Anda di halaman 1dari 27

Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Ulumul Hadits II Prof. Dr. Zikri Darussamin, M.Ag

“Periwayatan Hadits”

Disusun Oleh:
Andri Sulfauzon
11432104259
Rijalallah
11432104558

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau


Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Tahun Ajaran 2014/2015
Kata Pengantar

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan
taufiknya kepada kita bersama, terutama kepada kami yang telah selesai menyelesaikan
penulisan makalah ulumul hadits ini. Karena berkat rahmat beserta karunianyalah kami
telah dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun kami rasa masih banyak kekurangan di
sana sini dalam makalah kami ini.

Kemudian shalawat beserta salam kita mohonkan kepada Allah SWT, semoga selalu
tercurah kepada pemimpin umat sedunia, yakni nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa petunjuk yang benar dan mengajarkannya kepada sahabat-sahabatnya, dan
pada akhirnya sampailah kepada kita umat akhir zaman ini, semoga Allah tetapkan hati
kita agar selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang telah di ajarkan oleh
Rasulullah SAW tersebut sampai hari kiamat, amiin.

Makalah ini kami buat atas tugas yang di berikan oleh dosen pembimbing mata
kuliah Ulumul Hadits II, yaitu Prof. Dr. Zikri Darussamin, M.A. Alhamdulillah makalah
yang berjudul ’Periwayatan Hadits’ telah selesai kami kerjakan, walaupun sebenarnya
masih banyak kekurangan dan kecacatannya, mungkin itu karena kelalaian kami maupun
karena ketidaktahuan kami dalam suatu masalah. Dalam pembuatan makalah ini banyak
sekali tantangan yang kami hadapi, diantaranya adalah sulitnya memahami pembahasan
mengenai periwayatan hadits tersebut, dan di antara buku sumber kami dalah kitab yang
berbahasa arab, sehingga itu sangat menyulitakan kami, harus diterjemahkan dahulu
kemudian dipahami, membuat kepala ini pusing memikirkannya. Namun berkat izin dari
Allah SWT kami dapat juga menyelesaikan makalah ini.

Akhirnya kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang


telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Kritik, saran, masukan, tambahan dan
sanggahan sangat kami harapkan bagi siapapun yang membaca makalah ini, agar
makalah ini lebih baik dan lebih sempurna lagi untuk ke depannya.

Pekanbaru, Jumadil Akhir 1436 H

Penulis

II
Daftar Isi

Kata Pengantar.....................................................................................................................II
Daftar
Isi.............................................................................................................................III

BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang............................................................................................................IV
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................IV

BAB 2
Pembahasan
A. Pengertian Periwayatan Hadits.....................................................................................1
B. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh dan Makna...........................................................2
1. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh.......................................................................2
2. Periwayatan Hadits Dengan Makna.......................................................................3
C. Tahammul dan Ada’ Al-Hadits......................................................................................4
1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Al-Hadits.............................................................5
2. Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ Al-Hadits........................................................6
a. Syarat-Syarat Tahammul Al-Hadits................................................................6
b. Syarat-Syarat Ada’ Al-Hadits..........................................................................8
3. Bentuk-Bentuk Tahammul dan Ada’ Al-Hadits.....................................................9
a. As-Sima’.........................................................................................................9
b. Al-Qira’ah/Al-’Aradh...................................................................................10
c. Al-
Ijazah........................................................................................................10
d. Al-
Munawalah...............................................................................................12
e. Al-Kitabah.....................................................................................................13
f. Al-I’lam.........................................................................................................14
g. Al-Washiyah..................................................................................................14
h. Al-Wijadah....................................................................................................15
D. Riwayah dan Syahadah...............................................................................................16
1. Pengertian Riwayah.............................................................................................16
2. Pengertiana Syahadah..........................................................................................16
3. Persamaan dan Perbedaan Antara Riwayah dan Syahadah..................................17
4. Hubungan Antara Riwayah dan Syahadah...........................................................18

BAB 3
Penutup
A. Kesimpulan.................................................................................................................20
B. Kritik dan Saran..........................................................................................................21

Daftar Pustaka....................................................................................................................23

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu proses yang tak kalah penting dari sebuah hadits itu adalah
periwayatannya, bagaimana sebuah hadits itu bisa terjaga semenjak masa Nabi
hingga pada masa sekarang ini, tentu semua itu ada metode dan cara-cara tertentu
yang di pakai oleh seorang perawi dalam menerima dan menyampaikan hadits
tersebut. Inilah yang insyaAllah akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu mengenai
periwayatan hadits, Banyak diantara kita hanya tahu matan atau isi dari hadits
tersebut, kita tidak pernah tahu bagaimana hadits itu disampaikan, mulai dari masa
Nabi hingga hadits-hadits itu dibukukan oleh para ulama. Dengan latar belakang
banyaknya orang yang tidak tahu mengenai periwayatan hadits inilah kami akan
membahas pada makalah ini sebuah pembahsan yang berjudul ‘periwayatan hadits’.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun mencoba merumuskan


rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari periwayatan hadits


2. Apa syarat-syarat tahmmul dan ada’ al-hadits
3. Apa yang dimaksud dengan periwayatan dengan lafazh dan makna, dan apa
hukum periwayatn hadits dengan makna
4. Apa yang dimaksud dengan tahammul dan ada’ al-hadits dan bagaimana
bentuk-bentuknya
5. Apa pegertian riwayah dan syahadah
6. Apa persamaan dan perbedaan antara riwayah dan syahadah dan apa hubungan
antara keduanya

IV
BAB II

PEMBAHASAN

Periwayatan Hadits

A. Pengertian Periwayatan Hadits

Kata riwayat berasal dari Bahasa Arab yaitu ‫رواية‬. Kata ‫ رواية‬adalah bentuk
mashdar dari kata ‫ رواية‬- ‫ يروى‬- ‫ روى‬semakna dengan kata ‫ نقال‬- ‫ ينقل‬- ‫ نقل‬dan
‫ديث‬IIII‫ رواية الح‬.‫را‬IIII‫ ذك‬- ‫ذكر‬IIII‫ ي‬- ‫ ذكر‬artinya adalah ‫ره‬IIII‫( نقله وذك‬memindahkannya dan
menyebutkannya).1

Riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita dari


seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits adalah memindahkan hadits dari
seorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam kumpulan hadits.
Pemindah hadits itu dinamai rawi, rawi pertama adalah shahabi dan rawi terakhir
adalah orang yang membukukannya.2

Pengertian periwayatan secara umum adalah seperti yang dikemukakan oleh


Abdul Majid Khon dalam bukunya Takhrij dan Metode Memahami Hadis, beliau
mengutip pendapat dari Muhammad Ibrahim Al-Hafrawi mengatakan, bahwa
riwayah adalah:

‫الرواية هي االخبار عن شيئ عام للناس ال ترافع فيه الى الحكام‬


“Periwayatan adalah pemberitaan tentang sesuatu yang bersifat umum untuk
manusia tidak terkait pelaporan kepada hakim”.3

Sedangkan Periwayatan yang lebih spesifik lagi, yaitu periwayatan hadits,


defenisinya adalah seperti yang dikemukakan oleh Nuruddin ‘Itr dalam bukunya
‘Ulumul Hadis (terjemahan), beliau mengatakan bahwa periwayatan hadits adalah:

‫الرواية عند المحدثين حمل الحديث ونقله واسناده الى من عزي اليه بصيغة‬
‫من صيغ االداء‬
“Periwayatan (hadits) menurut para ahli hadits (muhadditsin) adalah membawa
dan menyampaikan hadits dengan menyandarkannya kepada orang yang menjadi
sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat periwayatan”.4

1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al- Masyriq, 1975), hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hal 22
4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179

1
Periwayatan hadits itu adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits
kepada serangkaian periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu.5

Atau periwayatan hadits adalah tata cara penerimaan, penyampaian dan


pelestarian hadits. Dalam defenisi di atas ada tiga komponen penting dalam
periwayatan hadits, yaitu mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits),
menyampaikan hadits (ada’ al-hadits) dan dhabthul hadits (melestarikan hadits).6

Tata cara mendengar/menerima hadits (sima’/tahammul al-hadits) adalah


penjelasan tentang cara syarat yang harus dimiliki seseorang yang hendak mendengar
riwayat hadits dari guru-gurunya untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain,
seperti syarat ketentuan umur dan lain sebagainya. Tata cara menyampaikan hadits
(ada’ al-hadits) adalah penjelasan tentang sistem penyampaian hadits oleh seorang
guru kepada muridnya dan syarat-syarat seseorang yang boleh menyampaikan hadits
dan meriwayatkannya. Tata cara melestarikan hadits (dhabthul hadits) adalah
bagaimana seorang murid memelihara (menghafal) secara benar dan meyakinkan
riwayat hadits yang pernah diterimanya dari gurunya untuk kemudian disampaikan
kepada orang lain.7

B. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh dan Makna

1. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh

Utang Ranuwijaya mengatakan periwayatan hadits dengan lafzah adalah


periwayatan hadits yang redaksi atau atau matannya persis sama seperti yang
diwurudkan oleh Rasulullah SAW. Menurut defenisi ini berarti apa yang
diriwayatkan oleh para perawi harus sama dengan apa yang disebutkan oleh
Nabi SAW, tanpa ada penambahan atau pengurangan walaupun satu huruf.8

Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat, seperti
yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya seluruh
sahabat Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan
dengan ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab tersendiri,
yang salah satu sebabnya adalah adanaya ancaman Nabi SAW bagi orang yang
berdusta atas dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi mengancam
dengan siksaan yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya periwayatan
dengan lafazh ini, maka Umar bin Khaththab pernah berkata “Barang siapa yang
pernah mendengar hadits dari Rasulullah SAW, kemudian ia meriwayatkannya
sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat.” Ucapan Umar ini merupakan
peringatan kepada perawi hadits untuk meriwayatkan hadits Nabi sesuai dengan
yang didengar yakni periwayatan secara lafazh, sehingga mereka terhindar dari
ancaman api neraka.9
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
6
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hal 173
7
Ibid
8
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 69
9
Ibid, hal 71

2
Di antara para sahabat Nabi yang paling keras mengharuskan periwayatan
hadits dengan jalan lafazh ialah Ibnu Umar yang pernah suatu hari ketika
seorang sahabat (Ubay bin Abi Amir) menyebutkan hadits lima prinsip dasar
Islam, ia meletakkan zakat pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menyuruh ia
meletakkan pada urutan keempat sebagamana yang ia (Ibnu Umar) dengar dari
Rasulullah SAW.10

2. Periwayatan Hadits Dengan Makna

Periwayatan hadits dengan makna atau dikenal dengan periwayatan ma’nawi


artinya adalah periwayatan yang redaksi matannya tidak persis sama dengan
yang didengar perawi dari Rasulullah SAW, namun isi atau maknanya sesuai
dengan makna yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tanpa ada perubahan
sedikitpun. Dari defenisi di atas tersebut dapat dipahami bahwa periwayatan
dengan makna adalah periwayatan dengan lafazh, dalam hal ini yang dipelihara
adalah makna hadits bukan lafazhnya.11

Di antara para sahabat yang membolehkan periwayatan dengan makna ini


adalah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda’,
dan Abu Hurairah. Kemudian dari kalangan tabi’in: Hasan Al-Bashri, Asy-
Sya’bi, Amr bin Dinar, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, dan Ikrimah. Ibnu Sirin
seperti yang dikutip Utang Ranuwijaya, telah berkata: Aku mendengar hadits
dari sepuluh orang dalam makna yang sama, akan tetapi dengan redaksi lafazh
yang berbeda. Pendapat ini mengindikasikan bahwa jenis hadits yang
diriwayatkan dengan cara inilah yang banyak jumlahnya.12

Jumhur ulama, termasuk Imam Mazhab yang empat, berpendapat bolehnya


meriwayatkan hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam ilmu
hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal-lafal hadits manakala
bercampur aduk, sebab hadits yang dapat diriwayatkan dengan maknanya saja
harus memenuhi dua kriteria, yaitu lafal hadits bukan bacaan ibadah dan hadits
tersebut tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata yang sarat makna) yang
diucapkan Nabi SAW.13

Para Ulama sependapat mengatakan bahwa seorang perawi yang tidak


mempunyai ilmu yang dalam mengenai lafazh-lafazh hadits, madlul-madlulnya,
dan maksud-maksudnya, dan tidak mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal
yang memalingkan makna hadits, tidak mempunyai pengetahuan tentang kadar-
kadar perbedaan, tidak boleh meriwayatkan hadits dengan makna, wajiblah ia
menyampaikan menurut lafazh yang ia dengar. Demikian menurut nukilan Ibnu
Shalah dan An-Nawawi.14
10
Ibid, hal 71-72
11
Ibid, hal 72
12
Ibid, hal 72-73
13
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hal 223
14
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang,

3
Adapun mengenai periwayatan hadits dengan makna ini ada dua pendapat,
yaitu:

a. Tidak Boleh

Inilah pendapat segolongan ulama hadits, fuqaha’, dan ushuliyyin. Di


antara yang tidak membolehkan adalah Ibnu Sirin, Tsa’lab, Abu Bakar Ar-
Razi, dan lain-lain.15

b. Boleh

Dengan syarat:

1) Kalau yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’, kalau hadits


marfu’tidak dibolehkan. Inilah pendapat Malik menurut nukilan
Al-Khalil bin Ahmad dan Baihaqi dalam al-madkhal.16
2) Apabila hadits tersebut sesuai dengan makna hadits yang didengar.
Inilah yang ditunjukkan oleh para sahabat dan ulama salaf, mereka
sering meriwayatkan sesuatu riwayat dengan bermacam lafazh.17
3) Jika si perawi tidak ingat lagi dengan lafazh, jika ia masih ingat lafazh
aslinya tidak dibolehkan.18
4) Harus diganti dengan lafazh yang muradif.19
5) Jika hadits itu mengenai ilmu, seperti i’tiqad. Kalau mengenai amal
tidak dibolehkan.20
6) Orang yang menyampaiakan hadits tersebut memiliki pengetahuan
Bahasa Arab yang tinggi.21
7) Matan hadits hendaknya didahului (ditambah) dengan kata-kata
‫ال‬I‫ او كما ق‬atau ‫ذا‬I‫و ه‬I‫ او نح‬atau kata yang lain yang mempunyai makna
yang sama.22

C. Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

Ada dua unsur penting dalam periwayatan hadits yang tidak boleh diabaikan,
yaitu penerimaan dan penyampaian. Unsur ini dikenal dengan tahammul al-hadits
wa ada’ al-hadits. Dalam masalah tahammul dan ada’ ini para ulama pada umumnya
membagi kedalam delapan bentuk, penerimaan sekaligus merupakan bentuk
penyamapaian. Ini dilakukan karena setiap penerimaan suatu hadits berarti di saat itu
pun berlangsung peristiwa penyampaian. Seorang murid menerima suatu hadits dari

1976), hal 91
15
Ibid
16
Ibid
17
Ibid, hal 92
18
Ibid, hal 93
19
Ibid
20
Ibid
21
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 74
22
Ibid

4
gurunya dan disisi lain gurunya tersebut telah melakukan penyampaian suatu hadits
yang dimilikinya kepada muridnya.23

1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

Kata tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata ‫تحمال‬-‫يتحمل‬-‫ تحمل‬, yang
berarti menerima.24 Sedangkan secara istilah adalah:

‫بيان طرق اخذ الحديث عن الشيخ‬


“Penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil atau
menerima hadits dari gurunya”.25

Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam kitabnya Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa


Mushthalahuhu menjelaskan, bahwa tahammul al-hadits adalah:

‫اخذ الحديث عن الشيخ بطريق من طرق التحمل‬


“Kegiatan mengambil hadits dari seorang guru dengan menggunakan cara-
cara tertentu”.26

Atau tahammul al-hadits adalah cara-cara menerima hadits dan


mengambilnya dari syaikh.27

Kemudian ada’ al-hadits, kata ada’ merupakan isim mashdar dari kata
‫اداء‬-‫أدى‬III‫ي‬-‫ ادى‬yang berarti menyampaikan atau menunaikan.28 Sedangkan
menurut istilah adalah:

‫بيان طرق اداء الحديث او رواية الحديث و اعطائه للطالب‬


“Penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang diterima oleh para
periwayat hadits dari syaikh atau gurunya”.29

Atau, ada’ al hadits adalah:

‫رواية الحديث وتبليغه‬


“Meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang lain”.30

23
Ibid, hal 60
24
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal 64
25
Ibid
26
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), hal 227
27
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal 181
28
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, hal 64
29
Ibid
30
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 60

5
2. Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

a. Syarat-Syarat Tahammul Al-Hadits

Abdul Majid Khon mengatakan bahwa syarat tahammul al-hadits adalah


keahlian dalam periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada umumnya
tidak memberikan syarat untuk tahammul sebagaimana ada’. Hal ini
diibaratkan dengan orang yang mengikuti mejelis ta’lim. Semua orang boleh
mengikutinya, sekalipun nonmuslim dan belum baligh. Berbeda dengan
ada’, tidak semua penyampaian hadits dapat diterima. Dengan demikian,
persyaratan ada’ lebih berat daripada tahammul.31

Senada dengan Abdul Majid Khon, Abdul Qadir Hassan juga


menyatakan hal yang sama, beliau berkata “Adapaun orang yang
mendengar/menerima hadits tidak disyaratkan apa-apa.”32 Siapa pun boleh
mendengarkan hadits dari seorang syekh (guru), akan tetapi tidak semua
orang boleh menyampaikan hadits kepada orang lain. Kemudian, yang
menjadi persoalan dalam pembahasan ini adalah bagaimana dengan
(tahammul) penerimaan hadits yang dilakukan oleh anak-anak, orang kafir,
dan orang fasik.

1) Anak-Anak

Jumhur ulama ahli hadits berpendapat, bahwa penerimaaan


periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum
mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan
kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan
kepada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang
menerima periwayatan hadits, seperti Hasan bin Ali, Abdullah bin
Zubair, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid, dan
lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh
atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal
usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini
tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.33

Al-Qadhi ‘Iyadh menetapkan, bahwa batas minimal usia anak


diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun,
karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar
dan mengingat-ingat apa yang dihafal.34 Pendapat ini didasarkan pada
hadits riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Ar-Ruba’i:

‫عقلت من النبي صلى هللا عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو‬
31
Ibid, hal 61
32
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal 368
33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal 195
34
Ibid, hal 195-196

6
)‫وانا ابن خمس سنين (رواه البخري‬
“Saya ingat Nabi SAW melemparkan air yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun” (HR Bukhari)35

Abu Abdullah Az-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak


diperbolehkan menulis hadits pada saat usia mereka telah mencapai
umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap
sempurna, dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan
untuk mengahafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak
dewasa. Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun,
berdasarkan hadits dari Ibnu Umar: “Saya dihadapkan kepada
Rasulullah SAW pada waktu Perang Uhud, di saat itu saya baru
berusia empat belas tahun, beliau tidak memperkenankan aku.
Kemudian aku dihadapkan kepada Nabi SAW pada saat Perang
Khandak, di saat aku berumur lima belas tahun dan beliau
memperkenankan aku”.36

2) Orang Kafir

Jumhur ulama ahli hadits menganggap sah, asalkan hadits tersebut


diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan
bertaubat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian
yang mereka saksikan dan banyaknya para sahabat yang mendengar
sabda Rasulullah SAW sebelum mereka masuk Islam.37

Contohnya, seperti Tanuchi utusan Heraclius, ia pernah mendengar


sabda-sabda Nabi SAW sebelum masuk Islam, kemudian setelah
Rasulullah SAW wafat, ia masuk Islam dan meriwayatkan hadits.
Begitu juga halnya dengan Jubair bin Muth’im. Riwayat mereka ini
semua teranggap maushul, karena waktu mendengar atau menyaksikan
sesuatu, mereka sudah dianggap ahli.38

3) Orang Fasiq

Apabila penerimaan hadits oleh orang kafir yang kemudian


disampaikannya setelah masuk Islam dapat diterima, maka sudah
barang tentu dianggap sah penerimaan hadits oleh orang fasiq yang
diriwayatkannya setelah dia bertaubat.39

Yang dikatkan fasiq adalah orang yang melanggar perintah-perintah


atau mengerjakan larangan-larangan agama yang besar-besar. Orang
35
Ibid, hal 196
36
Ibid
37
Ibid, hal 197
38
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
39
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 197-198

7
yang fasiq waktu menerima hadits, apabila ia riwayatkan sesudah
bertaubat, lagi kepercayaan, diterima haditsnya. Tetapi kalau ia berdusta
dalam riwayat, kebanyakan ulama tidak mau menerima haditsnya,
walaupun ia bertaubat atas dustanya tadi.40

b. Syarat-Syarat Ada’ Al-Hadits

Sebagaimana telah disebutkan bahwa ada’ al-hadits adalah


menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh
karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang
tentu menuntut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau
tidaknya suatu hadits juga sangat tergantung padanya. Mengingat hal-hal
seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih menetapkan
beberapa syarat bagi periwayatan/penyampaian hadits.41 Syarat-Syarat itu
adalah:

1) Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus


muslim, dan menurut ijma’ periwayatan orang kafir tidak sah.
Seandainya perawinya orang fasiq saja kita disuruh ber-tawaqquf, maka
lebih-lebih perawi yang kafir.42

Kaitannya dalam masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman


Allah dalam surat al-hujurat ayat 6:

‫ياايها الذين امنوا ان جاءكم فاسق بنبئ فتبينوا ان تصيبوا قوما‬


‫بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang-
orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesa atas perbuatanmu
itu” (QS Al-Hujurat 49:6)

2) Baligh

Yang dimaksud dengan baligh adalah perawinya cukup usia ketika


ia meriwayatkan hadits, walau penerimanya belum baligh. Hal ini
didasarkan kepada Rasululla SAW:

‫رفع القلم عن ثالثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق‬


40
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 369
41
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hal 204
42
Ibid, hal 205

8
)‫وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو دود‬
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan,
yaitu: orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia
bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi”.43

3) ‘Adalah

Yang dimaksud dengan ‘adalah ialah suatu sifat yang melekat pada
jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut
tetap taqwa, menjaga kepribadian, dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil,
dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang
baik, dan selalu menjaga kepribadian.44

4) Dhabit

Dhabit adalah teringat kembali perawi saat penerimaan dan


pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu
menerima hingga menyampaikannya. Cara untuk mengetahui
kedhabitan perawi adalah dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya
dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.45

Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana


disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung,
hadits yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil, dan tidak bertentangan
dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat al-qur’an.46

2. Bentuk-Bentuk Tahammul dan Ada’ Al-Hadits

Bentuk-bentuk tahammul dan ada’ al-hadits ada delapan, yaitu:

a. As-Sima’

As-Sima’ artinya mendengarkan, maksudnya disini adalah seorang rawi


mendengarkan lafazh syaikhnya di waktu syaikh membaca atau menyebut
hadits atau hadits bersama sanadnya.47 Atau As-Sima’ adalah penerimaan
hadits dengan cara mendengar langsung lafal hadits yang dibaca guru hadits,
baik yang dibaca itu berdasar hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau
tidak oleh si penerimanya.48

43
Ibid, hal 205-206
44
Ibid, hal 206
45
Ibid
46
Ibid
47
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
48
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 175

9
Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadits dinilai cara
yang tertinggi kualitasnya. Hal ini karena berdasarkan pendapat jumhur
ulama hadits bahwa cara penerimaan riwayat dengan as-sima’ ini sebagai
cara yang paling dipercaya. Adapun shighat-shighat (kata-kata) yang
digunakan untuk cara penerimaan dengan as-sima’ ini bervariasi,
diantaranya adalah:
‫ ذكر لنا‬,‫ قال لنا‬,‫ اخبرنا‬,‫ حدثني‬,‫ حدثنا‬,‫سمعت‬, dan lain-lain.49

b. Al-Qira’ah / Al-’Aradh

Al-Qira’ah adalah membaca dengan hafalan.50 Sebagian besar ulama


menamakannya dengan ‘Aradh, maksudnya adalah seorang murid
(periwayat) membaca riwayat hadits di hadapan guru hadits, baik dibaca
sendiri atau dibaca orang lain dan dia mendengarnya, baik berdasarkan
hahalannya atau catatannya. Guru hadits tersebut aktif menyimaknya, baik
melalui hafalannya sendiri atau catatannya atau dipercayakan kepada orang
lain.51

Periwayatan seperti ini mirip dengan pemeriksaan hafalan seorang


penghafal Al-Qur’an kepada guru penghafal Al-Qur’an. Hal ini
menunjukkan penerima riwayat lebih aktif dari pada sang guru. Adapun
kata-kata yang digunakan dalam periwayatan dengan cara al-qira’ah ini ada
yang disepakati dan ada yang tidak disepakati. Kata-kata yang disepakati
adalah: ‫قرأت على فالن‬,
‫اقر به‬II‫مع ف‬II‫ا اس‬II‫رأت على فالن وان‬II‫ق‬. Sedangkan kata-kata yang tidak disepakati
pemakaiannya antara lain adalah: ‫ حدثنا‬,‫اخبرنا‬, yang tidak diikuti oleh kata-
kata lain.52

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan al-qira’ah ini, yaitu:

1) Sejajar dengan as-sima’, ini menurut Imam Malik, Imam Bukhari, dan
sebagian besar Ulama Hijaz dan Kufah.53
2) Lebih rendah dari as-sima’, ini menurut sebagian besar ulama Maroko
(pendapat yang shahih).54
3) Lebih tinggi dari as-sima’, ini menurut Abu Hanifah, Abu Dzi’b, dan
sebagian riwayat Imam Malik.55

c. Al-Ijazah

Al-Ijazah artinya mengizinkan, yaitu seorang syekh mengizinkan


muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik izin itu dengan ucapan
49
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
50
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
51
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 176
52
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 61
53
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 177
54
Ibid
55
Ibid

10
maupun dengan tulisan.56 Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada
salah satu muridnya:

‫اجزت لك ان تروي عني صحيح البخري‬


“Saya beri izin kamu untuk meriwayatkan hadits-hadits yang ada pada
kitab shahih Al-Bukhari”57

Cara penerimaan hadits dengan cara al-ijazah ini secara global ada dua
macam, yaitu:

1) Ijazah bersama al-munawalah58, ini bentuknya ada dua macam:

a) Seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang


ada padanya, kemudian berkata “Anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”.59
b) Seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian
guru itu memerikasanya dan setelah guru itu memaklumi bahwa dia
juga meriwayatkannya, maka dia berkata “Hadits ini telah saya
terima dari guru saya dan anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkannya”.60

2) Ijazah murni atau al-ijazah al-mujarradah.61

Al-Qadhi ‘Iyadh membagi al-ijazah ini menjadi enam macam,


sedangkan Ibnu Ash-Shalah menambahkan satu macam lagi, sehingga
menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah itu adalah sebagai
berikut:

a) Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang


tertentu sebuah kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-ijazah
seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.62
b) Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu
yang tidak tertentu, seperti “Aku ijazahkan kepadamu sesuatu yang
saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan.” Cara seperti ini menurut
jumhur tergolong yang diperbolehkan.63
c) Bentuk al-ijazah secara umum, seperti ungkapan “Aku ijazahkan
kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada
(hadir)”.64
56
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 364
57
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 178
58
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 62
59
Ibid
60
Ibid
61
Ibid
62
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal 185
63
Ibid, hal 186
64
Ibid

11
d) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap
fasid.65
e) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti
mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk
ijazah seperti ini tidak sah.66
f) Bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan
kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “Aku ijazahkan
kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan
kudengarkan.” Cara seperti ini dianggap batal.67
g) Bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “Aku ijazahkan
kepadamu ijazahku”.68

d. Al-Munawalah

Al-Munawalah artinya memberi, menyerahkan.69 Secara istilah al-


munawalah adalah seorang guru memberikan kepada seorang murid, kitab
asli yang didengar dari gurunya, atau satu salinan yang sudah dicontoh
seraya ia berkata “inilah hadits yang telah aku dengar dari si fulan, maka
riwayatkanlah dia daripadaku dan aku telah mengijazahkan kepada engkau
untuk meriwayatkannya”.70

Al-Munawalah terbagi kepada dua macam, yaitu:

1) Al-Munawalah al-maqrunah bi al-ijazah

Yaitu al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Prakteknya,


seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada
padanya, kemudian guru tadi berkata “Anda saya beri ijazah untuk
meriwayatkan hadits yang saya peroleh ini”, atau seorang murid
menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian guru itu
memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga
meriwayatkannya, maka dia berkata “Hadits ini telah saya terima dari
guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini
dari saya”. Bentuk ijzah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara
bentuk ijazah yang lain.71

2) Al-Munawalah al-mujarradah ‘an al-ijazah

Yaitu al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah.


Prakteknya, seorang guru menyodorkan kitab hadits kepada muridnya
65
Ibid
66
Ibid
67
Ibid
68
Ibid
69
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 365
70
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
71
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 180

12
sambil berkata “Ini hadits yang pernah saya dengar” atau “Ini hadits
yang telah saya riwayatkan”.72

Periwayatan dengan cara al-munawalah yang pertama hukumnya boleh,


tapi kualitasnya lebih rendah dari as-sima’ dan al-qira’ah. Periwayatan
dengan cara al-munawalah yang kedua menurut pendapat yang shahih tidak
boleh. Adapun kata-kata yang digunakan untuk al-munawalah al-maqrunah
bi al-ijazah adalah ‫از لي‬I‫اولني و اج‬II‫ناولني او ن‬, boleh juga memakai ibarat as-
sima’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah
seperti ‫حدثنا مناولة او اخبرنا مناولة و اجازة‬.73 Adapun kata-kata yang digunakan
untuk cara penerimaaan riwayat dengan al-munawalah tanpa ijazah adalah
‫ناولني او ناولنا‬.74

e. Al-Kitabah

Al-Kitabah artinya bertulis-tulis surat.75 Secara istilah, al-kitabah adalah


seorang guru menulis hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada
orang tertentu, atau untuk orang yang jauh dan dikirim surat kepadanya,
baik dia tulis sendiri ataupun dia suruh orang lain menuliskannya.76

Al-Kitabah ada dua macam, yaitu:

1) Al-Kitabah yang dibarengi dengan ijazah

Yaitu ketika sang guru menuliskan beberapa hadits untuk diberikan


kepada muridnya, ia mengatakan “Ini adalah hasil periwayatanku, maka
riwayatkanlah atau aku ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan
kepada orang lain”. Kedudukan al-kitabah dalam bentuk ini sama
halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat
diterima.77

2) Al-Kitabah yang tidak dibarengi dengan ijazah

Yakni guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya


tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkannya. Al-
Kitabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama. Ayyub,
Manshur, Al-Laits, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama
ushul menganggap sah periwayatan dengan cara ini, sedangkan Al-
Mawardi menganggap tidak sah.78

Contoh ungkapan yang dipakai dalam periwayatan al-kitabah adalah


72
Ibid
73
Ibid, hal 180-181
74
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
75
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
76
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 63
77
Mudasir, Ilmu Hadis, hal 187
78
Ibid

13
dengan jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan ‫كتب الي فالن‬. Atau
memakai lafal as-sima’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan lafal al-
kitabah, seperti perkataan ‫حدثني فالن او اخبرني كتابة‬.79

f. Al-I’lam

Al-I’lam artinya memberitahu.80 Al-I’lam secara istilah adalah seorang


guru memberitahukan kepada seorang murid bahwa sesuatu hadits atau
sesuatu kitab, itulah riwayat dari gurunya si fulan tanpa izin si murid
meriwayatkannya.81

Mengenai periwayatan dengan cara al-i’lam ini ada dua pendapat, yaitu:

1) Kebanyakan ulama hadits, fiqih dan ushul fiqih membolehkan


periwayatan dengan cara al-i’lam.82
2) Sebagian menyatakan tidak boleh, sebab hadits yang diberitahukan itu
ada cacatnya, karenanya guru tersebut tidak meyuruh muridnya untuk
meriwayatkannya, ini pendapat yang shahih.83

Terlepas dari pro dan kontra pendapat tersebut, masalah keabsahan


periwayatan jenis ini sebenarnya dapat dilihat dari sisi lain, yaitu untuk apa
seorang memperdengarkan suatu hadits kepada muridnya jika tidak untuk
diriwayatkan oleh si murid tersebut, dan juga tidaklah mungkin seorang
guru mau mencelakakan muridnya dengan memperdengarkan hadits yang
cacat. Mungkin seorang guru mengemukakan suatu hadits yang cacat
dihadapan muridnya tapi dengan tujuan untuk dipelajari (keilmuan) bukan
untuk diriwayatkan.84

Adapun kata-kata yang dipakai untuk periwayatan dengan cara al-i’lam


ini adalah ‫اخبرنا اعالما‬.85

g. Al-Washiyah

Al-Washiyah artinya memesan atau mewasiati.86 Sedangkan secara


istilah adalah seorang guru menjelang wafatnya atau sebelum bepergian, ia
memberikan wasiat kepada seseorang untuk sebuah kitab hadits yang pernah
diriwayatkan.87

Ulama masih berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya


79
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 182
80
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 366
81
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 64
82
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 182
83
Ibid, hal 182-183
84
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 65
85
Ibid
86
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
87
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 183

14
periwayatan dengan metode al-washiyah ini, diantaranya adalah:

1) Menurut sebagian ulama salaf boleh periwayatan dengan cara


al-washiyah. Pendapat ini salah, karena yang diwasiatkan itu kitabnya
bukan wasiat untuk meriwayatkannya.88
2) Menurut pendapat yang benar adalah tidak boleh periwayatan hadits
dengan cara al-washiyah.89

Adapun kata-kata yang dipakai dalam periwayatan dengan al-washiyah


adalah ‫اوصى الي فالن بكذا او حدثني فالن وصية‬.90

h. Al-Wijadah

Al-Wijadah artinya mendapat.91 Secara istilah adalah Seseorang yang


melalui tidak sama’ (mendengar) atau ijazah, mendapati hadits-hadits yang
ditulis oleh perawinya. Orang yang mendapati tulisan itu boleh jadi ia
semasa atau tidak semasa dengan penulis hadits tersebut, pernah atau tidak
pernah bertemu, pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadits dari penulis
yang dimaksud.92

Cara ini menurut Ahmad Muhammad Syakir merupakan pemindahan


riwayat secara dusta, dan tentu hal ini sangat berlawanan dengan nilai-nilai
Islam. Namun disisi lain ada ulama yang membolehkan periwayatan melalui
cara ini, dalam hal ini mereka menetapkan beberapa syarat sehingga cara ini
diperbolehkan untuk meriwayatkan suatu hadits.93 Syarat-syarat tersebut
adalah:

1) Tulisan hadits yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa
periwayat sesungguhnya.94
2) Kata-kata yang dipakai untuk periwayat lebih lanjut haruslah kata-kata
yang menunjukkan bahwa asal hadits itu diperbolehkan secara
al-wijadah.95

Adapun kata-kata atau pernyataan yang dipakai untuk periwayatan al-


wijadah adalah ‫دثنا فالن‬I‫ط ح‬I‫اب فالن بخ‬I‫دت في كت‬I‫ وج‬,‫دثنا فالن‬I‫ط فالن ح‬I‫وجدت بخ‬, dan
lain-lain.96

D. Riwayah dan Syahadah

88
Ibid
89
Ibid
90
Ibid
91
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
92
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 66
93
Ibid
94
Ibid, hal 67
95
Ibid
96
Ibid

15
1. Pengertian Riwayah

Riwayah menurut lughah adalah membawa (memikul), menukil, dan


menerangkan.97 Sedangkan menurut istilah adalah:

‫خبر عام يقصد به تعريف دليل حكم شرعي‬


“Khabar yang umum yang dimaksudakan untuk menerangkan dalil suatu hukum
syara’.”98

Dan juga sebagaimana yang telah kami jelaskan pada pembahasan


terdahulu, bahwa riwayah adalah:

‫الرواية هي االخبار عن شيئ عام للناس ال ترافع فيه الى الحكام‬


“Periwayatan adalah pemberitaan tentang sesuatu yang bersifat umum untuk
manusia tidak terkait pelaporan kepada hakim”.99

2. Pengertian Syahadah

Syahadah menurut lughah mempunyai tiga arti. Pertama, menghadiri atau


mendapati. Biasa dikatakan ‫‘ شهد بدرا‬ia menghadiri Peperangan Badar’.
‫‘ شهدنا صالة العيد‬kami menghadiri shalat hari raya’. Kedua, Mengkhabarkan. Bisa
dikatakan ‫اكم‬I‫‘ شهد بكذا عند الح‬dia khabarkan atau dia terangkan begini didepan
hakim. Ketiga, mengetahui. Firman Allah SWT ‫‘ وهللا على كل شيئ شهيد‬dan Allah
mengetahui akan segala sesuatu’.100

Syahadah menurut istilah, dikatakan oleh Al-Mazari dalam syarah Al-


Burhan:

‫خبر خاص قصد به ترتيب فصل القضاء عليه‬


“Suatu khabar yang khusus, dimaksudkan untuk menjadi dasar putusan
hakim”.101

Atau syahadah adalah:

‫االخبار عن خاص ببعض الناس يمكن الترافع فيه الى الحكام‬


“Pemberitaan khusus yang menyangkut sebagian orang yang dapat dijadikan

97
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, hal 31
98
Ibid
99
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 22
100
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, hal 30
101
Ibid, hal 31

16
bahan pelaporan kepada para hakim”.102

3. Persamaan dan Perbedaan Antara Riwayah dan Syahadah

Ada persamaan dan perbedaan antara periwayatan (riwayah) dan persaksian


(syahadah). Persamaannya terletak pada persyaratan yang harus dimiliki oleh
orang yang meriwayatkan atau orang yang bersaksi.103 Syarat-syarat tersebut
adalah:

a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat

Selain memiliki persamaan, antara periwayatan dan persaksian juga


memiliki perbedaan. Berikut ini perbedaan antara periwayatan dan persaksian:

a. Berita dalam periwayatan digunakan untuk menerangkan hukum syara’.


Sementara itu, berita dalam persaksian digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam keputusan hakim.104

b. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.105

c. Periwayat boleh laki-laki atau perempuan. Sementara itu, saksi harus


laki-laki.106

d. Seorang tunanetra dapat menjadi periwayat, asalkan memiliki pendengaran


yang baik. Sementara itu, seorang tunanetra tidak diperkenankan menjadi
saksi.107

e. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang


dijelaskan dalam riwayat. Sementara itu, saksi tidak boleh memiliki
hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan kesaksian.108

f. Jumlah periwayat tidak menjadi syarat sah periwayatan. Sementara itu, saksi
peristiwa tertentu harus lebih dari satu orang.109

g. Periwayat bisa saja bermusuhan dengan orang yang disinggung dalam


riwayatnya. Sementara itu, saksi tidak boleh bermusuhan dengan orang
102
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 24
103
Ibid, hal 25
104
Ibid
105
Ibid
106
Ibid
107
Ibid, hal 26
108
Ibid
109
Ibid

17
yang disebutkan dalam persaksiannya.110

Antara periwayatan dan persaksian memiliki persamaan dan perbedaan.


Oleh sebab itu, periwayat boleh saja disebut saksi, yaitu saksi yang melihat
perbuatan dan persetujuan Nabi SAW atau mendengar sabda Nabi SAW yang
diriwayatkan, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah. Dalam ilmu sejarah
diperlukan periwayat yang menyaksikan peristiwa. Bagi mayoritas ulama,
menerima periwayatan hadits tidak sama dengan menerima persaksian. Dalam
persaksian harus ada dua orang yang adil, sedangkan dalam periwayatan hadits
cukup satu orang. Sementara itu, sebagian ahli hadits memandang sama antara
periwayatan dan persaksian, yaitu tidak menerima riwayat perorangan walaupun
orang tersebut dinilai adil dan memiliki hafalan yang kuat. Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Ibrahim bin Uyainah dan Abu Ali Al-Juba’i yang dikutip oleh
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy.111

4. Hubungan Antara Riwayah dan Syahadah

Ada beberapa metode yang digunakan para sahabat dala menerima hadits
dari Nabi SAW, berikut ini metode tersebut:

a. Musyafahah, yaitu mendengarkan sabda Nabi secara langsung.112


b. Musyahadah, yaitu menyaksikan sendiri apa yang dialkukan atau disetujui
oleh Nabi SAW.113
c. As-Sama’, yaitu mendengar dari sahabat yang telah menerima hadits secara
musyafahah dan musyahadah.114

Jika hadits qauli (hadits yang berupa perkataan Rasulullah SAW) dan
sahabat mengatakan “Rasulullah SAW bersabda demikian”, atau “Aku
mendengar beliau bersabda demikian”, maka hadits itu disebut musyafahah. Jika
hadits fi’li (hadits yang berupa perbuatan Rasulullah SAW) dan sahabat
mengatakan “Aku melihat Rasulullah melakukan sesuatu”, atau hadits taqriri
(hadits yang berupa persetujuan Rasulullah SAW) dan sahabat mengatakan
“Seseorang melakukan sesuatu da Rasulullah tidak melarangnya”, maka kedua
hadits tersebut disebut musyahadah. Sementara itu, jika hadits washfi (hadits
yang berupa sifat-sifat Nabi SAW) dan sahabat mengatakan “Sifat Rasulullah
SAW seperti ini”, maka hadits sepert itu juga disebut musyahadah. Selanjutnya,
tabi’in menerima hadits dari sahabat dengan menggunakan metode as-sama’.115

Sahabat yang menyaksikan atau mendengar secara langsung apa yang


disampaikan Nabi SAW disebut saksi. Begitu pula dengan sahabat yang
menyaksikan atau mendengar Nabi SAW mengucapkan suatu hadits disertai

110
Ibid
111
Ibid
112
Ibid, hal 27
113
Ibid
114
Ibid
115
Ibid

18
sahabat lain, baik satu orang atau lebih, juga disebut saksi. Sementara itu,
periwayatan lain di kalangan tabi’in atau tabi’ tabi’in disebut tabi’ (tawabi’) atau
muttabi’.116

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

116
Ibid

19
1. Periwayatan hadits adalah “Kegiatan yang dilakukan oleh seorang syekh (guru)
dengan muridnya, baik itu penerimaan (tahammul), penyampaian (ada’), dan
penjagaan (dhabth) dengan menggunakan cara-cara tertentu”.

2. Secara umum bentuk-bentuk periwayatan hadits ada dua macam, yaitu:

a. Periwayatan hadits dengan lafzah


Yaitu periwayatan hadits yang redaksi atau atau matannya persis sama
seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW.
b. Periwayatan hadits dengan makna
Yaitu periwayatan yang redaksi matannya tidak persis sama dengan yang
didengar perawi dari Rasulullah SAW, namun isi atau maknanya
sesuaidengan makna yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tanpa ada
perubahan sedikitpun.

3. Tahammul al-hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam


mengambil atau menerima hadits dari gurunya.

4. Ada’ al-hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang


diterima oleh para periwayat hadits dari syaikh atau gurunya.

5. Bentuk-bentuk/metode dalam tahammul dan ada’ al hadits ada delapan, yaitu:

a. As-Sima’
b. Al-Qira’ah/Al-’Aradh
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
e. Al-Kitabah
f. Al-I’lam
g. Al-Washiyah
h. Al-Wijadah

6. Riwayah adalah khabar yang umum yang diperuntukkan untuk semua orang
yang ingin mendengar dan mengambilnya. Sedangkan syahadah adalah khabar
yang khusus diperuntukkan kepada hakim

7. Persamaan riwayah dan syahadah terletak pada persyaratan yang harus dimiliki
oleh orang yang meriwayatkan atau orang yang bersaksi. Syarat-syarat tersebut
adalah:

a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat

8. Perbedaan riwayah dan syahadah adalah:

20
a. Berita dalam periwayatan digunakan untuk menerangkan hukum syara’.
Sementara itu, berita dalam persaksian digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam keputusan hakim.
b. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.
c. Periwayat boleh laki-laki atau perempuan. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.
d. Seorang tunanetra dapat menjadi periwayat, asalkan memiliki pendengaran
yang baik. Sementara itu, seorang tunanetra tidak diperkenankan menjadi
saksi.
e. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang
dijelaskan dalam riwayat. Sementara itu, saksi tidak boleh memiliki
hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan kesaksian.
f. Jumlah periwayat tidak menjadi syarat sah periwayatan. Sementara itu, saksi
peristiwa tertentu harus lebih dari satu orang.
g. Periwayat bisa saja bermusuhan dengan orang yang disinggung dalam
riwayatnya. Sementara itu, saksi tidak boleh bermusuhan dengan orang yang
disebutkan dalam persaksiannya.

9. Riwayah dan syahadah mempunyai hubungan yang sangat erat, seorang perawi
bisa dikatakan saksi, bahkan menurut Abdul Majid Khon seorang sahabat yang
menyaksikan atau mendengar secara langsung apa yang disampaikan Nabi SAW
disebut saksi.

B. Kritik dan Saran

Setiap sesuatu itu mempunyai kelebihan dan kekurangan, Kami merasa makalah
ini bukanlah makalah yang sempurna, dalam makalah ini masih banyak
kekurangannya di sana sini, entah itu kata-katanya yang sulit dimengerti atau
kesalahan kami dalam menuliskan kata-kata tersebut.

Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kepada pembaca, setelah membaca
makalah yang kami buat ini, dapat memberikan masukan, saran, kritik, dll, agar
makalah ini bisa direvisi dan lebih baik lagi untuk ke depannya, walaupun
sebenarnya kita tidak bisa menjadikan sesuatu itu sempurna, tetapi setidaknya kita
berusaha untuk ke arah yang lebih baik lagi, dan memperbaiki kesalahan yang ada
dalam penulisan makalah ini.

Menurut kami pembahasan mengenai periwayatan hadits ini adalah pembahasan


yang paling rumit di antara pembahasan-pembahasan yang lainnya, oleh karena itu,
tentu kami dalam penulisan makalah ini ada kesalahan dan kekeliruan, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan, dan akan menunggu kritik, saran, dan masukan dari
para pembaca.

Pada akhirnya kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi petunjuk

21
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan juga kepada
pihak-pihak lain yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penulisan
makalah ini. Akhirul kalam wa billahi taufiq wal hidayah wassalamu’alaikum
warahmatullahi wa barakatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut: Dar


Al-Fikr. 1989.

22
Al-Ma’luf, Louwis bin Naqula Dhahir. Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam. Beirut: Dar
Al-Masyriq. 1975.
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II.
Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
_________________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2009.
Hassan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 2007.
Husti, Ilyas. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. 2007.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2012.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah. 2014.
Mudasir, Ilmu Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2006.

23

Anda mungkin juga menyukai