Anda di halaman 1dari 13

AYAT TENTANG WALI DAN AULIYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Semantik al-Qur’an

Dosen Pengampu : Bpk. Muhammad Makmun

Disusun oleh :

Adnan Wahyu Ramadhani (1804026007)

Inayatul Maulah (1804026063)

Lila Tursina (1804026087)

Uli Chofifah (1804026091)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2021
A. Pendahuluan

Al-qur’an sebagai kitab suci umat islam, penyempurna kitab-kitab samawi


yang turun terlebih dahulu turun secara mutawatir dang berangsur-angsur. Kitab
suci ini diturunkan di wilayah arab, sehingga bahasa yang digunakannya juga
memakai bahasa arab. Maka tak heran jika salah satu tokoh kontemporer yaitu
Nashr Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa Al-qur’an adalah produk budaya atau
biasa terkenal muntaj tsaqafi. hal ini tak lain karena Al-qur’an senantiasa
mengikuti perkembangan sejarah dari budaya arab.

Kitab suci umat islam ini juga mengandung kemukjizatan dalam bahasa
isinya. Tidak ada seorangpun yang bisa membuat semisal al-qur’an meski hanya
satu ayat. Aspek kemukjizatan ini meliputi susunan kalimat-kalimatnya, kesesuain
di akhir ayatnya sampai kandungan dari setiap ayat-ayatnya. Semuanya tersusun
amat rapi dan indah. Bahkan ahli syair terkemuka pada zaman Rasulullah
Muhammad saw takjub ketika mendengar bacaan ayat-ayat al-qur’an.

Seiring berjalannya zaman dan semakin kompleksnya masalah, al-qur’an


tetap mampu menjawab problema umat. Dari masalah tentang aqidah, politik,
sosial sampai masalah ekonomi. Al-qur’an telah mengaturnya sedemikian rupa.
Namun demikian, agar dapat mengetahui kandungannya kita juga harus mampu
mengetahui makna-makna dari al-qur’an. Terlebih untuk masyarakat islam yang
bukan dari arab, tentu perlu mengetahui arti dari suatu kata.

Salah satu kajian kebahasaan adalah semantik yang mempelajari tentang


sejarah penggunaan kata, bagaimana perubahan maknanya, dan pembentukan
konsep yang terkandung didalam kata tersebut. Pada tulisan kali ini, penulis ingin
membahas tentang kata wali dan auliya yang banyak terkandung dalam al-qur’an.
Karena kita ketahui ayat-ayat yang mengandung kata auliya bisa bermakna dari
aspek sosial maupun politik. Agar tidak adanya salah dalam pemaknaan ayat-ayat
tersebut.

B. Makna Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an


Kosa kata auliya dimaknai pemimpin yang bersumber dari kata waliy
sebagai bentuk dasar. Menurut kajian ilmu nahwu kata auliya ini berbentuk jamak
taksir dari kata waliyyun. Pengertian jamak taksir sendiri adalah kata yang
menunjukan makna banyak atau biasa diartikan sebagai kata benda yang berubah
dari bentuk mufrodnya. Terkait dengan perubahan suatu kata ditinjau dari segi
kajian ilmu nahwu terbagi menjadi 6 bagian :
1. At-taghyiru bizziyadati ‘ala al-mufrodi min ghoiri taghyiru syaklin, yaitu
mengubah dengan memberi tambahan kepada bentuk mufrodnya dengan tidak
mengubah harokatnya.
2. At-taghyiru bi naqshi ‘an al-mufrodi min ghoiri taghyiru syaklin, yaitu
mengubah dengan mengurangi bentuk mufrodnya tanpa memberi perubahan
pada bentuk atau harakatnya.
3. At-taghyiru bitabdili as-syakil min ghoiru ziyadati wa la naqshi, yaitu
mengubah sekaligus memindahkan bentuknya atau harakatnya dengan tidak
memberi tambahan dan menguranginya.
4. At-taghyiru bizziyadati ‘ala al-mufrodi ma’a taghyiri syaklin, yaitu mengubah
dengan memberi tambahan kepada bentuk mufrodnya beserta mengubah
bentuk atau harokatnya.
5. At-taghyiru bi naqshi ‘an al-mufrodi ma’a taghyiri syaklin, yaitu mengubah
dengan mengurangi bentuk mufrodnya dan memberi perubahan pada
bentuknya atau harokatnya.
6. At-taghyiru bizziyadati wan naqshi ‘an al-mufrodi wa taghyiri syaklin, yaitu
mengubah dengan memberi tambahan dan mengurangi bentuk mufrodnya
serta mengubah bentuk harokatnya.
Dari macam-macam perubahan suatu kata, dapat disimpulkan untuk term
atau kata auliya ini termasuk dalam perubahan yang ke-empat yaitu at-taghyiru
bizziyadati ‘ala al-mufrodi ma’a taghyiri syaklin (mengubah dengan memberi
tambahan kepada bentuk mufrodnya beserta mengubah bentuk atau harokatnya1.
Dalam bahasa Arab, kata wali dan auliya pada dasarnya berarti pemimpin.
Namun demikian setelah adanya suatu penelusuran oleh seorang peneliti, dalam
1
Febri Ramadhan, skripsi : Analisis makna kata auliya dalam al-qur’an (juz 1-30) : Tinjauan Semantic
Gramatikal, (USU Medan ,2017), hal. 39-40
kamus Al-munawwir ternyata ditemukan tidak hanya satu arti untuk kata auliya
melainkan ada 4 arti. Yaitu yang mencintai, teman/sahabat, yang menolong, orang
yang mengurus perkara seseorang atau wali.
Terlepas dari arti diatas, dalam kamus al-arsy kata auliya mempunyai arti
wakil/pejabat/pelaksana/karetaker, penolong, sahabat/teman, wali (orang yang
bertaqwa), tuan/kepala, yang mencintai, orang yang mengurus perkara seseorang,
tetangga, sekutu, pengikut, pemilik, penanggung jawab/kepala/pimpinan, putra
mahkota, wali yang diwasiyatkan, pengasuh anak yatim, dan yang dermawan.
Jadi memang arti kata dari auliya ini bermacam-macam. Begitupun seperti
dalam kitab suci umat islam, Al-qur’an bisa kita temukan ada 88 kata dari wali
dan auliya dan tidak semua kata itu diartikan atau diterjemahkan sebagai
pemimpin. Sebaliknya ada bermacam-macam arti.
Perubahan arti pada kata dalam al-qur’an tentu terjadi karena suatu sebab.
Dibawah ini akan sedikit diuraikan tentang sebab-sebab perubahan arti pada suatu
kata. Diantaranya yaitu:
1. Semua sebab yang mempunyai sifat kebahasaan
Bisa terjadi karena proses penularan, yaitu arti dari sebuah kata bisa jadi
dialihkan kepada kata lain karena sebab kata itu seringkali muncul bersamaan
dalam banyak kondisi.
2. Sebab historis atau kesejarahan
Bahasa dinilai bisa berubah sepanjang waktu.
3. Sebab sosial
Sebuah kata bisa mempunyai makna yang terbatas jika digunakan dalam
bidang tertentu, misalkan dalam bidang pendidikan. Maka yang semula
mempunyai makna umum bisa berubah menjadi terbatas.
4. faktor psikologis
faktor psikologis pun turut menjadi pengaruh perubahan kata, seperti yang
berasal pada unsur atau yang memiliki kecenderungan yang berakar dalam
jiwa penutur.
5. Pengaruh asing
Banyak kasus yang terjadi bahwa pengaruh dari model-model asing juga turut
berperan dalam perubaan arti atau makna.
6. Kebutuhan akan makna baru
Seiring dengan berkembangnya zaman berikut juga ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka makna-makna baru untuk suatu kata menjadi sangat
dibutuhkan2.
Berikut kata auliya yang sering digunakan dalam Al-qur’an.
1. Auliya yang bermakna mengandung aspek politik, berisi larangan menjadikan
orang-orang kafir sebagai teman dan meninggalkan orang-orang yang
beriman, seperti termaktub dalam Q.S An-Nisa’ : 39.
2. Auliya yang bermakna penolong mengandung aspek sosial, Seperti termaktub
dalam Q.S al-Taubah : 71.
3. Auliya yang bermakna sebagai anak yang mengandung aspek sosial, seperti
termaktub dalam Q.S Maryam : 5.
4. Auliya yang bermakna sebagai ahli waris yang mengandung aspek sosial,
seperti termaktub dalam Q.S al-isra : 33.
5. Auliya yang bermakna saudara seagama mengandung aspek sosial, seperti
termaktub dalam Q.S Al-Ahzab : 6.
6. Auliya yang bermakna orang yang dekat yaitu orang-orang yang beriman dan
bertakwa, seperti termaktub dalam Q.S Yunus : 623.
C. Persaman Wali dan Auliya’ Menurut Kitab Tafsir
Dalam perubahan makna kata dalam Al-Qur’an maupun kitab tafsir ada beberapa
hal yang sangat mempengaruhi dalam perubahan makna ini tidak kurang ada 31
kemungkinan yang menjadi sebab perubahan makna yaitu:
1. Sebab-sebab bersifat kebahasaan
2. Sebab-sebab historis
3. Sebab-sebab sosial
4. Faktor psikologis

2
Ismiyati Nur Azizah, skripsi : Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an : Studi Kasus Terjemahan
Hamka dan Quraish Shihab, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hal. 17-18
3
Ahmad Zaruni, Aspek Sosial Politik Penafsiran Auliya dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Lampung: UIN Raden
Intan Lampung, 2019), hal. 38-42
5. Pengaruh asing sebagai penyebab perubahab makna: banyak perubahan makna
disebabkan oleh suatu model asing.
6. Kebutuhan akan makna baru4.
Dari beberapa bentuk sebab perubahan makna demikian juga perubahan pada
setiap kata yang dilakukan oleh mufassir. Setiap tafsir pada umumnya dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sekitar yang dialami oeh si mufassir. Begitu juga halnya dengan kata
wali dan auliya’.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang persamaan kata wali dan
auliya’ menurut kita tafsir Al-Azhar karya Hamka dan Tafsir Al-Misbah karya Quraish
Shihab. Secara singkat profil Hamka. HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik
Karim Amrullah ia adalah mufassir kelahiran Sumatera Barat, 16 Februari 1908. Ayah
Hamka adalah pelopor gerakan muda Minangkabau yang biasa dipanggil dengan sebutan
buya. Usia 7 tahun Hamka dimasukkan ayahnya ke Sekolah Diniyah yang di bangun oleh
Zainuddin Labai El-Sanusi. Hamka memiliki keturunan ulama dan pengetahuan agama
yang luas dari kakeknya hingga turun ke ayahnya dan sampailah kepada Hamka yang
dikenal sebagai seorang mufassir asal Nusantara 5.
Karya Hamka lebih kurang ada 79 karya berbentuk tulisan salah satunya adalah
tafsir Al-Azhar yang ditulis oleh Hamka semasa ia dipenjara pada masa presiden
Soekarno Hatta yang berjumlah 30 jilid. Al-Qur’an adalah sebuah teks dimana banyak
cakupan makna yang harus dikaji lebih luas maka tentu saja seorang mufassir akan
mengkajinya juga dengan berbagai ilmu yang mumpuni. Mulai dari fiqih, politik,
ekonomi, tasawwuf dan lain-lain.
Dalam, buku yang ditulis oleh Yunan Yusuf yang berjudul Corak Pemikiran
Kalam Tafsir Al-Azhar dimana dalam buku ini diuraikan pengaruh pemikiran kalam atas
tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab. Dalam tafsir yang ditulis oleh Hamka ada
beberapa corak penafsiran, pertama Al-Qur’an adalah satuan komperehensif, dimana
setiap makna mempunyai keterkaitan. Kedua, lebih menekankan pesan-pesan pokok yang
ada dalam Al-Qur’an. Ketiga, menerangkan tentang munasabah. Keempat, sangat
berhati-hati terhadap cerita Islailliyat. Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut.
Keenam, memandang Al-Qur’an bukan hanya sekedar bacaan. Ketujuh, menitikberatkan
kondisi sosial. Kedelapan, menjelaskan tentang penetapan hukum. Kesembilan,
menjelaskan golongan surah madaniyah atau makiyah.
4
Ismiyati Nur ‘Azizah, Polisemi Wali Dalam Al-Qur’an : Studi Kasus Terjemahan Hamka dan Quraish
Shihab, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah), 2011, hal. 25-26.
5
Ibid, hal: 36-37.
Disini menurut Yunan Yusuf, Hamka telah menempuh tiga pendekatan dalam
tafsir yang ia tulis. Tafsir Al-Azhar karya Hamka adalah tafsir yang bersifat apa adanya
tekas yang diterjemahkan juga sesuai dengan struktur bahasa dan tidak menyimpang. Ada
juga penerjemahan bebas yang diikat dengan tarjamah harfiyyah. Adapun fungsi dari
tujuan terjemah ini agar pembaca dapat memahami pesan yang ingin penulis sampaikan
dengan struktur bahasa yang lebih mudah di pahami6.
Gambaran umum tentang tafsir Quraish Shihab adalah tafsir ini ditunjukkan
untuk orang awam meski karya ini sebenarnya buat orang terpelajar. Tafsir Al-Misbah
karya Quraish Shihab ini menggunakan metode tahlili yaitu menfasirkan ayat demi ayat
sesuai dengan mushaf utsmani. Tujuan dari metode tahlili sendiri adalah agar orang-
orang paham tentang Al-Qur’an dengan rinci. Meskipun menurut pandangannya metode
tahlili sangat banyak menghabiskan waktu.
Di sisi lain ia juga menulis tafsir maudhu’I yang lebih istimewa dan
menhgirdarkan dari metode-metode lainnya atau untuk menutupi kelemahan tafsir tahlili.
Kitab tafsir Al-Misbah bukanlah ijtihadnya sendiri tetapi ini adalah karya ulama
terdahulu dan kontemporer yang ditulis kembali oleh Quraish Shihab. Metode dalam
tafsir Al-Misbah adalah gabungan metode maudhu’I dan tahlili karena menurutnya selain
harus menjelaskan lebih rinci melalui metode tahlili ia juga harus mengelompokkan ayat
sesuai tema tertentu melalui metode maudhu’i.
Kelebihan dari metode maudhu/I adalah pembaca dapat membaca penafsiran
secara waktu lebih singkat dalam memahami isi Al-Qur’an. Metode ini juga akan lebih
rinci dalam membahas topic yang masih berkaitan dengan cara yang lebih praktis dan
sistematis. Corak tafsir Al-Misbah juga termasuk corak adab ijtima’I atau
kemasyarakatan. Dimana ayat-ayat yang dijelaskan sesuai peran masyarakat dalam
kehidupan sosial dan disajikan dengan bahasa yang mudah tetapi tetap indah. Ini juga
mengeluarkan kita dari satu masalah dan menemukan solusi yang tepat. 7
Berikut persamaan dan perbedaan kata Wali dan Auliya’ dalam penerjemahan
Hamka dan Quraish Shihab :
1. Persamaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan Quraish Shihab
a. Pelindung: At-Taubah74, dan 116, Az-Zumar 3, Fussilat 31, Saba’ 41, Ar-Rad 16,
Yusuf 101, Ahzab 17 dan 65, Asy-Syura 6,8dan 9.
b. Pemimpin: Al-A’raf 27, Al-Kahfi 50, At-Taubah 23, dan An-Nahl 63.

6
Ibid, hal:45-46.
7
Ibid, hal: 54-57.
c. Penolong: Al-Isra 111, Sajadah 4, dan Hud 3.
d. Wali: Al-Isra 33, Yunus 62, An-Nisa 45 da An-Naml 498.
2. Perbedaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan Quraish Shihab
a. Pelindung
Hamka menerjemahkan dengan pelindung dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan memimpin terdapat dalam Surah Al-A’raf ayat 155.
b. Pemimpin
Hamka menerjemahkan dengan pemimpin dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan pelindung terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 14.
c. Pengikut
Hamka menerjemahkan dengan kata pengikut sedangkan Quraish Shihab
menerjemahkan dengan kawan-kawan terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 121.
d. Sesembahan
Hamka menerjemahkan sebagai pelindung sedangkah Quraish Shihab
menerjemahkan dengan sesembahan yang terdapat dalam Surah Al-Jatsiyah ayat
109.
Dan juga terdapat beberapa perbedaan lainnya antara terjemahan Hamka dan
terjemahan Quraish Shihab. Dapat disimpulkan Hamka juga menerjemahkan tentunya
juga dengan beberapa ilmu yang udah ia dalami begitu juga dengan Qurasih Shihab tak
kalah hebatnya dalam ilmu yang ia dalami dalam bidang penafsiran. Dua-duanya juga
terkenal sebagai mufassir di Nusantara dan karya-karnya masih dapat kita baca hingga
saat ini.
D. Makna Kata Wali dan Auliya dalam Analisis Semantik Tosihiko Izutsu
Tosihiko Izutsu adalah seorang mufassir klasik yang dalam menafsirkan
al-Qur’an, Izutsu juga mengaplikasikan dan mengembangkan teori semantik.
Menurut Tosihiko Izutsu, semantik merupakan suatu kajian analisis terhadap
istilah-istilah kunci atau kata kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang
nantinya akan memunculkan hasil akhir pengertian konseptual Weltanschuung
atau pandangan masyarakat dunia yang tidak hanya menggunakan bahasa tersebut
sebagai alat bicara dan berfikir, melainkan yang lebih penting yaitu konsep dan
penafsiran dunia yang melingkupinya10.

8
Ibid, hal: 60-66.
9
Ibid, hal: 70-80.
Dalam penelitiannya, Izutsu selanjutnya melakukan kajian kesejarahan
atau historis dari suatu kosa kata dalam al-Qur’an. Hal ini dilakukan karena
beberapa alasan yang manjadikan diperlukannya kajian historis tersebut.
Semantik historis ini dapat dilakukan dengan dua cara di antaranya yaitu cara
diakronik dan sinkronik.
Dalam kajian diakronik makna kata Wali dan Auliya, Izutsu membaginya
dalam tiga periode waktu, yaitu antara lain :
1. Pra Qur’anik
Dalam periode pra-Qur’anik, media yang digunakan untuk memahami
makna dari kata Wali dan Auliya adalah syair-syair jahili yang berkembang
pesat sekitar abad ke 6 M. Pada periode ini terdapat syair-syair yang di
dalamnya menyebutkan kata wali dan auliya. Syair-syair tersebut di antaranya
sebagai berikut :
“Sungguh aku telah memastikan bahwa sumpah jawi dipegang oleh
sekelompok orang yang tidak menghilangkan darah saudaranya”.
“Engkaulah yang memiliki kebenaran, engkau memutuskan, engkaulah
yang memiliki ampunan karena ia pendosa”.
Jadi, dari kedua syair tersebut mengisyaratkan bahwa kata wali dan
auliya memiliki makna menguasai, orang yang berkuasa atas sesuatu.
2. Qur’anik
Makna kata wali dan auliya pada periode Qur’anik ini berbeda dengan
makna kata wali dan auliya pada periode sebelumnya yaitu periode pra-
Qur’anik. Pada periode ini, makna kata wali dibedakan dengan makna kata
auliya yakni dalam penggunaanya.
Pertama, penggunaan kata wali dalam bentuk mufrad yang maknanya
lebih banyak merujuk kepada Allah SWT., dan kata wali tersebut juga
merupakan salah satu bagian atau nama dari asmaul husna. Kata wali bagi
Allah SWT. memiliki arti pembela, penolong, pendukung, dan sebagainya.
Akan tetapi, pembelaan, dukungan, dan pertolongan dalam hal ini semuanya

10
Siti Fahimah, Al-Qur’an dan Semantik Toshihiko Izutsu (Pandangan dan Aplikasi dalam Pemahaman
Konsep Maqam), Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol. 2 No. 2, 2020, hal. 8
yang berakibat positif dan juga berkesudahan baik. Sebagaimana disebutkan
dalam QS. Al-Baqarah ayat 257 yang berbunyi :

ُ ‫ور ۖ َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا أَوْ لِيَا ُؤهُ ُم الطَّا ُغ‬


َ‫وت ي ُْخ ِرجُونَهُ ْم ِمن‬ ُّ َ‫هَّللا ُ َولِ ُّي الَّ ِذينَ آ َمنُوا ي ُْخ ِر ُجهُ ْم ِمن‬
ِ ‫الظلُ َما‬
ِ ُّ‫ت إِلَى الن‬
ِ َّ‫ك أَصْ َحابُ الن‬
َ‫ار ۖ هُ ْم فِيهَا خَالِ ُدون‬ َ ِ‫ت ۗ أُو ٰلَئ‬ ُّ ‫ور إِلَى‬
ِ ‫الظلُ َما‬ ِ ُّ‫الن‬

Artinya : “ Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan


mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan,
yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada egelapan
(kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya”.

Jadi, berdasarkan Firman Allah SWT. tersebut, terdapat perbedaan


antara kata wali dan auliya yang mana meskipun keduanya sama-sama
memiliki makna pelindung, tetapi kata wali tersebut menjadi pelindung bagi
orang yang beriman, sedangkan kata auliya menjadi pelindung bagi orang-
orang yang tidak beriman kepada Allah SWT.
Kedua, penggunaan kata wali dalam bentuk plural yaitu auliya, yakni
menunjukkan makna selain Allah SWT., seperti manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT. atau disebut wali Allah, manusia yang tidak
beriman kepada Allah SWT. atau bisa disebut wali setan. Adapun Firman
Allah SWT. yang menunjukkan wali Allah yaitu dalam QS. Yunus ayat 62-63
yang berbunyi :

ٌ ْ‫أَاَل إِ َّن أَوْ لِيَا َء هَّللا ِ اَل َخو‬


َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُون‬

Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada


kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”.
Sementara itu, dalam al-Qur’an wali setan disebutkan sebagaimana
dalam QS. An-Nisa’ ayat 76 sebagai berikut :
‫ت فَقَاتِلُوا أَوْ لِيَا َء‬
ِ ‫الَّ ِذينَ آ َمنُوا يُقَاتِلُونَ فِي َسبِي ِل هَّللا ِ ۖ َوالَّ ِذينَ َكفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي َسبِي ِل الطَّا ُغو‬
‫ض ِعيفًا‬ َ َ‫ال َّش ْيطَا ِن ۖ إِ َّن َك ْي َد ال َّش ْيطَا ِن َكان‬
Artinya : “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-
orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah
kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan
itu adalah lemah”.
Pada ayat di atas, diterangkan bahwa orang-orang yang mengikuti
thaghut merupakan orang-orang yang mengikuti wali setan, yakni wali yang
tidak seharusnya mereka ikuti.
Jadi, dalam periode Qur’anik ini, makna kata wali dan auliya di dalam
al-Qur’an yakni menunjukkan makna perlindungan, persekutuan,
pertolongan, kedekatan, persahabatan, kekerabatan. Selain itu, juga
menggambarkan adanya wali dan auliya dari Tuhan kepada ciptaan-Nya dan
sebaliknya, Tuhan kepada orang-orang yang beriman, wali dan auliya antara
sesama orang beriman, serta wali dan auliya antara setan dengan orang-orang
yang tidak beriman.
3. Pasca Qur’anik
Dalam periode pasca Qur’anik, kata wali dan auliya memiliki
perkembangan makna yang sesuai dengan berkembangnya sistem pemikiran
pada masa pasca Qur’anik ini. Menurut Toshihiko Izutsu, kata wali dan
auliya termasuk dalam salah satu dari tiga sistem yang menurutnya dapat
menggambarkan mengenai kata kunci pada masa pasca Qur’anik, yakni
sistem tasawuf. Kata wali dan auliya dalam tasawuf sering diartikan dengan
orang kudus, yakni orang yang berada di bawah perlindungan khusus atau
dalam literatur orientalis disebut dengan saint.
Menurut Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, kata wali dan auliya
dalam arti aktif yakni seseorang yang melaksanakan kepatuhan kepada Allah
SWT., sedangkan dalam arti pasif yakni orang yang diurutkan urusannya
(tuwulliya). Kata wali dan auliya menurut Fudhayl bin ‘Iyadh adalah karunia
dari Allah SWT. yang diberikan kepada sebagian hamba-Nya.
Sementara itu, penggunaan kata wali selain pada tasawuf, juga
berkaitan dengan fiqih atau hukum Islam. Dalam fiqih, perwalian merupakan
kewenangan atau kekuasaan untuk melaksanakan suatu transaksi atau akad
tanpa harus menunggu persetujuan orang lain. Dalam hal ini, perwalian juga
dibagi menjadi tiga, yakni perwalian harta, perwalian jiwa, serta perwalian
jiwa dan harta.

Adapun kajian sinkronik terhadap makna kata Wali dan Auliya ini
dilakukan dengan cara menelaah maknanya, baik dalam bentuk turunan ataupun
dalam bentuk dasar yang biasa disebut makna leksikal, maupun dalam bentuk
makna gramatikal yang terbentuk dari adanya pertautan antar unsur dalam suatu
bahasa atau biasa disebut makna relasional.

Untuk makna leksikal dari kata wali sendiri berdasarkan semua kata
turunannya yakni menunjukkan makna kedekatan. Sedangkan berdasarkan makna
relasionalnya, kata wali dalam al-Qur’an mempunyai banyak makna tergantung
konteks dari kata tersebut digunakan. Meskipun demikian, dimana makna
relasional berkembang, maka makna dasar dari kata tersebut akan selalu
mengikutinya11.

E. Kesimpulan
Dalam al-Qur’an, kata wali dan auliya tidak hanya dimaknai sebagai
pemimpin tetapi terdapat berbagai makna kata selain pemimpin. Seperti dalam
penerjemahan Hamka dan Quraish Shihab yang mana keduanya terdapat beberapa
persamaan maupun perbedaan dalam pemaknaan kata wali dan auliya. Berikut
persamaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan Quraish Shihab antara lain
pelindung, pemimpin, penolong, dan wali.
Sedangkan perbedaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan
Quraish Shihab yaitu :
1. Pelindung
Hamka menerjemahkan dengan pelindung dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan memimpin terdapat dalam Surah Al-A’raf ayat 155.
2. Pemimpin
Hamka menerjemahkan dengan pemimpin dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan pelindung terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 14.

11
Ismatilah, dkk., Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur’an (Suatu kajian dengan Pendekatan Semantik
Toshihiko Izutsu), Jurnal Diya al-Afkar Vol. 4 No. 02, 2016, hal. 45-51
3. Pengikut
Hamka menerjemahkan dengan kata pengikut sedangkan Quraish Shihab
menerjemahkan dengan kawan-kawan terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 121.
4. Sesembahan
Hamka menerjemahkan sebagai pelindung sedangkah Quraish Shihab
menerjemahkan dengan sesembahan yang terdapat dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 10.
Adapun makna kata wali dan auliya dalam analisis semantik Toshihiko Izutsu
yang dalam penelitiannya menerapkan kajian historis yakni melalui cara
diakronik dan sinkronik. Dalam kajian diakronik makna kata Wali dan Auliya,
Izutsu membaginya dalam tiga periode waktu, yaitu antara lain :
1. Pra Qur’anik
Dalam periode ini, makna kata wali dan auliya yakni menguasai, orang yang
berkuasa atas sesuatu.
2. Qur’anik
Pada periode ini, makna kata wali dibedakan dengan makna kata auliya yaitu
dalam penggunaanya.
3. Pasca Qur’anik
Dalam periode pasca Qur’anik, menurut Toshihiko Izutsu, kata wali dan
auliya termasuk dalam sistem tasawuf. Kata wali dan auliya dalam tasawuf
sering diartikan dengan orang kudus, yakni orang yang berada di bawah
perlindungan khusus atau dalam literatur orientalis disebut dengan saint.

Sementara itu, dalam kajian sinkronik terhadap makna kata Wali dan
Auliya menggunakan dua cara dalam menelaah maknanya, yaitu makna leksikal
dan makna gramatikal.

Anda mungkin juga menyukai