Kel. 10 Semantik Al-Qur'an
Kel. 10 Semantik Al-Qur'an
Disusun oleh :
2021
A. Pendahuluan
Kitab suci umat islam ini juga mengandung kemukjizatan dalam bahasa
isinya. Tidak ada seorangpun yang bisa membuat semisal al-qur’an meski hanya
satu ayat. Aspek kemukjizatan ini meliputi susunan kalimat-kalimatnya, kesesuain
di akhir ayatnya sampai kandungan dari setiap ayat-ayatnya. Semuanya tersusun
amat rapi dan indah. Bahkan ahli syair terkemuka pada zaman Rasulullah
Muhammad saw takjub ketika mendengar bacaan ayat-ayat al-qur’an.
2
Ismiyati Nur Azizah, skripsi : Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an : Studi Kasus Terjemahan
Hamka dan Quraish Shihab, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hal. 17-18
3
Ahmad Zaruni, Aspek Sosial Politik Penafsiran Auliya dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Lampung: UIN Raden
Intan Lampung, 2019), hal. 38-42
5. Pengaruh asing sebagai penyebab perubahab makna: banyak perubahan makna
disebabkan oleh suatu model asing.
6. Kebutuhan akan makna baru4.
Dari beberapa bentuk sebab perubahan makna demikian juga perubahan pada
setiap kata yang dilakukan oleh mufassir. Setiap tafsir pada umumnya dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sekitar yang dialami oeh si mufassir. Begitu juga halnya dengan kata
wali dan auliya’.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang persamaan kata wali dan
auliya’ menurut kita tafsir Al-Azhar karya Hamka dan Tafsir Al-Misbah karya Quraish
Shihab. Secara singkat profil Hamka. HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik
Karim Amrullah ia adalah mufassir kelahiran Sumatera Barat, 16 Februari 1908. Ayah
Hamka adalah pelopor gerakan muda Minangkabau yang biasa dipanggil dengan sebutan
buya. Usia 7 tahun Hamka dimasukkan ayahnya ke Sekolah Diniyah yang di bangun oleh
Zainuddin Labai El-Sanusi. Hamka memiliki keturunan ulama dan pengetahuan agama
yang luas dari kakeknya hingga turun ke ayahnya dan sampailah kepada Hamka yang
dikenal sebagai seorang mufassir asal Nusantara 5.
Karya Hamka lebih kurang ada 79 karya berbentuk tulisan salah satunya adalah
tafsir Al-Azhar yang ditulis oleh Hamka semasa ia dipenjara pada masa presiden
Soekarno Hatta yang berjumlah 30 jilid. Al-Qur’an adalah sebuah teks dimana banyak
cakupan makna yang harus dikaji lebih luas maka tentu saja seorang mufassir akan
mengkajinya juga dengan berbagai ilmu yang mumpuni. Mulai dari fiqih, politik,
ekonomi, tasawwuf dan lain-lain.
Dalam, buku yang ditulis oleh Yunan Yusuf yang berjudul Corak Pemikiran
Kalam Tafsir Al-Azhar dimana dalam buku ini diuraikan pengaruh pemikiran kalam atas
tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab. Dalam tafsir yang ditulis oleh Hamka ada
beberapa corak penafsiran, pertama Al-Qur’an adalah satuan komperehensif, dimana
setiap makna mempunyai keterkaitan. Kedua, lebih menekankan pesan-pesan pokok yang
ada dalam Al-Qur’an. Ketiga, menerangkan tentang munasabah. Keempat, sangat
berhati-hati terhadap cerita Islailliyat. Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut.
Keenam, memandang Al-Qur’an bukan hanya sekedar bacaan. Ketujuh, menitikberatkan
kondisi sosial. Kedelapan, menjelaskan tentang penetapan hukum. Kesembilan,
menjelaskan golongan surah madaniyah atau makiyah.
4
Ismiyati Nur ‘Azizah, Polisemi Wali Dalam Al-Qur’an : Studi Kasus Terjemahan Hamka dan Quraish
Shihab, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah), 2011, hal. 25-26.
5
Ibid, hal: 36-37.
Disini menurut Yunan Yusuf, Hamka telah menempuh tiga pendekatan dalam
tafsir yang ia tulis. Tafsir Al-Azhar karya Hamka adalah tafsir yang bersifat apa adanya
tekas yang diterjemahkan juga sesuai dengan struktur bahasa dan tidak menyimpang. Ada
juga penerjemahan bebas yang diikat dengan tarjamah harfiyyah. Adapun fungsi dari
tujuan terjemah ini agar pembaca dapat memahami pesan yang ingin penulis sampaikan
dengan struktur bahasa yang lebih mudah di pahami6.
Gambaran umum tentang tafsir Quraish Shihab adalah tafsir ini ditunjukkan
untuk orang awam meski karya ini sebenarnya buat orang terpelajar. Tafsir Al-Misbah
karya Quraish Shihab ini menggunakan metode tahlili yaitu menfasirkan ayat demi ayat
sesuai dengan mushaf utsmani. Tujuan dari metode tahlili sendiri adalah agar orang-
orang paham tentang Al-Qur’an dengan rinci. Meskipun menurut pandangannya metode
tahlili sangat banyak menghabiskan waktu.
Di sisi lain ia juga menulis tafsir maudhu’I yang lebih istimewa dan
menhgirdarkan dari metode-metode lainnya atau untuk menutupi kelemahan tafsir tahlili.
Kitab tafsir Al-Misbah bukanlah ijtihadnya sendiri tetapi ini adalah karya ulama
terdahulu dan kontemporer yang ditulis kembali oleh Quraish Shihab. Metode dalam
tafsir Al-Misbah adalah gabungan metode maudhu’I dan tahlili karena menurutnya selain
harus menjelaskan lebih rinci melalui metode tahlili ia juga harus mengelompokkan ayat
sesuai tema tertentu melalui metode maudhu’i.
Kelebihan dari metode maudhu/I adalah pembaca dapat membaca penafsiran
secara waktu lebih singkat dalam memahami isi Al-Qur’an. Metode ini juga akan lebih
rinci dalam membahas topic yang masih berkaitan dengan cara yang lebih praktis dan
sistematis. Corak tafsir Al-Misbah juga termasuk corak adab ijtima’I atau
kemasyarakatan. Dimana ayat-ayat yang dijelaskan sesuai peran masyarakat dalam
kehidupan sosial dan disajikan dengan bahasa yang mudah tetapi tetap indah. Ini juga
mengeluarkan kita dari satu masalah dan menemukan solusi yang tepat. 7
Berikut persamaan dan perbedaan kata Wali dan Auliya’ dalam penerjemahan
Hamka dan Quraish Shihab :
1. Persamaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan Quraish Shihab
a. Pelindung: At-Taubah74, dan 116, Az-Zumar 3, Fussilat 31, Saba’ 41, Ar-Rad 16,
Yusuf 101, Ahzab 17 dan 65, Asy-Syura 6,8dan 9.
b. Pemimpin: Al-A’raf 27, Al-Kahfi 50, At-Taubah 23, dan An-Nahl 63.
6
Ibid, hal:45-46.
7
Ibid, hal: 54-57.
c. Penolong: Al-Isra 111, Sajadah 4, dan Hud 3.
d. Wali: Al-Isra 33, Yunus 62, An-Nisa 45 da An-Naml 498.
2. Perbedaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan Quraish Shihab
a. Pelindung
Hamka menerjemahkan dengan pelindung dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan memimpin terdapat dalam Surah Al-A’raf ayat 155.
b. Pemimpin
Hamka menerjemahkan dengan pemimpin dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan pelindung terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 14.
c. Pengikut
Hamka menerjemahkan dengan kata pengikut sedangkan Quraish Shihab
menerjemahkan dengan kawan-kawan terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 121.
d. Sesembahan
Hamka menerjemahkan sebagai pelindung sedangkah Quraish Shihab
menerjemahkan dengan sesembahan yang terdapat dalam Surah Al-Jatsiyah ayat
109.
Dan juga terdapat beberapa perbedaan lainnya antara terjemahan Hamka dan
terjemahan Quraish Shihab. Dapat disimpulkan Hamka juga menerjemahkan tentunya
juga dengan beberapa ilmu yang udah ia dalami begitu juga dengan Qurasih Shihab tak
kalah hebatnya dalam ilmu yang ia dalami dalam bidang penafsiran. Dua-duanya juga
terkenal sebagai mufassir di Nusantara dan karya-karnya masih dapat kita baca hingga
saat ini.
D. Makna Kata Wali dan Auliya dalam Analisis Semantik Tosihiko Izutsu
Tosihiko Izutsu adalah seorang mufassir klasik yang dalam menafsirkan
al-Qur’an, Izutsu juga mengaplikasikan dan mengembangkan teori semantik.
Menurut Tosihiko Izutsu, semantik merupakan suatu kajian analisis terhadap
istilah-istilah kunci atau kata kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang
nantinya akan memunculkan hasil akhir pengertian konseptual Weltanschuung
atau pandangan masyarakat dunia yang tidak hanya menggunakan bahasa tersebut
sebagai alat bicara dan berfikir, melainkan yang lebih penting yaitu konsep dan
penafsiran dunia yang melingkupinya10.
8
Ibid, hal: 60-66.
9
Ibid, hal: 70-80.
Dalam penelitiannya, Izutsu selanjutnya melakukan kajian kesejarahan
atau historis dari suatu kosa kata dalam al-Qur’an. Hal ini dilakukan karena
beberapa alasan yang manjadikan diperlukannya kajian historis tersebut.
Semantik historis ini dapat dilakukan dengan dua cara di antaranya yaitu cara
diakronik dan sinkronik.
Dalam kajian diakronik makna kata Wali dan Auliya, Izutsu membaginya
dalam tiga periode waktu, yaitu antara lain :
1. Pra Qur’anik
Dalam periode pra-Qur’anik, media yang digunakan untuk memahami
makna dari kata Wali dan Auliya adalah syair-syair jahili yang berkembang
pesat sekitar abad ke 6 M. Pada periode ini terdapat syair-syair yang di
dalamnya menyebutkan kata wali dan auliya. Syair-syair tersebut di antaranya
sebagai berikut :
“Sungguh aku telah memastikan bahwa sumpah jawi dipegang oleh
sekelompok orang yang tidak menghilangkan darah saudaranya”.
“Engkaulah yang memiliki kebenaran, engkau memutuskan, engkaulah
yang memiliki ampunan karena ia pendosa”.
Jadi, dari kedua syair tersebut mengisyaratkan bahwa kata wali dan
auliya memiliki makna menguasai, orang yang berkuasa atas sesuatu.
2. Qur’anik
Makna kata wali dan auliya pada periode Qur’anik ini berbeda dengan
makna kata wali dan auliya pada periode sebelumnya yaitu periode pra-
Qur’anik. Pada periode ini, makna kata wali dibedakan dengan makna kata
auliya yakni dalam penggunaanya.
Pertama, penggunaan kata wali dalam bentuk mufrad yang maknanya
lebih banyak merujuk kepada Allah SWT., dan kata wali tersebut juga
merupakan salah satu bagian atau nama dari asmaul husna. Kata wali bagi
Allah SWT. memiliki arti pembela, penolong, pendukung, dan sebagainya.
Akan tetapi, pembelaan, dukungan, dan pertolongan dalam hal ini semuanya
10
Siti Fahimah, Al-Qur’an dan Semantik Toshihiko Izutsu (Pandangan dan Aplikasi dalam Pemahaman
Konsep Maqam), Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol. 2 No. 2, 2020, hal. 8
yang berakibat positif dan juga berkesudahan baik. Sebagaimana disebutkan
dalam QS. Al-Baqarah ayat 257 yang berbunyi :
Adapun kajian sinkronik terhadap makna kata Wali dan Auliya ini
dilakukan dengan cara menelaah maknanya, baik dalam bentuk turunan ataupun
dalam bentuk dasar yang biasa disebut makna leksikal, maupun dalam bentuk
makna gramatikal yang terbentuk dari adanya pertautan antar unsur dalam suatu
bahasa atau biasa disebut makna relasional.
Untuk makna leksikal dari kata wali sendiri berdasarkan semua kata
turunannya yakni menunjukkan makna kedekatan. Sedangkan berdasarkan makna
relasionalnya, kata wali dalam al-Qur’an mempunyai banyak makna tergantung
konteks dari kata tersebut digunakan. Meskipun demikian, dimana makna
relasional berkembang, maka makna dasar dari kata tersebut akan selalu
mengikutinya11.
E. Kesimpulan
Dalam al-Qur’an, kata wali dan auliya tidak hanya dimaknai sebagai
pemimpin tetapi terdapat berbagai makna kata selain pemimpin. Seperti dalam
penerjemahan Hamka dan Quraish Shihab yang mana keduanya terdapat beberapa
persamaan maupun perbedaan dalam pemaknaan kata wali dan auliya. Berikut
persamaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan Quraish Shihab antara lain
pelindung, pemimpin, penolong, dan wali.
Sedangkan perbedaan kata wali dan auliya’ dalam terjemahan Hamka dan
Quraish Shihab yaitu :
1. Pelindung
Hamka menerjemahkan dengan pelindung dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan memimpin terdapat dalam Surah Al-A’raf ayat 155.
2. Pemimpin
Hamka menerjemahkan dengan pemimpin dan Quraish Shihab menerjemahkan
dengan pelindung terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 14.
11
Ismatilah, dkk., Makna Wali dan Auliya’ dalam Al-Qur’an (Suatu kajian dengan Pendekatan Semantik
Toshihiko Izutsu), Jurnal Diya al-Afkar Vol. 4 No. 02, 2016, hal. 45-51
3. Pengikut
Hamka menerjemahkan dengan kata pengikut sedangkan Quraish Shihab
menerjemahkan dengan kawan-kawan terdapat dalam Surah Al-An’am ayat 121.
4. Sesembahan
Hamka menerjemahkan sebagai pelindung sedangkah Quraish Shihab
menerjemahkan dengan sesembahan yang terdapat dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 10.
Adapun makna kata wali dan auliya dalam analisis semantik Toshihiko Izutsu
yang dalam penelitiannya menerapkan kajian historis yakni melalui cara
diakronik dan sinkronik. Dalam kajian diakronik makna kata Wali dan Auliya,
Izutsu membaginya dalam tiga periode waktu, yaitu antara lain :
1. Pra Qur’anik
Dalam periode ini, makna kata wali dan auliya yakni menguasai, orang yang
berkuasa atas sesuatu.
2. Qur’anik
Pada periode ini, makna kata wali dibedakan dengan makna kata auliya yaitu
dalam penggunaanya.
3. Pasca Qur’anik
Dalam periode pasca Qur’anik, menurut Toshihiko Izutsu, kata wali dan
auliya termasuk dalam sistem tasawuf. Kata wali dan auliya dalam tasawuf
sering diartikan dengan orang kudus, yakni orang yang berada di bawah
perlindungan khusus atau dalam literatur orientalis disebut dengan saint.
Sementara itu, dalam kajian sinkronik terhadap makna kata Wali dan
Auliya menggunakan dua cara dalam menelaah maknanya, yaitu makna leksikal
dan makna gramatikal.