Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

CEDERA KEPALA RINGAN


Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Bedah RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan kepada :
dr. Surya Habsara, Sp.B

Disusun Oleh :
Muhammad Irfan Ba’asir
20204010277

KSM ILMU PENYAKIT BEDAH


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Cedera Kepala Ringan

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:

Muhammad Irfan Ba’asir


20204010277

Telah disetujui dan dipresentasikan pada


27 April 2021

Dokter Pembimbing

dr. Surya Habsara, Sp.B


BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala atau trauma kapitis atau cedera otak merupakan salah satu kasus trauma
yang banyak terjadi di dunia dan penyebab kematian dan kecacatan yang tinggi. Dibandingkan
dengan kasus trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertinggi yaitu sekitar kurang
lebih 80%. Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung maupun
tidak langsung yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu fisik, kognitif, dan
psikososial.
Menurut Brain Injury Association of America (2006), cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala biasanya dikaitkan dengan cedera
otak akibat trauma atau traumatis. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai kerusakan struktur
otak yang dihasilkan dari gaya mekanik eksternal, seperti benturan, percepatan dan/atau
perlambatan yang terjadi secara cepat, atau ledakan.
Secara global, lebih dari 50 juta individu setiap tahunnya pernah mengalami cedera kepala.
Beberapa pasien yang bertahan dari cedera kepala mengalami komplikasi setelah trauma seperti
masalah di fungsi neurologis, psikososial, dan disabilitas yang permanen. Kejadian cedera kepala
di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas , 10%
penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk
cedera kepala berat. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 49-53% dari insiden cedera
kepala, 20-28% lainnya karena jatuh dan 3-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan
olahraga, dan rekreasi.
Penanganan terhadap pasien cedera kepala dilakukan sesuai dengan kondisi pasien dan
derajat dari cedera tersebut, tidak semua cedera kepala memerlukan tindakan pembedahan. Oleh
karena itu, mulai dari penilaian awal kondisi pasien seperti kesadaran pasien hingga pemeriksaan
penunjang menjadi hal yang sangat krusial pada pasien cedera kepala.
BAB II

KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. Tugiyo

Jenis Kelamin : Laki-Laki


Umur : 58 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Beju Kulon RT02,Sendangsari,Pajangan,Bantul

Agama : Islam
Tanggal Masuk : 18/04/2021
Tanggal Keluar : 21/04/2021

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan pusing berputar disertai nyeri pada punggung setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD diantar ambulance PMI pukul 05.57, setelah kecelakaan lalu lintas
tunggal menggunakan motor. Pasien datang dengan keluhan pusing berputar disertai nyeri
pada punggung kanan . Pasien tidak ingat kejadian, tidak ada mual dan muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat Diabetes Melitus : (-)
Riwayat Alergi obat : (-)
Riwayat Jantung : (-)
Riwayat Gastritis : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat Hipertensi : (-)


Riwayat Diabetes Melitus : (-)
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Jantung : (-)
5. Riwayat personal sosial:
Pasien adalah seorang petani. Pasien tidak merokok dan tidak minum alkohol.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Kasus merupakan kasus emergency, kasus bedah, dan kasus trauma sehingga perlu dilakukan
primary survey terlebih dahulu.
1. Primary Survey
 A (Airway)
Bebas, tidak ada sumbatan jalan napas.
C-Spine control : baik
 B (Breathing and Ventilation)
Frekuensi napas : 26x/menit
Saturasi Oksigen : 99%
Inspeksi : simetris kanan dan kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 C (Circulation and Hemmorhage Control)
Frekuensi nadi : 82x/menit
Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap : Terlampir
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Perdarahan : Terdapat perdarahan akibat vulnus laceratum di punggung kanan diameter
10-15 cm dan kedalaman 2-3 cm.
 D (Disability)
GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
Refleks cahaya : +/+
 E (Exposure)
Kontaminasi (+)

2. Secondary Survey
 AMPLE
Allergies : (-)
Medications : tidak dalam keadaan mengkonsumsi obat
Pass illness : (-)
Last meal : -
Events relating to injury : kepala terbentur, kecelakaan tunggal menggunakan motor
 Pemeriksaan Head to Toe
a. Kepala : Vulnus laceratum di occipital sinistra.
b. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
c. Hidung : Deviasi (-), Rinore (-), pendarahan (-)
d. Telinga : Simetris kanan kiri
e. Mulut : Sianosis (-), nyeri telan (-)
f. Thorax :
Jantung
-Inspeksi : Ictus cordis tak tampak pada SIC V
-Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V
-Perkusi : pekak
-Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
Paru-paru
-Inspeksi : Simetris, retraksi dada (-), deformitas (-)
-Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri sama, ketertinggalan nafas (-)
-Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
-Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
g. Abdomen
- Inspeksi: Deformitas (-)
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : Supel (+), hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani
h. Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+/+), CRT <2 detik
- Inferior : Akral hangat (+/+), CRT <2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan laboratorium tanggal 18 April 2021

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.3 14.0 - 18.0 g/dl
Lekosit 14.95 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 5.61 4.50 - 5.50 10^6/uL
Trombosit 308 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 38.2 42.0 - 52.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 1 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 89 51-67 %
Limfosit 6 20-35 %
Monosit 4 4-8 %
HEMOSTASIS
PPT 14.6 12-16 detik
APTT 26.8 28-38 detik
Control PPT 13.7 11-16 detik
Control APTT 32.2 28-36.5 detik
FUNGSI GINJAL
Ureum 40 17-43 mg/dl
Creatinin 0.52 0,90-1,30 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 159 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 134.2 137.0 – 145.0 mmol/I
Kalium 3.78 3.50-5.10 mmol/I
Klorida 102.5 98.0-107.0 mmol/I
 Pemeriksaan Radiologi
Foto polos thorax PA tanggal 19 April 2021 jam 9.39 WIB : fraktur costae 4 dan 5 dextra
posterolateral,hematothorax minimal dextra

Foto polos thorax ½ duduk tanggal 19 April 2021 jam 18.46 WIB : efusi pleura dextra

E. DIAGNOSIS KERJA
Cedera Kepala Ringan dengan hematothorax minimal dextra

F. PENATALAKSANAAN
- Infus NaCl IV 20 tpm
- Ceftriaxon 1 gr 2x1 IV
- Ketorolac 30 mg
- Citicolin 250 mg 2x1 IV
G. FOLLOW UP
Mulai tangal 19/04/2021 sampai 21/04/2021.

TANGGAL FOLLOW UP
S:
Pasien mengeluhkan nyeri ketika menarik nafas dan sesak nafas, Nyeri di
punggung berkurang, serta masih merasa pusing.

O:
Keadaan umum : sedang
GCS E4V5M6
TD : 120/80 mmHg
HR : 90x/menit
RR : 22x/menit
T : 37.2oC

19/04/2021 Pemeriksaan fisik:


Kepala
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-)
 Vulnus laserasi di occipital
Thoraks :
 Simetris (+)
 Suara Paru : Vasikuler +/+ Ronkhi -/- Wheezing -/-
 Suara Jantung : dbn
Abdomen :
 Supel (+), Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas superior dan inferior :
 Akral hangat (+/+), nyeri tekan (-), CRT <2 detik

Pemeriksaan Laboratorium:

 Hb=9,8
A:
 Cedera Kepala Ringan dan trauma dada
P:
 Ceftriaxon 2x1 gram
 Ketorolac 30 mg
 Citicolin 250 mg
 Tramadol
 Infus asering
 Transfusi PRC 1 kolf

S:
Pasien mengatakan nyeri dan pusing berkurang,namun masih mengeluhkan
sesak nafas

O:
20/04/2021 TD : 100/70 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7oC
Pemeriksaan fisik:
Kepala
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-)
 Vulnus laserasi di occipital
 Sudah dapat mobilisasi

Thoraks :
 Simetris (+)
 Suara Paru : Vasikuler +/+ Ronkhi -/- Wheezing -/-
 Suara Jantung : dbn
Abdomen :
 Supel (+), Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas superior dan inferior :
 Akral hangat (+/+), nyeri tekan (-), CRT <2 detik

Pemeriksaan Laboratorium:

 Hb=9,8
A:
 Cedera Kepala Ringan
P:
 Infus NaCl IV 20 tpm
 Ceftriaxon 1 gr 2x1 IV
 Ranitidin 25 mcg/ml 2x1 IV
 Citicolin 250 mg 2x1 IV
 Tramadol
 Cek Hb
S:
Pasien mengatakan sudah tidak merasa pusing,tidak ada mual dan muntah
serta tidak ada sesak napas

O:
TD : 100/70 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,7oC
Pemeriksaan fisik:
Kepala
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-)
 Vulnus laserasi di occipital
 Sudah dapat mobilisasi
21/04/2021 Thoraks :
 Simetris (+)
 Suara Paru : Vasikuler +/+ Ronkhi -/- Wheezing -/-
 Suara Jantung : dbn
Abdomen :
 Supel (+), Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas superior dan inferior :
 Akral hangat (+/+), nyeri tekan (-), CRT <2 detik
A:
 Cedera Kepala Ringan
P: Rawat jalan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera kepala/Trauma Kapitis

1. Definisi dan Klasifikasi

Cedera kepala adalah cedera mekanik langsung atau tidak langsung yang mengenai
kepala dan merupakan sebuah proses di mana terjadi deselerasi terhadap kepala yang dapat
mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak. Istilah cedera kepala dan cedera otak sering
digunakan secara bergantian. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai kerusakan
struktur otak yang dihasilkan dari gaya mekanik eksternal, seperti benturan, percepatan
dan/atau perlambatan yang terjadi secara cepat, atau ledakan. Pada cedera kepala perlu
diperhatikan adanya perubahan kesadaran setelah trauma. Kesadaran dapat dinilai dengan
menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).

Cedera kepala dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Klasifikasi cedera kepala


berdasarkan bentuk kerusakan jaringan otak setelah trauma dibagi menjadi kerusakan otak
primer dan kerusakan otak sekunder. Kerusakan otak primer disebabkan oleh kerusakan
otak yang terjadi saat cedera, sedangkan kerusakan otak sekunder merupakan hasil atau
komplikasi yang terjadi pada otak setelah terjadinya kerusakan otak primer.

Kerusakan otak primer yaitu :

a. Cedera aksonal difus

b. Kontusio serebri

c. Komosio serebri

d. Laserasi

Kerusakan otak sekunder yaitu :


a. Intrakranial hematom

b. Edem serebri
c. Iskemia

d. Infeksi

e. Epilepsi

f. Gangguan metabolik dan endokrin

Berdasarkan mekanisme cederanya, cedera otak dapat diklasifikasikan menjadi


cedera kepala tumpul, tembus/penetrasi, dan akibat ledakan. Cedera kepala tumpul
biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh, dan olahraga. Cedera kepala
tumpul merupakan bentuk cedera yang sering terjadi. Sedangkan cedera kepala
tembus/penetrasi disebabkan oleh benda tajam yang menembus hingga ke parenkim otak
sehingga dapat menyebabkan laserasi jaringan otak. Cedera kepala akibat ledakan
menyebabkan kerusakan otak yang disebabkan oleh terguncangnya otak akibat energi kuat
yang berasal dari gelombang ledakan, dapat menyebabkan cedera difus yang meluas pada
daerah abu dan putih pada otak.
Berdasarkan beratnya cedera, cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala ringan
(GCS: 13 – 15), cedera kepala sedang (GCS: 9 – 12), dan cedera kepala berat (GCS: ≤8)
(Andika Surya Atmadja). Klasifikasi ini yang sering dipakai dalam penyebutan diagnosis
untuk cedera kepala.

a. Cedera Kepala Ringan (CKR)


GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau
mengalami amnesia retrograde, tidak ada defisit neurologis, tidak ada kontusio
cerebral maupun hematoma.

b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)


GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak dan defisit neurologis.

c. Cedera Kepala Berat (CKB)


GCS ≤8, kehilangan kesadaran dan/atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat
mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial, dan defisit
neurologis.
2. Patofisiologi Cedera Kepala

Cedera otak yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Cedera
primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu gaya paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi deselerasi gerakan kepala.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan
terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup).

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai oksigen dan
nutrien, terutama glukosa. Gangguan metabolisme pada jaringan otak akan menyebabkan
edem yang dapat mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau
di bawah falx serebri.

3. Morfologi cedera kepala

Dibagi menjadi:

a. Fraktur Tengkorak, dapat terjadi pada kalvaria (atap) dan/atau basis (dasar)
tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atautertutup.
 Fraktur tulang kalvaria

Berbentuk garis (linier) atau stellata, diastasis, kominutif, dan dapat masuk
atau menekan ke dalam (impresi). Fraktur dapat terbuka atau tertutup. Fraktur
linier merupakan fraktur tersering dan pada umumnya tidak memerlukan tindakan
khusus tetapi kewaspadaan perlu ditingkatkan karena bila trauma cukup adekuat
mungkin bisa terdapat cedera otak primer atau hematom. Fraktur impresi ialah
fraktur dengan fragmen tulang yang terdorong ke dalam. Indikasi utama
pembedahan pada fraktur impresi tertutup ialah gangguan neurologi atau kejang
– kejang. Sebagai patokan umum, bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke
dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memerlukan tindakan
pembedahan.

Gambar 1 Fraktur impresi

Gambar 2 Fraktur diastasis Gambar 3 Fraktur linier

 Fraktur Basis Kranii

Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak. Fraktur ini sering kali disertai dengan robekan pada duramater yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari
fraktur linear pada kranium. Insiden kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4%
pasien yang mengalami trauma kepala berat. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada
fossa anterior, media dan posterior. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan
fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serebrospinal keluar dari rongga
hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata) akibat
fraktur basis kranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign akibat fraktur
kranii fossa media dan posterior. Tulang pada foramen magnum bisa retak
sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah.

Racoon’s Eye – Ottorhea – Rhinorrhea – Battle’s Sign

b. Lesi Intrakranial

 Lesi Supratentorial

Pada lesi supratentorial, gangguan akan terjadi baik oleh kerusakan


langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS
(Ascending Reticular Activating System), tempat pengaturan kesadaran bersama
korteks serebri. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah
rotasi-kaudal sepanjang batang otak. Gejala-gajala klinis akan timbul sesuai
dengan perjalanan proses tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologi
fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul
sindrom diensefalon, sindrom mesenfalon, bahkan sindrom ponto-meduler dan
deserbasi. Lesi di supratentorial dapat berupa epidural hematoma, subdural
hematoma, intraserebri hematoma, dan tumor/massa.

 Lesi infratentorial

Pada lesi infratentorial, gangguan dapat terjadi karena kerusakan ARAS


baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik seperti
abses dan perdarahan serebelum.

 Lesi difus otak

Gangguan neurologi pada umumnya bersifat bilateral dan hampir selalu


simetris. Selain itu gejala neurologinya tidak dapat di lokalisir pada suatu susunan
anatomi tertentu pada susunan saraf pusat. Keadaan ini misalnya terjadi pada
komosio klasik, komosio ringan, dan cedera akson difus.

Jenis perdarahan pada intracranial


a. Epidural hematoma (EDH)

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea
media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan di antara
durameter dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi
menyebabkan perdarahan epidural. Hematom epidural tanpa disertai cedera lain
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase
awal tidak menimbulkan gejala tetapi setelah hematom bertambah luas dan semakin
menekan akan terlihat tanda pendesakan dan tekanan intracranial yang meningkat.
Gejala klinis :

1. Lucid interval (+), awalnya pasien tidak sadar kemudian sadar dan kembali
tidak sadar

2. Pupil anisokor, gejala neurologik yang terpenting

3. Late hemiparesis

4. Refleks Babinski (+) satu sisi

5. Fraktur di daerah temporal

6. Kadang ditemukan kenaikan tekanan darah dan bradikardia sebagai bentuk


dari cushing respon.

7. Nyeri kepala progresif dan dapat ditemukan gejala defisit lokal

Pemeriksaan penunjang : CT Scan dengan gambaran hiperdens (perdarahan)


bikonveks di antara tulang tengkorak dan duramater, umumnya di daerah
temporal.

Gambaran hasil CT Scan Gambaran hasil CT scan


epidural hematoma epidural hematom pada pasien

Tata laksanana pembedahan dilakukan evakuasi perdarahan dengan kraniotomi.


Indikasi bedah pada epidural hematoma yaitu:
1. Volume hematoma > 30 cm3 pada hasil CT scan dengan GCS berapapun.

2. Pada pasien dengan GCS < 9, harus dievakuasi.

3. Hematoma epidural yang progresif


b. Subdural hematoma (SDH)

Hematoma subdural adalah hematoma akibat robeknya vena di antara duramater


dan parenkim otak (bridging vein). Robekan vena kortikal atau bridging vena akibat
mekanisme akselerasi-deselerasi sewaktu terjadi gerakan kepala. Pada kasus ini,
kerusakan primer pada cerebral lebih ringan, dapat terjadi lucid interval yang diikuti
penurunan kesadaran yang berlangsung cepat. Sekitar 37% - 80% pasien dengan
subdural hematoma mempunyai nilai GCS dibawah 8. Gambaran SDH sering
menyebabkan efek penekanan/pergeseran yang lebih besar pada struktur midline
dibandingkan dengan EDH. Gejala klinisnya yaitu nyeri kepala, terjadi penurunan
kesadaran, dan terdapat defisit neurologis.

Subdural hematoma dibagi menjadi:

- Akut, dapat terjadi lucid interval 0 – 5 harilesi, hematoma terdiri dari bekuan
darah serta perdarahan (terjadi dalam 48 jam setelah trauma), tampak hiperdens.

- Subakut, terjadi lucid interval 5 hari – beberapa minggu, terdapat campuran


antara darah membeku serta darah yang mulai mencair (2 hari-14 hari setelah
trauma), terdapat gambaran hiperdens mulai menghilang, terlihat isodens dan
mulai ada yang hipodens.

- Kronik, terjadi lucid interval > 3 bulan dan jika hematoma telah mencair (lebih
dari 14 hari), gambaran lesi isodens dan hipodens, tetapi cenderung semakin
hipodens.
Pemeriksaan penunjang : CT Scan dengan gambaran hiperdens (perdarahan)
berbentuk bulan sabit (crescent), lebih difus dibandingkan epidural hematoma.
Tata laksanan pembedahan dilakukan dengan kraniotomy. Indikasi bedah pada
subdural hematoma yaitu :
1. Pada hasil CT scan ditemukan ketebalan hematoma > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm dengan nilai GCS berapa pun.

2. Pada pasien dengan GCS < 9, TIK melebihi 20 mmHg atau pupil anisokor atau
terdilatasi tetapi, diperlukan pembedahan.

3. Penurunan kesadaran atau GCS setidaknya 2 nilai dari saat kejadian sampai tiba
di rumah sakit dengan hasil CT scan seperti di nomor 1.

c. Perdarahan subarachnoid

Perdarahan subarachnoid merupakan ekstravasasi darah ke dalam ruang


subarachnoid diantara piamater dan membrane arachnoid. Penyebab tersering
disebabkan trauma kepala. Dapat juga disebabkan perdarahan spontan akibat ruptur
aneurisma serebri atau ruptur arteriovenous malformation (AVM).

Sumber perdarahan subarachnoid berasal dari:

- trauma langsung pada vena-vena pial

- perdarahan dari kontusio daerah kortikal

- ekstensi dari perdarahan intraventrikel ke ruang subaracnoid

Pada pasien dengan cedera kepala berat yang dilakukan pemeriksaan CT Scan, 50-
60% menunjukkan perdarahan subarachnoid. Gejala dan tanda SAH bervariasi.
Gejala yang paling sering meliputi: nyeri kepala, pusing, nyeri di daerah orbita,
diplopia, dan, penurunan kesadaran.

Pemeriksaan penunjang : Pada CT Scan, perdarahan subarachnoid tampak sebagai


lesi hiperdens pada daerah sulkus serebri serta sisterna subarachnoid. Lesi hiperdens
pada fossa interpeduncular merupakan tanda perdarahan subarachnoid. Perdarahan
subarahnoid dapat menyebabkan gangguan absorpsi liquor serebrospinal (LCS)
sehingga menyebabkan hidrocefalus komunikan.

Subarachnoid hematom CT scan – Normal Subarachnoid CT scan

Penanganan medikamentosa pasien dengan perdarahan subarachnoid sesuai dengan


lesi intracranial yang terjadi, paling sering berhubungan dengan cedera kepala berat.
Sekitar 20% pasien dengan cedera kepala berat disertai perdarahan subarachnoid
mengalami komplikasi vasospasme. Penanganan vasospasme meliputi hipertensi,
terapi hipervolume, dan terapi hemodilusi serta pemberian obat-obatan calcium
channel blocker. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu hidrosefalus yang
membutuhkan penanganan eksternal drainase atau shunting.

d. Perdarahan intraserebral

Lebih dari 50% penderita dengan hematom intraserebral disertai dengan


hematom epidural dan subdural. Paling sering terjadi di lobus frontalis atau
temporalis. Gambaran klinis tergantung lokasi dan besarnya hematom.
Pemeriksaan penunjang : CT Scan kepala non kontras merupakan modalitas terbaik
untuk diagnosis pertadarahan intraserebral. Pada gambaran CT Scan tampak sebagai
lesi hiperdens dengan edema minimal atau tanpa edema di sekeliling lesi. Pada
subakut batas perifer hematoma membentuk ring-like enhancement pada CT Scan
dan MRI akibat proliferasi kapiler pada kapsul hematoma.

Delayed intracerebral hematomas


Dapat terjadi pada area yang tampak normal pada CT Scan awal atau terdapat
kontusio serebri pada CT Scan awal, paling sering terjadi pada hari 1-4 setelah
trauma, namun dapat pula terjadi sampai 2 minggu setelah trauma kepala.

e. Perdarahan intra ventrikel

Perdarahan intra ventrikel dibagi menjadi 2 yaitu, perdarahan primer intra


ventrikel dan perdarahan sekunder intra ventrikel. Perdarahan primer intra ventrikel
yaitu darah hanya dalam sistem ventrikel, tanpa adanya ruptur atau laserasi di dinding
ventrikel. Disebutkan pula bahwa PIVH merupakan perdarahan intraserebral non-
traumatik yang terbatas pada sistem ventrikel. Sedangkan perdarahan sekunder intra
ventrikel muncul akibat pecahnya pembuluh darah intraserebral dalam dan jauh dari
peri ventrikel, yang meluas ke sistem ventrikel. Sindrom klinis perdarahan intra
ventrikel menurut Caplan menyerupai gejala perdarahan subarachnoid yang
merupakan manifestasi dari gangguan pembuluh darah otak (GDPO), berupa :

1. Sakit kepala mendadak

2. Kaku kuduk

3. Muntah

4. Letargi

5. Penurunan kesadaran
B. Tekanan Intrakranial

Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam ruang tengkorak yang dilindungi daritekanan
luar. Tekanan ini dinamik dan berfluktuatif secara ritmis mengikuti siklus jantung, respirasi,
dan perubahan proses fisiologis tubuh. Alexander Monro dan George Kellie menyebutkan
bahwa otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSS) merupakan komponen yang tidak dapat
terkompresi, peningkatan salah satu komponen ataupun ekspansi massa di dalam tengkorak
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, teori ini lebih lanjut disebut doktrin
Monro-Kellie. ICP diukur pada saat istirahat, biasanya 7-15 mmHg untuk dewasa terlentang.

Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat sering terjadi setelah terjadinya cedera otak
traumatik yang erat dihubungkan dengan angka mortalitas dan morbiditas. Pada periode
setelah terjadinya cedera otak traumatik dapat terjadi hipertensi intrakranial, hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperpireksia, hipokapnia dan hipoglikemia dimana parameter ini dapat
digunakan sebagai prediksi memburuknya outcome setelah terjadinya cedera otak traumatik.

Otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah cerebral. Normalnya


autoregulasi menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh darah cerebral diatas rentang
tekanan perfusi dengan mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon terhadap tekanan
perfusi cerebral. Autoregulasi masih dapat terjadi pada rentang CPP (cerebral perfusion
pressure) 50 mmHg – 140 mmHg dan tekanan darah pada rentang 50 mmHg – 150 mmHg.

Salah satu kunci terapi untuk penatalaksanaan edema serebri dan peningkatan tekanan
intrakranial (hipertensi intrakranial) adalah terapi hiperosmolar. Larutan ini digunakan untuk
terapi hipertensi intrakranial melalui penambahan volume plasma dengan optimalisasi
hematokrit, viskositas darah, volume darah serebral, dan adanya perbedaan osmolaritas dapat
menarik air dari jaringan otak ke dalam pembuluh darah otak sehingga akan mengurangi
volume total otak. Dua macam diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik manitol
dan loop diuretik furosemid.

Manitol diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25–1 gr/kg BB secara tappering
off. Bekerja dalam waktu 10–15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Manitol tidak
menembus sawar darah-otak yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas darah relatif
terhadap otak, manitol menarik air dari jaringan otak ke dalam darah lalu di ekskresikan
melalui ginjal sehingga ginjal akan bekerja lebih keras. Bila sawar darah-otak rusak, manitol
dapat memasuki otak dan menyebabkan rebound kenaikan tekanan intrakranial sebab ada suatu
perbedaan osmotik yang terbalik di mana osmolaritas jaringan otak lebih tinggi dibanding
plasma sehingga air akan masuk ke dalam jaringan otak.

C. Trauma pada wajah

1. Definisi dan Klasifikasi

Trauma pada wajah dapat mengancam banyak fungsi seperti melihat, mendengar,
menghidu, bernapas, makan, dan berbicara.

Klasifikasi berdasarkan area maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

a. Upper face : Fraktur yang melibatkan os frontalis dan sinus frontalis.

b. Midface (dibagi menjadi atas dan bawah)

- Bagian atas : os zigomaticum, os nasal, os etmoid, dan os maksila bagian non-


gigi.
- Bagian bawah : alveolus maksila, gigi, palatum, maksila bagian gigi.

c. Lower face : Fraktur yang melibatkan os mandibula.

2. Jenis – jenis trauma pada wajah

1. Fraktur frontal

Fraktur terjadi karena adanya energi atau tekanan besar pada os frontal.
Terdapat deformitas pada dahi, bisa disertai laserasi, kontusio, nyeri fasial, atau
hematoma di dahi. Bisa disertai dengan rhinorrhea cairan serebrospinal yang
menandakan adanya keterlibatan kerusakan sinus frontalis.

Pemeriksaan penunjang dengan CT Scan potongan aksial untuk melihat luasan


jejas dan keterlibatan sisi anterior, posterior, dan nasofrontal.

2. Fraktur dasar orbita

Paling sering terjadi blow-out fracture yang melibatkan dinding medial dan
dasar orbita. Tekanan besar yang menekan bola mata menyebabkan tekanan intra
orbita meningkat dan mentransmisikan tekanan tersebut lalu menyebabkan
kerusakan pada bagian terlemah orbita yakni dinding media dan dasar.
Dari anamnesis sebaiknya digali apakah pasien memiliki riwayat penetrasi bola
mata iatrogenik seperti post-operasi katarak karena meningkatkan risiko terjadinya
ruptur bola mata pasca trauma. Tanda lainnya mencakup hematoma periorbital,
ekimosis, exoftalmus/enoftalmus, dan perdarahan subkonjungtiva. Pemeriksaan
lain yang penting untuk dilakukan adalah pemeriksaan visus dan lapang pandang
karena bisa disertai dengan adanya kerusakan nervus optikus.

3. Fraktur zigoma

Os zigoma memiliki empat kaki, yakni zigomatikofrontal, zigomatikotemporal,


zigomatikomaksila, zigomatikoorbita. Fraktur yang melibatkan zigomatikoorbita
dan zigomatikomaksila dapat menyebabkan maloklusi dan diplopia. Pada fraktur
arkus zigoma, dapat teraba defek pada palpasi daerah yang terkena dan disertai
nyeri.

Gejala fraktur zygoma antara lain:


- pipi menjadi lebih rata (dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum
trauma)
- diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata (akibat fraktur zigomatikoorbita)
- edema periorbita dan ekimosis
- perdarahan subkonjungtiva
- enophtalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
- terdapatnya hipestesia atau anestesia karena kerusakan saraf infra-orbitalis
- trismus (karena tertekannya arkus zygomatikus)
- emfisema subkutis
- epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum
4. Fraktur nasal
Fraktur yang paling sering terjadi. Os nasal dapat bergeser ke arah lateral atau
posterior dan fraktur dapat melibatkan kartilago septum. Pemeriksaan fisik
didapatkan hidung yang udem, epistaksis, nyeri, deviasi septum, krepitasi dan
terdapat fraktur. Pemeriksaan penunjang dilakukan jika dicurigai fraktur pada
tulang wajah lainnya.

5. Fraktur maksila
Fraktur yang melepaskan maksila dari dasar tengkorak. Fraktur yang
memanjang sepanjang lempeng pterygoid untuk membuat fraktur Le Fort komplit.
Fraktur maksila jarang muncul dalam bentuk tunggal, biasanya berupa kombinasi
Le Fort.
Dapat diklasifikan menjadi tiga jenis:
a. Le Fort I
Fraktur secara horizontal melewati inferior maksila, yang membagi
prosesus alveolar dengan maksila lainnya.
b. Le Fort II
Fraktur yang dimulai dari os nasal, meluas melalui os etmoid dan lakrimal,
turun ke bawah melalui sutura zigomatikomaksila, dan berlanjut ke arah
posterior dan lateral maksila, di bawah zigoma, dan menuju lempeng
pterigoid.
c. Le Fort III
Fraktur kraniofasial di mana terjadi pemisahan antara seluruh os fasial dari
basis kranii dengan fraktur simultan dari os zigoma, os maksila, dan os
nasal. Terdapat edem masif pada wajah, dengan wajah yang elongasi atau
mendatar.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah CT Scan dengan
rekonstruksi 3D, namun jika tidak tersedia dapat menggunakan rontgen
waters view (oksipitomental).

6. Fraktur mandibula
Paling sering terjadi di bagian korpus, angulus dan kondilus, atau ramus dan
simfisis mandibula. Fraktur sering terjadi multipel. Gejala yang sering
dikeluhkan pasien adalah nyeri saat menggerakkan rahang bawah, maloklusi
gigi, dan kesulitan membuka mulut. Fraktur dapat menyebabkan gangguan
pada nervus alveolaris inferior sehingga dapat menyebabkan parestesia dan
anestesia dari setengah bibir bawah, dagu, dan gigi.
7. Fraktur naso-orbita-ethmoidalis (NOE)
Fraktur yang melibatkan os nasal, os orbita, dan os ethmoidale. Tanda yang paling
khas dari fraktur ini adalah adanya telekantus yaitu bertambahnya jarak antara
kantus media dan kelopak mata.
D. Tata laksana cedera kepala

Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengalami cedera.
 Cairan intra vena

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau RL. Kadar
Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan
edema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresif.

 Hiperventilasi

Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

 Manitol

Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat
hypovolemia

 Furosemid

Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan
diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV.

 Antikonvulsan

Penggunaan antikonvulsan profilaksis tidak bermanfaat untuk mencegah terjadinya


epilepsi pasca trauma. Phenobarbital dan phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga
minggu ke I.
BAB III

PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis pasien didapatkan pasien post KLL tunggal menggunakan motor.
datang ke IGD pukul 05.57 dalam keadaan sadar. Pasien mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan pasien merasakan pusing yang berputar dan nyeri pada leher serta mengalami luka
robek pada punggung kanan. Hal ini dapat menandakan bahwa kepala pasien terkena trauma,
pasien juga mengatakan bahwa dia tidak ingat kejadian di mana ini menandakan pasien disertai
adanya memory loss yang bersifat sementara yang memastikan bahwa terdapat cedera yang
mengenai kepala pasien.
Pemeriksaan fisik didapatkan pasien lemas kesakitan compos mentis dengan GCS 15 (E4V5M6)
dan tanda-tanda vital pasien yaitu, TD: 110/70, suhu badan 36,5oC, nadi 93x/menit, dan respirasi
26x/menit. Adapun pada pemeriksaan head to toe, pada status lokalis kepala didapatkan vulnus
laceratum pada bagian kiri occipital serta punggung kanan.
Pada pemeriksaan penunjang x ray thorax PA, didapatkan hasil fraktur costae 4 dan 5
dextra posterolateral,hematothorax minimal. Pemeriksaan penunjang CT scan tidak dilakukan.
Diagnosis pada pasien dapat ditegakkan mulai dari anamnesis bahwa pasien mengeluh
pusing berputar disertai nyeri pada leher post kecelakaan lalu lintas dengan memory loss sesaat yang
pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada bagian kepala serta punggung
BAB IV
KESIMPULAN

Cedera kepala adalah cedera mekanik langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala
dan merupakan sebuah proses dimana terjadi deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakan tengkorak dan otak. Istilah cedera kepala dan cedera otak sering digunakan secara
bergantian. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai kerusakan struktur otak yang dihasilkan
dari gaya mekanik eksternal, seperti benturan, percepatan dan/atau perlambatan yang terjadi secara
cepat, atau ledakan.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang maka


disimpulkan pasien ini didiagnosis sebagai Cedera Kepala Ringan dengan hematothorax minimal
dextra yang menandakan adanya suatu trauma mekanik yang kontak pada kepala pasien disertai
amnesia retrograde.

Pada pasien dengan cedera kepala perlu segera dilakukan primary survey (ABCDE) untuk
menilai kondisi awal pasien setelah trauma dan mengetahui tingkat keparahan yang diakibatkan
oleh trauma. Setelah itu dilakukan secondary survey untuk mengetahui kerusakan dan kelainan
yang diakibatkan oleh trauma, yang digunakan dalam penegakan diagnosis dan menentukan terapi
yang sesuai yang akan diberikan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, I. G., & Panggabean, R. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada Stroke. CDK$
238 , 43 (3).
Anitasari, V. (2017). Penanganan Keperawatan Pasien Dengan Lesi Intra Kranial Dengan
Penurunan Kesadaran.
Atmadja, A. S. (2016). Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK$236 , 43 (1), 29M33.
Bisri, D. Y. (2013). Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak Traumatik: apakah
masih diperlukan? JNI , 2 (3), 177M187.
Jong D, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC, 2010
Nasution, S. H. (2014). MILD HEAD INJURY. Medula , 2 (4).
Ng, S. Y., & Lee, A. Y. (2019). Traumatic Brain Injuries: Pathophysiology and Potential
Therapeutic Targets. Frontiers in Cellular Neurosciences.
Perdossi, 2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal, PT Prikarsa
Utama, Jakarta.
Pushkarna, M. A., Bhatoe, B., & Sudambrekar. (2010). Head Injuries. MJAFI , 66 (4), 321-324.

Anda mungkin juga menyukai