Anda di halaman 1dari 6

Pemeriksaan Kualitas Susu

Tabel.
Macam Uji Hasil Pengamatan
Susu 1 (Susu Segar) Susu 2 (Susu di Susu 3 (Susu yang
Ruang Terbuka) Didinginkan)
1) Uji
Organoleptik :
Warna Putih Putih Putih
Bau Segar Basi Segar
Rasa Susu Segar Manis Kecut Susu Segar Manis
Kekentalan Cair (Normal) Encer Cair (Normal)
(Menggumpal)
2) Uji Kebersihan Bersih Bersih Bersih
3) Uji Didih Homogen Pecah Homogen
4) Uji Alkohol
 Alkohol 70% Homogen (-) Homogen (-) Homogen (-)
(3 ml)
 Alkohol 70% Homogen (-) Homogen (-) Homogen (-)
(6 ml)
 Alkohol 96% Homogen (-) Pecah (+) Homogen (-)
(3 ml)
 Alkohol 96% Homogen (-) Pecah (+) Homogen (-)
(6 ml)
5) Uji pH 6,612 6,555 6,738
6) Uji Reduktase >8 jam >3 jam >6 jam
7) Uji Katalase 0,5 cm 2 cm 1 cm
8) Berat Jenis 1,0290 1,0275 1,026
9) Uji ALTB 3,76 x 104 CFU/ml 15,44 x 104 CFU/ml 13,92 x 104 CFU/ml

Pembahasan Uji Kualitas Susu


a) Uji Organoleptik
Susu dari segi kimia yaitu mengandung zat kimia organis ataupun anorganis
berupa zat padat dan air. Lebih jauh, zat padat tersebut adalah protein, karbohidrat,
lemak, mineral, vitamin dan enzim. Ditambahkan olehnya kualitas fisik susu
ditentukan berdasarkan berat jenis (BJ), pH, titrasi keasaman dan organoleptik (bau,
warna dan rasa). Organoleptik terdiri dari warna, bau dan rasa. Susu segar normal
mempunyai aroma (flavor) yang tidak mudah didefinisikan dengan terminologi yang
tepat, dicirikan melewati bau, rasa dan tekstur yang lembut yang merupakan hasil
kombinasi komposisi yang terkandung dalam susu (lemak, protein, laktosa dan
mineral) (Kim et al., 1982; Murti, 2002).
Pemeriksaan yang dilakukan menggunakan 3 sampel susu diperiksa dengan uji
organoleptik yang meliputi warna, bau, rasa, dan kekentalan. Dalam pemeriksaan
warna yang didapatkan bahwa ketiga susu berwarna putih (normal), sehingga tidak
ditembus oleh cahaya. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi
cahaya oleh globula lemak dan partikel koloid dari casein dan calsium phosphate
(Buda et al., 1980).
Pada pemeriksaan bau dan rasa yang diperoleh adalah Susu 1 berbau susu khas
dan berasa segar manis, Susu 2 berbau basi dan berasa kecut, dan Susu 3 berbau susu
khas dan berasa segar manis. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumudhita (1989) yang
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bau dan rasa susu adalah pemberian
pakan, macam bahan pakan yang diberikan, persiapan sapi yang akan diperah. Pada
akhir masa laktasi, kadar protein dan mineral sangat tinggi, sehingga rasa susu yang
dihasilkan sedikit asin. Susu murni mempunyai rasa sedikit manis ini disebabkan oleh
laktosa dan kadar Cl yang rendah. Jika terjadi penyimpangan terhadap bau susu maka
dapat terjadi perubahan seperti : bau asam, tengik dan busuk serta rasa susu akan
berubah seperti : rasa tengik disebabkan oleh kuman asam mentega, rasa sabun
disebabkan oleh Bacillus lactic saponacei, rasa lobak disebabkan oleh kuman coli.
Pada pemeriksaan kekentalan yang diperoleh adalah Susu 1 dan Susu 3 cair
sedangkan Susu 2 encer (menggumpal). Penggumpalan dapat disebabkan oleh
kegiatan enzim atau penambahan asam. Enzim Proteolitik yang dihasilkan oleh
bakteri dapat menyebabkan penggumpalan air susu. Kerja enzim ini biasanya terjadi
dalam tiga tahap yaitu penyerapan enzim ke dalam partikel-partikel kasein, diikuti
dengan perubahan keadaan partikel kasein itu sebagai akibat kerja enzim dan terakhir
mengendapnya kasein yang telah berubah itu sebagai garam kalsium atau garam
kompleks. Adanya ion-ion kalsium dalam air susu diperlukan untuk proses
pengendapan. Jika terjadi penyimpangan maka susu dapat berubah cair bahkan dapat
terlalu kental hal ini disebabkan karena faktor pemerahan dan faktor ternak tersebut.
b) Uji Kebersihan
Uji Kebersihan ini bertujuan untuk mengetahui kebersihan cara-cara
penanganan susu pada perusahaan atau tempat produksinya. Hasil yang diperoleh
menunjukkan Susu 1, Susu 2, dan Susu 3 tidak ada cemaran atau kotoran sehingga
dikatakan susu tersebut bersih. Kondisi susu tersebut menunjukkan adanya
penanganan yang baik dari keseluruhan proses hingga susu siap di sajikan, di mana
alat/perkakas dalam keadaan steril dan pekerja yang higienis. Kebersihan susu juga
sangat tergantung pada kondisi kandang sapi perah juga kebersihan sapi sebelum
pemerahan dilakukan.
c) Uji Didih
Uji didih ini bertujuan untuk ada terjadinya penggumpalan/pecahnya susu
yang dipanaskan sampai mendidih dimana pada susu normal adalah tidak adanya
penggumpalan. Hasil yang diperoleh menunjukkan Susu 1 dan Susu 3 homogen
sedangkan Susu 2 pecah. Pecahnya susu disebabkan oleh koagulasi kasein dari
keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun. Susu 1 dan Susu 3 dinyatakan
lolos uji sedangkan susu 2 tidak lolos uji.
d) Uji Alkohol
Uji Alkohol ini bertujuan untuk melihat kestabilan sifat koloidal protein susu
tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein
terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang memiliki daya
dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat keasaman susu,
semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk
memecahkan susu yang sama banyaknya.
Hasil yang didapatkan dari sampel susu yang diuji alkohol 70 % sebanyak 3
ml menunjukkan Susu 1, Susu 2, dan Susu 3 homogen (tidak pecah) dan hasil uji
dengan alcohol 70 % sebanyak 6 ml Susu 1, Susu 2, dan Susu 3 homogen (tidak
pecah). Hasil uji alcohol 96 % sebanyak 3 ml menunjukkan Susu 1 dan Susu 3
homogen (tidak pecah) sedangkan Susu 2 pecah. Hasil yang sama juga didapatkan
pada uji alcohol 96 % sebanyak 6 ml. Pecahnya susu disebabkan oleh
berkembangbiaknya bakteri asam susu, dalam hal ini laktosa diubah menjadi asam
laktat (Nababan et al., 2015). Dwidjoseputro (2005) menyatakan bahwa bakteri yang
selalu ada di dalam susu ialah bakteri penghasil asam susu, terutama Streptoccocus
lactis. Bakteri ini terdapat dalam jumlah yang besar, berkembang biak cepat sekali
dan mudah menguraikan laktosa sehingga menyebabkan susu cepat mengalami
koagulasi yaitu proyeinnya menggumpal. Pada uji alkohol susu yang tidak baik
(misalnya susu asam) akan pecah atau menggumpal jika ditambahkan alkohol. Susu
yang lulus uji beredar adalah yang menunjukkan hasil negative, sesuai dengan SK
Dirjen Peternakan Departemen Petanian No 17 tahun 1983, susu yang beredar harus
memenuhi persyaratan kualitas yaitu pada uji alkohol menunjukkan hasil negatif
(Dirjen Peternakan, 1983).
e) Uji pH
Uji ini dilakukan untuk menentukan keasaman susu dengan menghitung log
konsentrasi ion hidrogen (asam) dalam susu. Pada prinsipnya Susu segar mempunyai
pH netral. Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktose menjadi asam
laktat oleh mikroba (Suardana dan Swacita, 2009). Hasil yang didapatkan
menunjukkan Susu 1 6,612; Susu 2 6,555; dan Susu 3 6,738. Apabila pH di bawah 6,5
kemungkinan susu tersebut susu kolostrum atau susu yang telah rusak oleh adanya
bakteri. Tingkat keasaman susu menurun karena fermentasi laktosa menjadi asam
laktat oleh mikroba (Suardana dan Swacita, 2009). Sedangkan menurut Badan
Standarisasi Nasional (2011), pH susu yang dipersyaratkan adalah sekitar 6,3 sampai
6,8.
f) Uji Reduktase
Uji reduktase merupakan suatu uji yang bertujuan untuk melihat aktifitas
bakteri yang ada dalam susu dengan menggunakan bantuan methylene blue. Hasil
yang didapatkan menunjukkan Susu 1 <8 jam, Susu 2 <3 jam, Susu 3< 6 jam. Hal ini
disebabkan karena adanya keaktifan enzim reduktase yang dihasilkan bakteri di dalam
mereduksi methylene blue. Semakin banyak jumlah bakteri di dalam susu maka
semakin banyak enzim yang dihasilkan dan semakin cepat terjadi perubahan warna
biru menjadi putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Fardiaz (1989), bahwa semakin
banyak bakteri di dalam susu maka semakin cepat terjadinya perubahan warna biru
menjadi putih. Perlakuan lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap
kualitas susu. Terdapat interaksi antara lama pasteurisasi dengan lama penyimpanan
terhadap kualitas air susu. Semakin lama disimpan semakin cepat proses perubahan
dari warna biru menjadi warna putih. Hal ini diduga karena semakin lama susu
disimpan jumlah bakteri dalam susu semakin banyak sehingga kemampuan mereduksi
methylene blue semakin cepat. Menurut Partic (2010), organisme yang tumbuh dalam
susu menghasilkan oksigen yang ada dan apabila oksigen habis terjadi reaksi
oksidasi-reduksi untuk kelangsungan hidup mikroba. Sitrat yang merupakan metabolit
berfungsi sebagai donor hidrogen, methylene blue sebagai aseptor hidrogen, dan
enzim reduktase yang diproduksi mikroba merupakan katalis. Reaksi oksidasi yang
terjadi harus dapat menyediakan energi untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu,
dengan enzim reduktase mikroba menurunkan potensial oksidasi-reduksi
g) Uji Katalase
Uji katalase merupakan uji enzimatis yang bertujuan untuk menentukan
adanya bakteri berdasarkan volume gas O2 yang dihasilkan. Pada prinsipnya di dalam
susu terdapat enzim katalase yang dibentuk oleh bakteri, sel-sel ambing yang rusak,
leukosit dan zat-zat organik yang terdapat dalam susu. Enzim ini akan membebaskan
oksigen dari larutan peroksida (H₂O₂) yang ditambahkan kedalam susu. Volume gas
oksigen (O₂) yang dibebaskan ini yang diukur menjadi acuan. Angka katalase yang
baik menurut Standar Nasional Indonesia/SNI (1998) adalah 0 (0 ml), dan maksimal
adalah 3 (3 ml).
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa Susu 1 0,5 cm; Susu 2 2cm; dan
Susu 3 1 cm. Untuk angka katalase susu selama penyimpanan erat kaitannya dengan
jumlah bakteri yang terkandung dalam air susu. Faktor yang berpengaruh terhadap
angka katalase susu adalah susu dan waktuyang terkait dengan kecepatan
pertumbuhan bakteri dalam susu (Sari. M, 2013 ).
h) Uji Berat Jenis (BJ)
Pengukuran berat jenis susu dilakukan dengan menggunakan Lactodensimeter.
Adapun prinsip yang digunakan dalam pengukuran berat jenis ini adalah mengikuti
hukum Archimedes dimana apabila kita mencelupkan Lactodensimeter ke dalam susu
yang telah dihomogenkan dalam gelas ukur, maka Lactodensimeter akan
mendapaatkan gaya ke atas sebesar berat cairan yang dipindahkannya. Dalam hal ini,
menurut Badan Standardisasi Nasional (2011), berat jenis (BJ) susu (pada suhu 27,50
C) minimum adalah 1,0270 g/mL. Semakin tinggi berat jenis susu maka kualitas susu
semakin baik. Hasil yang didapatkan menunjukkan Susu 1 1,0290; Susu 2 1,0275; dan
Susu 3 1,026 menunjukkan susu sesuai dengan standar minimum.
i) Uji ALTB
Uji ALTB berfungsi untuk mengetahui jumlah cemaran yang terdapat pada
susu dengan menggunakan media tanam bakteri. Uji ini penting dilakukan alam
rangka melindungi mutu susu dari cemaran bakteri patogenik pada susu yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan serta mengacu pada Standar Nasional Indonesia
(SNI) No. 01-3141-1998 tentang Syarat Mutu Susu segar dan SNI No. 7388:2009
tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Dalam SNI tersebut
disyaratkan bahwa cemaran bakteri/mikroba maksimum untuk angka lempeng total
bakteri/ALTB (Total Plate Count/TPC) (1 x 106 CFU/ml) untuk susu yang akan
diproses lebih lanjut dan (5 x 104 CFU/ml) untuk susu yang akan dikonsumsi
langsung. Hasil yang didapatkan menunjukkan Susu 1 3,76 x 10 4 CFU/ml; Susu 2
15,44 x 104 CFU/ml, dan Susu 3 13,92 x 104 CFU/ml masih dalam Standar Nasional
Indonesia. Menurut Sudono et al. (2003) dan Mulyaet al. (2011) bahwa jumlah bakteri
dalam susu segar dapat bertambah karena beberapa faktor, antara lain pencemaran
dari tangan, baju pemerah, alat perah, lingkungan seperti kandang, dan air.

Daftar Pustaka
Badan Standar Nasional Indonesia (SNI). 2009. No. 01-3141-1998 tentang Syarat Mutu Susu
segar dan SNI No. 7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan
Badan Standar Nasional Indonesia. 2001. Susu Segar-Bagian 1: Sapi. SNI 3141.1:2011
Buda, I K, I.B. Arka, I K. Sulandra, I G P. Jamasuta, dan I K Arnawa. (1980). Susu dan
HasilPengolahanya.
Bagian Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Kedokteran Hewan danPeternakan. Universiyas Udayana.
Denpasar.
Direktorat Kesehatan Hewan, 1983. Manual Kesmavet. No. 28/II/1983. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta. Hal; 35-43.
Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi.Yogjakarta: Djambatan
Fardiaz, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi, Bogor.

Kim, H., J. Novak, J. P. Ramet, and F. Weber. 1982. Les gouts anormaux du Lait Frais et
Reconstitue. FAO- Rome
Mulya S. Handayani, dan I. Nurlaila. 2011. Analisis Pemasaran Susu Segar di Kabupaten
Klaten. Jurnal Sains Peternakan 9 (1):41-52
Murti, T.W. 2002.Pasca Produksi dan Tata lingkungan Usaha Persusuan. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah mada, Yogyakarta
Nababan, L, A, Suada, I, K, Swacita, I, B, N. 2014. Ketahanan susu segar pada penyimpanan
suhu ruang ditinjau dari uji tingkat keasaman, didih, dan waktu reduktase. Indonesia Medicus
Veterinus. 3(4):274-282
Partic, R. 2010. Mekanisme Perubahan Warna Biru Metilen oleh Mikroorganisme. Sari M, Swacita IBN, Agustina KK.
2013. Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah PostThawing Ditinjau dari Waktu Reduktase
dan Angka Katalase. J Veteriner 2(2) : 202- 207.
Suardana, IW. dan I.B.N. Swacita.2004. Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
Sudono, A., R.F. Rosdiana, dan B.S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
Agromedia pustaka. Jakarta
Sumudhita, M. W. 1989. Air Susu dan Penanganannya. Program Studi Ilmu
Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Udayana,
Denpasar. Hal; 1-45.

Anda mungkin juga menyukai