Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

DEMENSIA VASKULAR

Disusun Oleh:
Putri Nabila
01073200097

Pembimbing:
Dr. Engelberta Pardamean, Sp. KJ

ILMU KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


PERIODE MEI – JUNI 2021
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama                            : Tn. T
Tanggal lahir                : 24 Agustus 1950 (69 tahun)
Jenis Kelamin               : Laki-laki
Alamat                          : Bondoyong
Status pernikahan         : Menikah
Pendidikan terakhir      : SMA
Pekerjaan                      : Pensiunan
Agama                          : Kristen
Tanggal masuk RS       : 27 Maret 2021

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan istri Tn. T pada
tanggal 27 Maret 2021.

A. Keluhan Utama
Pasien sulit tidur

B.   Riwayat Gangguan Sekarang


Pasien dibawa oleh keluarganya ke Rumah Sakit Anuntaloko Parigi karena sulit tidur.
Hal ini dialami sejak ± 3 minggu SMRS. Menurut keluarga, pasien sulit untuk memulai tidur
dan selalu terbangun tengah malam ketika tidur. Keluarga juga merasa emosi pasien sulit
dikontrol, pasien sering marah-marah tanpa alasan yang jelas. Keluarga juga mengatakan
bahwa pasien mulai lupa dengan anggota keluarganya. Pasien juga mengalami kesulitan
bicara dan sulit untuk mengurus dirinya sendiri. Setiap diberi makan oleh istrinya, pasien pasti
akan menghamburkan makanannya sendiri seperti anak kecil, pasien juga harus dimandikan
setiap hari oleh istrinya, karena bila pasien mandi sendiri, pasien hanya akan bermain air.
Pasien juga sering buang air besar dan buang air kecil di sembarang tempat. Perubahan
perilaku ini diakui keluarga terjadi secara mendadak 3 minggu setelah pasien dirawat di
Rumah Sakit Anuntaloko Parigi karena stroke. Sebelumnya pasien pernah dirawat di RS
Anuntaloko Parigi pada tahun 2010 karena stroke dan membaik setelah 1 minggu perawatan.
Keluarga mengatakan bahwa setelah serangan stroke yang pertama, kondisi pasien masih baik
dan tidak ada perubahan perilaku seperti sekarang ini.

C.   Riwayat Gangguan Sebelumnya


1.  Riwayat Psikiatri
Pasien tidak pernah mengalami gangguan psikiatri sebelumnya. Pasien juga tidak pernah
mengalami perubahan mood yang mencolok. Riwayat gangguan bipolar atau skizofren
disangkal.
2.  Riwayat Medis
Pasien pernah mengalami stroke pada tahun 2010 dan berulang kembali di tahun 2021, tiga
minggu sebelum berobat ke dokter Spesialis Kesehatan Jiwa.
3.  Riwayat Penyalahgunaan Zat Psikoaktif (NAPZA)
Pasien tidak pernah mengkonsumsi ekstasi, sabu – sabu, ganja, alcohol ataupun merokok
 
D.   Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Masa Prenatal dan Perinatal
Pasien merupakan anak kedua dari empat bersaudara yang direncanakan dan diinginkan oleh
orangtuanya. Pasien lahir spontan, ditolong bidan. Pasien lahir dalam keadaan sehat dan
langsung menangis. Riwayat komplikasi kelahiran, trauma, dan cacat bawaan disangkal.

2. Riwayat Masa Kanak Awal (0–3 tahun)


Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Riwayat pemberian ASI dan perkembangan
(merangkak, berjalan, berbicara) sesuai umur.

3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (3–11 tahun )


Pasien senang bermain dengan teman-temannya di sekolah maupun di dekat rumahnya.
Pasien dirawat dan dibesarkan oleh kedua orangtuanya.

4. Riwayat Masa Kanak Akhir (Pubertas dan Remaja )


Pasien melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat SMA. Pasien tumbuh dan berkembang
sewajarnya.

5.  Masa Dewasa


a. Riwayat Pendidikan
Pasien menjalani pendidikan hingga bangku pendidikan SMA. Pasien mengawali kegiatan
sekolah saat berusia 6 tahun.

b. Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja di perusahaan.

c. Riwayat Kehidupan Beragama


Pasien beragama Kristen, pasien taat melaksanakan ibadah.

d. Riwayat Pernikahan
Kehidupan rumah tangga pasien dengan istrinya baik.

e. Riwayat Militer
Belum pernah ikut militer.

f. Riwayat Pelanggaran Hukum


Pasien tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, dan tidak pernah terlibat dalam
proses peradilan yang terkait dengan hukum.

g. Riwayat Kehidupan Sosial


Sebelum sakit pasien sering bergaul dan bersosialisasi dengan tetangga.

h. Situasi Hidup Sekarang


Pasien tinggal bersama istri, anak, dan cucu. Pasien saat ini berkebun, sedangkan istri adalah
seorang ibu rumah tangga. Anak-anak dan cucu pasien sering datang dan menjenguk ke
rumah

6. Riwayat Psikoseksual
Pasien sejak kecil diasuh sebagai laki-laki. Pasien menikah saat umur 30 tahun, menikah
selama 39 tahun. Hubungan dengan istri baik.

7. Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa. Keluarga menyangkal adanya
anggota keluarga yang pernah didiagnosa dengan Alzheimer’s Disease.
 
E. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya
Tidak dapat dinilai karena pasien tidak menjawab pertanyaan dokter.
 
III. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum:
1. Penampilan:
Tampak seorang laki-laki memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru muda dan celana
panjang warna putih. Penampakan rapi dan terawat. Wajah sesuai umur.
2. Kesadaran:
Pasien dalam keadaan sadar penuh
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor:
Pasien merasa gelisah
4. Pembicaraan:
Pasien tidak banyak bicara, hanya mengucapkan sedikit kata – kata singkat. Adanya kesulitan
berbicara.
5. Sikap terhadap pemeriksa:
Pasien bersikap kurang kooperatif
 
B. Alam Perasaan (Emosi):
1. Mood        : Hipothym
2. Afek         : Normal dan Serasi

C. Pembicaraan:
Pasien tidak banyak bicara, terdapat kesulitan bicara dan ketika diwawancara pasien kurang
kooperatif

D. Sensorium dan Kognisi:


1. Kesadaran:
Compos mentis, Glasgow Coma Scale = 15
2. Taraf pendidikan, pengetahuan, dan kecerdasan:
Taraf Pendidikan: Tidak dapat dinilai.
Taraf Pengetahuan: Tidak dapat dinilai.
Taraf Kecerdasan: Tidak dapat dinilai.
3. Daya konsentrasi:
Tidak dapat dinilai.
4. Orientasi :
- Waktu  : Kurang baik, pasien tidak menjawab
- Tempat : Kurang baik, pasien mengetahui bahwa dia berada di rumah sakit
- Orang   : Kurang baik, pasien tidak dapat mengenali anggota keluarga dan dokter.
5. Pikiran Abstrak : 
Tidak dapat dinilai
6. Kemampuan menolong diri sendiri :
Kurang baik, pasien kesulitan untuk mengurus dirinya sendiri
7. Daya ingat :
• Daya ingat jangka panjang : Kurang baik, pasien tampak kebingungan dan mengatakan lupa
• Daya ingat jangka pendek : Kurang baik, pasien tidak dapat mengingat kejadian yang terjadi
kemarin atau beberapa hari lalu, ia tampak kebingungan.
• Daya ingat jangka sesaat : Tidak baik, pasien tidak dapat mengingat kegiatan yang dilakukan
tadi pagi
• Daya ingat jangka segera : Baik, pasien dapat mengulang 3 – 4 objek yang disebutkan
pemeriksa
 
E. Gangguan Persepsi :
1. Halusinasi             : Tidak ada
2. Ilusi                     : Tidak ada
3. Depersonalisasi    : Tidak ada
4. Derelisasi              : Tidak ada
 
F. Proses Berfikir :
1.Arus berfikir:
Produktifitas : Terbatas
Kontinuitas : Asosiasi longgar, irrelevan
Disabilitas berbahasa: Terganggu
2. Isi pikiran:
Gangguan isi pikir : Tidak ada preokupasi, ide – ide mirip waham ataupun delusi
 
G. Pengendalian Impuls :
Tidak terganggu

H. Daya Nilai :
1. Norma sosial :
Terganggu
2. Uji daya nilai :
Sulit dinilai
3. Penilaian realitas :
Tidak Terganggu
 
I. Tilikan :
Tidak dapat dinilai
 
J. Taraf dapat dipercaya :
Pasien tidak dapat dipercaya karena mengalami gangguan memori

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
• Kesadaran: Compos Mentis
• Tanda – tanda vital:
o Tekanan Darah: 120/80 mmHg
o Nadi : 98x/ menit
o Suhu : 36,8 oC
o Pernafasan : 20 x/ menit
• Kulit : Kuning langsat, ikterik (-), sianosis (-), turgor baik, efloresensi primer /
sekunder (-)
• Kepala : Normosefali, rambut warna putih, distribusi merata
• Mata : Pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+, konjungtiva anemis +/+, sklera
ikterik -/-
• Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung (-), sekret -/-
• Telinga : Sekret -/-, membran timpani intak +/+, nyeri tekan -/-
• Mulut : Bibir kecoklatan, agak kering, sianosis (-), trismus (-)
• Lidah : Normoglossia, warna merah muda, lidah kotor (-).
• Gigi geligi : dalam batas normal
• Uvula : Letak di tengah, hiperemis (-)
• Tonsil : T1/T1, tidak hiperemis
• Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
• Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
• Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, retraksi (-).
• Palpasi : Vocal fremitus simetris
• Perkusi : Sonor pada semua lapangan paru
• Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapang paru
Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
• Perkusi : Tidak dilakukan
• Auskultasi : S1 – S2 reguler, murmur (-), gallop (–)
Abdomen
• Inspeksi : Bentuk datar, tampak combutio
• Auskultasi : Bising usus (+)
• Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen, shifting dullness (-), nyeri
ketok CVA (-)
• Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar, balotemen
(-)
Ekstremitas
• Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-)
• Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-)

Genitalia : Tidak diperiksa karena tidak ada indikasi.

B. Status Neurologis
• Saraf kranials : Sulit dinilai
• Tanda rangsang meningeal : Tidak dilakukan
• Refleks fisiologis : (+) normal
• Refleks patologis : Tidak ada
• Motorik : Melemah
• Sensorik : Melemah
• Fungsi luhur : Sulit dinilai
• Gangguan khusus : Tidak ada
• Gejala EPS : Akatisia (-), bradikinesia (-), rigiditas (+), tonus otot (N), tremor (+),
distonia (-), disdiadokinesis (-).

V. PEMERIKSAN PENUNJANG
Belum dilakukan

VI. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Seorang laki-laki berusia 69 tahun dibawa oleh keluarganya ke Rumah Sakit
Anuntaloko Parigi karena sulit tidur. Hal ini dialami sejak ± 3 minggu SMRS. Menurut
keluarga, pasien sulit untuk memulai tidur dan selalu terbangun tengah malam ketika tidur.
Keluarga juga merasa emosi pasien sulit dikontrol, pasien sering marah-marah tanpa alasan
yang jelas. Keluarga juga mengatakan bahwa pasien mulai lupa dengan anggota
keluarganya. Pasien juga mengalami kesulitan bicara dan sulit untuk mengurus dirinya
sendiri. Setiap diberi makan oleh istrinya, pasien pasti akan menghamburkan makanannya
sendiri seperti anak kecil, pasien juga harus dimandikan setiap hari oleh istrinya, karena
bila pasien mandi sendiri, pasien hanya akan bermain air. Pasien juga sering buang air besar
dan buang air kecil di sembarang tempat. Perubahan perilaku ini diakui keluarga terjadi
secara mendadak 3 minggu setelah pasien dirawat di Rumah Sakit Anuntaloko Parigi
karena stroke. Sebelumnya pasien pernah dirawat di RS Anuntaloko Parigi pada tahun 2010
karena stroke dan membaik setelah 1 minggu perawatan. Keluarga mengatakan bahwa
setelah serangan stroke yang pertama, kondisi pasien masih baik dan tidak ada perubahan
perilaku seperti sekarang ini. Tidak ditemukan gangguan selama masa prenatal hingga
dewasa. Pada pemeriksaan psikiatri didapatkan perubahan perilaku berupa kesulitan
berbicara, jarang merespon pertanyaan, gelisah, tidak bias duduk diam berlama-lama.
Pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan fungsi intelektual sulit dinilai karena pasien
kurang kooperatif.

VII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


1. Aksis I
Berdasarkan alloananmnesa dan pemeriksaan status mental didapatkan gejala klinik
bermakna yaitu kesulitan memulai tidur, sering terbangun tengah malam, sering marah
tanpa alasan yang jelas, lupa dengan anggota keluarga, kesulitan bicara, dan sulit untuk
mengurus dirinya sendiri. Keadaan ini menimbulkan penderitaan (distress) pada dirinya,
keluarganya dan lingkungannya serta adanya hendaya (disability) pada fungsi sosial,
pekerjaan, dan penggunaan waktu senggang, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
menderita gangguan jiwa.
Pada riwayat penyakit sebelumnya ditemukan adanya riwayat penyakit stroke. Riwayat
penyakit stroke ini diduga menjadi pemicu timbulnya gangguan pada pasien, sehingga
dapat didiagnosa gangguan mental organic yang mengarah pada demensia vaskular
(F01).
2. Aksis II
Ciri kepribadian tidak khas
3. Aksis III
Riwayat stroke pada tahun 2010
4. Aksis IV
Stressor tidak jelas
5. Aksis V
Berdasarkan Global Assessment Functioning (GAF), maka taraf penyesuaian tertinggi pasien
dalam 1 tahun terakhir (HLPY) adalah pada skala 50-41 dengan gejala berat/serius dan
disabilitas atau difungsi berat dikarenakan adanya hendaya (disability) pada fungsi sosial,
pekerjaan, dan penggunaan waktu senggang. Pasien juga sudah tidak dapat mengurus dirinya
sendiri.

VIII. DAFTAR MASALAH


A. Organobiologik:
Tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna, tetapi karena terdapat
ketidakseimbangan neurotransmitter maka pasien memerlukan psikofarmakoterapi.
B. Psikologik:
Ditemukan adanya disabilitas maka pasien memerlukan psikofarmasi.
C. Sosiologi:
Ditemukan disabilitas dalam bidang sosial, pekerjaan dan penggunaan waktu
senggang maka pasien membutuhkan sosioterapi.

IX. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:
- Demensia Vaskular (F01)
Diagnosis Banding:
- Demensia Penyakit Alzheimer (F00)
- Delirium (F05)

XI. RENCANA TATALAKSANA


Farmakologi
1. Terapi faktor risiko vaskuler (anti-hipertensi, anti-lipid, anti-platelet atau
antikoagulant) untuk mengontrol tekanan darah seperti:
a. Antihipertensive: Amlodipin 10 mg 1x/hari Per Oral
b. Angiotensin Reseptor Blocker: Valsartan 80 mg 1x/hari Per Oral
2. Antipsikotik: Risperidone 1 mg 2x/hari Per Oral untuk mengatasi Behaviour dan
Psychological Symptoms of Dementia (BPSD).
3. Acetylcholinesterase inhibitors: Donepezil (Aricept) centrally active reversible
cholinesterase inhibitor, 10 mg 1x/hari Per Oral. Mekanisme bekerjanya dengan
meningkatkan kadar asetilkolin di otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi
kolinergik yang ditujukan untuk memperbaiki dan mempertahankan fungsi kognitif.
4. Anxiolitika: Lorazepam 1 mg 1x/hari Per Oral untuk mengatasi insomnia terkait
dengan adanya gangguan kecemasan atau rasa gelisah.

Non-Farmakologi
Tujuan terapi nonfarmakologi atau intervensi psikososial adalah meningkatkan kualitas hidup
Orang dengan Demensia (ODD). Pendekatan terfokus pada individu dan disesuaikan dengan
kebutuhan, kepribadian, kekuatan dan preferensi. Intervensi dibagi menjadi 3 kelompok:
1. Mempertahankan fungsi:  
- Mengadopsi strategi untuk meningkatkan kemandirian seperti terapi komunikasi,
pelatihan keterampilan perencanaan kegiatan sehari – hari, latihan fisik, rehabilitasi
berupa fisioterapi, kegiatan rekresiasi
- Memelihara fungsi kognitif melalui pendekatan stimulasi, pelatihan dan rehabilitasi
kognitif, terapi orientasi realitas, terapi reminiscence.
2. Manajemen perilaku sulit - agitasi, agresi, and psikosis melalui pendekatan manajemen
perilaku, terapi musik, terapi validasi, aktifitas fisik, stimulasi multisensorik, terapi pijat dan
sentuhan, aromaterapi, terapi cahaya.
3. Mengurangi gangguan emosional komorbid seperti kecemasan dan depresi melalui
cognitive behavioural therapy (CBT), konseling individu dan keluarga, intervensi pengasuh.

X. PROGNOSIS
• Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
• Quo Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
• Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISA KASUS

Gangguan mental organic merupakan gangguan mental yang berkaitan dengan


penyakit / gangguan sistemik atau otak yang dapat didiagnosis tersendiri, termasuk
didalamnya adalah gangguan mental simtomatik dimana pengaruh terhadap otak merupakan
akibat sekunder dari penyakit / gangguan sistemik di luar otak. Yang termasuk didalam
gangguan mental organik adalah sindrom psikopatologik, demensia dan gangguan yang
mendasari seperti demensia penyakit alzheimer atau demensia pada penyakit lain ydk.
Gambaran utama pada pasien demensia adalah dengan adanya gangguan fungsi kognitif (daya
ingat, daya pikir dan daya belajar), gangguan sensorium (gangguan kesadaran dan perhatian)
serta terdapat gangguan manifestasi yang menonjol seperti adanya gangguan persepsi seperti
halusinasi, waham/delusi atau gangguan suasana perasaan dan emosi seperti depresi, gembira
dan cemas.1,2
Diagnosis pada kasus pasien ini adalah gangguan mental organik yang mengarah
kepada demensia vaskular (F01). Demensia vaskuler merupakan suatu kelompok kondisi
heterogen yang meliputi semua sindroma demensia akibat iskemik, perdarahan, anoksik atau
hipoksik otak dengan penurunan fungsi kognitif mulai dari yang ringan sampai paling berat
dan tidak harus dengan gangguan memori yang menonjol. Demensia vaskular diakibatkan
oleh adanya penyakit pembuluh darah serebral. Adanya infark tunggal di lokasi tertentu,
episode hipotensi, leukoaraiosis, infark komplit, dan perdarahan juga dapat menyebabkan
timbulnya kelainan kognitif. Sindrom demensia yang terjadi pada demensia vaskular
merupakan konsekuensi dari lesi hipoksia, iskemia, atau adanya perdarahan di otak. Tingkat
prevalensi demensia adalah 9 kali lebih tinggi pada pasien yang telah mengalami stroke. Satu
tahun setelah stroke, 25% pasien masuk dengan onset baru dari demensia. Prevalensi
demensia vaskular akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia seseorang, dan
lebih sering dijumpai pada laki-laki.1,2
Berdasarkan PPDGJ – III, pedoman diagnostik demensia vaskular (F01) adalah sebagai
berikut: 2
1. Terdapatnya gambaran demensia. Pedoman diagnostik untuk demensia sendiri yaitu:
o Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai
mengganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of daily living)
seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil.
o Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness).
o Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikitnya 6 bulan
2. Disabilitas fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat hilangnya daya
ingat, gangguan daya pikir, gejala neurologis fokal). Daya tilik diri (insight) dan daya
nilai (judgement) secara relatif tetap baik.
3. Suatu onset yang mendadak atau deteriorisasi yang bertahap, disertai adanya gejala
neurologis fokal, meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia vaskuler.
4. Pada beberapa kasus, penetapan hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan
atau pemeriksaan neuropatologis.
Sedangkan berdasarkan DSM V, pedoman diagnostik dari Major or Mild Vascular
Neurocognitive Disorder adalah sebagai berikut: 1
A. Kriteria terpenuhi untuk gangguan neurokognitif mayor atau minor.
B. Gambaran klinis konsisten dengan etiologi vaskular, dengan salah satu dari kejadian
berikut:
1. Onset defisit kognitif secara temporer terkait dengan satu atau lebih kejadian
serebrovaskular.
2. Bukti penurunan yang menonjol terdapat pada complex attention (termasuk kecepatan
pemrosesan) dan fungsi eksekutif-frontal.
C. Terdapat bukti adanya penyakit serebrovaskular dari riwayat, pemeriksaan fisik, dan / atau
hasil dari neuroimaging yang dianggap cukup untuk menjelaskan defisit neurokognitif.
D. Gejala-gejalanya tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh penyakit otak lain atau
gangguan sistemik.
Kemungkinan adanya gangguan neurokognitif vaskular didiagnosis apabila terdapat salah
satu dari kriteria berikut;
1. Kriteria klinis didukung oleh bukti hasil dari neuroimaging dari cedera parenkim yang
dikaitkan dengan penyakit serebrovaskular.
2. Sindrom neurokognitif yang berhubungan dengan satu atau lebih kejadian
serebrovaskular yang terdokumentasi.
3. Terdapat bukti penyakit serebrovaskular baik secara kejadian klinis dan genetik
(misalnya, arteriopati dominan autosom serebral dengan infark subkortikal dan
leukoensefalopati).
Kemungkinan gangguan neurokognitif vaskular didiagnosis jika kriteria klinis terpenuhi
tetapi neuroimaging tidak tersedia dan hubungan temporal sindrom neurokognitif dengan satu
atau lebih kejadian serebrovaskular tidak ditetapkan.
Pada kasus ini, pasien memenuhi ketiga kriteria diagnostik PPDGJ-III dan DSM V
tersebut. Dimana pada berdasarkan PPDGJ-III, kriteria pertama dan kedua terpenuhi karena
adanya gambaran utama gejala demensia yaitu dengan munculnya penurunan kemampuan
daya ingat dan daya pikir (defisit kognitif multipleks) yang mendadak hingga mengganggu
fungsi sosial atau okupasional pasien seperti lupa dengan anggota keluarga, kesulitan bicara,
dan sulit untuk mengurus dirinya sendiri. Kriteria ketiga juga telah terpenuhi dengan adanya
ditemukan adanya riwayat penyakit stroke sebelumnya dengan riwayat rawat inap di rumah
sakit dua kali. Riwayat penyakit stroke ini diduga menjadi pemicu timbulnya gangguan pada
pasien sehingga adanya onset deteriorisasi yang mendadak sejak serangan stroke yang ke
dua. Dimana hal ini juga memenuhi kriteria dari DSM V untuk onset defisit kognitif secara
temporer terkait dengan satu atau lebih kejadian serebrovaskular yang terdokumentasi secara
klinis. Selain itu, penilaian neurologis untuk mendukung diagnosis sering kali
mengungkapkan riwayat stroke dan / atau dengan episode iskemik transien, dan tanda-tanda
infark otak. Hal ini juga sering dikaitkan adalah perubahan kepribadian dan suasana hati,
abulia, depresi, dan ketidakstabilan emosional. Perkembangan gejala depresi onset lambat
disertai dengan perlambatan psikomotor dan disfungsi eksekutif adalah presentasi umum di
antara orang dewasa yang lebih tua dengan penyakit iskemik pembuluh kecil progresif
("depresi vaskular").1-3
Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf atau
hilangnya komunikasi antara sel-sel ini. Meskipun telah banyak studi dilakukan, namun
sampai sekarang belum ada gambaran yang jelas bagaimana demensia terjadi. Patologi dari
penyakit vaskuler dan perubahan-perubahan kognisi terjadi secara makroskopik dan
mikroskopik. Beberapa studi menunjukkan lokasi dari kecenderungan lesi patologis, yaitu
bilateral dan melibatkan pembuluh-pembuluh darah besar (arteri serebri anterior dan arteri
serebri posterior). Studi lain menunjukan keberadaan lakuna-lakuna di otak misalnya di
bagian anterolateral dan medial thalamus, yang dihubungkan dengan defisit neuropsikologi
yang berat. Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus
pada otak dan menyebabkan penurunan kognitif.4-6
Stress oksidatif dan inflamasi yang diinduksi dari faktor-faktor tersebut bertanggung
jawab terhadap kerusakan dari fungsi unit neurovaskular. Yang menyebabkan hipoksia-
iskemia, demyelinisasi axonal, dan penurunan potensi perbaikan dari white matter dengan
perubahan oligodendrycte progenitor cell. Kerusakan dari white matter berkontribusi
terhadap VCI (Vascular Cognitive Impairment) dan AD (Alzheimer’s Disease). Penyakit
serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi vaskular emboli atau trombotik. Area
otak yang berhubungan dengan penurunan kognitif adalah substansia alba dari hemisfera
serebral dan nuklei abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus. Mekanisme
patofisiologi dimana patologi vaskuler menyebabkan kerusakan kognisi masih belum jelas.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam kenyataannya beberapa patologi vaskuler yang berbeda
dapat menyebabkan kerusakan kognisi, termasuk trombosis otak, emboli jantung, dan
perdarahan.4-6

(a)

(b)
Gambar 1. (a) Mekanisme dari kerusakan white matter oleh faktor resiko cardiovascular dan
Aβ dan (b) Gambaran letak lesi pada demensia vaskular.
Diagnosis banding pada kasus ini adalah demensia penyakit Alzheimer (F00) dan
delirium (F05). Diagnosis demensia penyakit Alzheimer dapat disingkirkan karena perjalanan
onset penyakit yang mendadak disertai adanya gejala neurologis fokal setelah adanya
kejadian serebrovaskular yang terdokumentasi yaitu serangan stroke serta disangkalnya ada
riwayat keluarga yang berpenyakit Alzheimer. Dimana berdasarkan DSM V, pada penyakit
Alzheimer’s Disease, riwayat keluarga, penurunan progresifitas penyakit secara bertahap dan
tidak adanya penyebab etiologi lain adalah kriteria untuk menegakkan demenisa penyakit
Alzheimer (F00). Pemeriksaan penunjang seperti hasil CT-scan kepala atau MRI untuk
melihat letak abnormalitas pada struktur otak pasien atau pengambilan kadar cairan
sereprospinal beta – amyloid dan tau dapat membantu menegakkan adanya kemungkinan
komorbiditas dementia vaskuler yang terjadi bersamaan dengan Alzheimer’s Disease.
Diagnosis delirium juga dapat disingkirkan karena tidak adanya gangguan perhatian
(attention), gangguan persepsi yang menonjol maupun adanya gangguan kesadaran (arousal)
pada pasien. Dari autoanamnesis dan alloanamnesis juga disangkal adanya riwayat etiologi
penyakit lain seperti tumor otak, multiple sclerosis, ensefalitis ataupun penyakit metabolik.
1,4,5

Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi


diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat
dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan
pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pasien juga
dianjurkan mengubah pola hidupnya menjadi gaya hidup yang sehat yaitu dengan pengaturan
diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Penderita hipertensi,
diabetes melitus, hiperlipidemia harus diberikan pengobatan secara optimal dan dianjurkan
untuk berhenti merokok serta membatasi asupan alkohol. Obat-obatan yang diberikan dapat
berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah
harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal,
hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler.
Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif,
secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler.6,7,8
Psikoterapi suportif dan edukatif juga dapat dilakukan sehingga pasien dapat
memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa
mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas.
Hal ini dikarenakan kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien
dengan demensia. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang
pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat
memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan
penyakit yang sedang dialaminya.7,8
Tujuan terapi nonfarmakologi atau intervensi psikososial adalah meningkatkan kualitas
hidup Orang dengan Demensia (ODD). Tidak ada pendekatan psikososial tunggal yang
optimal, sehingga pendekatan multidimensial sangat penting untuk intervensi yang efektif.
Pendekatan sebaiknya terfokus pada individu dan disesuaikan dengan kebutuhan,
kepribadian, kekuatan dan preferensi. Berdasarkan tujuan akhir yang akan dicapai. Intervensi
dibagi menjadi 3 kelompok:7,8
1. Mempertahankan fungsi:  
- Mengadopsi strategi untuk meningkatkan kemandirian seperti terapi
komunikasi, pelatihan keterampilan perencanaan kegiatan sehari – hari, latihan
fisik, rehabilitasi berupa fisioterapi, kegiatan rekresiasi
- Memelihara fungsi kognitif melalui stimulasi, pelatihan dan rehabilitasi
kognitif, terapi orientasi realitas, terapi reminiscence.
2. Manajemen perilaku sulit - agitasi, agresi, and psikosis melalui pendekatan
manajemen perilaku, terapi musik, terapi validasi, aktifitas fisik, stimulasi
multisensorik, terapi pijat dan sentuhan, aromaterapi, terapi cahaya.
3. Mengurangi gangguan emosional komorbid seperti kecemasan dan depresi melalui
cognitive behavioural therapy (CBT), konseling individu dan keluarga, intervensi
pengasuh.
Gambar 2. Kerangka tatalaksana pasien demensia berdasarkan Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia tahun 2015.8

Adapun cara melakukan pencegahan agar progresifitas penyakit demensia tidak memburuk:7,8
 Jaga agar pikiran selalu aktif. Seperti teka-teki dan permainan kata, belajar bahasa,
bermain alat music, membaca, menulis, melukis atau menggambar.
 Aktif secara fisik dan sosial. Hal ini dapat menunda mulainya demensia dan juga
mengurangi gejala.
 Kejarlah pendidikan. Para peneliti berpendapat bahwa pendidikan dapat membantu
seseorang mengembangkan jaringan sel saraf otak yang kuat yang mengkompensasi
kerusakan sel saraf.
 Menurunkan kadar kolesterol, tekanan darah dan mengendalikan diabetes adalah
upaya untuk mengurangi faktor resiko pada demensia vaskular.
 Pola makan yang sehat. Studi menunjukan bahwa makanan yang kaya buah-buahan,
sayuran dan omega-3 asam lemak, dapat memiliki efek perlindungan dan menurunkan
resiko demensia.
Pasien demensia pada umumnya terjadi pada usia diatas 50 tahun, dengan kemunduran
bertahap selama 5 sampai 10 tahun, kemudian mengalami kematian. Demensia vaskular
dapat memperpendek jangka waktu hidup sebanyak 50% pada lelaki, individu dengan
tingkat edukasi yang rendah dan pada individu dengan hasil uji neurologi yang
memburuk. Penyebab kematian adalah komplikasi dari demensia, penyakit
kardiovaskular dan berbagai lagi faktor lainnya seperti keganasan. 4,8
Derajat tingkat keparahan serta perjalanan penyakit sangat menentukan dalam
penentuan prognosis dalam demensia vaskuler. Jika gangguan dapat ditemukan lebih awal
dengan tepat sebelum kerusakan otak maka prognosisnya akan jauh lebih baik dibandingkan
dengan vaskuler demensia yang terlambat ditangani. Hal ini berkaitan dengan reversibilitas
dari lesi pada otak. Pada pasien ini pemeriksaan penunjang seperti CT-scan kepala atau MRI
diperlukan untuk melihat letak abnormalitas struktur pada otak. Pemeriksaan MMSE (Mini-
Mental State Examination) juga dapat dilakukan untuk melihat fungsi kognitif pasien. 4,8
Studi menunjukkan bahwa orang dengan onset awal demensia atau dengan riwayat
keluarga demensia mengalami perjalanan penyakit yang cepat. Apabila demensia
terdiagnosis, pasien harus mendapatkan penanganan medis lengkap dan penanganan
neurologis, karena 10-15% pasien dengan demensia memiliki potensi reversibel jika
pengobatan dimulai sebelum muncul kerusakan otak. 4,8
Dengan pengobatan psikososial dan farmakologi dan self-healing oleh otak, progresifitas
demensia bisa berjalan dengan lambat bahkan berkurang. Pemulihan gejala mungkin terjadi
pada demensia reversibel (demensia yang disebabkan oleh hypothyroidism, normal pressure
hydrocephalus, dan tumor otak) jika ditangani dengan tepat. Keparahan perjalanan penyakit
demensia berpengaruh pada faktor psikososial. Orang dengan premorbid intelejensi dan
edukasi yang lebih tinggi, memiliki kemampuan untuk mengkompensasi penurunan intelejen.
Kecemasan dan depresi dapat memperparah gejala. 4,8
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), Fifth edition.
American Psychiatric Association. 2013.
2. Maslim R. Buku saku Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
3. Roehr B. American psychiatric association explains DSM-5. BMJ. 2013 Jun 6;346.
4. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2008.
5. H, Juebin. Dementia. Merck Manual Home Health Handbook. 2008.
6. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6, ECG, Jakarta, 2006: 1134-1138.
7. Brust, J.C.M. (2008). Current Diagnosis & Treatment: Neurology. McGraw-
HillCompanies, Inc. Singapore.
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2015). Panduan Praktik Klinik:
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia

Anda mungkin juga menyukai