Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KONSEP DASAR PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Tugas ini dikerjakan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah Perencanaan Pembangunan Daerah

Dosen Pengampu : Charles Fransiscus Ambarita, S.Pd.,M.Si

Disusun Oleh :
Kelompok 1 Kelas A
1. Jessica Putri Br. Sembiring (7193141002)
2. Mika Ritonga (7191141019)
3. Nur Halida (7191141017)
4. Zuli Yansyah (7193341043)

FAKULTAS EKONOMI - JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt. karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik mungkin walaupun dalam situasi pandemi seperti saat ini.
Disini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Charles Fransiscus
Ambarita, S.Pd.,M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Perencanaan Pembagunan Daerah,
yang telah memberikan tugas kepada penulis guna meningkatkan ilmu pengetahuan.
Makalah yang penulis susun ini berjudul “Konsep Dasar Perencanaan Pembangunan”.
Penulis menyusun makalah ini berdasarkan berbagai sumber-sumber tertulis yang relevan
yang berkaitan dengan judul makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, guna menambah wawasan serta
meningkatkan cara penulisan untuk dapat membuat makalah yang lebih baik lagi di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada
kelompok yang telah bekerja sama untuk menyusun makalah ini dari awal hingga akhir, yang
tersusun dengan lancar. Dan penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai media yang telah
menyediakan informasinya sebagai sumber dalam pembuatan makalah ini.

Medan, 27 Agustus 2021

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Perlunya Perencanaan Pembangunan..............................................................................3
2.2 Perencanaan Ekonomi ke Perencanan Pembangunan.....................................................4
2.3 Sejarah Perencanaan Pembangunan di Indonesia...........................................................5
2.4 Perencanaan Pembangunan Nasional vs Daerah...........................................................10
2.5 Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi.............................................13
2.6 Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah..............................................................15
BAB III PENUTUP ...............................................................................................................16
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................16
3.2 Saran..............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan sebuah proses menuju tercapainya tujuan negara. Banyak


faktor yang terlibat dalam pembangunan tersebut, saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Pembangunan tidak dapat berjalan secara spontan begitu saja, tetapi melalui suatu
proses yang disebut dengan perencanaan pembangunan, namun pemerintahlah yang paling
banyak berperan terutama dalam proses perencanaan.
Perencanaan pembangunan merupakan proses penting untuk menentukan tindakan
masa depan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut. Dengan menggunakan
perencanaan maka diharapkan pelaksanaan pembangunan dapat mencapai hasil yang
diinginkan. Faktor penting dalam perencanaan pembangunan adalah keberanian untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan, kemudian kapan melakukannya, selanjutnya
bagaimana melakukannya dan yang terakhir siapa yang melakukannya. Perencanaan yang
baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi di waktu yang akan datang.
Perencanaan yang baik juga akan menghasilkan keputusuan atau hasil yang baik juga.
Perencanaan pembangunan adalah suatu pengarahan penggunaan sumber-sumber
pembangunan yang terbatas adanya untuk mencapai tujuantujuan keadaan sosial ekonomi
yang lebih baik secara lebih efektif dan efisien (Listyianingsih,2014:92).
Menurut Riyadi dan Deddy (dalam Mhd Asrofi,2005:7) Perencanaan Pembangunan
Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan yang melibatkan berbagai unsur
didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah atau daerah
dalam jangka waktu tertentu.
Perencanaan pembangunan pada dasarnya berlangsung dalam suatu kurun waktu
sehingga perencanaan yang disusun untuk mencapai tujuan pembangunan senantiasa
sebagai suatu lingkaran proses yang tidak berkeputusan. Perencanaan pembangunan
mempengaruhi dan terpengaruh oleh beberapa banyak dan bagaimana bentuk intervensi
dalam suatu perekonomian yang dianggap perlu untuk menjamin tersedianya barang dan
jasa. Dalam makalah ini penulis hanya merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep
dasar dari perencanaan pembangunan mulai dari perlunya perencanaan pembangunan,
perencanaan ekonomi ke perencanaan pembangunan, sejarah perencanaan di Indonesia,
perencanaan pembangunan nasional vs daerah, perencanaan pembangunan derah dalam era
otonomi hingga dokumen perencanaan pembangunan daerah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah perlu diadakannya perencanaan pembangunan?


2. Bagaimana perencanaan ekonomi ke perencanan pembangunan?
3. Bagaimanakah sejarah perencanaan pembangunan di Indonesia?
4. Bagaimanakah perencanaan pembangunan Nasional vs Daerah?

1
5. Bagaimanakah perencanaan pembangunan daerah dalam era otonomi?
6. Dokumen perencanaan pembangunan daerah?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui perlunya perencanaan pembangunan


2. Untuk mengetahui adanya perencanaan ekonomi ke perencanaan pembangunan
3. Untuk mengetahui sejarah perencanaan pembangunan di Indonesia
4. Untuk mengetahui perencanaan pembangunan Nasional vs Daerah
5. Untuk mengetahui perencanaan pembangunan daerah dalam era otonomi
6. Untuk mengetahui adanya dokumen perencanaan pembangunan daerah

1.4 Manfaat Penulisan


1. Secara Teoritik
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan
kajian, baik bagi peneliti maupun kepada seluruh pembaca maupun kepada
masyarakat untuk mengetahui bagaimana konsep dasar perencanaan
pembangunan.

2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta bisa juga
dijadikan sebagai bahan evaluasi kedepannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perlunya Perencanaan Pembangunan

Mengapa perencanaan pembangunan diperlukan? Apakah Negara atau daerah yang


melakukan perencanaan dinyatakan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau
dengan kata lain ada jaminan bahwa Negara tersebut berhasil? Atau bagi Negara atau
daerah yang tidak melakukan perencanaan, apakah dapat dinyatakan gagal dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan seperti ini perlu kajian lebih jauh,
namun sesungguhnya bagi Negara atau daerah yang melakukan perencanaan pembangunan
diharapkan mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui penggunaan
sumberdaya ekonomi yang lebih efisien dan efektif. Hal ini berarti peran dan fungsi
pemerintah menjadi sangat penting dalam pengelolaan ekonomi.
Perlunya Perencanaan karena dengan menggunakan perencanaan maka akan
mempunyai tujuan yang ingin dicapai, maksudnya adalah perencanaan merupakan sarana
untuk mencapai tujuan melalui pelaksanaan kegiatan. Dalam hal pembangunan suatu daerah
perencanaan sangatlah penting karena dengan menggunakan perencanaan maka diharapkan
kita tahu apa saja yang dibutuhkan dalam suatu pembangunan.
Pembangunan adalah suatu konsep yang mempunyai tujuan dalam proses menuju
kearah perbaikan dan peningkatan. Kegiatan Pembangunan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah maupun yang dilaksanakan masyarakat merupakan suatu investasi. Investasi ada
2 jenis, yaitu pertama yang bersifat mengganti yang susut dan yang kedua bersifat
menambah kapasitas. Investasi yang dilakukan oleh Pemerintah seperti halnya Pemerintah
membangun sebuah jalan atau Pemerintah memperbaiki jalan yang rusak. Ketika ada
sebuah jalan yang baru dibangun, maka masyarakat juga diuntungkan, masyarakat bisa
menggunakan jalan tersebut sebagai akses untuk kegiatan atau aktivitas masing-masing.
Seperti halnya mereka memanfaatkan jalan tersebut untuk menuju kekantor mereka dan
aktivitas yang lain-lain lagi.
Dengan adanya perencanaan pembangunan kita bisa merencankanan terlebih dahulu
pembangunan yang akan datang supaya pembangunan jadi tepat dan berguna bagi
masyarakat banyak. Paradigma Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sesuai
dengan UU No 25 Tahun 2004. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh
unsur penyelenggara negara dan msayarakat di tingkat pusat dan daerah. Dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional ada musyawarah perencanaan pembangunan
(musrenbang), musyawarah perencanaan pembangunan nasional adalah forum antar pelaku
dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.

Dari sudut pandang ekonomi, alasan perlunya perencanaan adalah :

a. Agar penggunaan alokasi sumber-sumber pembangunan yang terbatas bisa lebih


efisien

3
b. Agar perkembangan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi menjadi lebih mantap
c. Agar tercapai stabilitas ekonomi dalam menghadapi siklus konjungtur
Dengan melihat perkembangan pembangunan hingga saat ini, terdapat fakta yang
menunjukkan bahwa tidak ada negara di dunia ini tidak mementingkan peranan pemerintah.
Di negara-negara maju dan penganut mekanisme pasar sekalipun, peranan dan intervensi
pemerintah masih tetap ada dan dibutuhkan untuk kepentingan publik baik melalui
kebijakan fiskal dan moneter, dan maupun peran regulatori lainnya. Indonesia sebagai
negara sedang berkembang, tuntutan masyarakat terhadap peran pemerintah masih sangat
besar. Namun di satu sisi, perannya dibatasi pada hal-hal yang fungsinya sebagai regulator,
koordinator, dan motivator, atau dengan istilah yang dikemukakan oleh Keynes campur
tangan pemerintah dibutuhkan bilamana sektor swasta tidak mampu melakukannya.

2.2 Perencanaan Ekonomi ke Perencanan Pembangunan


Sebenarnya belum ada kata sepakat di antara para ahli ekonomi mengenai pengertian
istilah perencanaan ekonomi. Perencanaan sering disamakan dengan sistem politik suatu
negara seperti kapitalis, sosialis dan campuran. Setiap bentuk campur tangan pemerintah
dalam masalah ekonomi diartikan juga sebagai perencanaan. Oleh sebab itu, perencanaan
dapat dikatakan sebagai teknik atau cara untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang
telah ditetapkan sebelumnya serta telah dirumuskan oleh Badan Perencana Pusat.
Tujuan perencanaan ekonomi adalah mengadakan suatu perekonomian nasional yang
diatur, yang direncanakan tujuannya dan jalannya. Dan perencanaan pada asasnya berkisar
pada dua hal yaitu :
a. Penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan yang hendak dicapai dalam jangka
waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan.
b. Pilihan-pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
Perencanaan pembangunan ditandai dengan adanya usaha untuk memenuhi berbagai
ciri-ciri tertentu serta adanya tujuan yang bersifat pembangunan tertentu. Ciri-ciri suatu
perencanaan pembangunan adalah:
a. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi
yang mantap (steady social economic growth). Hal ini dicerminkan dalam usaha
pertumbuhan ekonomi yang positif.
b. Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan pendapatan per kapita.
c. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi. Hal ini seringkali disebut
sebagai usaha diversifikasi ekonomi.
d. Usaha perluasan kesempatan kerja
e. Usaha pemerataan pembangunan , sering disebut sebagai distributive justice
f. Usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang lebih menunjang
kegiatan-kegiatan pembangunan
g. Usaha secara terus menerus menjaga stabilitas ekonomi

4
2.3 Sejarah Perencanaan Pembangunan di Indonesia

a. Orde Baru (1966–1998)


Merupakan periode dimulainya sistem perencanaan pembangunan yang dilakukan
secara sungguh-sungguh di Indonesia (Saronto dan Wrihatnolo 2009: 5). Dalam periode
tersebut, berkembang model perencanaan yang realistis dengan logika-logika ekonomi,
yang tidak digunakan dalam periode sebelumnya. Namun, corak perencanaan
pembangunan pada masa Orde Baru tersebut dianggap terlalu sentralistis dan
teknokratis (Rasyid 2002: 15 dan Hadiz 2004: 701). Terlalu sentralistis karena kuatnya
pengaruh pemerintah pusat di Jakarta dan mengabaikan suara pemerintah daerah;
terlalu teknokratis karena hanya didominasi segelintir teknokrat di pemerintahan.
Dalam sistem perencanaan pembangunan tersebut partisipasi masyarakat sangat
terbatas. Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi. Tanpa partisipasi
masyarakat, pembangunan akan dikooptasi oleh kepentingan elite penguasa dan
menghasilkan ketidakadilan sosial. Kolusi, korupsi dan n epotisme (KKN) yang sangat
akut1 dan menjadi sebab jatuhnya Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari pendekatan
pembangunan yang terlalu sentralistis dan teknokratis tersebut. Dalam era reformasi,
yang dimulai sejak tahun 1998, yang ditandai dengan lengser keprabon-nya Suharto
dari kursi kepresidenan, perencanaan pembangunan yang terlalu sentralistis dan
teknokratis, dianggap tidak lagi bisa diteruskan (Rasyid 2002: 15–17 dan Hadiz 2004:
701).
Terdapat tuntutan untuk menguatkan peran masyarakat dalam perencanaan
pembangunan yang ada, sehingga pembangunan yang akan dilakukan benar-benar
untuk kepentingan rakyat. Ini terlihat, misalnya, dengan semakin kerasnya wacana
tentang good governance atau pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik dalam
masyarakat. Bersama dengan transparansi dan akuntabilitas, partisipasi masyarakat
merupakan pilar penting bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk
menjawab tuntutan tersebut, berbagai perubahan kelembagaan telah dilakukan. Sejak
bergulirnya reformasi, setidaknya, telah terjadi empat perubahan penting yang
memengaruhi sistem perencanaan pembangunan di Indonesia. Pertama, peran Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kini lebih dibatasi dibandingkan pada
masa Orde Baru. Kedua, berlakunya otonomi daerah yang menyebabkan tiap daerah
(provinsi, kabupaten, dan kota) leluasa untuk menentukan rencana pembangunan
mereka masing-masing. Ketiga, sistem pemilihan presiden langsung dan sistem
pemilihan kepala daerah secara langsung. Keempat, peran parlemen, baik di tingkat
pusat (Dewan Perwakilan Rakyat, DPR) maupun daerah (Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, DPRD), yang semakin kuat, juga turut berperan dalam perubahan perencanaan
pembangun an di Indonesia.

b. Demokrasi, Partisipasi, Dan Perencanaan Pembangunan


Demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat”. Dalam terminologi tersebut, rakyat ditempatkan sebagai pemangku

5
kepentingan (stakeholder) utama dalam sistem politik dan pemerintahan. Suara rakyat
adalah suara Tuhan yang harus dipenuhi. Dalam sistem demokrasi setiap orang bebas
dan berhak mengutarakan pendapat serta terlibat dalam pengambilan keputusan politik
dan pemerintahan. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam
pembangunan. Ini berlawanan dengan sistem monarki yang mensyaratkan adanya kasta
dalam sistem politik. Dalam demokrasi, sistem politik justru sengaja dibangun agar
pembangunan tidak dikooptasi atau dikuasai oleh segelintir elite saja. Demokrasi
dibangu n agar terdapat diversifikasi kekuasaan sehingga kesetaraan hak politik rakyat
dan hak rakyat untuk bersuara dan berpendapat dapat diperluas (Imawan 2002:47).
Partisipasi merupakan kata kunci untuk menjamin berlakunya demokrasi dalam sebuah
masyarakat atau bangsa. Menurut Rauf dkk. (2011: 25), selain kebebasan sipil (civil
liberty) seperti kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat,
dan kebebasan berkeyakinan/beribadah, pilar dasar dalam demokrasi adalah
terjaminnya hak-hak politik (political rights). Hak politik di sini adalah hak untuk
memilih dan dipilih untuk mengisi jabatan publik, serta hak untuk terlibat dalam
pengambilan kebijakan pembangunan dan pengawasannya. Partisipasi rakyat untuk
berkontribusi dan menikmati pembangunan bahkan telah diakui sebagai bagian dari hak
asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara (Sikki, Muchtar, dan Hartini 2009: 10).
Partisipasi berarti adanya peran aktif dari masyarakat dalam setiap keputusan
politik atau pembangunan. Akan tetapi, dalam wacana politik dan demokrasi (terutama
demokrasi perwakilan), partisipasi seringkali dianggap tuntas jika masyarakat telah
menggunakan haknya untuk memilih presiden, kepala daerah, atau parlemen (pusat dan
daerah). Padahal, proses politik tidak berhenti ketika pemilu usai. Lebih penting dari
sekadar memilih anggota parlemen, presiden, atau kepala daerah adalah keterlibatan
aktif masyarakat dalam menentukan prioritas pembangunan. Partisipasi masyarakat
akan mendorong terwujudnya pemerintahan yang responsif dan bertanggung jawab,
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat, dan membantu konsolidasi
demokrasi (Speer 2012). Tanpa keterlibatan aktif masyarakat, pembangunan hanya
akan menguntungkan kelompok elite tertentu dan bukan untuk kepentingan masyarakat
secara lebih luas. Namun, perlu diingat bahwa tiap kelompok atau elemen masyarakat
memiliki daya tawar berbeda-beda, yang bisa memengaruhi tingkat partisipasi.Oleh
karena itu, diperlukan mekanisme yang menjamin setiap elemen masyarakat dapat
berpartisipasi secara adil dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan
merupakan sebuah arena kontestasi dari para pemangku kepentingan. Selain pemilihan
umum, perencanaan pembangunan harus dilihat sebagai mekanisme penting dalam
pemenuhan hak politik, yang merupakan pilar penting demokrasi. Dalam perencanaan
ini ditentukan tujuan dan prioritas serta program-program pembangunan, dengan
ketersediaan sumber daya yang terbatas. Mekanisme atau kelembagaan dalam
perencanaan pembangunan sangat menentukan bagaimana para pemangku kepentingan
menentukan arah pembangunan, termasuk penggunaan sumber daya yang ada.
Partisipasi masyarakat akan mengurangi kemungkinan kelompok pemangku
kepentingan mengarahkan penggunaan sumber daya yang ada bagi kepentinga n
mereka sendiri. Namun, perencanaan pembangunan terlalu diasosiasikan dengan peran
sentral negara, karena asumsi dasar perencanaan adalah untuk mengatasi kegagalan

6
pasar, demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam sejarahnya, perencanaan
pembangunan memang tidak bisa dipisahkan dengan peran negara dalam
pembangunan. Keynes, misalnya, mengkritisi paradigma laissez-faire dan
mengutarakan pentingnya intervensi pemerintah ketika terjadi kegagalan pasar
(Chibber 2002: 954, Marcuzzo 2008). Contohnya, pada 1930-an, untuk mengatasi
penganggur dan depresi dilakukan penurunan suku bunga dan peningkatan pengeluaran
peme-rintah untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu, Kalu (1996: 238), merujuk
pada Gernschenkorn (1962), menyatakan peran pemerintah ini terutama juga
diperlukan oleh negara-negara sedang berkembang, khususnya ketika pihak swasta
tidak tertarik untuk berinvestasi. Pengalaman negara-negara Asia juga menunjukkan
pentingnya peran negara dalam pembangunan. Menurut Bank Dunia (1993:6),
intervensi pemerintah menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan lebih
merata. Peran pemerintah dalam pembangunan, yang dalam praktiknya di Asia dikenal
sebagai developmental state ini merupakan kritik terhadap paradigma ekonomi
neoklasik. Kelompok neoklasik beranggapan bahwa proteksi terhadap suatu industri
akan menurunkan daya saing internasional. Lebih jauh, intervensi pemerintah hanya
akan menghasilkan perilaku rent-seeking sehingga mengarahkan sumber daya ekonomi
pada sektor-sektor yang tidak produktif. Berbeda dengan pandangan ekonomi neoklasik
yang menganggap bahwa distorsi harga yang muncul karena adanya intervensi
pemerintah bisa menimbulkan inefi siensi sumber daya, praktik-praktik ekonomi di
Asia menganggap bahwa distorsi harga akan meningkatkan investasi di sektor strategis
yang diinginkan pemerintah (Onis 1991: 12). Dengan distorsi harga, pemerintah dapat
mengarahkan investasi pada sektor-sektor yang dianggap perlu dalam pembangunan.
Praktik pembangunan dan perencanaan pembangunan di Indonesia dalam periode Orde
Baru tidak terlepas dari pengaruh Keynes dan developmental state ala Asia.
Sebagaimana praktik di negara-negara Asia, pembangunan di Indonesia pada masa
Orde Baru mengikuti model developmental state.

c. Perubahan Lingkungan Perencanaan Pembangunan Di Indonesia


Satu hal yang sangat menonjol dalam masa Orde Baru adalah perencanaan
pembangunan yang sangat terpusat di Jakarta. Pada masa itu, Bappenas memegang
peranan sentral dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Tidak saja berperan
dalam menentukan arah pembangunan Indonesia, seperti penyusunan dokumen-
dokumen Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), Bappenas juga turut
menentukan apa dan berapa biaya proyek yang akan dikerjakan dalam pembangunan
Indonesia. Sewaktu Orde Baru, Bappenas sangat berkuasa mengatur besaran proyek ke
tiap departemen. Intinya, Bappenas jadi pemegang tampuk atau koordinator
penyusunan kebijakan fi skal, pembuatan kebijakan makro ekonomi serta berperan
merancang anggaran negara atau APBN. Bahkan, semua hal penting yang menyangkut
negeri ini, boleh dibilang, harus melalui penggodokan di markas besarnya yang berada
di Taman Suropati (Yusron, Rahardjo, dan Rubiyantoro 2006). Keberadaan “buku biru”
(yang seakan menjadi cetak biru pembangunan Indonesia) di Bappenas menunjukkan
besarnya otoritas yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Proyek-proyek pembangunan

7
yang akan dilaksanakan harus dicatat dalam buku tersebut. Ini berarti setiap kegiatan
pembangunan yang akan dilaksanakan harus atas persetujuan Bappenas. Keberadaan
badan perencana pembangunan di Indonesia sebenarnya bukan sebuah hal yang baru
dimulai pada masa Orde Baru. Bappenas sejatinya merupakan perkembangan dari
lembaga yang sudah ada sejak awal kemerdekaan sebagaimana diungkapkan oleh
Bratakusumah (2003: 3–5). Dimulai pada tahun 1947, telah terbentuk Panitia Pemikir
Siasat Ekonomi yang diketuai Mohammad Hatta. Pada 1952, dibentuk Biro Perancang
Negara, di bawah koordinasi Djuanda yang mengepalai Kementerian Negara Urusan
Pembangunan. Setelah Dekrit Presiden 1959, dibentuklah Dewan Perancang Nasional
(Depernas) yang diketuai oleh Mr. Muhammad Yamin. Selanjutnya, dengan Penetapan
Presiden No. 12 Tahun 1963 (Penpres 12/1963), Depernas diubah menjadi Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, Bappenas baru memperoleh
peran yang sangat besar sejak Orde Baru. Kuatnya peran Bappenas dalam masa Orde
Baru tidak bisa dilepaskan dari peranan Widjojo Nitisastro, yang sering disebut sebagai
“lurah”2 oleh para ekonom-teknokrat Orde Baru. Widjojo, Kepala Bappenas dan
Menteri Koordinator Ekonomi dan Pembangunan, “lurah” para ekonom-teknokrat Orde
Baru ini dikenal sangat cerdas dan paling berpengaruh di antara mereka.
Bappenas yang menjadi jantung perencanaan ekonomi Orde Baru dianggap
bertanggung jawab atas “kegagalan” perekonomian Indonesia (Yusron dkk. 2006).
Terpusatnya perencanaan dan otoritasnya dalam distribusi kegiatan dan dana
pembangunan di lembaga tersebut dianggap tidak sehat. Oleh karena itu, tugas dan
wewenangnya pun dikurangi. Fungsi alokasi anggaran untuk kegiatan pembangunan
menjadi lebih banyak ditangani Kementerian Keuangan bersama dengan DPR. Menurut
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuang an Negara, kini kekuasaan atas
penyusunan dan pengelolaan fi skal berada di tangan Menteri Keuangan, bukan lagi di
Bappenas. Kepala Bappenas kini hanya mempunyai peran konsultasi dalam
penyusunan anggaran negara. Padahal, menurut Santoso (2011: 75), perencanaan yang
utuh seharusnya disusun secara terpadu sampai disahkan menjadi anggaran
pembangunan dan belanja negara (APBN). Dengan penyusunan dan pengesahan
anggaran (APBN) yang kini berada di Menteri Keuangan dan DPR, fungsi
penganggaran yang merupakan fungsi paling riil dalam perencanaan belum tentu dapat
disinkronkan dengan rencana pembangunan yang disusun oleh Bappenas. Menurunnya
fungsi Bappenas ini mendapat perlawanan yang cukup keras sehingga keluarlah
Undang-undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional yang menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan hingga sekarang
(Yusron dkk. 2006). Dalam undang-undang tersebut, yang disahkan ketika Kwik Kian
Gie menjabat sebagai Kepala Bappenas pada masa Megawati Soekarnoputri menjadi
presiden, Bappenas diposisikan sebagai think-tank dalam penyusunan rencana
pembangunan nasional. Sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut, Bappenas
bertugas untuk membantu dalam hal penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja
Pemerintah (RKP). RKP merupakan rencana kerja tahunan yang digunakan sebagai
acuan dalam penyusunan Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN). Di sini
terlihat bagaimana Bappenas berusaha kembali dilibatkan dalam penyusunan anggaran

8
sehingga terdapat kesan perebutan atau tumpang tindih kewenangan antara Bappenas
dan Kementerian Keuangan (Booth 2005: 212).

d. Desentralisasi Tanpa Partisipasi


Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan produk penting yang merupakan
pilar utama dari proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia (Imawan 2002: 43).
Dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang
kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, maka
daerah memiliki hampir semua kewenangan atas pelayanan kepada masyarakat, kecuali
dalam beberapa bidang yang merupakan wewenang pemerintah pusat, seperti
pertahanan, politik luar negeri, keuangan, yudisial, agama, dan urusan lain. Besarnya
kewenangan daerah, terutama kewenangan kabupaten dan kota, seringkali menjadikan
sulitnya koordinasi antar daerah. Keluhan gubernur tentang banyaknya bupati dan wali
kota yang berjalan dengan agenda pembangunan mereka masing-masing, misalnya,
bukan hal yang jarang terdengar. Namun, tulisan ini tidak akan membahas pengaruh
kebijakan desentralisasi terhadap persoalan koordinasi pembangunan. Bagian ini lebih
melihat peran desentralisasi dalam membuka ruang partisipasi. Sebagaimana
diungkapkan oleh Antlov (2002: 44), kebijakan desentralisasi diharapkan memberi
ruang politik yang lebih luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan
kebijakan pembangunan.
Dalam kenyataannya, partisipasi masyarakat belum sepenuhnya bisa dilaksanakan.
Memang pemerintah telah mulai melibatkan masyarakat dalam beberapa aspek
perencanaan, implementasi, dan pengawasan program pembangunan. Namun, di
banyak tempat para pengambil kebijakan hanya menginformasikan kepada masyarakat
ketika keputusan telah dibuat. Akibatnya, seringkali partisipasi yang dilakukan
masyarakat hanyalah berupa protes atau demonstrasi atas kebijakan yang dinilai tidak
sesuai dengan keinginan masyarakat atau ketika terjadi penyelewengan dalam
pelaksanaannya (The Asia Foundation 2002). Partisipasi yang ada belum merupakan
alternatif usulan kebijakan yang secara kritis mengarahkan optimalisasi sumber daya
(Fernandez 2002: 74). Masih minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan juga ditunjukkan oleh Governance Indeks yang disusun oleh Kemitraan
pada Tahun 20083 . Indeks ini disusun dengan skala 0 sampai dengan 10, dengan
kategori sangat kurang, kurang, cukup, baik, dan sangat baik. Dari Partnership
Governance Index (PGI), terlihat bahwa rata-rata indeks prinsip partisipasi masyarakat
dalam arena pemerintah hanya sebesar 5,04, atau sekadar cukup, tetapi cenderung
kurang (Tabel 1). Pemerintah di sini didefi nisikan sebagai lembaga pembuat kebijakan
(policy-making body) di tingkat provinsi, yang merujuk pada gubernur dan DPRD
Provinsi, yang berwenang dalam pembuatan peraturan, koordinasi pembangunan, dan
alokasi anggaran.
Rendahnya partisipasi masyarakat ini disebabkan, salah satunya, oleh trans pa ransi
kebijakan yang masih lemah. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara menjamin

9
hak masyarakat untuk memperoleh informasi mengenai kebijakan pemerintah
(Fernandez 2002: 64). Namun, aparatur pemerintahan, baik yang berada di lembaga
eksekutif maupun legislatif, masih enggan berbagi informasi tentang rencana
pembangunan. Terutama di tingkat daerah, bukan hal yang mudah untuk bisa
mendapatkan dokumen rencana APBD. Ada kekhawatiran dari para pembuat kebijakan
bahwa keterbukaan informasi hanya akan mengganggu proses perencanaan dan hanya
menimbulkan gejolak di masyarakat. Padahal, tidak mungkin membangun partisipasi
jika masyarakat tidak mengetahui rencana pembangunan yang masih dibahas. Selain
itu, banyak kebijakan yang diambil secara tertutup, tanpa konsultasi publik, dan bersifat
politik transaksional (Fernandez 2002: 68). Aspek partisipasi masyarakat yang dapat
secara efektif mendorong kinerja perekonomian daerah adalah hal lain yang perlu
dipikirkan. Selain tingkat partisipasi yang masih rendah, kualitas partisipasi yang ada
juga masih lemah. Maksudnya, partisipasi masyarakat belum mampu menunjang
tingkat perekonomian daerah. Grafi k 1 justru menunjukkan kecenderungan bahwa
indeks partisipasi berhubungan terbalik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di 33
provinsi di Indonesia pada tahun 2008. Tingkat partisipasi yang tinggi justru terjadi
pada provinsi-provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sebaliknya,
provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, memiliki indeks partisipasi
yang rendah. Ini seakan menguatkan argumen tentang adanya jebakan partisipasi, yang
berupa populisme5 kebijakan; alokasi sumber daya diarahkan pada kebijakan atau
program-program yang bersifat populis yang bisa jadi tidak efektif dalam mengurai
masalah dalam masyarakat. Seperti ditulis Okamoto (2009: 148), program-program
populis seperti skema kredit bagi usaha kecil dan petani, pelayanan kesehatan dan
pendidikan murah atau gratis, telah banyak ditawarkan oleh politisi lokal untuk
memenangi pemilihan kepala daerah. Program-program tersebut memang penting untuk
dijalankan, tetapi jika pemerintah hanya mengandalkan programprogram populis yang
bersifat distributif, dan mengabaikan sektor produktif guna peningkatan pendapatan
masyarakat, keberlanjutan program-program tersebut diragukan. 5 Populisme dan
demokrasi menunjukkan dua sisi.

2.4 Perencanaan Pembangunan Nasional vs Daerah

 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional


Sesuai dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
2004, perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunanyang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan negara dan masyarakat di tingkat
pusat dandaerah. Dengan demikian, masing-masing dokumen perencanaan
berkaitan satu sama lainnyadan harus dilihat sebagai kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Karena SPPN ini telah ditetapkan dengan
undang-undang, maka sifatnya mengikat dan pelanggarandari ketentuan yang
ditetapkan akan mempunyai implikasi hukum tertentu. selanjutnya,
akandipaparkan secara ringkas mengenai permasalahan pokok perencanaan
10
pembangunan diIndonesia, sasaran yang ingin dicapai, dilanjutkan dengan
jenis dokumen serta mekanisme pelaksanaannya.
Setelah itu, pembahasan dilanjutkan dengan penetapan rencana,
keterkaitanantara perencanaan dan penganggaran serta monitoring dan
evaluasi.Mulai dari permasalahan perencanaan pembangunan di Indonesia.
Permasalahan pertama adalah adanya perubahan yang cukup fundamental
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula salah satu
tugasnya adalah menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Permasalahan berikutnya adalah masih sangat dirasakan adanya “egosektoral”
antara aparat pemerintah dalam melaksanakan kegiatan
pembangunan.Permasalahan selanjutnya yang juga sangat dirasakan sampai
saat ini adalah kurangterpadunya antara perencanaan dan penganggaran. Tidak
hanya itu, tetapi kekurangterpaduanini juga dirasakan antara perencanaan dan
pelaksanaan serta pengawasan. Terakhir, adalah belum optimalnya
dimanfaatkan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan rencana
pembangunan sehingga kebanyakan perencanaan yang disusun masih bersifat
“top-down planning”. Selanjutnya, sasaran pokok SPPN mencakup lima hal
pokok, yaitu:
a) Meningkatkan koordinasi antarpelaku pembangunan
b) Meningkatkan keterpaduan dan sinergitas perencanaan antara pusat
dan daerah sertaantar daerah yang terkait
c) Meningkatkan keterpaduan antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan
d) Mengoptimalkan partisipasi dan peran serta masyarakat dalam
penyusunan dan pelaksanaan perencanaan pembangunan
e) Menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif,
dan adil
 Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
Secara umum, ada empat ruang lingkung dan bentuk perencanaan
pembangunan yangsatu sama lainnya saling berkaitan.
 Perencanaan makro yang analisisnya bersifat menyeluruh
meliputi kesemua aspek dan sektor pembangunan.
 Perencanaan sektoral yang hanya mencakup satu bidang atau
sektor tertentu saja.
 Perencanaan wilayahyang hanya mencakup untuk wilayah
administratif tertentu saja.
 Perencanaan proyek yang mencakup perencanaan untuk
membangun suatu proyek atau kegiatan tertentu saja.
Perencanaan makro menyangkut dengan ruang lingkup dan
bentuk perencanaan yang berkaitan dengan kegiatan

11
pembangunan secara keseluruhan, meliputi: pertumbuhan
ekonomidaerah, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan,
keuangan dan sumber pembiayaan pembangunan serta
kebutuhan investasi dan strategi serta kebijakan pembangunan
secara menyeluruh.

Dalam hal ini, perencana dapat menambah pembahasan dengan aspek makro
lainnya sesuai dengan visi dan misi pembangunan daerah yang telah ditetapkan
terlebih dahulu oleh kepala daerah terpilih. Kemudian perencanaan sektoral
merupakan perencanaan yang ruang lingkupnya hanya untuk satu bidang atau sektor
pembangunan tertentu saja, misalnya pertanian, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Perencanaan sektoral ini diperuntukan khusus untuk dinas atau SKPD tertentu, maka
penyusunannya harus mengacu pada Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) institusi
bersangkutan. Perencanaan sektoral juga mempunyai visi dan misi sendiri sesuai
dengan aspirasi dan harapan dari SKPD bersangkutan. Namun, visi dan misi ini harus
sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan visi dan misi kepala daerah sebagaimana
tercantum dalam RPJMD bersangkutan. Visi dan misi SKPD tersebut selanjutnya
akan dijadikan dasar utama perumusan strategi, kebijakan, program, dan kegiatan
yang akan direncakan dalam Renstra bersangkutan. Selanjutnya, perencanaan
wilayah. Pada dasarnya adalah ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan
yang di dalamnya terdapat unsur tata ruang dan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial
secara terintegrasi. Dalam perencanaan wilayah, aspek perencanaan penggunaan lahan
menjadi sangat penting. Sasaran utama dari perencanaan penggunaan lahan ini adalah
untuk dapat menyesuaikan antara potensi ekonomi daerah dengan potensidan daya
dukung lahan berikut konektivitasnya atau eksesibilitasnya antar wilayah sehingga
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih cepat dan efisien.

Terakhir, perencanaan proyek. Merupakan perencanaan yang khusus disusun


untuk pembangunan suatu proyek atau kegiatan tertentu, misalnya pembangunan
jalan, pembangkittenaga listrik, sekolah, rumah sakit, dan lainnya. Untuk keperluan
penyusunan perencanaan proyek, terlebih dahulu perlu ditetapkan deskripsi rinci dari
kegiatan yang akan dilakukantersebut termasuk umur proyek. Kemudian perlu diteliti
semua unsur-unsur biaya yang harus di keluarga untuk mendukung pembangunan
proyek. Di samping itu, perlu pula diteliti semua unsur penerimaan dari hasil proyek
dan manfaat ekonomi yang dapat ditimbulkan karenaadanya proyek seperti
penyediaan lapangan kerja dan lain-lain. Secara umum, siklus proyek meliputi
kegiatan:

 Tahap identifikasi, kebutuhan pembangunan proyek sesuai


dengan kebutuhan daerahatau rencana yang ditetapkan semula
seperti RPJMD,

12
 Tahap persiapan proyek, berisikan penelitian terhadap faktor-
faktor yang menentukankeberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan proyek bersangkutan,
 Tahap pelaksanaan, berbagai kegiatan yang menyangkut
dengan konstruksi pembangunan atau pengadaan fisik proyek
bersangkutan,
 Tahap evaluasi, yang melaksanakan kegiatan evaluasi kinerja
proyek terhadap pembangunan daerah menggunakan data hasil
pelaksanaan operasional proyek.

Secara umum, ada empat hal pokok yang menjadi dasar pertimbangan utama yang
menyebabkan perlunyamasing-masing daerah menyusun dokumen perencanaannya sendiri,
yaitu:

 Struktur pembangunan daerah berbeda dengan struktur pembangunan nasional


 Pada pembangunan daerah terdapat interaksi yang erat dengan daerah lainnya, baik
dalam hal perdagangan, perpindahan penduduk, dan mobilitas modal
 Struktur dan komponen keuangan daerah berbeda dengan keuangan nasional
 Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah delam pengelolaan
pembangunanndaerah berbeda dengan lingkup kewenangan pemerintah pusat
Perbedaan struktur pembangunan nasional dan daerah terletak pada ruang lingkup
dansistem perencanaan pembangunan yang digunakan.

Berbeda dengan tingkat nasional, pada tingkat daerah terdapat interaksi yang sangat erat
antara suatu daerah dengan daerah lainnyaterutama yang berdekatan. Perbedaan struktur
keuangan nasional dan daerah juga sangatdirasakan terutama dalam era otonomi daerah. Pada
tingkat nasional, penerimaan negara terutama berasal dari Pajak (PPn dan PPh) dan
penghasilan dari minyak bumi. Sedangkan pada tingkat daerah sumber utama penghasilan
berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik dalam bentuk Pajak dan Retribusi Daerah
serta Dana Perimbangan yang meliputi DanaBagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alama,
Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana AlokasiKhusus (DAK). Dalam sistem NKRI,
kewenangan dalam pengelolaan kegiatan pembangunan juga dibagi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupatenatau kota.

2.5 Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi


Otonomi adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada
acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan

13
dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
bertanggungjawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber
potensi yang ada di daerah masing-masing.
Adapun tujuan dari adanya otonomi daerah berdasarkan Pasal 31 Ayat (2) Undang-
Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yaitu :
1. Mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
2. Mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
3. Mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik
4. Meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan
5. Meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah dan
6. Memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah

Prinsip otonomi daerah berdasarkan undang-undang pemeintahan daerah pada dasarnya


menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah
yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, dapatlah ditarik benang merah bahwa setiap
daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan dasar perubahan paradigma dalam
pelaksanaan pemerintahan, pengelolaan anggaran negara dan daerah serta sebagai
perwujudan tuntutan agenda reformasi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Adapun perubahan paradigma tersebut disikapi oleh daerah dengan menyesuaikan dan
merubah berbagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam
melaksanakan pembangunan yang baik dan tepat sasaran.
Berbagai perubahan tersebut terwujud dalam pergeseran paradigma pembangunan di
daerah, yakni perubahan dari paradigma yang sentralistik menuju paradigma yang
desentralistik. Paradigma sentralistik dianggap terlalu mementingkan kedudukan pemerintah
sebagai pusat perencana dan pelaksana pembangunan tanpa melibatkan masyarakat sebagai
bagian penting dari pembangunan itu sendiri. Paradigma pembangunan yang lebih
mementingkan kekuasaan pemerintah tersebut tidak lagi relevan untuk diterapkan.
Pergeseran paradigma pembangunan tersebut, secara teoritis merupakan perwujudan dari
perubahan pola perencanaan pembangunan dengan pola top down menjadi pola bottom up.
Seperti yang diungkapkan oleh Hirtsune Kimura dalam Jurnal Ketahanan Nasional : Lebih
lanjut, mengubah pola pikir para pejabat publik yang sudah terbiasa birokratis tidaklah
mudah. Meskipun setelah tiga dekade, dengan pemerintahan yang baru, akan masih ada suatu
tradisi yang kuat dalam birokrasi yang terpusat, namun hal itu merupakan sebuah langkah
besar dari proses desentralisasi di Indonesia yang masih berada di titik awal.

14
2.6 Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah
Dokumen perencanaan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kabupaten/Kota
yaitu:
 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
 Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)

Sedang dokumen perencanaan yang dibuat oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah

 Rencana Strategis Perangkat Daerah (Renstra)


 Rencana Kerja Perangkat Daerah (Renja PD)

Dokumen Perancanaan di Kabupaten Bantul dapat diunduh melalui tautan berikut ini:

 RT RW
 Renstra BPBD 2016-2021
 Perubahan Renstra BPBD 2016-2021
 Renja 2019
 RKT 2019
 Renja 2020
 Rencana Aksi 2020
 Renja 2021

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah tercakup diatas, dalam melakukan pembangunan,


setiap Pemerintaah Daerah memerlukan perencanaan yang akurat serta diharapkan dapat
melakukan evaluasi terhadap pembangunan yang dilakukannya. Seiring dengan semakin
pesatnya pembangunan bidang ekonomi, maka terjadi peningkatan permintaan data dan
indikator-indikator yang menghendaki ketersediaan data sampai tingkat Kabupaten/ Kota.
Data dan indikator-indikator pembangunan yang diperlukan adalah yang sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan.
Menghadapi realitas kehidupan yang menunjukkan adanya kesenjangan kesejahteraan
mengakibatkan adanya pekerjaan berat kepada para ahli pembangunan termasuk di
dalamnya para pembuat kebijakan. Ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai persoalan
yang muncul akibat kesenjangan kesejahteraan, perlu dilakukan upaya pembangunan yang
terencana. Upaya pembangunan yang terencana dapat dilakukan untuk mencapai tujuan
pembangunan yang dilakukan. Lebih jauh lagi berarti perencanaan yang tepat sesuai dengan
kondisi di suatu wilayah menjadi syarat mutlak dilakukannya usaha pembangunan.
Perencanaan pembangunan memiliki ciri khusus yang bersifat usaha pencapaian tujuan
pembangunan tertentu. Adapun ciri dimaksud antara lain:
1. Perencanaan yang isinya upaya-upaya untuk mencapai perkembangan ekonomi yang
kuat dapat tercermin dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi positif
2. Ada upaya untuk meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat
3. Berisi upaya melakukan struktur perekonomian
4. Mempunyai tujuan meningkatkan kesempatan kerja
5. Adanya pemerataan pembangunan

3.2 Saran
Pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan harus dilakukan dengan memperhatikan
berbagai pihak, sehingga pembangunan yang terlaksana dapat diterima oleh masyarakat.
SPPN yang merupakan payung hukum pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan di
Indonesia harus benar-benar dipedomani oleh pemerintah dan para perencana
pembangunan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asmara, Lalu Hajar., 2001. Mencari Format Perencanaan Pembangunan yang Aspiratif
Untuk Mendukung Implementasi Otonomi Daerah.

Effendi, Onong Uchjana. 1994. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Binacipta


Sumodiningrat.

Gunawan dan Nugroho, Riant. 2005. Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju
Negara-Negara yang Unggul dalam Persaingan.

Nursini. 2010. Perencanaan Pembangunan dan Perencanaan Daerah: Teori dan Aplikasi.
Penelitian tidak dipublikasikan.

Robertson-Snape, F. 1999. “Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia”, dalam


Third World Quality, 20(3), 589–602.

Salang, Sebastian. 2006. “Parlemen: Antara Kepentingan Politik vs. Aspirasi Rakyat”,
dalam Jurnal Konstitusi, 3(4): 90-120. (diakses tanggal 25 Agustus 2021)
http://www. Mahkamahkonstitusi .
go.id/pdfjurnal/BOOK_Volume3nomor4Des2006. pdf#page=7.

Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah.

Wibowo, Edi. 2008. Perencanaan dan Strategi Pembangunan di Indonesia. Jurnal


Ekonomi dan Kewirausahaan. n Vol. 8, No. 1, hal 16-24. (diakses tanggal 27
Agustus 2021) https://media.neliti.com/media/publications/23438-ID-perencanaan-
dan-strategi-pembangunan-di-indonesia.pdf

https://bpbd.bantulkab.go.id/

17

Anda mungkin juga menyukai