Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

OTOMIKOSIS

PEMBIMBING :

dr. Farida Nurhayati, Sp.THT-KL, M.Kes

PENULIS :

Amelinda Utary 030.12.014

Maria Mega Sekar H 030.12.157

Meilani Rose 030.12.166

Yuni Adenafsia 030.12.003

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

TRISAKTI BEKASI APRIL 2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Otomikosis”.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan


Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Bekasi periode 3 April - 6 mei 2017 . Di samping itu, laporan
kasus ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua tentang
Otomikosis.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – 
 besarnya kepada dr. Farida Nurhayati, Sp.THT-KL, M.Kes selaku pembimbing
dalam penyusunan laporan kasus ini, Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada rekan – r ekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSUD
Kota Bekasi serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan
kepada
 penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurna
dan tidak luput dari kesalahan.Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun.Akhir kata penulis ucapkan
terimakasih yang sebesar  –  besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan
tambahan pengetahuan bagi kita semua.

Bekasi April 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2


2.1 Anatomi Telinga 2
2.2 Fisiologi Telinga 4
2.3 Otomikosis 4
2.3.1 Definisi 5
2.3.2 Epidemiologi 5
2.3.3 Etiologi dan faktor risiko 5
2.3.4 Patofisiologi 6
2.3.5 Gejala 8
2.3.6 Diagnosis 9
2.3.7 Tatalaksana 9
2.3.8 Komplikasi 10
2.3.9 Prognosis 10

BAB III LAPORAN KASUS 11

BAB IV ANALISIS MASALAH 15

BAB V KESIMPULAN 17

DAFTAR PUSTAKA 18
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pemeriksaan fisik 13

Tabel 2. Status lokalis 14


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi telinga 2


BAB I

PENDAHULUAN

Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga. Otomikosis adalah


infeksi akut, subakut atau kronis jamur yang melibatkan pinna dan meatus
auditori eksternal, namun dengan adanya perforasi membran timpani, juga
dapat melibatkan telinga tengah. Pada umumnya prevalensi otomikosis terkait
dengan wilayah geografis dengan tingkat kelembaban yang lebih tinggi di
daerah tropis dan subtropis. Di berbagai tempat di Indonesia banyak
didapatkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan yang diperlukan untuk
pertumbuhan jamur termasuk Yogyakarta dengan suhu rata-rata 29o C dan
kelembaban 90%. 1

Faktor predisposisi dari otomikosis adalah infeksi telinga kronis,


 penggunaan minyak, obat tetes telinga, steroid, renang (telinga basah merupakan
 predisposisi infeksi jamur), infeksi jamur lain yang ada di dalam tubuh seperti
dermatomikosis atau vaginitis, status immunocompromised, kekurangan gizi
pada anak-anak dan perubahan hormonal menimbulkan infeksi seperti yang
terlihat selama menstruasi atau kehamilan.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi telinga


Secara anatomis telinga terbagi menjadi telinga luar, telinga tengah
dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga
sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin
dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dan tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya
terdiri dari tulang, dengan panjang 2,5 – 3 cm.1
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen ( modifikasi kelenjar keringat ) dan rambut. Kelenjar
keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Serumen memiliki sifat
antimikotik dan bakteriostatik dan juga repellant terhadap serangga.  1

Gambar 1. Anatomi Telinga. Available at:


http://livehumanbody.souriadvb.com/anatomy-ear-pdf/. Accesed on: April,
14 2017.
Telinga tengah berbentuk kubus dengan, batas luar: membran
timpani, batas depan: tuba eustachius, batas bawah: vena jugularis (bulbus
 jugularis), batas belakang: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis,
 batas atas: tegmen timpani, batas dalam: kanalis semi sirukularis
horizontal; kanalis fasialis; tingkap lonjol; tingkap bundar; promontorium.
Membrana timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah
liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas
disebut pars flaksida (membran sharpnell), sedangkan bagian bawah
 pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu
 bagian luar adalah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars
tensa mempunyai satu lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian
luar dan sirkuler pada bagian dalam. Tulang pendengaran didalam
telinga saling berhubungan. Prosessus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat dengan inkus, dan inkus melekat pada
stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan
koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
 persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
 1
menghubungkan daerah nasofaring, dengan telinga tengah.
Telinga dalam terdiri dari koklea ( rumah siput ) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema,
menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis
semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea, tampak skala
vestibuli disebelah atas, skala timpani disebelah bawah, dan skala
media diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan
 perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang
terdapat pada perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting
untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut dengan membrane
vestibuli (Reissner’s membrane), sedangkan dasar skala media adalah
membran basalis. Pada membran ini terletak Organ of corti. Pada
skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis Corti, yang
membentuk Organ of Corti.1
2.2 Fisiologi Telinga
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang
telinga dan mengenai membran timpani, sehingga membran timpani
 bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang
 berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap
lonjong (foramen ovale) yang juga menggerakkan perilimf dalam skala
vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissener yang mendorong
endolimf dan membran basal kearah bawah, perilimf dalam skala timpani
akan bergerak sehingga tingkap (forame rotundum) terdorong ke arah luar.
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong
membran basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan
 perilimf pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut
 berkelok-kelok, dan dengan berubahnya membran basal ujung sel rambut
menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion
Kalium dan ion Natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang-
cabang n.VII, yang kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat
sensorik pendengaran diotak ( area 39-40) melalui saraf pusat yang ada
dilobus temporalis.2

2.3 Otomikosis
2.3.1 Definisi
Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga.Otomikosis
adalah infeksi akut, subakut atau kronis jamur yang melibatkan pinna dan
meatus auditori eksternal, namun dengan adanya perforasi membran
timpani, juga dapat melibatkan telinga tengah. Otomikosis adalah kasus
yang sering dihadapi oleh otolaryngologis dan biasanya dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis. Infeksi ini biasanya unilateral dan ditandai
oleh peradangan, pruritus, scaling dan ketidaknyamanan berat seperti
nanah dan nyeri.3
2.3.2 Epidemiologi
Meskipun otomikosis dapat dijumpai di berbagai tempat di dunia,
akan tetapi pada umumnya prevalensi otomikosis terkait dengan wilayah
geografis dengan tingkat kelembaban yang lebih tinggi di daerah tropis
dan subtropis. Negara tropis dan subtropis mempunyai derajad
kelembaban yang tinggi sekitar 70  – 80% dengan suhu udara sekitar 15
– 30o  C. Di berbagai tempat di Indonesia banyak didapatkan kondisi
lingkungan yang sesuai dengan yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur
termasuk Yogyakarta dengan suhu rata-rata 29o  C dan kelembaban 90%.
Di RS Sardjito Yogyakarta didapatkan penderita otomikosis sebanyak
1,87% dari seluruh pasien rawat jalan di poliklinik, dan didapatkan
kecenderungan yang semakin meningkat setiap tahunnya dengan angka
kekambuhan yang tinggi.3
2.3.3 Etiologi dan faktor risiko
Otomikosis disebabkan oleh beberapa jenis jamur saprofit, seperti
 jamur dan ragi, terutama Aspergillus. Agen etiologi penyebab otomikosis
meliputi: A. niger, A. flavus, A. fumigatus, Allescheria boydii,
Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia dan Candida. Identifikasi
 jamur didasarkan pada morfologi kolonial dan pemeriksaan mikroskopis
struktur jamur.3
Faktor predisposisi dari otomikosis adalah infeksi telinga kronis,
 penggunaan minyak, obat tetes telinga, steroid, renang (telinga basah
merupakan predisposisi infeksi jamur), infeksi jamur lain yang ada di
dalam tubuh seperti dermatomikosis atau vaginitis, status
immunocompromised, kekurangan gizi pada anak-anak dan perubahan
hormonal menimbulkan infeksi seperti yang terlihat selama menstruasi
atau kehamilan.3
2.3.4 Patofisiologi Otomikosis
Serumen memiliki bahan antimikotik, bakteriostatik, dan
 perangkap serangga. Serumen terdiri dari lipid (46-73%), protein, asam
amino bebas, dan ion mineral yang juga mengandung lisozim,
imunoglobulin dan asam lemak. Asam lemak rantai panjang terdapat pada
kulit yang tidak rusak dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Karena ia
memiliki komposisi hidrofobik, serumen memiliki kemampuan
menghambat air, membuat permukaan kanal tidak permeabel dan
mencegah maserasi dan kerusakan epitel. Pada hasil penelitian didapatkan
C. Albicans dan C. parapsilosis dan jamur mycelia yang lainnya adalah
 bagian dari flora normal dari MAE dan terkadang bergeser ke status
 patogen dibawah pengaruh beberapa faktor. 4
Mikroorganime normal ditemukan pada MAE seperti
Staphylococcus epidermis, Corrynebacterium sp, Bacillus sp, Gram-
 positive cocci (Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, non-patogen
micrococci), Gram negative bacilli (Pseudomonas aeruginosa, Escheria
coli, Haemophilus influenza, Moraxella catharalis, dll) dan jamur mycelia
dari genus Aspergillus dan Candida sp. Mikroorganisme komensal ini
tidak patogen hingga keseimbangan antara bakteri dan jamur terjaga.5
Beberapa faktor yang menyebabkan transformasi jamur saprofit
menjadi patogen antara lain:5

 Faktor lingkungan (panas, kelembaban) biasa didapatkan


 pasien padasaat musim panas dan gugur.

 Perubahan pada epitel yang menutupi (penyakit dermatologi,


mikro trauma)
 Peningkatan PH pada MAE (mandi). Ozcan et al (2003)
mendapati perenang memiliki faktor predisposisi untuk
otomikosis.
 Pergeseran kualitas dan kuantitas serumen.
 Faktor sistemik (perubahan imunitas, penyakit yang
melemahkan, kortikosteroid, antibiotik, sitostatik, neoplasia).
Jackman et al (2005) mendapati ofloxacin berkontribusi dalam
 perkembangan otomikosis.

 Riwayat otitis bakterialis, otitis media supuratif kronis


(OMSK) dan post bedah mastoid. Kontaminasi bakteri dari
kulit MAE awalnya terjadi pada OMSK atau otitis media
eksternus. Kerusakan pada permukaan epitel adalah media
yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kerusakan
epitel juga menyebabkan penurunan sekresi apokrin dan
glandula serumen dimana mengubah lingkunga MAE menjadi
cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme (pH normal 3-4).

 Dermatomikosis dapat menjadi faktor resiko untuk rekurensi


karena autoinokulasi menjadi mungkin di antara bagian-bagian
dari tubuh.

 Kondisi dan kebiasaan sosial. Penutup kepala tradisional


contohnya dapat meningkatkan kelembaban dari kanal telinga
dan menciptakan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan
 jamur.
Jamur melimpah pada tanah atau pasir yang mengandung bahan
organik yang membusuk. Materi ini cepat mengering pada kondisi tropis
dan tertiup oleh angin sebagai partikel debu yang kecil. Spora jamur yang
menyebar melalui udara terbawa oleh uap air, suatu fakta bahwa adanya
hubungan antara tingginya jumlah infeksi dengan monsoon, dimana terjadi
 peningkatan kelembapan relatif hingga 80%. 5

Jamur mengakibatkan inflamasi, eksfoliasi epitel superfisial, massa


debris yang mengandung hifa, supurasi, dan nyeri. Karakteristik yang
 paling banyak ditemukan pada pemeriksaan telinga adalah munculnya
debris tebal berwarna putih keabu-abuan yang sering dikenal sebagai
“wet
 blotting paper”.5

Jamur tidak pernah menonjol keluar dari MAE, bahkan pada kasus
kronis sekalipun. Hal ini dikarenakan jamur tidak menemukan kebutuhan
nutrisinya di luar MAE. Hasil penelitian terbaru didapatkan pertumbuhan
Aspergillus ditemukan paling banyak pada temperatur 37 0C , sebuah fakta
 bahwa kondisi klinis ini didukung oleh predileksi dari jamur untuk tumbuh
di sepertiga dalam dari MAE.5

2.3.5 Gejala klinis


Gejala dari otitis eksterna bakteri dan otomikosis sering sulit
dibedakan. Bagaimanapun pruritus merupakan karakteristik paling sering
dari infeksi mikosis dan juga tidak nyaman di telinga, otalgia (nyeri
telinga), rasa penuh di liang telinga, rasa terbakar pada telinga, ottorhoea,
hilangnya pendengaran, tinnitus, keluarnya cairan tetapi sering juga tanpa
keluhan.6
Pytirosporum menyebabkan terbentuknya sisik yang menyebabkan
terbentuknya sisik yang menyerupai ketombe dan merupakan perdisposisi
otitis eksterna bakterialis maupun furunkel. Demikian pula dengan jamur
Aspergillus. Jamur ini terkadang didapatkan di liang telinga tanpa adanya
gejala apapun kecuali rasa tersumbat dalam telinga, atau dapat berupa
 peradangan yang menyerang epitel kanalis atau gendang telinga dan
menimbulkan gejala-gejala akut. Kadang-kadang didapatkan pula
Candida albicans.7
Pada otoskopi sering ditemukan mycelia yang dapat menegakkan
diagnosis. MAE menjadi eritem dan debris jamur tampak putih, abu-abu,
atau hitam. Pasien biasanya tidak ada perbaikan signifikan dengan
 pengobatan antibiotik. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan preparasi
KOH atau positifnya kultur jamur.7
Karakteristik pemeriksaan fisik dari infeksi jamur pada umumnya
terlihat hifa halus dan spora (conidiophores) tampak pada Aspergillus
Candida, ragi, mycelia dengan karakteristik putih ketika bercampur
dengan serumen menjadi kekuningan.7
Infeksi kandida dapat lebih sulit dideteksi secara klinis karena
kurangnya penampakan karakteristik layaknya Aspergillus seperti otorrhea
dan tidak respon terhadap antimikroba. Otomikosis oleh kandida biasanya
diidentifikasi oleh data kultur.7
2.3.6 Diagnosis
Diagnosa didasarkan pada : Anamnesis. Adanya keluhan nyeri di
dalam telinga, rasa gatal, rasa tidak nyman pada telinga, rasa penuh pada
liang telinga, penurunan pendengaran akibat akumulasi debris jamur,
adanya secret yang keluar dari telinga. Yang paling penting adalah
kecenderungan beraktifitas yang berhubungan dengan air,
misalnya berenang, menyelam, dan sebagainya.8
Gejala Klinik. yang khas, terasa gatal atau sakit di liang telinga dan
daun telinga menjadi merah, skuamous dan dapat meluas ke dalam liang
telinga sampai 2/3 bagian luar. Didapati adanya akumulasi debris fibrin
yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan panjang
dari permukaan kulit.8

Pada pemeriksaan telinga didapatkan elemen jamur/ missela,


edema dan eritema pada liang telinga, debris keputigan, kelabu, atau
kehitaman. Pemeriksaan Laboratorium Preparat langsung : skuama dari
kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan KOH 10 % akantampak hifa-
hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat ditemyukan spora-spora
kecildengan diameter 2-3 u.8

Pembiakan : Skuama dibiakkan pada media Agar Saboraud, dan


dieramkan pada suhu kamar.Koloni akan tumbuh dalam satu minggu
 berupa koloni filament berwarna putih. Dengan mikroskop tampak hifa-
hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat ditemukan sterigma dan
spora berjejer melekat pada permukaannya.8

2.3.7 Tatalaksana
Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering
,jangan lembab, dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga
dengan barang-barang yang kotor seperti korek api, garukan telinga, atau
kapas.8
Pengobatan yang dapat diberikan yaitu larutan asam asetat 2%
dalam alkohol, larutain iodium povidon 5% atau tetes telinga yang
mengandung campuran antibiotik dan steroid yang diteteskan ke lian
telinga biasanya dapat menyembuhkan. Kadang-kadang diperlukan juga
obat anti jamur (sebagai salep) yang diberikan secara topikal yang
mengandung nistatin, kotrimazol.9
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah
 perforasi dari membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal
tersebut sangat jarang terjadi, dan cenderung sembuh dengan pengobatan.
Patofisiologi dari perforasi membran timpani mungkin berhubungan
dengan nekrosis avaskular dari membran timpani sebagai akibat dari
trombosis pada pembuluh darah. Angka insiden terjadinya perforasi
membran yang dilaporkan dari berbagai penelitian berkisar antara 12-16 %
dari seluruh kasus otomikosis. Tidak terdapat gejala dini untuk
memprediksiterjadinya perforasi tersebut, keterlibatan membran timpani
sepertinya merupakan konsekuensi inokulasi jamur pada aspek medial dari
telinga luar ataupun merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari
kulit sekitarnya.10
2.3.9 Prognosis
Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada
saat terapi dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses
resolusi ( penyembuhan ) yang baik secara imunologi. Bagaimanapun
 juga, resiko kekambuhan sangat tinggi, jika faktor yang menyebabkan
infeksi sebenarnya tidak dikoreksi, dan fisiologi lingkungan normal dari
kanalis auditorius eksternus masih terganggu. 10
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


 Nama : Ny. S
Usia : 45 thn
Jenis kelamin : Perempuan

3.2 Keluhan Utama


Telinga kanan terasa berdengung sejak 1 hari yang lalu.

3.3 Riwayat Penyakit Sekarang


Telinga kanan terasa berdengung sejak 1 hari yang lalu.Telinga
 berdengung tersebut disertai rasa gatal. Timbulnya secara tiba-tiba dan
hilang timbul. Hilang sewaktu-waktu dan timbul sewaktu-waktu. Keluhan
nyeri pada telinga, gangguan pendengaran, keluar cairan dari telinga
 pusing berputar dan demam disangkal oleh pasien.
Os menyangkal sering bersin-bersin atau gatal pada hidung, dan tidak
 pernah merasa mencium bau busuk pada hidung. Os juga menyangkal
adanya nyeri tenggorokan dan sulit menelan.

3.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada penyakit sistemik yang diderita, alergi disangkal, amandel (-)

3.5 Hasil Pemeriksaan


Keadaan Umum Kesadaran : Compos Mentis
Kesan Sakit : Tampak sakit ringan
Kesan Gizi : Gizi cukup

Kepala Nomocephali. Rambutberwarnahitamdan


sebagian putih, terdistribusi merata dan tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva Anemis -/- Sklera Ikterik -/-

Pupil Isokor.
Telinga : Normotia. Sekret (-) Nyeri tekan -/-
 Nyeri penarikan -/-
Hidung :Bentuk normal, Sekret (-) Deviasi
septum (-) Discharge (-) Deformitas (-
)Pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : Bentuk normal, oral hygiene baik. Pucat
(-) Sianosis (-).
Lidah : Normoglossia, warna merah muda dan
ikterik di bawah lidah, kelainan bentuk (-)
Leher Bentuk normal. Kelenjar getah bening dan
kelenjar tiroid tidak membesar. JVP normal (5+3
cm H2O)
Toraks Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan napas
simetris, tipe pernapasan torakoabdominal, sela
iga normal, sternum datar, retraksi sela iga (-)
Palpasi : pernapasan simetris, vocal fremitus
simetris, tidak teraba thrill.
Perkusi : Hemitoraks kanan dan kiri sonor, batas
 paru dan hepar setinggi ICS 5, batas paru dan
 jantung kanan setinggi ICS 3-5 garis sternalis
kanan suara redup, batas paru dan atas jantung
setinggi ICS 3 garis parasternal kiri suara redup,
 batas paru dan jantung kiri setinggi ICS 5 ±1 jari
medial garis midklavikula kiri suara redup, batas
 paru dan lambung setinggi ICS 8 garis aksilaris
anterior kiri dengan suara timpani.
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonki -
/-, wheezing -/-, Bunyi jantung I dan II reguler,
 gallop (-), murmur (-).
Inspeksi: Bentuk rata, mendatar
Abdomen dan simetris,
efloresensi bermakna (-), pernapasan torakoabdominal, tidak tampak peristaltik usus. Auskultasi: bising
Perkusi: Timpani 4 kuadran, shifting dullness (-) Palpasi: Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar tidak
membesar, ballottement ginjal (-), undulasi (-).

Ekstremitas
Ekstremitas Atas
Simetris kanan dan kiri Turgor kulit baik Bentuk proporsional Akral hangat +/+ Oedem -/
Deformitas -/- Ptekie -/- Ekstremitas Bawah
Simetris kanan dan kiri Turgor kulit baik Bentuk proporsional Akral hangat +/+ Oedem -/
Deformitas -/-

Ptekie -/-
Tabel 1. Pemeriksaan fisik
TELINGA Kanan Kiri
Liang telinga Sempit, tertutup spora Lapang
Serumen + -
Sekret - -
Membran timpani Tidak dapat dievaluasi intak
 Nyeritekan tragus - -

HIDUNG
Cavum nasi lapang Lapang
Sekret - -
Konka Eutrofi eutrofi

TENGGOROKAN

Uvula Di tengah

Faring Tidak hiperemis

Tonsil T1 – T1 tidak hiperemis


Tabel 2. Status lokalis

3.6 Diagnosis Kerja


 Otomikosis AD
3.7 Diagnosis Banding
 Serumen prop AD
3.8 Penatalaksanaan
 Membersihkan liang telinga,
 Larutan asam asetat 2% dalam alkohol,
 Larutan iodium povidon 5% atau tetes telinga campuran antibiotik
dan steroid,

 Anti jamur (salep) secara topikal yang mengandung nistatin,


klotriazol.
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Dari hasil anamnesis yang dilakukan pada Ny. S, 45 tahun datang ke poli
THT RSUD Kota Bekasi pada tanggal 11 April 2017 dengan keluhan telinga
kanan berdengung sejak 1 hari yang lalu. Telinga kanan berdengung timbul tiba-
tiba dan hilang timbul. Selain merasa telinga berdengung, telinga kanan terasa
gatal.
Telinga berdengung atau tinitus adalah salah satu bentuk gangguan
 pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya ranngsangan dari luar berupa
 bunyi berdenging, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi lain. Gejala
tinitus pada pasien dapat disebabkan karena ada sumbatan pada telinga tengah
oleh karena serumen. Sedangkan keluhan gatal pada telinga dapat disebabkan
karena serumen yang penuh pada liang telina atau kemungkinan adanya infeksi
 pada telinga.
 Ny. S menyangkal telinga terasa gatal, adanya gangguan pendengaran,
keluar cairan dari telinga, pusing berputar, dan demam. Ny. S merasa tidak pernah
 bersin bersin pagi hari dan gatal pada hidung serta tidak pernah merasa mencium
 bau busuk pada hidung. Ny. S juga menyangkal adanya nyeri tenggorokan dan
sulit menelan.
 Ny. S mengaku tidak menderita penyakit sistemik seperti Diabetes Melitus
dan Hipertensi, tidak memiliki alergi, serta tidak pernah merasa menderita
amandel.
Pada pemeriksaan fisik pada telinga, didapatkan hasil pada telinga kanan
liang telinga sempit tertutup spora berwarna putih dan ada titik hitam, sehingga
tidak dapat melihat membran timpani dengan jelas. Serumen yang tampak massa
 putih keabu-abuan, menyempit, lapisan seperti kertas basah berbintik-bintik
mengisi liang telinga merupakan gambaran dari infeksi jamur. Sedangkan pada
telina kiri, liang telinga tampak lapang, tidak ada serumen ataupun sekret, serta
membran timpani intak.
Pemeriksaan fisik pada hidung, tidak tampak kelainan pada cavum nasi
kanan dan kiri terlihat lapang, tidak ada sekret, dan konka berukuran eutrofi. Pada
 pemeriksaan tenggorokan, uvula terletak di tengah dan tidak hiperemis, dinding
faring tidak hiperemis, serta tonsil berukuran T1/T1, tidak ada dentritus, dan tidak
tampak hiperemis.
BAB V
KESIMPULAN

 Ny. S, 45 tahun datang ke poli THT RSUD Kota Bekasi pada tanggal 11
April 2017. Berdasarkan anamnesis, dengan keluhan utama telinga kanan
 berdengung sejak 1 hari yang lalu. Telinga kanan berdengung timbul tiba-tiba dan
hilang timbul. Pasien juga mengeluh telinga kanan terasa gatal. Keluhan nyeri
 pada telinga, gangguan pendengaran, keluar cairan dari telinga pusing berputar
dan demam disangkal oleh pasien. Riwayat keluhan yang sama, alergi, otitis,
tonsilitis, hipertensi, diabetes melitus disangkal oleh pasien. Pemeriksaan fisik
secara genelaris didapatkan dala batas normal. Pada pemeriksaan fisik, telinga kiri
dalam batas normal, telinga kanan didapatkan adanya spora sehingga liang telinga
kanan tampak sempit dan membran timpani tidak dapat di evaluasi, terdapat
serumen pada liang telinga kanan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
 penunjang, diagnosis kerja untuk kasus ini yaitu otomikosis telinga kanan.
Tatalaksana yang diberika pada pasien antara lain membersihkan liang telinga,
larutan asam asetat 2% dalam alkohol, larutan iodium povidon 5% atau tetes
telinga campuran antibiotik dan steroid, anti jamur (salep) secara topikal yang
mengandung nistatin, klotriazol.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan


kelainan telinga. Dalam: Dalam: Soepardi E, Iskandar N (eds). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga - Hidung – Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FK
UI. 2012.p11-4.
2.  Nursiah Siti. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan
terhadap Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam
Malik Medan. Medan: USU Digital Library.
3. Available at: http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t26351.pdf.  Accesed on:
April, 14 2017.
4. Romsaithonng S. Long-term follow-up of otomycosis and its treatment
with bifonazole. International short course training in research
methodology & biostatistics 2011:18
5. Munguia R, Daniel SJ. Ototopical antifungal and otomycosis: a rivew. Int
J Pediatr Otorhinolaryngol 2008;72:453-9.
6. Viswanatha. B et al. Otomycosis in immunocompetent and
immunocompromised patients: comparative study and literature review,
ENT Journal 2012 Mar; 91(3):114-21.
7. Satish HS, Viswanatha B, Manjuladevi M. A Clinical Study of
Otomycosis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences 2013; 5 (2):57-
62.
8. Arif Mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri,dkk. (2014). Otomikosis.
Kapita Selekta Kedokteran , Jakarta: Media Aesculapius.
9. Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N (eds). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga - Hidung – Tenggorok Kepala Leher. Jakarta
: FK UI. 2012.p 54.
10. Tang Ho, Jeffrey T Vrabec, Donald Yoo, Newton J Coker. (2006).
Otomycosis : Clinical features and treatment implications. The Journal of
Otolaryngology-Head and neck Surgery.

Anda mungkin juga menyukai