Anda di halaman 1dari 5

Prinsip Dasar Bioetika

Prinsip-prinsip bioetika pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dalam


bidang kedokteran dan kesehatan. Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus
dan etika sosial dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat
moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif
(das sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral (kaidah dasar bioetika-KDB) beserta
kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang
memuat nilai-nilai dasar etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran. (Afandi,
2017; Suryadi, 2009)
Beauchamp dan Childress (2001) menguraikan empat kaidah dasar (basic moral principle)
dan beberapa rules dibawahnya. Keempat kaidah dasar tersebut adalah: (Afandi, 2017;
Suryadi, 2009; Bhanji, 2013)

1. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang


ditujukan ke kebaikan pasien;
2. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau
“above all do no harm”,
3. Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak autonomi pasien (the rights to self determination),
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

Prinsip Beneficience
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan, kebaikan, kemurahan hati,
mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai dan kemanusiaan.Beneficence dalam makna
yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip moral
beneficence adalah kewajiban moral untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau
kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip etik beneficence memerlukan petugas medis
profesional untuk memberikan terapi yang memberikan manfaat maksimal terhadap pasien,
dimana disisi lain prinsip non malaficence melindungi petugas medis untuk tidak melakukan
hal yang membahayakan pasien. Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau
meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara luas sebagai tujuan kedokteran
yang tepat. (Suryadi, 2009; Bhanji, 2013)
Beuchamp dan Childress menulis: “dalam bentuk yang umum, dasar-dasar beneficence
mempunyai tujuan membantu orang lain melebihi kepentingan dan minat mereka.” Dasar dari
beneficence mengandung dua elemen, yaitu keharusan secara aktif untuk kebaikan
berikutnya, dan tuntutan untuk melihat berapa banyak aksi kebaikan berikutnya dan berapa
banyak kekerasan yang terlibat. (Afandi, 2017)
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini bukanlah satu-satunya prinsip
yang harus dipertimbangkan, melainkan satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus
dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai hasil
dari tindakan) serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban. Kritik yang sering
muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang kepentingan umum yang diletakan di
atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh, dalam penelitian kedokteran, atas dasar
kemanfaatan untuk kepentingan umum, sering prosedur penelitian yang membahayakan
individu subjek penelitian diperbolehkan. Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang
semestinya juga dipertimbangkan. Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan
individu seorang pasien maupun kebaikan masyarakat keseluruhan. (Suryadi, 2009)
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan komponen penting dalam
moralitas. Karena luasnya cakupan kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan dalam
praktek (kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa contoh penerapan
prinsip beneficence ini adalah: (Suryadi, 2009)

1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.


2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.
3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.
4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).
5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.

Prinsip Non-Maleficience
Non-Maleficence atau tidak merugikan orang lain, adalah suatu prinsip yang mana seorang
dokter tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
paling kecil resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya. (Saltike)
Prinsip non-maleficence ini melarang tindakan yang membahayakan atau memperburuk
keadaan pasien, prinsip ini dikenal sebagai “First, do no harm” yang masih tetap berlaku dan
harus diikuti. Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan hipokrates yang menyatakan, “saya
akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan dan
pendapat saya, tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau
mencelakakan mereka”. Prinsip non-maleficence memegang peranan penting dalam
mengambil keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri kehidupan, terutama dalam
kasus penyakit terminal, penyakit serius dan luka serius. Pada dasarnya, prinsip ini
memberikan peluang kepada pasien, walinya, dan para tenaga kesehatan untuk menerima
atau menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan hambatannya dalam
situsi atau kondisi tertentu. (Suryadi, 2009)
Ciri-ciri prinsip non-maleficence, adalah : (Saltike)

 Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting.
 Dokter sangggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut.
 Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif.
 Manfaat bagi pasien lebih besar dari kerugian dokter.
 Tidak membunuh pasien.
 Tidak memandang pasien sebagai objek.
 Tidak membahayakan pasien karena kelalaian.
 Tidak melakukan white collar crime.

Prinsip Justice
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama rata dan
adil untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan
politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan, dan kewarganegaraan
tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri: (Saltike;
Suryadi, 2009)

 Memberlakukan segala sesuatu secara universal.


 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan.
 Menghargai hak sehat pasien.
 Menghargai hak hukum pasien.
Jenis keadilan :

1. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima).


2. Distributif (membagi sumber) :
kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara
rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara
material kepada :
o Setiap orang andil yang sama
o Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya
o Setiap orang sesuai upayanya.
o Setiap orang sesuai kontribusinya
o Setiap orang sesuai jasanya
o Setiap orang sesuai bursa pasar bebas
3. Sosial :
kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
o Utilitarian :
memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi
social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien.
o Libertarian :
menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi (mementingkan prosedur adil
> hasil substantif/materiil).
o Komunitarian :
mementingkan tradisi komunitas tertentu
o Egalitarian :
kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh
setiap individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan
kesamaan).
4. Hukum (umum) :
o Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada
yang berhak.
o Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup
bersama) mencapai kesejahteraan umum.

Prinsip Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti sendiri dan ”nomos”
yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum. Sejak zaman Kant, autonomi adalah
konsep penting dalam filsafat. Didalam filsafat dan etik, konsep autonomi dan kebebasan
mempunyai hubungan erat. Menurut, Joel Feinberg (1986), dia membedakan autonomi
sebagai kapasitas, autonomi sebagai kondisi yang sebenarnya, autonomi sebagai karakter
ideal dan autonomi sebagai hak untuk bertindak. Konsep autonomi sangat diperlukan karena
berhubungan dengan hak asasi manusia. (Bartens, 2005; Schermer, 2002; O’Neill, 2002)
Pada awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau
pemerintahan sendiri atau hukum sendiri. Kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu
kondisi individu yang maknanya bermacam-macam, seperti memerintah sendiri, hak untuk
bebas, pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama dari
otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik
bebas dari campur tangan orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi
pilihan yang benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi
otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang lain atau seseorang yang tidak
mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi. Meskipun demikian, secara
umum ada beberapa cara menerapkan prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran.
Cara-cara tersebut antara lain: (Suryadi, 2009)

1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the truth).


2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others).
3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential information).
4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien (obtain consent for
interventions with patients).
5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask, help others make
important decision).

Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai kompetensi pasien. Para
pakar meyakini belum ada satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak,
sehingga begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu definisi kompetensi
pasien yang dapat diterima adalah ”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu
tugas atau perintah”. (Suryadi, 2009)

Source :

Bertens K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2005

Pellegrino ED, Thomasma DC. The virtue in medical practice. New York: Oxford
University Press; 1993

Afandi D. Kaidah Dasar Bioetika dalam Pengambilan Keputusan Klinis yang Etis.
Majalah kedokteran Andalas, 2017:40(2). hlm. 111-21

Suryadi T. Prinsip – Prinsip Etika dan Hukum dalam Profesi Kedokteran. Bioetika
dan Humaniora. Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh, 2009. hlm. 1-13

Bhanji SM. Health Care Ethics. J Clinic res Bioeth, 2013:4:1. hlm. 1-2

Saltike, AZ. Bioetika Kedokteran. Academia. Di unduh dari


http/:www.academia.edu

Schermer, M. 2002. The Different Faces of Autonomy: Patient Autonomy in


Ethical Theory and Hospital Practice. Dordrecht, The Netherland: Kluwer
Academic Publishers

O’Neill, O. 2002. Autonomy and Trust in Bioethics. Cambridge, United Kingdom:


Cambridge University Press
Suryadi T. Prinsip-prinsip Etika dan Hukum Dalam Profesi Kedokteran. Pertemuan
Nasional V JBHKI dan Workshop III Pendidikan Bioetika dan Medikolegal.
Medan. 2009.

Anda mungkin juga menyukai