analisis terhadap konsep para tokoh pendidikan
Islam klasik, pendidikan Islam di Spanyol, pendidikan Islam pada masa
kerajaan Turki Utsmani dan pendidikan Islam di kerajaan Turki Utsmani.
Dengan melihat ruang lingkup kajian tersebut, dapat dikatakan
bahwa buku ini menyajikan sesuatu yang sifatnya pemula atau perintis,
karena sebelum itu tidak ada model penyelenggaraan pendidikan yang
dikembangkan. Terlepas dari segala kekurangan yang terdapat di
dalamnya, yang pasti kegiatan pendidikan Islam yang dilaksanakan oleh
umat Is- lam tersebut telah menjadi model atau sekurang-kurangnya
Sejarah Pendidikan Islam
8

memberi inspirasi terhadap Dunia Eropa dan Barat dalam


mengembangkan lembaga pendidikannya. Universitas Al- Azhar
Cairo yang usianya lebih dari seribu tahun misalnya, menjadi model
bagi Eropa dan Barat untuk membangun lembaga pendidikan dan
kajian ilmiah lainnya.
Melalui kajian ini pula diharapkan dapat mendorong para
sarjana yang datang kemudian untuk melakukan penelitian secara
lebih luas lagi.
9

BAB II

Prinsip-prinsip Umum Pendidikan


Islam
Oleh: Syahraini Tambak

A. PENDAHULUAN
Dalam Alquran ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia
agar menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai
pengabdiannya kepada Allah. 1 Aktivitas yang dimaksud tersimpul
dalam ayat Alquran yang menegas- kan bahwa manusia adalah
khalifah Allah. 2 Dalam statusnya sebagai khalifah, manusia hidup di
alam mendapat tugas dari Allah untuk memakmurkan bumi sesuai
dengan konsep yang ditetapkan-Nya. 3 Manusia sebagai khalifah Allah
memikul beban yang sangat berat. Tugas ini dapat diaktualisasikan
jika manusia dibekali dengan pengetahuan. Semua ini dapat dipenuhi
hanya dengan proses pendidikan.
Pendidikan Islam terjadi sejak nabi diangkat menjadi Rasul di
Makkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendi-

1 QS. Al-Dzariyat 51: 56


2 QS. Al-Baqarah 2: 30, dan QS. Hud 11:61
3 Lih. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 172.


10 Sejarah Pendidikan Islam

dikan masa ini merupakan prototype yang terus menerus


dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendi- dikan
pada zamannya. Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang.
Dalam pengertian yang seluas-luasnya, pen- didikan Islam
berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. 4
Apabila kita sepakat bahwa pendidikan Islam itu adalah proses
pembentukan individu berdasarkan ajaran Islam untuk mencapai
derajat tinggi sehingga mampu menunaikan fungsi kekhalifahannya
dan berhasil mewujudkan kebaha- giaan dunia dan akhirat. 5 Oleh
sebab itu, setiap pendidik dan perancang kurikulum haruslah
menentukan falsafah dan tujuan dan menggariskan prinsip serta dasar
yang perlu ditrans- ferkan sehingga tercipta usaha-usaha pendidikan
berdasarkan anak didik, masyarakat dan umat Islam secara
keseluruhan.
Dengan melihat trend perkembangan sejarah abad ke-7-12 M,
academic curiosity penulis termotivasi untuk me- ngangkat tema ini-
prinsip-prinsip umum pendidikan Islam- menjadi pokok pada
pembahasan ini. Karena keterbatasan literatur dan luasnya bidang
kajian, penulis membatasi pem- bahasan pada prinsip-prinsip umum
yang mendasari tujuan, kurikulum, metode, murid dan guru,
lingkungan dan evaluasi pendidikan Islam. Pada akhir pembahasan
diharapkan adanya deskripsi yang jelas tentang prinsip-prinsip
umum pendidikan Islam tersebut.

4 Azyumardi Azra, Pendidikan lslam:Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:

Logos, 1999, hlm. vii.


3 Lih. Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos,

1998, hlm. 5-6.


Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 11

B. PRINSIP-PRINSIP UMUM PENDIDIKAN ISLAM

1. Tujuan Pendidikan Islam


Pendidikan Islam yang dilakukan nabi di Makkah meru- pakan
prototype yang bertujuan untuk membina pribadi Mus- lim agar
menjadi kader yang berjiwa kuat dan dipersiapkan menjadi
masyarakat Islam, mubalig dan pendidik yang baik. 6 Setelah hijrah,
pendidikan Islam mengalami perkembangan dan pendidikan
diarahkan-di samping membentuk pribadi kader Islam-juga
diarahkan untuk membina aspek-aspek kemanusiaan dalam
mengelola dan menjaga kesejahteraan alam semesta. 7
Pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat pada masa
Dinasti Umayyah yang meletakkan dasar-dasar bagi ke- majuan
pendidikan. Sehingga masa ini disebut dengan “masa inkubasi” atau
masa bagi perkembangan intelektual Islam. 8
Dapat dikemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam 9 adalah
sesuai dengan tujuan hidup manusia, 10 sebab pen-

6 Lih. Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,

Bandung: Angkasa, 1985, hlm. 54-59.


7 Lih. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999,

hlm. 5.
8 Philip K. Hitty, History of the Arab, London: Macmillan Press, 1974,

hlm. 240.
9 Secara umum tujuan pendidikan Islam itu diarahkan pada pemben- ...

tukan kepribadian yang utama dan akhlakul karimah. Ini sesuai dengan misi
kerasulan Nabi Muhammad Saw. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
yang berdasar pada wahyu Allah, li-utammima makarimal akhlak. Lih. Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan hlam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 49
10 Tujuan hidup manusia ini tercermin dalam QS'Al-An’am, 162. Sesung-
12 Sejarah Pendidikan Islam

didikan hanyalah alat yang digunakan oleh manusia untuk


memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu
maupun masyarakat.
Manusia dalam usahanya memelihara kelanjutan hidup- nya,
mewariskan berbagai nilai-nilai budaya dari satu gene- rasi ke
generasi berikutnya. Di samping itu, pengembangan potensi yang
ada pada diri individu supaya dapat diperguna- kan oleh dirinya
sendiri untuk menghadapi tantangan millieu yang selalu berubah. 11
Dari penjelasan di atas dapatlah dikemukakan beberapa prinsip
yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam, di antaranya:

a. Universal (menyeluruh)
Agama Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat
menyeluruh dalam pandangannya terhadap agama, manusia,
masyarakat dan kehidupan. Islam berusaha membina individu
sebagaimana ia membina masyarakat dan meng- hargainya sekaligus.
Pendidikan Islam berdasar pada prinsip ini bertujuan untuk
membuka, mengembangkan, dan mendidik segala aspek pribadi
manusia dan dayanya. Juga mengembangkan segala segi kehidupan
dalam masyarakat, turut menyelesai- kan masalah sosial dan
memelihara sejarah dan kebuda-

guhnya sembahyangku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Tuhan seluruh alam.
11 Lih. Hasan Langgulung, Asas Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna,

1988, hlm. 7.
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 13

yaan. 12 Dengan demikian, pendidikan Islam itu tidak bersifat


eksklusif.

b. Keseimbangan dan kesederhanaan


Pendidikan Islam dalam prinsip ini bermakna mewujud- kan
keseimbangan antara aspek-aspek pertumbuhan anak dan
kebutuhan-kebutuhan individu, baik masa kini maupun akan datang,
secara sederhana yang berapiliasi sesuai dengan semangat fitrah yang
sehat. 13

c. Kejelasan
Prinsip ini memberi jawaban yang jelas dan tegas pada jiwa dan
akal dalam memecahkan masalah, tantangan dan krisis. Prinsip ini
merupakan prinsip penting yang harus ada dalam setiap tujuan-
tujuan pengajaran. Kejelasan tujuan memberi makna dan kekuatan
terhadap pengajaran. Men- dorong pengajaran untuk bertolak pada
arah yang jelas untuk mencapai tujuan dan menghalangi terjadinya
perselisihan dalam persepsi dan interpretasi. 14

d. Realisme dan realisasi


Kedua prinsip ini berusaha mencapai tujuan melalui metode
yang prakds dan realistis. Sesuai dengan fitrah. Ter- realisasi sesuai
dengan kondisi dan kesanggupan individu,

12 Lih.Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafab al-Tarbiyah al-lslamiyah, terj.


Hasan Langgulung (Falsafah Pendidikan Islam), Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm.
438.
13 Lih. Ibid.

14 Lih. Ibid, hlm. 439.


14 Sejarah Pendidikan Islam

sehingga dapat dilaksanakan pada setiap waktu dan tempat secara


ideal. 15
Dari keterangan ini, tujuan pendidikan yang baik adalah yang
sesuai dengan psikologi anak, tahap kematangan jas- mani, akal,
emosi, spiritual dan sosial. Juga sesuai dengan tatanan masyarakat,
kebudayaan dan peradaban.

e. Prinsip dinamisme
Pendidikan Islam tidak beku dalam tujuan, kurikulum dan
metode-metodenya, tetapi selalu memperbarui dan berkem- bang. Ia
memberi respon terhadap perkembangan individu, sosial dan
masyarakat, bahkan inovasi-inovasi dari bangsa- bangsa lain di
dunia. 16

2. Kurikulum Pendidikan Islam


Secara formal, kemunculan 17 kurikulum 18 sebagai bidang

15 Lih. Ibid, hlm. 440.


16 Untuk mengembangkan prinsip ini kaitannya dengan perkembangan ke depan
adalah dengan mengadakan research pendidikan, eksperimen pendidikan dan responsif terhadap
perkembangan bangsa-bangsa lain. Sehingga pendi- dikan yang disebut sebagai proses
perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku individu dapat terrealisasi. Dalam kaitan
ini-perubahan tingkah laku- dalam tujuan pendidikan meliputi: pengetahuan, konsep,
pikiran, kemahiran, nilai-nilai, adat kebiasaan dan sikap pelajar. Lih. Ibid, him. 442-
443.
17 Kemunculan ini ditandai dengan semakin banyaknya hasil-hasil pe- nelitian
yang dipublikasikan melalui jurnal-jurnal kependidikan.-J. L. Goodlad, “Curriculum as
a Fild of Study”, dalam A. Lewy, (Ed), The International Encyclopedia of Curriculum, Toronto:
Pergamon Press, 1991, him. 185.
l8 Kurikulum adalah rencana pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran
yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan
program tertentu. Crow and Crow, Pengantar Ilmu
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 15

kajian ilmiah baru pada awal abad ke-20.19 Kurikulum pen- didikan
Islam klasik hanya berkisar pada bidang studi ter- tentu.20 Ilmu-ilmu
agama mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata
pelajaran hadis dan tafsir, fiqih, retorika dakwah 21 (dianggap sebagai
sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan klasik), 22 ilmu
kalam, ilmu filsafat dan ilmu-ilmu hellenis.
Namun dengan perkembangan sosial dan kultural, isi kurikulum
semakin meluas. Dengan perkembangan ini diperlukan prinsip-prinsip
umum yang menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan
Islam. Dalam meletakkan cetak biru (blue print) pendidikan Islam adalah
dengan meng- integrasikan ajaran-ajaran ideologi dan pandangan Islam
secara menyeluruh ke dalam mata pelajaran (subject matter)

Pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990, hlm. 75. Lih. pula Abdurrahman Saleh
Abdullah, Educational Theory Qur’ani Outlook, Makkah Al-Mukarra- mah: Ummul Qura
University, tt, him. 123, dan literatur-literatur lain yang membahas pendidikan.
19 G. A. Beuchamp, Curriculum Theory, Wilmete: The Kagg Press, 1968, hlm. 26.

“Kurikulum masa klasik dapat dilihat ketika nabi berada di Madinah.


Kurikulum pelajaran meliputi: belajar menulis, membaca Alquran, keimanan, ibadah,
akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan. Lih. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
dalam Persfektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, hlm. 53.
2l Retorika ini terbagi tiga cabang, yaitu: al-Ma’ani(membahas perbedaan kalimat

dan melafalkannya), al-Bayan (mengajarkan seni mengekspresikan ide-ide dengan fasih


dan tidak mengandung arti ganda), dan al-Badi’ (mem- bahas tentang kata-kata indah
dan hiasan kata-kata dalam pidato). Hanun Asroh, op. cit., hlm. 76.
“Carles Michael Stanton, Higler Learning in Islami the Classical Period. A.. D. 700-1300,
Meryland: Rowman and Littlefield Publisher, 1990. him. 43.
16 Sejarah Pendidikan Islam

pada kurikulum di sekolah. 23 Dalam penyusunan kurikulum tersebut


dapat dilihat dari prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Ruh Islamiyah
Setiap yang berkaitan dengan kurikulum-termasuk falsa- fah,
tujuan, metode dan lainnya-harus berdasar pada agama dan akhlak
Islam. Terisi dengan jiwa agama Islam dan bertujuan untuk
mencapai tujuan-tujuan spiritual dan akhlak dalam membina pribadi
mukmin. 24

2. Universal
Antara tujuan dan kandungan kurikulum harus meliputi segala
aspek. Apabila tujuan meliputi segala aspek pribadi pelajar,
kandungannya juga meliputi segala aspek yang ber- guna untuk
membina pribadi pelajar yang berpadu dan bermanfaat bagi
perkembangan masyarakat. 25

3. Balancing
Antara tujuan dan kandungan kurikulum harus memiliki
keseimbangan (balance) dalam penyusunannya. Agama Islam yang
merupakan sumber ilham kurikulum dalam mencip- takan falsafah
dan tujuan-tujuannya menekankan kependngan duniawi dan ukhrawi
dengan memperhatikan perkembangan

Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim..., op, cit., hlm. 23-24.


23 Lih.

24 Lih. Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany, op. cii, hlm. 520.
25 Dalam perkembangan'masyarakat ini perlu diperhatikan perkem- bangan

spiritual, ke'budayaan, sosial, ekonomi dan politik, termasuk ilmu- ilmu agama, bahasa,
kemanusiaan, fisik, praktis, profesional, seni rupa dan lain- lain. Lih. Ibid.
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 17 .

jasmani, akal, jiwa dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. 26

4. Sesuai dengan perkembangan psikologis


Prinsip ini berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan pelajar,
kebutuhan pelajar dan kondisi realitas lingkungan alam sekitar di
mana pelajar itu hidup dan berinteraksi.

5. Memperhatikan lingkungan sosial


Dalam lingkungan sosial ini, kurikulum harus akomodatif
dalam proses pemasyarakatan (socialisation) bagi pelajar, penyesuaian
mereka dengan lingkungannya, kebiasaan dan sikap, cara berpikir
dan tingkah laku, kerja sama dan tanggung jawab serta pengorbanan
pada lingkungannya. Bagi masya- rakat, kurikulum harus
akomodatif untuk ikut mengembang- kan dan mengubah
masyarakat ke arah yang lebih baik. 27

3. Metode Pendidikan Islam


Metode 28 merupakan aspek penting untuk mentransfer ilmu
pengetahuan dari guru kepada siswa. Sehingga terjadi

26 Lih. Ibid, hlm. 521.


27 Lih.Husein Sulaiman Qurah,Al-UshulAl-Tarbawiyah fi BinaAl-Manahij, Cairo: Dar Al-
Ma’arif, 1975, hlm. 47-49.
28 Metode pengajaran adalah rentetan terarah bagi guru yang menyebab- kan

timbulnya proses belajar pada murid-murid atau jalan yang dengannya pelajaran itu
menjadi terkesan. Edgard Gruce Wesley, Teaching Social Studies in High School, Boston: USA
Press, 1950, hlm. 421. Ghunaimah mengatakan bahwa metode pengajaran adalah cara-cara
guru yang praktis dalam men- jalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran.
Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, Tarikh al-]ami’at al-Islamiyah al-Kubra, Maroko: Dar al-Tiba’ah al-
Mughribiyah, 1953, hlm. 77.
18 Sejarah Pendidikan Islam

proses internalisasi dan pemilikan ilmu oleh siswa. Dalam pendidikan


Islam, metode mendapat perhatian yang sangat besar. Alquran dan
al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam berisi petunjuk dan prinsip-
prinsip yang dapat diinterpre- tasikan menjadi konsep tentang
metode ini.
Signifikansi metode ini mengakibatkan guru harus memahami
proses belajar dan metode mengajar serta memahami syarat-syarat
berlakunya proses belajar dan juga prinsip-prinsip umum yang
menjadi dasar bagi teori-teori dalam proses belajar-mengajar.
Adapun prinsip-prinsip yang harus diketahui dalam metode
pendidikan Islam itu adalah:

a. Prinsip kesesuaian dengan psikologi anak


Metode yang dikembangkan oleh pendidik harus
memperhatikan motivasi, kebutuhan, minat dan keinginan siswa
dalam proses belajar. Menggerakkan motivasi yang terpendam,
sekaligus menjaga dan memeliharanya, sehingga menjadikan pelajar
termotivasi belajar lebih aktif.
Dalam menumbuhkan dan memelihara motivasi ini, pendidik
harus mengakulturasikan atau memadukan antara persuation dan
determination supaya anak didik tidak lemah dan tidak pula memilki
sifat kekerasan. 29 Suatu ungkapan menarik mengenai permasalahan
ini dapat dikemukakan sebagaimana perkataan Ali r.a. “Dalam hati
ada syahawat, sifat ingin dan sifat benci. Datangilah ia sewaktu ia
sedang ingin. Sebab kalau hati dipaksa ia akan jadi buta”. 30

29 Lih. Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, op. cit, hlm. 595.


30 Muhammad Abu Zahrah, Tanzjm al-lslam li al-Mujtama’, Cairo: Maktabah al-Masriya,
tt., hlm. 187.
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 19

b. Menjaga tujuan pelajaran


Tujuan pelajaran yang telah diketahui oleh siswa perlu dijaga dan
dikembangkan bahkan membimbingnya sehingga ia menyukai
pelajaran. Tugas utama guru dalam hal ini adalah menolong murid
untuk menentukan tujuannya dalam belajar dan menjaga tujuan
pelajaran tersebut dalam proses belajar mengajar. 31

c. Memelihara tahap kematangan


Menjaga tahap kematangan murid dalam proses belajar
dimaksudkan agar usaha pengajaran dapat mencapai pada titik
optimal dan memungkinkan pelajar mengambil manfaat dari usaha-
usaha pendidikan yang diberikan. 32 Dengan demi- kian, pengajaran
yang disampaikan sesuai dengan akal, tahap pengamatan dan
pemahaman siswa. Juga dapat dikemuka- kan, dengan memelihara
tahap kematangan ini proses belajar mengajar dapat berlangsung
dengan enjoy dan menciptakan kesan yang baik bagi diri siswa.

d. Partisipasi praktikal
Penekanan dalam prinsip ini adalah pada amal (action) untuk
menanamkan dan meneguhkan tujuan pelajaran. Dalam tercapainya
“perubahan” dalam pendidikan dapat diketahui melalui tingkah laku
dan metode pelaksanaannya melalui pengamalan dan partisipasi yang
berulang-ulang.33

31 Lih. Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, loc. cit. 32 lbid, hlm. 598.
33 Lih. Ibid' hlm. 604
20 Sejarah Pendidikan Islam

4. Murid dan Guru dalam Pendidikan Islam


Mengawali pembahasan ini lebih dahulu kita harus me- lihat pola
hubungan guru 34 dan murid. 35 Dari semua penger- tian pendidikan
terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan” bukan
“pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksanaan
pendidikan. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran Islam, maka
anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk
mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya.
Di sini seorang guru lebih berfungsi sebagai “fasilitator” atau
petunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik. Dengan
demikian, guru bukanlah segala-galanya, sehingga cenderung
menganggap anak didik bukan apa-apa; manusia yang masih kosong
yang perlu diisi. 36
Dengan kerangka dasar pengertian dan hubungan murid dan
pendidik dapat pula sekaligus dihindari apa yang disebut banking
concept 37 dalam pendidikan yang banyak dikritik

34 Guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran

yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan


masing-masing. Hadari Nawawi, Organisasi, Sekolah dan Pengelolaan Kelas, Jakarta: Haji
Masagung, 1989, hlm. 122.
35 Ada tiga istilah yang dipakai dalam bahasa Arab yang menunjuk pada murid,

yaitu: Pertama, murid, secara harfiyah adalah orang yang menginginkan atau
membutuhkan sesuatu. Kedua, tilmidz yang berarti murid, dan yang ketiga adalah thalib al-’ilm
yang berarti yang menuntut ilmu,-pelajar atau mahasiswa. Lih. Abuddin Nata op. cit.,
hlm. 79.
’'Azyumardi Azra, Pendidikan Islam..., op. cit., hlm. 6.
37Banking Concept of Education adalah salah satu istilah yang diperkenal- kan Paula

Preire. Konsep ini merupakan suatu gejala di mana guru berlaku sebagai penyimpan
yang memperlakukan murid sebagai tempat penyim-
Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 21

sekarang ini. Dari pola hubungan guru dan murid ini dapatlah
dikemukakan prinsip-prinsip umum yang mendasari, yaitu:

a. Prinsip humanistik
Dalam kegiatan proses belajar mengajar, dominasi tidak berada
pada guru saja dan bukan pula pada siswa, akan tetapi proses
pembelajaran itu berlangsung dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Mengajar anak didik dengan rendah hati dan memberikan petunjuk
dan mengarahkannya sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan
pemikiran anak didik. 38

b. Prinsip egaliter
Dalam prinsip ini bukanlah guru yang menduduki posisi tinggi
dan murid dianggap sebagai yang terendah, akan tetapi antara guru
dan murid berada dalam posisi yang sama yang memiliki kesederajatan
dalam pembelajaran. Dan bukan pula seperti yang dikemukakan oleh
Bullet, bahwa ciri pendidikan Islam klasik adalah teacher oriented,
sehingga kualitas suatu pendidikan tergantung pada guru, 39 akan
tetapi all oriented (berorientasi pada guru dan murid) dan tentu pula
kualitas pendidikan itu bergantung pada guru dan murid.

panan-semacam bank-yang kosong yang karenanya perlu diisi. Dalam proses seperti ini
murid tidak lebih sebagai gudang, yang tak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada
dalam kebodohan absolut (absolute ignurance). Ini merupakan suatu penindasan kesadaran
manusia. Lih. Ibid, hlm. 7.
38 Lih. Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latif,

Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 298.


39 Richard W. Bullet, The Petrician of Nishaper: a Study in Medieval Islamic Social History,

Harvard: Harvard University Press, 1972, hlm. 54.


22 Sejarah Pendidikan Islam

c. Prinsip demokratis
Dalam sistem pembelajaran, pendidik memiliki sifat yang baik,
terbuka dan tidak bersifat otoriter. Sikap keter- bukaan antara guru
dan murid merupakan hal pokok yang perlu dikembangkan. Dalam
proses belajar mengajar, murid bebas mengeluarkan pendapat, baik
untuk bertanya maupun mengkritik guru, dan berada pada bingkai
norma-norma religi. Dengan prinsip seperti ini, kreativitas anak
dapat terbongkar dan hasil belajar pun akan berpeluang besar pada
skala tinggi.

5. Lingkungan Pendidikan Islam


Lingkungan pendidikan 40 menunjuk pada situasi dan kondisi
yang mengelilingi dan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan
pribadi murid. Tegasnya, lingkungan pendi- dikan adalah suatu
institusi dan tempat yang mempengaruhi di mana proses belajar itu
berlangsung.
Dalam praktiknya, sejarah lingkungan pendidikan Islam adalah
rumah, masjid, perpustakaan, kuttab, madrasah dan universitas.
Lingkungan pendidikan ini berfungsi untuk menunjang terjadinya
proses belajar mengajar dengan aman, tertib dan berkelanjutan. 41
Karena mengajar adalah mem- bimbing murid bukan transformasi
ilmu saja, guru harus

40 Lingkungan pendidikan dibagi dua. Pertama, milieu (lingkungan seki-


tar) adalah segala keadaan, benda, orang, serta kejadian di sekitar anak didik. Kedua,
pusat-pusat pendidikan adalah tempat, organisasi dan kumpulan manusia sebagai
sarana pendidikan. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 209.

41 Lih. Abuddin Nata, op. cit., hlm. 112.


Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 23

mengatur lingkungan belajar sebaik-baiknya sehingga ter- cipta


syarat-syarat yang baik dan menjauhkan dari pengaruh yang buruk.
Secara umum, prinsip lingkungan dalam mengajar sangat
menekankan pada integrasi anak dengan lingkungannya, 42 sehingga
anak didik dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma kehidupan
di mana dia berada.
Usaha yang dapat dilakukan dalam melaksanakan prinsip
lingkungan dalam pengajaran adalah:
a. Memberikan pengetahuan tentang lingkungan anak dan dari
sinilah pengetahuan agama anak diluaskan.
b. Mengusahakan agar alat yang digunakan berasal dari
lingkungan yang dikumpulkan, baik oleh guru maupun siswa.
c. Mengadakan karya wisata ke tempat-tempat yang dapat
mendukung untuk memperluas wawasan pengetahuan agama
dan keimanan siswa.
d. Memberi kesempatan pada anak untuk melaksanakan sesuai
dengan kemampuannya melalui bacaan dan obser- vasi dan
lainnya. 43

6. Evaluasi Pendidikan Islam


Rangkaian akhir dari komponen suatu pendidikan adalah
evaluasi. 44 Evaluasi dalam pendidikan Islam telah mengga-

Zakiyah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi
42 Lih.

Aksara, 1995, hlm. 129-130 43Ibid, him. 130.


44 Evaluasi adalah suatu proses tindakan untak menentukan segala
24 Sejarah Pendidikan Islam

riskan tolok ukur yang serasi dengan tujuan pendidikan, yaitu


tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek
adalah membimbing manusia agar hidup selamat di dunia,
sedangkan tujuan jangka panjang adalah mem- bimbing manusia
untuk kesejahteraan akhirat.
Kedua tujuan di atas menyatu dalam sikap dan tingkah laku
yang mencerminkan akhlak mulia. Sebagai tolok ukur dari akhlak
mulia itu dapat dilihat dari cerminan tingkah lakunya dalam
kehidupan sehari-hari. 43
Berkenaan dengan hal di atas, dalam pelaksanaan evaluasi
perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai dasar pelaksanaan
penilaian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prinsip objektivitas
Pemberian nilai yang dilakukan pendidik merupakan bagian
integral dari proses belajar mengajar. Evaluasi dida- sarkan atas
hasil pengukuran yang komprehensif yang meliputi aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. 46 Dalam Islam, penilaian ini meliputi
penilaian pada segi ucapan, perbuatan, dan hati sanubari, yang
dikenal dengan istilah

sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan. Yuyun Nurkancana dan PPN
Sumantara, Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1986, hlm. 1. Lih. pula
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hlm. 3.
Lih. pula M. Ngalim Purwanto, Prinsip- Prinsip dan Teknik-Teknik Evaluasi Pengajaran,
Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992, hlm. 3.
45 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perbandingan

Pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, hlm. 58-59.


Tabrani Rusyan, dkk., Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung Remaja
46 A.

Rosdakarya, 1992, hlm. 211.


Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 25

qauliyah,fi’liyah dan qalbiyah.47 Ini erat kaitannya dengan kualitas iman


seseorang.

b. Prinsip keadilan
Keadilan merupakan pokok penting yang harus diper- hatikan
seorang guru dalam evaluasi. Tidak terjadi ketim- pangan-
ketimpangan. Dalam proses pemberian nilai ini ada dua macam
penilaian yang perlu diperhatikan, yaitu peni- laian norm referenced dan
orientation referenced. Yang pertama berkaitan dengan hasil belajar
sedang yang kedua berkaitan dengan penempatan. 48

c. Prinsip kejujuran
Dalam proses penilaian, seorang guru harus mengatakan
sesuatu sesuai dengan realitas konkretnya, 49 tanpa mengurangi dan
menambah esensi kebenarannya. Orang yang menilai seperti ini
dalam Islam disebut dengan shadiq.50 Dengan demikian, seorang guru
yang melakukan penilaian harus meyakini terhadap hasil
penilaiannya. Perlu diingat, guru tidak boleh menilai sesuatu yang
belum diketahui secara pasti 51 (sesuatu yang masih diragukan).

47 Sayyid Sabiq, Al-Aquid al-lslamiyah, terj. Muhammad Abdai Rathomy, (Aqidah

Islam Pola Hidup Manusia Beriman), Bandung: Diponegoro, 1977, hlm. 17.
48 Lih. Ibid.

49 Ahmad Amin, Al-Akhlaq, terj. Farid Mu’arif dengan judul ilmu Akhlak,

Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 68.


50 Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 44. 51 Lih.

Abuddin Nata, op.cit., hlm. 141.


Sejarah Pendidikan Islam
26

d. Prinsip keterbukaan
Penilaian yang berkaitan dengan tujuan akhir proses belajar
mengajar dilakukan dengan sistem penilaian keter- bukaan. Dalam
artian, penilaian tersebut mempergunakan sistem yang jelas,
sistematis dan teratur, sehingga tidak me- nimbulkan sikap
kebingungan bagi murid. 52

C. KESIMPULAN
Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia.
Manusia bisa menghadapi alam semesta demi memperta- hankan
hidupnya agar tetap survive melalui pendidikan. Karena pentingnya
pendidikan, Islam menempatkan pen- didikan pada kedudukannya
yang penting dan tinggi dalam doktrinnya.
Mengingat pentingnya pendidikan tersebut, sesuai dengan
uraian di atas, agar tidak terjadi miss discussion dalam pelaksanaan
pendidikan tersebut pada anak dan untuk mencapai tujuan
pendidikan, diperlukan prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan
tersebut. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip-prinsip yang mendasari tujuan pendidikan Islam
adalah prinsip universal (menyeluruh), keseimbangan dan
kesederhanaan, kejelasan, realisme dan realisasi, serta
dinamisme. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari kurikulum
pendidikan Islam itu adalah prinsip ruh Isla- miyah, universal,
balancing, kesesuaian dengan perkem-

52 Lih. A. Tabrani Rusyan, dkk., op. cit., hlm. 212.


Prinsip-prinsip Umum Pendidikan Islam 27

bangan psikologis anak dan prinsip memperhatikan lingkungan


sosial.
2. Prinsip yang mendasari metode pendidikan Islam ada- lah prinsip
kesesuaian dengan psikologi anak, menjaga tujuan pelajaran,
memelihara tahap kematangan dan prinsip partisipasi praktikal.
Sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari murid dan guru dalam
pendidikan Islam adalah prinsip humanistik, prinsip egaliter dan
prinsip demokratis.
3. Prinsip-prinsip yang mendasari lingkungan pendidikan Islam
secara umum adalah adanya integrasi anak terha- dap lingkungan
sehingga dia merasakan bahwa dirinya bagian dari lingkungan.
Sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari evaluasi pendidikan
Islam adalah prinsip objek- tivitas, keadilan, kejujuran dan prinsip
keterbukaan.
29

BAB III

Lembaga-lembaga Pendidikan Islam


Sebelum Madrasah
Oleh: Susari

A. PENDAHULUAN
Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muham- mad Saw
mengandung implikasi kependidikan yang bertu- juan untuk
menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung
suatu potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan, 1
yaitu: Pertama, potensi psikologis dan paedagogis yang
mempengaruhi manusia untuk men- jadi pribadi yang berkualitas
bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk
lainnya. Kedua, potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai
khalifah di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsif
terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang
ijtima’iyah, di mana Tuhan menjadi potensi sentral perkem-
bangannya.
Untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi tersebut
ke dalam pribadi manusia diperlukan upaya kepen-

Muzayin Arifin, Pendidikan Islam dalam Anis Dinamika Masyarakat, Jakarta Golden
1

Terayobn Press, tt., hlm. 6.


30 Sejarah Pendidikan Islam

didikan yang sistematis dan terencana dengan baik sehingga dapat


menghasilkan pribadi manusia yang berkualitas.
Dalam sejarah awal perkembangan Islam, pendidikan Islam
sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw.
adalah merupakan upaya pembebasan manusia dari belenggu aqidah
yang sesat yang dianut oleh kelompok Quraisy dan upaya
pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan suatu kelompok
terhadap kelom- pok lain yang dipandang rendah status sosialnya.
Dengan menginternalisasikan nilai keimanan berdasarkan tauhid,
segala kepercayaan yang sesat itu dapat dibersihkan dari jiwa
manusia sehingga tauhid menjadi landasan yang kokoh dalam
kehidupan manusia.
Metode yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah
personalisasi berdasarkan pendekatan personal-indi- vidual, kemudian
meluas ke arah pendekatan keluarga yang pada gilirannya meluas ke
arah pendekatan sosiologis (masyarakat). Pendekatan personal,
keluarga, dan masyara- kat tersebut merupakan proses ke arah
pendekatan sistemik yang memandang bahwa orang per orang
merupakan bagian dari unit keluarga, sedangkan keluarga menjadi
subsistem masyarakat, dan masyarakat semakin berkembang menjadi
makro-sistem dalam bentuk negara.
Kebutuhan prioritas pendidikan pada masa itu adalah
penanaman dan penumbuhan akidah tauhid yang berproses selama
10 tahun pada periode Makkah, kemudian, disusul dengan
pembinaan masyarakat dalam praktik ibadah pada periode Madinah
selama 13 tahun lebih. Dalam periode ini pendidikan Islam
menyertakan peranan sanksi-sanksi hukum-
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 31

an dan ganjaran pada individu dan masyarakat atas tanggung


jawabnya dalam mempraktikan ajaran Islam. Pendekatan sistemik
Islami dari Nabi Muhammad Saw. didasarkan pada hikmah dan
mauidhah hasanah dengan metode targhib dan tarhib yang
didramatisasikan melalui uswatun hasanah yang pada akhirnya baru
penerapan sanksi-sanksi.
Walaupun pada zaman Nabi Muhammad Saw. memim pin
masyarakat Makkah dan Madinah belum muncul lembaga
pendidikan semacam madrasah sebagaimana yang dikem bangkan
oleh Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa dinasti Saljuk
(1065-1067), tapi pendidikan Islam secara institusional telah
berproses secara mapan. Dalam makalah ini, dengan menggunakan
metode deskriptif-analitis, penulis mencoba menguraikan lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah.

B. LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN SEBELUM MADRASAH


Pada umumnya lembaga pendidikan Islam sebelum madrasah di
masa klasik diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang
diajarkan. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi pengetahuan agama
dan pengetahuan umum. Atas dasar ini, lembaga pendidikan Isla m
di masa klasik menurut Charles Michael Stanton 2 digolongkan ke
dalam dua bentuk, yaitu lembaga pendidikan formal dan nonformal,
di mana yang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan
yang kedua mengajarkan pengetahuan umum, termasuk

Michael Stanton, Higher Learning in Islam: the Classical Period, AD 700-1300,


2 Charles

Maryland, 1990, hlm. 122.-


32 Sejarah Pendidikan Islam

filsafat. Sementara George Makdisi 3 dalam hal yang sama


menyebutnya sebagai lembaga pendidikan eksklusif (tertu- tup) dan
lembaga pendidikan inklusif (terbuka). Tertutup, artinya hanya
mengajarkan pengetahuan agama, dan ter- buka, artinya menawarkan
pengetahuan umum.
Adapun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum
kebangkitan madrasah pada masa klasik adalah sebagai berikut:

1. Shuffah
Pada masa Rasulullah Saw. shuffah adalah suatu tempat yang
telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. 4 Biasanya tempat ini
menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang
tergolong miskin. Di sini para siswa diajar- kan membaca dan
menghafal Alquran secara benar dan hukum Islam di bawah
bimbingan langsung dari nabi. Pada masa itu setidaknya telah ada
sembilan shuffah yang tersebar di kota Madinah. Salah satu di
antaranya berlokasi di samping Masjid Nabawi. Rasulullah Saw.
mengangkat Ubaid ibn Al-Samit sebagai guru pada sekolah shuffah di
Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga
menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran,
astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.

3 George Makdisi, Typology ofl nstitutions of Learning dalam An Antology Studies oleh
Issa J. Boullata, Montreal: McGill Indonesia IAIN Develop- ment Project, 1992, hlm.
16.
4 Abuddin Nata (terj.), 'Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Pertengahan, Canada:

Montreal, 2000, hlm. 12.


Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 33

2. Kuttab/Maktab
Kuttab/maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba
yang artinya menulis. Sedangkan 'kuttab/maktab berarti tempat
untuk menulis, atau tempat di mana dilang- sungkan kegiatan tulis
menulis 5 . Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat
bahwa keduanya meru- pakan istilah yang sama, dalam arti lembaga
pendidikan Is- lam tingkat 6 dasar yang mengajarkan membaca dan
menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan penge-
tahuan agama tingkat dasar. Namun Abdullah Fajar membe-
dakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk zaman
klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern. 7
Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di
kuttab ini berorientasi kepada Alquran sebagai suatu texbook. Hal
ini mencakup pengajaran membaca dan me- nulis, kaligrafi,
gramatikal bahasa Arab, sejarah nabi hadis, khususnya yang
berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Mengenai kurikulum ini
Ahmad Amin pun menyepakatinya. 8
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan penge- tahuan
umum di samping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya
persentuhan antara Islam dengan warisan budaya

5 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 89.

6 A.Shalabi, History of Moslem Education, Beirut, 1954, hlm. 16.


7 Abdullah Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm.
16.
8 A. Shalabi, op.cit, hlm. 17.
34 Sejarah Pendidikan Islam

Helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang


kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkem- bangan
berikutnya kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang
mengajarkan pengetahuan nonagama (secular learning) dan kuttab yang
mengajarkan ilmu agama (religius learning) 9
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan
bahwa kuttab pada awal perkembangan merupa- kan lembaga
pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan
peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka
terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai waktu belajar di kuttab, Mahmud Yunus 10
menyebutkan dimulai hari Sabtu pagi hingga Kamis siang dengan
waktu sebagai berikut:
1. Alquran : Pagi s.d. Dhuha
2. Menulis : Dhuha s.d. Zuhur
3. Gramatikal Arab, : Ba’da Zuhur s.d. siang
Matematika, Sejarah

3. Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar me- ngajar di
sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang
guru biasanya duduk di lantai menerang

9 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 49.

l0 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1966, hlm. 15.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 35

kan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya


pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di
rumah-rumah.11 Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk
mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu
pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini
dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap
ilmu pengeta- huan umum. Dilihat dari segi ini, halaqah dikategorikan
ke dalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan
college.

4. Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama
Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan
belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia
pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di
mana aktivitas pengajaran 12 atau diskusi berlangsung. Dan
belakangan majlis diartikan sebagai sejum- lah aktivitas pengajaran,
sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh
nabi, atau majlis Al- Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih
imam Syafi’i.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis
digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga
majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam
majlis, sebagai berikut: 13

11Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 49.


12Ibid., hlm. 51.
13Ibi

d.
36 Sejarah Pendidikan Islam

a. Majlis al-Hadis
Majlis ini biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli
dalam bidang hadis. Ulama tersebut membentuk majlis untuk
mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Majlis ini bisa
berlangsung antara 20 - 30 tahun. Dan jumlah peserta yang
mengikuti majlis ini dapat mencapai ratusan ribu orang, seperti
majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa
diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang.

b. Majlis al-Tadris
Majlis ini biasanya menunjuk kepada majlis selain dari- pada
hadis, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.

c. Majlis al-Munazharah
Majlis ini biasanya dipergunakan sebagai sarana untuk
perdebatan mengenai suatu masalah oleh para ulama. Me- nurut
Syalabi, khalifah Muawiyah sering mengundang para ulama untuk
berdiskusi di istananya, demikian juga khalifah Al-Ma’mun dari
dinasti Abasiyah. Di luar istana, majlis ini ada yang dilaksanakan
secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes
terbuka di kalangan ulama. Untuk model ini biasanya hanya dipakai
untuk mencari popularitas ulama saja.

d. Majlis al-Muzakarah
Majlis ini. merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar
hadis. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul
dan saling mengingat dan mengulang pelajaran yang sudah diberikan
sambil menunggu kehadiran
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 37

guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis-al-Muzakarah ini


dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi:
sanad hadis, materi hadis, perawi hadis, hadis- hadis dho’if, korelasi
hadis dengan bidang ilmu tertentu, kitab-kitab musnad.

e. Majlis al-Syu’ara
Majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair dan juga sering
dipakai untuk kontes para ahli syair.

f. Majlis al-Adab
Majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang
meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah bagi orang-orang
yang terkenal.

g. Majlis al-Fatwa dan al-Nazar


Majlis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari
keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwa- kan.
Disebut juga majlis al-Nazar karena karakteristik majlis ini adalah
perdebatan antara ulama fiqih/hukum Islam.

5. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi Saw. masjid telah menjadi
pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum Muslimin, baik
yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang
lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga
pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai
sarana infor masi dan penyampaian doktrin ajaran Islam. 14

14 A. Shalabi, op. cit., hlm. 47.


38 Sejarah Pendidikan Islam

Perkembangan masjid sangat signifikan dengan per-


kembangan yang terjadi di masyarakat. Terlebih lagi pada saat
masyarakat Islam mengalami kemajuan, urgensi ma- syarakat
terhadap masjid menjadi semakin kompleks. Hal ini yang
menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk,
yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa. 15
Jumlah jami’ lebih sedikit dibanding jumlah masjid. Pada abad ke-11
M, di Baghdad hanya ada 6 jami’, sedangkan masjid jumlahnya
mencapai ratusan. Demikian juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah
jami’ daripada masjid. Namun di Cairo jumlah jami’ cukup banyak.
jami' maupun masjid keduanya digunakan sebagai sarana untuk
penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami’ biasanya memiliki
halaqah-halaqah, majlis-majlis dan Zawi- yah-Zawiyah16
Ada perbedaan penting antara jami’ dengan masjid. Jami’
dikelola dan di bawah otoritas penguasa atau khalifah. Penguasa
atau khalifah memiliki otoritas yang kuat dalam hal pengelolaan
seluruh aktivitas jami’, seperti kurikulum, tenaga pengajar,
pembiayaan dan lain-lain.
Sementara masjid tidak berhubungan dengan keku- asaan.
Namun demikian, baik jami’ maupun masjid termasuk lembaga
pendidikan setingkat college.

l5 Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 57.


16 Zawiyahsama dengan kuttab dalam hal pendidikan dasar. Namun muatan
kurikulum lebih tinggi karena memasukan pendidikan moral dan spiritual/tasawuf.
Lihat Abdullah Fajar, op. cit., hlm. 16.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 39

Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan


pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti
qodhi, khotib, dan imam masjid. Melihat keterkaitan antara masjid dan
kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan
lembaga pendidikan formal. 17

6. Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang
dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki
banyak toko, seperti khan al-Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh
di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk
murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam di
suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn
Di’lij pada akhir abad ke-10 M di Suwaiqat Ghalib dekat maqam
Suraij. Di samping fungsi di atas, khan juga digunakan seba- gai
sarana untuk belajar privat. 18

7. Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan
diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsen- trasikan diri untuk
semata-semata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan
keilmuan yang dipimpin oleh seorang syaikh yang terkenal dengan
ilmu dan kesalehannya. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah
munculnya mad-

17 Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 59.


18 Ibid, him. 64.
Sejarah Pendidikan Islam
40

rasah, banyak madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribatb. Sejak


masa dinasti Saljuk, madrasah dan ribath diorganisir dalam satu garis
kebijakan yang sama, yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.

8. Rumah-rumah Ulama
Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan
belajar mengajar. Namun para ulama di zaman klasik banyak yang
mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar
mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. 19 Hal ini umumnya
disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan
memberikan pe- lajaran di masjid, sedangkan para pelajar banyak
yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya. Setidaknya itulah yang
dilakukan oleh Al-Ghazali ketika ia memilih kehidupan sufi,
demikian juga Ali ibn Muhammad Al-Fasihi ketika ia dipecat dari
Madrasah Nizhamiyah karena dituduh syi’ah dan juga Ya’qub ibn
Killis. 20

9. Toko-toko Buku dan Perpustakaan


Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegi- atan
keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku,
tapi berikutnya menjadi sarana untuk berdis- kusi dan berdebat,
bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan di situ. 21

19 A. Shalabi, op. cit., hlm. 29.


20Ibid., hlm. 31.
21 A. Shalabi, op. cit., hlm. 26.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 41.

Di samping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan


penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam. Penguasa-penguasa
biasanya mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan
pribadi biasanya dibangun oleh orang-orang kaya saja atau di istana
raja-raja.
Seorang pelopor pendiri perpustakaan adalah khalifah Al-
Ma’mun dari dinasti Abbasiyah, kemudian diikuti oleh penguasa
setelahnya.

10. Rumah Sakit


Rumah Sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai
tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga
mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan de- ngan perawatan dan
pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam bidang
kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu
kedokteran dan obat-obatan berkembang cukup pesat.
Rumah Sakit juga merupakan tempat praktikum sekolah
kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi ada juga sekolah
kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit Dengan demikian
rumah sakit berfungsi juga sebagai lem- baga pendidikan. Di
Baghdad, sampai pada tahun 1160 M terdapat 60 lembaga medis;
Cairo mempunyai 5 rumah sakit. Sedangkan pusat lembaga medik
ketika itu ada di Spanyol, Cordove, dan Seville. 22

22 Zuhairini, op. cit., hlm. 97.


42 Sejarah Pendidikan Islam

11. Badiab (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)


Semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab banyak
digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar Arab
yang beragama Islam. Namun, bahasa Arab di situ cenderung
kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih
melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa Arab,
sehingga bahasa Arab menjadi bahasa pasaran. 23 Namun tidak
demikian halnya di badiah- badiah. Mereka tetap mempertahankan
keaslian dan kemur- nian bahasa Arab. Dengan demikian, badiah-
badiah ini meru- pakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni.
Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran
bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak
khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengeta- huan pergi ke
badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan
kesusastraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah berfungsi
sebagai lembaga pendidikan. 24

C. KESIMPULAN
Pada zaman Nabi Muhammad Saw. pendidikan Islam secara
institusional telah berproses secara mapan dengan embrio model
pendidikan, seperti Halaqah, Majlis, Kuttab, Zawiyah dan lain-lain. Hal
ini dimungkinkan mengingat pendidikan memiliki peranan strategis
dalam rangka pena- naman nilai-nilai Islam kepada Masyarakat.

23 A. Shalabi, op. cit., hlm. 43.


24 Zuhairini, op. cit.
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah 43

Kurikulum yang diajarkan pada lembaga pendidikan periode


awal hanyalah ilmu agama. Namun setelah adanya persentuhan
dengan peradaban Helenisme, maka materi pelajaran yang
ditawarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan
umum, seperti filsafat, matematika dan kedokteran. Atas dasar ini,
lembaga pendidikan Islam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
lembaga pendidikan for- mal dan informal. Lembaga pendidikan
yang informal biasa- nya menawarkan materi pelajaran umum
sementara yang formal, tidak.
Di sini tampak bahwa ketika itu telah muncul pandangan
dikotomi antara pengetahuan umum dan agama di lingkung- an
lembaga pendidikan Islam. Hal ini terjadi sebagai akibat
persentuhan antara Islam dan peradaban Helenisme. Pan- dangan
dikotomi tersebut masih berlangsung hingga seka- rang. Padahal,
Islam tidak mengenal adanya perbedaan antara ilmu agama dan
umum. Bahkan sebaliknya, puncak sejarah dan peradaban Islam
justru terjadi ketika menyatu- nya pengetahuan agama dan
pengetahuan umum. Wallahu a'lam bi al-s hawab.
45

BAB IV

Pertumbuhan Madrasah pada Periode


Awal Sebelum Lahirnya Madrasah
Nizhamiyah*
Oleh: Ahmad Qurtubi

A. PENDAHULUAN
Sesuai catatan sejarah umat Islam pernah mengalami masa
keemasan dan masa kemunduran. Masa keemasan umat Islam
terjadi antara 650-1200 Masehi. Oleh para ahli sejarah, masa ini
disebut periode klasik dalam sejarah perkembangan Islam. Umat
Islam pada periode ini boleh disebut sebagai super power yang
berkuasa di sebagian besar negara-negara yang mencakup di tiga
benua.
Setelah itu umat Islam dilanda perpecahan dan kejumu- dan
yang pada akhirnya membawa kemunduran. Daerah- daerah yang
tadinya berada di bawah kekuasaan Islam menjadi jajahan Barat.
Pada masa ini tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh ilmu pengetahuan
seperti masa sebelumnya. Walaupun pada awal abad XIX Masehi
umat Islam mulai

Makalah disampaikan pada seminar mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam,


Program Pascasarjana (S2) IAIN Jakarta pada hari Jum’at 06 Oktober 2000.
46 Sejarah Pendidikan Islam

bangkit kembali, tetapi sampai kini secara langsung maupun tidak


langsung mereka masih banyak didominasi Barat.
Sekadar menyebut apa adanya, nasib umat Islam seka- rang ini
belum seluruhnya membaik. Berbeda dengan keadaan di zaman
emasnya. Pada umumnya, kelemahan Dunia Islam terletak pada
berbagai sektor kehidupan, terutama ekonomi dan politik, dua hal
yang satu sama lain saling berkaitan. Na- mun, penyebabnya yang
paling mendasar dan tak diragukan, adalah berpangkal dari rapuhnya
fondasi intelektual yang bila dilacak lebih lanjut akan bermula dari
bidang pendidikan.
Pendidikan pada zaman keemasannya perlu diambil sebagai
pelajaran guna diteladani; dan sebaliknya membuang yang jelek agar
tidak terulang kembali. Salah satu peristiwa historis yang perlu
diketahui adalah sebuah institusi pendi- dikan yang dalam hal ini
adalah madrasah yang berkembang pada periode awal sebelum
lahirnya Madrasah Nizhamiyah.
Berdasarkan hal tersebut, timbul beberapa permasalahan antara
lain: bagaimana latar belakang munculnya istilah madrasah?
bagaimana sejarah dan motivasi pendirian madrasah? Lalu,
bagaimana teori muncul madrasah yang pertama?
Selanjutnya dalam makalah ini akan dibatasi pembahasan
tentang pertumbuhan madrasah sebelum lahirnya Madrasah
Nizhamiyah dengan tujuan mendapatkan informasi yang benar
tentang madrasah dan pertumbuhannya pada periode awal.
Pembahasan ini menggunakan metodologi telaah ke- pustakaan
terhadap sejarah pertumbuhan madrasah pada periode awal disertai
analisis kritis. Adapun analisis yang ada
Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal 47

dalam makalah ini adakalanya diambil dari pendapat penulis lain


dan juga analisis penulis sendiri.

B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ISTILAH MADRASAH

/. Kronologi Lahirnya Madrasah


Sebelum lebih jauh membahas tentang pertumbuhan
madrasah, terlebih dahulu akan dikemukakan periodisasi
pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh
Zuhairini 1 yang membaginya kepada lima periode:
1. Periode pembinaan pendidikan Islam, yaitu pada masa
Rasulullah Saw.
2. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yaitu pada masa
Rasulullah Saw. sampai masa Bani Umayyah.
3. Periode kejayaan pendidikan Islam, yaitu pada masa
Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad diwarnai dengan
timbulnya madrasah dan puncak budaya Islam.
4. Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu jatuh- nya
Baghdad sampai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon.
5. Periode pembaharuan pendidikan Islam, yaitu pada masa
Mesir dipegang oleh Napoleon sampai dengan kini.
Dari periodisasi di atas dapat diasumsikan bahwa pem-
bahasan ini berada pada periode ketiga, yaitu pada masa

1 Zuhairini,et. al, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997) Cet. ke 5
hlm. 100. Lihat pula Abdullah Fadjar, Peradaban dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1996) hlm. 22.
Sejarah Pendidikan Islam
48

Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad. Dengan demi- kian,


pada pembahasan selanjutnya eksistensi madrasah tidak terlepas dari
beberapa faktor eksternal maupun internal.
Di antara faktor eksternal yang mendukung timbulnya madrasah
adalah faktor politik. Kesatuan politik yang ham- pir terwujud,
seperti telah dipelihara oleh Khalifah Sunni di Baghdad, terpecah
ketika Khalifah Syi’i didirikan di Cairo sebelum akhir abad ke-4
Hijriah. Selain perbedaan doktrin antara kedua golongan, terjadi pula
persaingan politik. Pen- didikan menjadi salah satu senjata dari
perlombaan politik tersebut.
Khalifah-khalifah saingan di Cairo mengklaim dirinya sebagai
keturunan nabi dan mereka memperkuatnya melalui pendidikan
terencana yang diselenggarakan oleh negara. Pendidikan ini
dirancang untuk keperluan orang-orang dewasa yang disebarluaskan
dari sebuah lembaga pusat yang dikenal dengan nama Dar al-Ilmi.
Sebuah masjid yang didirikan setelah Cairo direbut, segera
digunakan untuk tempat belajar, menurut doktrin penguasa baru.
Masjid ini, sekarang dikenal dengan Al-Azhar. Yang dipandang
sebagai universitas tertua di dunia.
Tidaklah perlu dibesar-besarkan pentingnya campur tangan aktif
dan langsung yang pertama dalam pendidikan, mengingat campur
tangan itu terbatas pada tingkat pen- didikan dasar masih harus
dipelajari di maktab atau secara privat. Belajar dari langkah-langkah
yang ditempuh di Cairo, Baghdad tidak mau ketinggalan. Meskipun
agak terlambat, Baghdad menanggapi tantangan pendidikan itu
dengan langkah yang sama pada abad ke-5 Hijriah, yaitu mendirikan
Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal 49

sebuah lembaga pendidikan baru yang bernama madrasah. Serupa


dengan apa yang dilakukan oleh kubu saingannya, lembaga madrasah itu
didirikan oleh negara guna menye- barluaskan dogma penguasa.
Pada kesempatan selanjutnya, yaitu pada abad ke-5 Hijriah atau 11
Masehi, adalah masa di mana sejarah men- catat terjadinya konflik
antara kelompok-kelompok keaga- maan dalam Islam, misalnya
Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ariyah, Hanafiyah, Hanbaliyah, dan Syafi’iyah.
Wazir Saljuk sebelum Nidzam Al-Mulk adalah Al-Kunduri seorang
bermazhab Hanafi dan pendukung Mu’tazilah. Salah satu kebijakannya
sebagai wazir adalah mengusir dan menganiaya para penga- nut
Asy’ariyah yang sering juga berarti penganut mazhab Syafi’i. Al-Kunduri
selanjutnya digantikan oleh Nidzam Al-Mulk, seorang Syafi’iyah
Asy’ariyah dan karenanya secara alamiah berhadapan dengan kelompok
Mu’tazilah, Syi’ah, Hanbaliyah dan Hanafiyah. 2
Lawan politik Dinasti Saljuk yang Sunni adalah Dinasti Fatimiyah
di Mesir, yang beraliran Syi’ah. Ketetapan awal untuk membina lembaga
pendidikan dalam hal ini madra- sah ialah karena suatu pertimbangan
bahwa untuk melawan Syi’ah tidak cukup dengan kekuatan senjata,
melainkan juga harus dengan melalui penanaman ideologi yang dapat
melawan ideologi Syi’ah. Pertimbangan ini dilakukan karena Syi’ah
sangat aktif dan sistematik dalam melakukan indoktri- nisasi melalui
pendidikan atau aktivitas pemikiran yang lain.

2 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 51. Lihat

juga Fadjar, op.,cit., hlm. .21.


50 Sejarah Pendidikan Islam

Ini pula yang melatarbelakangi lahirnya madrasah dengan tujuan


untuk melawan pengaruh Syi’ah dan memperkuat posisi Sunni.
Walaupun ada faktor-faktor lainnya yang mela- tarbelakangi lahirnya
madrasah.

2. Fenomena Madrasah
Madrasah merupakan isim makan dari fi’il madhi dari darasa,
mengandung arti tempat atau wahana untuk mengenyam proses
pembelajaran. Dengan demikian, secara teknis madra- sah
menggambarkan proses pembelajaran secara formal dan memiliki
konotasi spesifik. Madrasah itu sendiri merupakan institusi
peradaban Islam yang sangat penting. 3
Madrasah (bahasa Arab) yang akan dibicarakan pada bagian ini
berbeda dengan madrasah (bahasa Indonesia) yang merupakan
lembaga pendidikan dasar dan menengah. Di sini madrasah
didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tinggi yang secara luas
berkembang di Dunia Islam pra mo- dern sebelum era universitas
(al-Jami’ah).
Hasan Asy’ari 4 mengasumsikan ciri-ciri madrasah tidak dapat
dikonotasikan dengan lembaga pendidikan yang ada sekarang dan
kesulitan besar menerjemahkan kata madrasah itu sendiri.
Sedangkan Nakosteen dan beberapa sarjana lain, me-
nerjemahkan kata madrasah dengan university, 5 Walaupun tidak terlalu
tepat, tapi sedikitnya dapat mewakili. Sebab,

3 Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, Terj. Abuddin Nata,

(Canada: Montreal, 2000).


4 Asari, op. cit., hlm 48.

5Ibid, hlm. 48.


Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal 51

ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dengan universitas,


pertama, kata universitas dalam pengertian yang paling awal mengacu
pada civitas akademika, sedangkan madrasah mengacu pada sarana
dan prasarana. Kedua, uni- versitas bersifat hierarkis sedangkan
madrasah bersifat individualistis dan personal. Ketiga, izin mengajar
pada uni- versitas dikeluarkan oleh komite, sedangkan pada
madrasah ijazah diberikan oleh syaikh secara personal. Dengan
demi- kian, pada bahasan selanjutnya istilah ini akan dipakai dalam
bentuk aslinya. Namun demikian, madrasah pada periode awal
merupakan cikal bakal berdirinya universitas.

C. SEJARAH DAN MOTIVASI PENDIRIAN MADRASAH


Beberapa paradigma dapat digunakan dalam meman- dang
sejarah dan motivasi pendirian madrasah. Paling tidak ada tiga teori
tentang timbulnya madrasah.
Pertama, madrasah selalu dikaitkan dengan nama Nidzam Al-
Mulk (W. 485 H/1092M), salah seorang wazir Dinasti Saljuk sejak
456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya
membangun Madrasah Nizhamiyah di berbagai kota utama daerah
kekuasaan Saljuk. Begitu dominannya peran Nidzam Al-Mulk
terkadang mendorong kepada kesimpulan yang keliru dengan
mengatakan bahwa Nidzam Al-Mulk adalah orang pertama yang
membangun madra- sah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin dengan merujuk Al-Dzahabi.6 Pendapat ini dibantah
oleh

6Ibid,
hlm. 48. Lihat Ahmad Amin, Dhubal Islam. Cairo, Lajnah al-ta’lif wal-
tarjamah wal-nasr, 1952 Jilid II hlm. 49.
52 Sejarah Pendidikan Islam

Hasan 7 dengan mengajukan argumentasi bahwa belakangan


membuktikan sebelum berdirinya Dinasti Saljuk telah dikenal secara
luas di daerah Nisyapur. 8 Di bawah naungan Dinasti Samaniyah
(204-395 H/819-1005 M) berkembang men- jadi salah satu pusat
budaya dan pusat pendidikan terbesar di Dunia Islam sepanjang
abad ke-4 H/10 M dan telah banyak madrasah jauh sebelum era
Nidzam Al-Mulk. Pendapat ini diperkuat oleh Ghanimah 9 yang
menyatakan bahwa pada abad ke-4 H telah muncul madrasah di
Nisyapur karena banyak bukti yang signifikan tentang hal itu.
Demikian pula Abdul Al-’Al yang secara khusus melakukan kajian
tentang pendidikan Islam pada abad tersebut dengan mengajukan
fakta berdasarkan karya penulis-penulis abad ke-4 H. Antara lain:
Ahsan al-Taqasin fi ma'rijat al-aqalim karya al-Makdisi (w.378), Thabaqat al-
Syafi’iah al-Kubra karya Al-Subki (w.388 H), al-Rasa-il karya Al-
Hamadani (398 H).
Kedua, menurut Al-Makrizi, 10 ia berasumsi bahwa mad- rasah
pertama adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.

7Ibid. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikb al-lslam al-Siyasi wa al-dini


waal-Tsaqafi wa al-ljtima’i (al-Qahirah: al- Nahdhahal- Mishriyah, 1967) cet. I Juz IV hlm.
425.
8 Dalam peta modern Nisyapur mencakup sebagian Iran, sebagian

Afganistan, dan daerah bekas Uni Soviet antara laut Kaspia dan laut Aral.
9 Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999)

Cet. I hlm. 60.


10Ibid. Lihat Ahmad Syalaby, Tarikh al-Tarbijah al-lslamijah, (Al-Qahirah:

Kasyaf li al-Nasr wa al-Thiba’ah wa al-Tauzi’, 1954) hlm. 99. Lihat Fathi-


yah an-Nahrawi, Tarikh al-Nidzam wa badbarab al-lslamiyah, (Lubnan: Darul
Ma’arif, 1981) Cet. 11 him. 123. Lihat Ibrahim Hasan, loc. rit.
Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal 53

Ketiga, madrasah sudah eksis semenjak awal Islam seperti gait al-
Hikmah yang didirikan Al-Makmun di Baghdad abad ke-3 H.
Dari informasi yang diterima di atas dapat diketahui, bahwa
madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu
kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri
pada waktu itu masih bersifat ahliyah (keluarga), berdasarkan wakaf
keluarga dan sejarah baru mencatat sesuatu bila telah menjadi
fenomena yang meluas. Di samping itu, tidak ada campur tangan
dari penguasa seba- gaimana halnya Madrasah Nizhamiyah, sehingga
tidak di- sangkal bahwa pengaruh Madrasah Nizhamiyah melampaui
pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya.
Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk mad- rasah
merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan
yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid.
Dalam pandangan Hasan Ashari 11 bahwa madrasah merupakan
hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendi- dikan dan Khan
sebagai asramanya. Asumsi ini diperkuat oleh Makdisi, 12 antara lain
bahwa Masjid Khan yang menjadi cikal bakal madrasah dan fiqih
merupakan bidang studi utama.
Selanjutnya Zuhairini 13 mengemukakan alasan-alasan berdirinya
madrasah di luar masjid:

11Ashari, op. cit.


hlm... Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996), cet. I hlm. 240.
12 Asari, up. cit., hlm. 45.
l3 Zuhairini, et. al., op. cit., hlm. 100.
54 Sejarah Pendidikan Islam

1. Halaqah-halaqah (kelompok studi) yang diselenggarakan di


masjid sering mengganggu terutama terhadap orang- orang
yang akan beribadah;
2. Berkembangnya ilmu pengetahuan melahirkan halaqah-
halaqah banyak yang tidak tertampung di Masjid;
3. Ketika bangsa Turki mulai berpengaruh dalam pemerin- tahan
Bani Abasiyah dan dalam rangka mempertahan- kan status quo.
Mereka berusaha menarik hati dengan berusaha
memperhatikan pendidikan dan pengajaran guru-guru digaji
dan diberi fasilitas yang layak;
4. Sebagai kompensasi dari dosa yang mereka lakukan juga
berharap ampunan dan pahala dari Tuhan karena mereka
sering melakukan maksiat;
5. Ketakutan akan tidak dapat mewariskan harta kepada anak-
anaknya. Dengan demikian, mereka membuat wakaf pribadi
yang dikelola oleh keluarga;
6. Usaha mempertahankan dan mengembangkan aliran
keagamaan dari para pembesar agama.
Argumen di atas dapat diilustrasikan bahwa masjid tidak lagi
dianggap sebagai tempat yang cocok untuk pendidikan.
Adapun proses transformasi dari masjid ke madrasah secara
tidak langsung, yakni melalui perantara Masjid Kban.14
Di sisi lain, Syalabi 15 mengemukakan bahwa perkem- bangan dari
masjid ke madrasah terjadi secara langsung.
Menurutnya madrasah sebagai konsekuensi logis dari semakin

14 Maksum, op. cit., hlm. 57.


15 Syalaby, op. cit., hlm. 97.
Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal 55

ramainya pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah ibadah.


Agar tidak mengganggu kegiatan ibadah, dibuatlah tempat khusus
untuk belajar yang dikenal madrasah.
Dalam pandangan Glasse bahwa madrasah sebagai sekolah
tradisional untuk pendidikan tinggi. Pada masa dinasti Fatimiyah
pengembangan itu dilakukan. Di lain pihak aliran Sunni
menanggapinya dengan membuka madrasah teologi untuk
menghadapi ancaman dari penyerbuan doktrin syi’ah, seperti
Nidzam Al-Mulk dan Sultan Salahuddin yang bertujuan menahan
subversi teologis yang dilancarkan dari pihak Fatimiyah.

D. MADRASAH SEBAGAI INSTITUSI PENDIDIKAN


Pendidikan secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk
yang bervariasi. Baik bersifat umum seperti masjid maupun yang
khusus. Pada abad ke-4 H dikenal beberapa sistem pendidikan.
Hasan Abdul Al-’Al mengemukakan lima sistem dengan
klasifikasi sebagai berikut: sistem pendidikan Mu’tazilah, sistem
pendidikan Ikhwan Al-Shafa, sistem pendidikan bercorak filsafat,
sistem pendidikan bercorak tasawuf, dan sistem pendidikan
bercorak fiqih. 16 Institusi yang dipakai masing-masing sebagai
berikut:17
1. Filosof menggunakan Daar al-Hikmah, al-Muntadiyat,
Hawanit dan Waraqi’in;

16Ibid., hlm. 58.


17 Ibid.
56 Sejarah Pendidikan Islam

1. Mutashawif menggunakan al-Zawaya, al-Ribath, al-Masa- jid, dan


Halaqat al-Dzikr;
2. Sji’iyjin menggunakan Daar al-Hikmah, al-Masajid, Pertemuan
rahasia;
3. Mutakallim menggunakan al-Masajid, al-Maktabat, Ha- wanit dan
Waraqi’in serta al-Muntadiyat;
4. Fuqaha dan ahli hadis menggunakan Al-Katadit, Al-Ma- daris
dan Al-Masajid.
Melihat data di atas jelaslah madrasah merupakan tradisi sistem
pendidikan bercorak fiqih.

A. MADRASAH PRA MADRASAH NIZHAMIYAH


Menurut Stanton, madrasah yang pertama kali didirikan adalah
Madrasah Wazir Nizhamiyah pada 1064 M; madrasah ini dikenal
dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah. Namun penelitian lebih
akhir, misalnya, yang dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan
eksistensi madrasah-madrasah le- bih tua berada di kawasan
Nisyapur Iran. Pada sekitar tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah
Al-Baihaqiyah yang di- dirikan oleh Abu Hasan ‘Ali Al-Baihaqi (w.
414 H/1023M). Bulliet bahkan lebih jauh menyebutkan ada 39
madrasah di wilayah Persia yang berkembang dua abad sebelum
Madrasah Nizhamiyah. Yang tertua adalah Madrasah Niandahiya
yang didirikan Abi Ishaq Ibrahim ibn Mahmud di Nisyapur.
Pendapat ini didukung Naji Ma’ruf, yang menyatakan-bahwa di
Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebe- lum
kemunculan- Madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya Abdul A1-’A1
mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud Ghaznawi
Pertumbuhan Madrasah pada Periode Awal 57

Sa’idiyah (berkuasa 388-421 H/998-1030 M) juga terdapat Madrasah


Sa’idiyah.18
Kurikulum madrasah yang diajarkan di Nisyapur terse- but
meliputi agama dan filsafat. 19 Pada masa periode ini telah muncul term
ijazah. Ijazah pada waktu itu merupakan sebuah lembaran kertas yang
menunjukkan bahwa sang penerimanya diberikan wewenang untuk
mengajar apa yang dimaksud oleh ijazah tersebut. Namun, ijazah ini
mempu- nyai skop yang terbatas yang hanya diberikan seorang guru
kepada pelajar yang dianggap telah mampu menyebarkan ilmu
pengetahuan yang diterimanya.20

F. KESIMPULAN
Motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu selain motivasi
agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan,
juga motivasi politik. Madrasah sebagai sebuah institusi pendidikan yang
lahir karena kon- disi sosial politik pada masa itu yang mendukung
lahirnya madrasah di samping faktor-faktor lainnya. Dengan berdi- rinya
madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru, yaitu
pendidikan menjadi fungsi bagi negara dan madrasah-madrasah
dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi
politik.
Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di
Dunia Islam baru timbul sekitar abad ke-4 H.

l8 Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), dalam

Stanton, op. cit., hlm. vi. l9 Alavi, op. cit., hlm. 15.
20 lbid
Sejarah Pendidikan Islam
58

Ini bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya Islam tidak


mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran.
Pada periode awal telah berdiri beberapa madrasah yang
menjadi cikal bakal munculnya Madrasah Nizhamiyah. Mad- rasah-
madrasah tersebut berada di wilayah Persia, tepatnya di daerah
Nisyapur, misalnya Madrasah Al-Baihaqiyah, Mad- rasah Sa’idiyah
dan madrasah yang terdapat di Khurasan.
59
BAB V

Madrasah Nizhamiyah
Oleh:M.Akmansyah

A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam
berbagai bentuk dan variasi. Di samping lembaga yang bersifat
umum, seperti masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang
mencerminkan kekhasan orientasinya. Ahmad Syalabi
menyebutkan tempat-tempat itu, antara lain al-Kuttab, al-Qushur,
Hawanit, Manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah, al-Masjid dan
Madrasah. Lalu ia membagi institusi- institusi pendidikan Islam
tersebut menjadi dua kelompok, yakni kelompok sebelum
madrasah dan sesudah madrasah. 1 Dengan demikian, berdirinya
madrasah merupakan tonggak baru dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam dan untuk membedakannya dengan era
pendidikan Islam sebelumnya.

*Makalah dipresentasikan pada Seminar Mata Kuliah Sejarah Pendidik- an Islam


Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Jum’at, 6 Oktober
2000.
1 Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, (Beirut, Dar-al-Kassyaf, 1954.) hlm. 55-

59.
60 Sejarah Pendidikan Islam

Madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal


abad ke-11-12 M (abad 5 H), khususnya ketika wazir Bani Saljuk,
Nizam Al-Mulk 2 mendirikan Madrasah Nizhami- yah 3 di Baghdad.
Walaupun bukan berarti ia orang pertama yang mendirikan
madrasah, tetapi ia berjasa dalam mempopu- lerkan pendidikan
madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir. 4 Di samping
itu lembaga madrasah ini dianggap sebagai prototype awal
pembangunan lembaga pendidikan tinggi

2 Lahir di Radkan, Tusi (50 mil sebelah utara Mashad), 10 April 1018/ 1017 dan

wafat di Sinha, 14 Oktober 1092. Perdana Menteri Salajikah (Saljuk) pada masa
pemerintahan Sultan Alp Arsalan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Khwaja Abu Ali
Al-Hasan bin Ali bin Ishaq Al-Tusi. Informasi lebih lanjut lihat Dr. Faisal Ismail, Islam
dan 'Realitas llahiyah dan Realitas Insanijah, (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999) hlm. 127-131, lihat
pula Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) hlm. 43.

3 NamaMadrasah Nizhamiyah dihubungkan kepada nama pendirinya, Nizam Al-


Mulk. Dr. Abdullah Abdul Da’im, Tarikh al-Tarbiyah, (Al-Math- ba’ah al-Jadid, 1965) hlm.
115.
4 Sumber lain mengatakan bahwa Abi Ishaq (wafat 406H/1015M) pe- ngarang
Tarikh Naisabur, menyebutkan bahwa Abi Ishaq Al-lsfirayini (wafat 418 H/1027 M)
adalah orang pertama yang mendirikan madrasah di Nisyapur sebagaimana yang
dikutip oleh Abdul Majid Abdul Futuh, al-Tarikb al-Siayasi wa al-Fikri, (al-Mansur: Matba’ al-
Wafa, 1980) him. 186. Azyumardi Azra dalam Kata Pengantarnya pada buku Pendidikan
Tinggi Islam oleh Charles Michael Stanton, menjelaskan bahwa penelitian lebih akhir yang
dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah yang lebih tua di
kawasan Nisyapur, Iran. Pada sekitar tahun 400H/1009 M terdapat Madrasah Al-
Baihaqiyah yang didirikan Abu Hasan Ali Al-Baihaqi (w.414/1023) (lihat pula Dr.
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-lslam, (Beirut; Dar-Ihya al-Turast al-Gharbi 1967. hlm.
606). Bulliet lebih jauh menyebut 39 madrasah di wilayah Persia, yang-berkembang dua
abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa
pengaruh Madrasah Nizha- miyah melampaui madrasah-madrasah yang didirikan
sebelumnya.
Madrasah Nizhamiyah 61

setelahnya. 5 Menimbang bahwa lembaga pendidikan madrasah ini


merupakan salah satu bentuk khas lembaga pendidikan tinggi Islam,
dan merupakan lembaga pendidikan resmi di mana pemerintah
terlibat di dalamnya, 6 penulis terdorong untuk mengangkat tema ini
menjadi pokok bahasan pada pembahasan ini. Untuk lebih jelasnya
pembahasan ini akan mengkaji Madrasah Nizhamiyah di Baghdad 7
didirikan Tahun 1067 M/459 H. Karena keterbatasan literatur dan
luasnya bidang kajian, pembahasan dibatasi pada; letak geografis dan
motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah, tujuan pendidikan dan
beberapa komponen pokok pendidikan serta pengaruh- nya. Pada
akhir pembahasan ini diharapkan tercapai deskripsi pendidikan
Islam pada Madrasah Nizhamiyah.

B. LETAK GEOGRAFIS DAN MOTIVASI PENDIRIAN


MADRASAH NIZHAMIYAH BAGHDAD
Madrasah Nizhamiyah di Baghdad terletak di dekat sungai

5 A.L.Tibawi, Arabic and Islamic Themes, (London, Luzac & Company Ltd., 1976) hlm.
224. Lihat pula Charles Michael Stanton, Pengadilan Tinggi dalam Islam, (Pen. H. Afandi dan
Hasan Asari Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994) hlm. 47.

6 Keterlibatan pemerintah dimaksud, seperti menetapkan tujuan-tujuan,


menggariskan kurikulum, memilih guru, dan memberikan dana yang teratur kepada
madrasah.
7 Pembahasan ini dibatasi hanya pada Madrasah Nizhamiyah di Bagh- dad, karena

pada umumnya Madrasah-madrasah Nizhamiyah lainnya (seperti di Balakh, Nisabur,


Herat, Asfahan, Basrah, Marwa, Aamal dan Mousul. Lihat Prof. Dr. Mohd. Athiyah
Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pendidikan Islam, (pen. Prof. H. Bustami A. Gani, Djohar Bahry,
L.I.S, Jakarta: Bulan Bintang, 1970) hlm. 81 merupakan satu sistem yang sama, lihat
juga Prof. Mahmud Yunus, op.cit, him. 73. lihat juga Seyyed Hossein Nasr, Science and
Civilisation in Islam, (New York: New American Library, 1990) hlm. 71.
62 Sejarah Pendidikan Islam

Dijlah di tengah-tengah pasar Salasah (Suq al-Salasah) di Baghdad.


Mulai dibangun pada tahun 457H/1065M dan selesai pada tahun
459H. Madrasah ini tetap hidup sampai pertengahan abad ke-14
Masehi, yaitu ketika dikunjungi oleh Ibnu Batutah. 8 Ahmad Syalabi
berkeyakinan bahwa pasar Al-Chaffafin yang terdapat di Baghdad saat
ini adalah tempat di mana Madrasah Nizhamiyah dulunya berdiri. 9

Menurut Mahmud Yunus, di antara motivasi pendirian banyak


madrasah di masa pengaruh Turki (Saljuk) 10 adalah untuk
mengambil hati rakyat, mengharap pahala dan am- punan dari Allah,
memelihara kehidupan anak-anaknya di kemudian hari, memperkuat
aliran keagamaan bagi sultan atau pembesar. 11 Motif-motif ini,
terutama motif politik dan

Dr. H Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hidakarya


8 Prof.

Agung, 1992) hlm. 73. Lihat pula Ross E Dunn, Petualangan Ibnu Batuta, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1995) hlm. 138.
9 Ia menceritakan pengalamannya bersama Dr. Mustafa Jawad ke Baghdad

untuk mengadakan penyelidikan tempat di mana Madrasah Nizha- miyah dulunya


didirikan. Lihat Ahmad Syalabi op.cit., hlm. 142.
10 Madrasah-madrasah tersebut terutama Madrasah Nizhamiyah di Baghdad

kemudian diikuti oleh Madrasah al-Muntasiriyah di Baghdad, Madra- sah al-Nasiriyah


di Cairo dan Madrasah al-Nuriyah di Damascus. Lihat Prof. Dr. Mohd. Athiyah Al-
Abrasyi op.cit., hlm. 80. Dari sumber yang lain dika-
takan bahwa jejak Nizam Al-Mulk dalam membangun sekolah diikuti oleh Syah-syah
dan Atabik-atabik yang mendirikan kesultanan-kesultanan setelah runtuhnya kerajaan
Bani Saljuk, dan yang paling terkenal adalah Nuruddin Zanki yang berkuasa di
Suriyah dan Mesir yang kemudian mendirikan sekolah- sekolah di Damaskus, Alepptf
dan di tempat-tempat lain dan yang kemudian usaha itu diikuti oleh sultan-sultan di
masa kerajaan Ayubiyah. lihat Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 109-129.

11 Prot Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 69-72.


63
Madrasah Nizhamiyah

motif doktrin keagamaan tampak dominan pada Madrasah


Nizhamiyah. Keterangan yang mendukung hal tersebut ada- lah
sebagai berikut:
Diakui bahwa penaklukan Bani Saljuk terhadap Dinasti
Buwaihi di Irak dan masuknya mereka ke kota Baghdad pada
tanggal 25 Muharram 447H, merupakan kemenangan Ahlussunnah
terhadap Syi’ah. Penguasa Saljuk-mereka meru- pakan pengikut
fanatik Sunni-menginginkan akidah mereka tertanam kuat dan
terkikisnya paham-paham Syi’ah. Hal itu akan dapat terealisasi
dengan jalan penyebaran ilmu, untuk itu mereka mendirikan
madrasah 12 .
Selanjutnya, untuk melestarikan kekuasaan politik dan paham
teologi Asy’ariyah tampak pula menjadi motivasi penting, terutama
jika Dinasti Saljuk yang Sunni dihadapkan dengan Dinasti
Fatimiyah di Mesir, yang beraliran Syi’ah. Pendirian madrasah ini
adalah karena suatu pertimbangan bahwa untuk melawan Syi’ah
tidak cukup dengan kekuatan senjata, melainkan juga harus melalui
penanaman ideologi yang dapat melawan ideologi Syi’ah. Ini
dilakukan karena Syi’ah sangat aktif dan sistematik dalam
melakukan indoktri- nasi melalui pendidikan atau aktivitas
pemikiran lain.
Jika dikatakan bahwa Nizam Al-Mulk sebagai seorang pribadi
yang mendirikan dan mengelola madrasah perse- orangan dengan
tujuannya sendiri, jadi tidak ada keterlibatan pemerintah secara
formal. Maka dari satu sisi pendapat ini benar, tapi harus
dipertimbangkan kenyataan bahwa dilihat dari posisinya yang
strategis di kerajaan, pengaruh

1 2 Dr. Abdullah Abdul Da’im, op.cit., hlm. 115.


64 Sejarah Pendidikan Islam

dan pengorbanannya yang besar untuk Madrasah Nizhamiyah


tentulah ia sering dihubungkan dengan kebijakan birokratis formal
dan ketenagakerjaan yang tak bisa dilepaskan dari kehendak
memperlancar tugas dan mempertahankan ne- gara. Artinya,
pendirian Madrasah Nizhamiyah adalah salah satu kebijakan politik
pemerintahan atau penguasa Saljuk untuk mempertahankan
kekuasaannya dengan mengambil simpati rakyat.
Namun, hal ini pun ternyata tidak sepenuhnya benar,
umpamanya bahwa Madrasah Nizhamiyah khusus mengem- bangkan
mazhab fiqih Syafi’i, 13 dengan kalam Asy’ariyah, sedangkan Sultan
Saljuk cenderung mengikuti fiqih Hanafi dengan aliran kalam
Maturidiyah 14 . Bahkan, di Madrasah Nizhamiyah kelompok-
kelompok fiqih memiliki wadah dan sekolah sendiri-sendiri. 15
Dengan demikian, tampak bahwa pendidikan Islam dalam
perjalanannya, pada umumnya, dipengaruhi oleh dua arus
pergumulan, bidang politik dan pemikiran atau aliran keagamaan,
yang saling berkaitan. Pendidikan dalam hal ini dijadikan sebagai
sarana pergumulan itu. Fenomena terse- but tampak di balik
motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah ini.

13 Charles Michael Stanton, op. cit., hlm. 46.


14 Abdul Majid Abdul Futuh, op. cit., hlm. 108.
Tibawi, op. cit., hlm. 226 lihat pula Tim Penulis IAIN Syarif
15 A.L.

Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 742.


Lihat juga Prof. Dr. Mahmud Yunus, op. cit, hlm. 75. sebaliknya dari sumber lain
dikatakan bahwa Madrasah Nizhamiyah berorientasi hanya kepada satu mazhab, dalam
hal ini mazhab Syafi’i, lihat Dr. H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. (Ciputat:
PT Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 72.
Madrasah Nizhamiyah 65

C. SISTEM PENDIDIKAN MADRASAH NIZHAMIYAH BAGHDAD


Untuk menjelaskan sistem pendidikan di Madrasah
Nizhamiyah, secara sederhana akan dibahas komponen- komponen
pendidikan 16 yang terdapat pada Madrasah Nizhamiyah yang
dianggap sebagai model bagi sistem pendidikan modern. 17

I. Tujuan Pendidikan Madrasah Nizhamiyah Baghdad


Tujuan pendidikan Madrasah Nizhamiyah tidak terlepas dari
tiga tujuan pokok: Pertama, mengkader calon-calon ulama yang
menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan
pemikiran Syi’ah; Kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap
untuk mengajarkan mazhab Sunni dan menyebarkannya ke tempat-
tempat lain; Ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk
berpartisipasi dalam menja- lankan pemerintahan, memimpin
kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen. 18

16 Di antara komponen-komponen pendidikan lain, misalnya interaksi,


komunikasi dan motivasi, lihat H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam,
(Jakarta: Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998) hlm. 19.
17 Madrasah memberikan model bagi universitas-universitas Eropa. Dari

madrasah muncul beberapa tradisi, seperti penggunaan seragam sekolah, yaitu gaun
yang berwarna hitam, pembagian fakultas-fakultas Undergraduate dan Graduate, dan banyak
yang lain. Lihat Cryl Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, (London: Tien Wah Press,
1989) hlm. 245. Penyediaan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, seorang imam,
dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas agama, merupakan asal
muasal dari penyediaan tempat tinggal bagi ilmuwan-ilmuwan miskin di universitas-
universitas praktik yang pada abad pertengahan berakar kuat di Paris, Oxford, dan
Cambrige. Charles Michael Stanton, op.cit, hlm. 47. l8 Abdul Majid Abdul Futuh, op.cit.,
hlm. 179.
66 Sejarah Pendidikan Islam

A.L. Tibawi di dalam bukunya Arabic and Islamic Themes,


mensinyalir bahwa tujuan pendidikan Madrasah Nizhamiyah adalah
bercampur antara mempersiapkan kader-kader ulama Sunni dalam
menghadapi Fatimiyah yang Syi’i dan tersedianya personel-personel
administratif yang cakap untuk mengisi posisi-posisi pekerjaan,
khususnya di bidang kehakiman dan kesekretariatan atau
administrasi. 19
Di samping itu pendidikan ini juga ditujukan untuk membangun
sistem madrasah yang baik dan berprestasi serta membentuk calon-
calon ulama dan birokrat yang mempunyai wawasan 20 dan
mendukung mazhab Syafi’i dan teologi Asy’- ariyah menolak sisi-sisi
ekstrim dari aliran-aliran pemikiran lain dan mengambil jalan tengah
dalam soal-soal keagamaan.

2. Kurikulum dan Metode Pengajaran Madrasah


Nizhamiyah Baghdad
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara
motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah adalah pem- binaan dan
penyebaran paham Sunni Asy’ary guna meng- hadapi paham Syi’ah-
yang beberapa ajarannya cenderung ke Mu’tazilah. 21 Maka ilmu
kalam, terutama Asy’arisme diajarkan secara khusus dan intensif.
Bagaimanapun harus diakui bahwa beberapa pengajar pada madrasah
ini juga dikenal ahli dalam ilmu kalam, bahkan penganut Asy’arisme,

19 A.L. Tibawi, op.cit., hlm. 225.


20 TimPenulis IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 742.
Syi’ah Imamiyah, lihat W. Mongomery Watt, Islamic Phi- losophy and Theology,
21 Terutama

(Edinburg: University Press, 1992) hlm. 123-124.


Madrasah Nizhamiyah 67

umpamanya Imam Al-Harmain Abul Ma’ali Yusuf Al-Juwaini (w


1084M/478H) dan Abdul Hamid Al-Ghazali (w 1111M/ 505H)22.
Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum Madra- sah
Nizhamiyah tidak diketahui dengan jelas. Namun dapat disimpulkan
bahwa materi-materi ilmu syari’ah diajarkan di sini sedangkan ilmu
hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Fakta- fakta yang mendukung
pernyataan ini adalah; pertama, tidak ada seorangpun di antara ahli
sejarah yang mengatakan bahwa di antara materi pelajaran terdapat
ilmu-ilmu umum. Kedua, guru-guru yang mengajar di Madrasah
Nizhamiyah meru r pakan ulama-ulama syari’ah. Ketiga, pendiri
madrasah ini bukanlah pembela ilmu filsafat. Keempat, zaman
berdirinya madrasah ini merupakan zaman penindasan ilmu filsafat
dan para filosof. 23
Dengan terfokuskannya pengajaran di Madrasah Nizha- miyah
kepada ilmu-ilmu syari’ah, tentulah ilmu fiqih men- dapat prioritas
utama. Pembahasan fiqih yang menyangkut hampir semua masalah-
masalah kemasyarakatan, memang tepat sebagai bekal untuk calon-
calon birokrat atau pemim- pin masyarakat kala itu. Pengajaran fiqih
yang bertumpu kepada pemahaman sumber-sumber yang berbahasa
Arab, maka penguasaan bahasa Arab berikut ilmu pendukungnya
sangat ditekankan.
Dari keterangan lain disebutkan bahwa pelajaran di Mad- rasah
Nizhamiyah berpusat pada Alquran (membaca, meng-

2 Prof. Dr. Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 140-143.


3 Mahmud Yunus, op.cit., hlm. 75.
68 Sejarah Pendidikan Islam

hafal, dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi Muhammad Saw. dan
berhitung, dengan menitikberatkan pada mazhab Syafi’i dan sistem
teologi Asy’ariyah. 24 Abdul Majid ketika menjelaskan segi-segi
negatif Madrasah Nizhamiyah menga- takan bahwa madrasah ini
mengkonsentrasikan usahanya pada pengajaran ulum al-syariah dan
ushul al-din sesuai tujuan yang telah ditetapkan padanya.
Konsekuensinya, Madrasah Nizhamiyah mengabaikan ilmu-ilmu
terapan yang praktis (al-ulum al-tatbiqiyah al-amaliyah)25
Pengajaran di Madrasah Nizhamiyah berjalan dengan cara para
guru berdiri di depan kelas menyajikan materi-materi kuliah
(ceramah/talqin), sementara para siswa duduk mende- ngarkan di atas
meja-meja kecil yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan
dialog atau diskusi (munaqasjah) antara guru dan para siswa mengenai
materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang
tinggi. 26
Sumber yang lain mengatakan bahwa di madrasah ini ilmu
fiqih 27 diuraikan oleh seorang guru dalam satu silabus yang disebut
ta’liqah. Karangan ini disusun oleh masing- masing tenaga pengajar
28

berdasarkan catatan perkuliahannya

24Ensiklopedi Islam, op.cit., hlm. 44.


25 Abdul Majid Abu Al-Futuh, op.cit., hlm. 202.
26Ensiklopedi Islam, op.cit., hlm. 45.
27Ta’liqb tidak terbatas pada fiqih; disiplin-disiplin lain juga

mengguna- kannya, ahli-ahli gramatika juga menggunakan


metode ini. Metode-tanya jawab dalam ta’liqah juga meramaikan
pengajaran ilmu-ilmu agama yang terpusat pada topik-topik yang
masih 28hangat.
Taliqah adalah debat tertulis, yaitu dengan mengemukakan
satu per- tanyaan, diikuti dengan jawaban negatif dan positif,
serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk
mencapai kesimpulan.
Madrasah Nizhamiyah 69

selagi menjadi mahasiswa, bacaannya, dan kesimpulan pri-


badinya tentang topik terkait. Mahasiswa menyalin ta’liqah dalam
proses dikte; dan dalam banyak kasus, mereka betul- betul hanya
menyalin, dengan sangat sedikit perubahan. Sedangkan yang lain
mungkin menambahkan ide-ide dari diskusi-diskusi kelas atau dari
penelitian sendiri, sehingga ta’li- qah mereka lebih merupakan refleksi
pribadi mereka tentang materi kuliah yang disampaikan oleh tenaga
pengajar. 29

3. Tenaga Pengajar dan Pelajar Madrasah Nizhamiyah Baghdad


Madrasah Nizhamiyah merupakan lembaga pendidikan tinggi 30
yang mengajarkan pendidikan tingkat tinggi pula. Oleh karena itu,
pemilihan guru-guru yang mengajar di madrasah ini sangat selektif.
Ulama-ulama terkemuka pada waktu itu dan guru-guru besar yang
masyhur dan mempunyai kompetensi di bidangnyalah yang dipilih
untuk mengajar. 31 Status guru-guru tersebut ditetapkan dengan
pengangkatan

29 Penjelasan lebih lanjut lihat Charles Michael Stanton, op.cit., hlm. 23-24.
30 Beberapa penulis, seperti Charles Michael Stanton, Ahmad Syalabi, Sayyed
Hossein Nasr, Mohd. Athiyah Al-Abrasyi dll. menyebutkan madrasah merupakan
pendidikan tingkat tinggi (the institution of higher learning). Jika ini diartikan sama dengan
universitas, sebenarnya di dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi
lebih dikenal dengan nama aljami’ah, yang secara historis tentu berkaitan dengan masjid
jami’. Al-Jami’ah yang muncul paling awal dengan pretensi “lembaga pendidikan
tinggi” adalah al-Azhar di Cairo, Zaituna di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez.

31 Ahmad Syalabi secara rinci menyusun nama-nama guru tersebut menurut

urutan tanggal wafat mereka, op. cit., hlm. 140-143.


70 Sejarah Pendidikan Islam

oleh khalifah dan bertugas dalam masa tertentu. 32 Di dalam


melaksanakan tugasnya seorang pengajar selalu dibantu oleh seorang
pembantu, 33 ia bukan guru tetapi lebih tinggi kedu- dukannya dari
para pelajar biasa. Pembantu ini berfungsi se- bagai asisten guru
yang di antara tugasnya adalah menjelaskan bagian-bagian yang sulit
dipahami setelah guru memberikan kuliah, atau membantu para
pelajar yang kurang pandai dan pada waktu tertentu dapat
melaksanakan pekerjaan guru atau tugas-tugas yang biasa dilakukan
guru.
Nizam Al-Mulk juga menyediakan beasiswa untuk maha- siswa
dan memberi mereka fasilitas asrama. Mereka yang ting- gal di
asrama diberi belanja secukupnya. 34 Ia mengumumkan kepada
semua orang bahwa pengajaran di sekolah-sekolahnya terbuka untuk
siapa saja tanpa membedakannya. Ia memberi bantuan untuk semua
pelajar tanpa mengharap kembali, dan seluruh biaya pendidikan di
situ gratis. Ia juga menetapkan beasiswa secara teratur kepada para
siswa yang kurang mam- pu, di antara yang memanfaatkan
kesempatan ini adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan saudaranya
Ahmad. 35

4. Pendanaan dan Sarana Madrasah Nizhamiyah


Baghdad
Sumber dana yang paling lazim bagi pembangunan Mad-

32 Dewan Redaksi Ensiklopedi, op.cit., hlm. 44.


33 Ahmad Syalabi menyebutnya sebagai muid pengulang atau pada masa
itu chotbah. op.cit., hlm. 144.
35 Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 70.

36 Dr. Abdullah Abdul Da’im op. cit., hlm. 140.


Madrasah Nizhamiyah
71

rasah adalah lembaga wakaf, sebuah cara tradisional dalam Islam


untuk mendukung lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat
umum. Menyumbangkan materi (zakat) yang diperuntukkan bagi
para mustahiq dan bagi pengembangan Islam merupakan bagian dari
rukun Islam. Dalam hal ini pendidikan jelas termasuk pada kategori
kedua.
Dalam pembangunan madrasah, wazir Nizam Al-Mulk
menyediakan dana wakaf untuk membiayai mudarris, imam, dan juga
mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama. Dengan
dana itu, ia mendirikan madrasah-madrasah Nizhamiyah di hampir
seluruh wilayah kekuasaan Bani Saljuk saat itu, mendirikan
perpustakaan dengan lebih kurang 6.000 jilid buku lengkap dengan
katalognya, 36 lalu menetapkan anggaran belanja seluruh madrasah-
madrasah itu sebesar 600.000 dinar. Kemudian Madrasah
Nizhamiyah Baghdad saja sepersepuluhnya, yaitu 60.000 dinar tiap
tahun. 37 Ini sudah cukup untuk membiayai berbagai fasilitas yang
dise- diakan untuk pelajar dan pengajar, baik berupa akomodasi,
uang makan dan tunjangan.

D. PENGARUH MADRASAH NIZHAMIYAH


A.L. Tibawi dalam hal ini menyebutkan bahwa eksklusi- visme
madrasah telah memberikan pengaruh (influence) pada

36 Charles Michael Stanton, op. cit., hlm. 47. lihat pula Mohd. Athiyah
al-Abrasyi, op. cit., hlm. 81.
37 Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm.75, Ahmad Syalabi menga-

takan untuk madrasah Nizhamiyah Baghdad 15.000 dinar setiap tahun.


72 Sejarah Pendidikan Islam

masyarakat, baik bidang politik, ekonomi, maupun bidang sosial


keagamaan. 38
Nizam Al-Mulk dalam kaitan ini dikenal sebagai pejabat
pemerintah yang memiliki andil besar dalam pendirian dan
penyebaran madrasah, kedudukan dan kepentingannya dalam
pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menen- tukan juga.
Dalam batas ini memang madrasah merupakan kebijakan religio-
politik penguasa.
Dalam bidang ekonomi, Madrasah Nizhamiyah di sam- ping
sebagai lembaga untuk mengajarkan ilmu syari’ah dalam rangka
mengembangkan ajaran Sunni, memang dimaksud- kan pula untuk
mempersiapkan pegawai pemerintah, khusus- nya di lapangan
hukum dan administrasi 39 . Dengan demikian, madrasah telah
menjanjikan lapangan kerja.
Dari segi sosial keagamaan, Madrasah Nizhamiyah dite- rima
oleh masyarakat karena sesuai dengan lingkungan dan keyakinannya.
Faktor-faktor penerimaan tersebut antara lain: Pertama, ajaran yang
diberikan di Madrasah Nizhamiyah adalah ajaran Sunni, yang dianut
sebagian besar masyarakat waktu itu. Kedua, para pengajar di
Madrasah Nizhamiyah adalah para ulama yang terkemuka. Ketiga,
materi pokok yang diajarkan di madrasah ini adalah al-fiqh yang
dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat umumnya dalam
rangka hi- dup dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran dan
keyakinan mereka.

38 A.L. Tibawi, op.cit., hlm. 225.


39Ibid., hlm. 225.
Madrasah Nizhamiyah 73

D. KESIMPULAN
Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi lembaga
pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tong- gak baru dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik
tradisi pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi
dengan sistem asrama. Peme- rintah/penguasa ikut terlibat di dalam
menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana
fisik dan lain-lain, yang memberikan inspirasi pada pendirian
universi- tas-universitas modern.
Kendati Madrasah Nizhamiyah mampu melestarikan tradisi
keilmuan dan menyebarkan ajaran Islam dalam versi tertentu, tetapi
keterkaitan dengan standardisasi dan pelesta- rian ajaran kurang
mampu menunjang pengembangan ilmu dan penelitian yang
inovatif. Wallahu a ‘lam bi al-sbawab.
75

BAB VI

Madrasah-madrasah di Makkah dan


Madinah
Oleh:Muhajir

A. PENDAHULUAN
Madrasah adalah salah satu bentuk institusi (lembaga)
pendidikan formal dalam Islam. Model madrasah tidak sama
dengan masjid atau lembaga pendidikan Islam lainnya, Mad- rasah
merupakan perkembangan dari masjid. Akibat antusias dan
besarnya semangat belajar (menuntut ilmu) umat Islam, membuat
masjid-masjid penuh dengan halaqah-halaqah. Dari tiap-tiap halaqah
terdengar suara guru-guru yang menjelas- kan pelajaran atau suara
perdebatan (muhadharah/tanya jawab) dalam proses belajar
mengajar, sehingga menimbulkan kebi- singan yang mengganggu
orang ibadah.1 Semakin banyak umat Islam interes pada ilmu,
semakin banyak pula para penuntut ilmu tersebut, masjid pun
penuh dan tidak menam- pung murid-murid. Lahirlah madrasah,
yang bermula dari

1 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (Tarikh at-Tarbiyyah al-lslamiy- Jah) terj. Mukhtar
Jahya dan Sanusi Latif, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 106.
76 Sejarah Pendidikan Islam

masjid dan masjid-Khan.2 Prototype masjid-Khan adalah suatu desain di


mana di sekeliling masjid dibangun pemondokan atau asrama untuk
murid atau untuk guru yang tinggal di dalamnya. Masjid-Khan
tersebut mengalami perkembangan m e n j a d i m a d r a s a h di mana di
dalamnya terjadi proses belajar mengajar antara pendidik dan si
terdidik. 3 Ada perbedaan esensial antara masjid dengan madrasah.
Kedua institusi ini berasal dari waqf. Masjid sebagai bengunan waqf,
bebas dari kontrol pendirinya yang disebut Waqf-Tahrir. Sedangkan
madrasah di bawah kontrol pendirinya. 4
Pelacakan kapan awal mula lahirnya madrasah, banyak para
sejarawan yang berbeda pandangan. Menurut Al-Suyuthi, seperti
dikutip Azyumardi Azra, istilah madrasah baru digu- nakan agak
luas, sejak abad ke-9. Institusi yang memperli- hatkan ciri-ciri
madrasah sebagaimana dikenal sekarang, didirikan di Nisyapur,
Iran, sekitar seperempat pertama abad ke-11 5 Syalabi menyatakan
bahwa madrasah yang mula- mula muncul di Dunia Islam adalah
Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizam Al-Mulk perdana
menteri Dinasti

Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 99, lihat
2 Hanun

pula, Arif Subhan, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol. 3, No. 2,
(Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1999), hlm. 33.
3Ibid.,
hlm. 100.
4 George Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islam and The West (Edinburg
University Press, 1981), hlm. 27-28, lihat pula, Charles Michael Stanton, Pendidikan
Tinggi Dalam Islam (High Learning in Islam) terj. H. Afandi dan Hasari Asari, (Jakarta: Logos,
1994), hlm. 46-47.
Azra, Jaringan Ulama: TimurTengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
5 Azyumardi

XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 62.


Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah 77

Saljuk, tahun 1065-1067. 6 Pendapat sejenis juga diakui oleh Philip


K. Hitti. 7 Menurut Al-Maqrizi seperti dikutip oleh Athiyah Al-
Abrasyi, bahwa Madrasah Al-Baihaqiyah yang didirikan oleh
penduduk Nisyapur pada ahad ke-4. 8 Richard W. Bulliet, seperti
dikutip oleh Hanun Asrohah mengatakan bahwa abad sebelum
Madrasah Nizhamiyah, muncul di Nisyapur, yaitu berdiri Madrasah
Miyah Dahiyah. 9
Sungguh sulit melacak kepastian kapan mula pertama lahirnya
madrasah di zaman klasik ini, tetapi minimal dari enam ahli sejarah
yang berbeda-beda pendapat dapat kita klasifikasikan menjadi tiga.
Pertama, Al-Suyuthi, identik pen- dapatnya dengan W. Bulliet., karena
Bulliet menyatakan, bahwa Madrasah Miyan Dahiyah di Nisyapur
berdiri dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah, sementara
Nizhamiyah berdiri pada tahun 1065-1067, berarti abad ke-11,
dengan demikian dua abad sebelumnya berarti abad ke-9. Kedua
Syalabi, identik pendapatnya dengan K. Hitti, Madrasah Nizhamiyah
berdiri tahun 1065-1067, yang berarti abad ke-11. Hal ini mirip
dengan kutipan Azyumardi. Ketiga, sementara pernyataan Athiyah
memang tidaj ada pendukungnya, tetapi menyatakan lebih awal dari
pendapat-pendapat yang lain.

6 Ahmad Syalabi, Taarikh al-Tarbiyyah al-lslamiyyah (Beirut, Libanon: Daar al-Kasyf, 1954),

hlm. 99-100.
7 Philip K. Hitti, History of The Arab (London: Mac Millan Press L.Td., 1974), hlm. 410.

8 M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasarPokok Pendidikan Islam (al-Tarbijyab al-lslamiyyah) terj. H.


Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm. 79, lihat pula, Ali
Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Isiam (Dirasatun Muqaranatun fi al-Tarbiyyah al-lslamiyyah) terj. HM.
Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 30.

9 Hanun Asrohah, op. at., hlm. 100.


78 Sejarah Pendidikan Islam

Dari segi fisik, madrasah berbeda dengan institusi-institusi


pendidikan Islam sebelumnya, kelengkapan ruangan untuk (belajar)
yang dikenal dengan ruangan muhadlarah (untuk ber- diskusi), serta
bangunan-bangunan yang berkenaan dengannya, pengamanan bagi
murid-murid dan guru-guru.10 Demikian pula sisi administrasinya
juga berbeda. 11
Dominasi materi yang diajarkan di madrasah adalah bidang Studi
Fiqih, George Makdisi, seperti dikutip oleh A.L. Tibawi, memberi
nama madrasah adalah sebagai College of Law.12 Lebih lanjut Makdisi
menjelaskan, sebagaimana dikutip Hanun Asrohah, bahwa istilah
madrasah diambil dari akar kata dars. Kata dars menunjuk pada mata
pelajaran fiqih; dan tadris, bentuk verbal naun (masdar), berarti mengajar
fiqih. Ulama atau guru besar fiqih disebut mudarris; dan kata darasa,
tanpa dilengkapi sebuah komplemen, diartikan mengajar- kan bidang
studi fiqih. 13 Pembicaraan selanjutnya, madrasah banyak
direlevansikan dengan mazhab-mazhab fiqih.
Sekilas ilustrasi dalam makaddimah ini, bertujuan dapat
menghantarkan pada pembahasan, madrasah-madrasah di Makkah
dan Madinah, khususnya sejarah pada masa klasik. Dari ilustrasi
tersebut, muncul permasalahan, bagaimana kon- disi/eksistensi
madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah dalam perspektif
historis yang rentang waktunya adalah masa klasik Islam.

10 Ali Al-Jumbulati, loc. cit., hlm. 30.


Richard W. Bulliet, The Patrician of Nisaphur: A Study in Medievel Islamic Social History, (USA:
11

Harvard University Press, 1972), hlm. 48.


12 A.L. Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical, Educational and Liter- ary Studies. (London:

MacMillan and Company Ltd., 1976), hlm. 219.


13 Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 102.
Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah 79

B. MADRASAH-MADRASAH DI MAKKAH
Terlepas dari pro-kontra tentang mula pertama pemun- culan
madrasah. Asma Hasan Fahmi menyatakan berkem- bangnya
madrasah-madrasah dalam waktu yang cepat itu merupakan satu
manifestasi yang bertujuan untuk melawan golongan Syi’ah yang
telah kuat dan berkembang di seluruh pelosok Dunia Islam pada
abad ke-4 Hijriah. Gerakan Syi’ah ini bukan saja merupakan gerakan
politik yang dikembangkan oleh pengikut-pengikut Ali untuk
mengendalikan pemerin- tahan, akan tetapi dalam waktu yang sama
ia juga merupakan satu gerakan ilmu pengetahuan yang sejalan
dengan falsafah dan pendapat-pendapat golongan mistik yang
beraliran ekstrim. Gerakan ini telah mendapat tantangan yang hebat
dari penganut mazhab Ahlu al-Sunnah.
Munculnya orang-orang Saljuk pada abad ke-11 Masehi yang
merupakan golongan mazhab Ahlu al-Sunnah yang fanatik terhadap
kepercayaan agama. Jatuhnya sebagian besar kerajaan Islam ke
tangan mereka dan sikap mereka yang sangat setia kepada khalifah
merupakan faktor-faktor yang utama yang dapat mengukuhkan
mazhab Ahlu al-Sunnah dan melemahkan pengaruh kedudukan
golongan Syi’ah. Munculnya madrasah-madrasah yang banyak dalam
abad ini merupakan satu alat untuk menyatakan satu sikap baru
dalam berpikir dan untuk melahirkan gelora semangat keagamaan
yang meluap-luap pada masa ini, sehingga terjadinya perang Salib di
antara umat Islam dan Kristen. Madrasah tersebut tersebar hampir
di seluruh Dunia Islam, 14 untuk memperkuat mazhab Ahlu al-
Sunnah dengan cara

l4 Termasuk juga di Haramayn, yaitu di Makkah dan Madinah.


80 Sejarah Pendidikan Islam

memberi perhatian yang besar dengan mempelajari ilmu fiqih yang


terdapat di dalam empat mazhab. 15
Wacana yang mendeskripsikan madrasah-madrasah di Makkah
dan di Madinah secara kuantitatif lebih sedikit daripada Madrasah
Nizhamiyah di Baghdad, al-Mustansi- riyah di Baghdad, al-Nasiriyah
di Cairo, al-Nuriyah al-Kubra di Damaskus, 16 Nurudin Zanki di
Damsik dan madrasah al-Azhar yang didirikan Dinasti Ayubiyyah di
Cairo. 17 Sebagai analisis barangkali karena di Haramayn ada masjid
al-Haram dan masjid Nabawi, menyebabkan sentral aktivitas pendi-
dikan ada di dua institusi tersebut.
Menurut Hillenbrand, madrasah dikenalkan di Hijaz berada
pada kekuasaan Sholah Al-Din Al-Ayubi. Situasi po- litik pada masa
itu Dunia Islam sedang terjadi perang Salib dengan Kristen. Masa ini
dalam sejarah Islam disebut pula masa disintegrasi (1000-1250 M).
Setelah Nuruddin Zanki wa- fat tahun 1174 M, dalam memimpin
perang Salib, pimpinan perang kemudian di pegang oleh Sholah Al-
Din Al-Ayubi yang berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir
tahun 1175 M. Hasil peperangan Sholah Al-Din yang terbesar ialah
merebut kembali Yerussalem tahun 1187 M. 18 Kemudian pada tahun
1183-1184 Gubernur Aden mendirikan sebuah madrasah untuk
mazhab Hanafi di Makkah, kemudian satu

15 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat (Mabadi al-Tad)iyyah, al-lsla- miyyah), terj. Ibrahim Husen,
M.A., (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 41.
16 M.Athiyah Al-Abrasyi, op. cit., hlm. 82-83.
17 Ahmad Syalabi, Taarikh al-Tarbiyyah al-lslamiyyah, op. cit., hlm. 100.
18 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2000), hlm. 78.


Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah 81

tahun berikutnya dibangun madrasah untuk mazhab Syafi’i. 19


Walaupun mazhab Hanafi pernah jaya di zaman pemerin- tahan
Harun, di Kufah, tetapi Abu Hanifah pernah berguru pada Imam
Malik di Hi j az. 20 Jadi ada kemungkinan didirikan madrasah Abu
Hanifah di Makkah. Demikian pula Imam Syafi’i, walaupun beliau
dilahirkan di Guzza, sebuah wilayah di negeri Syria tahun 150 H, tapi
oleh ibunya dibesarkan di Makkah. 21 Menurut keterangan Al-Maqrizi
(w. 8451/1442), pada zaman Dinasti Fatimiyah di Cairo, telah berdiri
73 madrasah; 14 untuk mazhab Syafi’i, 4 untuk mazhab Maliki, 6
untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah madrasah untuk mazhab
Maliki dan Hanafi, 4 untuk empat mazhab, 2 buah khusus untuk Dar
al-Hadits, dan yang lainnya tidak disebut- kan namanya. 22 Satu atau
bahkan dua, atau lebih, yang disebut Maqrizi, tentunya ada yang
berdiri di Makkah.
Sejarawan, Taqi Al-Din Al-Fasi Al-Makki (775-832/ 1373-1428),
seperti dikutip Azyumardi Azra, menyatakan bahwa madrasah di
Makkah adalah Madrasah ‘Ursufiyah yang didirikan pada 571/1175
oleh Afif Abd Allah Muhammad Al-’Ursufi (w. 595/1196) di dekat
pintu umrah, bagian selatan masjid al-Haram. Madrasah al-’Ursufiyah
mempunyai sebuah ribatlP yang disebut ribath Abi Ruqaibah (atau Abi
Qutaibah),

19 Hillenbrand, Madrasah dalam TheEnciklopedia of Islam, Vol. V, (Leiden: E.J. Brill. 1986,

New Edition), hlm. 1127.


Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera,
20 TM.

1997), hlm. 117-118.


21Ibid.,
hlm. 123.
22 Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 112.
23 Makdisi melaporkan, ribath, sama dengan Monastery College, (Perguruan
82 Sejarah Pendidikan Islam

dan dibangun setahun sebelum Afif Al-’Ursufiyah mendirikan


sebuah madrasah di Cairo. Sejak pembangunan madrasah al-
’Ursufiyah hingga awal abad ke-17 terdapat setidaknya 19 madrasah
di Makkah. 24
Kita berterima kasih kepada Ibnu Bathuthah, sebagai seorang
sejarawan, yang masih sempat mengamati kondisi keilmuan di
Makkah. Ketika Bathuthah dalam perjalanan hajinya antara tahun
728/1326 dan 756/1355, menyampaikan gambaran secara lengkap
dunia keilmuan di Makkah. Pada awalnya Ibnu Bathuthah tinggal di
ribath al-Muwaffaq yang terletak di sisi barat daya atau dekat pintu
Ibrahim, masjid al-Haram. Belakangan ia pindah ke kompleks
madrasah Muzhafariyah, di sebelah selatan masjid. Ibnu Bathuthah,
seperti dikutip oleh Azyumardi, dia dapat secara dekat me- ngamati
kegiatan keilmuan yang ada di dalam madrasah tersebut, 25 hanya saja
tidak dideskripsikan secara rinci kegi- atan tersebut. Madrasah
megah yang dijumpai di Makkah adalah madrasah Qoi’it Bey,
didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir, mempunyai satu ruangan
besar untuk kuliah umum, 26 72 ruangan kelas untuk guru dan murid,
dan empat perpus- takaan untuk masing-masing mazhab Sunni. 27

Tinggi untuk para biarawan), dalam Islam, yang dimaksud adalah lembaga pendidikan
untuk para sufi/ahli tasawuf, lihat A.L. Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical Educational
and Uterary Studies, op. cit., him. 218:
24 Azyumardi, op. cit., hlm. 63.
25Ibid.,
hlm. 79.
26 George Makdisi menyebutnya dengan iwan, lihat Hanun Asrohah, op. cit., hlm.

100.
27 Azyumardi Azra, loc. cit., hlm. 63-64.
Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah 83

Indikasi terpenting madrasah-madrasah di Makkah, ada- lah


bahwa hampir seluruh madrasah-madrasah dibangun oleh penguasa-
penguasa atau dermawan non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni
madrasah al-Syarif al-Ajlan yang dibangun penguasa Makkah, Ajian
Abu Syari’ah (berkuasa 744-77/ 1344-75). Yang terbanyak
mendirikan madrasah di Makkah adalah penguasa-penguasa
Utsmani, mereka membangun 5 madrasah, yaitu 4 dibangun Sultan
Sulaiman Al-Qonuni dan 1 oleh Sultan Murad (berkuasa 982-
1003/1574-95). Selanjut- nya khalifah dan pejabat tinggi Abasiyah
membangun 4 madrasah. Penguasa-penguasa Mesir termasuk
Mamluk, dan penguasa Yaman masing-masing mendirikan 3
madrasah. Kemudian penguasa Muslim India mendirikan 2
madrasah. 28
Sayang, jumlah madrasah yang cukup banyak di Makkah
tersebut, tidak dapat bertahan lama. Contoh madrasah Qo’it Bey
yang megah, akhirnya dijual dan dijadikan asrama ja- maah haji
Mesir. Namun pada pertengahan abad ke-19 Hasyib Pasya
mengembalikan kompleks bangunan Qo’it Bey ini pada fungsi
semula, yaitu sebagai madrasah. Madrasah di Makkah cukup rapuh
dari segi keuangan, karena hampir semua tergan- tung pada wakaf,
yang kebanyakan diberikan oleh penguasa dan dermawan non-
Hijazi. 29

C. MADRASAH-MADRASAH DI MADINAH
Dibanding dengan madrasah-madrasah di Makkah, pelacakan
mengenai sejarah madrasah-madrasah di Madinah

28Ibid., hlm. 63.


29 Ibid, hlm. 64.
Sejarah Pendidikan Islam
84

lebih sulit. Sumber-sumber yang berkenaan dengan sejarah Madinah


kebanyakan bungkam tentang hal ini. Di antara empat tokoh mazhab
dalam Sunni, Malik Ibnu Anas Ashbahi (95- 179 H) adalah yang
senantiasa tinggal di Madinah. Ia tidak pernah melawat ke mana-
mana selain pergi berhaji. Di Madinah, Malik mendirikan madrasah,
terkenal dengan madrasah Ali Hijaz atau madrasah Ali Madinah.
Mula-mula madrasah ini dibangun oleh Umar Ibn Khatab, Abdullah
Ibn Umar, Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Abbas dan Aisyah. 30 Lebih
lanjut, Hanun Asrohah mengutip, pada abad ke-13 M terdapat 60
madrasah untuk mazhab Syafi’i, 52 madrasah untuk mazhab Hanafi,
4 madrasah untuk mazhab Maliki, 10 madrasah untuk mazhab
Hambali, dan 3 madrasah al-Tib. 31
Sejarawan Madinah, Al-Fasi, yang mengabadikan bagian- bagian
khusus dari kitab-kitabnya untuk mengungkapkan sejarah madrasah
di Makkah, dan menyinggung sedikit madrasah-madrasah di
Madinah. Karenanya, peneliti yang tidak cermat dapat tergoda
mengasumsikan bahwa madra- sah nyaris tidak ada di Madinah.
Madrasah-madrasah sebenarnya ada di kota ini, walaupun jumlahnya
relatif kecil dibanding apa yang terdapat di Makkah. Pengembara
Anda- lusia Abad ke-12, Ibn Jubayr, ketika menghadiri beberapa
kuliah di Baghdad (termasuk yang diberikan di madrasah
Nizhamiyah) menyatakan, ia juga menghadiri kuliah sema- cam ini di
Makkah dan di Madinah pada tahun 579/1183. Namun dia tidak
secara eksplisit menyebut nama madrasah

32 TM. Hasbi Ash Shiddieqi, op. cit., hlm. 119-120.


31 Hanun Asrohah, op. cit., hlm. 111.
Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah 85

di Madinah itu. Kasus yang sama, dialami pula oleh Ibn Bathuthah
di Madinah menjelang akhir 728/1326. 32
Sebagai bukti, Al-Fasi memberikan deskripsinya tentang Sultan
Giyats Al-Din atau A’zam Syah di Madinah, terletak di dekat
kawasan Bab al-Salam, masjid Nabawi, Nur Al-Din Ali Ibn Ahmad
Al-Samhudi (w. 911/1411), memperkuat deskripsi Al-Fasi, bahwa
Sultan Giyats Al-Din membangun madrasah lengkap dengan
ribathnya di Madinah pada tahun 814/1411. Namun sayang, nama
madrasahnya tidak disebut. Pada tahun 724/1323 Jauban Ata Bek,
penguasa Mamluk, mendirikan madrasah Jaubaniyah di wilayah
antara Dar al- Syibak dan al-Husna al-Atiq. Kemudian, masih
menurut informasi Al-Samhudi, beberapa penguasa Mamluk juga
mendirikan madrasah, yang secara kolektif dikenal dengan
madrasah Asyrafyah. Deskripsi, Al-Fasi dan Al-Samhudi, dengan
tegas diperkuat lagi oleh Syams Al-Din Al-Sakhawi (831-902/1428-
1497). Al-Sakhawi menyebut beberapa madrasah lain di Madinah
selama periode ini, mereka di antaranya adalah madrasah Qoi’t Bey.
Madrasah al-Basithiyah didirikan, Zayni Aba Al-Basith, madrasah
al-Zamaniyah dibangun, Syams al-Din al-Zaman, madrasah al-
Sanjariyah, terletak dekat Bab al-Nisa, madrasah al-Syahabiyah
diwa- kafkan al-Muzaffar al-Gazzi, dan madrasah al-Mazhariyah
didirikan Zaini Kadb. Berdasarkan seluruh informasi ini kita dapat
mengasumsikan, setidaknya ada delapan madrasah di Madinah pada
periode ini.
Periode belakangan, 1232/1815, Burchardt, seperti ditulis
Azyumardi, menyanjung ulama-ulama di Madinah,

32 Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 65.


86 Sejarah Pendidikan Islam

tetapi menyayangkan kurangnya madrasah di Madinah. Burchardt,


mencatat hanya satu madrasah di Madinah, yaitu al-Hamdiyah, itu
pun dibangun oleh penguasa Utsmani. Namun informasi Burchardt
dilemahkan Azyumardi, karena ia hanya tinggal di Madinah dalam
waktu relatif singkat. 33

D. KESIMPULAN
Informasi tentang madrasah mendapat dukungan ba- nyak
dari berbagai literatur. Namun sayang para sejarawan tidak cukup
tertarik berbicara madrasah di Makkah dan di Madinah. Hal ini
mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan tersebut
kurang lengkap. Namun demikian, data-data teoretis dari para
sejarawan, cukup memberikan spirit untuk melacak lebih lanjut
madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah.
Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah-madrasah di Makkah
cukup banyak bila dibanding di Madinah, walau di Makkah juga
ada masjid al-Haram. Namun hal ini bukan penyebab tidak
munculnya madrasah-madrasah di Makkah. Walaupun pada
kenyataannya para pendiri madrasah di Makkah adalah para
dermawan dan penguasa non-Hijazi. Lain dengan di Madinah,
eksistensi masjid Nabawi masih sangat karismatik untuk
menyelenggarakan aktivitas pem- belajaran. Inilah barangkali yang
menyebabkan suramnya kemunculan madrasah-madrasah di
Madinah, di samping para sejarawan tidak banyak memberikan
informasi tentang hal itu.

33Ibid., hlm. 66.


87

BAB VII

Madrasah Tingkat Tinggi


(Universitas al-Azhar)
Oleh:Imamudin

A. PENDAHULUAN

Madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan Islam, yang


secara historis telah berabad-abad usianya. Namun usia yang begitu
tua tersebut tidak menjadikan keberadaan madra- sah sebagai
lembaga yang kondusif untuk proses belajar mengajar apabila
dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang nota bene baru berusia
muda.
Jatuh bangun, perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan
dinamika perubahan zaman, melekat pada institusi madrasah ini.
Kondisi pasang surut, dalam pertumbuhan dan perkembangan
madrasah selalu terjadi, hal ini dikarena- kan keberadaan madrasah
yang ada pada saat itu tidak lepas dari peranan penguasa. 1
Pada masa-masa awal, proses pendidikan Islam ber- langsung di
tempat-tempat yang merupakan pusat ibadah

'Keterlibatan penguasa mencakup penetapan tujuan-tujuan, menyusun


kurikulum, memilih guru dan pengaturan dana. Seperti Nizhamiyah yang dibiayai oleh
Nizamul Muluk, Al-Azhar oleh Fatimiyah.
88 Sejarah Pendidikan Islam

(masjid). Namun karena banyaknya umat Islam yang ber- minat


untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi, juga
mengganggu kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi
pendidikan mulai mengadakan pembe- nahan-pembenahan dengan
mendirikan masjid Khan (skat- skat). Dalam masjid Khan mulai
dilakukan pembagian kelompok studi terhadap murid-murid yang
belajar. Kendati sudah ada pengelompokan, tapi pada tahap ini
belum ada pengelolaan administrasi yang bagus.
Sedangkan al-Azhar tampak berbeda dengan institusi madrasah
sebelumnya. Pada lembaga ini sudah dilengkapi dengan asrama
untuk guru-guru dan para mahasiswa, juga aula besar (iwan) yang
dipergunakan untuk kuliah umum. Iwan merupakan bagian yang
sangat penting bagi al-Azhar. Pelaksanaan proses belajar mengajar di
al-Azhar mengacu kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh
pengelola mad- rasah. 2 Peranan al-Azhar sebagai madrasah yang
menyeleng- garakan pendidikan tingkat tinggi, seperti istilah Philip
K. Hitti yang menyatakan madrasah merupakan lembaga pendi-
dikan tingkat tinggi (Institution of higher education)3 atau College (akademi
menurut perbandingan pendidikan sekarang).
Madrasah tingkat tinggi yang diangkat dalam pemba- hasan ini
adalah madrasah al-Azhar di Cairo, yang merupakan lembaga
pendidikan Islam yang diakui sebagai universitas

2 Richard W. Bulliet, The Patrician of Nisaphur:A Study in Medieval Islamic Social History,

Cambrigde: Harvard University Press, 1972, hlm. 410.


3 Philip K. Hitty, History of The Arab, London: Mac Millan Ltd, 1974, hlm. 410.
Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar) 89

tertua di dunia. Karena pembahasan ini sangat luas dan ter- batasnya
referensi yang penulis temui, penulis membatasi hanya pada masalah
latar belakang berdirinya al-Azhar seba- gai universitas tertua di
Dunia Islam, bagaimana kurikulum dan metodologi pengajarannya,
bagaimana keberadaan al- Azhar di bawah naungan para penguasa
terutama setelah Dinasti Fatimiyah, dan bagaimana peranan al-
Azhar ketika kota Baghdad sebagai pusat kekhalifahan dan
peradaban di wilayah Timur serta kota Cordoba wilayah Barat
mengalami kehancuran atas serangan tentara Mongol dan jatuhnya
ke- dua kota tersebut ke tangan tentara non-Muslim.

B. PEMBAHASAN

1. Latarbelakang Historis Berdirinya Al-Azhar


Dinasti Fatimiyah adalah sebuah dinasti yang terletak di Tunisia
yang dibangun pada tahun 909 M. Pada waktu kaum Fatimiyyin
menaklukan Mesir pada tahun 338 H, panglima perang Dinasti
Fatimiyah, khalifah Mauizuddin li Dinillah, membangun masjid
dengan nama al-Azhar, pada tanggal 24 Jumadil Ula 359 H/390 M 4
dan selesai pemba- ngunannya pada bulan Ramadhan 361 H. Nama
Masjid al-Azhar merupakan nama yang dinisbatkan kepada putri
Nabi Muhammad Saw. Fatimah Al-Zahra. Sebelumnya nama masjid
tersebut adalah al-Qahiroh yang berarti sama dengan nama kota,
yaitu Cairo, dan dikaitkan dengan kata-kata al-

4 Dr. Ahmad, Muhammad Uf, Al-Azhar fi alf Am, Cairo: Majma’ al- Buhuts al-

Islamiyah, 1982, hlm. 67.


90 Sejarah Pendidikan Islam

Qahiroh al-Zahirah yang berarti kota cemerlang 5 . Baru setelah 26


bulan al-Azhar dibuka untuk umum, tepatnya pada bulan Ramadhan
361 H dengan diawali kuliah agama perdana oleh al-Qodi Abu
Hasan Al-Qoirowani pada masa pemerintahan Malik Al-Nasir. 6
Seperti halnya masjid-masjid yang lain, al-Azhar di sam- ping
menyelenggarakan pendidikan juga berfungsi sebagai tempat ibadah,
masjid ini sebenarnya diperuntukkan dinasti Fatimiah yang sedang
bersaing dengan kekhalifahan di Baghdad. 7 Usaha yang dilakukannya
ialah dengan meng- ajarkan mazhab Syi’ah kepada kader-kader
mubaligh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan kebenaran
mazhab yang dianutnya. 8
Masjid al-Azhar adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat
diskusi bahasa dan juga mendengarkan kisah dari orang yang ahli
bercerita. Baru setelah pemerintahan di pe- gang oleh Al-Aziz Billah
mengubah fungsi masjid al-Azhar menjadi universitas. 9

5 Hanun Asrohah, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, Cet, I hlm.
60.
Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj Bustami A. Gani dan
6 M.

Djohar Bahri L.I. S dari, al-Tarbiyah al-lslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet VIII hlm.
61.
Ateek, Al Azhar, The Mosque and The University, dalam Konsep Universitas Islam, Dr.
7 A.A

Hamid Hasan Al-Bilgrami, Dr. Sayid Ali Asyraf, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, hlm.
40.
8Ibid,
hlm. 40.
Djumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H.M. Arifin, Jakarta: Rhineka
9 Ali

Cipta, 1987, hlm. 27.


Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar) 91,

program yang dilontarkan kaum Fatimiyyin meliputi Jua tahap:


tahap pertama, pelaksanaan pengajaran serta pem- bentukan undang-
undang; tahap kedua, da’wah secara rahasia. Kedua hal ini tampak
jelas dalam dokumen pengangkatan Propagandis Agung (Da’id
Du’ah) oleh kekhalifahan Dinasti Fatimiyah. 10

2. Al-Azhar Dalam Kekuasaan Khalifah


a. Masa Dinasti Fatimiyah
Al-Azhar pada masa Dinasti Fatimiyah merupakan lembaga
pendidikan yang menjadi corong dan alat untuk propaganda
kekuasaan kekhalifahan, sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin
ajaran Syi’ah. Pada masa itu sistem peng- ajaran terbagi menjadi
empat kelas, yaitu:
Pertama, kelas umum diperuntukkan bagi orang yang datang ke
al-Azhar untuk mempelajari Alquran dan penafsiran- nya; kedua,
kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen
yang ditandai dengan mengajukan per- tanyaan dan mengkaji
jawabannya. Ketiga, kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan
oleh para mubalig seminggu sekali pada hari Senin yang dibuka
untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus untuk mahasiswa
pilihan. 11 Keempat, kelas nonformal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.

10 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 hlm. 403.

11 Mahmud Yunus; Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, hlm. 174.
92 Sejarah Pendidikan Islam

Mahasiswa yang belajar di al-Azhar dilarang mempelajari


mazhab selain mazhab Syi’ah. Sedemikian ketatnya, sampai ada
mahasiswa yang menyimpan kitab Al-Muwattho, karya monumentalnya
Imam Malik dikenai hukum dan dipen- jarakan tahun 381 H/991. 12
Pada Masa khalifah Al-Aziz Billah, 387 H/ 988 M dengan
usaha wazirnya Yakub Ibn Kills, al-Azhar dijadikan sebagai
Universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal
(logika) dan ilmu umum lainnya. Untuk menunjang kegiatan
pendidikan dan pengajaran, al-Azhar dilengkapi dengan asrama
untuk para Fuqaha (dosen; tenaga pendidik) serta semua urusan dan
kebutuhannya ditanggung oleh khalifah. 13 Adapun ilmu agama yang
diajarkan meliputi: ilmu tafsir, qiraat, hadis, fiqih, nahwu, sharaf dan
sastra. Sedangkan ilmu-ilmu umum yang dipelajari ialah filsafat, ilmu
falak, ilmu ukur, musik, kedokteran, kimia, dan sejarah, serta ilmu
bumi 14 dan kuliyah darul hikmah yang didirikan oleh khalifah Al-
Hakim tahun 395 H /1005 M.

b. Masa Dinasti Ayyubi


Ketika kekuasaan beralih dari Dinasti Fatimiyah ke Dinasti
Ayyubi, al-Azhar yang sebelumnya sebagai alat tung-

12Ibid., hlm. 175.


Hamid Hasan Al-Bilgrami, Dr. Sayid Ali Asyaraf, Konsep Pendidikan Islam,
13 Dr.

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, hlm. 42.


14 Pada tahun 353 H/973M Khalifah Al-Muiz Lidinillah telah menyuruh
membuat peta bumi dari kain sutra biru yang ditulis dengan emas. Semua negeri dan
gunung, laut, sungai jalan-jalan dan kota-kota diterangkan dengan emas, terutama
Makkah dan Madinah, ongkos yang dipakai membuat peta itu 22.000 dinar.
93
Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar)

gangan politik dan propaganda paham Syi’ah oleh Daulah Fati-


miyah, harus menghentikan segala aktivitasnya sebagai tempat yang
menyelenggarakan peribadatan dan pendidikan. Sebab, Sholahuddin
Al-Ayyubi adalah orang yang menganut paham Sunni, dengan
demikian al-Azhar ditutup sebagai universitas dan tertutup pula
untuk tempat shalat Jum’at. Untuk mema- jukan ilmu agama dan
bahasa Arab, Sholahuddin Al-Ayyubi membuka madrasah sebagai
sarana perkuliahan. Perkuliahan- perkuliahannya beralih ke
madrasah-madrasah dan lembaga kuliah setingkat universitas, yang
jumlahnya hingga men- capai 25 lembaga di Cairo,15 seperti Madrasah
al-Nashiriyah tahun 566 H yang terletak di samping Masjid Amr ibn
Ash, Madrasah al-Qomhiyah tahun 566 H yang khusus mengajar
fiqih mazhab Maliki, Madrasah Salahiyah tahun 572 M yang terletak
di samping masjid Imam Syafi’i, dan lain-lain.
Sejalan dengan pergantian kekhalifahan, dari dinasti Fatimiyah
ke Dinasti Ayyubi, keduanya memiliki pemikiran dan menganut
mazhab yang berbeda, maka hak-hak yang telah diberikan Dinasti
Fatimiyah, yaitu Khalifah Al-Aziz dan Al-Hakim kepada al-Azhar,
dihentikan haknya pada Dinasti Ayyubi, di antaranya pencabutan hak
menyampaikan khutbah. 16

c. Masa Dinasti Mamalik


Pada masa ini terjadi serbuan besar-besaran dari bangsa Mongol
ke Timur dan jatuhnya Islam di Barat, sehingga me-

langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta; Pustaka Al-


15 Hasan

Husna, 1988, hlm. 47.


16 Dr. Hamid Hasan Bilgrami, op. cit, hlm. 41.
94 Sejarah Pendidikan Islam

nyebabkan banyak ulama dan ilmuwan Muslim yang mencari


perlindungan ke al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi al- Azhar
menjadi penting. Di samping itu, menambah masyhur nama al-Azhar
di mata Dunia Islam. Sejak saat itu, banyak pelajar dan negara-
negara Islam yang tertarik menjadi maha- siswa dan belajar di al-
Azhar. Para orientalis menyebutnya sebagai zaman keemasan dalam
sejarah al-Azhar. 17
Hancurnya Baghdad dan Spanyol sebagai pusat peradab- an
pemerintahan, menjadikan al-Azhar sebagai satu-satunya tempat
untuk berlindung bagi para ulama. Sementara ber- kumpulnya ulama
yang mengungsi di al-Azhar, mendorong bangkitnya al-Azhar dari
ketidakadaan aktivitas, menjadi sibuk dengan berbagai aktivitas.
Sedangkan pembiayaan operasional al-Azhar banyak ditopang oleh
para penguasa yang memberikan bantuan pendanaan secara ikhlas.
Itulah sebabnya banyak mahasiswa yang datang ke Cairo berasal dan
Negara Iraq dan Afrika Utara. 18
Padahal sejak satu abad al-Azhar ditutup, yaitu pada masa
kekhalifahan Sholahuddin Al-Ayyubi, sampai 17 tahun dari
pemerintahan Dinasti Mamalik. Pada tahun 665 H seorang Amir
mengajukan kepada sultan Al-Zahir Baibars untuk mem- buka
kembali al-Azhar sebagai tempat untuk shalat Jum’at, ternyata
usulannya diterima dan disambut baik oleh Baibars. Sejak itu, al-
Azhar dibuka kembali yang sebelumnya hampir satu abad ditutup,
sedangkan pendanaannya dibiayai oleh Amir dari uang pribadinya.

17 Dr. Hamid Hasan Bilgrami, loc. cit., hlm. 41.


18 B. Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning, Washington DC: 1962, hlm. 17.
Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar) 95

Sejak itulah banyak ulama yang datang untuk belajar dan


mengajar ke al-Azhar seperti, Ibnu Khaldun (784 M/1382), Ibnu
Hajar Al-Atsqolani (w 808 H/1406 M),Taqiy Al-Din Al-Maqrizi (w.
845 H/ 1441 M), Jalaluddin Al-Suyuti (911 H/1505 M). 19
Dalam gambaran Al-Maqrizi dalam al-Khitat tampak lembaga ini
tidak hanya sebagai masjid jami’, akan tetapi merupakan tempat bagi
orang-orang saleh, penginapan bagi para jamaah haji, pengungsi yang
papa, para pelajar, dan tokoh-tokoh sufi.
Ketika Mesir hilang kedaulatannya tahun 922 H/1517M,
pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran di al- Azhar
khususnya dan madrasah-madrasah lainnya. Pada masa itu ilmu yang
diajarkan hanya bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama saja, sedangkan
ilmu aqliyah, seperti filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti tidak ada dan
dianggap haram hukumnya. 20 Kendati demikian, tidak dapat diartikan
tak ada seorang pun yang belajar dan mengajarkan ilmu aqliyah,
tetapi dengan kemauan sendiri, seperti syaikh Abdul Mun’im
Damanhuri (w 1192 H/ 1778 M) dalam ijazahnya disebutkan ilmu
yang telah dipe- lajarinya meliputi ilmu al-Jabar, ilmu falak, ilmu
kesehatan dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa ilmu aqliyah
tidak 100 % lenyap dari al-Azhar. Namun yang belajar adalah mereka
yang mau saja dan proses pembelajaran dilakukan di rumah-rumah
para guru yang terletak di sekitar masjid.

l9 Hasan Langgulung, op. cit., hlm 48.


20 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung,
1990, hlm. 177.
96 Sejarah Pendidikan Islam

3. Metodologi dan Kurikulum Pengajaran


Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan
institusi pendidikan yang lain, yaitu sistem berhalaqah (melingkar);
seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan
kemauan. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk
bersama para pelajar, tetapi guru kadang- kadang duduk di kursi
ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Di samping itu, metode
diskusi sangat dikem- bangkan sebagai metode dalam proses
pembelajaran antar- pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai
fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan.
Kurikulum yang dipakai di al-Azhar pada mulanya fiqih dan
Alquran, dan ilmu agama lainnya. Namun setelah men- jadi
universitas, mulai memasukan ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran,
ilmu sejarah, ilmu hitung, logika, dan lain-lain.

4. Peranan Al-Azhar dalam Mencetak Ulama


Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi saat itu, telah
banyak melahirkan ulama yang tidak diragukan lagi dari aspek
keilmuannya, dan telah banyak menyumbangkan khazanah ilmu
pengetahuan terutama keislaman, baik dari Mesir maupun ulama yang
berasal dari daerah lainnya. Di antara mereka ialah lzauddin bin
Abdissalam, Imam Subki, Jalaluddin As-Suyuti, Al-Hafiz Ibnu Hajar
Al-Asqolani, dan lain-lain21 dan karya monumental dari para ulama
tersebut masih dapat dipelajari dan disaksikan sampai sekarang ini.

21 Untuk lebih lengkap nama ulama yang dimaksud, lihat Mahmud Yunus, Sejarah

Pendidikan Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, 1990, hlm. 176.


Madrasah Tingkat Tinggi (Universitas al-Azhar) 97

C. KESIMPULAN
Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah
dikenal sebagai universitas tertua di dunia, karena sejak itu telah
mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu agama,
seperti fiqih, Alquran, hadis, tasawuf, bahasa Arab, nahwu, sharaf,
dan lain-lain. Sedangkan ilmu-ilmu umum, yang diajarkan meliputi
ilmu kedokteran, matema- tika, logika, sejarah, dan lain-lain.
Latar belakang berdirinya al-Azhar adalah untuk ke- pentingan
para penguasa dari Dinasti Fatimi yang ingin menanamkan
kekuasaannya melalui pendekatan pengajaran ajaran Syi’ah. Al-Azhar
sejak berdirinya mengalami pasang surut karena pengaruh
kepentingan penguasa saat itu. Hal ini karena posisi al-Azhar yang
tidak independen. Memang sejak awal al-Azhar sudah dijadikan alat
dan tunggangan politik Dinasti Fatimi yang bermazhab Syi’ah,
sehingga setiap pergantian kekuasaan, aturan yang sudah ada me-
ngalami penyesuaian bahkan perombakan oleh kekhalifahan yang
berkuasa berikutnya.
Setelah tentara Mongol pimpinan Hulagu Kan meng- hancurkan
peradaban Baghdad serta jatuhnya pusat peradaban Islam di Spanyol,
menjadikan al-Azhar sebagai tempat perlindungan para ulama dari
kezaliman tentara Mongol. Itulah awal paroh kedua bagi al-Azhar
memasuki aktivitas- nya setelah diberhentikan aktivitasnya oleh
pemerintahan Dinasti Al-Ayubi sampai 17 tahun masa kekuasaan
Dinasti Mamalik. Momentum ini menjadikan al-Azhar menjadi
masyhur namanya di kalangan Dunia Islam, secara tidak langsung hal
ini ternyata menjadi dorongan bagi masyarakat
98 Sejarah Pendidikan Islam

Islam untuk belajar di al-Azhar. Sehingga perlu diakui bahwa al-


Azhar telah banyak menghasilkan ulama-ulama yang berpengaruh
dan banyak menyumbangkan khazanah penge- tahuan Islam
sampai sekarang ini.
99

BAB VIII

Peran Lembaga Pendidikan Islam


Klasik Dalam Mencetak Ulama
OlehFauzanAsiy

A. PENDAHULUAN
Pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan Islam yang
formal dan sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang
berlangsung dapat dikatakan masih bersifat informal dan peranan
pendidikan Islam sendiri masih sebatas pada upaya- upaya dakwah
Islamiyah, yaitu penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan
dan ibadah. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses
pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah Arqam yang
sering disebut dengan Dar Al-Arqam. Namun setelah masyarakat
Islam sudah ter- bentuk, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid
dengan memakai sistem balaqah.1 Menurut M. Stanton, pendidikan
formal Islam baru muncul dengan didirikannya Madrasah
Nizhamiyah oleh Wazir Nizham Al-Mulk pada tahun 1064. Walaupun
menurut penelitian Richard Bulliet mengatakan bahwa eksistensi
madrasah sudah ada sejak tahun 1009 M,

Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Penerjemah H. Afandi, Jakarta:


1 Charles

Logos, Cet. Ke-1, 1990, hlm. 5.


100 Sejarah Pendidikan siam

yaitu Madrasah al-Baihaqiyyah yang didiriikan oleh Ali Al-Baihaqi.


Bahkan Bulliet menyebutkan ada 39 madrasah di Persia
berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizha- miyah. 2
Sepanjang sejarah Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam,
baik itu madrasah ataupun al-Jami’ah 3 tidak pernah
mengembangkan tradisi keilmuar, khususmya ilmu-ilmu alam dan
eksakta. Hanya ilmu agami (al-ulum al-diniyyah) yang menjadi titik
sentral pembahasan. Walaupun pada dasarnya Islam sendiri tidak
membedakan nilai i l m u agama dan non-agama, tapi pada
praktiknya supremasi kceilmuan masih diberikan kepada ilmu -ilmu
agama.
Dalam pembahasan ini akan dibahas beberapa lembaga
pendidikan Islam di masa klasik al-Syuffah, madrasah al- Azhar,
dan Madrasah Nizhamiyah—dengan para sarjana atau para ulama
Islam yang berasal dari lembaaga pendidikan tersebut.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Ulama dan llmuwan


Ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan ilmu

2 Richard W. Bulliet, The Partitions of Niibafur: A Study in Medievel Islamic Social Society,

Cambridge, 1992.
3 Aljamiah
dalam Islam dikenal sebagai institusi lembaga pendidikan yang secara
historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid Jami’, yaitu masjid besar tempat
berkumpul jama’ah untuk menunaikan shalat Jum’at. Al-Jami’ah yang muncul paling
awal dengan pretensi sebagai “lembaga pendidikan tinggi” adalah al-Azhar di Cairo,
Zaitunna di Tunis, dan Qorow- wiyyin di Fez.
Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 101

agama dan ilmu pengetahuan umum yang dengan penge- tahuannya


mempunyai rasa takut dan tunduk kepada Allah. Kata ulama itu
sendiri merupakan bentuk jamak dari alim, yang berarti “yang
memiliki pengetahuan.”
Pada masa sahabat, tidak ada pemisahan antara orang yang
memiliki pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada
umumnya para sahabat nabi memiliki pengeta- huan agama sekaligus
pengetahuan umum dan juga pelaku politik praktis. Baru pada masa
Bani Umayyah dan sesudah- nya istilah ulama lebih ditekankan
kepada orang yang memi- liki pengetahuan agama saja, bahkan lebih
dipersempit lagi pada pembidangan ilmu-ilmu agama, misalnya ahli
fiqih disebut fuqaha, ahli hadis disebut muhaditsin, ahli tafsir disebut
mufassir, ahli kalam disebut mutakallim, dan seterusnya.
Sementara orang memiliki ilmu pengetahuan umum tidak lagi
disebut ulama, tetapi disebut ilmuwan sesuai dengan bidangnya
masing-masing, seperti Al-Hawarizmi disebut sebagai ilmuwan
matematika, Al-Biruni disebut sebagai ilmuwan fisika, dan Jabir Al-
Hayyan disebut sebagai ilmuwan kimia. Mereka disebut ulama
apabila mereka juga memiliki pengetahuan agama, seperti Ibnu
Rusyd, di samping sebagai ulama fiqih juga ahli dalam bidang
kedokteran. 4

2. Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Klasik


a. Al-Shuffah
Ketika Nabi Saw. pindah ke Madinah, pekerjaan pertama

4 Dewan Penyusun, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan ke-

3,1994, Jilid V. hlm. 328.


102 Sejarah Pendidikan Islam

kali yang beliau lakukan adalah membangun masjid. Pada salah satu
bagian masjid itu beliau pergunakan secara khusus untuk mengajar
para sahabat. Ruangan itu dikenal dengan sebutan “al-Shuffah” yang
berfungsi sebagai tempat penam- pungan para siswa yang miskin.
Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami melukiskan bahwa
pendidikan al-Shuffah merupakan perguruan tinggi yang pertama
kali dalam Islam. Bahkan sebenarnya tidak pernah ada perguruan
dalam sejarah Islam yang kualitasnya meng- ungguli perguruan al-
Shuffah. Betapa tidak, di antara yang menjadi staf pengajar
perguruan tinggi al-Shuffah adalah Nabi Muhammad sendiri
sedangkan para mahasiswanya adalah para sahabat beliau.
Apabila dibandingkan dengan perguruan tinggi Daar- Arqam
Makkah tentulah perguruan al-Shuffah ini lebih stabil dibandingkan
ketika nabi masih di Makkah sehingga proses belajar mengajar
berjalan dengan lancar. Tentang jumlah mu- rid al-Shuffah, para
ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Nu’aim, jumlah mereka
tidak tetap, tergantung situasi. Se- dangkan menurut Ibnu Taimiah,
jumlah mereka mencapai 400 orang. Sementara Qothadah
menyebut, mencapai 900 orang.
Ada suatu hal yang menarik dari pendidikan al-Shuffah ini,
bahwa semua siswa belajar secara gratis. Untuk mencapai
kebutuhan mereka, Nabi Saw. menugasi para sahabat untuk
menjamin mereka. Suatu saat beliau pernah bersabda, “Siapa yang
mempunyai persediaan makanan untuk dua orang hendaklah ia mengajak
seseorang siswa al-Shuffah”.5

Ali Mustafa Ya’qub, Sejarab dan Metode Da’tmh, PT. Pustaka Firdaus.
5
Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 103

Bidang-bidang studi yang diajarkan di al-Shuffah adalah Alquran,


tajwid, dan semua ilmu ke-Islaman di samping membaca dan
menulis. Dan tujuan utama al-Suffah adalah mensucikan had dan
menerangi jiwa, sehingga mereka dapat meningkatkan diri dari
tingkatan iman ke tingkatan ihsan. Nabi juga menyuruh mereka
untuk mendapatkan penghasilan sendiri dengan menebang pohon
atau bekerja pada waktu senggang mereka dalam rangka
menumbuhkan kebiasaan hidup mandiri. 6
Di samping itu, perguruan tinggi al-Shuffah memiliki banyak
alumni di antaranya:

1. Abu Hurairah
Abu Hurairah r.a. adalah nama gelar yang diberikan Rasulullah
Saw. semenjak ia membawa kucing kecil di hadapan beliau, yang
berarti “Bapak Kucing Kecil.” Nama aslinya di zaman Jahiliah adalah
Abdus Syamsi. Kemudian setelah masuk Islam, ia berganti nama
Abdur Rahman yang paling banyak merawikan hadis di antara
kalangan sahabat- sahabat rasul. Ia dapat meriwayatkan sebanyak
5.374 (lima ribu tiga ratus tujuh puluh empat) hadis kepada Baqi bin
Mukhlid.

2. Abdullah bin Umar


Abdullah bin Umar berada dalam urutan kedua di bawah

Cetakan ke-1.1997, hlm. 134.


6 Hamid Hasan bin Gharami, Konsep Universitas Islam, PT.Tiara Wacana, Yogyakarta,
Cetakan ke-1,1999, hlm. 20.
104 Sejarah Pendidikan Islam

Abu Hurairah r.a. dari yang terbanyak merawikan hadis. Ia telah


meriwayatkan sebanyak 2.630 hadis. Ia putra Umar bin Khattab dan
teman Hafshah istri Nabi Muhammad Saw. Dan ia salah seorang
dari keempat bernama Abdullah yang termasyhur. Tiga lainnya
adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr, dan Abdullah bin
Zubair.
Abdullah bin Umar lahir pada tahun dekat dengan kenabian,
dan memeluk Islam ketika berusia 10 tahun bersama ayahnya.
Kemudian ia hijrah ke Madinah, sebelum keluarganya. Di saat
perang Uhud, ia masih teramat muda (usia 13 tahun), sehingga Nabi
Saw. menganggapnya masih anak-anak. Namun setelah dewasa ia
banyak mengikuti peperangan dalam pasukan Islam, seperti perang
Qadisiyyah Yarmuk, penaklukan Afrika, Mesir, dan Persia, bahkan
ia pernah menyerbu Basrah dan Madain.

3. Abdullah bin Mas’ud


Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Al-Hudri yang bergelar Abu
Abdurrahman, termasuk golongan sahabat besar yang sangat dekat
dengan Rasulullah Saw. dan menyertai beliau di mana pun berada.
Ia nomor enam dari pendahulu yang menyatakan memeluk Islam
sebelum Rasulullah mendirikan Dar al-Arqam bersama enam
pendahulu lainnya.
Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan hadis dari Umar bin
Khattab dan Saad bin Muadz. Kemudian hadis-hadis itu diri-
wayatkan oleh Al-Abdalah, Abu Musa Al-Asyari, Al-Qamah,
Masyfuk, Syurih Qadhi, dan lain-lain sebanyak 848 hadis.
Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 105

Ketika Khulafaur Rasyidin, Amirul Mukminin Umar bin


Khattab mengetahui kadar kemampuan Ibnu Mas’ud, ia
mengangkatnya menjadi Ketua Bendahara Baitulmal di Kuffah dan
Ketua Majelis Qadha (hakim). Sewaktu Umar r.a. mengutusnya, ia
berpesan kepada semua penduduk Kuffah: “Demi Allah, tiada
Tuhan selain Allah, ikutilah ia (Ibnu Mas’ud) dalam mengikutiku.
Ambillah darinya dan belajarlah darinya.”

4. Abdullah bin Amr bin Ash


Abdullah bin Amr bin Ash adalah seorang ahli fiqih yang selalu
menunaikan shalat, bertobat, dan beribadah. Ia masuk Islam
sebelum ayahnya dan ikut hijrah sebelum Fathu Makkah. Ia
menerima hadis dari Rasulullah sebanyak 7.000 hadis.
Dan setelah ia mendapat izin dari Rasulullah Saw. untuk
menulis hadis, ia menulis hadis beliau. Abu Hurairah berkata:
“Tidak seorang pun yang menandingi aku dalam menghapal hadis
selain Abdullah bin Amr bin Ash. Sesungguhnya ia menulis dan aku
tidak menulisnya.”

5. Abu Dzar Al-Ghifari


Kabilah Ghifari bermukim di wilayah Waddan, daerah yang
menghubungkan Makkah dengan dunia luar. Mereka hidup dari
imbalan-imbalan kafilah dagang Quraisy yang mampir sewaktu
menuju atau kembali dari Syam. Bahkan, kalau kafilah-kafilah itu
tidak mau memberi imbalan, mereka pasti merampok barang-
barangnya.
Abu Dzar adalah nama gelar yang disandangnya dan nama itu
lebih dikenal oleh ahli hadis. Aslinya bernama Jundab bin
Junaddah, dihubungkan dengan nama kakeknya Junadah dari Suku
Ghifar.
106 Sejarah Pendidikan Islam

Sebelum Muhammad diutus menjadi nabi, Abu Dzar terkenal


seorang ahli ibadah dan berakhlak baik. Ia nomor lima dari
pendahulu yang menyatakan diri memeluk Islam. Dan ia di antara
sahabat yang dibai’at oleh Rasulullah Saw. untuk berpegang teguh
pada kebenaran, dengan meninggal- kan segala sifat tercela dan
perbuatan yang buruk, serta mau mengatakan yang hak meskipun
terasa pahit. 7

b. Al-Azhar
Al-Azhar sebagai bukti historis monumental dan produk
peradaban Islam yang tetap eksis sampai sekarang merupa- kan
lembaga pendidikan tertua di Dunia Islam. Serta sebagai pelopor
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut
menunjukkan suatu fenomena sebuah peradaban yang sangat maju
pada saat itu karena masjid dapat difungsi- kan dengan lebih luas lagi,
tidak hanya sebagai tempat melak- sanakan shalat saja. Pada awalnya
al-Azhar bukan sebagai perguruan tinggi, tetapi al-Azhar merupakan
sebuah masjid yang oleh khalifah Fatimiyah dijadikan sebagai pusat
untuk menyebarkan dakwah mereka. Pada masa itu pula dibangun
gedung atau istana khalifah yang berfungsi sebagai tempat untuk
mengkoordinir dakwah dan membantu dalam penyebar- luasannya.
Untuk menangani hal ini, dipilihlah seorang kepala dari para da’i yang
telah memenuhi persyaratan, di antara persyaratannya ialah orang
alim dari mazhab ahlul bait. Ada-

Biografi dan Tingkatan Peram Hadis, Jakarta: Pustaka Panjimas,


7 Sahliono,

Cetakan ke-1,1999, hlm. 74.


Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 107

pun para alumni dari Universitas al-Azhar, di antaranya: 8

1. Syaikh Imam Muhammad Al-Khurasyi


Nama beliau adalah Muhammad bin Abdullah Al-Khu- raisyi
dilahirkan di Abu Khuraisyi pada tahun 1010 H (670). Ia adalah
syaikh dan ulama Maliki yang terkenal dengan wara, takwa, dan
mendekatkan diri kepada Allah. Pada waktu itu, di antara gurunya
adalah ayahnya sendiri, yaitu Jamaluddin Abdulah bin Ali Al-
Khuraisy. Adapun materi yang dipelajari- nya di al-Azhar, yaitu
pelajaran-pelajaran agama, bahasa, sejarah sirah nabi dan ilmu
naqliyah. Murid Al-Khuraisy yang paling terkenal adalah Syaikh
Abdul Baqi Al-Qaimi dan Syaikh Ibrahim Al-Rayumi. 9 Hasil karya
Syaikh Imam Muhammad Al-Khurasyi yang terkenal adalah Fathu al-
Jalil, Asy-Syarhu al-Kabir, dan Hasilah ala Isaghuzi

2. Syaikh Imam Ibrahim Al-Barmawi


Nama panjangnya adalah Syaikh Ibrahim bin Muham- mad bin
Syihabuddin bin Khalid Al-Barmawi. Beliau ketika belajar di al-Azhar
mendalami ilmu bidang, syariah dan bahasa. Kemudian setelah beliau
lulus dari al-Azhar langsung menjadi tenaga pengajar di
almamaternya. Karier Al-Barmawi ketika menjadi tenaga pengajar
berkembang cukup pesat sehingga beliau pernah menjabat sebagai
syaikh al-Azhar pada tahun 1694. 10

8 A1-Fanan Hasdan Utsman, Al-Azhar al-Syarif fi Idihi al-Alfi, Cairo:


al-Haiah al-Misriyyah al-Ammal li al-Kitab, 1983, hlm. 67.
9Ibid., hlm. 238.

10Loc.cit..
Sejarah Pendidikan Isiam
108

3. Syaikh Imam Muhammad Al-Maraghi


Beliau lahir di kota Maragha pada tahun 1298 H. Beliau belajar
di al-Azhar dari seorang ulama yang terkemuka, yaitu Syaikh
Muhammad Abduh. Setelah lulus dari al-Azhar beliau langsung
mengabdikan diri pada almamaternya. Al-Maraghi menjabat sebagai
syaikh al-Azhar selama dua kali, yaitu pada tahun 1928 M dan pada
tahun 1835 sampai tahun 1945 M beliau diangkat kembali sebagai
syaikh al-Azhar untuk kedua kalinya. 11 Ketika Al-Maraghi belajar di
al-Azhar, sistem dan metode pembelajaran yang berlaku masih
bersifat tradisional, yaitu dengan sistem halaqah kemudian begitu
beliau menjabat sebagai syaikh al-Azhar langsung mengadakan
pembaruan dan restrukturisasi berupa peraturan undang-undang
tentang sistem pembelajaran di al-Azhar. 12
Selain ulama-ulama di atas masih banyak ulama-ulama lain yang
menuntut ilmu di al-Azhar dan langsung meng- abdikan diri pada
almamaternya, seperti Ibnu Khaldun yang pada abad ke-14 menuntut
ilmu di al-Azhar dan setelah itu beliau juga menjadi tenaga pengajar.
Ketika Ibnu Khaldun belajar di al-Azhar, beliau menggunakan
kesempatan ini untuk menggali ilmu sejarah dari sejarahwan yang
mengajar di al-Azhar, sehingga ketika beliau tidak lagi mengajar di al-
Azhar, Ibnu Khaldun mendirikan perguruan tinggi yang menggali
dan mengembangkan disiplin ilmu sejarah. Murid- murid Ibnu
Khaldun yang mendalami sejarah langsung dari

11Ibid., hlm. 251.


Bakar, Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di Dalamnya, Banjarmasin, TB. Adil,
l2 Abu

1991, hlm. 84.


Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 109

beliau adalah Al-Maqrizi (wafat 1442 M), Ibnu Hajar Al-Asqo- lani
(wafat 1447), Syakhowi (wafat 1497), dan Jalaluddin Al-Suyuti
(wafat 1505). 13
Ibnu Khaldun yang pernah menjabat sebagai Hakim Agung
kerajaan dipandang sebagai peletak dasar ilmu sosial dengan hasil
karyanya yang sangat gemilang, yaitu Muqad- dimah. Dalam kajian
sejarahnya tentang Arab Timur, Ibnu Khaldun banyak bersandar
kepada sejarahwan sebelumnya, seperti Al-Thabari dan Ibnu Al-
Atsir. 14

c. Madrasah Nizhamiyah

Madrasah Nizhamiyah merupakan satu institusi pen- didikan


Islam yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaan Saljuk. Besarnya
peran Nizhamul Mulk menyebabkan nama madrasah dinisbatkan
kepada nama beliau. Dalam perjalanan- nya ternyata keberadaan
Madrasah Nizhamiyah tetap eksis dalam waktu yang lama. Hal ini
dikarenakan keterlibatan wazir Nizhamul Mulk sangat besar dengan
memberikan beberapa fasilitas yang memadai, seperti dana yang
cukup besar, guru-guru yang profesional, dan perpustakaan lengkap
memuat lebih dari 6.000 jilid buku. 15
Madrasah Nizhamiyah berkembang sangat cepat de- ngan
menyelenggarakan sistem pendidikan yang maju dan paling modern
di zamannya serta memiliki jaringan sekolah

13Op.
cit., hlm. 83.
14 Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999, Cetakan ke-3, hlm. 241.
l3 Muhammad Athiyyah al-Abrasi, Al-Tarbiyah al-lslamiyah, Cairo: Daar
al-Qaumiyyah al-Thibaah wa al-Nashr, cetakan ke-3, hlm. 93.
110 Sejarah Pendidikan Islam

yang menyebar di seluruh wilayah Islami. 16


Madrasah Nizhamiyah memiliki beberapa alumni, seperti:
Syarifuddin Ibn Shahristabni, Abu Ishaq Al-Siroji, Abu Nasr Al-
Shabbagh (477 H), Imam Haramain Abdul Ma’ali Yusuf Al-Juwaini
(478 H), Nashiruddin Al-Faruqi (672 H). 17
Sedangkan di antara alumni Madrasah Nizhamiyah yang sangat
terkenal dan mengajar di almamaternya adalah:

1. Al-Ghazali
Beliau dikenal sebagai seorang ahli filosof, ahli fiqih, sufi,
reformer dan juga negarawan. Ia disebut oleh Watt sebagai orang
terbesar kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad. Karena beliau
mempertahankan Islam dari serangan luar, ia digelari Hujjat al-Islam
(bukti agama Islam). Al-Ghazali menulis lebih dari 400 dan risalah-
risalah. Ia pernah diserang keraguan terhadap dirinya, tetapi
mendapatkan kembali keyakinannya pada kebenaran. 18

2. Al-Juwaini
Ia adalah seorang ahli fiqih, ushul fiqih, dan ilmu kalam. Nama
lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin
Muhammad Al-Juwaini Al-Naisaburi. Beliau terkenal dengan julukan
Imam Haramain karena pernah tinggal di dua

16 Ahmad Syalabi, History of Moslem Education, Beirut: Daar Kasyaf: 1954, hlm. 207.

17 Ahmad Syalabi, SejarahPendidikanIslam, Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-1.


1973, hlm. 239.
18 Mulyadi Kartanegara, Mosaik Khasanah Islam, Jakarta: Paramadina, Cetakan ke-1,

2000, hlm. 22.


Peran Lembaga Pendidikan Islam Klasik 111

tanah suci (Makkah dan Madinah). Gelar lain yang diberikan


kepadanya adalah Abdul Ma’ali yang berarti memiliki sifat utama
sebagai seorang ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Dia
juga dijuluki Diya’al-Din yang berarti cahaya agama. Al-Juwaini
menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena kekhasan metodenya
dalam membela paham Sunni.
Atas permintaan Perdana Menteri Nizhamul Mulk, Al-Juwaini
kembali ke negerinya dan mengajar di Madrasah Nizhamiyah sampai
akhir hayatnya.19

C. KESIMPULAN
Lembaga pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat penting
dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan. Kegi- atan intelektual
dalam sejarah peradaban Islam merupakan salah satu mata rantai dari
serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan Islam pada masa
nabi dan khulafaur rasyidin dengan al-Suffah dilanjutkan pada masa
Bani Umay- yah, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa
Abbasiyah yang ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan
tersebut. Walaupun pada umumnya hanya ilmu-ilmu agama yang
dikaji dan mendapat perhatian besar dalam lembaga tersebut, per-
kembangan ilmu aqli atau umum juga sangat pesat walaupun mereka
berkembang di luar pagar lembaga madrasah.
Wallahu a’lam bi al-shawab.

19 Dewan Penyusun, op.cit., hlm. 328.


113

BAB IX

Kurikulum Pendidikan Islam Klasik,


750-1350 M*
Oleh:HasaniAsro

Runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5 M meru- pakan


awal dari “zaman pertengahan yang gelap”, yaitu ke- tika Eropa
mengalami kemunduran peradaban. Sedangkan di Timur (baca:
negeri-negeri Islam) peradaban mengalami kemajuan yang pesat.
Sehingga Islam selama kurang lebih lima abad menjadi mercusuar
dunia dalam segala aspek.
Di antara penyebab kemajuan tersebut adalah adanya asimilasi
budaya antarbangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada zaman
Umayyah mulai ditanggalkan dan diganti dengan prinsip egaliterisme
dalam segala aspek dengan diper- kuat dasar-dasar agama sebagai
sendi negara. Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan umat Islam
pada masa sebelum- nya, pada masa Abbasiyah dikurangi dan
mengarahkan perha-

Dipresentasikan pada Seminar Matakuliah Sejarah Pendidikan Islam, Program


Magister Pendidikan, Pascasarjana IAIN Syarif-Hidayatullah Jakarta, Pada tanggal 27
Oktober 2000.
114 Sejarah Pendidikan Islam

tian terhadap perdamaian. 1 Peradaban Islam mengalami puncak


keemasan pada pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M), yaitu ketika
orang-orang Islam menerjemahkan buku- buku Yunani, Persia, dan
India ke dalam bahasa mereka. 2 Per- hatian Al-Ma’mun terhadap
proses penerjemahan ini sangat besar terlihat ketika mau membayar
Hunayn (seorang Nestoris yang menjadi penerjemah) dengan emas
seberat lembaran- lembaran yang ia terjemahkan. 3
Proyek besar ini bukan barang mubazir yang hanya menghiasi
rak buku khalifah, tapi sejarah telah membuktikan dengan lahirnya
para sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu yang namanya masih
harum sampai sekarang. Tidak berlebihan ketika Philip K. Hitti
menggambarkan kemajuan peradaban Islam sebagai berikut:
“Semua ini berlangsung pada saat Eropa tidak mengenal sama sekali pemikiran
dan ilmu-ilmu Yunani. Sebab, sementara Al-Rasyid dan Al-Ma’mun sedang
mempelajari Filsafat Yunani dan Persia,

1 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang

1997, hlm. 17.


2 Kajian-kajianFilsafat dan penerjemahan banyak didukung oleh khalifah-
khalifah Abbasiyah, seperti Al-Mansur, Al-Rasyid, Al-Ma’mun, Al-Watsiq, Al-
Mutawakkil dan lainnya. Walaupun penerjemahan mengalami puncak pada masa
pemerintahan Abbasiyah, tetapi telah dirintis sejak zaman Umayyah di Damaskus—
misalnya disebut-sebut Khalifah Khalid bin Yazid (w. 84 H/704 M), seorang putra
khalifah yang klaim kekhali- fahannya ditolak—telah mencurahkan perhatiannya
kepada pengkajian fil- safat. Lihat Nurcholish Madjid, (Ed), Khasanah Intelektual Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hlm. 23.

3 Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta. Logos, 1994,
hlm. 83.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 115

orang-orang yang sezaman dengan mereka, Chalemagne dan raja- rajanya


dilaporkan sedang mencoba-coba belajar menulis nama mereka.”4

Sejak periode awal penerjemahan ini, pendidikan Islam memiliki


potensi untuk mengembangkan kurikulum yang beraneka ragam,
mencakup seluruh area pengetahuan yang dikenal di dunia Helinistik,
tetapi Islam tidak menawarkan keluasan cakupannya ini dalam satu
lembaga. Sebaliknya umat Islam membentuk sistem dua jalur: formal
dan non-formal.

A. PENGERTIAN KURIKULUM PENDIDIKAN


Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curir,
artinya pelari. Kata Curere artinya tempat berpacu. Curri- kulum
diartikan jarak yang ditempuh oleh seorang pelari. Pada saat itu
kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
oleh siswa/murid untuk mendapatkan ijazah. Rumusan kurikulum
tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain
adalah'sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai
siswa agar siswa memper- oleh ijazah. 5
Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam mengguna- kan kata
al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu
kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang
harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.

'Ibid., hlm. 84.


Lihat Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar-Mengajar, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1995, hlm. 1-2.
116 Sejarah Pendidikan Islam

Sejalan dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai


berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu menca- kup segala
aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kuriku- lum dalam
pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses
belajar dan mengajar serta evaluasi.

B. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM BERDIRINYA


MADRASAH

1. Kurikulum Pendidikan Rendah


Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata
pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat
pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya
kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat
penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada seluruh kurikulum.
Kedua, kesukaran membedakan di antara fase-fase pendidikan dan
lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-
murid untuk belajar pada sedap lembaga pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam
pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab
dan berakhir di diskusi halaqah.6 Tidak ada kurikulum khusus yang
diikuti oleh selurah umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan
membaca dan menulis di samping

6 Untuk mempermudah pengklasifikasian, penulis menghindar dari


polemik apakah kuttab itu pendidikan rendah dan halaqah adalah pendidikan
tinggi. Di sini kuttab diidentikkan dengan pendidikan rendah atau untuk anak-anak dan
halaqah sebagai pendidikan tinggi.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 117

Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh7 Ada contoh


gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin Yazid bercerita
bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang perempuan
Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu.
Sang ibu menjawab sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun,
saya akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia mengajari
menghafal dan membaca Alquran. Dengan demikian, ia suka akan
kebang- gaan bangsanya dan ia akan mencari peninggalan nenek
moyangnya; apabila dewasa, saya akan mengajarinya cara
menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan baik, lalu ia naik kuda
sambil memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar-mandir di
lorong-lorong kampungnya untuk mende- ngarkan suara orang-orang
yang akan meminta bantuan”. 8
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk
tingkat ini adalah mengajari Alquran, karena anak-anak dari segi fisik
dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang
sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair
berikut artinya. Setelah anak- anak belajar Alquran dan dasar agama,
kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan
kecende- rungannya. 9
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang
diperuntukkan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di
istana, orang tua (para pembesar istana) adalah

7 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1992, hlm.
113 lihat juga Asma Hasan Fahmi, op. cit., hlm. 58-85.
8 Asma Hasan Fahmi, ibid., hlm. 59.
9 Ibid, hlm. 59-60.
118 Sejarah Pendidikan Islam

yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya


dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk
pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan- peperangan,
cara bergaul dengan masyarakat di samping pe- ngetahuan pokok,
seperti Alquran, syair dan bahasa. 10 Harun Al-Rasyid telah
mengajukan pelajaran bagi putranya (Al- Amin) dengan mengatakan
sebagai berikut:

“Hai Ahmar! sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu


buah hatinya, maka bentangkanlah tanganmu kepadanya dan ketaatan
kepadamu adalah suatu kewajiban. Maka janganlah kamu merasa sungkan dan
hendaknya kamu tetap dalam posisimu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Amirul Mu’minin. Bacakanlah kepadanya Alquran, ceritakanlah kepadanya
peristiwa-peristiwa, riwayatkanlah kepadanya syair-syair, ajarkanlah kepadanya
Sunnah- sunnah Nabi Muhammad Saw. Tunjukkanlah kepadanya bagaimana
menyusun perkataan dan cara memulainya. Laranglah ia ketawa kecuali pada
waktunya....”"

Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat


kebutuhan masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan
pernah lepas dari faktor sosiologis, politis ekonomis masyarakat
yang melingkupinya. Di lembaga pen- didikan masyarakat umum,
orang tua kurang mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum
karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada guru yang
tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, di mana anak memang
diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan
bapak-

10 Zuhairini, et. al, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,


1992, hlm. 92.
11 Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarinyah al-lslamiyah, Mesir: Dar al-Fikr
al-Araby, hlm. 57.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 119

bapak mereka, di lembaga pendidikan ini rencana pelajaran disusun


oleh orang tua mereka. Timbul pertanyaan bagi penulis, apakah
kurikulum bagi anak-anak istana bersifat eksklusif bagi kalangan
istana saja yang tidak bisa disentuh oleh luar istana? Dilihat dari
semangat ilmiah Al-Ma’mun dan Al-Rasyid, ilmu pengetahuan tidak
pernah dibatasi, per- tanyaan tersebut sebenarnya bisa terjawab.
Namun demikian, hipotesis ini membutuhkan kerja intelektual
untuk dibuktikan dengan data-data historis.
Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju
pendidikan yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua
lembaga tersebut sehingga orang yang ingin belajar setelah tingkat
dasar dalam masalah sastra, kajian keagamaan, hukum dan filsafat,
harus menempuh jalur sendiri dan meminta secara pribadi untuk
bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.

1. Kurikulum Pendidikan Tinggi


Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah—kalau mau menyebut
demikian—bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar.
Para mahasiswa tidak terikat untuk mem- pelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak Mewajibkan kepada mahasiswa
untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti
pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke
halaqah yang tain, bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Menurut
Rah- man, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa
karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah
untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan
Sejarah Pendidikan Islam
120

agama.12 Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua


jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-’ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu
pengetahuan (al-’ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi
penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kuri- kulum pertama
adalah sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri
untuk mendalami masalah agama, menyiarkan dan
mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidaklah
terbatas pada ilmu agama an sich, tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-
ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadis dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus,
kurikulum jurusan ini adalah tafsir Alquran, hadis, fiqih dan ushul
fiqh, nahwu- saraf, balaghah, bahasa dan sastranya. 13
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, tahun 976) dalam buku- nya,
Mafatih al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu
fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh.
Ilmu sejarah (terutama sejarah Per- sia, sejarah Islam, sejarah
sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi). 14 Di samping itu,
diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk
ilmu faraid dan pembuatan Taqwim (mencocokkan tahun Hijriah
dengan tahun Masehi). Sedangkan yang ditulis dalam risalah Ikwan al-
Shafa, kuri- kulum untuk jurusan ini adalah ilmu Alquran, tafsir,
hadis, fiqih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah. 15

12 Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994, hlm. 264.


13 Zuhairini, op. cit., hlm. 104.
14 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad
Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 73-74.
15 Ibid., hlm. 73 Ikhwan Al-Shafa mengikuti tradisi Hermetik-Pythagoras.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 121

Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah


metafisika dan ilmu kemasyarakatan. Karena, menu- rutnya,
kesempurnaan manusia bisa dicapai kalau manusia dapat memiliki
jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam jenis kehidupan
tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama ‘tidak
mencukupi’. 16 Maka tidak heran jika dalam karyanya, Ihsaal Ulum
(Enumeration of the Sciences) yang di Barat dikenal dengan De Scientist, dia
tidak memasuk- kan studi keagamaan dalam klasifikasi
pengetahuannya.
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia
merupakan ciri khas fase kedua perkembangan pemikiran umat
Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan de- ngan pemikiran
Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk
pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-
ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan,
ilmu tumbuh- tumbuhan dan kedokteran. 17
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
a. Disiplin-disiplin Umum: tulis-baca, arti kata dan gra-
matika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda
dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap,

Dalam tradisi Hermetik-Pythagoras klasifikasi dan metode Aristoteles diubah dengan


pendekatan mistik dan metode interpretasi lebih kurang menjadi simbolik.
16 Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 30.

17 Zuhairini, op. cit., hlm. 105.


122 Sejarah Pendidikan Islam

dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, per- tanian,


dan peternakan, serta biografi dan kisah. 18
b. Ilmu-ilmu Filosofis: matematika, logika, ilmu angka- angka,
geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum- hukum
geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu
dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen
meteorologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya; botani,
zoologi; anatomi dan antropologi; persepsi inderawi; embriologi;
manusia sebagai mikro kos- mos; perkembangan jiwa (evolusi
psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filologi);
psikologi dan teologi- doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual;
serta ilmu-ilmu alam ghaib. 19
Klasifikasi pengetahuan yang diperkenalkan Al-Farabi adalah:
a. Ilmu bahasa (sintaksis, tata bahasa, pengucapan, cara bicara,
puisi) b. Logika (pembagian, definisi dan komposisi pikiran secara
sederhana) c. ilmu propaedeutic (ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optik,
ilmu tentang cakrawala, musik, ilmu gaya berat, ilmu membuat alat)
d. Fisika (ilmu alam, meta- fisika) e. ilmu kemasyarakatan
(yurisprudensi, retorika). 20 Kla- sifikasi Al-Farabi ini mengikuti
pemikiran Aristoteles yang silogistik-rasionalistik.
Sedangkan yang ditulis dalam Mafatih al-Ulum, yaitu logika; ilmu
kedokteran-anatomi, patologi, bahan obat, tera

18 Stanton, op. cit., hlm. 56.


19 Mehdi Nakoosten, op. cit., hlm. 73.
20 Ali Ashraf, op. cit., hlm. 29.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 123

petik, diet, berat dan takaran, aritmatika; geometri, astronomi, mu sik,


kimia. 21
Kurikulum yang dibuat oleh Al-Khuwarazmi berbeda dengan
kurikulum yang dibuat Ikhwan Al-Shafa. Kurikulum- nya
menekankan pada pengetahuan yang bersifat praktis dalam
menyelenggarakan tugas-tugas seseorang sebagai menteri dan
sekretaris.
Masuknya ilmu-ilmu asing—yang berasal dari tradisi
Hellenistik—ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan
merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan di masjid atau
madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di
perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-
Hikmah. Syalaby menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam
mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek
di kedua lembaga tersebut. 22

C. KURIKULUM SETELAH BERDIRINYA MADRASAH


Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebuda- yaan
pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi
ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu
pengetahuan manusia, baik fisiologi, seja- rah, historiografi, hukum,
sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran,
matematika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.

21 Mehdi Nakoosten, op. cit., hlm. 74, lihat juga Fahmi, op. cit., hlm. 81.
Syalaby, op. cit., hlm. 181-184, lihat juga, Muhammad Athiyah
22 Lihat

Abrasyi, Al-Tarbiyab al- Islamijab wa Falasifatuha, Mesir: Isa Al-Babi


Halaby, 1975, hlm. 96-98.
124 Sejarah Pendidikan Islam

Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebu- tuhan,


mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga
pendidikan tinggi Islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam
Al-Mulk (1064 M).23 Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk
seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab yang empat.
Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan di
Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan
Syafi’i dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di
kota Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sum- bangan
Islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa
dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara
terlalu kuat terhadap madrasah ini. Akibat- nya kurikulum madrasah
ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi.
“Pemakruhan” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-
ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah,
mereka yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa
belajar sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkem-
bang di lembaga nonformal.

23 Pada prinsipnya madrasah ini bukanlah yang pertama dilihat dari seja- rah
berdirinya. Namun inilah madrasah pertama yang mendapat pengakuan dan dukungan
pemerintah dan sekaligus menjadi cikal bakal dari madrasah- madrasah sesudahnya.
Dan anggapan yang berkembang bahwa Islam Sunni memperoleh kemenangan berkat
dukungan negara tidaklah semuanya benar. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan negara
yang baru selalu mengikuti kecenderungan yang sudah berakar di kalangan masyarakat.
Adalah jelas sekali bahwa Dinasti Fatimiyah, walaupun mereka melakukan usaha-usaha
untuk menyebarkan doktrin Ismailiyah melalui pendidikan dan sarana-sarana lain, tapi
gagal untuk menimbulkan dampak berskala besar di masyarakat. Lihat Fazlur Rahman,
op. cit., hlm. 268.
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik 125

Kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan ter- hadap


lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada
pandangan yang terus-menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas
dan hidup ini singkat, maka orang harus memberikan prioritas, dan
prioritas itu dengan sen- dirinya diberikan pada sains-sains agama
yang membawa kejayaan di akhirat. 24 Sedangkan menurut Azra,
karena me- mang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang
ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya
madrasah dari dana wakaf yang diberikan oleh para dermawan dan
penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan
untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu
agama karena dianggap mendatangkan pahala. Pada pihak lain, para
penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena
didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk
menegakkan “ortodoksi” Sunni, sering mendikte madrasah untuk
tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”. 25
Namun penulis tidak mau meng-”kambing-hitam”-kan
madrasah sebagai penyebab kemunduran ini, walaupun tentu saja, ia
mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Sebab,
sebenarnya penurunan kualitas ilmu pengetahuan Islam adalah
kekeringan yang gradual dari ilmu-ilmu keaga- maan karena
pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang juga
kemudian mata.

Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual,


24 Fazlur

Bandung: Penerbit Pustaka, 1995, hlm.39. p Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi


dan Kemajuan Sains: Sebuah
Pengantar” Pengantar buku Stanton, op. cit., hlm. ix.
126 Sejarah Pendidikan Islam

D. KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan Islam mengalami kemajuan yang
mengesankan selama periode “abad klasik” melalui orang- orang
kreatif, seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Masudi,
Al-Tabari, Al-Ghazali, Nasil Khusru, Omar Khayyam dan lain-lain.
Pengetahuan Islam telah melakukan investigasi dalam ilmu
kedokteran, teknologi, matematika, geografi dan bahkan sejarah.
Namun semua ini dilakukan di dalam frame work, keagamaan dan
skolastikisme.
Suatu sebab yang menjadikan Islam dapat menghasilkan ilmu
pengetahuan begitu banyak dalam waktu yang singkat, kemudian
menjadi steril sedemikian cepat, dapat diketahui melalui sifat dasar
skolastikisme Islam itu juga. Bersifat kreatif dan dinamis pada satu
sisi, tetapi juga reaksioner dan finalistik di sisi lain. Sementara itu,
beberapa orang khalifah dan para crusader Islam membakar
perpustakaan-perpustakaan dan membungkam para cendekiawan,
sedangkan lainnya berbangga menjadi penyalin dan penyalur buku
untuk dijadi- kan perpustakaan besar dan menjadikannya sebagai
pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum.
Bagaimanapun juga, Islam tetap kreatif dan progresif sepanjang
kebebasan berpikir dan investigasi menandingi fatalisme. Sepanjang
Islam menganggap dunia adalah buku yang terbuka untuk dibaca
dan dipahami oleh semua orang; apabila unsur-unsur fatalisme dan
ortodoksi tertanam dalam skolastikisme, maka ia dapat memberi
pengaruh yang nyata. Dan apabila unsur-unsur dinamis dan liberal
menyerah kepada kepatuhan total pada ortodoksi nasib dan berganti
menjadi kepasrahan pada konsep-konsep takdir dan nasib, serta
menga-
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik

lahkan semangat investigasi, berinovasi dan mencipta, maka obor


tersebut telah diserahkan dari Islam kepada Renaisan Eropa. Wa Allah
Alam bi al-Sbawab.
129
BAB X

Kehidupan Para Siswa


di Zaman Islam Klasik
Oleh: Nurika Khalila Daulay

A. PENDAHULUAN
Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendi- dikan
yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendi- dikan. Tanpa
anak didik, pengajaran tidak akan ada dan pendidikan tidak akan
terjadi. Sebagai salah satu komponen pendidikan, anak didik
mendapat perhatian yang serius dari para ahli pendidikan. Untuk
keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran khususnya, dan
pendidikan pada umumnya, anak didik harus diperlakukan sebagai
subjek dan objek. 1
Istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan term students
(siswa); yaitu tilmidh, (jamak talamidh, talamidha) yang berarti murid, dan
talib (seeker of knowledge), (jamak talaba, tullab) yang berarti orang yang
menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa. 2

1 Maksud anak didik sebagai subjek dan objek adalah anak didik tidak hanya pasif
menerima segala apa yang diberikan guru, tetapi mereka juga aktif mengolah dan
mencari informasi dari berbagai sumb.er. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 79.
2 George Makdisi, The Rise of Colleges, Institutions of Teaming in Islam and
130 Sejarah Pendidikan Islam

Pembahasan ini berusaha menyajikan uraian tentang kehi-


dupan siswa di masa Islam klasik, mencakup karakteristik (yang
paling menonjol) dalam kehidupan penuntut ilmu itu (murid dan
mahasiswa), yakni perihal biaya, waktu dan lama belajar, serta pola
sosial kehidupan mereka.

A. KEHIDUPAN PARA SISWA DI MASA ISLAM KLASIK

1. Karakteristik Murid

a. Pengertian dan Batasan Murid


Murid adalah anak yang sedang berguru, 3 yang memper- oleh
pendidikan dasar dari satu lembaga pendidikan. 4
Di awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu tidak ada
perbedaan. Ketika Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi
kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengeta- huan dan
pengalaman tentang ajaran Islam dari Rasulullah Saw. Dalam
kenyataannya, tidak semua sahabat dapat me- manfaatkan
kesempatan untuk menimba ilmu dari beliau. Hal ini bisa dipahami
karena para sahabat mempunyai pe- kerjaan dan aktivitas yang
beraneka.
Kegiatan pendidikan pada permulaan Islam di rumah Al- Arqam
bin Abi Al-Arqam. Selanjutnya berpindah ke masjid.

the West, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981, hlm. 175. Lihat juga Abuddin
Nata, loc.cit.
3 W.J.S.Poerwadarminta, Kamus,Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982,

hlm. 664.
4 Muniruddin Ahmad, Muslim Education and the Scholars Social Status upto the 5th Century

Muslim Era (11th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad, Verlag: Der Islam Jurich,
1968, hlm. 143.
Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik 131

Dalam perkembangannya kemudian, kaum Muslim memerlu- kan


tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka
menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan Sasar. 5
Di kuttab, para murid mendapatkan pengajaran berupa
keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis Alquran dan
dasar-dasar agama. 6 Menurut Hodgson, pendidikan Islam tingkat
dasar adalah tempat bagi murid untuk belajar mem- baca dan
menulis. 7 Sementara menurut Stanton, pada abad pertama Hijriyah,
pelajaran di sekolah tingkat rendah difokus- kan pada pelajaran
menulis dan membaca. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran
berkembang dengan diajarkannya ilmu keagamaan, aritmatika, tata
bahasa, syair dan sejarah. 8
Dari gambaran di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan mata
pelajaran yang diberikan, sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu.
Pada permulaan Islam, belajar membaca dan menulis adalah
kebutuhan mendesak. Karena itu, fokus pemberian pelajaran adalah
keterampilan membaca dan menulis. Setelah Islam berkembang dan
kontak dengan dunia

5 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1988,

hlm. 111.
6 Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, him.

101. Lihat juga Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, hlm. 26.

Lihat Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam, Conscience and His-


tory in World Civilisation, Chicago: The University Chicago Press, 1974, hlm. 18, dan
Philip K.Hitti, History of the Arab, London: The MacMillan Press Ltd.1974, hlm. 408.

Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H.Afandi dan Hasan
Asari, Jakarta: Logos, 1994.
132 Sejarah Pendidikan Islam

luar semakin intens, pelajaran dasar tidak cukup dengan hanya


membaca dan menulis, tetapi pelajaran baru pun dimasukkan.
Pada masa klasik, tidak ada ketentuan pasti tentang ba- tasan
umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. Para murid yang
memasuki lembaga pendidikan dasar ini berva- riasi. Ada murid yang
mulai memasuki kuttab berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh
tahun dan bahkan ada yang berumur sepuluh tahun. 9
Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tam- paknya
terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi
fisik dan mental, tetapi juga dari segi ekonomi.

b. Biaya dan Lama Belajar


Biaya selama belajar di kuttab pada dasarnya dibebankan kepada
keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah uang
yang dibayar pada setiap minggu atau setiap bulan. Terkadang
pembayaran itu dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai
pengganti uang. 10 Bagi murid yang berasal dari keluarga miskin,
diberikan kesempatan belajar secara cuma-cuma.11 Selain itu, ada pula
orang tua yang meni- tipkan anaknya kepada seorang guru, dan untuk
biaya selama anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut

9 Hasan Asari, op. cit., hlm. 21.


10 Ahmad Sjalaby, Sefarab Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latif,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 231.
11 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

1979, hlm. 32.


Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik 133

sejumlah harta/biaya. Dalam kasus terakhir ini dialami oleh Al-


Ghazali dan saudaranya. 12
Lama belajar di kuttab bergantung pada kemampuan anak didik.
Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan belajarnya dalam
waktu relatif singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan malas
memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan pelajaran. Meskipun
demikian, umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima tahun. 13
Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah kemampuan
murid menghafal Alquran.14

3. Keadaan Murid
Menurut Mahmud Yunus, 15 para murid di kuttab belajar enam
hari dalam seminggu. Pelajaran dimulai pada hari Sabtu dan berakhir
pada hari Kamis. Waktu belajar dimulai pada pagi hari dan berakhir
setelah selesai shalat Asar. Biasanya sehabis shalat Zuhur para murid
pulang ke rumah untuk makan. 16
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa para murid pada
siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para

12 Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka

Al-Husna, 1988, dan Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al- Gbazali, Jakarta: Bumi Aksara,
1991, him. 8.
l3 Lihat Mahmud Yunus, Sedjarah Pendidikan Islam, Djakarta: Mutiara,

1966, hlm. 47.


14 Mahmud Munir Mursa, Al-Tarbijah Al-lslamiyyah, Ushuluha wa
'Tathawuruha fi Al-BiladAl-Arabiyah, Cairo: Alam al-Kitab, 1977, hlm. 96.
13 Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 44.
16 Lihat Mahmud Munir Mursa, op. cit., hlm. 96.
134 Sejarah Pendidikan Islam

murid lainnya di kuttab. Adapun murid yang berada dalam


pemeliharaan seorang guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih
lama dari murid-murid lain yang harus pulang ke rumah setelah
pelajaran selesai. Karena itu, dapat diasumsi- kan bahwa guru yang
mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua. 17
Apakah pendidikan dasar di kuttab hanya diikuti oleh murid lelaki
saja? Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan
anak laki-laki dalam belajar, karena menuntut ilmu adalah wajib bagi
orang Islam. Walaupun begitu, keikutsertaaan wanita belajar secara
terbuka diperse- lisihkan. 18 Sjalaby menolak adanya murid perempuan
ikut secara langsung belajar dengan murid lelaki di kuttab, mes- kipun
dia mengakui adanya pengajaran untuk wanita dan anak-anak
perempuan. 19

2. Karakteristik Mahasiswa
a. Pembagian Mahasiswa
Mahasiswa adalah pelajar pada perguruan tinggi. 20 Me- reka yang
belajar di perguruan tinggi harus melewati pendi- dikan dasar dan
menengah. Berbeda dengan sekarang, di masa

17 Ali Al-Jumbulati, op. cit., hlm. 102-3.


18 Meskipun menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam (laki- laki dan
perempuan), tapi kepergian anak-anak perempuan bersama-sama anak laki-laki ke
kuttab kadang-kadang tidak disukai oleh sebagian ulama, dengan alasan bahwa belajar
bersama seperti itu dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Asma Hasan
Fahmi, loc. cit.
19 Ahmad Sjalaby, op. cit., hlm. 336.
20 Poerwadarminta, op. cit., hlm. 619.
Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik 135

klasik seorang mahasiswa cukup menyelesaikan pelajaran di lembaga


pendidikan dasar. Mahasiswa ditujukan pada mereka yang belajar di
halaqah-halaqah dalam masjid atau di madrasah sebagai kelanjutan dari
kuttab atau pendidikan dasar.
Pada masa klasik ini, mahasiswa diklasifikasikan 21 ke dalam: (1)
tingkat mahasiswa relatif, (2) penerima beasiswa, (3) mahasiswa
inti/pilar, dan (4) peserta di kelas.
Tingkat mahasiswa relatif terbagi kepada pemula (mub- tadi),
pertengahan (mutawassit) dan tertinggi (muntahin). Sementara mahasiswa
inti/pilar (foundationer) dibagi ke dalam mutafaqqih dan faqih. Mutafaqqih
adalah mahasiswa yang berada di tingkat akhir (muntahun) dalam kelas
regular. Sedangkan faqih adalah mahasiswa yang sudah selesai di
tingkat akhir dan mendapat persetujuan (licence) untuk mengajar fiqih
dan memberi fatwa resmi.
Pembagian mahasiswa oleh Makdisi ini tampaknya dili- hat dari
berbagai sudut pandang. Ada pembagian mahasiswa dilihat dari
tingkat sebagaimana pembagian pada umumnya. Ada pembagian
mahasiswa dilihat dari jumlah beasiswa yang diperoleh dan ada
pembagian mahasiswa dilihat dari keaktifan mereka mengikuti
perkuliahan.

b. Waktu dan Lama Belajar


Waktu belajar empat hari dalam seminggu. Tiga hari lain- nya
yaitu Selasa, Jum’at, dan Sabtu sebagai hari libur. Jadwal kegiatan
hari-hari normal di madrasah dan masjid akademi

21 George Makdisi, op. cit., hlm. 171.


136 Sejarah Pendidikan Islam

dimulai pada pagi hari dan berakhir pada malam hari. Pagi hari
sampai tengah hari diisi oleh syaikh, selanjutnya pada sore hari
sampai malam diisi oleh mu'id (mahasiswa paling senior) dan mufid
(mahasiswa senior yang membantu maha- siswa pemula). Mu’id dan
mufid mengulangi materi yang diajarkan oleh syaikh sebelumnya. 22
Lama belajar bagi mahasiswa untuk menyelesaikan bidang
hukum, selama empat tahun. Selanjutnya untuk mem- pelajari bidang
studi lain sampai mereka mendapat ijazah mengajar memerlukan
waktu yang berbeda bagi setiap maha- siswa. Ibn Wahab (197/813)
belajar dengan Malik bin Anas selama 20 tahun. AU bin Isa Al-Raba’i
(410/1019), belajar di bawah asuhan Abu Ali Al-Fahrisi selama 20
tahun. Sharif Abu Ja’far belajar dengan Qadi Abu Ya’la kurang lebih
23 tahun. 23
Ada juga sebagian mahasiswa yang belajar di bawah asuhan guru
besar yang berbeda. Ibn Al-Banna misalnya, dia belajar fiqih di
bawah asuhan Abu Tahir bin Al-Ghubari (432/1014), Abu Ali bin
Musa (428/1037), Abu Al-Fadl (410/1019) dan Abu Al-Faraj Al
Tamimi (425/1034). Abd Al-Ghafir Al-Farisi belajar dengan
pamannya, kemudian belajar dengan Abd Al-Razzaq Al-Mani’i,
setelah itu dia belajar dengan Imam Al-Haramain Al-Juwaini selama
empat tahun.24

22 Ibid., hlm. 95. Lihat juga Charles Michael Stanton, op.cit., hlm. 59. 23 Ibid.,

hlm. 97.
24Ibid., hlm. 98.
Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik 137

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa berbedanya alam


belajar untuk satu orang mahasiswa terkait dengan mata kuliah yang
diambil, dosen (syaikh) yang mengajar dan kemampuan siswa itu
sendiri.
Hanun Asrohah menyatakan, alasan mengapa batas waktu yang
harus ditempuh oleh para siswa tidak seragam adalah:
• Karena guru-guru, bahkan lembaga-lembaga pendidikan tidak
pernah menawarkan pelajaran khusus yang harus diselesaikan
pada waktu tertentu; dan
• Sudah menjadi ciri sistem pendidikan Islam di masa klasik,
bahwa pelajar diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja
dan kapan saja ia menyelesaikan pelajarannya. 25

c. Keadaan Mahasiswa

Tidak terbatasnya waktu yang ditempuh oleh seseorang


mahasiswa untuk memperdalam satu bidang studi mem- berikan
kesempatan kepada mahasiswa menjadi orang yang ahli dalam
bidangnya. Seorang mahasiswa juga bebas memilih dosen yang
disukai dan berganti dengan dosen lain yang dianggap lebih baik.
Kebebasan ini memberikan kesempatan kepada maha- siswa
memiliki jaringan guru dengan aneka pengalaman yang didapat. Para
mahasiswa menurut Ahmed 26 membuat daftar para dosen yang
pernah mengajarnya. Daftar ini sebagai

25 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1999, hlm. 83-
4.
26 Muniruddin Ahmad, op. cit., hlm. 154.
138 Sejarah Pendidikan Islam

bukti bahwa dia belajar kepada guru/ulama (dosen) yang ter- kenal.
Tampaknya, bagi mahasiswa tertentu belajar dengan beberapa dosen
memberikan kebanggaan tersendiri.
Mahasiswa pada masa klasik, terbagi kepada mahasiswa yang
belajar di masjid Jami27 secara halaqah dan mahasiswa yang belajar di
madrasah-madrasah. Mahasiswa yang belajar di masjid Jami’ ada yang
tinggal di rumah-rumah dekat masjid dan ada pula yang tinggal di
asrama. Mereka pada umumnya belajar secara cuma-cuma.28 Berbeda
dengan mahasiswa yang khusus belajar di rumah dosen tertentu,
mahasiswa ini harus membayar sesuai kesepakatan dengan dosen
tersebut. Semen- tara itu, mahasiswa yang belajar di madrasah bisa
mengajukan beasiswa dan fasilitas asrama. 29
Para mahasiswa yang belajar, mereka duduk mengelilingi
seorang syaikh (dosen). Mahasiswa yang memiliki pengetahuan lebih
tinggi duduk di depan. Beberapa di antaranya menjadi shuhbah
(persahabatan). Mereka ini memiliki pergaulan yang akrab dengan
dosen. Bahkan ada di antara mereka yang diang- kat menjadi mu’id
atau mufid. Mu’id atau mufid ini membantu dosen untuk membimbing
para mahasiswa pada sore hari. 30

27 Dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi masih lebih dikenal
dengan nama al-Jami’ah, yang secara historis dan kelembagaan berkaitan erat dengan
masjid jami’- masjid besar tempat berkumpul jama an untuk menunaikan shalat Jum’at.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999, hlm. viii.

28 George Makdisi, op. cit., hlm. 14.


29 Charles Michael Stanton, op. cit., hlm. 58.
30 Lihat Hasan Asari, op. cit., hlm. 40, dan Stanton, op. cit., hlm. 60.
Kehidupan Para Siswa di Zaman Islam Klasik 139

C. KESIMPULAN
Umur murid yang belajar di kuttab bervariasi. Perbedaan itu
disebabkan tidak adanya ketentuan tegas tentang umur murid yang
akan memasuki kuttab. Para murid juga tidak semuanya harus
membayar biaya pelajaran. Bagi murid yang keluarganya miskin,
belajar di kuttab bisa dengan cuma- cuma. Murid-murid di kuttab lebih
banyak menghabiskan waktu siang mereka bergaul dengan guru dan
sesama murid. Hal ini disebabkan waktu belajar mereka cukup lama,
yaitu sejak pagi hari sampai selesai shalat Asar. Lamanya waktu
mereka di kuttab memungkinkan guru membina para murid- nya
dengan baik. Murid-murid yang cerdas akan dapat me- nyelesaikan
pelajaran relatif lebih cepat, dan selanjutnya mereka meneruskan
pelajaran di halaqah masjid Jami’ atau madrasah. Ukuran kelulusan
seorang murid adalah kemam- puan menghafal Alquran.
Mahasiswa, dibagi kepada tingkat mubtadi, mutawassit, dan muntahi.
Pada tingkat muntahi, mahasiswa terbagi kepada mutafaqqih dan faqih.
Mahasiswa yang menyelesaikan kesarjanaannya diberi kesempatan
untuk memperdalam bidang studi tertentu yang diminati. Mereka
memerlukan waktu yang bervariasi untuk menyelesaikan bidang
studinya di bawah asuhan seorang atau beberapa orang guru besar.
Para mahasiswa ada yang mendapat beasiswa, dan ada yang
Mendapat fasilitas asrama. Mahasiswa sebuah madrasah bisa
Mendapatkan beasiswa dan fasilitas asrama, sedang maha- siswa di
halaqah masjid Jami’ hanya mendapatkan fasilitas asrama. Meskipun
demikian, mahasiswa di halaqah masjid
Sejarah Pendidikan Islam
140

dan masjid Jami’ tidak dipungut bayaran. Kecuali bagi me- reka yang
belajar di rumah dosen-dosen (syaikh) tertentu, mereka harus
membayar sesuai kesepakatan dengan dosen (syaikh) bersangkutan.
141

BAB XI

Guru Masa Klasik


(Kajian Historis Tentang Status Sosial dan Peran Guru)1
Oleh: Moh. Miftachul Choiri, S. Ag.

A. PENDAHULUAN
Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas dan tanggung
jawab yang berat sekaligus mulia. Dikatakan berat karena guru
mengemban kepercayaan (amanat) yang diberi- kan oleh masyarakat
guna melaksanakan fungsi pendidikan. Pemberian amanat masyarakat
tersebut tidak hanya berorien- tasi pada transformasi ilmu
pengetahuan (menghafal beberapa materi pelajaran), tetapi juga
sebagai murabbi dan sebagai dinamisator masyarakat.1 Sebagai murabbi ia
bertanggung jawab memantau perkembangan kepribadian anak dari
segala dimensinya sedangkan sebagai dinamisator masyarakat ia
bertanggung jawab memberikan pelayanan yang baik, mem-
bangkitkan mereka dan mengangkat derajat mereka ke arah yang
lebih baik. Keberhasilan seorang guru dalam mengem- ban tugasnya,
baik sebagai murabbi maupun sebagai agen

1 Makalah
dipresentasikan Dalam Diskusi Kelas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan
Islam pada hari Jumat, tanggal 10 November 2000 di Jurusan Pendidikan Islam
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2 Hasan Hafidz dkk, Usbulal-Tarbiyah wa ‘ilmu al-Nafs, 1956, hlm. 73.
Sejarah Pendidikan Islam
142

perubahan dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kua- lifikasi


dan kompetensi yang mereka miliki. Tidak mungkin bagi mereka
yang tidak mempunyai kualifikasi dan kom- petensi dapat menjadi
guru yang berhasil. Karena itu, untuk menjadi seorang guru
dibutuhkan beberapa persyaratan dasar yang harus dimiliki oleh
setiap guru.
Sejarah membuktikan bahwa guru yang tidak mempunyai
kompetensi dan kualifikasi mengajar, menyebabkan kualitas
pendidikan menjadi tidak bermutu dan tidak diperhatikan oleh
masyarakat, bahkan masyarakat kurang dapat menghar- gai kepada
guru sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Hal ini
sebagaimana pernah terjadi pada masa klasik, para guru sekolah
kanak-kanak (muallim kuttab) kurang mendapat perhatian dan
penghargaan dari masyarakat dika- renakan mereka teledor dalam
melaksanakan tugas pen- didikan. Mereka mempunyai tabiat yang
kurang baik (suka marah) 3 , mengajarkan ilmu tidak sesuai dengan
informasi yang semestinya (suka memanipulasi ayat) 4 dan bahkan
menjadikan profesi keguruan sebagai pilihan yang terakhir setelah
mereka tidak bisa mencari pekerjaan lain karena kebodohan mereka. 5
Beberapa dengan mu'allim kuttab yang terkesan tidak profesional
dan tidak mempunyai kompetensi, mu’allim kuttab

3 Ketika anak membaca Quran sampai pada sebuah ayat yang bunyinya Wa inna

la’nata 'alaika kemudian anak berhenti membaca dan melihat wajah gurunya maka
gurunya meneruskan Wa inna la’nata 'alaika wa 'ala walidaika-
4 Ketika anak membaca ayat Alquran Ghulibat al-ruum maka oleh guru diganti Ghulibat

al-Turki dengan alasan baik Roma maupun Turki dia sebut sebagai musuh mereka, maka
antara Roma dan Turki tidak ada bedanya.
5 Ahmad Salaby, Sejarah Pendidikan Islam (terj.) 1973, hlm. 208-209.
Guru Masa Klasik 143

yang mempunyai kompetensi dan dapat melaksanakan ama- nat yang


diberikan oleh masyarakat. Karenanya ia dihargai dan dihormati,
bahkan mereka dianggap telah berhasil me- rintis jalan bagi anak
didik karena dapat menghantar anak didiknya mencapai kedudukan
dan pangkat yang tinggi. Penghargaan ini juga diberikan kepada para
muaddib (pendidik putera mahkota), karena profesi ini mulia dan
sangat dihor- mati. Untuk menjadi seorang muaddib harus alim
(pandai), berakhlak mulia dan dikenal masyarakat.
Mencermati peranan dan eksistensi guru dalam kehidupan
masyarakat klasik sebenarnya hal tersebut banyak dipengaruhi oleh
faktor internal yang ada dalam diri guru. Apabila guru dapat
memainkan peranan yang diberikan kepada dia dengan baik, niscaya
ia akan mendapat penghargaan dari masyarakat. Begitu pun
sebaliknya, apabila ia teledor dan tidak bertang- gung jawab, niscaya
ia akan dicemooh oleh masyarakat.

A. KOMPETENSI MENGAJAR GURU PADA MASA KLASIK


Menurut Mas’ud Khasan Abdul Qohar (1990:129) Kompetensi
adalah kekuasaan, wewenang atau hak yang didasarkan pada
peraturan tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar menurut Uzer
Utsman (1992) adalah wewenang guru untuk melaksanakan tugas
mengajar berdasarkan per- syaratan-persyaratan tertentu, di
antaranya adalah syarat yang berkaitan dengan fisik dan nonfisik.
Menurut Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati, 1997; 83) bahwa
syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa Khalifah
Fatimiyah di Mesir secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua)
syarat:
144 Sejarah Pendidikan Islam

1. Syarat Fisik:
1) Bentuk badannya bagus
2) Manis muka (selalu berseri-seri)
3) Lebar dahinya
4) Bermuka bersih.
2. Syarat Psikis:
1) Berakal sehat
2) Hadnya beradab
3) Tajam pemahamannya
4) Adil terhadap siswa
5) Bersifat perwira
6) Sabar dan tidak mudah marah
7) Bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya
8) Perkataannya jelas, mudah dipahami
9) Dapat memilih perkataan yang baik dan mulia
10) Menjauhi perbuatan yang tidak terpuji.

Abdurrahman Al-Nahlawi (1989) menyarankan agar guru dapat


melaksanakan tugasnya dengan baik, ia harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Tingkah laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani, hal ini
sebagaimana telah dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 79:
Akan tetapi hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani. Yakni,
hendaknya dapat mentaati, mengabdi dan mengikuti syariat
Allah. Jika guru telah memiliki sifat rabbani, maka tujuan
mendidikpun menjadi optimal ka- rena guru dapat
mengantarkan anak didiknya mencapai ketaatan yang lahir dari
proses pembentukan kesadaran.
2. Guru harus ikhlas. Sebagai seorang guru hendaknya pro- fesi
guru dijadikan sebagai wahana untuk semata-mata
Guru Masa Klasik 145

mengharapkan ridha Allah. Jika guru telah dikuasai oleh hawa


nafsunya, yang terjadi adalah guru menjadikan profesi
mengajar sebagai pekerjaan sampingan karena pada umumnya
pendapatan seorang guru rendah, dan hal inilah yang
menyebabkan mereka akhirnya tidak serius dalam mengajar.
3. Guru sabar dalam mengajarkan berbagai ilmu penge- tahuan
kepada anak-anak. Hal ini memerlukan latihan yang berulang
kali serta variasi metode yang tidak mudah membosankan.
4. Guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukan- nya.
Tanda kejujuran itu ialah menerapkan anjurannya pertama-
tama pada dirinya sendiri.
5. Guru senantiasa membekali dirinya dengan ilmu penge -
tahuan dan bersedia untuk meningkatkan kualitas pribadinya.
6. Guru mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara
bervariasi dan mampu memilih metode sesuai dengan
kebutuhan anak.
7. Guru mampu mengelola siswa, tegas bertindak serta
meletakkan berbagai permasalahan secara profesional.
8. Guru mempelajari kehidupan psikis anak selaras dengan tingkat
usia perkembangannya, sehingga ia dapat mem- perlakukan
siswa sesuai dengan kemampuan akal dan kesiapan psikis
mereka.
9. Guru tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkem- bangan
dunia yang mempengaruhi perkembangan jiwa anak, sehingga
ia dapat memahami dan mampu bertindak pada saat
menghadapi berbagai problem akibat dari modernitas.
146 Sejarah Pendidikan Islam

10. Guru bersikap adil kepada semua anak didiknya, tidak


membedakan antara satu dengan lainnya.

B. PRANATA SOSIAL DAN GURU


Menurut Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat
diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan adalah;

1. Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-


kuttab)
Para mu’allim kuttab (guru sekolah kanak-kanak) mem- punyai
status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan
mereka yang dangkal dan kurang berbo- bot. Mereka dituduh
menyebabkan lahirnya image (kesan) yang kurang baik terhadap
profesi guru. Di kota Palermo terdapat kurang lebih 300 orang guru
muallim al-kuttab yang kebanyakan di antara mereka menderita sakit
sawan, ceroboh dan bodoh. 6 Namun demikian, tidak semua mu'allim
kuttab ceroboh dan bodoh. Ada sebagian di antara mereka yang ahli
dalam bidang sastra, ahli khat dan fuqaha’. Mereka inilah golongan
guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti Al-Hajaja,
Al-Kumait, Abdul Hamid Al-Katib, Atha’ bin Abi Rabah dan lain-
lain.

2. Para guru yang mengajar para putera mahkota (Muaddib)


Berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib (pen- didik putera
mahkota) mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit
para ulama yang mendapat kesempatan

6Ibid., hlm. 207. Lihat pula Ziauddin Alavi., hlm. 69.


Guru Masa Klasik 147

untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi


muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim,
berakhlak mulia dan dikenal masyarakat. Namun demikian, ada
beberapa ulama yang menolak untuk menjadi muaddib di istana raja,
seperti Al-Chalil ibnu Ahmad (ulama besar pada masa Al-Amin). Hal
ini disebabkan karena adanya alasan takut dengan kenikmatan dunia
(zuhud dan wara) bukan karena alasan bahwa muaddib tersebut adalah
peker- jaan yang rendah dan tidak mempunyai penghargaan di
tengah- tengah kehidupan masyarakat. Di antara beberapa muaddib
yang terkenal adalah Al-Dhohhak ibnu Muzahhim Amir Asl-Sya’bi
(pendidik putera-putera Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan), Al-
Ja’du ibnu Adham (pendidik Marwan ibnu Muhammad), Yahya ibnu
Chalid Al-Barmaki, Al-Kisai (pendidik Harun Al-Rasyid), Al-Ahmar
(pendidik Al-Amin), Al-Jazidi (pendidik Al-Makmun), dan lain
sebagainya.

3. Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid


dan sekolah-sekolah
Guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat
kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masya- rakat. 7
Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan
yang begitu mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah
guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Banyak
para guru yang dibunuh pada masa Khalifah Abdul Malik Ibnu
Marwan karena menganut paham Khawarij. Namun ada beberapa
guru yang berhaluan

7 Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam. 1990. hlm. 128.


148 Sejarah Pendidikan Islam

khawarij selamat dari pembantaian karena keilmuan yang ia miliki.


Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di
kalangan masyarakat, di antaranya adalah Abui Aswad Al-Duali,
Hasan Al-Basri, Abu Wada’ah, Syuraik Al-Qadhi, Muhammad ibnu
Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.

D. PERANAN GURU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT


Sungguh tidak diragukan lagi bahwa keberadaan guru dalam
kehidupan masyarakat mempunyai ard yang penting. Sosok jiwa
yang bersih sepi ing pamrih senantiasa menjadi dambaan masyarakat.
Guru-guru pada masa klasik selalu dikelilingi oleh para siswa yang
datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan
mendengarkan langsung kajian yang dibawakan oleh gurunya.
Karenanya tidak menghe- rankan apabila sosok individu guru yang
alim dan terkenal lebih dominan daripada lembaga pendidikan yang
formal. Tokoh-tokoh istimewa tertentu, yang telah mempelajari ha-
dis dan membangun sistem teologi serta hukum yang berlaku di
kalangan mereka, senantiasa menarik perhatian murid- mu- rid dari
daerah yang jauh dan dekat untuk menuntut ilmu pengetahuan dari
mereka. Maka ciri utama pada masa ini adalah pentingnya peranan
individu guru. 8
Sang guru atau pendidik, setelah memberikan pelajaran
seluruhnya, secara pribadi memberikan amanat secara lisan kepada
muridnya agar menyampaikan ilmunya kepada siapa

8 Muhaimin dkk. Kontroversi Pemikiran FazlurRabman. 1999, hlm. 73.


Guru Masa Klasik 149

yang membutuhkannya terutama kaum Muslimin. 9 Baru ke- mudian


tradisi memberikan ijazah sebagai bukti atas selesai- nya pelajaran
yang telah diikuti oleh para murid pada masa Syaikh ‘Allamah Agha
Buzurk, salah seorang ulama di al- Najaf telah mencurahkan
tenaganya guna mengumpulkan, mencatat dan menyusun sejumlah
syahadah-syahadah yang pernah dikeluarkan oleh atau untuk ulama-
ulama terkenal. Dokumen ijazah yang terkenal paling tua dalam
sejarah pendidikan Islam ialah ijazah yang dikeluarkan pada bulan
Shafar tahun 304 Hijriah, diberikan oleh Muhammad Ibnu Abdullah
Ibnu Ja’far Al Himyari kepada Abu Amir Said Ibnu ‘Amr, 10 karena
telah menyelesaikan kitab Qurbul Isnad.
Sudah menjadi tradisi pendidikan Islam pada masa kla- sik,
bahwa guru tidak pernah membatasi kapan murid harus selesai
belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan (khatam) kitab yang
dikajinya. Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja
dan kapan saja, dan bahkan guru tidak pernah menawarkan
pelajaran secara khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada
waktu tertentu. 11
Walaupun demikian, tidak berarti guru bebas melepas- kan
muridnya ke manapun ia pergi dan mencari ilmu. Guru tetap
mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan murid

9 Hal ini sebagaimana dialami oleh Abu Yusuf, ketika ia sakit berat lalu dijenguk

oleh gurunya yakni Imam Abu Hanifah Al-Nu’man seraya berkata: Aku harapkan
engkau untuk mengajar kaum Muslimin sesudahku”.
10Op. cit., Ahmad Syalabi, hlm. 259.
11 Ahmad Muniruddin, Islam Education and The Scholar's Social Status up to the 5 th Century Muslim
Era (11 th Century Christian Era) in the Eight of Tarikh Baghdad, 1968, hlm. 147.
150 Sejarah Pendidikan Islam

yang pernah belajar kepadanya. Hal ini sebagaimana diung- kapkan


oleh Al-Jarnuzi dalam kitabnya Ta’lim al-Muta'allim bahwa untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan membutuh- kan arahan guru.
Karena guru dianggap telah mengetahui bakat yang dimiliki oleh
murid, sehingga guru bertanggung jawab atas keberhasilan
muridnya.
Kemudian secara sosiologis guru mempunyai tanggung jawab
terhadap masyarakat yang berada di sekitar madrasah. Karena
keberadaan madrasah akan mempunyai dampak yang positif bagi
masyarakat manakala madrasah dapat mem- bantu memainkan
peranan dalam pembangunan masyarakat. Selain itu, guru juga
mempunyai tanggung jawab dalam me- mantau perkembangan anak
didik yang berada di lingkungan masyarakat sekitar madrasah.
Bagaimana pergaulan anak dan peranan apa yang dapat dimainkan
anak. Guru mempunyai tugas mengontrolnya sekalipun guru sendiri
secara sosio- logis punya kewajiban untuk menjadi dinamisator
dalam kehidupan masyarakat. 12
Guru pada masa klasik memegang peranan yang pen- ting
dalam proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan
sampai melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
apabila pada masa ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru
pada masa ini secara teratur sudah melaksanakan tugas dan
memberikan secara sungguh-sungguh dan memperlakukan murid
secara adil tanpa ada diskriminasi-
Menurut Hasan Hafidz (1959: 72) secara umum peran guru
dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni sebagai murabbi

12
Op. cit., Hasan Hafidz. hlm. 75.
Guru Masa Klasik 151

dan penggerak masyarakat. Sebagai murabbi ia mempunyai tanggung


jawab menjaga kepribadian anak dan mengem- bangkan segala
potensi yang dimilikinya. Sedangkan sebagai penggerak masyarakat,
ia mempunyai kewajiban untuk memberikan layanan kepada
masyarakat dengan baik, mem- bangkitkannya dan mengangkatnya
ke peradaban yang lebih maju.
Dalam pandangan Al-Ghazali, guru sebagai murabbi hendaknya
dapat memberikan pendidikan dan pengajaran terhadap anak
melalui konsep dan latihan budi pekerti dan dihubungkan dengan
lahirnya kebaikan dan kualitas moral. Menurutnya, anak mempunyai
had yang bening dan lembut bagai permata dan lilin yang suatu saat
dapat dibentuk dan dikembangkan. Apabila ia diberi contoh budi
pekerti yang baik dan dibiasakan untuk mengerjakannya, niscaya ia
akan berkembang secara perlahan dan pasti mengarah kepada
kebaikan. 13
Sedangkan guru sebagai penggerak masyarakat, ia diha- rapkan
tidak membatasi diri sibuk dalam kegiatan kelas yang dibatasi oleh
dinding yang memisahkan dirinya dengan kehidupan masyarakat.
Namun ia dapat menyatu dengan masyarakat di mana ia hidup dan
sambil mengontrol perkem- bangan anak didiknya dalam kehidupan
bermasyarakat.
Para muaddib, muallim dan ustad pada masa klasik, me- reka
mampu memainkan peran dalam kehidupan masyarakat dengan cara
bergabung dalam institusi-institusi keilmuan dan

13 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan


Pertengahan (Terj. Abuddin Nata). 2000, hlm. 54.
152 Sejarah Pendidikan Islam

perkumpulan-perkumpulan pribadi yang mereka bangun. Mereka


melakukan transformasi keilmuan secara ekstensif melalui dialog dan
praktik-praktik secara terbuka guna men- didik tenaga profesional
dalam bidangnya, seperti Zakaria Al-Razi, yang mendidik para
tenaga profesional sambil melakukan praktik kedokteran dan
menangani pasien di rumah sakit. Hal ini ia lakukan untuk melatih
tenaga muda yang profesional agar dapat mengabdikan dirinya dalam
kehidupan bermasyarakat. 14

E. ORGANISASI GURU PADA MASA KLASIK


Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam
suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mem- punyai andil yang
besar dalam kekuasaan khalifah. Hal ini tampaknya tidak terlalu
berlebihan, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi yang
mempunyai power yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah,
khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk
menjadi pengajar di suatu masjid. Abu Syamah (dalam A. Syalabi
1973: 277) me- nyatakan “Syarikat gurulah yang berhak untuk
menentukan dan memberikan izin kepada seorang guru untuk
menjadi pengajar di sebuah masjid walaupun khalifah mempunyai
kekuasaan. Namun, dalam hal pemberian izin khalifah me- minta
pertimbangan dan persetujuan kepada syarikat guru”.
Sekalipun organisasi guru pada saat itu belum tertata rapi
sedemikian rupa sebagaimana lazimnya sebuah organi- sasi, tapi
keberadaannya mempunyai andil yang besar dalam

14 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 1999, hlm. 81-82.


Guru Masa Klasik 153

sebuahpemerintahan, dan bahkan organisasi guru dapat dijadikan


corong untuk menyebarkan ajaran atau aliran yang dianut oleh
penguasa. Hal ini sebagaimana yang 'terjadi pada masa Daulah
Fatimiyah, organisasi guru “Dai Daulah” mampu memainkan peran
membantu pemerintah dalam menyebarkan aliran atau ajaran yang
diyakini oleh penguasa pada saat itu.

F. KESIMPULAN
Dari pembatasan di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan
bahwa status sosial guru sangat ditentukan oleh kualitas keilmuan
dan kepribadian masing-masing. Mereka yang mempunyai
kompetensi mengajar yang kualifaid serta dapat memegang amanah
keguruan dengan baik, ia akan mendapat kehormatan dan
penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat.
Sejarah membuktikan bahwa muallim kuttab yang suka marah dan
tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tu- gas keguruannya,
ia dicemooh dan kurang mendapat simpati dari masyarakat.
Sebaliknya muallim kuttab yang mempunyai keahlian dalam bidangnya
dan serius dalam melaksanakan amanahnya sebagai pendidik, ia
dihormati dan disegani, bahkan masyarakat mengucapkan rasa
terima kasih kepada mereka yang luar biasa. Ia dianggap mampu
memberikan dasar-dasar pengetahuan yang kokoh bagi anak-anak
mereka sehingga anak tersebut mampu menggapai prestasi sebagai-
mana yang mereka harapkan. Hal senada juga terjadi pada diri para
muaddib dan guru-guru yang mengajar di masjid- masjid, mereka
mendapatkan pengakuan dari masyarakat
154 Sejarah Pendidikan Islam

karena mereka mampu memegang amanah mereka dengan baik dan


serius.
Tentang peranan guru pada masa klasik, tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa mereka mempunyai andil yang besar dalam memajukan
peradaban suatu bangsa. Sebagai murabbi ia bertanggung jawab
mendidik, membimbing anak secara serius sehingga potensi-potensi
yang dimiliki anak dapat berkembang secara maksimal. Sedangkan
sebagai penggerak masyarakat, guru memberikan pelayanan yang
baik kepada mereka, menyadarkan mereka membangkitkan mereka
dari ketertinggalan, sehingga mereka menjadi kaum yang berbudi
luhur serta berperadaban. Wallahu a’lam bi-al-shawab.
155

BAB XII

Unsur-unsur Filsafat Yunani Dalam


Pendidikan Islam Pada Masa Klasik*
Oleh:SittiSalmiah

A. PENDAHULUAN
Penaklukan daerah-daerah dalam pemerintahan Islam, sejak masa
Khulafaur Rasyidin Umar bin Khattab sampai pada masa Daulah Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah, banyak berpengaruh pada peradaban dan
pendidikan Islam. Dan yang paling berharga dari penaklukan negara-
negara tersebut adalah pengetahuan dari filsafat Yunani.1 Sejak itu dasar-
dasar filsafat Yunani ikut memberikan pengaruh pada kemajuan
pendidikan Islam.
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi bangsa (umat)
yang ingin maju. Tanpa pendidikan, umat itu akan tertinggal dari bangsa
(umat) yang lain. Tarbiyah al-lslam

Makalah dipresentasikan dalam seminar Mata Kuliah Sejarah Pendi- dikan


Islam pada Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 10
November 2000.
1 Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, terj., Logos, Jakarta, 1994
156 Sejarah Pendidikan Islam

telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad Saw. sampai


sekarang. Namun, pendidikan Islam yang dibahas pada makalah ini
adalah sekitar pendidikan Islam masa klasik. Periode klasik menurut
Harun Nasution mulai tahun 650 M- 1250 M 2 . Periode klasik ini
dibagi pula dalam dua masa, yaitu Masa Kemajuan Islam I (650-1000
M) dan masa disintegrasi (1000-1250 M).
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (644 M - 656 M),
Tripoli dan Ciprus serta beberapa daerah lainnya telah dikuasai oleh
Islam. Namun perluasan dan penyebaran wilayah-wilayah Islam
terhenti beberapa tahun akibat perang saudara pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Setelah pemerintahan Islam dikuasai oleh Bani Umayyah dan
selanjutnya oleh pemerintahan Bani Abbasiyah, perhatian bukan
hanya tertuju pada perluasan wilayah Islam, .tapi tertuju pula
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, terutama setelah ada
persinggungan kebudayaan dengan peradaban dan filsafat Yunani.

B. HUBUNGAN ILMUWAN MUSLIM DENGAN FILSAFAT YUNANI


Orang Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempu- nyai
kepercayaan bahwa kebenaran yang diterima semuanya bersumber
dari mitos atau dongeng. Ini berarti kebenaran yang dapat diterima
akal tidak berlaku. Namun sesudah abad ke-6 SM muncullah
sejumlah ahli pikir yang menentang

2 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. I, UI Press Jakarta, 1985.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 157

mitos tersebut, sehingga misteri alam semesta jawabannya dapat


diterima oleh akal. Hal ini sekaligus merupakan cikal bakal filsafat
Yunani.
Ada tiga faktor yang menyebabkan lahirnya filsafat Yunani 3
adalah:
1. Bangsa Yunani kaya akan mitos dan hal itu adalah awal untuk
mengetahui dan mengerti sesuatu.
2. Beberapa karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai
pendorong lahirnya filsafat Yunani yang berisi pedoman hidup
dan nilai-nilai edukatif.
3. Pengaruh ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia di
lembah sungai Nil. Ilmu-ilmu tersebut bukan hanya dipelajari
aspek praktisnya saja, tetapi juga aspek teoretis kreatifnya.
Zaman Yunani terbagi menjadi dua periode yaitu:
a. Yunani Kuno dengan ahli pikir alam, seperti Thales,
Anaximandros, Pythagoras, Xenopanes dan Demokritos.
b. Yunani Klasik dengan ahli pikir, seperti Socrates, Plato dan
Aristoteles. 4
Pada waktu Alexander Yang Agung mengalahkan Darius tahun 331
SM di Arbela sebelah Timur Tigris, dia tidak menghancurkan
peradaban dan kebudayaan Persia. Namun, ia berusaha menyatukan
kedua kebudayaan tersebut, yaitu Yunani dan Persia. Alexander biasa
berpakaian Persia dan

3 Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,


1997. hlm. 29-30.
4Ibid., hlm. 30.
158 Sejarah Pendidikan Islam

malah kawin dengan Statira, seorang wanita Persia. Setelah


Alexander meninggal, negaranya terbagi menjadi tiga kera- jaan,
yaitu Macedonia di Eropa, kerajaan Ptolomeus di Mesir dengan ibu
kota Alexandria dan kerajaan Seleucid di Asia dengan kota-kota
penting, seperti Anioch di Syria, Seleucia di Mesopotamia dan
Bactra di Persi Sebelah Timur.
Ptolomeus dan Seleucus berusaha meneruskan politik
Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia, tapi
tidak berhasil 5. Sungguhpun demikian, peradaban Yunani telah
meninggalkan bekas pada ke dua wilayah tersebut. Sehingga ketika
wilayah-wilayah itu dikuasai oleh Islam, bahasa administrasi yang
digunakan di kantor adalah bahasa Yunani.
Filsafat Yunani ditemukan oleh umat Islam dalam samaran
bahasa Syria yang merupakan campuran antara pikiran Plato dan
Aristoteles, sebagaimana yang ditafsirkan dan diolah oleh para
filosof selama berabad-abad sepanjang masa Hellenisme 6 . Pemikiran
Yunani yang masuk ke Dunia Islam tidak datang dari manuskrip-
manuskrip yang asli. Vitalitas ilmuwan dan filosof Yunani telah
berakhir dengan mundurnya Museum Alexandria. Jembatan yang
meng- hubungkan antara pengetahuan Hellenisme dengan budaya
Islam adalah penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam

5 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 10.

6 F.E.”The Origins of Islamic Platonism: The School Tradition,” dalam Islamic

Philosophical Theology (Albany: SUNY Press), hlm. 14-17, lihat juga Charles
Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, terj., Logos, Jakarta,
1994, hlm. 67.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 159

bahasa Syria yang merupakan bahasa intelektual Timur Tengah.


Bahasa Syria dimengerti oleh ilmuan Persia, Yunani, Yahudi, dan
Kristen yang sedang mencari kebebasan beragama dan stimulan
intelektual di Persia selama dua abad 7, sampai kerajaan Sasaniyah
ditaklukkan oleh bangsa Arab.
Pertemuan pertama budaya Arab dengan Yunani terjadi pada
saat penaklukan Damaskus yang dijadikan sebagai ibu kota provinsi
Syria dan selanjutnya menjadi Ibu Kota Daulah Bani Umayyah. Pada
abad ke-7 M, yaitu pada masa peme- rintahan Bani Umayyah Abdul
Malik Bin Marwan (685-705 M), administrasi yang berbahasa Yunani
diganti dengan bahasa Arab. Alexandria, Antioch, Bactra dan
Jundishapur menjadi pusat ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani.
Walaupun filsafat dan teori Hellenistik telah bersentuhan pada masa
ini, Khalifah Bani Umayyah tidak banyak tertarik dengan kajian
filsafat dan teologi. Mereka lebih banyak tertarik pada per- luasan
kekuasaan kerajaan.
Lain halnya pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu
ketika Khalifah Al-Manshur (754-775 M) dan Khalifah Harun Al-
Rasyid (786-809 M) memerintah, penerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab telah dimulai dan
mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M)
dengan mendirikan pusat pener- jemahan dan Bayt al-Hikmah8. Pada
akhir abad kesembilan, hampir seluruh karya yang diketahui dari
museum Helle- nistik telah diterjemahkan dan tersedia bagi ilmuan
Muslim.

7Ibid., hlm. 78.


8 Ibid., hlm. 95.
160 Sejarah Pendidikan Islam

Hunayn bertugas menerjemahkan manuskrip Yunani ke dalam


bahasa Syria kemudian anaknya dan teman-temannya
menerjemahkan dari bahasa Syria ke bahasa Arab.
Hunayn menerjemahkan hampir semua karya Galen seki- tar
20.000 halaman di antara karya Aristoteles, ia menerjemah- kan
Categories, Physics, Magna Moralia dan Hermeneutics. Karya-karya
Plato, seperti The Republic, Timaeus dan The Lam. Karya Hippokrates,
seperti Aphorisme sedang karya Diosco- rides adalah Materia Medica.
Demikianlah dengan banyaknya buku-buku filsafat Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh ilmuan Muslim, maka
filsafat Yunani pun banyak dikaji dan dipelajari, baik melalui
lembaga pendidikan yang didirikan atau melalui diskusi para
ilmuwan Muslim.

A. DASAR-DASAR PEMIKIRAN FILOSOF YUNANI


Filosof Yunani yang akan dikemukakan di sini adalah:

1. Socrates
Cara berfilsafat Socrates dikenal dengan istilah dialektika, yaitu
cara berfilsafat dengan tanya jawab 9. Socrates tidak bermaksud
memaksakan orang lain menerima suatu ajaran. Dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia berusaha agar teman
bicaranya memperoleh keinsyafan yang lebih mendalam
mengenai sesuatu masalah yang sedang dihadapi, yang pada
umumnya bertalian dengan perilaku manusia dan orang
ditanyapun menyadari bahwa

9 Pringgodigdo dkk., Ensiklopedi Umum, Kanisius, Jakarta, 1977, hlm


270.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 161

melalui pertanyaan Socrates ia telah memperoleh peng- lihatan-


dalamnya. Socrates yakin bahwa hanya dengan cara demikian
penglihatan-dalam dapat menjadi milik ruhani seseorang,
terutama bila penglihatan-dalam itu menyangkut bidang
kesusilaan yang sangat berarti bagi kehidupan manusia 10 .
Socrates menggunakan metode tanya jawab dalam mengajar
atau dalam mengajak orang lain untuk memahami apa yang ada
pada dirinya. Metode tanya jawab adalah metode yang banyak
digunakan dalam mengajarkan agama Islam. Pada masa Nabi
Muhammad Saw., metode ini telah dicontohkan oleh Malaikat
Jibril sewaktu datang bertanya kepada nabi untuk mengajar
umat Islam.

2. Plato
Plato senantiasa mengajarkan agar orang berpangkal pada
sesuatu yang terdapat di atas kenyataan duniawi, tapi sekaligus
berpegang erat pada kenyataan duniawi. Ke- adaan ini harus
senantiasa ditinjau dari segi idea-idea 11. Menurut ajaran Plato
dalam dunia ini kita hanya menang- kap hal-hal yang berubah-
ubah dan fana. Yang selalu berubah-ubah kita ketahui dengan
tangkapan inderawi, sedang yang tetap-tidak berubah-ubah-kita
ketahui de- ngan berpikir. Jiwa menurut Plato adalah sesuatu
yang bersifat immaterial dan terpisah dari badan. Hal ini di-
berikan dengan kekuatan untuk mengetahui kebenaran

10 Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soernargono, Tiara

Wacana, Yogyakarta, hlm. 16.


11Ibid., hlm. 21.
162 Sejarah Pendidikan Islam

yang terakhir. Sedangkan badan membutuhkan jiwa yang


kepadanya ia mengabdi dan mendengarkan perintahnya.
Seseorang yang memiliki sifat-sifat kesalehan di dunia ini
setelah mati akan dikirim ke suatu pulau yang penuh
kebahagiaan dan jiwa yang jahat akan dikirim ke suatu tempat
yang kotor dan penuh penderitaan sebagai hu- kuman 12. Plato
menegaskan bahwa manusia begitu ter- ikatnya pada dunia
tangkapan inderawi, sehingga sukar baginya mendaki ke dalam
dunia ide 13 . Untuk dapat naik memasuki alam ide tersebut
diperlukan pengerahan tenaga kejiwaan yang besar, yang
mengharuskan mening- galkan segenap kegiatan hidupnya.
Namun hanya sedikit orang yang dapat menghasilkan tenaga
yang diperlukan itu, terlebih lagi karena manusia memandang
pemikir itu sebagai manusia khas yang asing bagi dunia. Karya
Plato yang berjudul Negara dan Hukum memperlihatkan bahwa
Plato tidak mengajarkan manusia melarikan diri dari kenyataan
duniawi.
Dalam ajaran Islam diyakini ada jiwa yang tenang (an nafsu
al-muthmainnah) yang akan berada dalam keridhaan Tuhan di
surga, sedang jiwa yang kotor atau berdosa berada dalam
neraka.

12 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Per tengahan, terj.

Abuddin Nata, Montreal-Canada, 2000, hlm. 30.


13 Idealisme, pada umumnya sikap yang menaruh nilai tinggi Pada angan-angan

(ideas) dan cita-cita (ideals) sebagai hasil perasaan. Plato men- ciptakan, dunia di mana
angan-angan kekal mewujudkan kenyataan dan dunia pengalaman biasa menjadi
bayang-bayangnya. Ensiklopedi Umum, op. cit., hlm. 439.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 163

3. Aristoteles
Bila Socrates lekat dengan filsafat dialetikanya,, Plato dengan
filsafat idealismenya, Aristoteles populer dengan filsafat
logikanya. Logika 14 formal adalah hasil ciptaan Aristoteles, inti
ajarannya adalah mengenai penalaran dan pembuktian. Di
Athena Aristoteles pernah mendirikan sekolah yang disebut
sekolah peripatetik, yaitu dengan cara memberikan pelajaran
sambil berjalan-jalan.

4. Neoplatonisme (Plotinus)
Bagi Plotinus yang dipandang bernilai hanyalah peng- hayatan
secara batiniah mengenai persatuan dengan Tuhan. Untuk itu,
dunia lahiriah merupakan sarana dan sekaligus bahaya yang
mengancam. Gagasan mengenai Tuhan merupakan inti
pemikiran Plotinus. Tuhan adalah kebaikan dan merupakan
tujuan segala upaya 15 . Yang Esa, hanyalah kata-kata yang
mengacu kepada hakikat Tuhan, karena keadaan diri-Nya tidak
dapat disebut de- ngan kata-kata. Jiwa merupakan pelimpahan
dari Tuhan, tapi jiwa itu tidak lagi esa. Jiwa ini selalu berusaha
akan kembali kepada Tuhan. Karena segala sesuatu adalah me-
rupakan pelimpahan dari Tuhan, tugas manusia mengem-

14 Cabang ilmu filsafat yang menentukan penghargaan atau penelitian tentang


suatu cara berpikir atau cara mengemukakan alasan-alasan, jika fakta- fakta yang
digunakan dalam cara berpikir itu sebelumnya sudah dinyatakan nar. Logika
memperlihatkan kebenaran sesuatu cara berpikir dan kurang atau tidak
memperdulikan kondisi psikologis yang mungkin menjadi sebab cara berpikir itu.
Logika bukanlah suatu ilmu yang empiris, tetapi ilmu yang bersifat normatif, Ibid.,
hlm. 638.
’Bernard Delfgaauw, op.cit., hlm. 46.
164 Sejarah Pendidikan Islam

balikan segala sesuatu kepada Tuhan. Secara batiniah diri


manusia seperti terbelah, di satu pihak ia tertarik pada benda
jasmani, tapi di lain pihak ia tertarik oleh jiwa. Manusia dapat
tenggelam dalam alam jasmani dan lebur di dalamnya karena
melupakan hakikat dirinya. Namun ia dapat juga dengan jalan
menatap keindahan yang terdapat pada tatanan dunia jasmani
dapat mencuat ke atas sehingga mampu menatap ide-ide, yang
merupa- kan gambaran asli keindahan tersebut 16 . Ketenteraman
hanya dapat dicapai dengan mengatasi segala pemikiran, yang di
dalamnya jiwa menyatu dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh
dengan jalan memurnikan segala sesuatu yang bersifat duniawi
serta segenap keanekaragaman- nya. Keadaan ini disebut oleh
Plotinus sebagai ecstasy17 atau perasaan menyatu dengan Tuhan.
Unsur-unsur filsafat dari para filosof Yunani ini, mem- pengaruhi
sains dan filosof Muslim seperti, Jabir ibn Hayyan, bapak ilmu
kimia dan pendiri laboratorium pertama. Al Khwarizmi,
matematikawan ulung pertama. Al Kindi, filo- sof penggerak dan
pengembang ilmu pengetahuan yang sangat mengandalkan akal
untuk sumber kebenaran tetapi tetap berkeyakinan bahwa wahyu
juga membimbing manu- sia. Al-Farabi, komentator buku-buku
filsafat Yunani, juga termasuk filosof yang kadang memberikan
interpretasi tentang kebenaran ajaran agama dengan filsafat. Ibnu
Sina sebagai bapak kedokteran. Ibn Miskawaih dengan teori
pendidikan

16lbid., hlm. 47.


17 Ibid., hlm. 47, lihat juga Ziauddin Alavi, op.cit., hlm. 21.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 165

etika. Al-Ghazali, dengan pendidikan tasawufnya. Umar Khayyam,


ahli aljabar. Ibn Rusyd, terkenal pula sebagai bapak kedokteran
umum, dan sebagainya.

D. PENGARUH FILSAFAT YUNANI DALAM PENDIDIKAN


ISLAM PADA MASA KLASIK

1. Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Ilmu-ilmu Agama


Upaya untuk menggabungkan pemikiran Islam dengan
pemikiran Yunani mendominasi kehidupan intelektual sepanjang
kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Ilmuan yang
berhubungan dengan Kristen Nestoris yang berasal dari Hira
(sebuah kota kecil antara Basrah, Kufah dan Mesopotamia Selatan).
Kontroversi terjadi setelah diperke- nalkan karya-karya sains dan
filsafat Yunani pada pertengahan abad kedelapan. Sehingga
muncullah gerakan-gerakan dan kelompok yang disebut dengan
Qadariyah. Dengan meng- gunakan metode rasional Yunani,
ilmuwan Hira berusaha menggabungkan akal dan wahyu. Khalifah
Bani Umayyah, Muawiyah II (683-684 M) dan Yazid III (744 M)
adalah pengikut aliran Qadariyah18 .
Di tempat lain, di seluruh Mesopotamia Selatan timbul pula
satu aliran pikiran yang dipengaruhi oleh Kristen Nestoris di Basrah
dengan menerima kemauan bebas. Mereka meya- kini bahwa
individu dapat mengendalikan tingkah lakunya. Cara mengetahui
tingkah laku yang benar dapat dilakukan dengan pendekatan
spekulatif terhadap logika. Kelompok ini

18 Lihat Charles Michael Stanton, hlm. 92-93.


166 Sejarah Pendidikan Islam

kemudian dikenal dengan nama Mu’tazilah. Khalifah Al Ma’mun dari


Bani Abbasiyah menganut aliran ini.
Lembaga pendidikan tinggi dengan aneka ragam ben- tuknya
muncul tidak untuk menyediakan kelanjutan bidang- bidang studi
tingkat permulaan, melainkan untuk memenuhi dua kebutuhan
penting dalam masyarakat yaitu:
Pertama : Menjelaskan pengertian Alquran dan untuk menye- suaikan
prinsip-prinsipnya bagi lingkungan yang berubah. Khusus
untuk keimanan bagi pemeluk Islam yang masih baru,
membutuhkan bimbingan sesuai dengan wahyu Tuhan
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.
Kedua : Untuk memadukan wahyu dengan pengalaman
intelektual dan keilmuan.
Untuk memenuhi kebutuhan pertama, lembaga-lembaga
pendidikan formal didirikan dengan memusatkan kegiatan- nya pada
studi-studi keagamaan dan penafsiran hukum. Studi- studi
keagamaan bertempat di lingkaran-lingkaran studi di masjid,
sementara studi hukum bertempat di masjid, akademi dan madrasah.
Pembaruan dalam kajian-kajian keagamaan berakhir ketika
studi filsafat Yunani terputus dan diganti dengan skolas- tisisme
Islam. Al-Ghazali memenangkan penggunaan dialek- tika dan logika
yang terbatas, karena khawatir penggunaannya pada segala bidang
pemikiran keilmuan secara sembarangan akan melenyapkan
keimanan 19.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 167

2. Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Ilmu-Ilmu non-


Agama
Ketika kerajaan Sasaniyah ditaklukan, Islam mengenal ilmu
kedokteran Yunani di pusat-pusat pendidikan Nestoris dan
Neoplatonisme di Mesopotamia Utara. Kota Jundishapur sangat
berperan dalam kajian ilmu dan praktik kedokteran ini. Sehingga
dasar-dasar pengobatan Timur dan Mesir, ter- utama sihir dan
pengobatan rakyat lainnya, berangsur hilang dengan kehadiran
keterampilan pengobatan yang dimiliki ilmuan Alexandria, Athena,
dan Persia selama abad kelima dan keenam. Kedokteran Yunani
sebagai satu sistem teori dan praktik berasal dari Hippocrates (460-
377 SM). Kedok- teran Yunani ini menggunakan pendekatan
rasional terhadap penyembuhan melalui observasi dan
pengalaman 20 .
Ibnu Sina 21 adalah seorang filosof atau pemikir Islam yang
telah hafal Alquran pada usia 10 tahun. Ia menguasai logika,
kemudian ia beralih pada studi fisika, metafisika, dan kedok- teran
pada usia 18 tahun. Asy-Syifa adalah hasil karyanya yang merupakan
ensiklopedi terpanjang yang pernah ditulis oleh satu orang yang
menggambarkan kemajuan filsafat peri- patetik Islam atau buku
filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina yang berisi
fisika, logika dan matematika. Demi- kian pula al Qanun fii al Tibb
sebuah ensiklopedi kedokteran 22 .

20Ibid., hlm. 72.


21 Tahun kelahiran Ibnu Sina banyak versi, tapi pemerintah Iran mene- tapkan

bulan Safar 370 H. (Agustus 910 M).


22 Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 1996, hlm. 136.


168 Sejarah Pendidikan Islam

Setelah Ibnu Sina, Al-Razi adalah orang kedua dalam tulisan dan
pengetahuannya dalam masalah medis.
Matematika juga memiliki daya tarik tersendiri bagi ilmu- an
Muslim karena perwakilan simboliknya tentang alam. Mereka
memandangnya sebagai pensekatan transendensi dari dunia fisik
menuju dunia supernatural. Pada dasar-dasar teori matematika itu
terletak konsep kesatuan (alam), yang merupakan tema utama dalam
Islam. Matematika menun- jukkan alam dan bagian-bagiannya secara
simbolik. Ahli matematika Islam menggunakan teori geometri yang
diwarisi dari bangsa Yunani dengan membuat pengembangan yang
melebihi teori Yunani 23 . Tabel-tabel geometri dalam dunia seni dan
arsitektur adalah hasil kreatif ilmuan Muslim karena dalam Islam
dilarang membuat figur-figur manusia.
Para ilmuwan Muslim menyempurnakan aljabar dalam
menyelesaikan masalah perdagangan, pembagian warisan, dan
sebagainya. Penguasaan ilmuwan Muslim terhadap aljabar ini
mencapai puncaknya pada abad ke-11 oleh Umar Khayyam (Umar
Ibnu Ibrahim Al-Khayyami) hidup 433-517 H/1040- 1123 M, yang
menyajikan pembahasan lebih maju mengenai subjek itu dibanding
dengan pembahasan Al-Khwarazmi 24 . Sebelumnya telah dikenal pula
Jabir Ibn Hayyan (hidup 721- 815 M), bapak ilmu kimia dan pendiri
laboratorium pertama yang dikenal oleh bangsa Latin sebagai Geber.
Atas dukungan pemerintah Khalifah Harun Al-Rasyid dia telah
menulis 3000 karangan kebanyakan tentang kimia, juga logika,
filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu supernatural, fisika, mekanik, dan

23 Charles Michael Stanton, op.cit., hlm. 141.


24 Ibid., hlm. 142.
Unsur-unsur Filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam 169

bidang-bidang lain yang kemudian menjadi disiplin ilmu yang


terkenal 25 . Musa Al-Khwarazmi mengadakan perjalanan ke Timur
untuk belajar matematika, dalam perjalanannya kem- bali ke istana
Al-Makmun dia mensintesiskan matematika yang diketahuinya dan
menyajikannya dalam satu seri berjudul al-jabr wa al-muqabalah
disingkat dengan al-jabr26.
Astronomi adalah ilmu yang banyak dibutuhkan oleh umat
Islam. Melalui konsep-konsep ilmu astronomi ini ilmuan Muslim
mampu mengatur aspek-aspek keimanan mereka, dengan
mengadakan pengamatan terhadap benda-benda langit. Dalam
filsafat Yunani benda-benda langit dipandang sebagai abstraksi dan
dilihat hanya melalui bentuk-bentuk matematis. Astronom Islam
berpendapat bahwa benda-benda angkasa (planet-planet) memiliki
sifat-sifat fisik dan susunan materi dan mempunyai gerakan-gerakan
yang teratur.
Ilmu astronomi membantu umat Islam dalam melaksa- nakan
perintah shalat lima waktu dalam sehari, pelaksanaan ibadah haji
pada bulan tertentu, puasa Ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul
Adha. Ilmuwan Muslim tetap memilih meng- gunakan kalender
qamariyah, karena dianggap lebih tepat untuk praktik-praktik ritual
keagamaan pada garis lintang yang berbeda-beda. Dengan
menggunakan kalender qamariyah umat Islam tidak diuntungkan
dan tidak dirugikan terutama pada praktik keagamaan yang panjang
waktunya, seperti puasa Ramadhan.

23 Nasr, Science and Civilization in Islam, New American Library, New York,
1968, hlm. 31-36, lihat juga C. M. Stanton, hlm. 132.
26 Ali Abdullah al-Daffa, The Muslim Contribution to Mathemathics, Croom

Helm, London, 1978, hlm. 49.


170 Sejarah Pendidikan Islam

E. KESIMPULAN
Filsafat Yunani adalah kegiatan berpikir yang dilakukan oleh
para filosof Yunani untuk mencari kebenaran tentang sesuatu, baik
yang bersifat abstrak maupun yang konkret.
Filsafat Yunani mulai berpengaruh di kalangan ilmuwan Muslim
pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan mencapai puncaknya
pada masa Bani Abbasiyah ketika karya-karya filosof Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Syria oleh Hunayn, dan anaknya
menerjemahkan dari bahasa Syria ke bahasa Arab.
Al-Ma’mun adalah khalifah yang banyak jasanya dalam
penerjemahan ini dengan tidak segan membayar biaya pener-
jemahan berupa emas seberat yang diterjemahkan. Karya- karya
Yunani yang dibaca oleh ilmuwan Muslim ini membe- rikan motivasi
untuk menggunakan logika dalam membahas ajaran Islam dan
mengembangkan serta menemukan berbagai macam ilmu
pengetahuan yang baru.
Unsur dialetika dari Socrates, idealisme Plato dan logika
Aristoteles dan sebagainya termasuk berpengaruh terhadap lahirnya
beberapa aliran dalam Islam, seperti Qadariyah, Asy’ariyah, dan
Mu’tazilah.
Metode berpikir yang digunakan oleh filosof Yunani
memberikan motivasi bagi ilmuwan Muslim untuk lebih banyak
berkarya dalam kemajuan pendidikan Islam, sehingga muncul
ilmuwan seperti Jabir Ibn Hayyan, Al-Kindi, Al-Razi, Al-
Khawarazmi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Umar Khayyam, Ibnu Rusyd, dan
sebagainya.
171

BAB XIII

Fungsi Madrasah Dalam


Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Islam
Oleh:ElzaFachria

A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Da- lam
pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan
kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana
Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap
dengan usaha-usaha pendidikan merupakan transformasi besar. Sebab
masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pen-
didikan formal. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya
bersifat informal, dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya
dakwah Islamiyah, penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan
dan ibadah Islam.
Pada masa ini, berlangsung pendidikan Islam yang diselenggarakan
di rumah-rumah sahabat tertentu dan yang paling terkenal adalah Dar al-
Arqam. Namun ketika masya- rakat Islam sudah terbentuk, pendidikan
diselenggarakan di masjid yang dikenal dalam bentuk halaqah.
Kebangkitan
172 Sejarah Pendidikan Islam

madrasah merupakan awal dari bentuk pelembagaan Islam secara


formal .1
Sepanjang sejarah Islam, madrasah diabdikan terutama kepada
al-ulum al-islamiyyah atau tepatnya al-ulum al-diniyyah- ilmu-ilmu agama,
dengan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadis. Meski
ilmu-ilmu seperd ini juga memberikan ruang gerak kepada akal untuk
melakukan ijtihad, setidaknya pada masa-masa klasik, jelas ijtihad di
situ bukan dimaksud- kan berpikir sebebas-bebasnya. Dengan
demikian, ilmu-ilmu nonagama (profan) sejak awal perkembangan
madrasah sudah berada dalam posisi yang marjinal.
Meski Islam pada dasarnya tidak membedakan nilai ilmu- ilmu
agama dengan ilmu-ilmu umum, tapi dalam praktiknya supremasi
lebih diberikan kepada ilmu-ilmu agama. Terlepas dari semua itu, jika
dipandang semata-mata dari sudut ke- agamaan dalam pengertian
terbatas, supremasi dan dominasi ilmu-ilmu keagamaan dalam batas
tertentu agaknya mengan- dung implikasi positif. Supremasi itu
membuat transmisi syariah atau fiqih yang merupakan inti Islam, dari
generasi- generasi awal Muslim kepada generasi-generasi berikutnya
menjadi “lebih terjamin”, walaupun supremasi tersebut tidak
berlangsung dengan cara yang lebih dinamis. 2 Karena itu, tak heran
kalau Stanton tidak berhasil membuktikan kaitan yang jelas antara
lembaga pendidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai cabang
sains dalam peradaban Islam. Ini

1 Lihat Dr. H. Maksum, Madrasah;Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta.

Logos Wacana Ilmu, 1999).


2 Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam (Dalam Pengantar): Tradisi dalam

Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999).


Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam 173

tidak aneh karena seluruh kurikulum madrasah yang pernah diteliti


sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama. Hanya-terda- pat beberapa
madrasah saja, khususnya di Persia yang meng- ajarkan beberapa
bidang ilmu-ilmu yang diharamkan pada madrasah-madrasah Sunni.
seperti filsafat dan ilmu pasti sampai pada masa-masa lebih
belakangan.

B. MADRASAH DAN PERKEMBANGAN ILMU


PENGETAHUAN ISLAM

1. Madrasah Pada Masa Dinasti Umayyah di Spanyol


Di masa klasik, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan
Islam, tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam.
Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya menyajikan satu mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut
selesai, baru ia diperbo- lehkan mempelajari materi yang lain, atau
yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa
diharuskan belajar tulis-baca, berikutnya, ia belajar berhitung dan
seterus- nya. Ini disebabkan belum adanya koordinasi lembaga oleh
suatu organisasi atau pemerintah seperti sekarang ini. Meski dalam
kasus tertentu penguasa turut mengendalikan pelaksa- naan
pengajaran di madrasah-madrasah, pelaksanaan proses belajar
mengajar sepenuhnya tergantung kepada guru yang Memberikan
pelajaran.
Di bagian Barat wilayah Muslim, Dinasti Umayyah (138- 418
H/756-1027 M) mengembangkan banyak al-Jami’ah di kota Seville,
Cordova, Granada dan di kota-kota lain. Di Spanyol perkembangan
pendidikan tinggi di mulai pada abad
174 Sejarah Pendidikan Islam

kesepuluh. Bangsa Moor dan berikutnya bangsa Arab, mema- suki


Spanyol pada tahun 712. Mendekati tahun 756, pangeran dari dinasti
Umayyah, Abdul Rahman telah ditaklukkan oleh tentara dari
Abbasiyah, Khalifah Al-Mansur dan mengangkat amir di Cordova.
Inisiatif lain abad keemasan Islam di Spanyol bagian Selatan, di
bawah Umayyah ini, terus berjalan hingga abad kesebelas. Sementara
itu abad kesepuluh adalah puncak perkembangan intelektual Muslim
Spanyol dengan Cordova sebagai pusatnya. Universitas-universitas
tersebut menjadi simbol-simbol yang cemerlang bagi kepentingan
pendidikan Muslim, dan memberikan sumbangan khusus bagi
kemajuan Eropa abad pertengahan. 3
Segala prestasi dan sumbangan tersebut menjadi mungkin
diberikan lantaran luasnya muatan universitas-universitas Islam.
Universitas Cordova memiliki program studi astronomi, matematika
dan kedokteran, selain teologi dan hukum. Kurikulum Universitas
Granada mencakup teologi, hukum, kedokteran, falsafah, dan
astronomi.

2. Madrasah Pada Masa Pemerintahan Dinasti


Abbasiyah
Kondisi yang sama juga meliputi lembaga pendidikan tinggi (al-
Jami’ah, Bayt al-Hikmah, madrasah) di wilayah dinasti Abbasiyah.
Seluruh lembaga menawarkan pendidikan univer- sitas dalam
cakupan yang lebih luas, seperti bahasa Arab, astronomi,
kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmatika,

3Ibid., hlm. 23.


Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam
175

pertanian, dan lain-lain. Namun seiring dengan berdirinya


madrasah, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
penurunan ketika mu’tazilah yang semula menjadi mazhab resmi
negara dibatalkan oleh Mutawakkil. Ketika madrasah mulai berdiri,
ternyata perkembangan itu tidak menggunakan madrasah sebagai
media transmisi, bahkan filsafat dan ilmu pengetahuan itu terpaksa
dipelajari secara individual dan mungkin di bawah tanah, karena
dikhawatirkan mengganggu supremasi ilmu-ilmu agama. Sehingga
pada saat itu terdapat beberapa mudaris yang menawarkan program
studi khusus bidang-bidang ilmu agama, seperti ulumul quran,
ulumul hadis, dan lain-lain. Kekhususan tersebut dapat dilihat dari
nama sekolahnya. Jadi madrasah Nahwiyah misalnya, adalah
lembaga yang mengkhususkan diri dalam stusi Islam tentang tata
bahasa Arab (nahwu).
Madrasah mempunyai satu perpustakaan yang tergabung
dalam bangunan yang sama. Walaupun perpustakaan telah lama
terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan, dan hartawan,
perpustakaan sebagai bagian dari madrasah adalah hal yang
jarang. 4 Untuk menyediakan manuskrip bagi maha- siswa,
madrasah mencontoh praktik halaqah-halaqah gerakan rasional yang
telah terpengaruh oleh budaya Hellenistik dan berkembang pesat
pada masa pemerintahan Abbasiyah. Tersedianya berbagai karya
hanya bukan sekadar buku-buku pelajaran, meningkatkan
pengalaman belajar mahasiswa de-

4 George Makdisi, Law and Traditionalism In The Institusion of Medievaal Islam, dalam G.E. Von

Grunebaum (ed), Theology And Law In Islam (Weisbaden: Harrassowitz, 1971) hlm. 83.
Sejarah Pendidikan Islam
176

ngan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan


kepada sejumlah tulisan tidak hanya sekadar kebutuhan langsung
perkuliahan.
Madrasah yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk merupa- kan
salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahuan menjadi
begitu cepat. 5 Abu Sammah menulis: “ Sekolah- sekolah Nizham Al-
Mulk termasyhur di dunia. Tidak ada satu negeri pun yang di situ
tidak berdiri Nizham Al-Mulk. 6
Nizhamiyah memberikan perhatian pada ilmu aritme- tika,
sedangkan madrasah-madrasah lain mengajarkan ilmu nahwu. Tafsir,
hadis, fiqih, adapula yang mengajarkan ilmu kedokteran. Dan
memang secara umum madrasah-madrasah mengajarkan ilmu
keislaman. Topik-topik utama dalam kuri- kulum mereka
mempelajari Alquran-fiqih, teologi dan lain- lain. 7
Seperti telah disebutkan di atas, ternyata madrasah Ni-
zhamiyah juga mempunyai potensi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan memperhatikan kepada ilmu aritmetika, dan
juga pada madrasah Mustansyiriah mengajar- kan ilmu tersebut. Hal
ini sangat menarik karena yang dulu- nya mereka tidak menyukainya,
tapi ternyata ilmu tersebut dibutuhkan oleh mereka. Bahkan,
ditemukan masjid dan madrasah lain yang mengajarkan ilmu
pengetahuan Yunani,

5 Aydin Mehmed Sayili, The Institution of Science and Learning, (Harvard University, 1941)

hlm. 44.
6 Ahmad Syalabi, Sejarah Perkembangan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hlm.
111.
7 Aydi Mehmed Sayili, op. cit., hlm. 31-32.
Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam 177

contohnya masjid Mustansyiriah di Baghdad mengajarkan ilmu


murni, seperti obat-obatan, farmasi, dan geometri. 8

3. Madrasah Akhir Periode Klasik Islam


Setelah berakhirnya periode klasik Islam, ketika Islam mulai
memasuki masa kemunduran, Eropa bangkit dari keterbelakangannya.
Kebangkitannya itu bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan
keberhasilan Eropa mengalah- kan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian
dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bah- kan, kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi itulah
yang mendukung keberhasilan politik Eropa. Kemajuan-kemajuan
Eropa ini tidak bisa dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol.
Dari Spanyollah Eropa banyak menimba ilmu. Pada periode klasik,
ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat
peradaban Islam yang sangat pen- ting, menyaingi Baghdad di Timur.
Ketika itu orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan
tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi Eropa. 9 Banyak
prestasi yang telah diperoleh Spanyol Islam, yang pengaruhnya telah
membawa Eropa, bahkan dunia kepada kemajuan yang lebih
kompleks. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat pada bidang-
bidang sebagai berikut: kemajuan dalam bidang intelektual, filsafat,
sains, musik dan kesenian, bahasa dan sastra, bahkan juga dalam hal
kemegahan pembangunan

8Ibid., hlm. 34.


9Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), cek. 1, hlm. 87.
178 Sejarah Pendidikan Islam

fisik. Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini


banyak berhutang budi pada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang
berkembang di periode klasik.

C. FUNGSI MADRASAH DALAM MENTRANSMISIKAN ILMU


PENGETAHUAN AGAMA
Berdasarkan kenyataan yang ada, ada semacam kesepa- katan
bahwa madrasah dianggap sebagai lembaga yang khusus
mentransmisikan ilmu-ilmu agama dengan memberikan pene- kanan
khusus pada bidang fiqih, tafsir, dan hadis dan tidak memasukkan
ilmu-ilmu umum dalam kurikulumnya. Hal ini menurut Azra
disebabkan karena tiga alasan: pertama, ini berkaitan dengan
pandangan tentang ketinggian ilmu-ilmu keagamaan yang dianggap
mempunyai supremasi lebih dan merupakan jalan “cepat” menuju
Tuhan. Kedua, secara institu- sional madrasah memang dikuasai oleh
mereka yang ahli dalam bidang agama. Dan ketiga, berkenaan dengan
kenyataan bahwa hampir seluruh madrasah didirikan dan
dipertahankan dengan dana wakaf dari penguasa politik Muslim atau
dermawan kaya, karena didorong oleh adanya motivasi kesalehan. 10
Dengan kurikulum yang terfokus pada bidang keagamaan
tersebut, madrasah justru dapat diterima luas di kalangan
masyarakat, karena materi pokok yang diajarkan madrasah pada saat
itu seperti fiqih, dianggap memenuhi kebutuhan masyarakat dan
dapat diberikan pada anggota masyarakat dalam segala tingkatan umur.
Di samping itu, para pengajar

10 Azyumadri Azra, op. at., hlm. vii.


Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam 179

madrasah adalah para ulama yang notabene merupakan panutan


masyarakat serta pembela kepentingan mereka dan memiliki
kedudukan khusus dalam pemerintahan. 11
Melihat kenyataan yang ada, penulis dapat menguraikan bahwa
madrasah memiliki fungsi dan peranan yang besar da- lam
mentransmisikan ilmu pengetahuan Islam. Adapun jenis dan cara
pentransmisian tersebut adalah:

a. Ilmu Pengetahuan yang Ditransmisikan Madrasah


Berdasarkan hasil penelitian para ahli bahwa di antara
ilmu-ilmu yang ditransmisikan oleh madrasah adalah Alquran dan
tafsirnya, hadis, fiqih, ushul fiqih, kalam, dan bahasa Arab, nahwu,
sharaf, balagah sebagai penunjangnya. Dan dalam rangka
menghindari kesulitan memahami bahasa Arab, logika dan retorika
juga menjadi kajian di madrasah khususnya di Nizhamiyah.

b. Cara Madrasah Mentransmisi Ilmu Pengetahuan Islam


Ketika madrasah mulai bermunculan, salah satu di antara- nya
adalah madrasah-madrasah Nizhamiyah, sistem ujian sering diadakan.
Namun peranan dan prestise guru, secara individual adalah demikian
besarnya, sehingga ijazah-ijazah yang dikeluarkan atas nama guru
bukan atas nama madrasah- nya.12 Namun ini tidak berarti bahwa
madrasah tidak mem- punyai fungsi strategis terhadap terjadinya
transmisi ilmu. Dan

11 Maksum, op. cit., hlm. 77.


12 Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Mizan, 1984),
hlm. 269.
180 Sejarah Pendidikan Islam

pendapat Fazlur Rahman bahwa mayoritas ulama termasyhur pada


abad pertengahan bukan produk madrasah-madrasah, melainkan
bekas murid-murid informal dari guru-guru indi- vidual, tidak bisa
dianggap benar seluruhnya. Sebab, besar kemungkinan pengkajian
disiplin ilmu yang dilakukan antara peserta didik dengan syaikhnya di
luar jam pelajaran ini juga dimasukkan sebagai bagian kegiatan secara
keseluruhan.
Secara umum, alur transmisi ilmu pengetahuan di mad- rasah
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian:

1. Transmisi lewat Lisan (Oral Transmission)


Sebagaimana dimaklumi bahwa dunia pendidikan Islam
Klasik mempunyai keyakinan bahwa belajar dengan syaikh secara
pribadi dan mendengar langsung keterangan dari syaikh, tidak hanya
lewat tulisannya, dianggap sebagai metode trans- misi yang sangat
baik. Peserta didik tidak dianggap cukup hanya membaca teks,
walaupun teks itu adalah buah karya syaikhnya sendiri. Metode ini
dilaksanakan dengan cara guru membaca teks yang dipelajari
kemudian memberikan kete- rangan dan siswa mendengarkan secara
seksama.

2. Transmisi Lewat Tulisan


Di samping mencatat teks yang didiktekan oleh mudarris,
tansmisi ilmu lewat tulisan juga direalisasikan dengan cara
penyalinan teks. Buku-buku pada masa itu adalah sangat mahal,
sehingga siswa sulit untuk memiliki kecuali dengan menyalinnya.
Adapun bagaimana metode madrasah, khususnya madra- sah
Nizhamiyah, mentransmisikan ilmu-ilmu agama, menurut Stanton,
proses transmisi itu berkisar antara menulis catatan
Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam
181

dari guru, membaca, imlak dan berdebat. 13 Sementara pene- litian


Makdisi menyebutkan bahwa metode belajar-mengajar yang menjadi
media transmisi ilmu agama meliputi hapalan, pengulangan,
pemahaman, mudzakarah, mencatat, ta’liqat, dan munat(harah.14
Fungsi madrasah dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam
juga dapat dilihat dari atmosfir pendidikan yang khas dengan
memadukan kehidupan akademik dengan kehidupan sosial dari
orang yang tinggal dalam lingkungannya. Madrasah menggabungkan
antara fakultas dan mahasiswa dalam satu komunitas intelektual.
Organisasi seperti ini sangat mendu- kung asimilasi mahasiswa ke
dalam kehidupan akademis dan dunia intelektual. 15
Ketika seorang mahasiswa telah siap dalam bidang studi
tertentu, ia maju untuk menjalankan ujian lisan. Jika penam-
pilannya memenuhi standar yang ditentukan syaikhnya, ia akan
menerima sebuah ijazah—sebuah surat yang menyata- kan
kelayakannya untuk mengajar suatu bidang studi tertentu. Jika ia
adalah mahasiswa fiqih, ijazah yang ia terima akan menyatakan
kemampuannya mengeluarkan fatwa. Mereka yang mempunyai ijazah
di bidang fiqih, bisa mencoba mem- bangun kariernya sendiri secara
profesional di lembaga-lem- baga serupa, atau menjadi pegawai
pemerintah sebagai mufti,

13 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, Sejarah dan Peranannya Dalam

Kemajuan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta; Logos Publishing House, 1994), cet. I, hlm. 21.
14 George Makdisi, op. at., hlm. 99-104.

15 Charles Michael Stanton, op. cit., hlm. 58.


Sejarah Pendidikan Islam
182

atau di arena diplomasi. Bila ijazah yang diperoleh adalah pada


bidang ilmu agama yang lain, pemegangnya bisa mencoba karier
sebagai penasihat atau tutor di kalangan birokrasi atau di rumah-
rumah pribadi, di samping melihat kemungkinan pengangkatan
menjadi staf masjid. Setelah beberapa waktu, yaitu mencapai status
ilmuan dengan reputasi tertentu, dia mungkin akan ditawari jabatan
syaikh disebuah masjid atau madrasah.
Dengan kondisi seperti itu madrasah sangat berpengaruh
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tampak jelas bahwa out
put yang dikeluarkan oleh madrasah turut berperan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan Islam.

A. PERANAN ULAMA DALAM PENGEMBANGAN ILMU


PENGETAHUAN ISLAM
Lembaga pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat
penting dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan. Kegi- atan
intelektual dalam sejarah peradaban Islam merupakan salah satu
mata rantai dari serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan
Islam pada masa nabi dan Khulafa ar- Rasyidin dengan adanya as-
syufah dilanjutkan pada masa Bani Umayyah dan mencapai puncak
kejayaannya pada masa Abbasiyah yang ditandai dengan berdirinya
lembaga pendi- dikan, seperti madrasah Nizhamiyah dan al-Azhar.
Pengaruh para ulama dalam mengembangkan tradisi keilmuan Islam
tidak terlepas dari lembaga pendidikan tersebut.
Adapun ulama yang memiliki peranan penting dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, baik selama mereka
mendalami ilmu di lembaga madrasah maupun selama me-
Fungsi Madrasah dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam
183

reka menjadi tenaga pengajar di lembaga tersebut, mereka antara


lain, Al-Ghazali. Beliau merupakan alumni sekaligus salah satu
tenaga pengajar pada madrasah Nizhamiyah. Ia dikenal sebagai
seorang filosof, ahli fiqih, sufi reformer, dan juga negarawan. Ia
menulis lebih dari 400 buku besar dan risalah-risalah. Al-Ghazali
yang menjadi syaikh madrasah di Baghdad ini, cukup terkenal
sebagai tokoh ilmuwan Islam yang ensiklopedis. Banyak peneliti
yang mengkaitkan per- kembangan keilmuan Islam sejak abad ke-6
dengan peran yang dimainkannya, khususnya selama ia menjadi
syaikh di madrasah itu.
Al-Ghazali berasal dari Tus Persia. Setelah menyelesai- kan
pendidikan dasar di negerinya, ia menuntut ilmu di Jurjan pada
syaikh Abu Nasr Al-Islami. Setelah itu meneruskan pendidikannya
ke Naisabur. Di sana ia menjadi pengikut tetap pengajian imam Al-
Haramain Al-Juwaini yang menjadi syaikh madrasah Nizhamiyah. Ia
mampu menguasai berbagai cabang ilmu, seperti fiqih Syafi’i,
perbandingan mazhab, debat, ushul fiqih, ushul din, dan mantiq.
Sementara itu, ia pun menulis buku-buku, di antara karyanya: Ihya al-
Ulum al-Din yang menjadi salah satu rujukan penting bagi kajian
tasawuf, Maqasid dan Tahafat al-Falasifah, al-Mustafa, al-Basit, al-Wasit, serta
al-Wajiz. Walaupun sudah kurang luas peredar- annya, tapi sebagian
besar kitab fiqih yang menjadi buku daras atau pegangan ulama
Syafiiyah sekarang adalah turunan dari ldtab-kitab itu.

E. KESIMPULAN
Keberadaan madrasah dalam pendidikan Islam turut mewarnai
pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Hal ini
184 Sejarah Pendidikan Islam

terbukti dari banyaknya ilmu pengetahuan yang berkembang, baik


yang dikembangkan pada masa Dinasti Umayyah di Spanyol maupun
Dinasti Abbasiyah.
Ada juga madrasah yang mengkhususkan diri mempelajari satu
disiplin ilmu tertentu seperti madrasah nahwu, madrasah tafsir, dan
madrasah hadis. Hal ini membawa perkembangan pada ilmu-ilmu
tersebut. Dengan demikian, madrasah meru- pakan media/wadah
pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para lulusan yang
dihasilkan oleh madrasah turut pula mem- bawa ilmu pengetahuan
Islam menjadi berkembang. Mereka mengembangkan ilmu-ilmu
tersebut dalam kariernya di ber- bagai lembaga maupun dalam
kehidupan bermasyarakat.
185

BAB XIV

Modernisasi Pendidikan Islam


(Al-Azhar dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia)
Oleh:Syahril

A. PENDAHULUAN
Gagasan program modernisasi pendidikan Islam mem- punyai
akar-akarnya tentang “modernisasi” pemikiran dan institusi Islam
secara keseluruhan. Dengan kata lain, “moder- nisasi” pendidikan
Islam tidak bisa dipisahkan dengan ga- gasan dan program modernisasi
Islam. Kerangka dasar yang berada di balik “modernisasi” Islam secara
keseluruhan adalah “modernisasi” pemikiran dan kelembagaan Islam
merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslim di masa modern. 1
Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan
haruslah dimodernisasi, sederhananya harus di- sesuaikan dengan
kerangka “modernitas”; mempertahankan kelembagaan Islam
“tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan
kaum Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.

1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:

Logos, 1999).
186 Sejarah Pendidikan Islam

Namun apakah sebenarnya hubungan antar “moderni- sasi”


dengan pendidikan, lebih khusus lagi dengan pendidikan Islam di
Indonesia? Modernisasi yang di Indonesia lebih dike- nal dengan
istilah “pembangunan” (development) adalah proses multidimensional
yang kompleks. Pada satu segi pendidikan di pandang sebagai
variabel modernisasi. Dalam konteks ini pendidikan dianggap
merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk
menjalankan program dan tujuan-tujuan modernisasi atau
pembangunan. Tanpa pendi- dikan sulit bagi masyarakat manapun
untuk mencapai kema- juan. Karena itu banyak ahli pendidikan yang
berpandangan bahwa “pendidikan merupakan kunci yang membuka
pintu ke arah modernisasi” (Horbison & Myers, 1964: 181). 2
Namun pada segi lain, pendidikan sering dianggap objek
modernisasi. Dalam konteks ini, pendidikan di negara-negara yang
tengah menjalankan modernisasi pada umumnya dipan- dang masih
terbelakang dalam berbagai hal, dan karena itu sulit diharapkan bisa
memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itulah
pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi, sehingga dapat
memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya.
Pendidikan dalam masyarakat modern atau masyarakat yang
tengah bergerak ke arah modern (modernising) pada da- sarnya
berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dan
lingkungan sosio-kulturnya yang berubah. Dalam banyak hal,
pendidikan secara sadar digunakan sebagai instrumen untuk
perubahan dalam sistem politik dan ekonomi.
Modernisasi Pendidikan Islam 187

Sebagaimana disimpulkan oleh Shipman (1972: 33-35), fungsi


pokok pendidikan dalam masyarakat modera terdiri dari tiga bagian:
sosialisasi, penyekolahan (schooling), dan pen- didikan (education).
Sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi
anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang
dominan. Adapun penyeko- lahan (schooling) mempersiapkan mereka
untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu. Oleh karena itu,
penyekolahan harus mempelajari anak-didik dengan kualifikasi-
kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka
mampu memainkan peran dalam masyarakat. Sedangkan dalam
fungsi ketiga, pendidikan merupakan education untuk menciptakan
kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan
besar bagi kelanjutan modernisasi.

B. DEFINISI MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM


Modernisasi yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan
usaha untuk mengubah paham, adat-istiadat, institusi lama dan
sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-
pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh ke- majuan ilmu
pengetahuan serta teknologi modern. 3 Karena kata modernisasi yang
bersumber dari Barat mengandung makna negatif, kata modernisasi
lebih dikenal luas dengan pembaruan. Dalam bahasa Arab
modernisasi diterjemahkan menjadi tajdid. Modernisasi atau
pembaruan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas
mental sebagai warga

3 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, 1994: 11.


Sejarah Pendidikan Islam
188

masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa


kini. 4 Jadi modernisasi pendidikan Islam adalah proses penyesuaian
pendidikan Islam dengan kemajuan zaman.

C. LATAR BELAKANG DAN POLA PEMBARUAN


Menurut Ibn Taimiyah, 5 secara umum pembaruan dalam Islam
timbul karena: (1) membudayanya khurafat di kalangan kaum
Muslimin; (2) kejumudan atau ditutupnya pintu ijtihad dianggap
telah membodohkan umat Islam; (3) terpecahnya persatuan umat
Islam sehingga sulit membangun dan maju; (4) kontak antara Barat
dengan Islam telah menyadarkan kaum Muslimin akan kemunduran.
Pola-pola pembaruan dalam Islam, khususnya dalam pendidikan
mengambil tempat sebagai: (1) golongan yang berorientasi pada pola
pendidikan modern Barat; (2) gerakan pembaruan pendidikan Islam
yang berorientasi pada sumber Islam yang murni; dan (3) pembaruan
pendidikan yang ber- orientasi pada nasionalisme.

D. AL-AZHAR

1. Sejarah Berdirinya
Universitas al-Azhar yang paling terkenal di Dunia Is- lam,
berada di Cairo Mesir. Universitas ini didirikan oleh

4 Depdikbud, Kamus BesarBahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, him.


589.
5 H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam

Dunia Islam, PT. RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 6-7.


Modernisasi Pendidikan Islam 189

Jenderal Jauhar, setelah pendirian kota Cairo tahun 358 H/ 969 M.


Sedangkan menurut sumber yang dikutip Van Houve dalam
Ensiklopedi Islam menyebutkan bahwa al-Azhar berdiri pada tahun 359
H/970 M. Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam
mengutip berdirinya al-Azhar pada tahun 358 H. Adapun waktu
pembangunan al-Azhar hingga selesai tidak ada perbedaan yaitu
setahun. Semula Ia merupakan lembaga Fatimiyah sebagai pusat
latihan kader penyebar ideologi Syi’ah mengancam otoritas
Abbasiyah Sunni. Maka Dinasti Saljuk Abbasiyah mendirikan
lembaga- lembaga pendidikan teologi ortodoks sebagai upaya
mengim- bangi upaya al-Azhar. Demikianlah Nizamul Mulk (wafat
485 H/1092 M) mencirikan beberapa Madrasah Nizhamiyah di Irak
dan Syria. Sementara itu Sultan Salahuddin dan bebe- rapa sultan di
Syria lainnya mendirikan sejumlah madrasah di Syria dan Palestina.
Dengan demikian, al-Azhar memiliki peran penting dalam
mendorong pendidikan tinggi di dalam Islam.
Pada masa Dinasti Fatimiyah, Jauhar menginstruksikan untuk
tidak menyebut-nyebut Bani Abbas dalam setiap khotbah Jum’at dan
juga mengharamkan pemakaian jubah hitam serta atribut Bani Abbas
lainnya. Dalam adzan hayya 'ala al-sholah diganti menjadi hayya 'ala al-khor
al-’amal. Dalam khutbah Jumat disebutkan “Ya, Allah, ucapkan
salawat atas Nabi Muhammad, manusia yang terpilih, kepada Ali,
manusia yang diridhai, kepada Fatimah dan kepada Hasan dan
Husein, cucu Rasulullah. Mereka itu disingkirkan Allah dari
kekotoran dan disucikan. Salawat atas diri imam-imam yang suci dan
atas diri ‘amirulmukminin, Al-Mu’izz Lidinillah.”
Sejarah Pendidikan Islam
190

Al-Azhar juga mempunyai peran penting dalam perkem-


bangan pendidikan di Eropa. Pemakaian seragam sekolah,
pengembangan tradisi pembantahan, penjurusan dua buah
fakultas. Fakultas graduate dan undergraduate, berasal dari tradisi al-
Azhar dan menunjukkan pengaruh kuat lembaga Azhar. Setelah
Al-Ayyub menaklukkan Mesir tahun 1171. Selama hampir satu
abad dari tahun 1171-1267 al-Azhar dikosongkan. Pada abad
kekosongan itu shalat Jum’at di Masjid al-Azhar pun dilarang dan
pindah ke Masjid al-Hakim, karena mereka berpemahaman tidak
boleh ada dua khutbah di dalam satu kota. Semenjak itulah Dinasti
Fatimiyah berakhir sehingga al-Azhar berubah menjadi universitas
Sunni. Ia telah mencapai prestasi yang gemilang dan reputasi
sebagai otoritas bidang keagamaan yang sampai sekarang tetap
diperlukan. 6

2. Perkembangan al-Azhar pada Zaman Modern


(Tahun 1872-1995)
Karena bahasan ini mencakup modernisasi yang tidak bisa
terlepas dari zaman modern yang dimulai abad ke-19. Sebelum
tahun 1872, ijazah yang diberikan kepada anak didik al-Azhar tidak
melalui ujian, tetapi diberikan atas kepu- tusan pribadi dari
masing-masing guru, berdasarkan sistem pendidikan yang diatur
sebagai berikut. (1) Untuk mata kuliah tertentu terdapat satu guru
besar. Mahasiswa berusaha men- dampingi guru besar hingga guru
besar meninggal dunia. Tujuannya untuk mencapai tingkat
ketinggian ilmiah seperti

6 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafmdo Persada,

1996.
Modernisasi Pendidikan Islam 191

yang dimiliki oleh gurunya. (2) Mahasiswa mungkin menda- pat


ijazah untuk mata kuliah tertentu, sedangkan mata kuliah lain
ditunda. Mahasiswa dapat menjadi guru pada mata kuliah yang telah
lulus dan menjadi murid pada mata kuliah yang belum lulus. (3)
Setiap mahasiswa yang merasa punya ke- mampuan untuk mata
kuliah tertentu diberikan kesempatan untuk mengajarkannya dan
bila ia dapat berfatwa dalam kaitan dengan ilmu yang bersangkutan,
maka ia berhak memperoleh ijazah. (4) Setiap mahasiswa
dibebaskan memilih mata kuliah yang diminatinya tanpa terkait
dengan daftar kehadiran.
Pengembangan al-Azhar selanjutnya tampak kembali pada masa
kepemimpinan Syaikh Muhammad Abbasi Al- Mahdi Al-Hanafi,
rektor al-Azhar ke-21. Dia bermazhab Hanafi pertama yang
memegang jabatan rektor. Di antara pembaruan yang dilakukannya
adalah pada bulan Februari 1872 memasukkan sistem ujian untuk
mendapatkan ijazah al-Azhar. Calon alim harus berhadapan dengan
suatu tim beranggotakan 6 orang syaikh yang ditunjuk oleh syaikh
al- Azhar, untuk menguji bidang studi ushul, fiqih, tauhid, hadis,
tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, saraf (ilmu tentang
pembentukan kata), ma’ani, bayan, badi’, dan mantik. Kandidat yang
berhasil lulus berhak mendapatkan asy-syahadah al-’ala- miyah (ijazah
kesarjanaan).
Pada bulan Maret 1885 keluar undang-undang mengenai
pengaturan tenaga pengajar di al-Azhar. Seseorang dapat menjadi
tenaga pengajar setelah ia dapat menyelesaikan buku-buku induk
dalam 12 bidang studi seperti tersebut di atas. Kandidat yang lulus
dalam ujian ini mendapat ad-darajah al-’Ulya (tingkat pertama), ad-
darajah as-Saniyah (tingkat dua), ad-darajah as-Salitsah (tingkat ketiga).
Lulusan nilai pertama
Sejarah Pendidikan Islam
192

dapat bekerja sebagai pengajar untuk buku-buku tingkatan tinggi;


nilai kedua untuk buku-buku tingkatan menengah; dan nilai ketiga
untuk buku-buku tingkatan dasar.
Pada tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah al- Azhar
(Dewan Administrasi al-Azhar). Usaha pertama dari dewan ini
adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di al-
Azhar menjadi dua periode: Pendidikan Da- sar (ash-syahadab al-
abliyah/ijazah kualifikasi) dan Pendidikan Menengah dan Tinggi (asb-
syaadah al-’alamiyah). Masa belajar untuk periode pertama 8 tahun dan
periode kedua 6 tahun.
Usaha pembaruan selanjutnya dilakukan oleh Syaikh
Muhammad Abduh (1849-1905). Pada mulanya tokoh pem- baru ini
mendapat tantangan dari ulama konservatif, tetapi setelah al-Azhar
dipegang oleh Syaikh Al-Nawawi (teman akrabnya), ia mendapat
kesempatan mengadakan sedikit pembaruan. Berangsur-angsur ia
mulai melakukan pengaturan libur yang lebih pendek dan masa
belajar lebih panjang. Uraian pelajaran bertele-tele yang dikenal
dengan Syarah al-Hawasyi diusahakan untuk dihilangkan. Sementara
itu, ia juga mema- sukkan kurikulum modern, seperti fisika, ilmu
pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah ke al-Azhar. Di samping masjid,
didiri- kan Dewan Administrasi al-Azhar (Idarah al-Azhar) dan
diang- kat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran
tugas syaikh al-Azhar. Bersamaan dengan ini, juga dibangun oleh
Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemon- dokan bagi
guru-guru dan mahasiswa-mahasiswanya.
Tahun 1908, jenjang pendidikan al-Azhar menjadi tiga: (1)
Pendidikan Dasar, (2) Pendidikan Menengah, (3) Pendi- dikan
Tinggi. Tahun 1911 keluar undang-undang yang me- nyatakan setiap
jenjang pendidikan berdurasi 5 tahun (Pen-
Modernisasi Pendidikan Islam 193

didikan Dasar 5 tahun; Pendidikan Menengah 5 tahun; dan


Pendidikan Tinggi 5 tahun). Tahun 1930, jenjang pendidikan
disempurnakan menjadi 4. (1) Pendidikan Rendah selama 4 tahun;
(2) Pendidikan Menengah selama 5 tahun; (3) Pendidikan Tinggi
selama 4 tahun; (4) Pendidikan Tinggi Keterampilan selama 5 tahun.
Fakultas-fakultas yang ada pada waktu itu adalah ushuluddin,
syari’ah, dan bahasa Arab. Semenjak inilah al-Azhar yang dulunya
masjid berubah menjadi universitas. ^
Pada masa kepemimpinan Syaikh Mahmud Syaltut, rektor al-
Azhar ke-41 dibentuk organisasi untuk mengatur “pemeli- haraan
Alquran” dan lahir fakultas-fakultas baru antara lain: Fakultas
Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik.
Adapun tujuan Universitas al-Azhar adalah: (1) menge-
mukakan kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan
umat manusia dan jaminannya terhadap kebaha- giaannya di dunia
dan akhirat; (2) memberikan perhatian penuh terhadap kebangkitan
turas ilmu, pemikiran, dan keruhanian bangsa Arab Islam; (3)
menyuplai Dunia Islam dengan ulama-ulama aktif yang beriman,
percaya terhadap diri sendiri, mempunyai keteguhan mental dan ilmu
yang mendapat tentang akidah, syari’ah, dan bahasa Alquran; (4)
mencetak ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk kegiatan,
karya, kepemimpinan dan menjadi contoh yang baik, serta mencetak
ilmuan dari berbagai ilmu pengetahuan yang sanggup aktif dalam
dakwah Islam yang dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan dan
pelajaran yang baik di luar dan di dalam Republik Arab Mesir; (5)
meningkatkan hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas
dan lembaga ilmiah Islam di luar negeri.
194 Sejarah Pendidikan Islam

Tidak diketahui respon negatif dari masyarakat sekitar al-


Azhar, tapi penulis berpendapat sekecil apa pun respon negatif itu
pasti ada. Adapun respon positif telah diketahui dengan semakin
banyaknya umat Islam yang menuntut ilmu di al-Azhar, bukan saja
dari Mesir, bahkan dari seluruh dunia.
Pengaruh lembaga ini tentu kita masih merasakan bagai- mana
ilmuan-ilmuan banyak lahir dari al-Azhar dan ilmupun berkembang
sampai ke kita banyak melalui ulama-ulama tersebut.

E. PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

1. Pendidikan Islam di Indonesia (1899-1930)


Pendidikan Islam di Indonesia sebelum tahun 1900 masih
bersifat halaqah (nonklasikal). Selain itu, madrasah-madrasah itu ddak
besar sehingga sekarang kita ddak menemukan sisa- sisanya. Ada
satu pesantren yang diketahui berdiri sebelum tahun 1900, yaitu
pesantren Tebuireng yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari. Pesantren
itu berdiri tahun 1899 7 dan sum- ber lain mengatakan, pesantren itu
berdiri tahun 1904. Secara ittifaq (kesepakatan), pesantren-pesantren
yang klasikal dan masih eksis sampai sekarang lahir sekitar awal
tahun 1900.
Semenjak Islam masuk ke Indonesia tentunya interaksi orang
Timur-Tengah dengan orang Indonesia, khususnya yang beragama
Islam, bertambah baik. Terbukti tokoh-tokoh

7 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Sumber Widya, 1995,
hlm. 235.
Modernisasi Pendidikan Islam 195

umat Islam Indonesia yang mendirikan pesantren banyak alumni-


alumni dari Makkah. Bersamaan dengan naik haji, mereka
bermukim untuk belajar sampai ada yang bertahun- tahun.
Interaksi Indonesia dengan Makkah membawa warna baru dalam
pendidikan Islam di Indonesia. Misalnya Pesan- tren Tebuireng
Jombang di Jawa Timur didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tahun
1899, sekolah-sekolah produk Mu- hammadiyah banyak
dipengaruhi pendirinya K.H. Ahmad Dahlan, pesantren al-
Mushtafawiyah Purba Baru Tapanuli- Selatan yang didirikan oleh
Syaikh Mustafa Husein tahun 1913, dan sebagainya.
Tampaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang klasikal
sampai tahun 1930 hanya mengajarkan pelajaran agama, kecuali
ada sebagian kecil yang mengajarkan pelajaran umum, seperti
pesantren Tebuireng di bawah pimpinan K.H. Ilyas (1929)
memasukkan pelajaran-pelajaran berikut ini da- lam kurikulum, 8
yaitu: (1) membaca dan menulis huruf latin,
(2) bahasa Indonesia, (3) ilmu bumi dan sejarah Indonesia, dan (4)
berhitung.
Metodologi pengajaran masih lebih didominasi oleh sistem
sorogan, di mana guru membaca buku yang berbahasa Arab dan
menerangkannya dengan bahasa daerah kemudian murid-murid
mendengarkan. Guru sangat jarang bertanya kepada muridnya,
sebaliknya murid juga jarang bertanya kepada gurunya. Dengan
kata lain, evaluasi belajar sangat kurang diperhatikan, hal ini
diduga karena tujuan belajarnya Ulahi ta’ala. Tanpa diuji juga murid
secara sadar belajar dengan

8Ibid., hlm. 236.


196 Sejarah Pendidikan Islam

sungguh-sungguh. Mengetahui hasil belajar secara eksplisit setelah


mereka duduk di kelas 7. Tradisi kelas 7 membantu pengajaran
untuk kelas-kelas bawah sebagai wujud praktikum dan pengabdian
terhadap lembaga. 9
Secara umum kurikulum lembaga pendidikan Islam sampai
tahun 1930 meliputi ilmu-ilmu: bahasa Arab dengan tata bahasanya,
fiqih, akidah, akhlak, dan pendidikan. 10
Sarana pendidikan biasanya tidak lebih dari masjid dan
madrasah (kelas). Kelas itu tidak diukur dari hasil evaluasi, tapi kelas
menurut tahun masuk, atau priodisasi. Tidak ada istilah kenaikan
kelas. Begitu selesai 6 tahun atau 7 tahun, mereka dianggap sudah
tamat dan berhak untuk mengajar. Maka dapat diduga guru-guru
alumni pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya tidak
semua mampu menguasai apa yang mereka pelajari. Dengan kata
lain, ada juga yang tidak berkualitas. Lebih lanjut Abdul Rahim
mengatakan, secara mayoritas alumni pesantren mampu mengajar
apa-apa yang mereka pelajari, karena mereka selama menjadi murid
sadar akan belajar meskipun tidak ada evaluasi.
Pembaruan dari alumni-alumni Makkah itu ditanggapi positif
oleh umat Islam. Hal itu menurut penulis wajar, karena pola
pendidikan sebelumnya pun masih dominasi pengaruh Timur-
Tengah yang belum bersentuhan dengan pengetahuan umum.
Pengaruhnya kepada masyarakat tentunya positif,

9 Syaikh Abdul Rahim, al-Ta’lim fi al-Madrasah al-Salafiayah, Persada, 1970, hlm. 15.

10Ibid., hlm. 20.


Modernisasi Pendidikan Islam 197

yakni semakin banyak guru-guru yang representatif dalam


mengajarkan agama, karena penguasaan bahasa Arab jauh lebih luas
bagi mereka yang langsung belajar dari Makkah dan juga
berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam karena pengaruh
doktrin ilmu yang harus diamalkan. Tentunya pen- dirian beberapa
lembaga pendidikan Islam ddak terlepas dari commercial oriented.11

2. Pendidikan Islam di Indonesia (1931-1945)


Mulai dari tahun 1931, lembaga pendidikan Islam Indo- nesia
memasuki warna baru yang oleh Mahmud Yunus disebut tahun di
mana dimulainya modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. 12
Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan se- belumnya baru
berinteraksi dengan orang-orang Timur-Tengah baik yang datang ke
Indonesia untuk menyebarkan Islam maupun orang-orang Indonesia
yang menuntut ilmu ke Makkah. Tidak diketahui persis kapan orang
Muslim Indo- nesia mulai berinteraksi dengan negara Mesir dalam
rangka menuntut ilmu. Namun dapat diketahui karena pengaruhnya
tahun 1931 Mahmud Yunus telah memimpin KMI di Padang.
Normal Islam (Kulliah Mu’allimin Islamiyah) yang di- dirikan
oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang tahun
1931 termasuk lembaga pendidikan modern yang banyak
berpengaruh pada perkembangan pendidikan

11 Ahmad Tafsir, “Bisnis Pendidikan”, Makalah Diprestasikan dalam Seminar

Pendidikan di HMJ PAI IAIN Bandung, November, 1995.


12 Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 102.
198 Sejarah Pendidikan Islam

Islam “modern” di Indonesia. Salah satu alumninya K.H. Imam


Zarkasyi pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo
Jawa-Timur. Di tahun 1936 pesantren Gontor sudah mengikuti
kurikulum dan sistem pendidikan Normal Islam (modern), di mana
sebelumnya mereka masih “tradisional”. Perkembangan pada
popularitas Pondok Modern Gontor itu melebihi Normal Islam
sampai sekarang. Menurut K.H. Imam Zarkasyi, banyak pesantren
atau lembaga pendidikan Islam lainnya yang di dalamnya termasuk
Normal Islam ddak mem- perhatikan kaderisasi. Di sinilah Gontor
kokoh karena sistem kaderisasinya kuat, sehingga kapanpun pendiri
atau pim- pinannya meninggal, sudah banyak yang mampu menggan-
tikannya. Sesungguhnya lembaga pendidikan mulai tahun 1931
sudah banyak mengajarkan pengetahuan umum. Dan lembaga
pendidikan Islam yang pertama kali memasukkan pendidikan umum
menjadi kurikulum sekolah adalah al- Jami’ah Islamiah di Sungayang
Batu Sangkar. Lembaga ini didirikan oleh Mahmud Yunus Maret
1931. Persentase pe- ngetahuan umum masih berkisar 30%, 40%,
dan 50% atau lebih. Pengetahuan umum yang dipelajari meliputi:
berhitung dagang, aljabar, ilmu ukur, ilmu alam/kimia, ilmu hayat/
geologi, ekonomi, mengarang buku, sejarah dunia/Islam, ilmu bumi
atau falak, tata negara, bahasa Inggris/Belanda. Selain ilmu umum
ada juga ilmu mendidik dan mengajar, ilmu jiwa, dan ilmu
kesehatan. 13
Sebenarnya bukan saja sekolah-sekolah yang langsung bersentuhan
dengan Mahmud Yunus yang memasukkan

13Ibid., hlm. 104.


Modernisasi Pendidikan Islam
199

pengetahuan umum ke dalam kurikulum sekolah. Namun pe-


ngaruhnya sangat besar terhadap masuknya kurikulum umum ke
lembaga pendidikan Islam, apalagi di kemudian' harinya Mahmud
Yunus aktif dalam menentukan kebijaksanaan kurikulum di
pemerintah. 14 Sekalipun terjadi pembaruan dalam bidang kurikulum
di beberapa lembaga pendidikan Islam, khususnya pengaruh
Mahmud Yunus, tapi sampai sekarang tidak semua lembaga
pendidikan Islam itu mengikutinya, atau dalam kata lain masih
banyak juga yang “tradisional”.
Selain pengetahuan umum sebagai pembaruan dalam periode
ini, dalam beberapa hal juga ada pembaruan lainnya. Dalam bidang
metodologi, misalnya, Mahmud Yunus sudah menerapkan tariqah al-
mubasyirah dalam belajar bahasa Arab, dan metodologi pengajaran
setiap bidang studi sangat varia- tif. 15
Adapun evaluasi sudah menjadi alat ukur keberhasilan siswa.
Artinya pada masa ini, khususnya lembaga pendidikan Islam yang
mengikuti pola Mahmud Yunus, tingkatan atau kelas ditentukan oleh
hasil evaluasi bukan berdasarkan tahun senioritas murid.
Hadirnya lembaga pendidikan Islam modern, baik pe- santren
atau nonpesantren, telah mendapat respon yang berbeda. Kaum
yang fanatik dengan tradisionalisme pesantren menuduh lembaga
pendidikan modern ini sebagai lembaga pendidikan umum, sebab
tidak mempelajari kitab-kitab

l4 Gontor, Wardun, Darussalam Press, 1992, hlm. 50.


15 Mahmud Yunus, Tarbiyah wa al-Talim, Darussalam Press, 1980,
hlm. 31.
Sejarah Pendidikan Islam
200

kuning sebagai dasar ilmu. Adapun yang merespon positif melihat


dari perspektif lowongan kerja. Mereka berpenda- pat pembaruan
ini sebagai langkah maju dan relevan dengan tuntutan zaman. 16
Lebih lanjut, Imam Zarkasyi mengatakan, pengaruh pem-
baruan pada masa ini terhadap masyarakat, yakni wawasan
keislaman umat Islam semakin luas, pola pikir semakin rasional,
alumni pesantren dapat melanjutkan pendidikan ke universitas baik
dalam maupun luar negeri.

F. KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pem-
bahasan ini antara lain:
1. Sistem pendidikan Islam al-Azhar dan pendidikan Islam di
Indonesia sudah lebih banyak bersifat klasikal.
2. Meskipun para penulis sejarah al-Azhar menyatakan mulai
tahun 1872 sebagai tahun di mana pendidikan telah modern,
tapi baru pada kepemimpinan Syaikh Al- Nawawi kira-kira
mulai tahun 1903 pengetahuan umum dimasukkan ke dalam
kurikulum pendidikan.
3. Al-Azhar sebagai universitas menjadi salah satu kiblat
pendidikan Islam dunia termasuk kiblat pendidikan Islam
Indonesia sampai tahun 1980.
4. Metodologi pendidikan di al-Azhar sampai sekarang, lebih
didominasi oleh hafalan daripada analisis.

16 Syukri Zarkasyi, “Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia”, Ma-


k
a
l
a
h

d
i
s
a
m
p
a
i
k
a
n
p
a
d
a
d
Modernisasi Pendidikan Islam 201

1. Sistem pendidikan Islam di Indonesia dari tahun 1900 telah


banyak yang bersifat klasikal.
2. Modernisasi (berkembangnya kurikulum yang meliputi
pengetahuan umum dan keunggulan metodologi untuk
mencapai tujuan yang sama) pendidikan Islam di Indo- nesia
dimulai tahun 1931. Pada saat itu kelihatan penga- ruh al-Azhar
dan Darul Ulum (Mahmud Yunus) sangat besar.
3. Kurikulum pendidikan Islam semenjak masuknya penge-
tahuan umum telah membawa hasil yang positif dalam lapangan
kerja dan pemahaman kaum Muslimin Indone- sia terhadap
Islam.
203

BAB XV

Pola Interaksi Guru dan Siswa


Pada Pendidikan Islam Klasik
Oleh: Nurul Hikmah

A. PENDAHULUAN
Pada periode awal, pendidikan Islam berlangsung hanya untuk
menyebarkan risalah yang dibawa oleh Nabi Muham- mad kepada
seluruh umat, kemudian berkembang menjadi upaya sadar yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan ahli dalam bidang
tertentu, baik di bidang agama, ma- syarakat dan pemerintahan. Ini
semua karena Islam semakin berkembang dan telah membentuk
pemerintahan Islam.
Sesederhana apa pun pendidikan Islam klasik, pola 1 interaksi 2
guru dan siswa pasti sudah ada, karena guru dan siswa adalah elemen
yang ada dalam pendidikan tersebut. Untuk itu, kita perlu membahas
tentang bagaimana bentuk pola interaksi guru dan siswa pada
pendidikan Islam klasik,

1 Pola: Bentuk tetap yang dijadikan ukuran untuk membuat sesuatu. Lihat Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Dua, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1993), cet. II, hlm. 778. 2 Interaksi: saling melakukan aksi,
berhubungan. Lihat, Ibid., 383.
204 Sejarah Pendidikan Islam

dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pola interaksi yang


ada saat itu.
Permasalahan di atas mengandung tiga variabel yang akan
diungkap, yaitu pola sikap guru terhadap siswa dalam inter- aksi
edukatif, pola sikap siswa terhadap guru dalam interaksi edukatif,
dan interaksi timbal balik guru dan siswa pada pendidikan Islam
klasik.

A. GAMBARAN INTERAKSI RASULULLAH DAN SAHABAT


PADA PERIODE AWAL PENDIDIKAN ISLAM
Risalah yang diterima Nabi Muhammad disebarkan melalui
dakwah atau pendidikan terhadap umat. Pada awal kenabian, ia
menyerukan penyempurnaan akhlak dan tauhid. Untuk misi ini, nabi
menerapkan dua pola hubungan, yaitu hubungan yang berkaitan
dengan hablun min Allah dan hablun min al-nas.
Pada pola pertama, nabi melaksanakan pendidikan terhadap umat
sebagai dakwah terhadap risalah yang dibawa- nya yang memiliki
nilai ibadah dihadapan Allah Swt. Untuk itu, ia menjalankan ibadah
ini dengan ikhlas tanpa menuntut materi dari dakwah yang
dilakukan. Sikap ini pun ia tanamkan pada sahabat dalam mengikuti
dakwah nabi. Sebagaimana firman Allah Swt.;

‫إﻻيأﺟﺮأن ﻻﻣﺎ ﻋﻠﻴـ ـ ـ ـ ـ ــﻪ أﺳﺄﻟﻜﻢ ﻻ ﻗـ ــﻮم و‬


‫ﷲ ﻋﻠ ـ ــﻰ‬
Hai kaum ku! Aku tidak meminta harta kepada kalian atas tabligh ini.
Ganjaranku hanyalah pada Allah.
Pola Interaksi Guru dan Siswa 205

Pada pola kedua, nabi langsung menjadi guru umat dan model
dari akhlak yang diinginkan. Dengan demikian, umat langsung dapat
melihat bentuk yang diinginkan Alquran dari sikap Rasulullah sehari-
hari, karena nabi mengemban tugas- nya tidak sebatas di atas mimbar
atau di dalam masjid. Seba- gaimana firman Allah dalam surah Al-
Ahzab: 21.

‫أﺳ ــﻮة ﷲ رﺳ ـ ــﻮل ﰲ ﻛﺎن ﻟﻘ ـ ـ ــﺪ‬


‫ﺣﺴ ـ ــﻨﺔ‬
Pada hubungan sehari-hari sahabat sangat menghormati nabi
dan mendudukkan nabi pada posisi yang tinggi, tapi nabi senantiasa
bersikap tawadu’. Di sinilah letak keseimbangan hubungan yang terjadi
pada interaksi Rasulullah dan sahabat, yang diikat dengan ukhuwah
Islamiyah.
Pola hubungan yang berlangsung pada interaksi dakwah nabi
mengutamakan akhlak dalam pergaulan satu sama lain. Untuk itu,
pola hubungan rasul dan sahabat sangat sarat nilai, karena ilmu atau
agama itu didirikan atas kebersihan lahir dan batin. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw.:
3
‫اﻟﻨﻈﺎﻓـ ـ ـ ـ ـ ــﺔ ﻋﻠـ ـ ــﻰ اﻟ ـ ـ ــﺪﻳﻦ ﺑـ ـ ـ ـ ـ ــﲏ‬

C. POLA SIKAP GURU DAN SISWA PADA PENDIDIKAN


ISLAM KLASIK

1. Pola Sikap Guru Terhadap Siswa Dalam Interaksi Edukatif Pada


Pendidikan Islam Klasik
Bentuk pola sikap guru pada pendidikan Islam klasik
berdasarkan pada nilai-nilai hubungan yang ada pada pola

3 A1-Ghazali, Ihya’ ‘UIumAl-Din (Cairo, Dar al-Hadits, 1994), j.l.


206 Sejarah Pendidikan Islam

bentuk sikap rasulullah dan sahabat dalam mendakwahkan Islam, yaitu


pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan dan pola uswah
al-hasanah.

a. Pola Keikhlasan
Pola keikhlasan 4, mengandung makna bahwa interaksi yang
berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan
yang diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi
tersebut, dan menganggap interaksi itu berlang- sung sesuai dengan
panggilan jiwa untuk mengabdikan diri pada Allah dan mengemban
amanah yang ia berikan.
Rasa ikhlas yang ada pun, menimbulkan rasa tanggung jawab
yang besar dalam diri guru untuk menjalankan tugas dengan baik.
Maka guru memperhatikan kompetensi yang hendaknya ia miliki
sebagai pendidik, yaitu;
1) Mempersiapkan segala sesuatu yang menunjang dalam proses
belajar mengajar. 5
2) Menjelaskan tujuan 6 sebelum menjelaskan materi. 7

4 Keikhlasan guru pada masa klasik sangat didukung oleh kondisi saat itu, yaitu

pemerintah menjamin kehidupan guru karena mereka sangat memperhatikan ilmu


pengetahuan, guru bukan merupakan profesi tunggal pada masa itu bagi para ulama’,
kehidupan ulama tidak tergantung pada usaha mendidik seperti sekarang ini.

5 Lihat
pendapat Al-Qalqasyandi yang dikutip oleh Ahmad Salabi, “bila anda
hendak memikirkan materi-materi pembicaraan yang akan disam- paikan...”, Lihat
Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, Judul asli, Tatikh Tarbiyah Islamiyah, penerjemah,
Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, (Jakarta. Bulan Bintang, t.th.), hlm 250.

6 Tujuan pendidikan Islam adalah mencari ridha Allah.


7 A1-Ghazali, op.cit., hlm. 90.
Pola Interaksi Guru dan Siswa 207

3) Menyesuaikan materi yang akan diberikan dengan tingkat


kemampuan siswa, yaitu menjelaskan materi pelajaran dari yang
sederhana kepada yang sulit dan dari yang umum kepada yang
khusus. 8
4) Ketika siswa ingin melanjutkan ke ilmu yang lain, guru
mempunyai kewajiban untuk memilihkan ilmu apa yang hendak
dipilih oleh siswa sesuai dengan kemampuan dan kecondongan
siswa selama ia belajar dengan guru tersebut. 9
5) Guru berusaha mendidik siswanya agar mempunyai ke-
mampuan dan kecakapan untuk berijtihad dan melakukan
penyelidikan sendiri, dan tidak hanya bertaklid buta. 10

b. Pola Kekeluargaan
Pada masa ini, guru memposisikan dirinya dan siswa seperti
orang tua dan anak. Artinya, mereka mempunyai tanggung jawab
yang penuh dalam pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih
sayang seperti menyayangi anak sendiri. Sebagaimana sabda
Rasulullah:

‫ﻟﻮﻟ ـ ـ ـ ــﺪﻩ اﻟﻮاﻟـ ـ ــﺪ ﻣﺜـ ـ ــﻞ ﻟﻜ ــﻢ أ‬


Pada pola ini, guru senantiasa bersikap sebagai berikut: 1)
Guru bersikap lemah lembut dalam proses belajar meng-

8Ibid., hlm. 96.


9 A1-Zarnuji, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu, Judul Asli, Ta’ilim Muta’alim, Penerjemah,
Aly As’ad (Yogyakarta: Menara Kudus, 1978) hlm. 29.
10 Lihat pendapat Al-Ghazali dalam kitab, “Risalah Abadi Fial-Din, yang dikutip

oleh Ahmad Salabi, op.cit., hlm. 252.


11 Al-Ghazali, op.cit.
208 Sejarah Pendidikan Islam

ajar, pandai mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya pada


anak dalam interaksi tersebut.
2) Guru mengetahui waktu yang tepat untuk memberikan pujian
dan hukuman serta bijaksana dalam memberikan jenis hadiah
dan hukuman pada anak. Sebab, pada ke- adaan ini hadiah yang
diberikan guru ada dua macam, yaitu; hadiah berupa pujian dan
berupa benda. Hukuman pun terbagi dua, yaitu hukuman
berupa celaan dan hukuman fisik. 12
3) Guru tidak bersikap pilih kasih, dengan tidak membe- dakan
tingkat sosial siswa dalam interaksi edukatif.

c. Pola Kesederajatan

Guru dalam interaksinya senandasa memunculkan sikap tawadhu’


terhadap siswanya. 13 Pola interaksi seperti ini mem- buat guru
menghargai potensi 14 yang dimiliki anak. Dengan demikian, pola
yang dimunculkan bernuansa demokratis; guru memberi kesempatan
pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti.
Sikap tawadhu’ yang dimiliki guru membuat ia tidak bersikap
diktator atau merasa lebih benar dan merasa tidak pernah salah.
Kendati siswa pada masa ini dituntut untuk menghargai guru,
menaatinya dengan sepenuh hati dan menyerahkan semua
permasalahan pendidikan kepada guru.

12 Ahmad Salabi, op.cit., hlm. 268-270.


13 Lihat Abuddin Nitta, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1998), hlm. 50.
14 Penghargaan potensi anak pada proses interaksi: siswa yang sudah pandai

mengajar siswa yang belum pandai.


Pola Interaksi Guru dan Siswa 209

d. Pola al- U s w ah al-Hasanah


Pada pendidikan Islam klasik, interaksi yang terjadi antara guru
dan siswa tidak hanya terjadi pada proses belajar menga- jar, tetapi
berlangsung juga di tengah masyarakat, di mana guru menjadi agen
moral sekaligus model dari moral yang diajarkan. Dengan demikian,
para siswa mudah untuk melihat gambar kepribadian yang
diinginkan guru. 15 Firman Allah:
‫أﻧﻔﺴ ـ ـ ـ ــﻜﻢ وﺗﻨﺴـ ـ ـ ـ ـ ــﻮن ﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﱪ اﻟﻨ ـ ــﺎس ﻣ ـ ـ ــﺮون أ‬

Adakah kalian memerintah manusia dengan kebajikan dan kalian melupakan diri
kalian sendiri.

2. Pola Sikap Siswa Terhadap Guru Dalam Interaksi Edukatif

a. Pola Ketaatan
Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah
dalam proses pencarian ilmu 16 . Untuk itu, maka siswa dalam
interaksi dengan guru merupakan upaya mencari ridha- nya (kerelaan
hatinya), menjauhi amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya
selama tidak bertentangan dengan agama. 17

15 Lihat Abuddin Nata, op.cit., hlm. 55.


16 Ilmu
itu musuh pemuda yang sombong, bagaikan banjir yang men- jadi musuh
tempat yang tinggi. Sombong: tidak menaati guru. Lihat Al- Ghazali, op.cit., hlm. 85-86.
Menurut Al-Zarnuji “Barang siapa melukai hati guru, maka berkah ilmu tertutup dan
hanya sedikit kemanfaatannya. Lihat, Al-Zarnuji, op.cit., hlm. 25.

17 Lihat Abuddin Nata, op.cit., hlm. 17-18.


210 Sejarah Pendidikan Islam

Gambaran ketaatan siswa dalam interaksinya dengan guru


dibagi dua, yaitu pertama, ketaatan terhadap guru secara langsung,
yaitu jangan berjalan di depan guru, jika bertamu ke rumah guru
hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu di luar,
dan duduk jangan terlalu dekat dengan guru, duduklah sejauh antara
busur panah. 18 Kedua, ketaatan terhadap keluarga guru 19,
menghormati guru dan semua or- ang yang mempunyai ikatan
keluarga dengan guru.

b. Pola Kasih Sayang


Menurut Ibn Miskawaih, kewajiban cinta siswa terhadap guru
berada di antara cinta terhadap Allah dan cinta kepada orang tua,
karena menurut Ibn Miskawaih, guru merupakan penyebab
eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memper- oleh kebahagiaan
sempurna. 20
Bertolak dari penjelas di atas, kita dapat mengetahui ka-
rakteristik pola sikap guru dan siswa dalam interaksi edukatif, yaitu:
1) Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin yang
tercermin pada kesadaran sosial dan usaha-usaha idealistik yang
ditujukan pada penguasaan setiap keca- kapan yang menjadi
tuntutan tugas seseorang.
2) Interaksi antarguru dan siswa dalam proses belajar mengajar
dipandang sebagai suatu kewajiban agama. 21

18 A1-Zarnuji, op.cit., hlm. 30.


19Ibid., him. 25 dan Lihat Al-Ghazali, op.cit., hlm. 85.
20 Ibnu Miskawaih, op.cit., hlm. 143.
2l Lihat, Abdul Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1991),

hlm. 59 dan 63.


Pola Interaksi Guru dan Siswa 211

3) Adanya hubungan pribadi yang dekat antara guru dan siswa,


menjamin keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak; dengan
pengajaran sebagai keterampilan. 22
4) Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses
belajar dan mengajar, tetapi interaksi tersebut tetap ber-
langsung di tengah masyarakat.
5) Adanya keseimbangan interaksi guru dan siswa pada
pendidikan Islam klasik.
6) Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi
pada zaman Rasulullah.
Dari karakteristik pola di atas, kita dapat mengetahui bahwa
tujuan pola interaksi guru dan siswa yang terjadi pada pendidikan
Islam klasik seperti yang digambarkan di atas, memiliki tujuan yang
sangat esensial, yaitu pola tersebut tidak hanya membantu dalam
mentransfer pengetahuan dan kete- rampilan, melainkan merupakan
suatu ikhtiar untuk menggu- gah fitrah insani sehingga siswa menjadi
manusia sempurna.

3. Pola Komunikasi Guru dan Siswa Dalam Proses belajar


Mengajar Pada Pendidikan Islam Klasik
Pendidikan Islam pada masa ini sudah mengenal bebe- rapa
bentuk komunikasi dalam proses belajar mengajar, yaitu pola satu
arah dan pola banyak arah. 23
Pertama, pola satu arah, pada pola komunikasi terjadi hanya satu
arah, seorang guru bertindak sebagai instruktur,

22 lbid, hlm. 60.


23 Ibnu Khaldun, Mukaddimab, (Beirut: Dar al-Jail), hlm. 477-481.
212 Sejarah Pendidikan Islam

dan senandasa mendorong siswa untuk lebih banyak meng- hafal,


karena menganggap bahwa kemahiran ilmiah identik dengan
pengetahuan yang dihafal. Pada pola ini yang terlihat adalah metode
talqin dengan hafalan.
Kedua, pola banyak arah. Pada pola ini komunikasi terjadi tidak
hanya antara guru dan siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswa.
Ini terlihat pada proses belajar mengajar yang berlangsung melalui
latihan bicara guna mengungkap pikiran- pikiran dengan jelas dalam
diskusi dan perdebatan masalah- masalah ilmiah.
Pola pertama lebih banyak dipakai pada periode awal,
sedangkan pada periode setelah kerasulan, ia dipergunakan pada
tingkat dasar. Sedangkan pada tingkat menengah ada keseimbangan
antara pola pertama dan kedua, dan pada tingkat tinggi, pola kedua
yang lebih mendominasi. 24

D. KESIMPULAN
Bentuk pola sikap guru terhadap siswa, yaitu pola ke- ikhlasan,
kekeluargaan, kesederajatan dan uswab al-hasanah, sedangkan pola
sikap siswa terhadap guru, yaitu pola ketaatan dan kasih sayang.
Dari pembahasan di atas, kita dapat mengetahui karak- teristik
pola interaksi guru dan siswa pada pendidikan Islam klasik, yaitu:
• Memberikan penghargaan yang tinggi pada kesucian batin
yang tercermin pada kesadaran sosial dan usaha-usaha

24 Lihat, Abdullah Fadjar, op.cit., hlm. 61-62.


Pola Interaksi Guru dan Siswa 213

idealistik yang ditujukan pada penguasaan setiap keca- kapan


yang menjadi tuntutan tugas seseorang. Interaksi antarguru
dan siswa dalam proses belajar mengajar dipandang sebagai
suatu kewajiban agama.
Adanya hubungan pribadi yang dekat antara guru dan siswa,
menjamin keterpaduan bimbingan ruhani dan akhlak dengan
pengajaran sebagai keterampilan.
• Interaksi guru dan siswa tidak hanya terjadi dalam proses
belajar dan mengajar, tetapi interaksi tersebut tetap
berlangsung di tengah masyarakat.
• Adanya keseimbangan interaksi guru dan siswa pada
pendidikan Islam klasik.
Pola yang ada merupakan pengembangan interaksi yang terjadi
pada zaman Rasulullah.
215

BAB XVI

Pendanaan Pendidikan Islam Masa


Klasik
Olek Maftuhah

A. PENDAHULUAN
Salah satu fitrah kebutuhan wajib dan esensial manusia adalah
pendidikan. Dengannya, manusia dapat dididik untuk mengenal
berbagai konsep bagi eksistensi dan keberlangsungan hidupnya ke
arah tertentu. Dengannya pula manusia terlatih untuk berjalan ke
arah tujuannya tersebut.
Sebagai aset umat, pendidikan menjadi sangat penting karena ia
adalah agen perubahan dan transformasi tata nilai yang terorganisir
dengan baik. Pada awal masa Islam klasik (sekitar abad VII, masa
Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin), didirikan kelompok
belajar di rumah Arqam bin Abi Al-Arqam yang kemudian
dilanjutkan di masjid dengan sistem As-Suffahnya. Kuttab—sebagai
pendidikan dasar dan disinyalir ada sejak pra Islam—dimanfaatkan
sebagai sarana untuk mengajarkan baca tulis Alquran sebagai
pelajaran inti. Pada perkembangan selanjutnya, muncul madrasah
yang pada awal pendiriannya dipakai secara sempit untuk propa-
ganda paham-paham tertentu dan jalur politik serta birokrasi
216 Sejarah Pendidikan Islam

tersendiri. Para ulama pun membentuk halaqah-halaqah, majelis-majelis


dan kelompok-kelompok kajian lain—secara perorangan maupun
bersama-sama untuk eksistensi keilmuan mereka sehingga
berkelanjutan.
Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan terkait
dengan bermacam faktor. Dana adalah salah satunya dan dianggap
persoalan penting bagi kelangsungan suatu lembaga pendidikan agar
berbagai aktivitas dapat dilakukan dengan semangat yang tinggi dan
lebih beragam, sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang
berbobot.
Hasan Langgulung melaporkan bahwa di banyak negara maju—
yang kualitas sumber daya manusianya tinggi-ang- garan pendidikan
telah mencapai lebih dari 20% dari GNP Bandingkan dengan
berbagai negara berkembang-yang sumber daya manusianya
rendah—yang mengeluarkan dana kurang dari 10%, bahkan kurang
dari 5% dari anggaran belanja nasionalnya. 1 Hal ini memang tidak
dapat kita lihat sebagai hitam dan putih. Sedikit atau banyaknya
anggaran belanja untuk bidang pendidikan akan sangat terkait
dengan berbagai faktor nonkependidikan, termasuk asumsi berpikir
atau sudut pandang yang diambil ketika membuat keputusan
tersebut.
Jika melirik masa lalu, pendanaan lembaga pendidikan ternyata
telah mendapat perhatian yang besar dari para pe- nyelenggara
pendidikan maupun pihak-pihak yang tidak terlibat langsung di
dalamnya. Umat Islam pada masa itu sudah

_____________________
1 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1992),
cet. II, hlm. 138-9.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 217

memahami benar perlunya biaya besar untuk membangun dan


mengelola sekolah yang bermutu. Mahmud Yunus misal- nya,
memaparkan bahwa Nizham Al-Mulk mengeluarkan anggaran
belanja yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. Ia
mengeluarkan biaya sebanyak 600.000 dinar atau lebih dari 100
trilyun rupiah setiap tahun untuk seluruh madrasah yang diasuh
negara. 2 Pembiayaan lembaga-lembaga pendidikan ini, menurut
Hanun Asrohah, dapat dihubungkan dengan negara karena lembaga-
lembaga pendidikan formal disubsidi oleh penguasa dan dibantu
oleh orang-orang kaya berupa harta wakaf. Sedangkan lembaga-
lembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh negara. 3 Begitu
pula manajemen keuangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut
dapat dihubungkan dengan negara (sentralistik) dan tanpa campur
tangan pemerintah (desentralistik).
Berawal dari sedikit pemaparan di atas, penulis mencoba
mengetengahkan berbagai sumber biaya yang ada pada berbagai
lembaga pendidikan masa Islam klasik dan pola pengelolaan yang
dijalankan, sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat
dijadikan bahan perbandingan bagi masalah biaya pendidikan di
masa kini. Sedangkan lembaga pendidikan yang dimaksud di sini
adalah berbagai tempat yang dipakai untuk belajar, baik secara
formal maupun non- formal.

2 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mutiara, 1966), hlm. 63.

3 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. I, hlm. 46
218 Sejarah Pendidikan Islam

Walaupun masa Islam klasik terpenggal menjadi beberapa


periode, yakni periode Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidin, Bani
Umayyah, dan Bani Abbas, penulis hanya akan terfokus pada sistem
pendanaan yang diterapkan pada masa itu secara menyeluruh dengan
mengabaikan periodesasi di atas serta klasifikasi pendidikan.

B. SUMBER BIAYA PENDIDIKAN ISLAM MASA KLASIK

1. Subsidi Pemerintah/Negara
Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki perhatian yang
besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa Khulafaur Rasyidin.
Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu
pengetahuan dan pendidikan, ter- masuk lembaga-lembaganya. As-
Suffah4 yang menjadi model pendidikan Islam ketika nabi berada di
Madinah tersebar luas ke luar Madinah sejalan dengan penyebaran
masjid. Keber- langsungan as-Suffah ini sangat diperhatikan oleh
Khulafaur Rasyidin. Umar bin Khattab misalnya, senantiasa
mengangkat para sahabat rasul yang memiliki ilmu pengetahuan
agama yang luas sebagai panglima dan gubernur. Mereka banyak
mendirikan masjid dengan as-Suffah di dalamnya. Kegiatan pendidikan
ini kemudian dibantu pembiayaannya dengan dana pemerintah yang
tersedia. Thomas W. Arnold yang dikutip oleh Soekarno dan Ahmad
Supardi menyatakan, “.... Demi-

4 Ketika Nabi Saw. hijrah ke Madinah, beliau memerintahkan para sahabat


untuk membangun masjid. Salah satu ruangan masjid tersebut digu- nakan untuk
mengajar para sahabat sekaligus pondokan bagi mereka yang sangat miskin.
Ruangan itu dikenal dengan nama as-Suffah.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 219

kianlah dalam hubungan ini, Khalifah Umar mengangkat dan


menunjuk guru-guru untuk setiap negeri. Betapa besarnya perhatian
khalifah dalam bidang pendidikan agama ini dapat diketahui dari
fakta bahwa di kota Kufah, misalnya, orang yang dipercaya
menjalankan tugas itu adalah bendaharawan kota itu sendiri”. 5
Di daerah-daerah baru—pada masa Umayyah—di mana bahasa
Arab bukan bahasa pertama dan Alquran belum dikenal,
pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, seperti kuttab dan
masjid menjadi tujuan utama para khalifah dan gubernur setempat.
Pendanaan lembaga-lembaga pendidikan ini sangat tergantung pada
pemerintah sebagai pemrakarsa dan propagandis.
Masjid Jami’ 6 yang banyak bermunculan di masa Dinasti
Abbasiyah dibiayai keberadaan dan operasionalnya oleh pemerintah
sepenuhnya. Halaqah-halaqah masjid ini dipim- pin oleh seorang
syaikh yang diangkat oleh khalifah untuk mengajarkan bidang kajian
tertentu. 7
Madrasah-madrasah yang didirikan di masa Turki Saljuk
dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara.

5 Soekarnodan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:


Angkasa, 1985), hlm. 51.
6 Pada periode Islam klasik dikenal 2 tipe masjid, yakni masjid Jami’ dan masjid

lokal. Masjid Jami’ umumnya adalah bangunan besar yang dihiasi dengan indah
melalui biaya negara dan berfungsi sebagai tempat diumum- kannya berbagai hal
tentang negara dan agama pada masyarakat. Masjid lokal biasanya lebih kecil,
dibangun untuk kebutuhan kelompok masyarakat tertentu.

7 Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Hasan Asari dan

H. Afandi, (Jakarta: Logos, 1994), cet. IV, hlm. 35.


Sejarah Pendidikan Islam
220

Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk mendirikan dan


memelihara sekolah-sekolah ini dengan cara memberikan beasiswa
yang besar, pensiun dan ransum yang diberikan kepada para
mahasiswa yang patut menerimanya. Bait al- Hikmah yang terkenal
jejaknya sampai sekarang, dibangun— sebelum lembaga wakaf di
masa Al-Makmun bentuk—salah satunya melalui dana negara yang
sumbernya berasal dari Jizyah, zakat, dan sebagainya. 8

2. Wakaf
Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum Islam yang
berkaitan dengan harta benda. Sebagai bagian dari sis- tem
pendanaan pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang
terorganisir dengan baik dan menjadi mode di masa Abbasiyah
terutama masa keemasan peradaban Islam.
Khalifah Al-Makmun dianggap sebagai pemrakarsa ber- dirinya
badan-badan wakaf untuk lembaga pendidikan, se- hingga
pembiayaan berbagai kegiatan keilmuan, termasuk gaji para
ulamanya, dapat berlangsung terus dan kokoh. Prakarsa Al-Makmun
ini kemudian meluas pada para penggantinya dan pembesar-
pembesar negara, sehingga badan wakaf yang permanen dipandang
sebagai suatu keharusan dalam men- dirikan suatu lembaga ilmiah.
Selanjutnya wakaf-wakaf ini berkembang peruntukannya bagi
orang-orang atau kelom- pok studi yang menyediakan dirinya untuk
kesibukan- kesibukan ilmiah di berbagai masjid.

8 Dana suatu tempat pendidikan tidak hanya berasal dari satu sumber. Ia dapat

dibiayai oleh beberapa hartawan, wakaf dan negara. Lihat A. Syalabi, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 374.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 221

Pemberi wakaf tampaknya memiliki kekuasaan yang luas dan


otoritas yang kuat dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan
dokumen wakaf yang dibuatnya secara formal. Dokumen ini
menggambarkan materi kekayaan yang men- jadi wakaf dan
mencantumkan cara penggunaan serta penya- luran uang yang
dihasilkan dari investasi, penyewaan atau penjualan aset tersebut. Di
dalamnya, pemberi wakaf dapat menetapkan kriteria syaikh dan
pengajar yang harus dipenuhi, kurikulum yang digunakan atau
bahkan mazhab yang dianut. Di samping itu pemberi wakaf
menentukan satu atau bebe- rapa orang yang bertanggung jawab
untuk mengelola harta wakaf tersebut. 9 Walau demikian, dokumen
wakaf dibuat sangat hati-hati karena tidak boleh diubah setelah
ditanda- tangani. Pemberi wakaf pun tidak boleh mengambil sedikit
juga aset atau penghasilan wakaf tersebut.
Karena wakaf ini kebanyakan merupakan aset ekonomi yang
berjalan, seperti tanah pertanian, rumah, toko, kebun, kantor
dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana yang dihasilkan akan
bervariasi sesuai dengan kondisi ekonomi waktu itu. Oleh karenanya,
tingkat kehidupan para pelajar dan pengajar yang dibiayai oleh hasil
wakaf berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau begitu, peranan
wakaf sangat membantu pelaksanaan pendidikan. Dengan wakaf,
umat Islam mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Para pe-
lajar dan orang tua mereka tidak terbebani dengan berbagai macam
biaya yang diambil untuk kegiatan pendidikan.

9 Pada mazhab Maliki, seorang pemberi wakaf tidak dibenarkan me- nentukan

dan mempengaruhi pengangkatan syaikh atau penggantinya, serta Mengangkat dirinya


sebagai pengelola wakaf.
222 Sejarah Pendidikan Islam

Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi oleh sistem


wakaf ini banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn
Hasanawaih Al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi
gubernur, mendirikan 3000 masjid dengan akademi di dalamnya.
Masing-masing masjid memiliki asrama (masjid Khan).
Pembiayaannya berasal dari wakaf. 10 Wakaf Abdul Latif Al-Mansur
berupa pondok dan toko untuk 5 orang anak yatim serta
pengajarnya. Mereka belajar membaca dan menghafal Alquran. 11
Nizham Al-Mulk, yang terkenal dengan madrasah-madrasah
Nizhamiyahnya, menyediakan dana wakaf dalam jumlah sangat besar
untuk membiayai mudarris, imam, siswa, fasilitas asrama, fasilitas
perpustakaan, dan lain- lain. 12

3. Orang Tua
Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini ber- variasi
dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi finansial orang tua
murid. Biaya ini juga merefleksikan kemajuan siswa. Sebab, di
samping biaya pendaftaran, biaya tambahan akan diambil ketika
siswa telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran,
ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan
pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa tersebut.

10 Charles M. Stanton, op. cit., hlm. 44-5.


11 HasanLanggulung, op. cit., hlm. 163.
12 Lihat A. Syalabi, op. cit., hlm. 375-6, Charles M. Stanton, op. cit., hlm. 47, Hasan

Langgulung, op.cit., hlm. 98-9 dan Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), cet. II, hlm. 98-9.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 223

Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit


jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan,
seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini dida- sarkan pada anggapan
penyebaran misi Ilahi harus dilakukan dengan ikhlas. Biaya
pendidikan nonagama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai
1000 dirham pertahun (masa Abbasiyah). 13 Kadang-kadang
pembayaran dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai
pengganti uang yang dibayar setiap minggu atau setiap bulan.
Orang tua yang berasal dari kalangan elit bangsawan atau
hartawan, tentu akan mengeluarkan uang lebih banyak, ditambah
dengan berbagai fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan
perlengkapan lainnya. Khalifah Al-Mutawakkil memberi Ibnu Al-
Sikkit, yang menjadi muaddibu bagi putra- nya, uang sebanyak 50 dinar
di samping gajinya yang tetap. Ali ibnu Al-Hasan Al-Ahmar yang
datang ke istana Khalifah Harun Al-Rasyid untuk memberi pelajaran
kepada Al-Amin dibelikan sebuah rumah, pelayan perempuan,
kendaraan, pesuruh dan kemudahan memanfaatkan perpustakaan, di
samping gaji rutin. 15

1. Siswa
Seorang ilmuwan yang mengajar di masjid, madrasah, atau
lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut

13 Charles M. Stanton, op. cit., hlm. 21.


14Muaddibadalah pengajar yang berfungsi sebagai pembimbing putra seorang
pembesar. Mereka mengadakan kegiatan pendidikannya di lingkungan dalam istana.

15 A. Syalabi, op. cit., hlm. 232-3.


224 Sejarah Pendidikan Islam

uang dari siswanya. Biasanya, jumlahnya disepakati antara guru dan


siswa tersebut serta dibayar pada awal masa belajar. Ibrahim Al-
Zadjdjadj misalnya, memperoleh uang dari pe- kerjaannya sebanyak
1,5 dirham tiap hari. Kemudian ia pergi belajar kepada Al-Mubarrid
dan membayar honornya sejum- lah dua pertiga dari penghasilannya
tersebut, ditambah syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari sampai
maut memisahkan mereka. 16
Para penuntut ilmu yang berasal dari keluarga tidak mam- pu
atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja di tengah- tengah
masyarakat untuk membiayai pendidikannya. Peker- jaan yang
mereka lakukan bervariasi tergantung kesempatan dan kebutuhan
mereka. Ada juga pelajar tidak tetap 17 yang terdiri dari para pekerja.
Orang-orang ini sendiri menanggung biaya pendidikan yang
diperlukan.

5. Sumber lain/Perorangan
Pandangan bahwa ilmu agama, terutama Alquran harus
diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendo- rong para
pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan

16Ibid, hlm.

317.
17 Muniruddin Ahmed, membagi pelajar menjadi 2 kelompok, yaitu pelajar
tetap dan pelajar tidak tetap. Pelajar tetap adalah orang yang mem- punyai tujuan
utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk ilmu. Pelajar tidak
tetap merupakan orang yang mengikud pelajaran hanya pada waktu-waktu tertentu,
biasanya untuk menunjang profesi me- reka. Lihat Muniruddin Ahmed, Islam Education
and the Scholar’s Social Status Up to 5th Century Muslim Era (11 th Century Christian Era) in the Light of Tarikh
Baghdad, (Verlag: Der Islam Zurich, 1968), hlm. 142.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 225

finansial dari siapa pun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan


pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri di
luar pekerjaan mengajar. Abu Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang
ulama besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau mengambil upah
ketika mengajarkan hadis. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya
dari hasil usaha sendiri. 18
Literatur Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita yang
mengabarkan bahwa para pengajar dan pendidik—yang miskin
sekalipun—duduk memberikan pelajaran kepada masyarakat tanpa
mengharapkan bayaran sedikit pun. Kama- luddin Abu Al-Barakat
Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya senantiasa
membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu, semata-mata
karena Allah. Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun
tidak menerima bayaran apa-apa, seperti Al-Dhahak ibn Muzahim
dan Abdullah ibn Harits, 19 bahkan mereka bersedia membiayai
sendiri kegiatan pendidikan tersebut.
Di samping para pengajar yang mempunyai keinginan dan
kesadaran di atas, banyak para hartawan dan dermawan yang
mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai lembaga
pendidikan dan kegiatannya. Al-Hakam II (961-976 M) misalnya,
membuka sejumlah sekolah dasar (kuttabj di Kordova. Guru-gurunya
digaji dari kantongnya sendiri, dan pelajaran yang diberikan kepada
murid-muridnya, selain Alquran, adalah menulis puisi, prosa,
grammar, dan kaligrafi. 20

18 A. Syalabi, op. cit., hlm. 223.


19Ibid., hlm. 224.
20 Soekarno dan Ahmad Supardi, op. cit., hlm. 79.
226 Sejarah Pendidikan Islam

Juga para dermawan yang mengadakan berbagai kajian ilmu di


rumah-rumah pribadi mereka, kedai-kedai buku atau sa- lon-salon
sastra. 21

C. POLA PENGELOLAAN DANA PENDIDIKAN

1. Sentralisasi
Yang dimaksud dengan sentralisasi di sini adalah dana
pendidikan direncanakan dan dikelola oleh birokrat atau pe- megang
otoritas kekuasaan, bukan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Sejarah pendidikan Islam yang panjang menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh negara, tidak
memiliki otoritas untuk mengatur sumber keuangan yang memang
tidak dimilikinya. Semua keperluan pendidikan akan dipenuhi oleh
pemerintah melalui kas negara atau Bait al-Mal. Sehingga, napas
kehidupan lembaga pen- didikan tersebut akan mengembang atau
mengempis sesuai dengan kebijakan pemerintah terhadap sektor
pendidikan,

21 Kedai buku adalah kedai atau toko yang menyalurkan dan menjual buku-

buku serta naskah-naskah langka. Kedai-kedai ini berkembang pesat pada periode
Abbasiyah dan Umayyah II (Spanyol). Banyak para cendekiawan yang menghabiskan
waktunya berjam-jam di sini untuk membaca, meneliti, mempelajari, bahkan
berdiskusi sesama mereka, atau juga membeli buku- buku yang menarik untuk
dikoleksi. Salon sastra yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan
ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, merupakan tempat pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan. Lihat Mehdi Nakosteen,
Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet. I, hlm. 64-5
dan A. Syalabi, op. cit., hlm. 52-62.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 227

atau perhatian penguasa/khalifah terhadap lembaga pendi- dikan itu


dan ilmu pengetahuan secara umum.
Mahmud Yunus memaparkan bahwa Dar al-Ilmi di Cairo, yang
didirikan oleh Al-Hakim bi Amrillah pada tahun 1004 M,
menghabiskan kira-kira 257 dinar setiap tahun dari kas negara untuk
beragam keperluan di luar gaji guru dan karya- wan. Dana itu
digunakan untuk membeli tikar, kertas, gaji pemimpin perpustakaan,
air, gaji pesuruh, keperluan para pengajar/ulama, perbaikan kain,
pintu, menjilid buku, mem- beli tikar bulu dan permadani. 22 Ahmad,
raja Idzadj, mem- bagi hasil pajak negaranya menjadi tiga bagian.
Sepertiganya disediakan untuk membiayai pendidikan dan
pengajaran di sudut-sudut masjid dan sekolah-sekolah. 23
Wakaf yang dipakai sebagai model pendanaan berbagai lembaga
pendidikan Islam, juga tidak lepas dari sistem terpusat ini. Pemberi
wakaf seringkah menentukan pola pengelolaan harta wakafnya dan
peruntukan yang jelas dari hasil wakaf tersebut dalam dokumen
wakaf, tanpa mem- pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
kondisi dan kebutuhan lembaga pendidikan tersebut di kemudian
hari. Di samping itu, ia juga sering menentukan dirinya atau ahli
warisnya sebagai penanggung jawab dalam mengelola harta wakaf
tersebut.
Madrasah Qayt Bey yang termegah di Makkah dan di- dirikan
oleh Sultan Mamluk Mesir misalnya, hanya bertahan 70 tahun. Ia
dijual dan dijadikan asrama jamaah haji Mesir,

22 Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 59.


23 A. Syalabi, op. cit., hlm. 381-2.
228 Sejarah Pendidikan Islam

setelah setiap tahun Sultan Qayt Bey memberikan wakaf dalam


jumlah besar untuk pemeliharaan dan membiayai mereka yang
terlibat di dalamnya. 24 Mismanajemen wakaf ini banyak menimpa
berbagai madrasah, sehingga madrasah terlantar karena kurangnya
bantuan wakaf yang kontinyu atau lemahnya pengawasan.

2. Desentralisasi
Sistem desentralisasi keuangan pendidikan merupakan pola
manajemen keuangan lembaga pendidikan yang bukan hanya
berorientasi pada kebutuhan riil lembaga tersebut dalam segala
perubahannya, tapi juga pengelolaannya tidak memiliki otoritas
mudak dalam kerjanya (fleksibel dan partisipatif).
Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Tradisional
Dalam corak ini, biaya yang diperoleh biasanya dipakai tanpa
perencanaan yang jelas dan jauh terarah. Berbagai ke- perluan
operasional pendidikan akan dapat dipenuhi ketika ada pemasukan
dari sumber-sumber biaya, seperti orang tua siswa, murid, dermawan
atau pengajar itu sendiri. Tatkala sumber-sumber biaya tersebut
kering, maka tertahanlah ber- bagai kebutuhan pendidikan itu.
Lembaga-lembaga pendidikan nonformal banyak yang memakai
pola pengelolaan desentralisasi dengan corak ini.

24 Lebih lanjut tentang Madrasah Qayt Bey, lihat Muhammad bin Ahmad bin

Quthb al-Din al-Nahrawali, Kitab al-1 'lam bi A'lam Baytal-Haram.


Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 229

Kuttab yang tersebar di berbagai macam lokasi misalnya, banyak yang


diselenggarakan secara sederhana tanpa campur tangan pemerintah
dengan roti sebagai pemasukan dana pendidikan ditambah sedikit
uang pada masa khatam Alquran. Para ulama yang menjadikan
rumahnya sebagai tempat belajar pun tidak pernah mengelola input
sukarela di tangannya dengan perencanaan dan manajemen yang
terarah. Ia hanya akan memenuhi kepentingan operasional pendi-
dikannya saat itu dengan dana yang tersedia, atau ditambah dengan
dana dari kantongnya sendiri maupun sumbangan tambahan yang
dicari.

a. Non-Tradisional

Corak ini merupakan antitesis corak tradisional. Dana yang


masuk dikelola melalui rencana yang terarah sesuai kondisi lembaga
pendidikan bersangkutan dan oleh penye- lenggara lembaga
pendidikan tersebut.
Sistem wakaf dapat menjadi contoh corak ini. Jika dalam
dokumennya pemberi wakaf tidak mengharuskan dirinya,
keluarganya, atau orang-orang tertentu di luar penyeleng- gara
lembaga pendidikan tersebut sebagai pengelola wakaf, juga
ketentuan-ketentuan ketat penggunaan hasil dana wakaf yang tidak
fleksibel sehingga tidak sesuai dengan berbagai perubahan kondisi
lembaga pendidikan tersebut.
Dalam dokumen wakaf madrasah Asy-Syamiyyah al-
Jawwaniyyah dicantumkan dengan jelas materi-materi keka- yaan
wakaf, kebutuhan riil yang akan dipenuhinya, dan cara
pengelolaan harta tersebut. “Bismillahirrahmanirrahim ......................
Adapun barang-barang yang diwakafkan untuk biaya-biaya
230 Sejarah Pendidikan Islam

gedung, para fuqaha dan pelajar serta keperluan-keperluan lain ialah


semua desa “Bazinah”, semua bagian yang diper- oleh dari
perkebunan “Jirmana”, yaitu 11,5 bagian dari 24 bagian, semua
bagian yang diperoleh dari desa “At-Tinah”, yaitu 14 ditambah 7
bagian dari 24 bagian, separuh dari desa Majidal As-Suwaida, dan
seluruh desa Majidal al-Qarjah”.
Adapun perbelanjaan sekolah ini adalah:
1. Prioritas untuk gedung-gedung sekolah.
2. Untuk guru-guru, dibagikan sekarung gandum hinthan,
sekarung gandum syair, dan uang perak Nashiriyyah sebanyak
130 dirham.
3. Sepersepuluh sisanya untuk honor Nazhir (pengawas) wakaf.
4. Tiga ratus dirham uang perak Nashiriyyah untuk bahan-
bahan makanan dan kue-kue untuk Nisfu Sya’ban menurut
pendapat Nazhir wakaf.
5. Sisanya diberikan kepada para fuqaha, pelajar-pelajar muazin
dan pelayan dengan ukuran menurut pendapat kepada sekolah
atau untuk tidak memberikannya sama sekali. 25

D. KESIMPULAN
Sistem pendanaan pada pendidikan Islam di masa klasik, dalam hal
ini sumber biaya dan pola pengelolaannya, bervariasi

25 Wakaf untuk madrasah Asy-Syamiyyah ini diberikan oleh Sittus Syam, saudara
perempuan Shalahuddin Al-Ayyubi, Sultan Ayvubiah Mesir. Lihat A. Syalabi, op. cit.,
hlm. 382-3.
Pendanaan Pendidikan Islam Masa Klasik 231

tergantung pada lembaga itu sendiri, pemberi dan pengelola dana.


Lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh
pemerintah melalui kas negara dan wakaf, memiliki pola pengelolaan
keuangan yang sentralistik. Semua rencana ang- garan belanja diatur
sesuai dengan pola pemegang otoritas kekuasaan lembaga
pendidikan tersebut.
Sistem desentralisasi—di mana penyelenggara dan pengurus
pendidikan memiliki hak penuh untuk mengatur— sebagian besar
diterapkan pada lembaga pendidikan infor- mal dan sedikit lembaga
formal. Sumber dananya banyak berasal dari orang tua, siswa,
sumbangan dermawan, wakaf, maupun pengajar di lembaga
pendidikan tersebut.
Tradisional dan nontradisional membagi sistem ke- uangan
desentralisasi ini dalam tata cara pengelolaannya. Corak tradisional
memiliki ciri fleksibilitas tanpa manajemen terarah. Berbagai sumber
biaya dalam sistem desentralisasi— kecuali wakaf—masuk dalam
corak ini. Sedangkan corak nontradisional mempunyai rencana
jangka panjang yang partisipatif dan fleksibel dalam pelaksanaannya.
Wakaf yang desentralitis merupakan sumber dana dengan
pengelolaan seperti ini.
233

BAB XVII

Mazhab-mazhab Dalam Pendidikan


Islam
(Analisis Terhadap Konsep Para Tokoh Pendidikan Islam
Klasik)
Oleh: Lathifatul Hasanah

A. PENDAHULUAN
Mazhab secara terminologis memiliki beberapa arti. Pertama,
tempat kembali atau rujukan mengenai hukum fiqih yang menjadi
ikutan umat Islam yang dikenal empat mazhab, yakni mazhab
Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. 1 Dasar pembentukan
mazhab berdasarkan pada pola atau kecenderungan pemikiran
tokoh pembentuknya. Imam Maliki hidup dalam komunitas
masyarakat Madinah yang memegang teguh norma-norma agama,
terutama Alquran dan Sunnah. Oleh sebab itu, pola pemikiran yang
berkem- bang dalam masyarakat demikian ini adalah pemikiran nor-
matif-religius. Sementara Hanafi lebih rasional dan cenderung
menempatkan pemikiran logis dalam setiap istinbath hukum yang
dikeluarkannya. Imam Syafi’i berbeda dengan penda- hulunya,
cenderung berpikir eklektis dan Arabisme. Sedang-

1Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, 1993, hlm.


640.
234 Sejarah Pendidikan Islam

kan Ahmad bin Hanbal lebih kuat orientasinya pada tradisi (hadis)
nabi. Kedua, mazhab berarti golongan pemikir yang sepaham dalam
suatu teori ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang
pengetahuan. Ketiga, dalam pembicaraan atau diskursus filsafat atau
kalam, mazhab berarti school, paham, aliran yang dianut dan menjadi
mainstrem pemikiran tertentu di bidang filsafat atau teologi. Misalnya
Al-Farabi’s School, yaitu mazhab yang mengikuti pola pemikiran Al-
Farabi; Kindian School, mazhab yang mengikuti pemikiran Al-Kindi
dalam lapangan filsafat Islam. 2 Mazhab dalam arti ini sama dengan
firqah dalam kajian ilmu kalam (teologi).
Dari pengertian di atas tampaknya arti kedua dan ketiga lebih
dekat dan tepat untuk kepentingan pembahasan me- ngenai mazhab
pendidikan Islam. Penelusuran semantis ini penting untuk
mengetahui sekaligus menempatkan adakah pendidikan Islam dalam
sejarahnya memiliki mazhab tertentu atau mazhab-mazhab yang
berbeda. Pembatasan istilah ini meniscayakan penelusuran lebih jauh
terhadap tokoh (yang dimasukkan sebagai tokoh) pendidikan Islam
atau berdasar- kan wacana pemikiran yang dikembangkan masing-
masing tokoh, atau mungkin berdasarkan teritori/wilayah tertentu di
mana sang tokoh atau lembaga pendidikan berada. Hal ini mungkin
terjadi, sebab cakupan pendidikan Islam klasik di satu sisi, tidak
mengenal batas wilayah, tapi di sisi lain tampaknya seseorang yang
mengembangkan wacana filo-

2 BacaJoel L. Kraemer, Humanism in the Renaissance of Islam (Leiden E.J. Brill, 1986),
bab II. Lihat juga Everett K. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and its Tate, (New
Haven-Connecticut American Oriental Society, 1988).
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 235

sofis tidak begitu saja dapat dimasukkan sebagai tokoh (yang benar-
benar) dalam lapangan pendidikan Islam. Keberatan- keberatan ini
menambah kesulitan untuk mengidentifikasi dan menemukan adakah
mazhab itu berlaku dalam kajian pendidikan Islam klasik.
Berpijak dari realitas yang ada, pembahasan ini akan mencoba
terlebih dahulu menganalisis konsep-konsep yang dikembangkan
oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kemu- dian merekonstruksi dan
menemukan mazhab-mazhab yang dianut oleh sang tokoh dan
implementasinya dalam pemi- kiran pendidikan Islam. Tokoh-tokoh
pendidikan Islam yang bisa dianalisis pemikirannya adalah Ibn Sina,
Ikhwanus Shafa, Ibn Miskawaih, Al-Ghazali, Al-Qabisi, Al-Mawardi,
Ibn Khaldun, Ibn Shahnun, Ibn Jama’ah, Al-Zarnuji, dan Ibn
Taimiyah.
Sesungguhnya tidak mudah untuk menggeneralisir pemikiran
pendidikan Islam ke dalam sebuah atau beberapa mazhab karena
memang umumnya pemikir (yang dimasuk- kan sebagai tokoh)
pendidikan Islam yang nota bene filosof itu tidak secara khusus
membahas mengenai pendidikan Islam, tetapi lebih sebagai
pemikiran filosofis mengenai komponen-komponen yang kita kenal
sekarang sebagai komponen pendidikan, misalnya tujuan, si terdidik
(pan- dangan mengenai manusia), pendidik, materi, metode, dan alat
pendidikan.
Dengan alasan itu, analisis terhadap mazhab atau aliran
pendidikan Islam—meskipun agak dipaksakan—mengguna- kan
kerangka pandang modern yang membagi aliran pen- didikan
menjadi tiga kategori besar, yaitu nativisme empirisme
236 Sejarah Pendidikan Islam

dan konvergensi yang masing-masing dikembangkan oleh John


Locke (1632), William Stern (1871-1938) dan Schoupen- heuer
(1788-1860). Acuan ini hanya sebagai pisau analisis atau “kacamata”,
tidak berarti menafikan keberbedaan yang mungkin ditemukan
dalam mazhab pendidikan Islam. De- ngan cara pandang demikian
ini diharapkan dapat dibangun kerangka teori mengenai mazhab
pendidikan Islam.

B. MENGENAL PEMIKIRAN TOKOH


Pemikiran pendidikan Islam pada dasarnya dibangun di atas
landasan berbagai pemikiran filosofis, etis, dan ideologis yang
bersumber secara normatif dari Alquran dan Sunnah Nabawiyah
maupun historis dari para pemikir Yunani dan filosof Muslim.
Konsep ilmu pengetahuan, kebaikan, keba- hagiaan, manusia (guru
dan anak didik), dan tujuan pendi- dikan Islam dengan jelas
dipengaruhi oleh pemikiran filosofis, etis, dan ideologis tersebut. 3
Adanya pengaruh ini akan me- mudahkan pencarian mazhab atau
arus pemikiran apa yang dikembangkan dalam pendidikan Islam.
Berikut akan dianalisis pemikiran yang dianggap represen- tasi
tokoh pendidikan Islam, serta mazhab yang mereka anut.

1. Ibnu Sina
Ibnu Sina sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang filosof
ketimbang pakar atau pemikir pendidikan. Namun, klasifikasi

Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Arab Klasik dan Pertengahan, terjemahan
3 Ziauddin

Abuddin Nata dari Muslim Educational Thought in the Middle Ages, (Montreal, Canada, 2000),
bab II, III.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 237

ilmu yang tidak tedalu rigid saat itu menjadikan seorang filo- sof,
termasuk Ibnu Sina, mengetahui dan menguasai segala jenis ilmu
secara excellent, antara lain mengenai pendidikan. Konsep pendidikan
Ibnu Sina, misalnya, dalam banyak hal merupakan sintesis antara
pemikiran Yunani (terutama Aristoteles dan neo-Platonis) dan Islam,
karena dia lahir dan dibesarkan dalam sebuah tradisi berfilsafat yang
sedang merebak di kalangan umat Islam. Sebagai bukti masa yang
mengantarai Al-Farabi dengan Ibnu Sina terdapat beberapa figur
yang signifikan dan menjadi latar belakang bagi Ibnu Sina. Beberapa
nama yang dapat disebut sebagai figur saintis/ ilmuwan, antara lain
Abu Al-Wafa’, Abu Sahi Al-Kuhi, Ibn Yunus, Abd Al-Jalil Al-Sijzi,
Al-Biruni, 4 dan Ikhwan Al- Shafa’. 5 Dua figur terakhir ini oleh
Seyyed Hussein Nasr diang- gap sebagai pendahulu yang signifikan
terhadap Ibnu Sina. Figur ensiklopedis yang juga mengantarai Ibnu
Sina adalah

4 Al-Biruni sangat tertarik pada tulisan-tulisan Al-Razi. Selain menulis

bibliografi karya-karya Al-Razi Al-Biruni juga menunjukkan ketajaman ana- lisis dan
kritiknya terhadap sejumlah doktrin Al-Razi yang dianggap kurang tepat.
Sebagaimana diketahui, Al-Razi membawa pemikiran-pemikiran yang radikal dalam
sistem filsafat Islam. Uraian lengkap lihat Seyyed Hussein Nasr, Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines, (Colorado: Shambala Publication Ltd., 1978), bagian II, hlm. 107-
176.
5 Ikhwan Al-Shafa’ terutama signifikan sebagai propaganda ide-ide Pythagorean

dan Hermetik yang kemudian banyak mempengaruhi Isma’illi- yah. Mengenal


pengaruhnya terhadap Ibnu Sina lihat Ibid' bagian I, hlm. 25-106. Ian Richard Netton
dalam Muslim Neoplatonisis: An Introduction to the Thought of the Brethren of Purify (Ikhwan Al-Shafa’),
(Edinburgh University Press, 1991) membahas secara detail ajaran-ajaran Ikhwan Al-
Shafa’, aksesnya terhadap pemikiran Yunani, dan pengaruhnya di kalangan
Ismailiyah. Buku lain yang membahas Ikhwan Al-Shafa, ini adalah tulisan Jabbur
Abd Al-Nur, Ikhwanal-Shafa’, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1961).
238 Sejarah Pendidikan Islam

Al-Khawarizmi yang menulis Mafatih al-’Ulum, dan Ibnu Nadhim yang


terkenal sebagai pengarang Fihrist. Selain itu ada beberapa filosof dan
logician (ahli logika) terkemuka se- perti Abu Al-Barakat Al-
Baghdadi, 6 Ibnu Miskawaih (325/ 936-421 /1030); 7 dan tokoh
semasa dengan Ibnu Sina yang menulis etika seperti Abu Sulaiman
Al-Sijistani (912-985 M), muridnya yang bernama Abu Hayyan Al-
Tawhidi (lahir 310 H/922 M), dan Abu Al-Hasan Al-Amiri
(381/992), murid Abu Zaid Al-Balkhi, seorang geografer. 8 Lebih
dari itu, A1-’ Amiri dianggap sebagai peletak dasar bagi bangunan
mazhab filosof-saintis yang puncaknya berada di tangan Ibnu Sina. 9
Meskipun demikian, kita tidak bisa serta merta me- ngatakan
Ibnu Sina mengikuti salah satu mazhab pemikiran tersebut. Sebagai
pemikir-intelektual independen, Ibnu Sina membangun sendiri
warna pemikiran filosofis-idealis yang bertitik-tumpu pada fondasi
yang dibangun para pendahu-

6 Pentingnya Abu Al-Barakat terutama karena kritiknya terhadap teori


Aristotelian mengenai gerak proyektil dan hubungannya dengan teori Ibnu Sina. (Lih.
SH. Nasr, Three Muslim Sages, footnote 33 hlm. 137).
7 Miskawaih terkenal sebagai ahli etika terutama karyanya Tahdsgb al- Akhlaq (Beirut:

Dar-al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985). Terjemahan Indonesianya oleh Helmi Hidayat


berjudul Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1997).

8 Signifikansi tokoh-tokoh ini dibahas tuntas oleh Joel L. Kraemer, Humanism in the
Renaissance of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1986). Buku ini meru- pakan karva mutakhir yang
menyingkap “awan” yang selama ini menyeli- muti sejarah filsafat Islam, terutama
berkenaan dengan filosof-filosof Mus- lim yang belum dikenal di lingkungan
akademisi dan ilmuwan yang tertarik terhadap filsafat Islam.

9 Seyyed
Hossein Nasr, Three Muslim Sages Avicenna-Suhrawardi-lbn ‘Arabi, (Cambridge
Harvard University Press, 1964), hlm. 19-20.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 239

lunya. Oleh sebab itu, di kalangan filosof Ibnu Sina dikenal sebagai
pembangun filsafat peripatetik (al-Hikmah al-Masy- sya’iyah). Apakah
mazhab pendidikan yang dianut Ibn Sina juga bertumpu pada
pemikiran filosofis-idealis? Jika menilik tujuan pendidikan yang
dirumuskan Ibn Sina, yaitu pengem- bangan seluruh potensi yang
dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, meliputi
fisik, intelektual, dan budi pekerti, tampaknya Ibn Sina berdiri di
antara fak- tor dasar (potensi yang dimiliki manusia sejak lahir,
fitrah) dan ajar (pembinaan yang dilakukan melalui pendidikan). Ini
berarti, dalam pandangan Barat, Ibn Sina mengikuti mazhab
konvergensi. Selain itu, Ibnu Sina berpendapat, tujuan pen- didikan
harus diarahkan pada upaya mempersiapkan sese- orang agar dapat
hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan
pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan
kecenderungan dan potensi yang dimili- kinya. Juga diberikan
pendidikan keterampilan supaya tumbuh tenaga-tenaga profesional.
Pandangan ini tidak akan jelas tanpa mengaitkan dengan
pandangannya mengenai hakikat manusia (anak didik) dan materi
kurikulum yang dirumuskan oleh Ibn Sina.
Pandangan dasar Ibn Sina tentang manusia bertolak dari
ke”duaan”, yaitu tubuh dan jiwa manusia sebagaimana pandangan
filosof Yunani dan diikuti oleh beberapa filosof lain. 10 Karena
mengakui dualitas ini, Ibn Sina menghendaki:

10 Pembahasan mengenai tubuh dan jiwa dalam filsafat Ibnu Sina baca: TJ. De
Boer, Tarikh, al-Falsafah fi al-lslam (Cairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah al-Nasyir, tt);
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), dan lain-
lain.
240 Sejarah Pendidikan Islam

pertama, tujuan utama (ultimate goal) pendidikan adalah lahirnya insan


kamil, yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara
seimbang dan menyeluruh. Kedua, tersedianya kuri- kulum yang
memungkinkan berkembangnya seluruh potensi manusia, meliputi
dimensi fisik, intelektual, dan jiwa. 11
Kurikulum, menurut Ibnu Sina lebih lanjut, harus di- dasarkan
pada tingkat perkembangan usia anak didik. Pada anak usia 3 sampai
5 tahun perlu diberikan pelajaran olah- raga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara dan kesenian. Sedangkan untuk anak usia 6
sampai 14 tahun mata pelajaran yang cocok diberikan adalah
mencakup pelajaran membaca dan menghafal Alquran, pendidikan
agama, syair dan olah- raga. Untuk anak diusia 14 tahun ke atas
harus menerima mata pelajaran yang jumlahnya lebih banyak, tapi
harus disesuaikan dengan minat dan bakat mereka. Sehingga me-
reka akan belajar dengan suasana yang menyenangkan.
Menyangkut metode belajar, Ibnu Sina berpandangan bahwa
suatu pelajaran tertentu tidak akan bisa dijelaskan kepada bermacam-
macam anak didik dengan satu siswa saja, melainkan harus dicapai
dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian materi pelajaran pada anak harus disesuaikan dengan
sifat materi tersebut sehingga antara materi dan metode akan
terintegrasi. Adapun metode yang dikemukakan adalah metode talqin,
demonstrasi, pembiasaan, teladan, magang, dan penugasan.

11 Bandingkan Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 68-74.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 241

2. Ibn Miskawaih
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai ahli etika ketim- bang
seorang filosof. Etika mempunyai hubungan dengan psikologi,
bidang yang juga menjadi perhatian serius Ibnu Sina. Salah satu
karya utamanya yang banyak berbicara tentang etika dan jiwa adalah
Tahdzib al-Akhlaq. Ia menggu- nakan prinsip-prinsip yang diikuti oleh
para pemikir per- tengahan akhir abad ke-4, yaitu jiwa merupakan
atom tunggal yang tidak bisa diindera dan ia bisa dikenal adanya dan
ia tahu bahwa ia diketahui. Jiwa adalah jauhar ruhani yang kekal. Ia
tidak akan hancur karena kematian jasad.
Sebagaimana filosof pendahulunya, Ibnu Miskawaih juga
menyebutkan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga daya, yaitu daya
bernafsu (al-nafs al-bahimiyyah) sebagai daya teren- dah, daya
kebinatangan atau daya marah (al-nafs al-sabilijjahiJ sebagai daya tengah,
dan daya pikir (al-nafs al-nathiqoh) sebagai daya tertinggi. Daya yang
terakhir ini terdiri dari dua bagian, yaitu akal teoretis (al-nadzary) dan
praktis (al- ’amali)12 Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia
yang asal kejadi- annya berbeda. Daya bernafsu dan marah berasal
dari unsur materi sedangkan daya pikir berasal dari immateri. Daya
yang berasal dari materi bakal hancur bersama hancurnya tubuh,
sedangkan daya immateri akan kekal. Ia akan menerima balasan di
akhirat nanti dan akan mengalami kebahagiaan.” Namun demikian,
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa ketiga daya itu diperlukan untuk
kebahagiaan manusia. Namun jiwa

l2 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, (Cairo: Ttp, 1908), hlm. 57-58,


62.
242 Sejarah Pendidikan Islam

itu harus dikontrol atau dikendalikan agar mencapai keadaan jiwa


yang seimbang (moderat, wasatiyah). Dengan pemikiran inilah Ibnu
Miskawaih mengaitkan daya-daya ini dengan sifat-sifat keutamaan.
Sifat hikmah (al-hikmah) adalah sifat utama bagi daya berpikir (al-nafs
al-nathiqah) dan ia lahir dari ilmu. Sifat ini merupakan sifat tengah
antara ekstrim minus (al-tafrith) dungu (al-balah) dan ekstrim
berlebihan (al-ifrath) lancang (al-safah). Keberanian (a!-saja’ah) adalah
sifat perte- ngahan antara takut/pengecut (a-jubn) dan nekat (al-
tahawwur) yang berasal dari al-nafs al-sabuiyah. Adapun al-nafs al-bahimijah
akan melahirkan atau sepadan dengan sifat ijfah (menerima apa
adanya) yang merupakan sifat tengah antara rakus (al- sjaraf) dan tidak
punya keinginan apa-apa (al-khumud). Jika ketiga jenis sifat-sifat
keutamaan ini telah serasa dan sepadan, lahirlah sifat utama yang
keempat, yaitu adil (al- 'adalah) yang merupakan sifat tengah antara
mengalah (al-jawr) dan aniaya (al-indhilam). Keempat sifat utama ini
dikenal dengan sebutan al-Fadha’'il al-Arba’ah.14
Sifat-sifat utama tersebut adalah khusus bagi manusia, tidak ada
pada hewan. Namun, manusia tidak dapat sendirian mewujudkan
sifat-sifat itu. Ia memerlukan orang lain, mem- bantu dan kerja sama
dengan sesamanya dalam mewujudkan keempat sifat utama tersebut
sehingga dapat tercapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan (al-
sa’adah). Hanya dalam

13lbid., hlm. 58, 59, 80.


14Ibid, hlm. 43, 63, 66; Lihat juga Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlaq fi al

Islam, (Cairo: Ttp, 1945), him. 85-102; Suwito, Konsep Pendidikan Akhlaq
Menurut Ibnu Miskawaih, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Jakarta,
1995. Terutama hlm. 104-135.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 243

masyarakat dan negara manusia dapat mencapai sifat-sifat


keutamaannya. Ibnu Miskawaih menolak orang yang me- mandang
adanya sifat mandiri dari kehidupan sosial. Ke- utamaan itu tidak
bersifat anti sesuatu atau berpikir negatif, tetapi bersifat tindakan
atau berpikir positif yang lahir dari kesertaan individu dalam hidup
sosial. 15
Berbeda dengan Ibn Sina, Ibn Miskawaih tampaknya lebih
memilih mazhab (aliran pemikiran) rasionalis-idealis dengan
mengikuti Aristoteles (lebih dominan) dan Plato terutama pada
persoalan etika. 16 Namun demikian, ia juga seorang moralis. Ini
tampak dalam hampir seluruh konsep pendidikan Miskawaih yang
berpangkal dan berujung pada as-sa’adat (kebahagiaan). Sebagaimana
Aristoteles yang merumuskan tujuan akhir manusia adalah
mendapatkan kebahagiaan, 17 Ibn Miskawaih mengelaborasinya lebih
jauh dengan prinsip- prinsip Islam 18 mengenai as-sa’adat (happiness).
Menurutnya, tujuan pendidikan (akhlak) adalah terwujudnya sikap
batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan
semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai
kesempurnaan dan kebahagiaan sejati. 19 Kebahagiaan sejati itu bisa
tercapai jika di dalam diri manusia terdapat empat keutamaan (al-
fadha’il al-arba’ah) di atas, yaitu ijfah, al-saja’ah, al-hikmah dan al- 'adalah
yang masing-masing keutamaan ini merupakan jalan tengah (al-wasath)
dari dua ekstrimitas yang

15 Miskawaih, hlm. 84; Yusuf Musa, hlm. 102.


16 Lihat Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 30-31.
17 Ibid., hlm. 30.
Lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 9.
18

19 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 11.


244 Sejarah Pendidikan Islam

melekat pada jiwa manusia. Merujuk pada pemikiran Yunani, doktrin


jalan tengah atau The Golden Mean ini dirumuskan oleh Aristoteles
yang kemudian diikuti oleh Al-Kindi dan Ibn Sina. 20
Dalam membahas pendidikan akhlak ini Ibnu Miska- waih
cenderung bersikap konvergensi, yang di satu sisi dia mengatakan
bahwa jiwa seorang anak adalah bersih dan siap menerima pengaruh
apa saja yang diberikan orang tuanya. Namun di sisi lain, dia
mengatakan bahwa lingkungan memiliki peranan yang sangat
penting. Oleh karena itu, pembinaan akhlak perlu diusahakan dan
perubahan akhlak perlu dilaku- kan melalui proses secara bertahap.
Dan orang yang ingin mencapai akhlak yang baik harus berlatih
semaksimal mung- kin. Hal inilah yang membedakan manusia
dengan binatang yang tidak bisa berpikir.
Tugas orang tua menurut Miskawaih adalah melatih putra-
putrinya agar memiliki akhlak yang baik dengan metode disiplin,
kasih sayang dan hukuman kalau dirasa perlu. Namun hukuman itu
harus dilakukan secara hati-hati dan dilakukan searif mungkin,
jangan menghukum anak di depan teman- temannya.
Ada beberapa pedoman pendidikan akhlak yang harus diberikan
kepada anak, misalnya:
1. Seorang anak harus dididik memiliki kehidupan seder- hana.
2. Seorang anak harus tumbuh di antara orang-orang bijak.

20 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 8; Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 30.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 245

3. Pendidikan anak harus dimulai dengan memberikan perhatian


terhadap aturan ketika makan.
4. Seorang laki-laki harus dibiasakan tidak banyak tidur dan
diberikan fasilitas yang terlalu mewah dan jangan diajar- kan
untuk mencintai emas.
Pandangan pendidikan secara umum terpengaruh oleh
Aristoteles yang menekankan segi intelektualitas dan mora- litas.
Dengan dua aspek tersebut anak dapat membedakan yang baik dan
yang buruk. Dia juga memprioritaskan pendi- dikan fisik karena
tanpa latihan fisik daya intelektual anak juga tidak akan berkembang
secara maksimal.

3. Al-Ghazali
Al-Ghazali juga membicarakan mengenai filsafat etika. Namun
berbeda dengan Miskawaih, Al-Ghazali mendasarkan filsafat
etikanya pada teori bahwa unsur fundamental dari naluri manusia
adalah pemikiran, rasa kebanggaan diri, dan dorongan nafsu yang
pemenuhannya harus seimbang. 21 Pada bagian lain, Al-Ghazali
mengatakan bahwa kehidupan ma- nusia dinilai baik jika ditopang
adanya supremasi pemikiran/ rasio dan pengabdian kepada Allah.
Pada tataran ini Al- Ghazali sebenarnya mengikuti paham idealis-
spiritualis. 22 Namun, penelusuran lebih lanjut terhadap konsep
pendidikan Al-Ghazali, terutama berkaitan dengan pendidikan anak,

21 Lihat Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 52.


22 Untuk memahami kecenderungan Al-Ghazali pada Idealis-spiritualis ini ada
baiknya dibandingkan dengan Osman Bakar, Hierarki llmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi
Ilmu, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 213-215.
246 Sejarah Pendidikan Islam

tampaknya Al-Ghazali memadukan antara unsur nativisme (dalam


arti Barat) dan empirisme. Ini tampak pada pandangan- nya bahwa
“nasib seorang anak berada di tangan kedua orang tua. Hati si anak
ibarat gelas bening atau lilin putih yang belum ternoda pun. Karena
itu orang tua bertanggung jawab mendidik anaknya dengan benar. Di
tangan mereka inilah jiwa anak yang bersih ini diserahkan.
Kekurangan dan kesalahan dalam mendidik anak akan merugikan
anak itu sendiri”. 23 Satu hal yang mesti diperhatikan bahwa Al-
Ghazali jelas tidak berdasarkan “teori tabula rasa”nya John Locke,
tetapi merujuk pada hadis nabi yang menyebutkan, “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah). Orang tuanya-lah yang berperan untuk
menjadikannya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Hadis ini jika dilihat
dari perspektif aliran pendidikan modern mirip dengan teori
konvergensinya Schoupenheuer. Namun, lagi-lagi harus dikatakan
bahwa justru Islamlah yang mengintrodusir perlunya faktor fitrah
(seperti nativis) dan lingkungan (seperti pandangan empiris). Dan
tampaknya Al-Ghazali berada di paham ini.
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh keba- hagiaan dunia
dan akhirat. Pendidikan Islam, menurutnya harus mengembangkan
budi pekerti seperti kepatuhan, kesederhanaan, menjauhi
kemewahan dan kesombongan. Pendidikan Islam juga harus dapat
membentuk anak didik

23 Lihat Mehdi Nakostayi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah

Gusti, 1996), hlm. 130; Ziauddin Alavi, Pemikiran, hlm. 54; Bandingkan dengan
penjelasan Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, tt), hlm. 132-33.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 247

mencintai dan memiliki kesadaran untuk mempelajari Al- quran dan


Hadis serta membiasakan anak melaksanakan shalat secara teratur.
Kurikulumnya meliputi Alquran, hadis, fiqih, tafsir, nahwu, serta
ilmu yang bersifat fardhu kifayah, seperti kedokteran, filsafat,
matematika, teknologi, politik, dan ilmu akliyah lainnya. 24
Pandangan Al-Ghazali terhadap metode pengajaran lebih
ditekankan pada pengajaran untuk anak-anak. Metode men- didik
anak sangat penting dan ini menjadi tanggung jawab dan amanah
orang tuanya. Jika anak dibesarkan dengan hal-hal yang baik dan
diajarkan dengan cara yang baik pula, mereka akan tumbuh dalam
kebaikan dan akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Metode yang efektif adalah metode keteladanan, dalam membina
mental dan moral anak-anak.

4. Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan Al-Shafa merupakan kelompok persaudaraan para
filosof dan pemikir yang diduga hidup di Basrah sekitar paruh kedua
abad 4 H/10 M pada saat Baghdad berada di bawah pemerintahan
Bani Buwaihi. 25 Gerakan ini bersifat rahasia dan memiliki pemikiran
yang radikal. Ketika kebe- basan berpikir dibatasi, kelompok ini
menempuh cara berbuat bebas secara rahasia dan menghimpun
pemikiran filsafat

24 Hasan Asari, “The Educational Thought of Al-Ghazali”, Thesis, Institute of

Islamic Studies Me Gill Montreal Canada, 1993.


25 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (London: Ttp, 1983), hlm. 164.
248 Sejarah Pendidikan Islam

Yunani ke dalam sejumlah buku yang dikenal dengan Kasa’il Ikhwan


Al-Shafa. Sistem pemikiran mereka merupakan kom- promi secara
eklektik dari pemikiran Platonisme, Aristote- lianisme, Neo-
Platonisme, Mu’tazilah dan Isma’iliah. 26 Karena itu, pemikiran-
pemikiran dalam pendidikannya pun berdasarkan pada sintesa
pemikiran Yunani dan Islam.
Kontribusi penting dari Ikhwan Al-Shafa untuk teori
pendidikan adalah konsep pendidikan dan pengajaran anak dan
remaja. Menurut Ikhwan, selama 4 tahun pertama dalam hidupnya
seorang pelajar memperoleh pengetahuan melalui indera (khawas) dan
instink (garaizah). Pendidikan konvensi- onal dimulai di maktab atau
sekolah dasar di bawah bimbingan guru (mu’alim). Pendidikan remaja
memperoleh perhatian utama dalam konsepsi Ikhwan Al-Shafa.
Karena itu, remaja harus dididik di level yang lebih tinggi oleh
seorang guru yang disebut ustad di lembaga yang disebut majelis.
Subjek yang diajarkan adalah ‘ilm (dalam konteks filsafat dan sains).
Sebelum memperoleh pengajaran, akal (‘aql bi al-quwwah, mind)—
bukan fitrah27 seperti halnya pemikiran pendidikan biasanya karena
Ikhwan Al-Shafa konsen terhadap filsafat

26 Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonist, (Edinburgh: Edinburgh Uni- versity

Press, 1991), hlm. 100, dst.


27 Ada beberapa penafsiran mengenai fitrah, antara lain: (1) Fitrah yang berarti
suci/bersih, yaitu manusia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa- apa. Sesuai
dengan hadis Nabi ‘Tidaklah seorang anak itu dilahirkan, melainkan mempunyai fitrah Islam. Maka orang
tuanyalah yang mempengaruhi menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (2)Fitrah berarti Tauhid. (3)
Fitrah yang berarti Islam, dan (4) Penggabungan keduanya (Islam dan tauhid). Baca
selengkap- nya misalnya Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan
Alquran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 57 dst.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 249

yang mengagungkan akal—dilukiskan ibarat tabularasa, yaitu akal


masih potensial (emanasi dari 'aql bi al-kulli), Ibarat kertas yang putih
bersih tanpa tulisan di atasnya. Bila sudah tertera tulisan, ia sulit
melukisnya atau mengganti dengan tulisan lain. Oleh sebab itu, tidak
ada gunanya, membuang-buang waktu bagi orang tua untuk
mengubah pengetahuan yang salah, pandangan yang keliru dan
kebiasaan buruk pada anak. Maka semua perhatian harus diarahkan
kepada remaja. Karena itu, menurut Ikhwan Al-Shafa, hubungan
pelajar remaja dengan gurunya harus dinilai sebagai hubungan
spiritual (ibnu nafsani), pelajar sebagai anak spiritual dari gurunya.
Hubungan yang bersifat fisik berhenti karena kematian, sedangkan
hubungan spiritual tidak mengenal akhir karena jiwa tetap hidup
meski- pun raga telah mati. 28
Pada titik ini tampak Ikhwan Al-Shafa mempertim- bangkan
bahwa potensi bawaan (dalam hal ini akal)—terutama pada tahun-
tahun awal kehidupan manusia—kurang penting karena boleh jadi
sudah tercemar dengan kondisi lingkungan. Karena itu harus ada
bentuk pengajaran lebih tinggi yang diarahkan pada remaja dalam
hubungan yang sifatnya spiri- tual. Dengan pemahaman ini bisa
disebut bahwa Ikhwan Al- Shafa menganut mazhab spiritualis murni.
Hal ini tampak pada pemikirannya berikut. Pertama, tu- juan
pendidikan atau pengajaran remaja adalah agar mereka memiliki
ketinggian akal, ilmu, akhlak, dan kesetiaan sehingga

28 Umar Farukh, “Ikhwan al-Shafa an Introduction”, dalam M.M. Sharif (ed.),

History Muslim Philosophy, (Liebaden: Otto Harrasowitz, 1963); Ikhwan al-Shafa, Rasail Ikhwan
al-Shafa, vol. IV, (Cairo: Ttp., 1928), hlm. 113-6.
250 Sejarah Pendidikan Islam

siap menjadi calon-calon pemimpin yang berkualitas. Kedua, semua


pengetahuan yang bermanfaat harus diajarkan kepada remaja
termasuk kerajinan tangan dan musik karena semua itu kondusif
untuk proses penghalusan (tahdzib), penyucian (tathir), penyelerasan
akhir (tathmim) dan penyempurnaan (takmil) kepribadian remaja. 29
Jadi, meskipun ada kurikulum atau materi yang sifatnya fisik, tetapi
arahnya pada pengem- bangan kepribadian, spiritual. Ketiga,
rekruitmen anggota (murid) dalam kelompok (persaudaraan) sangat
memen- tingkan ketinggian akhlak, kesucian, dan kualifikasi
tertentu. Oleh sebab itu, Ikhwan Al-Shafa membagi kelompok be-
lajar berdasarkan kategori umur dan kualitas kebijaksanaan (wisdom)
anggotanya.
a. Kelompok I dijuluki Ikhwan “yang saleh dan pengasih” (al-
abrar al-ruhama). Berumur 15-29 tahun, dari kalangan pengrajin
(umur dan asal seseorang bukan dalam kategori fisik dan apa
yang ada di masyarakat, tetapi representasi spiritualitas pada
dngkat rendah).
b. Kelompok II disebut Ikhwan “yang religius dan terpela- jar”
(al-akhyar al-fudhala). Berumur 30-39 dari kalangan politisi.
c. Kelompok III disebut Ikhwan “yang mulia, terpelajar dan
bijaksana (al-fudhala’ al-kiram). Berumur 40-50 dari ka- langan raja
dan sultan (bukan dalam pengertian negara, tetapi tingkat
kesucian dan ketinggian spiritualitas sese- orang).

29 Tibawi, “Ikhwan al-Shafa and Their Rasa’il”, dalam The Islamic Quar- terly, vol. 21,
no. 3, tahun 1938, hlm. 62.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam
251

d. Kelompok IV, tingkat tertinggi, disebut sebagai kelom- pok


pada level malaikat (al-martabat al-malakiyah). Hanya bisa dicapai
oleh manusia yang berumur 50 tahun. Para nabi, seperti
Ibrahim, Yusuf, Isa, dan Muhammad; filosof seperti Phytagoras
berada pada level ini. 30

5. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332. Dia
seorang filosof dan Bapak sosiolog dan antropolog Is- lam. Latar
belakang dan kariernya sebagai guru di berbagai universitas di Mesir,
birokrat, dan hakim menjadikannya matang dalam mengelaborasi
teori-teori sosiologi maupun pemikiran pendidikannya.
Berbeda dengan pemikiran umumnya filosof, Ibnu Khaldun
melihat manusia tidak pada segi kepribadian atau akalnya, tapi
manusia dalam hubungan dan interaksinya dengan masyarakat.
Sebagai seorang sosiolog dia lebih realis dan sosiologis dalam
memandang sesuatu. Namun, sebagai filosof, pemikiran filosofis
juga tidak dipungkiri. Dalam kitab Muqaddimahnya, bab keenam dari
pasal pertama, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa yang membedakan
manusia dari binatang adalah karena manusia berpikir dan binatang
tidak. Dengan pikiran itulah manusia bisa mencari penghidupannya,
dan dapat bergaul dengan sesamanya. Dari berpikir inilah timbulnya
ilmu pengetahuan. Binatang lain bisa menyadari adanya benda-benda
lain di luar dirinya, dengan perantaraan indera luarnya, yaitu
pendengaran, penglihatan, penciuman,

30 Ian Richard Netton, Muslim Neoplatonist, hlm. 38.


252 Sejarah Pendidikan Islam

cita rasa dan persentuhan. Namun, manusia melebihi bina-


tang dan makhluk lainnya karena dia dapat memikirkan benda-
benda lain yang berada di luar dirinya sendiri.
Melalui perantaraan kemampuan berpikirnya, dia dapat
membuat gambaran-gambaran dari sensibilia (benda-benda yang
dapat dijangkau indera) dan membuat abstraksi-abstrak- si. 31 Di
samping itu, melalui pemikirannya manusia dapat menolong dirinya
untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga sikap hidup
bermasyarakat yang kemudian membentuk suatu masyarakat yang
antara satu dan lain saling menolong. Dari keadaan manusia yang
demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan
sesuatu yang tidak dapat dicapai panca indera. Ilmu demikian itu
mesti diperoleh dari orang lain yang lebih dahulu mengetahuinya.
Mereka itulah yang disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu dapat
ter- capai, perlu diselenggarakan pendidikan. Pada bagian lain Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar manusia di
samping harus sungguh-sungguh juga punya bakat. Menurutnya,
dalam mencapai pengetahuan yang ber- macam-macam itu seseorang
tidak hanya butuh ketekunan, tapi juga bakat. Berhasilnya suatu
keahlian dalam satu bidang ilmu memerlukan pengajaran.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang manusia ini berim- plikasi
pada pandangannya terhadap komponen pendidikan lainnya. Dalam
mengajarkan ilmu kepada murid, misalnya

3l Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hlm. 113.
Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 253

hanya berhasil kalau dilakukan secara bertahap, dari yang


sederhana sampai yang sulit, penjelasan-penjelasannya sing- kat,
dalam garis besar sampai rumit. Perlu diperhadkan pula kemampuan
akal murid sehingga materi yang diajarkan dapat mudah ditangkap.
Berkenaan dengan guru, Ibnu Khaldun menganjurkan agar mengikuti
perkembangan anak ini secara teliti. Karena keberhasilan guru dalam
mengajar tergantung sejauhmana dia mampu melihat perkembangan
murid dan mengajarkan sesuatu yang sesuai dengan tingkat perkem-
bangan mereka. Oleh sebab itu, dia mencela guru yang tidak
mempunyai metode mengajar secara tepat. Menurutnya ini awal dari
kegagalan guru dalam mengajar. 32
Selanjutnya, Ibnu Khaldun membuat klasifikasi ilmu meliputi;
pertama, ilmu lisan (bahasa), yaitu gramatika dan syair; kedua, ilmu
naqli yang bersumber dari Alquran dan Sunnah kemudian dihasilkan
ilmu-ilmu Islam lainnya, seperti fiqih, ushul, tafsir, ilmu hadis. Dan
ketiga, ilmu aqli yang meli- puti ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu
ketuhanan, teknik hitung, perbintangan dan sebagainya. Dari
klasifikasi itu, kurikulum atau materi yang diajarkan kepada anak
adalah ilmu syariah, filsafat, ilmu alat (bahasa), dan mantiq. 33

6. Ibnu Taimiyah
Jika para tokoh di atas adalah para filosof, Ibnu Taimiyah (1263-
1328) lebih sebagai teolog dan ideolog. Karena itu,

32 Azra’ie Zakaria, “Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun”, Tesis Program

Pascasarjana IAIN Jakarta, 1995, bab II, III.


33 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, jilid I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 175-6.
254 Sejarah Pendidikan Islam

dalam menjelaskan persoalan pendidikan—meskipun bidang ini


sebenarnya tidak ditekuninya—watak ideologis dan teolo- gisnya
(filosofis-normatif) lebih kentara. Dia berpandangan bahwa
menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahami- nya secara
mendalam merupakan sikap ketakwaan kepada Allah. Di sini jelas
sikap Ibnu Taimiyah dalam memandang ilmu yang sifatnya
teosentris. Oleh sebab itu, dalam aspek- aspek lain pun, pandangan
ini sangat kental. Falsafah pendi- dikan, menurutnya, harus dibangun
di atas landasan tauhid, keimanan kepada keesaan Tuhan. Tauhid
yang menjadi asas pendidikan meliputi tauhid rububiyah, uluhiyah dan
tauhid asma wa shifat.34 Pandangan ini berangkat dari pandangan dunia
Islam (worldview weltanschaung) bahwa tauhid merupakan fon- dasi dari
peradaban, kebudayaan Islam. Pendidikan, sebagai salah satu
kelembagaan Islam yang dengan sendirinya terkait dengan Islam,
haruslah dibangun di atas landasan yang benar tentang tauhid.
Berdasarkan pandangan tauhid inilah kemu- dian Ibnu Taimiyah
menjelaskan tentang tujuan pendidikan, anak didik, guru, kurikulum,
dan sebagainya.
Tabiat kemanusiaan manusia, menurutnya, berkecende- rungan
mengesakan Tuhan (tauhid) sebagaimana dinyatakan sendiri oleh
Tuhan, alastu birabbikum, qalu bala syahidna. Ka- rena kecenderungan
inilah manusia harus dididik dan diajar agar potensi, fitrah
perenialnya terjaga, tetap suci dan berkem- bang secara wajar.
Berangkat dari hakikat manusia ini, tujuan pendidikan menurut Ibnu
Taimiyah diarahkan pada tiga hal. Pertama, tujuan individual yang
diarahkan pada pembentukan

34 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh, hlm. 139-40.


Mazhab-mazhab dalam Pendidikan Islam 255

pribadi Muslim yang berpikir, merasa, dan bekerja sesuai dengan


perintah Alquran dan al-Sunnah. Kedua, tujuan sosial yang diarahkan
pada terciptanya masyarakat yang baik sesuai dengan petunjuk
Alquran dan al-Sunnah. Ketiga, tujuan dakwah Islamiyah, yaitu tugas
mengarahkan manusia agar siap dan mampu memikul tugas
mengembangkan dakwah Islam.
Apa materi yang diajarkan? Ibnu Taimiyah membagi kurikulum
pendidikan pada empat tahap. Pertama, kurikulum yang berhubungan
dengan pengesaan Allah (tauhid). Kedua, kurikulum yang
berhubungan dengan ma’rifat terhadap ilmu- ilmu Allah. Ketiga,
kurikulum yang berhubungan dengan upaya mendorong manusia
mengetahui (ma’rifat) terhadap kekuasaan Allah. Dan keempat,
kurikulum yang berhubungan dengan upaya untuk mengetahui
perbuatan-perbuatan Allah. Dari keempat tingkat ini Ibnu Taimiyah
menjelaskan lebih detail bentuk kurikulum dan materi yang diajarkan
kepada anak. 33 Namun, secara jelas diketahui bahwa muara atau
pangkal pengajaran dan pendidikan ala Ibnu Taimiyah adalah
pendidikan tauhid.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap empat tokoh pendidikan Islam di
atas menunjukkan bahwa mereka tidak mengikuti pola mazhab
tertentu yang menjadi mainstream pemikiran di zamannya. Memang
secara umum bahwa tokoh-tokoh ini mengakui bahwa manusia
terdiri dari tubuh dan jiwa. Namun ada kecenderungan karena
mereka ini seorang filosof, maka

35 Baca lebih lanjut Ibid.


256 Sejarah Pendidikan Islam

pemikirannya lebih “berpihak” pada kekuatan akal (‘aql) atau jiwa


(nafs). Sebaliknya, mereka mengembangkan sebuah paham (kalau ini
bisa disebut mazhab) sesuai dengan inde- pendensi pemikiran
masing-masing. Oleh sebab itu, masing- masing tokoh memiliki
“mazhab” tersendiri yang bisa cen- derung mengakui faktor dasar
(fitrah, potensi tertentu: jiwa atau akal sesuai dengan kecenderungan
pemikiran filsafatnya) atau “nativisme” dalam pengerdan Barat, ada
yang mengakui konvergensi (paduan antara dasar dan ajar), atau ada
yang sangat idealis-rasionalis (dalam pengertian sistem filsafat yang
dianut dari filosof Yunani atau filosof Muslim pemula), dan bahkan
ada yang sangat spiritualis.
Kategori kedua, kita temukan terutama pada Ibnu Khaldun.
Meskipun seorang filosof, tetapi dia lebih cenderung pada realisme
karena dia sekaligus sosiolog dan antropolog. Berbeda dari itu, Ibnu
Taimiyah mewakili kalangan pemikir pendidikan yang lebih dekat—
jika dikatakan—ideologis dan teologis.
Sebagai awal kajian pembahasan ini belum memadai untuk
menggambarkan adanya mazhab pendidikan Islam. Harus ada kalian
serius untuk “membongkar” khazanah pemi- kiran tokoh lain yang
menyokong atau berbeda sama sekali dengan “mazhab” yang ada.
Semata-mata berpedoman pada model Barat jelas tidak bisa
dipertahankan, sebab ada kera- gaman yang tinggi dan independensi
di kalangan pemikir Muslim dalam mengembangkan pahamnya.
257

BAB XVIII

Pendidikan Islam di Spanyol


Oleh Ahmad lrfan Mufid

A. PENDAHULUAN
Negeri Andalus (Spanyol) sejak dari abad VIII Masehi merupakan
salah satu pondasi yang kuat dari peradaban, kebudayaan dan
pendidikan Islam, yang di mulai dengan mempelajari ilmu agama dan
sastra, kemudian meningkat dengan mempelajari ilmu-ilmu akal. Karena
dalam waktu relatif singkat Cordova dapat menyaingi kota Baghdad dan
Cairo dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa
pemerintahan Abdurrahman III pada abad X Masehi, negeri Andalus
telah mencapai puncak kemegahan dalam segi materi dan maknawi serta
memperoleh kekuatan dan kebesaran yang telah dicapai oleh kerajaan-
kerajaan di bagian Timur abad IX Masehi. (Dr. Asma Hasan Fahmi,
1979: 22).
Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu menda- tangkan
penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya menghasilkan para
pemikir hebat. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat
majemuk yang terdiri dari komunitas-
258 Sejarah Pendidikan Islam

komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang- orang


Spanyol yang masuk Islam), Barbar (orang Islam dari Afrika Utara),
al-shaqalibah (penduduk antara Konstantinopel dan Bulgaria yang
menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk
dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya
Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua
komunitas itu kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual
terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan
kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
(Luthfi Abd Al-Badi’, 1969: 38).
Dari parafrase di atas penulis ingin mengulas bagaimana
perkembangan pendidikan Islam di Spanyol beserta faktor- faktor
pendukung kemajuan pendidikan di Spanyol tersebut. Sehingga
menjadi perluasan wawasan pemikiran kita menge- nai pendidikan
Islam di Spanyol pada masa klasik.

A. ISLAM MASUK KE SPANYOL


Pada periode klasik paruh pertama—masa kemajuan— (650-
1000 M.), wilayah kekuasaan Islam meluas melalui Afrika
Utara(Aljazair dan Maroko) sampai ke Spanyol di Barat. (Harun
Nasution, 1975: 12) Spanyol adalah nama baru bagi Andalusia
zaman dahulu. Nama Andalusia berasal dari suku yang menaklukkan
Eropa Barat di masa lalu (Ensiklopedi Islam, 1999: 145) sebelum
bangsa Goth dan Arab (Islam).
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid
(705-715 M), salah seorang khalifah dari Dinasti Bani Umayyah yang
berpusat di Damaskus. Ada tiga nama yang sering disebut berjasa
dalam penaklukan Spanyol, yaitu
Pendidikan Islam di Spanyol 259

Musa bin Nushair, Tharif bin Malik dan Thariq bin Ziyad. Dari
ketiga nama tersebut, nama terakhirlah yang sering disebut paling
terkenal, karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata.
Pasukannya terdiri dari sebagian suku Barbar (Muslim dari Afrika
Utara) yang didukung Musa bin Nushair dan sebagian lagi orang
Arab yang dikirim Al-Walid. Pasukannya yang berjumlah 7000 orang
menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad. (Cari
Brockelmann, 1980: 83) Tentara Spanyol di bawah pimpinan Raja
Roderick dapat ditaklukkan. Cordova jatuh pada tahun 711 M. Dari
sana, wilayah-wilayah Spanyol, seperti Toledo, Sevilla, Malaga, dan
Granada dapat dikuasai dengan mudah.
Sukses Thariq bin Ziyad di masa Al-Walid (Daulat Umayyah-
Damaskus) diikuti oleh Abd Al-Rahman Al-Dakhil (penguasa
pertama Daulat Umayyah-Spanyol), yang ber- usaha menata sistem
pemerintahan. Ia melihat masyarakat Spanyol adalah masyarakat
heterogen, baik berdasarkan strata sosial, suku, ras, maupan agama.
Dia memiliki tentara yang terorganisir dengan baik yang jumlahnya
tidak kurang dari 40.000 tentara bayaran Barbar dan juga
membangun angkatan laut yang kuat. Gebrakan lain yang
dilakukannya adalah mendirikan masjid agung Cordova dan sekolah
di kota-kota besar di Spanyol.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga
jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam me- mainkan peranan
yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah
abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat
dibagi menjadi enam periode, yaitu:
260 Sejarah Pendidikan Islam

1. Periode Pertama (711-755 M)


Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para
wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di
Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum
terkendali gangguan keamanan masih banyak terjadi di beberapa
wilayah, karena pada masa ini adalah masa peletakan dasar, asas dan
tujuan invansi Islam di Spanyol. Hal ini ditandai dengan adanya
gangguan dari berbagai pihak yang tidak senang terhadap Islam.
Sentralisasi kekuasaan masih di bawah Daulat Umayyah di
Damaskus. (Mukti AU, 1995: 319).

2. Periode Kedua (755-912 M)


Pada masa ini Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang
yang bergelar amir (panglima atau gubernur), tetapi tidak tunduk
kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh
Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman
I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755 M dan diberi gelar Al-
Dakhil (Yang Masuk ke Spanyol). Dia adalah keturunan Bani
Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas, ketika Bani
Abbas berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selan-
jutnya, ia berhasil mendirikan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol.
Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abd Al Rahman
Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd Al-Rahman al-Ausath,
Muhammad ibn Abd Al-Rahman, Munzir ibn Muhammad, dan
Abdullah ibn Muhammad. (Badri Yatim, 2000: 95).
Pendidikan Islam di Spanyol 261

Pada masa ini umat Islam di Spanyol mulai memperoleh


kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik dan per- adaban serta
pendidikan. Abd Al-Rahman mendirikan masjid Cordova dan
sekolah-sekolah di kota-kota besar di Spanyol. Hisyam dikenal
berjasa dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam dikenal sebagai
pembaru dalam bidang kemi- literan, sedangkan Abd Al-Rahman Al-
Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.(A.Syalabi, jilid 4:
1979: 41-50). Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada periode ini,
ia mengundang para ahli dari Dunia Islam lainnya untuk datang ke
Islam sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.

5. Periode Ketiga (912-1013 M)


Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abd Al-
Rahman III yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya Muluk al-
Thawaif (raja-raja kelompok). Pada periode ini Spanyol diperintah
oleh penguasa dengan gelar “khalifah”. Pada periode ini juga umat
Islam di Spanyol mencapai pun- cak kemajuan dan kejayaan
menyaingi Daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd Al-Rahman Al-Nashir
mendirikan Universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi
ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri
per- pustakaan. (Yatim: 97).

4. Periode Keempat (1013-1086 M)


Pada periode ini Spanyol terpecah menjadi lebih dari tigapuluh
negara kecil di bawah perintah raja-raja- golongan atau al-Mulukuth-
Tbawaif, yang berpusat di suatu kota, seperti
262 Sejarah Pendidikan Islam

Sevilla, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar di


antaranya adalah Abadiyyah di Sevilla. Pada masa ini umat Islam di
Spanyol mengalami pertikaian internal.

5. Periode Kelima (1086-1248)


Periode ini terdapat satu kekuatan yang masih dominan, yaitu
kekuasaan Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti
Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya
adalah sebuah gerakan agama di Afrika Utara yang didirikan oleh
Yusuf ibn Tasyfin. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan
sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesh. Ia masuk ke Spanyol
atas “undangan” raja-raja Islam yang tengah mempertahankan
kekuasaannya dari serangan raja-raja Kristen. Dinasti Muwahhidun
datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd Mun’im. Antara 1114
dan 1154 M, kota-kota penting umat Islam Cordova, Almeria, dan
Granada jatuh di bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa
dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan
Kristen dapat dipukul mundur. Namun pada tahun 1212 M, tentara
Kristen memperoleh keme- nangan besar di Las Navas de Tolesa.
Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan
penguasanya me- milih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke
Afrika Utara tahun 1235 M. (A.Syalabi: 76).

6. Periode Keenam (1248—1492 M)


Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Gra- nada, di
bawah Dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali
mengalami kemajuan seperti di zaman
Pendidikan Islam di Spanyol 263

Abd Al-Rahman Al-Nashir. Namun secara politik, dinasti ini hanya


berkuasa di wilayah yang kecil. Pada periode ini adalah akhir dari
eksistensi umat Islam di Spanyol.
Menurut Prof. Harun Nasution pada sekitar tahun 1609 M,
boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini. (Harun
Nasution, 1985: 62).

C. PENDIDIKAN ISLAM DI SPANYOL

Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran per- adaban dan


kebudayaan yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia
berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu
pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad XII. Minat terhadap
pendidikan dan ilmu pengetahuan serta filsafat mulai dikembangkan
pada abad IX M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang
ke-5, Muhammad ibn Abd Al-Rahman (832-886 M). (Majid Fakhri,
86: 35).
Berdasarkan literatur-literatur yang membahas sejarah
pendidikan dan sejarah peradaban Islam secara garis besar
pendidikan Islam di Spanyol terbagi pada dua bagian atau tingkatan,
yaitu:

1. Kuttab
Pada lembaga pendidikan Kuttab ini para siswa mem- pelajari
beberapa bidang studi dan pelajaran-pelajaran yang meliputi fiqih
bahasa dan sastra, serta musik dan kesenian.

a. Fiqih

Dalam bidang fiqih, karena Spanyol Islam menganut mazhab


Maliki, maka para ulama memperkenalkan materi-
264 Sejarah Pendidikan Islam

materi fiqih dari mazhab Imam Maliki. Para ulama yang


memperkenalkan mazhab ini antara lain Ziyad ibn Abd Al-Rahman,
perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi
qadhi pada masa Hisyam ibn Abd Rahman. Ahli-ahli fiqih lainnya di
antaranya Abu Bakr ibn Al-Quthiyah, Munzir ibn Said Al-Baluthi
dan Ibn Hazm yang terkenal. (Badri Yatim: 103).
Para siswa di kuttab-kuttab tersebut mendapatkan ma- teri fiqih
cukup lengkap dan komprehensif dari ulama-ulama tersebut yang
kompeten pada disiplin ilmunya.

a. Bahasa dan Sastra

Karena bahasa Arab telah menjadi bahasa resmi dan bahasa


administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Bahasa Arab ini
diajarkan kepada murid-murid dan para pelajar, baik yang Islam
maupun non-Islam. Dan hal ini dapat diterima oleh masyarakat,
bahkan mereka rela menomor- duakan bahasa asli mereka. Mereka
juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa arab, sehingga mereka
terampil dalam berbicara maupun dalam tata bahasa. Di antara ahli
bahasa tersebut yang termasyhur ialah Ibnu Malik penga- rang kitab
Alfiah, Ibn Sayyidih, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili,
Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Garnathi.

b. Musik dan kesenian

Sya’ir merupakan ekspresi utama dari peradaban Spa- nyol.


Pada dasarnya sya’ir Spanyol didasarkan pada model- model sya’ir
Arab yang membangkitkan sentimen prajurit
Pendidikan Islam di Spanyol 265

dan interes faksional para penakluk Arab. (Ira M. Lapidus, 1999:


584). Dalam bidang musik dan seni, Spanyol Islam memiliki tokoh
seniman yang sangat terkenal, yaitu Al-Hasan ibn Nafi dikenal
dengan julukan Ziryab (789-857). Sedap kali ada pertemuan dan
perjamuan di Cordova, Ziryab selalu mempertunjukkan kebolehannya.
Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu, ilmu yang dimilikinya itu
diajarkan kepada anak-anaknya, baik lelaki maupun perempuan dan
juga ke- pada para budak-budak sehingga kemasyhurannya tersebar
luas.(Ahmad Syalabi, 1979: 88).

1. Pendidikan Tinggi
Masyarakat Arab yang berada di Spanyol merupakan pelopor
peradaban dan kebudayaan juga pendidikan, antara pertengahan
abad kedelapan sampai dengan akhir abad kedgabelas. Melalui usaha
yang mereka lakukan, ilmu penge- tahuan kuno dan ilmu
pengetahuan Islam dapat ditransmisikan ke Eropa. Bani Umayyah
yang berada di bawah kekuasaan Al-Hakam menyelenggarakan
pengajaran dan telah mem- berikan banyak sekali penghargaan
kepada para sarjana. Ia telah membangun Universitas Cordova
berdampingan dengan Masjid Abdurrahman III yang selanjutnya
tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang terkenal di antara jajaran
lembaga pendidikan tinggi lainnya di dunia. Universitas ini menan-
dingi dua universitas lainnya, yaitu Al-Azhar di Cairo dan
Nizhamiyah di Baghdad, dan telah menarik perhatian para pelajar
ddak hanya dari Spanyol, tetapi juga dari tempat lain seperti dari
negara-negara Eropa lainnya, Afrika, dan Asia. (Ziauddin Alavi;
pen.Abuddin Nata, 2000: 16).
266 Sejarah Pendidikan Islam

Di antara para ulama yang bertugas di Universitas Cor- dova


adalah Ibnu Qutaibah yang dikenal sebagai ahli tata bahasa dan Abu
Ali Qali yang dikenal sebagai pakar filo- logi. Universitas ini
memiliki perpustakaan yang menampung koleksi sekitar empat juta
buku. Universitas ini mencakup jurusan yang meliputi astronomi,
matematika, kedokteran, teologi dan hukum. Jumlah muridnya
mencapai seribu orang. Selain itu juga di Spanyol terdapat
universitas Sevilla, Malaga, dan Granada. Mata kuliah yang diberikan
di universitas- universitas tersebut meliputi teologi, hukum Islam,
kedok- teran, kimia, filsafat, dan astronomi. Sebagai prasasti pada
pintu gerbang universitas yang disebutkan terakhir ditulis sebagai
berikut: Dunia ini di topang oleh empat hal, yaitu pengajaran
tentang kebijaksanaan, keadilan dari penguasa, ibadah dari orang-
orang yang salih, dan keberanian yang pantang menyerah. (Phillip K.
Hitti: 563).

a. Filsafat
Atas inisiatif Al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan
filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehing- ga Cordova
dengan perpustakaan dan universitas-universi- tasnya mampu
menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia
Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin Dinasti Bani
Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan
filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spa- nyol
adalah Abu Bakr Muhammad ibn Al-Sayigh yang lebih dikenal
dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Zaragoza, ia pindah
Pendidikan Islam di Spanyol
267

ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez tahun


1138 M dalam usia muda. Seperti Al-Farabi dan Ibn Sina di Timur,
masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis.
Magnum opusnya adalah Tadbir al- Mutawahhid. (Badri Yatim, 2000:
101).
Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk
asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah Timur Granada dan
wafat pada usia lanjut pada tahun 1185 M. Ia banyak menulis
masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang
sangat terkenal adalah Haj ibn Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang
pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam
Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordova, ia lahir tahun 1126 M dan
wafat tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam
menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam
menggeluti masalah-masalah klasik tentang keserasian filsafat dan
agama. Dia juga ahli fiqih dengan karyanya yang termasyhur Bidayah
al-Mujtahid. (Yatim: 101 - 102 ).

b. Bidang Sains

Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika astronomi, kimia


dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas
termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ia adalah orang
pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. (A. Syalabi,
1979: 86) Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu
astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari
dan menentukan berapa lama- nya. Ia juga berhasil membuat
teropong modern yang dapat
268 Sejarah Pendidikan Islam

menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn


Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm Al-
Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua
orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian Barat
melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-
1228 M) menulis tentang negeri-negeri Muslim di Mediterania dan
Sicilia. Dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai
Samudera Pasai dan Cina. Ibn Al-Khatib (1317-1374 M) menyusun
riwayat Granada, sedangkan Ibnu Khaldun dari Tunis adalah
perumus filsafat sejarah. Itulah sebagian nama-nama besar dalam
bidang sains. (Yatim: 102).

B. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KEMAJUAN


PENDIDIKAN DI SPANYOL
1. Adanya dukungan dari para penguasa. Kemajuan Spanyol
Islam sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang
kuat dan berwibawa serta mencintai ilmu penge- tahuan, juga
memberikan dukungan dan penghargaan terhadap para ilmuwan
dan cendekiawan.
2. Didirikannya sekolah-sekolah dan universitas-universitas di
beberapa kota di Spanyol oleh Abd Al-Rahman III Al-Nashir,
dengan universitasnya yang terkenal di Cor- dova. Serta
dibangunnya perpustakaan-perpustakaan yang memiliki koleksi
buku-buku yang cukup banyak.
3. Banyaknya para sarjana Islam yang datang dari ujung Timur
sampai ujung Barat wilayah Islam dengan mem-
Pendidikan Islam di Spanyol 269

bawa berbagai buku dan bermacam gagasan. Ini menun- jukkan


bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan
politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya Islam. (Majid
Fakhri: 356).
4. Adanya persaingan antara Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di
Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Kompetisi dalam bidang ilmu pengeta- huan dengan
didirikannya Universitas Cordova yang menyaingi Universitas
Nizhamiyah di Baghdad yang merupakan persaingan positif
tidak selalu dalam bentuk peperangan.

C. KESIMPULAN
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak
berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang
berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana
peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang
Salib, tetapi saluran yang terpen- ting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam
menyerap ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam di sana
serta peradabannya, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial,
maupun perekonomian dan peradaban antar- negara. Orang-orang
Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah
kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di
Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping
bangunan fisik. (Philip K. Hitti, 1970: 526-530). Yang terpenting di
antaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd (1120-1198 M). Ia
melepaskan beleng-
270 Sejarah Pendidikan Islam

gu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas


pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang
yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut
pengertian Islam terhadap pantheisme dan antropomorphisme
Kristen. Demikian besar penga- ruhnya di Eropa, hingga Eropa
timbul gerakan Averroisme (Ibn Rusyd-isme) yang menuntut
kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang
dibawa gerakan Averroisme ini.

Wallahu a’lam bi al-shawab.


271

BAB XIX

Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan


Turki Utsmani (I)
Oleh: Nur'aini

A. PENDAHULUAN
Umat Islam mengalami puncak keemasan pada masa
pemerintahan Abbasiyah. Pada masa itu bermunculan para pemikir
Islam kenamaan yang—sampai sekarang— pemikirannya masih
diperbincangkan dan dijadikan dasar pijakan bagi pemikiran di masa
mendatang, baik dalam bidang keagamaan maupun umum.
Kemajuan Islam ini tercipta berkat usaha dari berbagai komponen
masyarakat, baik ilmuwan, birokrat, agamawan, militer, dan ekonom
maupun masyarakat umum.
Keadaan politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami
kemajuan kembali setelah muncul dan ber- kembangnya tiga
kerajaan besar, yaitu Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi
di Persia. Kerajaan Utsmani di samping merupakan kerajaan Islam
pertama yang berdiri juga yang terbesar dan paling lama bertahan
dibanding dua kerajaan lainnya. 1

1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada,


Sejarah Pendidikan Islam
272

B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA MASA TURKI


UTSMANI

1. Sekilas Tentang Kerajaan Turki Utsmani


Pendiri Kerajaan ini adalah bangsa Turki dan kabilah Og- huz
yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam
jangka waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke Turkistan
kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9
atau ke-10 di bawah pimpinan Ortoghol. Mereka mengabdikan diri
kepada Sultan Alaudin, Sultan Saljuk yang kebetulan sedang
berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan
Alaudin memperoleh keme- nangan. Atas jasa baik mereka itu,
Alaudin menghadiahkan sebidang tanah di Asia kecil yang
berbatasan dengan Bizan- tium. Sejak itu mereka terus membina
wilayah barunya dan memilih kota Syukut sebagai ibukota. 2
Ortoghol meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemim- pinan
dilanjutkan oleh putranya Utsman. Putra Ortoghol inilah yang
dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. 3
Sebelum meninggal, Utsman menunjuk (untuk meng- gantikan
posisinya) yang lebih muda dari kedua anaknya, Orkhan yang berusia
42 tahun, yang telah dididik sebagai seorang prajurit di bawah
pengawasan ayahnya, dan telah

1994, cet. II, hlm. 129.


2Ibid.

3Ibid. Gambaran yang cukup jelas mengenai silsilah kerajaan Utsmani dapat dibaca

pada Syalaby, Mausu 'ah alTarikh alIslamy wa alHadhoroh allslamy, Mesir maktabah al-Nahdah,
1979, jilid IV, hlm. 662-663.
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani
273

menunjukkan kemampuannya di dalam banyak peperangan, terutama di


dalam penaklukan Brusa.4
Kerajaan Utsmani sangat gencar melakukan ekspansi guna
meluaskan wilayah kekuasaannya, sehingga pada masa Orkhan sebagian
dari wilayah Eropa telah ditundukkan. Kerajaan ini telah mencapai
gemilang bermula sejak awal abad ke-16 sewaktu Salim mengalahkan
kekuatan Safawi dan meluaskan wilayah ke selatan sampai Mesir dan
Hijaz. Kawasan ini memiliki arti penting dalam kehidupan keaga- maan
umat Islam secara umum.5
Wilayah kekuasaan Utsmani sejak abad ke-16 sangatlah luas,
membentang dari Budepest di bagian utara sampai ke Yaman, di bagian
selatan dan dari Basrah di bagian timur hingga ke Aljazair di bagian barat
itu, dibagi ke dalam bebe- rapa provinsi yang masing-masing dipimpin
oleh seorang gubernur atau pasha.6
Sampai abad ke-17, Turki Utsmani menikmati masa keemasan.
Kekuatan militer Utsmani yang sangat tangguh sangat menentukan
stabilitas kekuasaan. Kejayaan Utsmani mulai kelihatan pudar setelah
Sultan Sulaiman meninggal dunia, yang mengakibatkan terjadi perebutan
kekuasaan antara putra-putranya.

Mahmuddunaser, Islam It’s Concept and History, New Delhi: Nusrat Ali Nasri,
4 Syaikh

1981, hlm. 281.


5 Tim Penyusun IAIN, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 953-954.

6 Stanford Show, History of The Ottoman Empire and Modern Turkey, London: Cambridge

University Press, 1985, hlm. 22.


274 Sejarah Pendidikan Islam

Pada awal abad ke-18, Turki Utsmani berusaha me-


ngembalikan kejayaan dengan melakukan reform yang sangat gencar.
Bahkan Sultan Salim III (w. 1807) membuka sejumlah kedutaan
Utsmani di Eropa. Kemudian Mahmud II (w. 1839)
memperkenalkan berbagai lembaga pembaharuan yang banyak
diilhami dari Barat, termasuk pendidikan, militer, ekonomi dan
hukum. Periode ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai periode
“Reorganisasi”. Berbagai usaha pembaruan terus dilakukan oleh
orang-orang Turki, baik dari kalangan ulama, kaum muda,
cendekiawan maupun birokrat hingga abad ke-20.
Kerajaan Utsmani yang menjadi simbol Islam akhirnya hilang
dari peredaran dunia dengan dihapusnya gelar kha- lifah tersebut. Di
bawah kekuasaan Mustafa-lah pengaruh kekuasaan Sultan berakhir di
tahun 1922, dan segera setelah itu khalifah sebagai institusi agama
pun dihapus sehingga Mustafa sebagai pemimpin besar menjadi
presiden pertama dari Republik Turki baru. Dengan demikian
berakhirlah kehi- dupan panjang dan kebesaran seluruh
pemerintahan Islam. 7

2. Kondisi Pendidikan Islam pada Masa Turki Utsmani


Setelah Mesir jatuh di bawah kekuasaan Utsmaniah Turki,
Sultan Salim memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan dan
barang-barang berharga di Mesir di pin- dahkan ke Istambul, anak-
anak Sultan Mamluk, ulama-ulama,

7 Eleazar Bimbaum, Turkey From Cosmopolitan Empire To Nation State, In RM. Savory (Ed)

Introduction To Islamic Civilisation, London: Cambridge University Press, 1976, hlm. 184.
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani 275

pembesar-pembesar yang berpengaruh di Mesir semuanya di


buang ke Istambul. Bahkan juga Khalifah Abbasiyah sendiri di
buang ke Istambul, setelah mengundurkan diri sebagai khalifah
dan menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sul- tan Turki.8
Dengan demikian, Sultan Turki memegang dua keku-
asaan, yaitu kekuasaan yang mengurusi masalah-masalah
keduniaan atau kepemerintahan yang disimbolkan dengan gelar
sultan dan kedua kekuasaan yang mengurusi masalah agama
yang disimbolkan dengan gelar khalifah.
Sementara itu, ulama-ulama dan kitab-kitab yang ada di
perpustakaan Mesir berpindah ke Istambul, sehingga Mesir
mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan, dan Istam-
bullah yang menjadi pusat pendidikan dan pengembangan
kebudayaan saat itu.
Setelah Sultan Salim yang menjadi pelopor usaha per-
baikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan
wafat lalu digantikan oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuny (1520 M-
1566 M).9 Pada masa Sultan Sulaiman inilah kerajaan Utsmani
mencapai puncak keemasan dan kemajuan yang sangat gemilang
dalam sejarahnya.
Pada masa Turki Utsmani, pendidikan dan pengajaran
mengalami kemunduran, terutama di wilayah-wilayah seperti

8 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidayah Agung, 1989, hlm, 164.

9 Ahmad Salaby, Musu ‘ah alTarikh al-lslamy al-Hadorob al-lslamiyah, Mesir Maktabah al-Nahdhoh,

1979, jilid 4, hlm. 662.


276 Sejarah Pendidikan Islam

Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan


Madrasah pada masa Turki Utsmani adalah Sultan Orkhan (w.
1359 M). Sultan-sultan Utsmani banyak mendirikan masjid-masjid
dan madrasah-madrasah, terutama di Istambul dan Mesir. Pada
masa itu banyak juga perpustakaan yang berisi kitab-kitab yang
tidak sedikit jumlahnya Tiap-tiap orang bebas membaca dan
mempelajari isi kitab-kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guru-
guru, ahli sejarah dan ahli syair pada masa itu. Mereka ddak
terpengaruh oleh pergerakan ilmiah di Eropa dan ddak pula mau
mengikud jejak zaman kemajuan Dunia Islam pada masa Harun
Al-Rasyid dan masa Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam
sejarah Islam. 10
Sistem pengajaran yang dikembangkan pada Turki Utsmani
adalah menghafal matan-matan meskipun murid tidak mengerti
maksudnya, seperti menghapal matan al- Jurumiah, matan Taqrib,
matan Alfiah, matan Sultan dan lain-lain. Murid-murid setelah
menghapal matan-matan itu barulah mempelajari syarahnya,
kadang-kadang serta kha- siyahnya. Karenanya pelajaran itu
bertambah berat dan bertambah sulit untuk dihapalkannya. Sistem
pengajaran semacam ini masih digunakan sampai sekarang. Pada
masa pergerakan yang terakhir, masa pembaharuan pendidikan
Islam di Mesir dan Syria (Tahun 1805 M) telah mulai diada- kan
perubahan-perubahan di sekolah-sekolah (madrasah) sedangkan di
masjid masih mengikuti sistem yang lama. 11

10 Mahmud Yunus, op.cit., 165.


11 Ibid., hlm. 168.
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani 277

Badri Yatim memberikan gambaran tentang kondisi ilmu


pengetahuan pada masa Turki Utsmani sebagai berikut:

Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih banyak


memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam
bidang ilmu pengetahuan mereka kelihatan tidak begitu menonjol. Karena
itulah dalam khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuan
terkemuka dari Turki Utsmani. Namun demikian, mereka banyak berkiprah
dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid
yang indah, seperti masjid al Muhammadi, atau masjid Jami’ Sultan Muhammad
Al-Fatih, masjid agung Sulaiman dan masjid Abi Ayyub Al-Anshary. Masjid-
masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang
terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asal- nya gereja Aya
Sofia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar- gambar kristiani yang ada
sebelumnya. 12

Meskipun pada masa Turki Utsmani pendidikan Islam kurang


mendapat perhatian yang serius dan juga terhambat kemajuannya,
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada tiap-tiap masa pasti akan
memunculkan tokoh-tokoh atau ulama kenamaan. Walaupun jumlah
ulama yang muncul tidak sebanyak pada masa Abbasiyah yang
merupakan puncak keemasan Islam.
Berikut ini adalah ulama-ulama yang masyhur pada masa Turki
Utsmani: 13
1. Syaikh Hasan bin Ali Ahmad Al-Syabi’iy yang termasyhur dengan
AI-Madabighy. Ia juga adalah pengarang Khasiyah jam’ul dan Syarah al-
]urmiyah (w. 1170 H/l756 M).

12 Badri Yatim, op. cit., hlm. 126.


13 Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 171.
278 Sejarah Pendidikan Islam

2. Syamsuddin Ramali (w. 1004 H/1595 M) pengarang Nihayah.


3. Ibnu Hajar Al-Haijsyamy (w. 975 H/1567M) pengarang Tuhfa.
4. Muhammad bin Abdur Razaq, Murtadhoh al-Husaini al-
Zubaidi pengarang sejarah a/ Qomus, bernama Tajjul Urusy (w.
1205 H/1790 M).
5. Abdurrahman Al-Jabartiy (w. 1240 H/1825 M) pengarang Kitab
Tarikh Mesir bernama al-Zaibul atsarfi al-Tarjim wa al-Akbar.
6. Syaikh Hasan Al-Kafrawy Al-Safi’y Al-Azhary (w. 1202 H/
1787 M) pengarang kitab Nahwu, Syrah al-Jurumiyah, bernama Al-
Kafrawi.
7. Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bijrmy Al-
Syafi’iy (w. 1221 H/1806 M) pengarang syarah-syarah dan
khasiroh-khasiroh.
8. Syaikh Hasan Al-Atthar (w. 1250 H/1834 M) ahli ilmu pasti
dan ilmu kedokteran.
9. Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Arfah Al-Dusuqy Al-
Maliki (w. 1230 H/1814 M) ahli Filsafat dan ilmu falak serta
ilmu ukur.
Sementara perpustakaan yang masyhur pada masa Turki
Utsmani adalah sebagai berikut. 14

14Ibid., hlm. 184.


Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Turki Utsmani 279

No Nama Maktabah Tempat


Jumlah
Buku
1 Sultan Muhammad Tsani Istambul 1537
2 Sultan Sulaiman « 803

3 Qollij Ali Basya 752
4 Haffiz Ahmad Basya « 412
5 Qiyuberilly Ughlu 1448

6 Sayyid Ali Basya 2906


7 Ibrahim Basya 831
8 Wallidah Sultan 732
9 Basyir Agha 552
10 Attif Effendi 1336
11 Aya Sofia 1445
12 Serai Ghalthah 556
13 Utsman Shalits 2421
14 Muhd. Raqib Basya 1077
15 La’ lahli Daftar I 890
16 La’ lahli Daftar II 1947
17 Serai Hamayun 916
Walliyuddi Efendi 1769
18
19 Asyir Effendi 1877
20 Dammad ladah M.Murad Efendi 1109
21 Abdul Hamid 1383
22 Hallaf Effendi 656
23 Al Azhar Cairo 1099
24 Abdul Basya Al Azam Damsyiq 422
25 Madrasah Ahmadiah Halab 269

26 Qudus - 609
Jumlah Buku: 29.844

Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa


Utsmani, sampai jatuh Sultan/Khalifah yang terakhir tahun 1924.
280 Sejarah Pendidikan Islam

A. KESIMPULAN
Puncak kemajuan Islam dalam bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan terjadi pada masa Abbasiyah. Ketika dinasti Abbasiyah
hancur oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulughul Khan,
pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai sarana pengembangan
sumber daya manusia pun menga- lami kemunduran. Bahkan kondisi
ini tidak bisa diatasi oleh tiga kerajaan besar Islam pasca Baghdad,
yaitu kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia dan
Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan Utsmani sebagai kerajaan yang mampu ber- tahan
lama dari dua kerajaan besar lainnya hanya mampu mengembangkan
sistem kemiliterannya, sehingga konsen- trasi mereka lebih banyak
pada masalah kemiliteran dan perluasan wilayah. Sementara untuk
pendidikan dan ilmu pengetahuan kurang mendapat perhatian serius.
Namun demikian, ulama-ulama, buku-buku, dan perpustakaan yang
dihasilkan pada masa ini tidak sedikit. Tercatat tidak kurang dari 16
ulama kenamaan yang muncul ke permukaan 26 perpustakaan dan
29.844 buah buku yang dihasilkan pada zaman Turki Utsmani.
281

BAB XX

Pendidikan Islam di Kerajaan Turki


Utsmani (II)
Oleh: Muhammad Syukur

A. PENDAHULUAN
Ketika me-remnd jejak Turki Utsmani (Ottoman), kita akan
terbawa pada kilas balik sejarah panjang imperium Islam zaman
pertengahan yang heroik sekaligus mencemas- kan. Dalam catatan
sejarah, sejak Utsman I naik tahta secara terhormat menggantikan
Alauddin (khalifah terakhir Turki Saljuk) pada 1300 M. hingga
sultan terakhir (ke-40), Abdul Majid II turun pada awal abad ke-20
M (1922), Utsmani telah memerintah selama 600 tahun.
Pada etape dua abad pertama di bawah pimpinan Sultan
Sulaeman I (diangkat tahun 1520), wilayah kekuasaan Turki telah
sampai di semenanjung Balkan. Pasukan Turki yang secara
etnografis dan geneologis memiliki ketangguhan dalam perang,
terus melakukan ekspansi dan penyebaran Islam langsung di bawah
komando sultan. Keberhasilan menduduki Konstantinopel, simbol
kekuatan terakhir imperium Romawi Timur, adalah salah satu
romantisme sejarah- heroik yang memukau. Demikian halnya
penguasaan wilayah-wilayah yang
282 Sejarah Pendidikan Islam

luas secara gradual, 1 hingga Turki Utsmani menjelma menjadi


raksasa yang disegani Eropa dan sekutunya.
Pendidikan sebagai dimensi dinamis perkembangan suatu
bangsa, pada masa Utsmani ini cukup menarik untuk dianalisis
keadaannya. Sebab, di balik kejayaan ekspansinya telah terjadi
kelesuan intelektual yang accut. Lebih menarik lagi, karena pada
periode akhir Utsmani memasuki arah simpang jalan, saat di mana
Eropa mengalami aufklarung dan renaissance dengan segala dimensinya
yang berpengaruh secara mondial. Hal inilah yang mendorong
Sultan Mahmud II (diangkat tahun 1808) tergerak memulai
pembaruan di berbagai sek- tor termasuk bidang pendidikan. Pada
perkembangannya, gerakan pembaruan inilah yang menjadi pilar
menguatnya upaya penggulingan Daulat Turki Utsmani di era
modern.
Ada beberapa soal yang melatari pembahasan sejarah
pendidikan Islam di Turki Utsmani, antara lain: (1) Bagai- manakah
kondisi umum masyarakat Turki Utsmani? (2) Bagaimana
pendidikan Islam pada masa itu? (3) Apa pula pengaruhnya bagi
umat? (4) Apa kontribusi Utsmani bagi perkembangan dunia
pendidikan Islam?
Dengan melihat trend perkembangan historis, penulis mencoba
memulai elaborasi dengan membagi pendidikan masa ini dalam dua
periode; zaman pertengahan dan zaman

1 Berikutini wilayah-wilayah yang pernah menjadi bagian kekuasaan Turki


Utsmani (dengan masa pendudukan dan pelepasan diri berfariatif), yaitu Mesir, Hijaz,
Yaman Irak, Libya, Syria, Yunani, Persia, Tunisia Palestina, Aljawir, Bulgaria,
Yugoslavia, Chekoslovakia, Hongaria, Polandia, Serbia, Bosnia, Herzegovina,
Albania, Rumania, dan Montenegro, (dari berbagai sumber).
Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani 283

modern, tanpa bermaksud menyederhanakan esensi keseja-


rahannya.

B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM UTSMANI

1. Zaman Pertengahan (Usman I, 1300 — pra Mahmud II,


1808)
Meninjau perkembangan pendidikan Islam Utsmani tidak lepas
dari setting budaya, dan kondisi sosial politiknya. Ke- budayaan
Turki merupakan perpaduan antara kebudayaan Persia, Byzantine
dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak menerima ajaran-
ajaran tentang etika dan tatakrama dalam kehidupan istana. Masalah
organisasi, pemerintahan dan prinsip kemiliteran, mereka dapatkan
dari kebudayaan Byzantium. Sedangkan dari kebudayaan Arab,
mereka men- dapatkan ajaran tentang prinsip ekonomi,
kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan (K. Ali 1997).
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih
memperhatikan kemajuan bidang politik dan kemiliteran. Sedang
perhatian mereka dalam pengembangan pengetahuan tidak
menonjol, kecuali dalam bidang arsitektur 2 . Peme- rintahan Utsmani
menerapkan sistem dan prinsip kemiliteran (Abdul Sani: 1998).
Maka pendidikan banyak dikonsentrasi- kan pada pelatihan militer.
Dari sana terbentuk satuan militer Yennisseiy yang berhasil mengubah
negara Utsmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang tangguh.

2 Sejumlah masjid dibangun dengan tatanan yang megah dan di Anatolia Gereja

Aya Sophia diubah pula menjadi masjid indah sebagai peninggalan arsitektur Islam.
284 Sejarah Pendidikan Islam

Kehidupan keagamaan merupakan bagian terpendng dalam


sistem sosial dan politik daulah ini. Pihak penguasa sangat terikat
dengan syariat Islam. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam
negara dan masyarakat. Mufti seba- gai pejabat tinggi agama
berwenang menyampaikan fatwa resmi mengenai problematika
keagamaan. Kegiatan tarekat berkembang pesat. Al-Bektasyi dan al-
Maulawy merupakan dua aliran tarekat yang paling besar. Tarekat
Bektasyi sangat berpengaruh di kalangan tentara Yennissery. Tarekat
Maulawy berpengaruh besar di kalangan penguasa.
Sufisme pada masa itu digemari umat Islam dan ber- kembang
pesat. Keadaan frustrasi yang merata di kalangan umat karena
hancurnya tatanan kehidupan intelektual dan material akibat konflik-
konflik internal dan serangan tentara Mongol yang membabi buta,
menyebabkan orang kembali kepada Tuhan dan bersikap fatalistis.
Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan
kegiatan- kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang menjadi
Zawiyah-Zawiyah untuk mengadakan riyadbah, merintis jalan untuk
kembali kepada Tuhan di bawah bimbingan dan oto- ritas guru-guru
sufi. Maka berkembanglah berbagai sistem riyadbah untuk menuntun
para murid, itulah yang kemudian disebut tarekat.
Ilmu pengetahuan keislaman seperti fiqih, tafsir, ilmu kalam
dan lain-lain, tidak mengalami perkembangan. Keba- nyakan
penguasa Utsmani cenderung bersikap taqlid dan fanatik terhadap
suatu mazhab dan menentang mazhab yang lain (Zuhairini: 1992).
Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani
285

Fazlurrahman melukiskan keadaan pada masa itu sebagai


berikut.

“...di sebagian besar pusat-pusat sufi terutama di Turki, kurikulum akademis


terdiri hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Di Turki waktu itu terdapat
beberapa tempat khusus Methnevikhana, di mana matsnam-nya Rumi merupakan satu-
satunya buku yang diajarkan. Lebih jauh lagi, isi dan karya-karya tersebut yang
sebagian besar dikuasai pantheisme adalah bertentangan secara tajam dengan
lembaga-lembaga pendidikan ortodoks. Karena itu timbullah suatu dualisme
spiritual yang tajam dan berlarut-larut antara madrasah dan halaqah. Ciri khas
dari fenomena ini adalah melimpahnya pertanyaan-pertanyaan sufi yang taubat
setelah menemukan jalan, lalu membakar buku-buku madrasah mereka atau
melemparkannya dalam sumur” (Fazlurrahman: 1984).

Pada masa ini lapangan ilmu pengetahuan menyempit.


Madrasah adalah satu-satunya lembaga pendidikan umum dan di
dalamnya hanya diajarkan pendidikan agama. 3 Maka bila kemudian
ada ‘sarjana-sarjana’ besar tertentu dan pemi- kir-pemikir orisinil
yang muncul dari waktu ke waktu, adalah istimewa dalam dirinya
sendiri dan tidak banyak menimba ilmu mereka dari kurikulum yang
resmi. Kenyataannya bahwa pada abad-abad pertengahan akhir
hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan
bukan karya-karya orisinil.
Kemerosotan gradual standar-standar akademis selama
berabad-abad ini berputar di persoalan sedikitnya jumlah buku-
buku yang tercantum dalam kurikulum, dan waktu yang

3 Pada perkembangan selanjutnya masyarakat kemudian kurang tertarik


memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dan mengutamakan mengirim mereka
belajar keterampilan secara praktis di perusahaan-perusahaan industri tangan.
286 Sejarah Pendidikan Islam

diberikan terlalu singkat untuk murid dapat menguasai bahan- bahan


yang ‘berat’ dan seringkali sulit dipahami. Ini pada gilirannya
menjadikan belajar lebih bersifat studi tekstual dari- pada upaya
memahami dan lebih mendorong hafalan daripada pemahaman yang
sebenarnya.

1. Zaman Modern (Mahmud II, 1808 —


Abdul Majid, 1922)
Secara praktis di Ottoman terjadi stagnasi bidang ilmu dan
teknologi. Kemajuan militer Utsmani tidak diimbangi dengan sains.
Ketika pihak Eropa berhasil mengembangkan teknologi
persenjataan, pihak Utsmani menderita kekalahan ketika terjadi
kontak senjata dengan mereka.
Eskalasi konflik semakin kuat di Ottoman, baik eksternal,
berupa tantangan kemajuan musuh lama, Eropa, maupun konflik
internal seperti terjadinya pemberontakan di berbagai wilayah yang
ingin melepaskan diri dari Utsmani, perselisihan di tubuh Yennisary,
merosotnya moralitas penguasa dan turunnya perekonomian negara.
Mahmud II (Sultan ke-33) dinilai sebagai penggagas tonggak
reformasi Utsmani. Berbagai tantangan di atas menis- cayakan
gagasan pembaruan dari Sultan, dalam rangka mem- pertahankan
Daulat Utsmaniah. Ia mulai keluar dari tradisi aristokrasi dalam
membangun relasi dengan rakyatnya. Di antara pembaruan yang
dirintisnya ialah di bidang militer, organisasi kerajaan, hukum, dan
yang paling penting serta berpengaruh besar bagi perkembangan
pembaruan di kera- jaan Utsmani ialah perubahan di bidang
pendidikan.
Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani 287

la ingin mengubah pola madrasah tradisional disesuaikan


dengan zamannya (abad ke-19), dan mengikis buta aksara. Dalam
kurikulum baru dimasukkan pelajaran umum, yang melalui proses
sosialisasi kepada masyarakatnya dengan tidak mudah. Maka ia
mulai mendirikan madrasah pengetahuan umum serta sastra, Mekteb-i
Ma’arif dan Mekteb-i Ulum-u Adebiye. Siswa kedua sekolah itu dipilih dari
madrasah yang bermutu tinggi.
Di kedua madrasah itu diajarkan bahasa Prancis, ilmu bumi,
ilmu ukur, sejarah, dan ilmu politik di samping bahasa Arab.
Sekolah pengetahuan umum mendidik siswa untuk menjadi pegawai
administrasi, dan sekolah sastra menyiap- kan penterjemah-
penterjemah untuk kepentingan peme- rintah. (Harun Nasution:
1975).
Setelah itu Sultan Mahmud II mendirikan pula sekolah militer,
sekolah teknik, sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan.
Kedua sekolah terakhir kemudian digabung dalam satu wadah Dar-ul
lum-u Hikemiye ve Mekteb-i Tibbiye-i Sahane menggunakan bahasa Prancis.
Di sekolah ini terdapat pula buku-buku filsafat dan berbagai
pengetahuan umum. Di sana mulai muncul ide-ide modern sebagai
counter opinion atas paham fatalistik yang telah lama menyelimuti
masya- rakat. Hal ini mengejutkan kalangan ulama Turki abad ke-19
masa itu. Selain mendirikan sekolah Sultan Mahmud II juga
mengirim siswa-siswa ke Eropa.
Selanjutnya pada tahun 1831 M. ia menerbitkan surat kabar
resmi Takvim-i Vekayi yang memuat berita peristiwa- peristiwa dan
artikel-artikel mengenai ide-ide yang berasal dari Barat. Media ini
memberi pengaruh yang luas di masya-
288 Sejarah Pendidikan Islam

rakat, dengan kritik terhadap adat istiadat Timur dan memuja Barat
dalam kemajuan ilmu pengetahuan, kemerdekaan dalam agama,
patriotisme, dan meratanya pendidikan.
Kemudian gerakan pembaharuan lanjutan dikenal de- ngan
istilah Tanzimat, bentukan dari kata nidzam yang berarti mengatur,
menyusun, dan memperbaiki. Di zaman inilah kemudian banyak
dibuat peraturan dan undang-undang baru di mana pemukanya
banyak yang telah terdidik di Eropa dan berpengalaman di bidang-
bidang strategis.
Pada masa Sultan Abdul Hamid (diangkat 1876), sultan ke-37,
di tengah pergolakan politik Utsmani dan pro-kontra sistem
pemerintahan dengan kelompok pembaru Utsmani Muda, di
lapangan pendidikan ia telah mendirikan pergu- ruan-perguruan
tinggi, Sekolah Hukum Tinggi (1878), Sekolah Tinggi Keuangan
(1878), Sekolah Tinggi Kesenian (1879), Sekolah Tinggi Dagang
(1882), Sekolah Tinggi Teknik (1888), Sekolah Dokter Hewan
(1889), Sekolah Tinggi Polisi (1891), dan Universitas Istambul
(1900).
Gerakan Utsmani Muda telah ditumpas oleh Sultan. Lalu
muncul gerakan Turki Muda yang juga terdiri dari kaum intelegensia
yang dipengaruhi oleh pemikiran liberal. Gerakan ini meluas ke
berbagai kalangan dan mengambil peran oposisi terhadap
pemerintahan absolut Sultan. Mereka bergerak dalam perkumpulan-
perkumpulan rahasia hingga di luar negeri. Di antara pemikirannya
adalah bahwa selama Turki masih bersifat kolektif, sultan akan tetap
berkuasa absolut. Jalan ampuh untuk mengubah sifat masyarakat
dari kolektif menjadi individual adalah pendidikan. Rakyat Turki
harus dididik dan dilatih berdiri sendiri untuk mengubah nasibnya.
Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani 289

Pada tahun 1905 Sultan Abdul Hamid dijatuhkan dan diganti


oleh saudaranya Sultan Mehmed V. Dalam iklim politik yang tidak
stabil, bersama parlemennya Sultan me- ngadakan pembaruan di
berbagai bidang, seperti, administrasi, transportasi, pelayanan
umum dan pendidikan mendapat perhatian khusus.
Sekolah-sekolah dasar dan menengah batu didirikan. Untuk
mengatasi kebutuhan tenaga guru dibuka pula sekolah- sekolah
guru. Kaum wanita bebas memilih sekolah, hingga bermunculan
dokter-dokter dan hakim-hakim dari wanita. Perubahan juga
menjalar ke pola berpakaian pria dan wanita dengan a la Eropa.
Dalam bidang publikasi, surat kabar dicetak sejumlah 60.000 kopi.
Oplah yang cukup tinggi pada masa itu. Demikian pula majalah-
majalah baru timbul dalam berbagai bidang, seperti sastra, politik,
dan sebagainya. Ide- ide yang dimuat bersumber dari Prancis, antara
lain, filsafat Positivisme August Comte. Nasionalisme Turki juga mulai
ramai dibicarakan.
Kemudian terbentuklah tiga kristal dalam aliran pembaru, yaitu
yang berhaluan Barat, Islam dan Nasionalis. Golongan Barat ingin
mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaruan, golongan
Islam ingin Islamlah dasar pembaruan, dan golongan Nasionalis
Turki yang timbul belakangan menyatakan bukan Barat dan bukan
Islam yang dijadikan dasar tetapi nasionalisme Turki.
Sampai di sini, perkembangan sejarah pendidikan Islam di
kerajaan Turki Utsmani berakhir seiring dengan berakhir- nya
kerajaan Ottoman. Sultan Abdul Majid II digulingkan dan
kekuasaan beralih ke tangan Mustafa Kamal Attaturk,
290 Sejarah Pendidikan Islam

yang menanamkan westernisasi dan sekularisasi di berbagai


sendi kehidupan nasional Turki.

C. KESIMPULAN
Demikian paparan singkat sejarah Turki Utsmani khu-
susnya berkenaan dengan perkembangan pendidikan Islam.
Karena sekadar dibilang ‘rangkuman’ saja, pembahasan ini
dapat dikatakan belum cukup, setidaknya penulis mencoba me-
review pembahasan yang telah didiskusikan bersama pada kuliah
Sejarah Pendidikan Islam.
Beberapa kesimpulan akhir dapat penulis petik sebagai
berikut:
1. Sejak awal Turki Utsmani berdaulat, tahun 1300 M umat
Islam sedang dalam kondisi terpuruk fisik maupun men-
tal di atas puing-puing peradaban yang telah dibangun
sejak masa Rasulullah. Masa kejayaan baru saja usai ber-
lalu. Dalam keadaan “lemah”, umat menemukan ‘pence-
rahan’ dan jalan kembali dengan menekuni sufisme yang
subur pada masa itu. Tak jarang di antaranya memba-
hayakan essensi akidah islamiyah. Mereka memilih
kehidupan asketik dan bersikap fatalistik.
2. Sultan mengutamakan pendidikan militer sebagai lang-
kah strategis dalam menunjang misi ekspansi kekuasaan
dan penyebaran Islam. Sementara madrasah-madrasah
yang telah ada lebih banyak diisi dengan kegiatan tarekat-
tarekat. Pelajaran pun terbatas materi agama dengan sistem
studi tekstual dan hafalan, bukan pemahaman apalagi
telaah kritis.
Pendidikan Islam di Kerajaan Turki Utsmani 291

1. Hal ini telah mengurung umat Islam dalam suasana. jumud,


tidak mengoptimalkan potensi akal dan tertinggal jauh dari
Eropa, yang justru bangkit dengan mengem- bangkan
curiousity-nya, hingga menghasilkan berbagai penemuan dan
inovasi baru. Kesadaran akan pendngnya pembaruan
muncul kemudian pada masa sultan Mahmud II, 1808.
2. Sepanjang sejarah Ottoman merupakan kontribusi nilai
historis yang bisa diambil hikmahnya dari berbagai sudut
pandang.
293

BAB XXI

Penutup

Berdasarkan uraian sebagaimana terdapat pada beberapa bab


sebagaimana tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dari sejak kelahirannya lima abad yang lalu, Islam telah
menunjukkan kepeduliannya terhadap pembinaan sum- ber
daya manusia melalui kegiatan pendidikan dalam arti yang
seluas-luasnya.
2. Praktik pendidikan Islam dalam perjalanan sejarahnya selain
diilhami oleh ajaran yang terkandung di dalam Alquran dan al-
Sunnah yang bersifat internal, juga dipe- ngaruhi oleh faktor
eksternal yang datang dari Yunani serta berbagai peradaban
yang berada di sekitar di mana pendidikan Islam itu
dipraktikkan.
3. Praktik Pendidikan Islam sebagaimana terekam dalam sejarah
telah mendorong dunia Eropa dan Barat untuk meniru dan
mengembangkannya lebih lanjut. Kehadiran Islam selain
berfungsi sebagai rahmat bagi penganutnya juga bagi pihak
Eropa dan Barat.
294 Sejarah Pendidikan islam

1. Sifat dan corak pendidikan Islam dalam rekaman sejarah


terlihat sangat bersikap akomodatif terhadap berbagai pengaruh
yang ada di sekitarnya. Keadaan ini menunjuk- kan sifat dari
ajaran Islam yang lentur dan adaptif dengan perubahan zaman.
2. Berdasarkan rekaman sejarah umat Islam telah mengem-
bangkan berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan Islam,
mulai dari perumusan visi, misi, tujuan, kurikulum,
kelembagaan, guru, pola hubungan guru murid, biaya, sarana
prasarana, serta perannya bagi kemajuan bangsa dan negara di
mana pendidikan Islam tersebut diseleng- garakan.
3. Perkembangan pendidikan Islam yang terjadi di Timur Tengah
telah mempengaruhi perkembangan pendidikan Islam yang
terdapat di Indonesia. Pertumbuhan lembaga pendidikan
pesantren yang mengajarkan kitab-kitab kuning atau berdirinya
madrasah adalah bukd yang amat kuat tentang adanya pengaruh
tersebut ke dalam per- kembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
4. Rekaman sejarah pendidikan Islam sebagaimana terda- pat
dalam buku ini dapat dijadikan bahan perbandingan, model dan
inspirasi bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia di
masa sekarang dan yang akan datang. Sementara itu, bentuk
dan coraknya yang tidak sesuai lagi, tetap harus dihormati,
sekalipun mungkin tidak perlu lagi dipraktikkan.
295

Daftar Pustaka

AA. Teek, Al-Azhar, The Mosque and the University dalam Konsep Universitas
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989).
Abrasyi, Al, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj.) H.
Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry L.I.S., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970).
Abud, Abdul Ghani, Fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Araby, t.t.).
Ahmad Muhammad UF, Al-Azhar fi Alf, (Cairo: Majma al- Buhuts al-
Islamiyah, 1982).
Ahmed, Muniruddin, Islamic Education and the Scholar’s Social Status Upto 5
Century Muslim Era 11 Century Christian Era) in the Light of Tarikh
Baghdad, (Verlag: Der Islam Zurich, 1968).
Ali, A. Mukti, Sejarah Islam Pramodern, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995).
Arsyad, Natsir, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan,
1995).
Sejarah Pendidikan Islam
296

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Me- nuju


Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995).
Alavi, Ziauddin, Muslim Educational Thought in the Middle Age (terj.)
Abuddin Nata, (Bandung: Angkasa, Montreal Canada, 2000).
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999).
Amin, Ahmad, Dhula al-Islam, (Cairo: Maktabah al-Mu’ashi- rah,
1952).
Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan,
1996).
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999).
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996), cet. III.
Abdullah, Abdullah Saleh, Educational Theory: Qur’anic Out- look,
(Makkah al-Mukarramah: Umm al-Qura University, t.t.)
Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak, (terj.) Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975).
Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991).
Daftar Pustaka 297

B. Dogde, Al Azhar: A Millenium of Muslim Learning, (Washington DC,


1962).
Badi, Luthfi, Abd., al-Islam fi Asbanija, (Cairo: Maktabah al- Nahdhah
al-...)
Baghdadi, Al, Abdurrahman, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam,
(Bandung: Al-Issah, 1996).
Bakar, Osman, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Makta- bah al-
Nahdlah al-Mishriyah, 1977).
Bawani, Iwan, Segi-segi Pendidikan Islam, (Surabaya, al-Ikhlash, 1987).
Beuchamp, G.A, Curriculum Theory, (Wilmete: The Kaesr Press, 1968).
Bullet, Richard W., The Partician of Nishapur: a Studj in Medievel Islamic Social
History. Harvard: Harvard University Press, 1972).
Da’im, Abdullah, Tarikh al-Tarbiyah, (Jeddah: al-Mathba’ah al-Jadid,
1965).
Daradjat, Zakiah, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Is- lam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995).
Djuwaeli, Irsyad, H.M. Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta:
Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998).
Dunn, Ross E., Petualangan Ibn Batutah Seorang Musafir Muslim Abad XIV,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995).
Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Reka Sarasin,
1990).
Fajar, Abdullah, 1996, Peradaban dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1996).
298 Sejarah Pendidikan Islam

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Mabadi al-
Tarbiyah al-Islamiyah), (terj.) Ibrahim Hasan M.A., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979).
Fahrurrazi, Sejarah Pendidikan Islam, (Medan: Rimbow, 1986).
Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, (terj.) Mulyadi Karta- negara dari
judul asli Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1986).
Futuh, Abdul Madjid Abdul, al-Tarikh al-Siyasi wa al-Fikr, (al- Mansur:
Mathba’ah al-Wafa, 1980).
Ghazali, Al, Ihya’ Ulum al-Din, (Qahirah: Dar al-Hadits, 1994).
Ghunaimah, Moh. Abd. Rahim, Tarikh al-Jamiat al-Islamiyah al-Kurba
(Maroko: Dar al-Thiba’ah al-Mughribiyah, 1953).
Goodlad, J.L., Curriculum as a Field of Study, dalam A. Lewy, (ed.), the
International Encyclopedia of Curriculum, (Toronto: Pergamon
Press, 1991).
Hafidz, Hasan, dkk., Ushul al-Tarbiyah wa Ilmu al-Nafs, (Mesir: Dar al-
Jihad, 1956).
Hassan, Ali, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Hassan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi
wa al-Ijrima’I, (Mesir: al-Nahdlah al-Mishriyah, 1967).
Hillenbrand, Madrasa dalam The Encyclopedia in Islam, Vol. V, (Leiden:
E.J.Brill, 1995).
Hitty, Philip K. History of The Arab, (London: Macmillan Press, 1974).
Hodgson, Marshal, The Venture of Islam, Conscience and History in World
Civilization, (Chicago: The University Chicago Press, 1974).
Daftar Pustaka 299

Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan


Perbandingan Pemikirannya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996).
Jumbulati, Al, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam (Dirasatun Maquranatun fi
al-Tarbiyah al-Islamiyah, (terj.) H.M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta,
1994).
O Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arab, (Lon- don:
Routledge & Kegan Paul, 1964).
, Arabic Thought and Its Place in History, (London:
Routledge & Kegan Paul, 1963).
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Jail, t.t.).
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-
Husna, 1992).
, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Al-
Husna, 1988).
Lapidus, M. Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, (terj.) Ghufran A. Mas’adi,
dari judul asli The History of Muslim Society, (Jakarta: Rajawali Pers,
1999).
Mahmudunnasir, Syed, Islam Its Concept and History, (New Delhi, (1981).
Majid, Nurcholish (ed.), Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), cet, III.
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Ciputat: PT Logos
Wacana Ilmu, 1999).
Makdisi, George, The Rose of Colleges: Institution of Learning in Islam and the
West, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981).
Sejarah Pendidikan Islam
300

Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Educa- tion, (terj.)


menjadi Kontribusi Islam Atas Dunia Inte- lektual Barat,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (terj.) Helmi Hidayat,
dari Tahzib al-A-Akhlaq, (Bandung: Mizan, 1998).
Muhaimin, dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlurrahman: Studi Kritis
Pembaharuan Pendidikan Islam, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999).
Mursi, Muhammad Munir, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Ushuluha wa
Thathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyah, (Cairo: Alam al- Kitab, 1977).
Nadvi, Muzafaruddin, Muslim Thought and Its Source, (terj.) menjadi
Pemikiran Muslim dan Sumbernya, (Bandung: Pustaka, 1984).
Naharawi, Al, Fathiyah, Tarikh al-Nidzam wa al-Hadharah al- Islamiyah,
(Libanon: Dar al-Ma’arif, 1981), cet, II.
Nahlawi, al, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif
Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), cet.
I.
Nasr, Sayyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York: New
American Library, 1990).
, Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung:
Pustaka, 1994).
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973).
Daftar Pustaka
301

, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta:


UI Press, 1985).
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997).
Nawawy, Hadari, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, (Jakarta: Haji
Masagung, 1989).
Nurkancana, Yuyun dan P.P.N. Sumantara, Evaluasi Pendi- dikan,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986).
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1982).
Purwanto, M. Ngalim, Prinsip-prinsip dan Teknik-teknik Evaluasi Pengajaran,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992).
Qurah, Husein Sulaiman, al-Ushul al-Tarbawiyah fi Bina al- Manahij,
(Cairo: Dar al-Ma’arif, 1975).
Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung: Pustaka, 1994).
, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi
Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1995).
Rusyan, A. Tarbani, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992).
Shaw, Standford, History of The Ottoman Empire and Modern Turkey,
(London: Cambridge University Press, 1976).
Shiddiqi, Ash, T.M. Hasbi, Pengantar Fiqih, (Semarang: PT Rizki
Putera, 1997).
Stanton, Carles Michael, Higher Learning of Islam: The Classi- cal Periode
A.P.700-1300, Meryland: Remand and Little- field Publisher,
1990).
302 Sejarah Pendidikan Islam

Sabiq, Sayid, Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman (terj.)


Muhammad Abdai Rathomu, (Bandung: Diponegoro, 1977).
Syaibani, Mohammad al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah (terj.)
Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Bandung:
Bulan Bintang, 1979).
Syalaby, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, (terj.) Muchtra Yahya dan
Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Syihab, H.M. Quriash, Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992).
Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: Angkasa, 1985).
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992).
Tibawi, A.L. Arabic and Islamic Themes, (London: Luzac & Company
Ltd., 1976).
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Hida- karya
Agung, 1992).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000).
Watt, Williem Montgomery, Islamic Philosofy and Theology, (Edinburg:
University Press, 1992).
Daftar Pustaka
303

, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa


Abad Pertengahan, (Jakarta: Gramedig Pustaka Utama, 1997), cet.,
II.
Wesley, Edgard Gruce, Teaching Social Studies in High School’ (Boston: USA
Press, 1950).
Zahra, Muhammad Abu, Tanzim al-Islam li al-Mujtama’ (Cairo: Maktabah
al-Misriyah, t.t.).
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara,
1991).
Zarnuji, al, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, (terj.) Aly As’ad, dari
judul asli Ta’lim Muta’allim, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1978).

Anda mungkin juga menyukai