Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PATOLOGI KEBIDANAN

ATONIA UTERI
Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Patologi Kebidanan yang diampu
oleh:
Sri Wahtini, S.SiT., MH.Kes

Disusun oleh:
Hafidhatul Awaliya Rahmah
1610104095
4B/B2

PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK JENJANG DIPLOMA IV


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
Jl. Ringroad Barat No.63, Mlangi, Nogotirto,Gamping Sleman Yogyakarta, 55292
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan judul “Atonia Uteri”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Patologi. Dalam
makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, tanda dan gejala, diagnosis, serta
pencegahan dari atonia uteri. Akhirnya saya sampaikan terima kasih atas
perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak
ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.

Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat
saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada
tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Yogyakarta, 28 Maret 2018

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Menurut data WHO, sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah persalinan atau
kelahiran terjadi di negara–negara berkembang. Rasio kematian ibu di negara
berkembang merupakan yang tertinggi, dengan 450 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara
maju dan 51 negara berkembang (saptandari P,2009).

Di Amerika Serikat sejak 1979 sampai 1992, menganalisis 4915 kematian ibu hamil
yang tidak terkait abortus. Mereka mendapatkan bahwa perdarahan merupakan
kasus langsung pada sekitar 30 % kasus kematian tersebut. Menurut Bonar 2000,
perdarahan adalah faktor utama pada kematian ibu hamil di Inggris antara tahun
1985 dan 1996, tidak diragukan lagi bahwa telah terjadi kemajuan besar dalam
kematian akibat perdarahan dengan modernisasi bidang obstetri di Amerika Serikat
(Chunningham, 2006).

Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling
sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar
kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan. Di Inggris pada
tahun 2000, separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh
perdarahan post partum (Nizam,2010).

1.2.TUJUAN
Agar mahasiswa dapat mengetahui mengenai Atonia Uteri serta cara pencegahan
dan penatalaksanaanya.

3
1.3. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan etiologi dari atonia uteri?
2. Bagaimana tanda gejala, diagnosa dan pencegahan atonia uteri?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ATONIA UTERI

Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri. Perdarahan postpartum dengan
penyebab uteri tidak terlalu banyak dijumpai karena penerimaan gerakan keluarga
berencana makin meningkat (Manuaba & APN).

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum.
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan
setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah
implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak
berkontraksi.

Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan
plasenta lahir.

2.2. ETIOLOGI ATONIA UTERI

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena


persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan
stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang
disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat
antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis,
endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire

5
pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru
menyebutkan bahwa grandemultiparitas merupakan faktor resiko independen untuk
terjadinya perdarahan post partum (Admin, 2009).
Faktor – faktor predisposisi Atonia uteri meliputi :

1. Regangan rahim yang berlebihan dikarenakan Polihidramnion, kehamilan


kembar, makrosemia atau janin besar
2. Persalinan yang lama : Persalinan yang lama dimaksud merupakan
persalinan yang memanjang pada kala satu dan kala dua yang terlalu lama
(prawirahardjo, 2008).
3. Persalinan yang terlalu cepat atau persalinan spontan
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Multiparitas yang sangat tinggi
6. Ibu dengan usia yang terlalu muda dan terlalu tua serta keadaan umum ibu
yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun. Terjadinya
peningkatan kejadian atonia uteri sejalan dengan meningkatnya umur ibu
yang diatas 35 tahun dan usia yang seharusnya belum siap untuk dibuahi.
Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi
perdarahan yang terjadi (Prawirihardjo, 2006).
7. Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
8. Bekas operasi Caesar.
9. Pernah abortus (keguguran) sebelumnya. Bila terjadi riwayat persalinan
kurang baik, ibu sebaiknya melahirkan dirumah sakit, dan jangan di rumah
sendiri.
10. Dapat terjadi akibat melahirkan plasenta dengan memijat dan mendorong
uterus kebawah sementara uterus belum terlepas dari tempat implannya atau
uterus.

Perdarahan yang banyak dalam waktu singkat dapat diketahui. Tetapi, bila
perdarahan sedikit dalam waktu banyak tanpa disadari, pasien (ibu) telah
kehilangan banyak darah sebelum ibu tanpak pucat dan gejala lainnya. Perdarahan
karena atonia uteri, uterus tanpak lembek membesar (Anik-Yulianingsih 2009).

6
2.3. TANDA DAN GEJALA ATONIA UTERI
Tanda dan gejala yang selalu ada pada perdarahan postpartum akibat Atonia Uteri
adalah :

1. Perdarahan segera setelah anak lahir


2. Pada palpasi, meraba Fundus Uteri disertai perdarahan yang memancur dari
jalan lahir.
3. Perut terasa lembek atau tidak adanya kontraksi
4. Perut terlihat membesar (Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, 2002).

2.4. DIAGNOSA ATONIA UTERI


Pada setiap perdarahan setelah anak lahir, perlu dipikirkan beberapa kemungkinan
karena penanganannya berbeda, jika dengan melalui perabaan melalui dinding
perut, fundus uteri terasa keras dan darah yang keluar berwarna merah segar,
dapatlah dikatakan pada umumnya perdarahan itu disebabkan oleh laserasi atau
robekan pada salah satu tempat dijalan lahir. Jika perabaan fundus uteri terasa
lembek dan laserasi telah disingkirkan, maka pada umumnnya perdarahan ini
disebabkan oleh Atonia uteri (Diro, 2009).

Diagnose ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Atonia uteri terjadi jika
uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsangan taktil
(masase) pada daerah fundus uteri (Buku Asuhan Persalinan Normal, 2007).

Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga
masih ada darah sebanyak 500 – 1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah,
tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam pemberian
darah pengganti ( Prawirohardjo, 2008).

7
2.5. PENCEGAHAN ATONIA UTERI

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Manejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan
dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah (Hidayat, Juni 2009).

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang
cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri.
Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir.
Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter
IV drip 100-150 cc/jam (Hidayat, Juni 2009).

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin
merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40
menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan
antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang
dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin
(Admin, 2009).
Penanganan Umum

1. Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas
tindakan gawat darurat.
2. Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital(TNSP).
3. Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok
tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu
tersebut dapat memburuk dengan cepat.

8
4. Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian
cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan
untuk persiapan transfusi darah.
5. Pastikan bahwa kontraksi uterus baik
6. lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah
yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif.
berikan 10 unit oksitosin IM
7. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
8. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina,
dan perineum.
9. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.

Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa


kadarHemoglobin:

1. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah
asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
2. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.

Penanganan Khusus

1. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri


2. Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi
uterus yang menghentikan perdarahan.
3. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
4. Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan
uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks
mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.

9
5. Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput
ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah
kosong

Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai kebutuhan. Jika
perdarahan terus berlangsung:

 Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap


 Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak adanya bagian permukaan
maternal atau robeknya membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan
sisa plasenta tersebut.Lakukan uji pembekuan darah sederhana.
 Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan
lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

Penanganan dengan Teknik KBI


1. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan
tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung jari) ke intraktus dan ke dalam
vagina itu.
2. Periksa vagina & serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum
uteri mungkin uterus tidak dapat berkontraksi secara penuh
3. Letakkan kepalan tangan pada fornik anterior tekan dinding anteror uteri
sementara telapak tangan lain pada abdomen, menekan dengan kuat dinding
belakang uterus ke arah kepalan tangan dalam.
4. Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Kompresi uterus ini memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding uterus dan juga merang
sang miometrium untuk berkontraksi.
5. Evaluasi keberhasilan:

 Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan


KBl selama dua menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dari
dalam vagina. Pantau kondisi ibu secara melekat selama kala empat.

10
 Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa
perineum, vagina dari serviks apakah terjadi laserasi di bagian tersebut.
Segera lakukan si penjahitan jika ditemukan laserasi.
 Jika kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga
untuk melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE, Gambar 5-4)
kemudian terus kan dengan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya. Minta tolong keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.

Alasan: Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBl, jika KBl tidak berhasil
dalam waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain.

6. Berikan 0,2 mg ergometrin IM (jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan


hipertensi)

Alasan : Ergometrin yang diberikan, akan meningkatkan tekanan darah lebih tinggi
dari kondisi normal.

7. Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus dan
berikan 500 ml larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.
Alasan: Jarum dengan diameter besar, memungkinkan pemberian cairan IV secara
cepat, dan dapat langsung digunakan jika ibu membutuhkan transfusi darah.
Oksitosin IV akan dengan cepat merangsang kontraksi uterus. Ringer Laktat akan
membantu mengganti volume cairan yang hiking selama perdarahan.
8. Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.
Alasan: KBI yang digunakan bersama dengan ergometrin dan oksitosin dapat
membantu membuat uterus-berkontraksi
9. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu sampai 2 menit, segera lakukan
rujukan Berarti ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan perawatan
gawat-darurat di fasilitas kesehatan yang dapat melakukan tindakan pembedahan
dan transfusi darah.
10. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI hingga ibu tiba di
tempat rujukan. Teruskan pemberian cairan IV hingga ibu tiba di fasilitas rujukan:

11
 Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu 10 menit.
 Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga
jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 liter, dan kemudian berikan
125 ml/jam.
 Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi 500 ml cairan dengan
tetesan lambat dan berikan cairan secara oral untuk asupan cairan tambahan.

Kompresi bimanual eksternal

 Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas simfisis
pubis.
 Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang korpus uteri),
usahakan memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.

Penanganan atonia uteri kompresi bimanual eksterna (KBE)


Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi
pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus di antara kedua
tangan tersebut. (Pusdiknakes, Asuhan Persalinan Normal)
Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:

 Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika.


 Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah
ligasi.

Penanganan dengan Uterotonika

 Oksitosin

Merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini
menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah

12
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis
tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat
infus dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan
vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.

 Metilergonovin maleat

Merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5
menit pemberian IM.

Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis
maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika
diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga
menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien
dengan hipertensi.

 Prostaglandin (Misoprostol)

Merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Misoprostol dapat


diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat
diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal
dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).

Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan


efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi
dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem
termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan,

13
berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini
menyebabkan penurunan saturasi oksigen.

Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan kardiovaskular,
pulmonal, dan gangguan hepatik.

Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat
hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk
mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka
keberhasilan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh
atonia uteri maka perlu dipertimbangkan pemakaian Uterotonika untuk
menghindari perdarahan masif yang terjadi.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum.
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan
setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah
implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak
berkontraksi.

Diagnosa atonia uteri ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus
uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Atonia uteri
terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsangan
taktil (masase) pada daerah fundus uteri (Buku Asuhan Persalinan Normal, 2007).

3.2. SARAN

Diharapkan kepada institusi pelayanan untuk dapat menegakkan diagnosa kepada


pasien secara tepat dan benar sesuai dengan masalah yang ditemui dan sesuai
dengan pemeriksaan penunjang. Serta dapat melaksanakan asuhan kebidanan
pasien sesuai dengan masalah dan kebutuhannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2009. Penilaian klinik Pada Atonia Uteri.


http//lh5.ggpht,tom/10UHIGx0P6A/sax/li/AAAvy. Diakses Oleh Asmayarni
Panjaitan Pada Tanggal 14 Maret 2010 Pukul 10.17 wib

Anik, Yulianingsih. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan. Jakarta :


CV. Trans Info Media
Diro, As. 2009. Pengelolaan Khusus Atonia Uteri.
http//ww.uteri.go//sax.10Prh//al. Diakses Oleh Asmayarni Panjaitan Pada Tanggal
14 Maret 2010 Pukul 10.25 wib

Fika, Esti. 2009. Asuhan Kebidanan Pathologis. Yogyakarta : Pustaka Rihama.

Khairuddin, dr. Bahar. 2010. Asuhan Kebidanan 4 Pathologis. Jakarta : Trans Info
Media

16

Anda mungkin juga menyukai