Presentasi Kasus CKR
Presentasi Kasus CKR
Diajukan kepada :
dr. Surya Habsara, Sp.B
Disusun Oleh :
Muhammad Irfan Ba’asir
20204010277
Disusun Oleh:
Dokter Pembimbing
Cedera kepala atau trauma kapitis atau cedera otak merupakan salah satu kasus trauma
yang banyak terjadi di dunia dan penyebab kematian dan kecacatan yang tinggi. Dibandingkan
dengan kasus trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertinggi yaitu sekitar kurang
lebih 80%. Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung maupun
tidak langsung yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu fisik, kognitif, dan
psikososial.
Menurut Brain Injury Association of America (2006), cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala biasanya dikaitkan dengan cedera
otak akibat trauma atau traumatis. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai kerusakan struktur
otak yang dihasilkan dari gaya mekanik eksternal, seperti benturan, percepatan dan/atau
perlambatan yang terjadi secara cepat, atau ledakan.
Secara global, lebih dari 50 juta individu setiap tahunnya pernah mengalami cedera kepala.
Beberapa pasien yang bertahan dari cedera kepala mengalami komplikasi setelah trauma seperti
masalah di fungsi neurologis, psikososial, dan disabilitas yang permanen. Kejadian cedera kepala
di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas , 10%
penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk
cedera kepala berat. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 49-53% dari insiden cedera
kepala, 20-28% lainnya karena jatuh dan 3-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan
olahraga, dan rekreasi.
Penanganan terhadap pasien cedera kepala dilakukan sesuai dengan kondisi pasien dan
derajat dari cedera tersebut, tidak semua cedera kepala memerlukan tindakan pembedahan. Oleh
karena itu, mulai dari penilaian awal kondisi pasien seperti kesadaran pasien hingga pemeriksaan
penunjang menjadi hal yang sangat krusial pada pasien cedera kepala.
BAB II
KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. Tugiyo
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 18/04/2021
Tanggal Keluar : 21/04/2021
B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan pusing berputar disertai nyeri pada punggung setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD diantar ambulance PMI pukul 05.57, setelah kecelakaan lalu lintas
tunggal menggunakan motor. Pasien datang dengan keluhan pusing berputar disertai nyeri
pada punggung kanan . Pasien tidak ingat kejadian, tidak ada mual dan muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat Diabetes Melitus : (-)
Riwayat Alergi obat : (-)
Riwayat Jantung : (-)
Riwayat Gastritis : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
C. PEMERIKSAAN FISIK
Kasus merupakan kasus emergency, kasus bedah, dan kasus trauma sehingga perlu dilakukan
primary survey terlebih dahulu.
1. Primary Survey
A (Airway)
Bebas, tidak ada sumbatan jalan napas.
C-Spine control : baik
B (Breathing and Ventilation)
Frekuensi napas : 26x/menit
Saturasi Oksigen : 99%
Inspeksi : simetris kanan dan kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
C (Circulation and Hemmorhage Control)
Frekuensi nadi : 82x/menit
Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap : Terlampir
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Perdarahan : Terdapat perdarahan akibat vulnus laceratum di punggung kanan diameter
10-15 cm dan kedalaman 2-3 cm.
D (Disability)
GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
Refleks cahaya : +/+
E (Exposure)
Kontaminasi (+)
2. Secondary Survey
AMPLE
Allergies : (-)
Medications : tidak dalam keadaan mengkonsumsi obat
Pass illness : (-)
Last meal : -
Events relating to injury : kepala terbentur, kecelakaan tunggal menggunakan motor
Pemeriksaan Head to Toe
a. Kepala : Vulnus laceratum di occipital sinistra.
b. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
c. Hidung : Deviasi (-), Rinore (-), pendarahan (-)
d. Telinga : Simetris kanan kiri
e. Mulut : Sianosis (-), nyeri telan (-)
f. Thorax :
Jantung
-Inspeksi : Ictus cordis tak tampak pada SIC V
-Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V
-Perkusi : pekak
-Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
Paru-paru
-Inspeksi : Simetris, retraksi dada (-), deformitas (-)
-Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri sama, ketertinggalan nafas (-)
-Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
-Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
g. Abdomen
- Inspeksi: Deformitas (-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : Supel (+), hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani
h. Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+/+), CRT <2 detik
- Inferior : Akral hangat (+/+), CRT <2 detik
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 18 April 2021
Foto polos thorax ½ duduk tanggal 19 April 2021 jam 18.46 WIB : efusi pleura dextra
E. DIAGNOSIS KERJA
Cedera Kepala Ringan dengan hematothorax minimal dextra
F. PENATALAKSANAAN
- Infus NaCl IV 20 tpm
- Ceftriaxon 1 gr 2x1 IV
- Ketorolac 30 mg
- Citicolin 250 mg 2x1 IV
G. FOLLOW UP
Mulai tangal 19/04/2021 sampai 21/04/2021.
TANGGAL FOLLOW UP
S:
Pasien mengeluhkan nyeri ketika menarik nafas dan sesak nafas, Nyeri di
punggung berkurang, serta masih merasa pusing.
O:
Keadaan umum : sedang
GCS E4V5M6
TD : 120/80 mmHg
HR : 90x/menit
RR : 22x/menit
T : 37.2oC
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb=9,8
A:
Cedera Kepala Ringan dan trauma dada
P:
Ceftriaxon 2x1 gram
Ketorolac 30 mg
Citicolin 250 mg
Tramadol
Infus asering
Transfusi PRC 1 kolf
S:
Pasien mengatakan nyeri dan pusing berkurang,namun masih mengeluhkan
sesak nafas
O:
20/04/2021 TD : 100/70 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7oC
Pemeriksaan fisik:
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-)
Vulnus laserasi di occipital
Sudah dapat mobilisasi
Thoraks :
Simetris (+)
Suara Paru : Vasikuler +/+ Ronkhi -/- Wheezing -/-
Suara Jantung : dbn
Abdomen :
Supel (+), Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas superior dan inferior :
Akral hangat (+/+), nyeri tekan (-), CRT <2 detik
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb=9,8
A:
Cedera Kepala Ringan
P:
Infus NaCl IV 20 tpm
Ceftriaxon 1 gr 2x1 IV
Ranitidin 25 mcg/ml 2x1 IV
Citicolin 250 mg 2x1 IV
Tramadol
Cek Hb
S:
Pasien mengatakan sudah tidak merasa pusing,tidak ada mual dan muntah
serta tidak ada sesak napas
O:
TD : 100/70 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7oC
Pemeriksaan fisik:
Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-)
Vulnus laserasi di occipital
Sudah dapat mobilisasi
21/04/2021 Thoraks :
Simetris (+)
Suara Paru : Vasikuler +/+ Ronkhi -/- Wheezing -/-
Suara Jantung : dbn
Abdomen :
Supel (+), Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas superior dan inferior :
Akral hangat (+/+), nyeri tekan (-), CRT <2 detik
A:
Cedera Kepala Ringan
P: Rawat jalan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera kepala adalah cedera mekanik langsung atau tidak langsung yang mengenai
kepala dan merupakan sebuah proses di mana terjadi deselerasi terhadap kepala yang dapat
mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak. Istilah cedera kepala dan cedera otak sering
digunakan secara bergantian. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai kerusakan
struktur otak yang dihasilkan dari gaya mekanik eksternal, seperti benturan, percepatan
dan/atau perlambatan yang terjadi secara cepat, atau ledakan. Pada cedera kepala perlu
diperhatikan adanya perubahan kesadaran setelah trauma. Kesadaran dapat dinilai dengan
menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
b. Kontusio serebri
c. Komosio serebri
d. Laserasi
b. Edem serebri
c. Iskemia
d. Infeksi
e. Epilepsi
Cedera otak yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Cedera
primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu gaya paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi deselerasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan
terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai oksigen dan
nutrien, terutama glukosa. Gangguan metabolisme pada jaringan otak akan menyebabkan
edem yang dapat mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau
di bawah falx serebri.
Dibagi menjadi:
a. Fraktur Tengkorak, dapat terjadi pada kalvaria (atap) dan/atau basis (dasar)
tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atautertutup.
Fraktur tulang kalvaria
Berbentuk garis (linier) atau stellata, diastasis, kominutif, dan dapat masuk
atau menekan ke dalam (impresi). Fraktur dapat terbuka atau tertutup. Fraktur
linier merupakan fraktur tersering dan pada umumnya tidak memerlukan tindakan
khusus tetapi kewaspadaan perlu ditingkatkan karena bila trauma cukup adekuat
mungkin bisa terdapat cedera otak primer atau hematom. Fraktur impresi ialah
fraktur dengan fragmen tulang yang terdorong ke dalam. Indikasi utama
pembedahan pada fraktur impresi tertutup ialah gangguan neurologi atau kejang
– kejang. Sebagai patokan umum, bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke
dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memerlukan tindakan
pembedahan.
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak. Fraktur ini sering kali disertai dengan robekan pada duramater yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari
fraktur linear pada kranium. Insiden kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4%
pasien yang mengalami trauma kepala berat. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada
fossa anterior, media dan posterior. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan
fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serebrospinal keluar dari rongga
hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata) akibat
fraktur basis kranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign akibat fraktur
kranii fossa media dan posterior. Tulang pada foramen magnum bisa retak
sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah.
b. Lesi Intrakranial
Lesi Supratentorial
Lesi infratentorial
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea
media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan di antara
durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi
menyebabkan perdarahan epidural. Hematom epidural tanpa disertai cedera lain
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase
awal tidak menimbulkan gejala tetapi setelah hematom bertambah luas dan semakin
menekan akan terlihat tanda pendesakan dan tekanan intracranial yang meningkat.
Gejala klinis :
1. Lucid interval (+), awalnya pasien tidak sadar kemudian sadar dan kembali
tidak sadar
3. Late hemiparesis
- Akut, dapat terjadi lucid interval 0 – 5 harilesi, hematoma terdiri dari bekuan
darah serta perdarahan (terjadi dalam 48 jam setelah trauma), tampak hiperdens.
- Kronik, terjadi lucid interval > 3 bulan dan jika hematoma telah mencair (lebih
dari 14 hari), gambaran lesi isodens dan hipodens, tetapi cenderung semakin
hipodens.
Pemeriksaan penunjang : CT Scan dengan gambaran hiperdens (perdarahan)
berbentuk bulan sabit (crescent), lebih difus dibandingkan epidural hematoma.
Tata laksanan pembedahan dilakukan dengan kraniotomy. Indikasi bedah pada
subdural hematoma yaitu :
1. Pada hasil CT scan ditemukan ketebalan hematoma > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm dengan nilai GCS berapa pun.
2. Pada pasien dengan GCS < 9, TIK melebihi 20 mmHg atau pupil anisokor atau
terdilatasi tetapi, diperlukan pembedahan.
3. Penurunan kesadaran atau GCS setidaknya 2 nilai dari saat kejadian sampai tiba
di rumah sakit dengan hasil CT scan seperti di nomor 1.
c. Perdarahan subarachnoid
Pada pasien dengan cedera kepala berat yang dilakukan pemeriksaan CT Scan, 50-
60% menunjukkan perdarahan subarachnoid. Gejala dan tanda SAH bervariasi.
Gejala yang paling sering meliputi: nyeri kepala, pusing, nyeri di daerah orbita,
diplopia, dan, penurunan kesadaran.
d. Perdarahan intraserebral
2. Kaku kuduk
3. Muntah
4. Letargi
5. Penurunan kesadaran
B. Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam ruang tengkorak yang dilindungi daritekanan
luar. Tekanan ini dinamik dan berfluktuatif secara ritmis mengikuti siklus jantung, respirasi,
dan perubahan proses fisiologis tubuh. Alexander Monro dan George Kellie menyebutkan
bahwa otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSS) merupakan komponen yang tidak dapat
terkompresi, peningkatan salah satu komponen ataupun ekspansi massa di dalam tengkorak
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, teori ini lebih lanjut disebut doktrin
Monro-Kellie. ICP diukur pada saat istirahat, biasanya 7-15 mmHg untuk dewasa terlentang.
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat sering terjadi setelah terjadinya cedera otak
traumatik yang erat dihubungkan dengan angka mortalitas dan morbiditas. Pada periode
setelah terjadinya cedera otak traumatik dapat terjadi hipertensi intrakranial, hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperpireksia, hipokapnia dan hipoglikemia dimana parameter ini dapat
digunakan sebagai prediksi memburuknya outcome setelah terjadinya cedera otak traumatik.
Salah satu kunci terapi untuk penatalaksanaan edema serebri dan peningkatan tekanan
intrakranial (hipertensi intrakranial) adalah terapi hiperosmolar. Larutan ini digunakan untuk
terapi hipertensi intrakranial melalui penambahan volume plasma dengan optimalisasi
hematokrit, viskositas darah, volume darah serebral, dan adanya perbedaan osmolaritas dapat
menarik air dari jaringan otak ke dalam pembuluh darah otak sehingga akan mengurangi
volume total otak. Dua macam diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik manitol
dan loop diuretik furosemid.
Manitol diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25–1 gr/kg BB secara tappering
off. Bekerja dalam waktu 10–15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Manitol tidak
menembus sawar darah-otak yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas darah relatif
terhadap otak, manitol menarik air dari jaringan otak ke dalam darah lalu di ekskresikan
melalui ginjal sehingga ginjal akan bekerja lebih keras. Bila sawar darah-otak rusak, manitol
dapat memasuki otak dan menyebabkan rebound kenaikan tekanan intrakranial sebab ada suatu
perbedaan osmotik yang terbalik di mana osmolaritas jaringan otak lebih tinggi dibanding
plasma sehingga air akan masuk ke dalam jaringan otak.
Trauma pada wajah dapat mengancam banyak fungsi seperti melihat, mendengar,
menghidu, bernapas, makan, dan berbicara.
1. Fraktur frontal
Fraktur terjadi karena adanya energi atau tekanan besar pada os frontal.
Terdapat deformitas pada dahi, bisa disertai laserasi, kontusio, nyeri fasial, atau
hematoma di dahi. Bisa disertai dengan rhinorrhea cairan serebrospinal yang
menandakan adanya keterlibatan kerusakan sinus frontalis.
Paling sering terjadi blow-out fracture yang melibatkan dinding medial dan
dasar orbita. Tekanan besar yang menekan bola mata menyebabkan tekanan intra
orbita meningkat dan mentransmisikan tekanan tersebut lalu menyebabkan
kerusakan pada bagian terlemah orbita yakni dinding media dan dasar.
Dari anamnesis sebaiknya digali apakah pasien memiliki riwayat penetrasi bola
mata iatrogenik seperti post-operasi katarak karena meningkatkan risiko terjadinya
ruptur bola mata pasca trauma. Tanda lainnya mencakup hematoma periorbital,
ekimosis, exoftalmus/enoftalmus, dan perdarahan subkonjungtiva. Pemeriksaan
lain yang penting untuk dilakukan adalah pemeriksaan visus dan lapang pandang
karena bisa disertai dengan adanya kerusakan nervus optikus.
3. Fraktur zigoma
5. Fraktur maksila
Fraktur yang melepaskan maksila dari dasar tengkorak. Fraktur yang
memanjang sepanjang lempeng pterygoid untuk membuat fraktur Le Fort komplit.
Fraktur maksila jarang muncul dalam bentuk tunggal, biasanya berupa kombinasi
Le Fort.
Dapat diklasifikan menjadi tiga jenis:
a. Le Fort I
Fraktur secara horizontal melewati inferior maksila, yang membagi
prosesus alveolar dengan maksila lainnya.
b. Le Fort II
Fraktur yang dimulai dari os nasal, meluas melalui os etmoid dan lakrimal,
turun ke bawah melalui sutura zigomatikomaksila, dan berlanjut ke arah
posterior dan lateral maksila, di bawah zigoma, dan menuju lempeng
pterigoid.
c. Le Fort III
Fraktur kraniofasial di mana terjadi pemisahan antara seluruh os fasial dari
basis kranii dengan fraktur simultan dari os zigoma, os maksila, dan os
nasal. Terdapat edem masif pada wajah, dengan wajah yang elongasi atau
mendatar.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah CT Scan dengan
rekonstruksi 3D, namun jika tidak tersedia dapat menggunakan rontgen
waters view (oksipitomental).
6. Fraktur mandibula
Paling sering terjadi di bagian korpus, angulus dan kondilus, atau ramus dan
simfisis mandibula. Fraktur sering terjadi multipel. Gejala yang sering
dikeluhkan pasien adalah nyeri saat menggerakkan rahang bawah, maloklusi
gigi, dan kesulitan membuka mulut. Fraktur dapat menyebabkan gangguan
pada nervus alveolaris inferior sehingga dapat menyebabkan parestesia dan
anestesia dari setengah bibir bawah, dagu, dan gigi.
7. Fraktur naso-orbita-ethmoidalis (NOE)
Fraktur yang melibatkan os nasal, os orbita, dan os ethmoidale. Tanda yang paling
khas dari fraktur ini adalah adanya telekantus yaitu bertambahnya jarak antara
kantus media dan kelopak mata.
D. Tata laksana cedera kepala
Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengalami cedera.
Cairan intra vena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau RL. Kadar
Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan
edema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresif.
Hiperventilasi
Manitol
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat
hypovolemia
Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan
diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV.
Antikonvulsan
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis pasien didapatkan pasien post KLL tunggal menggunakan motor.
datang ke IGD pukul 05.57 dalam keadaan sadar. Pasien mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan pasien merasakan pusing yang berputar dan nyeri pada leher serta mengalami luka
robek pada punggung kanan. Hal ini dapat menandakan bahwa kepala pasien terkena trauma,
pasien juga mengatakan bahwa dia tidak ingat kejadian di mana ini menandakan pasien disertai
adanya memory loss yang bersifat sementara yang memastikan bahwa terdapat cedera yang
mengenai kepala pasien.
Pemeriksaan fisik didapatkan pasien lemas kesakitan compos mentis dengan GCS 15 (E4V5M6)
dan tanda-tanda vital pasien yaitu, TD: 110/70, suhu badan 36,5oC, nadi 93x/menit, dan respirasi
26x/menit. Adapun pada pemeriksaan head to toe, pada status lokalis kepala didapatkan vulnus
laceratum pada bagian kiri occipital serta punggung kanan.
Pada pemeriksaan penunjang x ray thorax PA, didapatkan hasil fraktur costae 4 dan 5
dextra posterolateral,hematothorax minimal. Pemeriksaan penunjang CT scan tidak dilakukan.
Diagnosis pada pasien dapat ditegakkan mulai dari anamnesis bahwa pasien mengeluh
pusing berputar disertai nyeri pada leher post kecelakaan lalu lintas dengan memory loss sesaat yang
pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada bagian kepala serta punggung
BAB IV
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah cedera mekanik langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala
dan merupakan sebuah proses dimana terjadi deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakan tengkorak dan otak. Istilah cedera kepala dan cedera otak sering digunakan secara
bergantian. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai kerusakan struktur otak yang dihasilkan
dari gaya mekanik eksternal, seperti benturan, percepatan dan/atau perlambatan yang terjadi secara
cepat, atau ledakan.
Pada pasien dengan cedera kepala perlu segera dilakukan primary survey (ABCDE) untuk
menilai kondisi awal pasien setelah trauma dan mengetahui tingkat keparahan yang diakibatkan
oleh trauma. Setelah itu dilakukan secondary survey untuk mengetahui kerusakan dan kelainan
yang diakibatkan oleh trauma, yang digunakan dalam penegakan diagnosis dan menentukan terapi
yang sesuai yang akan diberikan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, I. G., & Panggabean, R. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada Stroke. CDK$
238 , 43 (3).
Anitasari, V. (2017). Penanganan Keperawatan Pasien Dengan Lesi Intra Kranial Dengan
Penurunan Kesadaran.
Atmadja, A. S. (2016). Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK$236 , 43 (1), 29M33.
Bisri, D. Y. (2013). Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak Traumatik: apakah
masih diperlukan? JNI , 2 (3), 177M187.
Jong D, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC, 2010
Nasution, S. H. (2014). MILD HEAD INJURY. Medula , 2 (4).
Ng, S. Y., & Lee, A. Y. (2019). Traumatic Brain Injuries: Pathophysiology and Potential
Therapeutic Targets. Frontiers in Cellular Neurosciences.
Perdossi, 2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal, PT Prikarsa
Utama, Jakarta.
Pushkarna, M. A., Bhatoe, B., & Sudambrekar. (2010). Head Injuries. MJAFI , 66 (4), 321-324.