Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM BISNIS

“HUKUM PERSAINGAN USAHA”

Dosen Pengampuh:

Abdul latief S.E.,M.Si

Disusun oleh:

Nama: Muhammad Fahri


Nim : 190201019
Prodi : Ekonomi Manajemen

06 April 2021

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SAMUDERA LANGSA

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hukum Persaingan
Usaha” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dari Bapak Abdul Latief S.E,M.SI pada Mata Kuliah Hukum Bisnis. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hukum Persaingan
usaha bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Abdul Latief selaku dosen Hukum
Bisnis yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
saya pribadi tentunya. Saya menyadari bahwa makalah saya ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan saya nanatikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Langsa, 06 April 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................................... 7
1.3 Tujuan ........................................................................................................................................... 7
BAB II..................................................................................................................................................... 8
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 8
2.1 Pengertian Hukum Persaingan Usaha ........................................................................................... 8
2.2 Dasar Hukum Persaingan Usaha................................................................................................. 9
2. 3 Ruang Lingkup Hukum Persaingan Usaha ...............................................................................11
2.4 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).............................................................................13
BAB III .................................................................................................................................................16
PENUTUP ............................................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, tindakan atau
perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya dimana pelanggaran atas kaedah tersebut dapat
dikenakan sanksi, baik yang bersifat administratif maupun sanksi pidana. Namun, persaingan
usaha yang sehat akan berakibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing atau
berkompetisi karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efisiensi, produktivitas,
dan kualitas produk yang dihasilkan.Penegakan pelanggaran hukum persaingan usaha harus
dilakukan terlebih dahulu melalui KPPU. Terhadap putusan KPPU diberikan hak kepada
pelaku usaha untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Selain itu dapat diserahkan
kepada penyidik kepolisian, kemudian diteruskan ke pengadilan jika pelaku usaha tidak
bersedia menjalankan putusan yang telah dijatuhkan oleh KPPU.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga baru yang dikenalkan
oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur
mengenai perjanjian, kegiatan dan penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengarah
pada praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan tender
merupakan bentuk kegiatan yang dilarang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
yang dijelaskan dalam Pasal 22. Persekongkolan tender dilarang karena dapat menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilakukannya tender tersebut,
yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan
harga dan kualitas bersaing. Dengan adanya larangan ini diharapkan pelaksanaan tender akan
menjadi efisien, artinya mendapatkan harga termurah dengan kualitas terbaik.

Dalam persekongkolan tender, praktek diskriminasi seringkali dilakukan untuk


menghambat atau mencegah pelaku usaha lain yang tidak ikut dalam persekongkolan tender
sehingga ia tersingkir dalam tender itu. Sedangkan praktek diskriminasi dalam Pasal 19 huruf
d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 diartikan sebagai setiap perlakuan yang berbeda
yang dilakukan terhadap satu pihak tertentu, dan dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki

4
kekuatan pada pasar tersebut. Dalam dunia usaha, pelaku usaha melakukan praktek
diskriminasi dapat disebabkan karena berbagai hal. Praktek diskriminasi yang paling umum
dilakukan adalah diskriminasi harga, yang dilakukan pelaku usaha untuk mengambil
keuntungan secara maksimal dari surplus konsumen. Praktek diskriminasi selain harga dapat
terjadi karena alasan untuk mengeluarkan perusahaan pesaing dari pasar atau menghambat
pesaing potensial untuk masuk pasar. Praktek diskriminasi jenis ini tentunya akan melanggar
prinsip persaingan usaha yang sehat. Pada kedua pasal ini dapat berakibat sama tetapi aspek
yang dilarang berbeda. Perbedaan substantif praktek diskriminasi dalam Pasal 19 huruf d
yaitu praktek diskriminasi dilakukan oleh pelaku usaha karena ia memiliki kekuatan pada
pasar yang bersangkutan. Sedangkan praktek diskriminasi dalam Pasal 22 merupakan cara
untuk menyingkirkan kompetitor, sehingga pelaku usaha yang melakukannya belum
tentu/tidak selalu memiliki kekuatan pada pasar yang bersangkutan. Dalam praktek
penegakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 KPPU tidak membedakan secara substantif
praktek diskriminasi dalam dua pasal tersebut. Bahkan KPPU mengenakan Pasal 19 huruf d
bersama-sama dengan Pasal 22. Sebagai contoh dalam perkara penjualan dua kapal Tanker
Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina. Perkara ini berawal dari laporan yang
diterima KPPU pada 29 Juni 2004 dan pada 9 Juli 2004 yang menyatakan terdapat dugaan
pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 pada penjualan dua unit tanker VLCC
Pertamina.

Dalam pemeriksaan, Majelis Komisi menemukan fakta telah dibangun 2 (dua) unit
tanker VLCC pada November 2002. Pembangunan ini dilaksanakan oleh Hyundai Heavy
Industri di Ulsan, Korea. Untuk keperluan pendanaan, Pertamina merencanakan penerbitan
obligasi atas nama PT Pertamina Tongkang, namun dibatalkan dan dilakukan kajian ulang
terhadap kelayakan atas kepemilikan VLCC. Pada April 2004 Direksi Pertamina mengambil
kebijakan untuk menjual dua unit VLCC dengan membentuk Tim Divestasi internal dan
menunjuk Goldman Sachs sebagai financial advicor dan arranger tanpa melalui tender.
Terdapat bukti persekongkolan dalam penjualan dua unit tanker VLCC antara pertamina dan
Godman Sachs dengan indikasi: 1) memberikan kesempatan kepada Fontline melalui
brokernya (PT Equinox) untuk memasukkan penawaran ketiga saat batas waktu pengajuan
penawaran telah ditutup tanggal 7 Juni 2004. Selain itu, terbukti adanya korespondensi e-mail
PT Equinox selaku broker dengan frontline pada 9 Juni 2004. 2) penawaran ketiga frontline
yang berbeda tipis sebesar US$ 500 ribu dengan penawaran yang kedua dari Essar. 3)
pembukaan sampul penawaran ketiga frontline tidak dilakukan dihadapan notaris

5
(sebagaimana yang diatur dalam ketentuan tender yang dibuat oleh Godman Sach/request for
bid). Akibatnya terdapat kerugian antara US$ 20 juta-US$ 56 juta untuk dua unit VLCC
karena harga yang diperoleh hanya sebesar US$ 184 juta untuk 2 unit tanker VLCC, jauh
dibawah harga pasar saat itu (Juli 2004) yang berkisar antara US$ 204-240juta untuk dua unit
VLCC. KPPU menemukan bukti bahwa Pertamina juga melakukan diskriminasi dengan
menunjuk langsung Godman Sachs sebagai FA dan arranger untuk proses penjualan tanker
tersebut. Dalam putusan perkara ini, menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 dalam hal penunjukan langsung Goldman Sachs (Singapore), Pte. sebagai financial
advisor dan arranger; menyatakan bahwa PT Pertamina dan Goldman Sachs (Singapore), Pte.
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 dalam hal penerimaan penawaran (bid) ketiga dari Frontline, Ltd.; menyatakan
bahwa PT Pertamina (Persero), Goldman Sachs (Singapore), Pte., Frontline, Ltd. dan PT
Perusahaan Pelayaran Equinox terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999; dan menghukum masing-masing terlapor dengan
denda yang berbeda-beda. Terhadap Putusan KPPU tersebut, Mahkamah Agung menolaknya
dengan dasar bahwa makna praktek diskriminasi secara substantif berbeda. Dimana Pasal 19
huruf d hanya mengatur tentang kegiatan yang dilarang terhadap pelaku usaha yang
melakukan penguasaan pasar dalam hal ini untuk penguasaan pasar dari kapal tanker
(VLCC).

Berdasarkan contoh kasus tersebut, putusan MA telah mengoreksi putusan KPPU,


dimana dalam menggunakan Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 tidak dapat dilakukan secara
bersama-sama atau bahkan kedua pasal tersebut diartikan sama, karena dari kedua pasal
tersebut aspek yang dilarang berbeda, secara subtantif pada Pasal 19 huruf d praktek
diskriminasi dilakukan oleh pelaku usaha karena ia memiliki kekuatan pada pasar yang
bersangkutan, Pasal 19 huruf d juga diperuntukan untuk menjerat praktek diskriminasi yang
tidak disebabkan oleh persekongkolan, sedangkan praktek diskriminasi dalam Pasal 22
merupakan cara menyingkirkan kompetitor dan belum tentu ia memiliki kekuatan pada pasar
bersangkutan.

6
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha?
2. Bagaimana Dasar Hukum Persaingan Usaha?
3. Apa yang dimaksud dengan Ruang Lingkup Hukum Persaingan Usaha?
4. Apa yang dimaksud dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum persaingan usaha
2. Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum persaingan usaha
3. Untuk mengetahui pengertian dari ruang lingkup hukum persaingan usaha
4. Untuk mengetahui pengertian dari komisi pengawas usaha (KPPU)

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Persaingan Usaha


Hukum Persaingan Usaha terdiri dari kata hukum dan persaingan usaha. Bila
dikehendaki persaingan usaha dapat dipecah lagi menjadi kata persaingan dan usaha. Hukum
merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat (levensvoorschriten)
sehingga hukum selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Menurut
Borst hukum ialah keseluruhan peraturan bagikelakuan atau perbuatan manusia didalam
masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau
keadilan. Utrecht dan Van Apeldoorn beranggapan bahwa untuk memberikan suatu definisi
yang tepat tentang hukum adalah tidak mungkin. Hukum mengatur hubungan didalam
masyarakat antara orang dengan orang atau antara anggota masyarakat yang lain. Bentuk
hubungannya dapat lebih terinci lagi dalam bermacam-macam bentuk seperti perkawinan,
tempat kediaman, perjanjian-perjanjian, dan lain sebagainya

Persaingan merupakan suatu perjuangan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
orang tertentu (kelompok sosial), agar memperoleh kemenangan memperlihatkan keunggulan
masing-masing yang dilakukan oleh perseorangan (perusahaan, negara) pada bidang
perdagangan, produksi, maupun persenjataan.Usaha dalam kehidupan sehari-hari dapat
diartikan sebagai upaya manusia untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu,
usaha atau dapat juga disebut suatu perusahaan adalah suatu bentuk usaha yang melakukan
kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan, baik yang
diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau
tidak berbentuk badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan di suatu daerah dalam suatu
negara. Persaingan usaha adalah kondisi dimana terdapat dua pihak (pelaku usaha) atau lebih
berusaha untuk saling mengungguli dalam mencapai tujuan yang sama dalam suatu usaha
tertentu. Pengertian dari hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang
interaksi atau hubungan perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku
perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi. Pengertian persaingan
usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan persaingan dalam ekonomi yang berbasis pada
pasar, dimana pelaku usaha baik perusahaan maupun penjual secara bebas berupaya untuk

8
mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha atau perusahaan tertentu yang
didirikannya. Dilihat dari segi ekonomi, pengertian persaingan atau competition adalah:

a. Merupakan suatu bentuk struktur pasar, dimana jumlah perusahaan yang menyediakan
barang di pasar menjadi indikator dalam menilai bentuk pasar seperti persaingan sempurna
(perfect competition), Oligopoli (adanyabeberapa pesaing besar).

b. Suatu proses dimana perusahaan saling berlomba dan berusaha untuk merebutkonsumen
atau pelanggan untuk dapat menyerap produk barang dan jasa yangmereka hasilkan, dengan
cara:

1) Menekan harga (price competition);

2) Persaingan bukan terhadap harga (non price competition) melalui deferensial produk,
pengembangan HAKI, promosi/iklan, pelayanan purna jual;

3) Berusaha untuk lebih efesien (low cost production).

2.2 Dasar Hukum Persaingan Usaha


Kegiatan perekonomian nasional dalam pengaturannya diatur dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 dimana ekonomi diatur oleh kerjasama berdasarkan prinsip
gotong royong. Secara tidak langsung dalam Pasal 33 UUD dimana demokrasi memiliki ciri
khas yang proses perwujudannya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk
kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh rakyat.
Pemikiran demokrasi ekonomi perlu diwujudkan dalam menciptakan kegiatan ekonomi yang
sehat, maka perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan
perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha didalam upaya untuk menciptakan
persaingan usaha yang sehat. Ketentuan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat di Indonesia terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku secara efektif 1 (satu)
tahun sejak diundangkan. Sebelum UU No. 5 Tahun 1999 berlaku secara efektif dan menjadi
dasar hukum persaingan usaha, telah ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai persaingan usaha. Pengaturannya terdapat dalam sejumlah peraturan

9
perundang-undangan yang tersebar secara terpisah (sporadis) satu samalain. Adapun
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai antimonopoli dan persaingan usaha
tidak sehat adalah sebagai berikut:

a. Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Pasal 1365 KUHPerdata

c. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

d.Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo Undang-Undang No. 12 Tahun1970 jo


Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Penanaman ModalDalam Negeri

e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

f. Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 14 Tahun 1997tentang


Merek

g. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

h. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

i. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

j. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan


Pengambilalihan Perseroan Terbatas

k. Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum

Keberadaan UU No. 5 Tahun 1999 sebagai dasar hukum persainganusaha juga


dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana dan peraturan terkait lainnya baik yang
dikeluarkan oleh KPPU dalam bentuk Peraturan Komisi (Perkom), Pedoman KPPU, Surat
Keputusan (SK) dan Surat Edaran (SE), maupun yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma).

10
2. 3 Ruang Lingkup Hukum Persaingan Usaha
Penerapan hukum persaingan usaha bertujuan untuk menghindari timbulnya persaingan
usaha tidak sehat. Pasal 1 angka (6) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha. Pengertian persaingan usaha tidak sehat ini dapat
dilakukan dalam bentuk perjanjian dan kegiatan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun
1999 .

a. Perjanjian yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999

Perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan denganmana


satu orang atau lebih mengikatkan dirinya erhadap satu orang lain atau lebih. Handri Raharjo
bersandarkan pada Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu
hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasarikata sepakat antara subjek hukum
yang satu dengan yang lain, dan di antaramereka (para pihak/subjek hukum) saling
mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga
subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak
lainnya berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian itu. Sedangkan Subekti menyatakan
bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa, dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau
dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal Pasal 7 Ayat (1) UU No. 5
Tahun 1999 mengatur secara khusus mengenai apayang dimaksud dengan perjanjian.
Perjanjian dalam Pasal ini didefinisikan sebagai: suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU No.
5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, antara lain meliputi:

(1) Perjanjian Oligopoli

Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha melakukan perjanjian oligopoli
yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasaiproduksi dan atau pemasaran

11
suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.

(2) Perjanjian Penetapan Harga

UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan perjanjian dengan
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasayang harus dibayar
konsumen atau pelanggannya. UU No. 5 Tahun 1999 membagi perjanjian penetapan harga
kedalam beberapa jenis yaitu:

a) Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)

Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 merumuskan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untukmenetapkan harga atau suatu
barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.

b) Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)

Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga, dimana
bunyi Pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarangmembuat perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga
yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”

c) Harga Pemangsa atau Jual rugi (Predatory Pricing)

Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan olehpelaku usaha
dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya produksi(average cost atau marginal
cost). Tujuan utama dari predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari
pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke
dalam pasaryang sama.

d) Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance) – (Vertical Price Fixing)

Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratanbahwa penerima barang dan
atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya,
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga
dapatmengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

12
e) Perjanjian Pembagian Wilayah (Market Division)

Prinsipnya perjanjian antara pelaku usaha untuk membagi wilayahpemasaran diantara


mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadapkonsumen, dimana konsumen tidak
mempunyai pilihan yang cukup baik dari segi barang maupun harga. UU No. 5 Tahun 1999
melarang perbuatan tersebut dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untukmembagi wilayah
pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

(3) Pemboikotan

Pasal 10 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha
lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar
luar negeri.

2.4 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)


UU No. 5 Tahun 1999 dalam pengaturannya diawasi oleh suatu komisi pengawas.Dasar
hukum pembentukan komisi pengawas adalah Pasal 30 Ayat (1) yangmenyatakan: “Untuk
mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha”.
Selain itu pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999 yang
menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi
ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Pasal 1
Ayat (1) Keppres No 75 Tahun 1999 tertanggal 8 Juli 1999 dan diberi nama Komisi
Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.

1. Kedudukan KPPU

UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa komisi adalah lembaga independen, hal ini
berarti komisi pengawas bebas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Presiden Republik
Indonesia secara eksplisit menegaskan kembali hal ini dalam Pasal 1 Ayat (2) Keputusan
Presiden tertanggal 8 Juli 1999 tersebut. Hal ini merupakan penegasan secara formal
kewajiban pemerintah untuk tidak mempengaruhi komisi dalam menerapkan undang-undang.

KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain
menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan

13
memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif, meskipun KPPU mempunyai fungsi
penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga
peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan
sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga
administratif karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif,
sehingg sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.

Ada dua alasan dari pembentukkan lembaga KPPU ini, yakni: Pertama, alasan filosofis
yang dijadikan dasar pembentukannya, yaitu dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan
hukum diperlukan suatu lembaga yang mendapat kewenangan dari negara (pemerintah dan
rakyat). Dengan kewenangan yang berasal dari negara, diharapkan lembaga pengawas ini
dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, serta sedapat mungkin
mampu bertindak independen. Adapun alasan yang kedua adalah alasan sosiologis, yakni
alasan sosiologis dijadikan dasar pembentukan KPPU adalah menurunnya citra pengadilan
dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban perkar pengadilan yang sudah
menumpuk dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang
meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut
meliputi penyidikan, penuntutan konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Status KPPU diatur dalam Pasal 30 Ayat (3) yang menyatakan: “Komisi bertanggung jawab
kepada Presiden”. Komisi diwajibkan memberi laporan kepada presiden, komisi tetap bebas
dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, sehingga kewajiban untuk memberikan laporan
adalah semata-mata merupakan pelaksanaan prinsip administrasi yang baik. Kewajiban
tersebut yang termuat dalam Pasal 35 huruf g adalah sesuai dengan Pasal 30 Ayat (3). Diatur
dalam Pasal 30 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Komisi adalah suatu lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain”.
disebabkan karena Komisi melaksanakan sebagian tugas-tugas pemerintah, dimana
kekuasaan tertinggi pemerintahan berada dibawah presiden. Jadi, sudah sewajarnya jika
KPPU bertanggungjawab kepada Presiden.

2. Wewenang dan Tugas KPPU

Dalam kedudukannya sebagai pengawas, UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 36 danPasal 47


telah memberikan kewenangan khusus kepada KPPU. Secara garis besar, kewenangan KPPU
dapat dibagi dua, yaitu wewenang aktif dan wewenang pasif. Wewenang aktif adalah

14
wewenang yang diberikan kepada KPPU melalui penelitian. KPPU berwenang melakukan
penelitian terhadap pasar, kegiatan, dan posisi dominan. KPPU juga berwenang melakukan
penyelidikan, menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan, memanggil pelaku
usaha, memanggil dan menghadirkan saksi-saksi, meminta bantuan penyelidik, meminta
keterangan dari instansi pemerintah, mendapatkan dan meneliti dokumen dan alat bukti lain
memutus dan menetapkan, serta menjatuhkan sanksi administatif. Adapun wewenang pasif
adalah menerima laporan dari masyarakat dari atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum persaingan merupakan salah satu perangkat hukum penting dalam ekonomi
pasar (market economy). Melalui hukum persaingan usaha, pemerintah berupaya melindungi
persaingan yang sehat antar pelaku usaha di dalam pasar. Khemani (1998), menjelaskan
bahwa persaingan yang sehat akan memaksa pelaku usaha menjadi lebih efisien dan
menawarkan lebih banyak pilihan produk barang dan jasa dengan harga yang lebih murah.

Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, tindakan atau
perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya dimana pelanggaran atas kaedah tersebut dapat
dikenakan sanksi, baik yang bersifat administratif maupun sanksi pidana. Namun, persaingan
usaha yang sehat akan berakibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing atau
berkompetisi karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efisiensi, produktivitas,
dan kualitas produk yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, Yong Seok dan Jung, Youngjin. Merger Control in Korea, The Asia

Pacific Antitrust Review. 2004.

Anderson, Thomas J. Our Competitive System and Public Policy. South

Western Publishing Company: Cincinnati, 1958.

Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi

Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2002.

Case, Karl E. dan Fair, Ray C. Prinsip-prinsip Ekonomi [Principles of

16
Economics], diterjemahkan oleh Y. Andri Zaimur. Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2007.

Clarke and Corones. Competition Law and Policy: Cases and Materials.

South Melbourne: Oxford University Press, 2005.

Dunnet, Andrew. Understanding Market: An Introduction to

Microeconomics 3

rd

Edition. Indiana: Longman, 1998.

Ezaki, Shigeyoshi dan Moussis, Vassili. Japan: Merger Control, The

Asia-Pacific Antitrust Review. 2010.

Fox, Elanor M and Sullivan, Lawrence A. Case and Materials on

Antitrust. St. Paul Minn: West Publishing Company, 1989.

Gellhom, Ernest dan Kovacic, William E. Antitrust Law and Economics.

United States of America: West Publishing Co., 1994.

Gie, Kwik Kian Gie. Saya Bermimpi Jadi Konglomerat. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Hansen, Knud et. Al. Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat: Law Concerning Prohibition

of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition.

Jakarta: GTZ dan Katalis Publishing Media Services, 2002.

Ibrahim, Johnny. Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan

Implikasi Penerapannya di Indonesia. Malang: Bayumedia, 2006.

17

Anda mungkin juga menyukai