Periwayatan Hadits
Periwayatan Hadits
“Periwayatan Hadits”
Disusun Oleh:
Andri Sulfauzon
11432104259
Rijalallah
11432104558
Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan
taufiknya kepada kita bersama, terutama kepada kami yang telah selesai menyelesaikan
penulisan makalah ulumul hadits ini. Karena berkat rahmat beserta karunianyalah kami
telah dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun kami rasa masih banyak kekurangan di
sana sini dalam makalah kami ini.
Kemudian shalawat beserta salam kita mohonkan kepada Allah SWT, semoga selalu
tercurah kepada pemimpin umat sedunia, yakni nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa petunjuk yang benar dan mengajarkannya kepada sahabat-sahabatnya, dan
pada akhirnya sampailah kepada kita umat akhir zaman ini, semoga Allah tetapkan hati
kita agar selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang telah di ajarkan oleh
Rasulullah SAW tersebut sampai hari kiamat, amiin.
Makalah ini kami buat atas tugas yang di berikan oleh dosen pembimbing mata
kuliah Ulumul Hadits II, yaitu Prof. Dr. Zikri Darussamin, M.A. Alhamdulillah makalah
yang berjudul ’Periwayatan Hadits’ telah selesai kami kerjakan, walaupun sebenarnya
masih banyak kekurangan dan kecacatannya, mungkin itu karena kelalaian kami maupun
karena ketidaktahuan kami dalam suatu masalah. Dalam pembuatan makalah ini banyak
sekali tantangan yang kami hadapi, diantaranya adalah sulitnya memahami pembahasan
mengenai periwayatan hadits tersebut, dan di antara buku sumber kami dalah kitab yang
berbahasa arab, sehingga itu sangat menyulitakan kami, harus diterjemahkan dahulu
kemudian dipahami, membuat kepala ini pusing memikirkannya. Namun berkat izin dari
Allah SWT kami dapat juga menyelesaikan makalah ini.
Penulis
II
Daftar Isi
Kata Pengantar.....................................................................................................................II
Daftar
Isi.............................................................................................................................III
BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang............................................................................................................IV
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................IV
BAB 2
Pembahasan
A. Pengertian Periwayatan Hadits.....................................................................................1
B. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh dan Makna...........................................................2
1. Periwayatan Hadits Dengan Lafazh.......................................................................2
2. Periwayatan Hadits Dengan Makna.......................................................................3
C. Tahammul dan Ada’ Al-Hadits......................................................................................4
1. Pengertian Tahammul dan Ada’ Al-Hadits.............................................................5
2. Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ Al-Hadits........................................................6
a. Syarat-Syarat Tahammul Al-Hadits................................................................6
b. Syarat-Syarat Ada’ Al-Hadits..........................................................................8
3. Bentuk-Bentuk Tahammul dan Ada’ Al-Hadits.....................................................9
a. As-Sima’.........................................................................................................9
b. Al-Qira’ah/Al-’Aradh...................................................................................10
c. Al-
Ijazah........................................................................................................10
d. Al-
Munawalah...............................................................................................12
e. Al-Kitabah.....................................................................................................13
f. Al-I’lam.........................................................................................................14
g. Al-Washiyah..................................................................................................14
h. Al-Wijadah....................................................................................................15
D. Riwayah dan Syahadah...............................................................................................16
1. Pengertian Riwayah.............................................................................................16
2. Pengertiana Syahadah..........................................................................................16
3. Persamaan dan Perbedaan Antara Riwayah dan Syahadah..................................17
4. Hubungan Antara Riwayah dan Syahadah...........................................................18
BAB 3
Penutup
A. Kesimpulan.................................................................................................................20
B. Kritik dan Saran..........................................................................................................21
Daftar Pustaka....................................................................................................................23
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu proses yang tak kalah penting dari sebuah hadits itu adalah
periwayatannya, bagaimana sebuah hadits itu bisa terjaga semenjak masa Nabi
hingga pada masa sekarang ini, tentu semua itu ada metode dan cara-cara tertentu
yang di pakai oleh seorang perawi dalam menerima dan menyampaikan hadits
tersebut. Inilah yang insyaAllah akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu mengenai
periwayatan hadits, Banyak diantara kita hanya tahu matan atau isi dari hadits
tersebut, kita tidak pernah tahu bagaimana hadits itu disampaikan, mulai dari masa
Nabi hingga hadits-hadits itu dibukukan oleh para ulama. Dengan latar belakang
banyaknya orang yang tidak tahu mengenai periwayatan hadits inilah kami akan
membahas pada makalah ini sebuah pembahsan yang berjudul ‘periwayatan hadits’.
B. Rumusan Masalah
IV
BAB II
PEMBAHASAN
Periwayatan Hadits
Kata riwayat berasal dari Bahasa Arab yaitu رواية. Kata روايةadalah bentuk
mashdar dari kata رواية- يروى- روىsemakna dengan kata نقال- ينقل- نقلdan
ديثIIII رواية الح.راIIII ذك- ذكرIIII ي- ذكرartinya adalah رهIIII( نقله وذكmemindahkannya dan
menyebutkannya).1
الرواية عند المحدثين حمل الحديث ونقله واسناده الى من عزي اليه بصيغة
من صيغ االداء
“Periwayatan (hadits) menurut para ahli hadits (muhadditsin) adalah membawa
dan menyampaikan hadits dengan menyandarkannya kepada orang yang menjadi
sandarannya, dengan menggunakan salah satu bentuk kalimat periwayatan”.4
1
Louwis bin Naqula Dhahir Al-Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam, (Beirut: Dar Al- Masyriq, 1975), hal 289
2
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2009), hal 148
3
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hal 22
4
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), hal 179
1
Periwayatan hadits itu adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits
kepada serangkaian periwayatan dengan bentuk-bentuk tertentu.5
Mengenai periwayatan secara lafazh ini, sangat disukai para sahabat, seperti
yang disebut oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, bahwa sebenarnya seluruh
sahabat Nabi SAW menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan
dengan ma’nawi. Keinginan mereka itu tentunya mempunyai sebab tersendiri,
yang salah satu sebabnya adalah adanaya ancaman Nabi SAW bagi orang yang
berdusta atas dirinya (membuat hadits palsu). Dalam hal ini Nabi mengancam
dengan siksaan yang pedih di neraka. Oleh karena pentingnya periwayatan
dengan lafazh ini, maka Umar bin Khaththab pernah berkata “Barang siapa yang
pernah mendengar hadits dari Rasulullah SAW, kemudian ia meriwayatkannya
sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat.” Ucapan Umar ini merupakan
peringatan kepada perawi hadits untuk meriwayatkan hadits Nabi sesuai dengan
yang didengar yakni periwayatan secara lafazh, sehingga mereka terhindar dari
ancaman api neraka.9
5
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), hal 59
6
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), hal 173
7
Ibid
8
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 69
9
Ibid, hal 71
2
Di antara para sahabat Nabi yang paling keras mengharuskan periwayatan
hadits dengan jalan lafazh ialah Ibnu Umar yang pernah suatu hari ketika
seorang sahabat (Ubay bin Abi Amir) menyebutkan hadits lima prinsip dasar
Islam, ia meletakkan zakat pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menyuruh ia
meletakkan pada urutan keempat sebagamana yang ia (Ibnu Umar) dengar dari
Rasulullah SAW.10
3
Adapun mengenai periwayatan hadits dengan makna ini ada dua pendapat,
yaitu:
a. Tidak Boleh
b. Boleh
Dengan syarat:
Ada dua unsur penting dalam periwayatan hadits yang tidak boleh diabaikan,
yaitu penerimaan dan penyampaian. Unsur ini dikenal dengan tahammul al-hadits
wa ada’ al-hadits. Dalam masalah tahammul dan ada’ ini para ulama pada umumnya
membagi kedalam delapan bentuk, penerimaan sekaligus merupakan bentuk
penyamapaian. Ini dilakukan karena setiap penerimaan suatu hadits berarti di saat itu
pun berlangsung peristiwa penyampaian. Seorang murid menerima suatu hadits dari
1976), hal 91
15
Ibid
16
Ibid
17
Ibid, hal 92
18
Ibid, hal 93
19
Ibid
20
Ibid
21
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 74
22
Ibid
4
gurunya dan disisi lain gurunya tersebut telah melakukan penyampaian suatu hadits
yang dimilikinya kepada muridnya.23
Kata tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata تحمال-يتحمل- تحمل, yang
berarti menerima.24 Sedangkan secara istilah adalah:
Kemudian ada’ al-hadits, kata ada’ merupakan isim mashdar dari kata
اداء-أدىIIIي- ادىyang berarti menyampaikan atau menunaikan.28 Sedangkan
menurut istilah adalah:
23
Ibid, hal 60
24
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal 64
25
Ibid
26
Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), hal 227
27
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal 181
28
Umi Sumbulah, Studi Kritis Ilmu Hadis, hal 64
29
Ibid
30
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 60
5
2. Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ Al-Hadits
1) Anak-Anak
عقلت من النبي صلى هللا عليه وسلم مجة مجها في وجهي من دلو
31
Ibid, hal 61
32
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal 368
33
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal 195
34
Ibid, hal 195-196
6
)وانا ابن خمس سنين (رواه البخري
“Saya ingat Nabi SAW melemparkan air yang diambilnya dari timba ke
mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun” (HR Bukhari)35
2) Orang Kafir
3) Orang Fasiq
7
yang fasiq waktu menerima hadits, apabila ia riwayatkan sesudah
bertaubat, lagi kepercayaan, diterima haditsnya. Tetapi kalau ia berdusta
dalam riwayat, kebanyakan ulama tidak mau menerima haditsnya,
walaupun ia bertaubat atas dustanya tadi.40
1) Islam
2) Baligh
8
)وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو دود
“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan,
yaitu: orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia
bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi”.43
3) ‘Adalah
Yang dimaksud dengan ‘adalah ialah suatu sifat yang melekat pada
jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut
tetap taqwa, menjaga kepribadian, dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil,
dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang
baik, dan selalu menjaga kepribadian.44
4) Dhabit
a. As-Sima’
43
Ibid, hal 205-206
44
Ibid, hal 206
45
Ibid
46
Ibid
47
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 363
48
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, hal 175
9
Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadits dinilai cara
yang tertinggi kualitasnya. Hal ini karena berdasarkan pendapat jumhur
ulama hadits bahwa cara penerimaan riwayat dengan as-sima’ ini sebagai
cara yang paling dipercaya. Adapun shighat-shighat (kata-kata) yang
digunakan untuk cara penerimaan dengan as-sima’ ini bervariasi,
diantaranya adalah:
ذكر لنا, قال لنا, اخبرنا, حدثني, حدثنا,سمعت, dan lain-lain.49
b. Al-Qira’ah / Al-’Aradh
1) Sejajar dengan as-sima’, ini menurut Imam Malik, Imam Bukhari, dan
sebagian besar Ulama Hijaz dan Kufah.53
2) Lebih rendah dari as-sima’, ini menurut sebagian besar ulama Maroko
(pendapat yang shahih).54
3) Lebih tinggi dari as-sima’, ini menurut Abu Hanifah, Abu Dzi’b, dan
sebagian riwayat Imam Malik.55
c. Al-Ijazah
10
maupun dengan tulisan.56 Contohnya seperti perkataan seorang guru kepada
salah satu muridnya:
Cara penerimaan hadits dengan cara al-ijazah ini secara global ada dua
macam, yaitu:
11
d) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk
meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap
fasid.65
e) Bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti
mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk
ijazah seperti ini tidak sah.66
f) Bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan
kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “Aku ijazahkan
kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan
kudengarkan.” Cara seperti ini dianggap batal.67
g) Bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “Aku ijazahkan
kepadamu ijazahku”.68
d. Al-Munawalah
12
sambil berkata “Ini hadits yang pernah saya dengar” atau “Ini hadits
yang telah saya riwayatkan”.72
e. Al-Kitabah
13
dengan jelas memakai lafal al-kitabah, seperti perkataan كتب الي فالن. Atau
memakai lafal as-sima’ atau al-qira’ah yang dikaitkan dengan lafal al-
kitabah, seperti perkataan حدثني فالن او اخبرني كتابة.79
f. Al-I’lam
Mengenai periwayatan dengan cara al-i’lam ini ada dua pendapat, yaitu:
g. Al-Washiyah
14
periwayatan dengan metode al-washiyah ini, diantaranya adalah:
h. Al-Wijadah
1) Tulisan hadits yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa
periwayat sesungguhnya.94
2) Kata-kata yang dipakai untuk periwayat lebih lanjut haruslah kata-kata
yang menunjukkan bahwa asal hadits itu diperbolehkan secara
al-wijadah.95
88
Ibid
89
Ibid
90
Ibid
91
Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hal 367
92
Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis, hal 66
93
Ibid
94
Ibid, hal 67
95
Ibid
96
Ibid
15
1. Pengertian Riwayah
2. Pengertian Syahadah
97
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, hal 31
98
Ibid
99
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, hal 22
100
Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II, hal 30
101
Ibid, hal 31
16
bahan pelaporan kepada para hakim”.102
a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat
b. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.105
f. Jumlah periwayat tidak menjadi syarat sah periwayatan. Sementara itu, saksi
peristiwa tertentu harus lebih dari satu orang.109
17
yang disebutkan dalam persaksiannya.110
Ada beberapa metode yang digunakan para sahabat dala menerima hadits
dari Nabi SAW, berikut ini metode tersebut:
Jika hadits qauli (hadits yang berupa perkataan Rasulullah SAW) dan
sahabat mengatakan “Rasulullah SAW bersabda demikian”, atau “Aku
mendengar beliau bersabda demikian”, maka hadits itu disebut musyafahah. Jika
hadits fi’li (hadits yang berupa perbuatan Rasulullah SAW) dan sahabat
mengatakan “Aku melihat Rasulullah melakukan sesuatu”, atau hadits taqriri
(hadits yang berupa persetujuan Rasulullah SAW) dan sahabat mengatakan
“Seseorang melakukan sesuatu da Rasulullah tidak melarangnya”, maka kedua
hadits tersebut disebut musyahadah. Sementara itu, jika hadits washfi (hadits
yang berupa sifat-sifat Nabi SAW) dan sahabat mengatakan “Sifat Rasulullah
SAW seperti ini”, maka hadits sepert itu juga disebut musyahadah. Selanjutnya,
tabi’in menerima hadits dari sahabat dengan menggunakan metode as-sama’.115
110
Ibid
111
Ibid
112
Ibid, hal 27
113
Ibid
114
Ibid
115
Ibid
18
sahabat lain, baik satu orang atau lebih, juga disebut saksi. Sementara itu,
periwayatan lain di kalangan tabi’in atau tabi’ tabi’in disebut tabi’ (tawabi’) atau
muttabi’.116
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
116
Ibid
19
1. Periwayatan hadits adalah “Kegiatan yang dilakukan oleh seorang syekh (guru)
dengan muridnya, baik itu penerimaan (tahammul), penyampaian (ada’), dan
penjagaan (dhabth) dengan menggunakan cara-cara tertentu”.
a. As-Sima’
b. Al-Qira’ah/Al-’Aradh
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
e. Al-Kitabah
f. Al-I’lam
g. Al-Washiyah
h. Al-Wijadah
6. Riwayah adalah khabar yang umum yang diperuntukkan untuk semua orang
yang ingin mendengar dan mengambilnya. Sedangkan syahadah adalah khabar
yang khusus diperuntukkan kepada hakim
7. Persamaan riwayah dan syahadah terletak pada persyaratan yang harus dimiliki
oleh orang yang meriwayatkan atau orang yang bersaksi. Syarat-syarat tersebut
adalah:
a. Beragama Islam
b. Berstatus mukallaf serta berakal
c. Bersifat adil
d. Memiliki daya ingat yang kuat
20
a. Berita dalam periwayatan digunakan untuk menerangkan hukum syara’.
Sementara itu, berita dalam persaksian digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam keputusan hakim.
b. Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.
c. Periwayat boleh laki-laki atau perempuan. Sementara itu, saksi harus
laki-laki.
d. Seorang tunanetra dapat menjadi periwayat, asalkan memiliki pendengaran
yang baik. Sementara itu, seorang tunanetra tidak diperkenankan menjadi
saksi.
e. Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang
dijelaskan dalam riwayat. Sementara itu, saksi tidak boleh memiliki
hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan kesaksian.
f. Jumlah periwayat tidak menjadi syarat sah periwayatan. Sementara itu, saksi
peristiwa tertentu harus lebih dari satu orang.
g. Periwayat bisa saja bermusuhan dengan orang yang disinggung dalam
riwayatnya. Sementara itu, saksi tidak boleh bermusuhan dengan orang yang
disebutkan dalam persaksiannya.
9. Riwayah dan syahadah mempunyai hubungan yang sangat erat, seorang perawi
bisa dikatakan saksi, bahkan menurut Abdul Majid Khon seorang sahabat yang
menyaksikan atau mendengar secara langsung apa yang disampaikan Nabi SAW
disebut saksi.
Setiap sesuatu itu mempunyai kelebihan dan kekurangan, Kami merasa makalah
ini bukanlah makalah yang sempurna, dalam makalah ini masih banyak
kekurangannya di sana sini, entah itu kata-katanya yang sulit dimengerti atau
kesalahan kami dalam menuliskan kata-kata tersebut.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kepada pembaca, setelah membaca
makalah yang kami buat ini, dapat memberikan masukan, saran, kritik, dll, agar
makalah ini bisa direvisi dan lebih baik lagi untuk ke depannya, walaupun
sebenarnya kita tidak bisa menjadikan sesuatu itu sempurna, tetapi setidaknya kita
berusaha untuk ke arah yang lebih baik lagi, dan memperbaiki kesalahan yang ada
dalam penulisan makalah ini.
Pada akhirnya kami bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi petunjuk
21
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan juga kepada
pihak-pihak lain yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penulisan
makalah ini. Akhirul kalam wa billahi taufiq wal hidayah wassalamu’alaikum
warahmatullahi wa barakatuh.
DAFTAR PUSTAKA
22
Al-Ma’luf, Louwis bin Naqula Dhahir. Al-Munjid fi Al-Lughah wal A’lam. Beirut: Dar
Al-Masyriq. 1975.
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid II.
Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
_________________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2009.
Hassan, Abdul Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 2007.
Husti, Ilyas. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. 2007.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2012.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah. 2014.
Mudasir, Ilmu Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2006.
23