OLEH
CICI IMAYANTI
(G2I1 19 014)
i
KATA PENGANTAR
Cici Imayanti
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .........................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
vii
DAFTAR ISI .........................................................................................................
x
iii
3.5.Teknik Pengumpulan Data...........................................................................
37
3.6.Uji Keabsahan Data.....................................................................................
38
3.7.Teknik Analisis Data...................................................................................
39
3.8.Prosedur Penelitian......................................................................................
43
LAMPIRAN...........................................................................................................
45
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
47
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
keterampilan (Burhan, 2011: 58). Selanjutnya Burhan (2011: 75) menyatakan bahwa,
penguatan proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan scientific, yaitu
pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya,
mencoba/mengumpulkan data, mengasosiasi/menalar, dan mengomunikasikan. Salah
satu dari lima langkah tersebut adalah mengamati. Pada langkah mengamati, guru
menyajikan masalah-masalah otentik yang berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari
siswa termasuk budaya daerahnya. Pembimbingan dalam pengenalan budaya juga
termasuk dalam pembelajaran yang kontekstual selain untuk menanamkan jiwa
nasionalis, pembentukkan karakter, juga membantu siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuan awal mereka ke dalam pembelajaran matematika.
Pendidikan dan budaya merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan
seperti dua sisi pada mata uang. Budaya merupakan kebiasaan masyarakat yang
terjadi secara turun temurun yang menjadi identitas dari suatu daerah. Pernyataan
tersebut sejalan dengan E. B. Tylor yang menyatakan budaya merupakan keseluruhan
aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-
istiadat, dan kebiasaan kebiasaan lain (Ratna, 2005). Sedangkan Pendidikan
merupakan kebutuhan yang hakiki dari masyarakat karena selama manusia hidup
manusia akan terus belajar (long life education). Daoed Joesoef (dalam Putri, 2017)
menyatakan bahwa kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkait dengan
budaya. Artinya apapun itu namanya, macamnya, maupun isinya dari suatu kebiasaan
masyarakat yang terkait dengan budaya (Sulistyani, dkk ) disebut dengan kebudayaan.
Salah satu alternatif yang dapat mengaitkan budaya dengan matematika yaitu
etnomatematika. Seperti yang diungkapkan Wahyuni et.al (2013) mengatakan bahwa
salah satu yang dapat menjembatani pendidikan dan budaya khususnya pendidikan
matematika adalah etnomatematika. Tanpa disadari masyarakat telah melakukan
berbagai aktivitas dengan meggunakan konsep dasar matematika dan ide-ide
matematis
2
Menurut Tandiling (2013), etnomatematika adalah matematika yang
diterapkan oleh kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anakanak dari
masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas profesional ,dan sebagainya. Jika dipandang
dari sudut pandang riset maka etnomatematika dapat didefinisikan sebagai
antropologi budaya (cultural antropology of mathematics) dari matematika dan
pendidikan matematika.
Menurut D’Ambrosio (Puspadewi dan Putra, 2014), matematika yang
dibelajarkan di sekolah dikenal dengan academic mathematics, sedangkan
etnomatematika merupakan matematika yang diterapkan pada kelompok budaya yang
teridentifikasi seperti masyarakat, suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok
usia tertentu, kelas profesional, dan lain sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
etnomatematika merupakan matematika yang muncul sebagai akibat pengaruh
kegiatan yang ada di lingkungan yang dipengaruhi oleh budaya.
Etnomatematika adalah suatu ilmu yang digunakan untuk memahami
bagaimana matematika diadaptasi dari sebuah budaya. Etnomatematika menyajikan
konsep matematika dengan cara menanamkan konsep-konsep yang terkait dengan
pengalaman budaya di sekitar siswa. Dalam etnomatematika kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan masyarakat tidak terlepas dari penerapan konsep matematika di
dalamnya, sehingga menghasilkan hasil yang unik dan beragam. Tanpa disadari
masyarakat telah melakukan berbagai aktivitas dengan meggunakan konsep dasar
matematika dan ide-ide matematis. Misalnya, aktivitas berhitung dengan
menyebutkan suatu bilangan, aktivitas mengukur (panjang, luas, volume, dan berat),
kesenian, permainan, aktivitas jual beli (menghitung uang kembalian, laba atau rugi,
dan sebagainya), dan arsitektur bangunan (Rumah Adat). Konsep dasar tersebut telah
mereka pelajari di bangku sekolah dasar. Ide-ide matematis mulai dipandang oleh
para ahli pendidikan matematika sebagai suatu hal yang penting. Sifat matematika
cenderung linier dan kaku tetapi apabila diintegrasikan dengan sesuatu yang soft
seperti budaya, maka pemikiran itu menjadi lentur (Wahyuni, et.al (2013).
3
Hal ini terlihat dari bentuk hasil budaya yang ada di Indonesia seperti
kesenian, bentuk-bentuk bangunan berupa rumah adat, ukiran, dan perhiasan. Dengan
menghadirkan unsur-unsur etnomatematika dalam pembelajaran matematika
diharapkan dapat memberikan nuansa baru bahwa belajar matematika tidak hanya
terkungkung di dalam kelas. Siswa dapat mempelajari matematika dengan
mengunjungi dunia luar dan berinteraksi dengan kebudayaan setempat yang menjadi
objek etnomatematika. Objek etnomatematika merupakan objek budaya yang
mengandung konsep matematika pada suatu masyarakat tertentu, salah satunya yaitu
rumah adat.
Rumah adat merupakan bangunan yang melambangkan sebuah kebudayaan
dan masyarakat setempat suatu daerah. Rumah adat menjadi salah satu bentuk
representasi budaya suatu kelompok budaya masyarakat pada daerah tertentu. Sampai
saat ini masih banyak suku atau daerah di Indonesia yang tetap mempertahankan
rumah adat sebagai usaha untuk memelihara nilai-nilai budaya agar tidak tergeser
oleh budaya modernisasi. Dalam kebudayaan rumah adat, terdapat etnomatematika
yang diterapkan masyarakat pada kehidupan sehari-hari, dan tanpa disadari hal
tersebut merupakan sumber atau dasar dari matematika yang ada pada daerah
tertentu, termasuk pada masyarakat suku Tolaki.
Kajian tentang etnomatematika telah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya
adalah penelitian yang dilakukan Herno (2016: 1) yang memfokuskan pada bentuk
rumah adat Buton dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat buton
menggunakan konsep-konsep matematika seperti konsep persegi panjang, segitiga,
sudut, dan perbandingan. Penelitian Heryanto dkk (2016: 420), yang berfokus pada
model simpul yang digunakan dalam bingkai Rumah Kaki Seribu, yang menunjukkan
bahwa masyarakat suku Arfak menggunakan karakteristik segitiga. Oleh karena itu,
penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara
matematika dan budaya tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain, tetapi
tidak semua matematika yang ditemukan dalam budaya dapat digunakan dalam
pembelajaran matematika formal.
4
Sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia hingga saat ini yaitu
kurikulum 2013, menerapkan pembelajaran yang dapat menyentuh aspek kehidupan
sehari-hari siswa sangatlah penting. Dari sekian banyak permasalahan yang ada pada
siswa dalam memahami matematika, salah satu upaya mendasar yang dapat dilakukan
adalah memperbaiki proses pembelajaran di sekolah yang bertujuan membantu siswa
memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan siswa dalam lingkungan sosial dan
budaya masyarakat, khususnya dengan meningkatkan kemampuan menalar,
memecahkan masalah, berargumentasi dan berkomunikasi melalui bahan
pembelajaran yang lebih kontekstual.
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengaitkan matematika dan budaya yang
terdapat pada arsitektur bangunan rumah adat Tolaki. Selain menggali kebiasaan-
kebiasaan masyarakat Tolaki juga diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa dalam
melakukan proses pembelajaran Matematika sehingga mudah diterima dan lebih
menarik, mampu memperkenalkan kebudayaan kepada orang lain sehingga mampu
menimbulkan rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri, serta memiliki kepedulian
untuk melestarikannya dan membuat proses pembelajaran matematika lebih menarik.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji tentang
etnomatematika budaya Tolaki dalam etnik rumah adat sebagai suatu kajian khusus
tentang matematika yang dimiliki dan dipraktikkan, serta diharapkan dapat menjadi
rujukan pembelajaran matematika di sekolah.
5
jenis rumah adat Tolaki, konsep-konsep matematika yang terkandung pada rumah
adat Tolaki, dan nilai-nilai matematika yang terkandung pada rumah adat Tolaki
6
Menambah wawasan peneliti mengenai; jenis-jenis rumah adat Tolaki, makna
dari setiap jenis rumah adat Tolaki, matematika yang terkandung pada setiap
jenis rumah adat Tolaki, nilai matematika yang terkandung pada setiap jenis
rumah adat Tolaki, dan penggunaan nilai-nilai matematika yang terkandung
pada setiap jenis rumah adat Tolaki dalam pembelajaran di sekolah.
2) Bagi Lembaga Pendidikan
(1) Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas lembaga
pendidikan yang ada, termasuk para pendidik yang ada di dalamnya, dan
penentu kebijakan dalam lembaga pendidikan, serta pemerintah secara
umum.
(2) Dapat menjadi pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan
pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia sebagai solusi
terhadap permasalahan pendidikan yang ada.
3) Bagi Peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan membuat dan menerapkan soal-soal
dari matematika yang terkandung pada setiap jenis rumah adat Tolaki dalam
pembelajaran di sekolah.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Eksplorasi
2.2. Matematika
8
Hal tersebut menyebabkan tidak ada satu pengertian atau pendefinisian
matematika yang disepakati oleh semua ahli matematika. Menurut Soedjadi
(2000:11), beberapa definisi matematika antara lain:
a. matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara
sistematik;
b. matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi;
c. matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan
dengan bilangan;
d. mtematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah
tentang ruang dan bentuk;
e. matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik;
f. matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat
Menurut Ekawati (2011), matematika berfungsi sebagai pengembangan dari
kemampuan mengukur , berhitung, menurunkan rumus, dan menggunakan rumus
matematika dalam kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar,
peluang dan statistika. Menurut Soedjadi (2000: 13), beberapa karakteristik
matematika adalah memiliki objek kajian abstrak, bertumpu pada kesepakatan,
berpola pikir deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan
semesta pembicaraan dan konsisten dalam sistemnya. Karakteristik tersebut yang
menjadi pembeda antara matematika dengan ilmu pengetahuan lain. Matematika
merupakan ilmu pasti karena sudah terdapat kesepakatan terlebih dahulu melalui
istilah ataupun konsep-konsep.
Banyaknya pendapat dari para ahli yang mendefinisikan matematika harus
digunakan secara proporsional. Tidak boleh hanya mementingkan keberadaan simbol-
simbol saja tanpa memperhatikan struktur yang terkait. Tidak hanya mementingkan
penalaran saja tanpa mempertimbangkan rumus-rumus dan aturan-aturan matematika
yang sudah ada. Matematika juga tidak hanya menerima keberadaan teori-teori yang
ada, tetapi juga harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan ide-ide kreatif
9
dan penalaran. Selain itu matematika juga bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-
hari.
2.3. Etnomatematika
Istilah ethnomathematics yang selanjutnya disebut etnomatematika
diperkenalkan pertama kali oleh D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada
tahun 1977. Definisi etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah:
The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the
sosialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of
behavior, myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but
tends to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as
ciphering, measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is
derived from techné, and has the same root as technique (Astri, dkk, 2013: 4).
Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas
yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku,
mitos, dan simbol. Kata dasar “mathema” cenderung berarti menjelaskan,
mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur,
mengklasifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran “tics “berasal dari techne,
dan bermakna sama seperti teknik.
Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai "The mathematics
which is practiced among identifiable cultural groups such as national-tribe
societies, labour groups, children of certain age brackets and professional classes".
Maksud dari kalimat tersebut, yaitu “Matematika yang dipraktikkan di antara
kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh,
anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional" (D'Ambrosio, 1985:
44). Istilah tersebut kemudian disempurnakan menjadi “I have been using the word
ethnomathematics as modes, styles, and techniques (tics) of explanation, of
understanding, and of coping with the natural and cultural environment (mathema)
in distinct cultural systems (ethno)", Maksudnya ialah "Saya telah menggunakan kata
10
Etnomatematika sebagai ragam (cara, bentuk), gaya, dan teknik (tics) menjelaskan,
memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem
budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio, 1999, 146).
Dari definisi tersebut etnomatematika dapat diartikan sebagai matematika telah
dipraktikkan oleh kelompok budaya, seperti masyarakat perkotaan dan pedesaan,
kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakat adat, dan
lainnya. D'Ambrosio (1985: 44) menyatakan bahwa, tujuan dari adanya
etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam
melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika
akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan
mempertimbangkan modus yang berbeda di mana budaya yang berbeda
merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung,
mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).
Dengan demikian, berdasarkan uraian penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa etnomatematika merupakan aktivitas matematika yang timbul berdasarkan
budaya masyarakat. Selain itu, etnomatematika juga menggunakan konsep
matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika, meliputi
aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat,
bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya.
11
guru lebih menekankan mengajar alat, guru menyampaikan atau menunjukkan alat
itu, bagaimana alat itu dipakai, bagaimana anak belajar menggunakannya, tanpa tahu
bagaimana alat itu dibuat ataupun tanpa mengkritisi mengapa alat itu dipakai.
Bahkan, tidak sedikit guru yang terpancing untuk memenuhi target nilai ujian yang
tinggi sehingga banyak nilai-nilai lain yang jauh lebih penting bagi siswa terlupakan.
Proses pendidikan matematika seperti itu sangat memungkinkan anak hanya
mengahafal tanpa mengerti, padahal semestinya boleh menghafal hanya setelah
mengerti. Setidaknya, terdapat tujuh nilai yang dapat kita sampaikan kepada siswa
atau mereka yang sedang belajar matematika, diantaranya:
12
2.4.2. Nilai Disiplin
Nilai disiplin matematika tumbuh akibat penerapan aturan berupa aksioma,
rumus atau dalil secara ketat dalam belajar matematika, sehingga membentuk pola
pikir yang disiplin, sistematis dan teratur. Kebiasaan siswa menganalisis dengan teliti
suatu situasi sebelum pengambilan keputusan sangat membantu dalam situasi hidup
yang kompleks, dimana pengambilan keputusan menjadi makin sulit. Contohnya
kebiasaan masyarakat dalam melestarikan kelestarian budaya tanpa merubah bentuk
maupun ukuran misalkan pembuatan makanan tradisional, rumah adat, baju
tradisional, dan lain-lain.
2.4.3. Nilai Budaya
Nilai budaya matematika terpancar dari peran matematika dalam dunia seni,
serta penampakan matematika dalam menunjukkan tingkat peradaban manusia. Cara
hidup masyarakat sangat besar ditentukan oleh kemajuan teknologi dan sains, yang
pada gilirannya tergantung pada kemajuan dan perkembangan matematika. Oleh
karena itu perubahan gaya hidup dan begitu pula budaya secara kontinu terpengaruhi
oleh kemajuan matematika. Selain itu, matematika juga membantu dalam
pemeliharaan dan perubahan tradisi budaya kita. Seperti cara bertingkah laku,
berpakaian, makan, minum, membesarkan anak dan menjaga hubungan sosialnya.
Contohnya dikaitkan antara pembelajaran matematika dengan nilai budaya ialah
pengguanaan konsep rumus dasar matematika seperti konsep perkalian, pembagian,
perpangkatan, penentuan luas persegi, segitiga, dan lain-lain.
13
menjadi bagian masyarakat, kontribusi apa yang dapat dia berikan bagi kemajuan
masyarakat, dan sebagus apa dia dapat diuntungkan oleh masyarakat.
2.4.5. Nilai Moral
Nilai moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau
menyangkut hukum adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku manusia. Menurut
Hurlock (1990: 3), perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan kode moral
kelompok sosial. Moral sendiri berarti tata cara, kebiasaan dan adat. Nilai moral
dalam kehidupan sosial meliputi sikap dan perilaku religius, jujur, toleransi, disiplin
kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu. Hal tersebut juga sejalan dengan
penanaman nilai moral dalam pembelajaran matematika. Contoh dalam pembelajaran
matematika yang menanamkan nilai moral yaitu matematika membantunya dalam
analisis objektif, memberikan alasan yang benar, mandiri dalam mengerjakan, rasa
ingin tahu yang tinggi, memberikan kesimpulan yang valid (sah) dan pertimbangkan
keputusan dengan tepat.
2.4.6. Nilai Estetika (Seni/Keindahan)
Estetika adalah bentuk/pola yang ditunjukan dengan suatu perasaan yang
ditunjukkan dengan rasa senang/tidak terhadap suatu benda. Menurut Effendy (1993:
88), estetika dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang
mengandung pola. Dimana, pola tersebut mempersatukan bagian-bagian yang
mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan keindahan.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari misalnya bentuk kerapian dan kecantikan
seseorang, yang dapat menyentuh emosi kita seperti musik dan seni yang dapat
mencapai kedalaman jiwa dan membuat kita merasa benar-benar hidup.
14
matematis adalah ia memampukan seseorang membangun imajinasinya, menajamkan
intelektualitasnya dan mengukir rasa puas pada pikirannya. Untuk beberapa praktisi
matematik, kesenangan harian menguraikan hubungan matematis yang aneh selalu
menjadi hal yang menghibur. Dalam dunia yang sudah melek teknologi ini, kita tidak
dapat memikirkan suatu masyarakat yang bebas matematika. Masyarakat harus
membuka mata dan mengakui kebaikan dan manfaat matematika. Harus ada
pergeseran dari matematika yang cuma digeluti guru dan akademisi menuju ke
matematika yang memasyarakat, yaitu matematika yang tidak hanya diajarkan tetapi
juga dibelajarkan, khususnya dalam hal nilai sosial-budayanya.
2.5. Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata latin Coler, yaitu mengolah atau mengajarkan.
Biasa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata Culture juga kadang
diartikan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kebudayaan
adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat.
Budaya merupakan kebiasaan khas yang dilakukan oleh suatu kelompok
dimana seluruh aktivitas didalamnya dilakukan secara terun temurun. Budaya sebagai
keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat istiadat, dan kebiasan-kebiasan lain (Ratna, 2005: 5). Sedangkan
menurut ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985: 5). Hal tersebut mengartikan
bahwa hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena
hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
15
tidak memerlukan belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah
mengartikan budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat.
Budaya adalah keseluruhan aktivitas manusia yang dilakukan secara turut
temurun yang berupa suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian
dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan
memberikan penilaian-penilaiannya tentang suatu pola dan ditransmisikan secara
historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik. Seorang antropolog Inggris
Havilland (1985: 332) menyatakan bahwa, kultur adalah keseluruhan yang kompleks
termaksud di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat dan
segala kemampuan dan kebiaasan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah, yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat (Ranjabar,
2006: 21). Oleh sebab itu, kebudayaan yang telah dilakukan oleh sekelompok
masyarakat haruslah dilestarikan.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termaksud sistem agama dan politik, adat istiadat,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah
suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak
aspek budaya turut menentukan prilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini
tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial budaya.
16
Unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam
kebudayaan semua bangsa yang tersebar diberbagai penjuru dunia (Koentjaraningrat
2008: 181). Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah
1. sistem bahasa,
2. sistem pengetahuan,
3. sistem sosial,
4. sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. sistem mata pencarian hidup,
6. sistem religi, dan
7. kesenian.
17
(pikiran) manusia dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Sebagaimana diungkapkan
oleh Prabowo (2010: 89), matematika adalah konstruksi budaya manusia. Hal ini
menyimpulkan bahwa matematika merupakan produk budaya yang merupakan hasil
abstraksi pikiran manusia, serta alat pemecahan masalah.
18
Sedangkan kemungkinan akan sebagian kecil siswa yang belum mengetahui tentang
model matematika tersebut, walaupun dalam lingkungan budayanya sudah ada, siwa
akan merasa tertantang untuk mencari tahu keberadaan dan wujud benda tersebut,
apakah benar sesuai dengan apa yang telah guru sampaikan merupakan salah satu
model matematika materi yang telah mereka pelajari atau tidak. Secara tidak
langsung hal ini memberikan motivasi belajar untuk lebih memahami materi ajar
yang telah guru sampaikan sekaligus mengenal lingkungan budayanya.
Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan mentranfer pengetahuan dari guru ke siswa. Selain itu
salah satu cara memanfaatkan pengetahuan etnomatematika dalam pembelajaran di
sekolah adalah dengan menjadikan pengetahuan tentang etnomatematika tersebut
sebagai bahan rujukan dalam penyampaian materi maupun pembuatan soal-soal
pemecahan masalah kontekstual yang sesuai dengan latar belakang budaya siswa.
19
mengemukakan bahwa suku Tolaki mempunyai pertalian erat dengan suku-suku di
sekeliling danau-danau Malili dan di Mori dan berdasarkan penelitian yang kemudian
dilakukan oleh C. Kruyt, hampir pasti dapat diterima bahwa suku bangsa Tolaki
termasuk suku induk Mori yang dalam perpindahannya datang dari utara menuju
selatan menempati dan menduduki tempatnya sekarang. Pergeseran tempat tinggal
menyusur sungai Lasolo yang sumber-sumbernya terdapat di danau Towuti. ( 10,
428). Berdasarkan penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini, apa yang dikemukakan
oleh Alb. C. Kruyt dapat diahggap benar.
20
sendiri. Pada saat memisahkan diri, biasanya mereka memperoleh sebagian hasil
panen (pertanian) sebagai modal bagi kehidupan rumah tangga mereka selanjutnya.
Di kalangan suku bangsa Tolaki, ayah dipanggil ama, ibu dipanggil ina dan
ana untuk anak. Dalam suatu keluarga batih terjalinlah hubungan dan kerja sama
yang harmonis antara ayah, ibu dan anak-anak dalam semua aspek kehidupan. Ayah
adalah kepala rumah tangga yang berkewajiban untuk me ncari nafkah hidup. Dalam
hal tertentu peranan ini dapat diganti oleh si ibu, bila si ayah sakit dan tidak sanggup
bekerja atau karena meninggal dunia.
Ibu berkewajiban untuk mengatur rumah tangga dan mengasuh anak-anak.
Pada prinsipnya orang tua (ayah dan ibu) bertanggung jawab terhadap kehidupan
rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak.
Anak-anak wajib menghormati orang tua dan wajib membantu orang tua, bila
mereka sudah sanggup untuk bekerja. Mereka berhak terhadap pemeliharaan dan
pendidikan dari pihak orang tua, hingga mereka sanggup untuk berdiri sendiri.
Kesatuan kekerabatan dari beberapa 'keluarga batih yang disebut keluarga
luas nampak juga di kalangan suku Tolaki. Keluarga-keluarga batih ini mempunyai
hubungan yang sangat erat karena seketurunan. Dalam keluarga luas semacam ini,
biasanya ada seseorang atau beberapa orang yang dianggap senior (yang dituakan).
Mereka ini berfungsi untuk mengatur setiap segi, kehidupan dari anggota keluarga
luas, baik dalam kehidupan ekonomi maupun dalam kehidupan kemasyarakatan
(kelahiran, perkawinan, kematian dan lain-lain).
Selanjutnya adalah sistem kekerabatan yang disebut meombue (mbue =
nenek). Yang termasuk di dalamnya adalah semua individu yang mengelompok
dalam ikatan hubungan antara. semua kakek dan semua nenek (baik saudara kandung
maupun saudaia sepupu sampai tiga kali dari kakek; dan nenek) dengan semua cu cu/
cici (baik saudara kandung maupun saudara sepupu sampai tiga kali dari cucu/cici).
Hubungan kekerabatan tersebut biasa juga disebut aso iwoi arid.a ( aso = satu, iwoi =
air, ariaa = asal), maksudnya berasal dari satunenek moyang (14, 51).
21
2.8.4. Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan
Sebelurn menganut agama Islam dan Kristen, suku bangsa Tolaki mempunyai
kepercayaan kepada dewa-dewa yang menguasai alam dan kehidupan. Di samping itu
ada kepercayaan kepada makhluk halus, kekuatan gaib, kekuatan sakti dan
sebagainya.
Di kalangan suku bangsa Tolaki dewa dikenal dengan istilah Sangia. Ada tiga
sangia utama, yakni:
1) Sangia mbuu (dewa pokok) sebagai pencipta alam.
2) Sangia wonua (dewa negeri) yang memelihara alam.
3) Sangia mokora (dewa pemusnah alam).
Sampai sekarang sisa-sisa kepercayaan itu masih ada. Karena itu upacara-
upacara tertentu yang dilaksanakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu
masih dilakukan. Sehubungan dengan arsitektur tradisional, ada upacara untuk
memilih tempat yang baik untuk pembangunan rumah tinggal dan bangunan-
bangunan lain. Juga ada upacara pada saat mendirikan bangunan, setelah bangunan.
selesai, dan upacara memasuki rumah baru. Tujuan dari pada segala upacara tersebut
adalah sebagai tolak bala, agar penghuni rumah dapat hidup sehat dan tentram,
banyak rejeki dan jauh dari segala penyakit dan malapetaka.
Dengan masuknya agama (Islam dan Kristen) maka upacara-upacara tersebut
disesuaikan dengan tata cara agama yang dianut, sebagai permohonan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, agar penghuni rumah dapat hidup aman dan tentram, banyak rejeki
dan terhindar dari segala macam penyakit dan mara bahaya.
Ada pengetahuan masyarakat terhadap hal-hal tertentu, yaitu pengetahuan
mengenai waktu yang baik dan buruk, terhadap alam tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya. Karena itu dalam semua kegiatan selalu dihubungkan dengan sistem
pengetahuan yang mereka miliki.
Sehubungan dengan kegiatan - untuk membangun rumah tinggal dan
bangunan-bangunan lain, harus dipilih tempat dan waktu. yang baik. Demikian pula
dalam kegiatan mengumpulkan bahan/ramuan rumah, harus dipilih wakti.l yang baik,
22
agar bahan-bahan rumah tersebut tahan lama. Pengambilan bahan didasarkan pada
pengetahuan tentang alam tumbuh-tumbuhan, sehingga harus dipilih jenis kayu yang
tahan lama.
2.8.5. Kesenian
Suku bangsa Tolaki memiliki kesenian tersendiri yang khas, baik seni suara,
seni tari dan sebagainya. Dalam hubungan dengan arsitektur tradisional di kalangan
suku bangsa Tolaki, wujud seni nampak dalam ragam hias, tehnik mengikat dan
sebagainya.
Jenis-Jenis bangunan pada suku Tolaki merupakan bentuk budaya yang khas
karena perwujudan fisik arsitekturnya yang lahir dan terbentuk akibat budaya, strata
sosial dan sistem religi yang ada dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Arsitektur
tradisional Tolaki yang dikenal ada 3 Jenis-jenis bangunan rumah tradisional yang
terbentuk berdasarkan kategori budaya di atas, yaitu:
1. Laika, merupakan sebutan rumah tinggal.
2. Masigi, yaitu mesjid tempat beribadah
3. Balai, yaitu rumah tempat musyawarah
4. Ala, yaitu rumah tempat menyimpan
Secara universal rumah tinggal dikalangan suku Tolaki disebut Laika
( Konawe) dan Raha ( Mekongga ), yang rumah ada juga istilah yang menunjukkan
rumah seperti Poiaha. Pada masa lalu laika pada orang Tolaki masih dikenal oleh
beberapa daerah, ini dapat ditelusuri dari toponimi daerah seperti Desa Laikaaha
Kecamatan Ranomeeto Konawe Selatan. Di daerah ini pernah berdiri laika aha atau
rumah induk yaitu rumah dari penguasa Kerajaan Konawe daerah sebelah Barat
23
Tambo Losoano Oleo yaitu keturunann Sapati Sorumba, bekas rumah tersebutmasih
dapat kita saksikan secara arkeologis.
Terdapat juga nama daerah yang menggunakan nama Desa Laikaaha terletak
di Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe. Hal ini sesuai sumber yang diungkapkan
oleh Paul and Frederic Sarasin (1904) yang merupakan kepala adat atau kepala suku (
Pu'utobu).
Rumah adat Laika Suku Tolaki adalah rumah yang menerapkan sistem nilai
budaya ketika membangun suatu rumah untuk ditinggali ataupun rumah untuk
berkumpul, yang disebut dengan pembagian secara kosmologi alam dan pembagian
yang mengacu pada analogi tubuh.
Etnis Tolaki memiliki beberapa bentuk rumah adat. Hal ini sebagai bukti
bahwa pada zaman kerajaan, etnis Tolaki sudah mengenal alat pertukangan. Pada saat
membangun tempat tinggal pun selalu mengacu pada pembagian kepercayaan alam
dan pembagian yang mengacu pada analogi tubuh. Tampak dari atas bagian depan
rumah adat Tolaki, dilambangkan sebagai tangan kanan dan kiri serta tengahnya
dagu. Bagian tengah diumpamakan dua lutut dan tengahnya tali pusar. Pada bagian
belakang dilambangkan dua kaki kiri dan kanan, sementara tengah ibarat alat vital.
Berikut adalah gambar rumah Adat Tolaki :
24
Rumah adat dibagi atas tiga bagian:
(1) Bagian kolong untuk menghindari banjir, tempat binatang ternak, tempat
bersantai, tempat menyimpanan alat pertanian, agar rumah menjadi dingin
dan terhindar dari binatang buas;
(2) Bagian atas merupakan tempat ruang yang berfungsi sebagai tempat
beraktivitas; dan
(3) Bagian tengah mewakili dunia tengah sebagai pandangan perwujudan alam
semesta. Arsitektur rumah adat ini berbentuk pangung, kemungkinan
dipengaruhi oleh beberapa etnis, misalnya Bugis, Makasar, dan Luwu.
Hal ini disebabkan oleh beberapa bentuk dan ornamen ada kemiripan. Hanya
nilai-nilai atau pemaknaan pada bentuk ornemen yang berbeda
Pada tahun 1904-1960an, masih kita jumpai rumah-rumah penguasa seperti laika
Kataba salah satunya Kataba Pu’u tobu Tongauna, Kataba Sembe Benua, dll
Rumah tinggal ini ada beberapa jenis yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Laika mbu’u (di konawe), laika raha (di mekongga/kolaka), artinya rumah
pokok. Disebut demikian karena bentuknya lebih besar daripada rumah biasa.
25
"Bangunan ini berukuran luas, besar, dan berbentuk segi empat terbuat dari kayu
dengan diberi atap dam berdiri di atas tiang- tiang besar yang tingginyasekitar 20 kaki
dari atas tanah. Bangunan ini terletak disebuah tempat yang terbuka di dalam hutan
yang dikelilingi oleh rumput alang-alang. Pada saat itu bangunan setinggi sekitar 60 -
70 kaki inidibuat sekitar 20 tahun (sekitar tahun 1811), yang lalu atas perintah raja
tentunya dibutuhkan banyak tenaga penduduk yang bersama-sama membangun
dengan peralatan yang sederhana dan pekerjaan mereka ini menghasilkan sebuah
bangunan yang sangat bagus dan mengundang kekaguman. Bangunan ini kemudian
dinamakan Laika Aha yang berarti rumah besar dan dipergunakan sebagai tempat
bagi raja untuk menyelenggarakan acara-acara yang bersifat seremonial atau upacara
adat." (keterangan Jacques Nicolaus Vosmaer, 1839. Diterjemahkan oleh Basrin
Melamba, M.A)
Laika Landa, yakni jenis rumah tinggal yang didirikan di tengah-tengah atau
dipinggir kebun dan didiami oleh satu keluarga. Rumah ini ditempati selama proses
pengolahan kebun sampaiselesai. Setelaj selesai panendan padi sudah selesai
disimpan dilumbung padi (o'ala), rumah ini biasanya ditinggalkan. Jadi, Laika ini
bukan tempat tinggal permanen.
3. Laika Patande
Bentuk Laika Patande adalah jenis rumah yang didirikan ditengah-tengah kebun
sebagai tempat istirahat. Bentuk konstruksi bangunannya lebih kecil daripada Laika
Landa.
Laika Soronga atau Laika Nggoburu yaitu rumah makam bagi Raja, pada rumah
tersebut tinggal beberapa rumah tangga budaknya untuk menjaga makam tersebut
yang didalamnya terdapat Soronga. Pada masa lalu rumah soronga atsu Laika
26
Nggoburu terdapat diwilayah Meraka wilayah kecamatan Lambuya (lihat juga foto
Laika Soronga rumah kematian di buku Paul and Frederiv Sarasin, 1905).
Menurut oral tradition atau tradisi lisan bahwa Laika Soronga (rumah kematian
atau Laika Soronga) juga pernah ada di daerah Kinawe tepatnya didaeray
Kasumewuho, yaitu Laika Sorongano Mokole Tebawo atau Sangia Inato. Dalam
tradisi masyarakat Tolaki dikenal dengan ungkapan "perai-rai nggokoburu" atau "ata
petianggoburu" artinya penjaga makam.
Bentuk Laika Kataba adalah jenis rumah papan. Bahan - bahannya terdiri dari
balok dan papan. Rumah ini didirikandengan memakai sandi atau kode tertentu. Jenis
rumah ini masih kita temukan di daerah Kabupaten Konawe di Kelurahan Lawulo,
Kecamatan Anggaberi yang dibangun oleh DR. H. Takahasi Rahmani, M.Pd
Laika Mborasaa afalah jenus rumah yang didirikan pada suatu tempat sebagai
tempat penjagaan dan sebagai tempat istirahat bagii orang - orang yang telah
melaksanakan tugas mengayau (penggal kepala) ke beberapa tempat di daerah
Sulawesi Tenggara. Pada zaman dahulu pra pemerintahan Belanda, rumah ini sering
menjadi sasaran para penjahat untuk merampok orang-orang yang hendak lewat
istirahat di Laika Mborasaa untuk istirahat. Jenis rumah ini hanya satu buah yaitu
bertempat di Lalolae (Kabupaten Kolaka Timur sekarang), jenis rumah ini dudah
tidak ditemukan lagi.
Bentuk Komali adalah jenis Laika Owose rumah besar, khusus untuk tempat
tinggal raja. Rumah semacam ini tinggi dan kuat. Bahan-bahannya terdiri dari kayu,
bambu dan atapnya terbuat dati rumbia. Pada bagian tertentu rumah ini ditemukan
ukiran (pinati- pati) yang terletak pada bagian dalam maupun luar rumah.
27
Rumah atau istana kerajaan yang disebut "Komali" (mengenai hal ini lihat
Muslimin Su'ud, Arsitektur Tradisional dan Kepribadian Budaya Tolaki. Unaaha.)
yang terletak di ibukota kerajaan Konawe di Unaaha ini dibangun sejak masa
pemerintahan Mokole atau Raja Rebi dengan gelar Sangia Inato. Istana raja Komali
ini juga dibangun oleh Raja Lakidende bergelar Sangia Ngginoburu.
Laika wuta adalah jenis rumah tempat tinggal yang lebih kecil dari Laika Landa.
Bentuk atapnya seperti rumah jengki.
Raha Bokeo (di Kolaka), adalah jenis tempat tinggal raja - raja ( Bokeo)
Mekongga di Kolaka, ukurannya besar, jumlah tiangnya 70 buah, yabg terdiri rumah
induk 25 tiang, ruang tambahan (tinumba) atau ancangan 20 tiang (otusa),teras depan
(galamba) 10 otusa dan dapur (ambolu) 15 otusa tiang. Sedangkan Raha Bokeo ubtuk
ukuran sedang jumlah tiangnya 27 buah,, yang terdiri dari rumah induk 9 tiang,
rumah tambahan (tinumba) 6 tiang, teras depan (galamba) 3 tiang dan dapur 9 tiang.
Berbentuk rumah kecil yang bertiang tinggi. Lumbung tersebut pada keempat
tiangnya dipasang penghalang yang cukup lebar. Bentuk bundar seperti nyiru dan
orang-orang Tolaki menamakan salela atau masea. Dinding terdiri dari kulit kayu
yang tebal dan disusun rapat dengan palang-palang kayu yang cukup rapat. Pintunya
boleh satu atau dua, tergantung jumlah pemilik atau pemakainya.
Laika Walanda adalah jenis rumah yang panjang. Laika Walanda juga dikenal
dengan rumah pesangrahan yaitu rumah yang biasanya digunakan oleh orang Belanda
28
untuk bersantai seperti berdansa atau pesta. Pada ruang tengah sepanjang rumah ini
ada ruangan kosong, sedang dibagian kiri dan kanan terdapat ruangan istirahat yang
lantainya setinggi pinggang dan berpetak-petak. Model rumah ini seperti asrama
memanjang.
Rumah tinggal suku bangsa Tolaki adalah rumah panggung dan berbentuk
persegi rmpat panjang. Karena pada masa lalu belum dikenal ukuran meter maka
pembuatan rumah diukur dengan depa, misalnya 5 x 7 depa dan seterusnya. Untuk
tidak boleh ukuran pas. Hal ini didasarkan kepercayaan apabila rumah tersebut
ukurannya demikian, maka penghuninya kurang rezeki dan segala usahanya tidak
berkembang.
Bentuk tipologi rumah adat juga pernah berdiri di daerah Wawonggole yang
dikenal dengan laika sorume (menurut orang-orang tua bentuk rumah ini masih
ditemukan tahun 1924). Pada paruh antara tahun 1940 - 1960- an di daerah ini masih
kita jumpai rumah-rumah penguasa seperti laika mbuu dan laika kataba salah satunya
Kataba Pu'utobu Tongauna , Kataba Sembe Benua, dan masih banyak lagi bentuk-
bentuk rumah yang pernah ada di daerah ini.
29
Dewasa ini rumah tempat musyawarah adalah balai desa yang biasa disebut
balai. Rumah tempat musyawarah (balai) berbentuk persegi empat panjang. Kadang-
kadang pada bagian belakang ditambah dengan bangunan tambahan dengan posisi
melintang, sehingga keseluruhan bangunan berbentuk huruf T. Bangunan pokok
didirikan merapat ke tanah, sedangkan bangunan tambahan kadang-kadang berbentuk
panggung yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
2.9.4. Rumah Tempat Menyimpan
Rumah tempat menyimpan di kalangan suku Tolaki disebut ala yang berarti
lumbung. Rumah tempat menyimpan adalah rumah panggung . Bentuk khusus dari
pada rumah tempat menyimpan ada dua macam. Bila rumah tempat menyimpan
hanya untuk I keluarga, maka bentuknya bujur sangkar. Tetapi bila nunah tempat
menyimpan tersebut dibuat untuk beberapa orang (keluarga) maka bentuknya persegi
empat panjang.
Tiang untuk lumbung berjumlah 4 sampai 6 buah, berbentuk bulat dan harus
dilincinkan, terutama bagian dari atas tanah sampai ke lantai lumbung. Biasanya tiang
tersebut dilapisi dengan batang masea yaitu suatu tumbuhan semacam pinang yang
batangnya dapat dilicinkan. Batang masea infdikapuri dengan abu dapur agar tikus
tidak dapat memanjat. Kira-kira satu siku dari lantai dipasang bundaran papan yang
lebar sebagai penahan bagi tikus-tikus yang akan naik melalui tiang lumbung.
Bundaran papan ini disebut salele.
Fungsi ruangan adalah untuk tempat menyimpan padi. Dalam ruangan ini
disimpan padi yang bermacam-macam, misalnya padi biasa (pae wila),beras ketan
(pae daO dan beras hitam (pae biu). Kadang-kadang juga dalam lumbung disimpan
hasil-hasil kebun lain seperti jangung, labu dan sebagainya. Lantai bagian luar
berfungsi sebagai tempat duduk bakul (kolidi) pada saat menyimpan atau mengambil
padi di lumbung. Di sinilah tangga lumbung disandarkan dan sesudah itu, tangga
dilepas dan disingkirkan.
30
Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Herno (2016: 80) meneliti tentang etnomatematika rumah adat Buton.
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa bentuk etnomatematika yang terdapat
dalam rumah adat masyarakat Buton adalah konsep sudut (proses sombu dan proses
pemasangan tangga); konsep segitiga (pada tiang, konta dan tadha, pada kasolaki,
tutumbu dan tananda); dan konsep perbandingan (pada perbandingan tinggi dinding
rumah dan tinggi tutumbu, pada perbandingan tutumbu dan lebar rumah, pada
perbandingan tinggi dinding dan tiang rumah dan pada perbandingan lebar pintu dan
lebar tangga). Yang relevan dengan penelitian ini adalah teknik pengumpulan data
yaitu akan menggunakan eksporasi, dokumentasi dan wawancara, sedangkan
perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya yaitu pada rumah adat masyarakat
Tolaki, penggalian proses pembangunan, dan bentuk-bentuknya sehingga
memunculkan nilai (value) khusus yang terkandung didalamnya dan penggunaan
nilai-nilai tersebut pada pembelajaran di sekolah.
Noer Rakhmat Yanti (2018) meneliti tentang etnomatematika rumah adat
Muna. Hasil Penelitiannya menyimpulkan bahwa Konsep-konsep matematika yang
terkandung dalam rumah adat Muna secara umum terbagi tiga, yaitu konsep geometri
meliputi; (1) konsep pada peletakan batu pertama: konsep persegi dan konsep persegi
panjang; (2) konsep pemasangan 2 tiang yang terletak bagian tengah depan disebut
moghaneno lambu atau amano lambu yaitu konsep layang-layang, segitiga siku-siku,
segitiga sama kaki, segitiga sembarang dan konsep simetri lipat; (3) konsep
pemasangan jendela termuat konsep persegi panjang. (4) konsep persegi panjang pada
proses pemasangan pintu; (5) proses pemasangan tiang-tiang pelengkap sebanyak 13
tiang di bantu dengan penyokong (kasingkali) dan pemasangan atap termuat konsep
prisma segitiga, dan konsep balok; (6) Konsep gabungan dua bangun datar yaitu pada
proses mengikat pada tiang-tiang termuat gabungan konsep persegi panjang dan
konsep setengah lingkaran; Konsep aritmetika dan konsep geometri pada proses
pemasangan anak tangga yaitu konsep bilangan prima dan sudut depresi. Sedangkan
31
perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya yaitu pada rumah adat masyarakat
Tolaki.
Budaya
Etnomatematika
Ragam ( cara, bentuk )
Gaya
Teknik menjelaskan
Teknik menghadapi lingkungan alam
Memahami budaya yang berbeda
D’Ambrosio ( 1999 : 146 )
Pembelajaran
Matematika di Sekolah
32
BAB III
METODE PENELITIAN
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi informan dan narasumber. Informan adalah tokoh masyarakat yang
mengetahui informasi tentang rumah adat Tolaki dan menjadi penunjuk tentang
keberadaan narasumber misalnya pemilik rumah adat, tukang, dan masyarakat yang
bertempat tinggal atau penduduk asli dan narasumber dalam penelitian ini adalah
orang yang mengetahui dan memahami secara persis tentang jenis-jenis, perbedaan
bentuk maupun makna tentang rumah adat Tolaki misalnya tokoh adat dan pemilik
rumah adat. Sedangkan data sekunder yaitu data pendukung penelitian misalkan buku
33
sejarah, jurnal, artikel dan tesis. Menurut Sugiyono (2013: 57), penentuan narasumber
berdasarkan kriteria sebagai berikut.
a. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses
enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga
dihayatinya.
b. Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada
kegiatan yang tengah diteliti.
c. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi.
d. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil
“kemasannya” sendiri.
e. Mereka yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti
sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau
narasumber.
Pada penelitian ini, dalam rangka mendapatkan narasumber (NS) penelitian
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Langkah-langkah yang telah dilakukan
adalah, pertama, peneliti mencari informasi keberadaan NS rumah adat dan beberapa
guru sekolah dasar untuk memberikan beberapa pendapatnya tentang penggunaan
konsep dan nilai matematika yang terkandung dalam rumah adat pada pembelajaran
di sekolah, kedua memberikan pertanyaan yang sesuai dengan pedoman wawancara
yang telah ditentukan, ketiga menetapkan narasumber penelitian. Penjelasan yang
rinci dari masing-masing langkah, disajikan berikut ini.
34
Sebelum diselenggarakan wawancara dengan menggunakan pedoman
pertanyaan yang telah disediakan, peneliti akan mencari informasi di Dinas
Pariwisata untuk menanyakan siapakah yang dianggap lebih mengetahui tentang
rumah adat. Tujuan utama dari pencarian ini ialah agar peneliti memperoleh data
yang sesuai dan inginkan.
Selanjutnya, pencarian terhadap Narasumber kedua dengan menanyakan
kepada beberapa tokoh masyarakat Tolaki yang berada di Kecamatn Meluhu,
Kabupaten Konawe. Peneliti bertanya kebeberapa tokoh masyarakat Tolaki untuk
memberikan petunjuk kepada siapa yang akan di jadikan sebagai Narasumber ke dua
yang dianggap salah satu masyarakat yang pernah mendiami rumah jenis rumah adat
Tolaki sebagai NS2.
35
ditetapkan tersebut memberikan jawaban yang berbeda, maka peneliti membutuhkan
narasumber ketiga untuk diberikan pertanyaan yang sama dan seterusnya sampai
dengan peneliti mendapatkan perbandingan jawaban yang sama antara narasumber-
narasumber yang telah dipilih. Jika narasumber ketiga memberikan jawaban yang
mengarah kejawaban narasumber pertama, maka jawaban narasumber pertama dan
ketiga yang valid dan kredibel.
Tabel 3.1. Instrumen Pedoman Wawancara Tokoh Masyarakat dan Toko Adat
No Kategori Indikator
1. Ragam/Jenis rumah - Jenis-jenis rumah adat
adat Tolaki
36
2. Perbedaan dari setiap - Perbedaan pada setiap jenis rumah
jenis rumah adat adat
Tolaki
3. Konsep-konsep - Syarat-syarat khusus yang dipakai
pembuatan rumah pada pelaksanaan sebelum
adat Tolaki beserta membangun rumah adat.
filosofinya - Perbedaan-perbedaan setiap
bentuk dan maknanya pada rumah
adat
- Makna pada pengukuran yang
digunakan
37
dan NS2 berkaitan dengan rumah adat Tolaki seperti pada kisi-kisi Tabel 3.2. Kedua,
peneliti memberikan pertanyaan kepada dua guru yang disesuaikan dengan hasil
penelitian tentang konsep-konsep dan nilai-nilai matematika yang terkandung dalam
rumah adat Tolaki pada pembelajaran di sekolah.
38
Keabsahan data diperoleh dengan menggunakan teknik pemeriksaan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Menurut
Moleong (2009: 324), ada empat kriteria yang digunakan, yaitu credibility (validitas
internal/derajat kepercayaan), transferability (validitas eksternal/keteralihan),
dependability (reliabilitas/kebergantungan), dan confir- mability
(objektivitas/kepastian). Pemeriksaan keabsahan data atau pengujian krediabilitas
yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi. Menurut Moleong (2010:
330), triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain. Selanjutnya, triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan
sebagai pengecekan data dari berbagai sumber.
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi
sumber. Melalui teknik triangulasi sumber, peneliti membandingkan hasil wawancara
yang diperoleh dari masing-masing sumber penelitian, yaitu NS1 dan NS2 serta
wawancara beberapa guru sekolah sebagai pembanding untuk mengecek kebenaran
informasi yang diperoleh. Pada tahap triangulasi ini, peneliti memvalidasi data hasil
wawancara yang diperoleh dari narasumber.
Pada tahap validasi, untuk menemukan dan mengetahui informasi tentang
Rumah Adat Tolaki, peneliti (P) akan mewawancarai narasumber (NS) secara
mendalam. Wawancara tersebut dilakukan pada empat NS, dua orang yakni tokoh
adat dan pemilik rumah adat Tolaki, dan dua lainnya adalah guru kelas yang
mengajar di Sekolah Dasar (SD), merupakan NS tentang penggunaan konsep-konsep
dan nilai-nilai matematika dalam pembelajaran di sekolah.
Hasil wawancara dengan NS ke-i disimbolkan dengan NSi, dimana i =1, 2, 3,
… Wawancara kepada NS pertama disimbolkan dengan NS1 dan Wawancara kepada
NS kedua disimbolkan dengan NS2. Jika jawaban keduanya memiliki kesamaan isi,
maka data tersebut adalah data yang kredibel. Peneliti memilih jawaban narasumber
yang lebih lengkap dan penjelasan yang lebih rinci untuk dijadikan sebagai data valid.
Selanjutnya, Hasil wawancara dengan guru matematika (SD) pertama pada
Sekolah Dasar disimbolkan dengan NSSD1, dan hasil wawancara dengan guru
39
matematika (SD) kedua pada Sekolah Dasar (SD) disimbolkan dengan NSSD2. Hasil
wawancara dengan NSSD ke-i disimbolkan dengan NSSDi, dimana i =1, 2, 3,… Jika
jawaban keduanya memiliki kesamaan/valid, maka data tersebut dinyatakan data
yang kredibel. Peneliti memilih jawaban narasumber yang lebih lengkap dan
penjelasan yang lebih rinci untuk dijadikan sebagai data valid.
40
a. Traskrip Hasil Wawancara
Pada tahap mentraskrip hasil wawancara, peneliti mendengarkan rekaman dan
disesuaikan dengan catatan-catatan kecil maupun gambar yang telah diperoleh guna
mencocokkan informasi. Kemudian peneliti mencatat/menuliskan semua hasil
percakapan pada wawancara yang diperoeh di lapangan.
b. Penyisihan Data yang tidak Relevan
Memilih data-data yang relevan dengan penelitian dilakukan dengan
pemilahan data dari hasil wawancara terhadap narasumber. Pada tahap ini, peneliti
mengambil poin-poin yang relevan sesuai dengan pertanyaan penelitian tanpa
mengubah urutan data hasil yang diperoleh di lapangan.
c. Pengelompokan dan Pengodean Data
Pengelompokan data dalam penelitian ini terbagi dua. Pertama, berkaitan
dengan pemahaman narasumber (NS) terhadap Rumah Adat Tolaki, terdiri atas (1)
penjelasan NS mengenai jenis-jenis rumah adat yang dipahaminya, (2) penjelasan NS
tentang perbedaan pada setiap jenis rumah adat, (3) penjelasan NS terhadap
komponen-komponen dalam pembuatan rumah adat Tolaki. Kedua, berkaitan dengan
pendapat guru tentang penggunaan konsep-konsep dan nilai-nilai matematika yang
terkandung dalam rumah adat Tolaki pada pembelajaran di sekolah.
Selanjutnya, pengodean setiap kelompok data diperlukan untuk memudahkan
penelusuran dan identifikasi data dalam kelompok tersebut. Penelusuran dan
identifikasi data ini merupakan aktivitas yang sangat dominan ketika melakukan
proses validasi data hasil wawancara untuk memperoleh data yang kredibel. Selain
itu, penelusuran dan identifikasi data ini juga diperlukan ketika proses penyajian data
dan pengolahan data penelitian. Pengodean untuk setiap kelompok data pada
penelitian ini, secara lengkap disajikan pada Tabel 3.3.
41
1. Jenis-jenis rumah adat Penjelasan NS mengenai jenis- PJRA
Tolaki jenis rumah adat dan fungsinya
2. Perbedaan pada setiap Penjelasan NS tentang perbedaan PBRA
jenis rumah adat Tolaki pada rumah adat dari segi bentuk
42
pembelajaran di sekolah
Sebagai ilustrasi pada Tabel 3.3, apabila suatu unit data diberikan kode
“NS1PJRA001”, maka berarti data tersebut merupakan jawaban NS, diberi kode
‘NS’, atas pertanyaan peneliti pada wawancara narasumber pertama diberi kode
‘NS1’, berkaitan dengan pemahaman terhadap jenis-jenis rumah adat, diberi kode
‘PJRA’, untuk kelompok data menjelaskan pertanyaan masalah tentang jenis-jenis
rumah adat, dalam urutan yang kesatu, diberi kode ‘001’.
2. Penyajian Data (Display Data)
Penyajian data dilakukan dengan menguraikan data ke dalam bentuk narasi,
bagan dan hubungan antar data. Tahap ini memunculkan dan menunjukkan kumpulan
data atau informasi yang terorganisasi dan kategori yang memungkinkan suatu
penarikan kesimpulan atau tindakan. Dari hasil reduksi data tersebut, kemudian
diuraikan dalam bentuk deskriptif dengan menggunakan kata-kata dan berisi kutipan-
kutipan hasil wawancara. Tahap ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan
matematika yang terkandung dalam adat masyarakat Tolaki dan penggunaan konsep-
konsep dan nilai-nilai matematika yang tekandung dalam rumah adat Tolaki dalam
pembelajaran di sekolah.
Pada tahap ini, peneliti melakukan penyajian dalam bentuk deskriptif terhadap
wawancara yang telah dilakukan dengan membuat tabel untuk membandingkan
jawaban antara narasumber. Tahapan ini disebut tahapan validasi data penelitian,
validasi dilakukan dengan menyajikan data dengan sesuai dengan urutan pertanyaan
penelitian dengan menunjuk kode-kode yang telah ditentukan oleh peneliti.
43
sehingga kesimpulan yang diambil tidak menyimpang. Tahap verifikasi data hasil
penelitian, peneliti memverifikasi data kredibel dalam bentuk deskriptif.
Persiapan
44
Sumber Data
Narasumber
Data
Analisis Data
HASIL
DAFTAR PUSTAKA
45
Astri, W., Tias, A. A. W., Budiman, S. 2013. Peran Etnomatematika Dalam
Membangun Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika untuk Indonesia yang Lebih Baik pada tanggal 9
November 2013 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA.
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
D’Ambrosio, U.1985. Ethnomathematics and its place in the history and pedagogy of
mathematics. For the Learning of Mathematics Vol. 5, No. 1, p. 44-48.
D’Ambrosio, U. 1999. Literacy, Matherachy and Technorachy: A Trivium for Today.
Mathematical Thingking and Learning. Vol. 1, No. 2, p. 131-153.
D’Ambrosio, U. 2002. Ethnomathematics An Overview. Makalah yang disampaikan
pada the II Congresso Internacional de Ethnomatematica, 5-7 Agustus 2017
di Ouro Preto, MG, Brazil.
J. Couvreur. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Muna (terjemahan Rene Van Den Berg).
Kupang: Artha Wacana Press
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kompas TV. 2015. Mencari Kota Wuna yang Hilang. Wawancara ditayangkan di
kompas TV. 20:24 WIB.
Lakebo, Berthyn. 1986. Arsitektur Tradisional Sulawesi Tenggara. Proyek
Inventarisasi Kebudayaan Daerah. Depdikbud: Jakarta.
Laxy, J., Moleong. 2004. Metode Penelitian Kualitatif,. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Melamba, Basrin. 2011. Arsitektur Tradisional Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara.
Denpasar, Bali: Pustaka Larasan
46
Noer Rakhmat Yanti. 2018. Eksplorasi Etnomatematika Rumah Adat Muna. Tesis
PPs UHO Kendari.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Suatu Pengantar Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor:
Ghalia Indonesia. 21.
Ruseffendi. 1991. Pengajaran Matemematika Modern. Bandung: Tarsito.
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA
47
EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA RUMAH ADAT Tolaki
A. Tujuan Wawancara
Mendapatkan informasi tentang rumah adat Tolaki.
B. Metode Wawancara
Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur.
C. Pedoman Wawancara
48
I. Jenis-jenis rumah adat apa yang terdapat pada masyarakat Tolaki? II.
Apakah perbedaan makna dari setiap jenis rumah adat Muna?
1. Berdasarkan jenis bangunan pada saat itu, ada berapa kategori penyebutan
jenis rumah yang ada di Tolaki?
2. Dari perbedaan yang telah disebut kan, apakah yang membedakan dari
masing jenis-jenis rumah tersebut?
Lampiran 2
49
PEDOMAN WAWANCARA GURU KELAS SEKOLAH DASAR TENTANG
RUMAH ADAT TOLAKI
E. Tujuan Wawancara
Mendapatkan informasi tentang penerapan nilai-nilai matematika yang terkandung
dalam budaya rumah adat
F. Metode Wawancara
Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur.
G. Pedoman Wawancara
50
2. Apakah bapak/ibu pernah menerapkan konsep-konsep matematika yang
terkandung dalam rumah adat Tolaki dalam proses pembelajaran di sekolah,?
3. Apakah bapak/ibu pernah menerapkan nilai-nilai matematika yang terkandung
di dalam rumah adat Tolaki dalam proses pembelajaran di sekolah? Jika tidak
digunakan apakah alasannya?
51