Anda di halaman 1dari 75

PAPER

DIABETES, HIPOGLIKEMIA, dan HIPERTENSI

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti kepanitraan Klinik Stase (KKS) Ilmu Penyakit
Dalam Rumah Sakit Haji Medan Sumatra Utara

Disusun Oleh:

Jenny Jessica Sidabalok - 21360027

Akmal Taher - 21360028

Pembimbing:

dr. Ira Ramadhani, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT


DALAM RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehendak
dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul
”Diabetes, Hipoglikemia, dan Hipertensi”. Penyusunan tugas paper ini di
maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam yang diberikan pembimbing.

Dalam penulisan makalah ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan,


baik berupa petunjuk, bimbingan, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Ira
Rahmadhani, Sp.PD selaku pembimbing dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam dalam penyusunan makalah ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa paper terdapat


banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, mengingat segala keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Maka dari ini, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa yang
akan datang.

Akhir kata semoga paper ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
semua pihak yang membaca.

Medan, 12 Juli 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak normal,
suatu resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan ditandai
dengan adanya peningkatan komplikasi perkembangan makrovaskular. Secara
umum, ketiga elemen diatas telah digunakan untuk mencoba menemukan
diagnosis atau penyembuhan diabetes.
Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau
sebagian besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau Langerhans pada pankreas yang
berfungsi menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan insulin. Di samping
itu diabetes melittus juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin
dalam memasukan glukosa ke dalam sel. Gangguan itu dapat terjadi karena
kegemukan atau sebab lain yang belum diketahui.
Penyakit diabetes mellitus yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kencing
manis terjadi pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa)
dalam darah akibat kekurangan insulin atau reseptor insulin tidak berfungsi baik.
Diabetes yang timbul akibat kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Sedang diabetes karena insulin tidak
berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2 atau Non-Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM).
Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di
bawah normal. Pada umumnya kadar glukosa puasa pada orang normal jarang
melampaui 126 mg/dl, jika diatas itu tergolong tidak normal. Biasanya pada
penderita hipoglikemia terjadi kadar glukosa yangrendah yaitu kurang dari 50
mg/dl(2,8 mmol/L) atau bahkan kurang dari 40 mg/dl (2,2 mmol/L). Kadar
glukosa darah keseluruhan (whole blood) lebih rendah 10% dibandingkan dengan
kadar glukosa plasma dikarenakan eritrosit memiliki kadar glukosa yang relatif
rendah. Hipoglikemia pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT 1) dan diabetes
mellitus tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai
sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Pengendalian
glukosa darah yang baik dan lengkap didasarkan pada kondisi bebas dari
hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat mekanisme dalam tubuh yang
tidak sempurna dimana kadar insulin pada malam hari meningkat secara tidak
proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan
glukosa darah yang aman.
Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013; Ferri,
2017). Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah salah satu jenis
penyakit yang mematikan di dunia dan faktor risiko paling utama terjadinya
hipertensi yaitu faktor usia sehingga tidak heran penyakit hipertensi sering
dijumpai pada usia senja/ usia lanjut.
Jika saat ini seseorang sedang perawatan penyakit hipertensi dan pada saat
diperiksa tekanan darah seseorang tersebut dalam keadaan normal, hal itu tidak
menutup kemungkinan tetap memiliki risiko besar mengalami hipertensi kembali.
Lakukan terus kontrol dengan dokter dan menjaga kesehatan agar tekanan darah
tetap dalam keadaan terkontrol.
Tekanan darah arteri sistemik merupakan hasil perkalian total resistensi/
tahanan perifer dengan curah jantung (cardiac output). Hasil Cardiac Output
didapatkan melalui perkalian antara stroke volume (volume darah yang dipompa
dari ventrikel jantung) dengan hearth rate (denyut jantung). Sistem otonom dan
sirkulasi hormonal berfungsi untuk mempertahankan pengaturan tahanan perifer.
Hipertensi merupakan suatu abnormalitas dari kedua faktor tersebut yang ditandai
dengan adanya peningkatan curah jantung dan resistensi perifer yang juga
meningkat.

Bab II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus


A. Definisi
DM merupakan penyakit metabolik yang terjadi oleh interaksi
berbagai faktor: genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup.
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat penurunan sekresi insulin progresif dilatar belakangi oleh
resistensi insulin. Pernyataan ini selaras dengan IDF (2017) yang
menyatakan bahwa diabetes mellitus merupakan kondisi kronis yang
terjadi saat meningkatnya kadar glukosa dalam darah karena tubuh tidak
mampu memproduksi banyak hormon insulin atau kurangnya efektifitas
fungsi insulin. Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes
sangatlah kompleks dan penyakit kronik yang perlu perawatan medis
secara berlanjut dengan strategi pengontrolan indeks glikemik
berdasarkan multifaktor resiko.(1)

B. Epidemiologi
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes
melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur 15 tahun
sebesar 2%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan
prevalensi diabetes melitus pada penduduk 15 tahun pada hasil
Riskesdas 2013 sebesar 1,5%. Namun prevalensi diabetes melitus
menurut hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013
menjadi 8,5% pada tahun 2018. Angka ini menunjukkan bahwa baru
sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya
menderita diabetes.
Prevalensi  diabetes  di  Indonesia  pada tahun 2013 adalah 2,1%.
Angka tersebut lebih  tinggi  dibanding  dengan tahun 2007 (1,1%). 
Sebanyak 31 Provinsi (93,9%) menunjukkan  kenaikan prevalensi  DM
yang cukup  berarti.  Tahun  2007 menjadi  1,2%  pada 2013.  Hasil  Riset 
Kesehatan Dasar (Riskesdas)  pada tahun 2007 menunjukan bahwa
proporsi  penyebab  kematian  akibat  DM pada kelompok usia 45-54 
tahun di daerah perkotaan menduduki  ranking  ke dua yaitu  14,7%,
sedangkan di daerah pedesaan, DM menduduki ranking  ke enam yaitu 
5,8%.

C. Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul pada penderita diabetes mellitus diantaranya (2) :
a. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila
kadar gula darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah
yang tinggi akan dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi
kadar glukosa darah maka ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah
yang banyak. Akibatnya penderita diabetes sering berkemih dalam
jumlah banyak.
b. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka
penderita akan merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin
mengelola kadar gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar
yang berlebihan.
d. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah cadangan
energi lain dalam tubuh seperti lemak.

D. Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi etiologis diabetes menurut American Diabetes Association 2018
dibagi dalam 4 jenis yaitu(3) :
a. Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena
sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali
sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang
jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik
pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.(4)
Faktor penyebab terjadinya DM Tipe I adalah infeksi virus ata`u
rusaknya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan karena reaksi
autoimun yang merusak sel-sel penghasil insulin yaitu sel β pada
pankreas, secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pada tipe I, pankreas tidak
dapat memproduksi insulin. Penderita DM untuk bertahan hidup harus
diberikan insulin dengan cara disuntikan pada area tubuh penderita.
Apabila insulin tidak diberikan maka penderita akan tidak sadarkan diri,
disebut juga dengan koma ketoasidosis atau koma diabetic.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya
resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap
kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi
insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga
sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.
Diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh kegagalan relatif sel β pankreas
dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β pankreas tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiesi
relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain(5).
Gejala pada DM tipe ini secara perlahan-lahan bahkan
asimptomatik. Dengan pola hidup sehat, yaitu mengonsumsi makanan
bergizi seimbang dan olah raga secara teratur biasanya penderita
brangsur pulih. Penderita juga harus mampu mepertahannkan berat badan
yang normal. Namun pada penerita stadium akhir kemungkinan akan
diberikan suntik insulin.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah akibat faktor genetik fungsi
sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit
autoimun dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan penyakit DM.
Diabetes tipe ini dapat dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam
pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).(6)
d. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki
risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka
waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

E. Faktor Resiko Diabetes Melitus


a. Usia
Terjadinya DM tipe 2 bertambah dengan pertambahan usia (jumlah
sel β yang produktif berkurang seiring pertambahan usia).
b. Berat Badan
Berat badan lebih BMI >25 atau kelebihan berat badan 20%
meningkatkan dua kali risiko terkena DM. Prevalensi Obesitas dan
diabetes berkolerasi positif, terutama obesitas sentral Obesitas
menjadi salah satu faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit DM.
Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (retensi
insulin). Semakin banyak jaringan lemak dalam tubuh semakin
resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul
di daerah sentral atau perut.(7)
c. Riwayat Keluarga
Orang tua atau saudara kandung mengidap DM. Sekitar 40%
diaebetes terlahir dari keluarga yang juga mengidap DM, dan + 60%-
90% kembar identic merupakan penyandang DM.
d. Gaya Hidup
Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditujukkan dalam
aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji (junk food), kurangnya
berolahraga dan minum-minuman yang bersoda merupakan faktor
pemicu terjadinya diabetes melitus tipe 2. Penderita DM diakibatkan
oleh pola makan yang tidak sehat dikarenakan pasien kurang
pengetahuan tentang bagaimanan pola makan yang baik dimana
mereka mengkonsumsi makanan yang mempunyai karbohidrat dan
sumber glukosa secara berlebihan, kemudian kadar glukosa darah
menjadi naik sehingga perlu pengaturan diet yang baik bagi pasien
dalam mengkonsumsi makanan yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-harinya.
e. Riwayat Diabetes pada kehamilan (Gestational)
Seorang ibu yang hamil akan menambah konsumsi
makanannya, sehingga berat badannya mengalami peningkatan 7-10
kg, saat makanan ibu ditambah konsumsinya tetapi produksi insulin
kurang mencukupi maka akan terjadi DM(8). Memiliki riwayat
diabetes gestational pada ibu yang sedang hamil dapat meningkatkan
resiko DM, diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari
4,5 kg dapat meningkatkan resiko DM tipe II(9).

F. Diagnosis Diabetes Melitus (DM)


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa darah secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.
Penggunaan darah vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler(10).
Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa:
lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena
dengan sistem enzimatik dengan hasil (11)
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200
mg/dl
7. HbA1c ≥ 6.5% Meskipun TTGO dengan beban glukosa 75 g lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan pemeriksaan glukosa darah puasa, TTGO
memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit dilakukan berulang-ulang. Apabila hasil pemeriksaan
TTGO tidak memenuhi kriteria DMT2, dapat digolongkan ke dalam
kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu/ impaired glucose tolerance)
atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu/ impaired fasting glucose).
Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa darah 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dL. Diagnosis
GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa darah puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dL(12).

G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan pemeriksaan
glukosa darah dan pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan untuk
membedakan DM tipe II dan DM tipe I dengan pemeriksaan C-
peptide(13).
1. Pemeriksaan glukosa darah
a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu Pemeriksaan gula darah vena sewaktu
pada pasien DM tipe II dilakukan pada pasien DM tipe II dengan gejala
klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu
diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan
pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM
tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasma vena)
maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak
perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa.
b) Glukosa Plasma Vena Puasa Pada pemeriksaan glukosa plasma vena
puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam sebelum tes dengan menghentikan
semua obat yang digunakan, bila ada obat yang harus diberikan perlu
ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai
berikut : kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal,
≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110- 126 mg/dl
disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Pemeriksaan gula darah
puasa lebih efektif dibandingkan dengan pemeriksaan tes toleransi
glukosa oral.
c) Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP) Tes dilakukan bila ada
kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang mengandung 100gr
karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan merokok serta berolahraga.
Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa darah ≥
200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤ 140.
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140
mg/dl tetapi < 200 mg/dl.28 d) Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dilakukan apabila pada pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah
berkisar 140-200 mg/dl untuk memastikan diabetes atau tidak. Sesuai
kesepakatan WHO tahun 2006,tatacara tes TTGO dengan cara melarutkan
75gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg pada anak-anak kemudian
dilarutkan dalam air 250-300 ml dan dihabiskan dalam waktu 5
menit.TTGO dilakukan minimal pasien telah berpuasa selama minimal 8
jam. Penilaian adalah sebagai berikut;
1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl;
2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl
tetapi < 200 mg/dl; dan
3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus.

2. Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang
tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai
dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa
dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah
selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan
saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang.
Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama
untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang berubah
mendadak(14).
Tabel 2.1 Kategori HbA1c(15)
HbA1c 30 HbA1c < 6.5 % Kontrol glikemik baik
HbA1c 6.5 -8 % Kontrol glikemik sedang
HbA1c > 8 % Kontrol glikemik buruk

H. Diagnosis Banding
1. Diabetes Melitus Tipe I
2. Diabetes Melitus Tipe II
3. Diabetes Melitus Gestasional

I. Diagnosis Kerja
Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak normal,
suatu resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan ditandai
dengan adanya peningkatan komplikasi perkembangan makrovaskuler. Secara
umum, ketiga elemen diatas telah digunakan untuk mencoba menemukan
diagnosis atau penyembuhan diabetes.
Diabetes yang timbul akibat kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Sedang diabetes karena insulin
tidak berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2 atau Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM).

J. Penatalaksanaan Terapi Nutrisi Medis (TNM)


TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien
dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan
sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM.
a. Diet DM
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang
menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri. Komposisi Makanan yang dianjurkan terdiri
dari(16):
1) Karbohidrat
a) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
b) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
c) Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang
lain.
d) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
e) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa,
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted
Daily Intake/ADI).
f) Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
2) Lemak
a) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan elebihi 30% total asupan energi.
b) Komposisi yang dianjurkan, lemak jenuh <7% kebutuhan kalori,
lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
c) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream, Konsumsi kolesterol dianjurkan,
200 g/hari.
3) Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacangkacangan, tahu dan tempe. Pada pasien dengan efropati
diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari ebutuhan energi, dengan 65% diantaranya
bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah
menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB
perhari.
4) Natrium
a) Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu <2300 mg perhari(B). Penyandang DM yang
juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium
secara individual.
b) Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5) Serat
a) Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat.
b) Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan.
6) Pemanis alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif
dikelompokkan menjadi pemanis berkalori yang
perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari
kebutuhan kalori, seperti glukosaalkohol dan fruktosa. Glukosa
alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol. Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, neotame(17)

b. Diet 3J (Jumlah, Jenis dan Jadwal)


1) Tepat Jumlah Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal yaitu berat badan sesuai tinggi
badan. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.
Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal
adalah sebagai berikut:
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca
yang dimodifikasi (Parkeni 2015):

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di


bawah 150 cm, rumus imodifikasi menjadi: Berat badan ideal

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh


(IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
Tabel 1.Kategori IMT
Kategori Nilai IMT (kg/m2)
Underweight <18.5
Normal 18.5-22.9
Overweight (berisiko) 23.0-24.9
Obesitas 1 25.0 - 29.9
Obesitas 2 > 30
Sumber : WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific
Jumlah kalori untuk IMT normal 1700-2100 kkal
dan gemuk 1300-1500 kkal dengan komposisi sebagai berikut,
45-65% berasal dari karbohidrat, pembatasan karbohidrat total
<130 g/hari tidak dianjurkan, sukrosa <5% dari total energi dan
serat dianjurkan sekitar 25 gram/1000 kkal/hari, protein 10-20%,
lemak 20-25%, dengan asam lemak jenuh <7% dan kandungan
kolesterol <300 mg/hari(18)
a) Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
(1) Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan
sebesar 25 kal/kg BB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kg
BB.
(2) Umur
Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi
5% untuk setiap dekade antara 40 dan 59 tahun. Pasien usia
diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%. Pasien usia diatas
70 tahun dikurangi 20%
(3) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan
intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari
kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat.
Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas
ringan ( pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga).
Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang (pegawai
industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak
perang).Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat
(petani, buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan).
Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat
(tukang becak, tukang gali, pandai besi)
(4) Stres Metabolik
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress
metabolik (sepsis, operasi, trauma).
(5) Berat Badan
Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori
dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori
ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB. Jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000-1200kkal perhari untuk wanita dan
1200600kkal perhari untuk pria. Secara umum, makanan
siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan komposisi
tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan
pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) diantaranya. Tetapi pada
kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis
makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk
penyandang DM yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyerta.
b. Latihan Jasmani
Menurut Suryono untuk penderita DM dianjurkan melakukan
latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama + 30 menit,
yang sesuai prinsip CRIPE (continuous, rhythmical, interval,
progressive, endurance training).
c. Edukasi
Edukasi diabetes merupakan pendidikan dan pelatihan
mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang
bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan
pemahaman pasien akan penyakitnya, yang bermanfaat untuk
mencapai keadaan sehat optimal dan penyesuaian keadaan psikologik
serta kualitas hidup yang lebih baik(19)
Tujuan utama edukasi gizi adalah menanamkan pengertian
kepada seseorang sehingga pengertian terwujud dalam sikap serta
perbuatan dan kemudian menjadi kebiasaan yang baik dalam
mengelola dan mengontrol kesehatannya, khususnya dalam hal
gizi(20) Salah satu cara dalam penyampaian edukasi gizi adalah
dengan melakukan konseling gizi.
d. Farmakologi
Sarana pengelola farmakologis diabetes dapat berupa:
1) Obat Hipoglikemik Oral
a) Pemicu sekresi insulin :
(1) Sulfonilurea merupakan golongan obat yang memiliki
mekanisme kerja untuk menstimulasi sel beta pancreas untuk
untuk melepaskan insulin, menurunkan ambang sekresi
insulin dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat
rangsangan glukosa.
(2) Glinid merupakan obat yang mekanisme kerjanya sama
dengan sulfonilurea dengan mensekresi insulin fase pertama.
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin:
(1) Biguanid, golongan obat ini yang masih dipakai adalah
metformin yang berfungsi untuk menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
seluler, distal dari reseptor insulin dan efeknya pada
penurunan produksi glukosa hati.
(2) Tiazolidindion merupakan golongan obat yang bekerja untuk
meningkatkan sensitivitas insulin.
c) Penghambat glukosidase alfa, obat ini memiliki mekanisme keja
sebagai penghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia postpandrial.
d) Incretin mimetic, penghambat DPP-4.
2) Insulin
Sebanyak 20%-25% pasien DM tipe akan memerlukan insulin untuk
mengendalikan kadar gula darahnya. Terutama bagi pasien yang sudah tidak
dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi sulfonylurea
dan metformin, langkah selanjutnya yang diberikan adalah insulin.

K. Komplikasi
Menurut Lemone, Burke & Bauldoff tahun 2015, komplikasi pada
diabetes mellitus terbagi dalam komplikasi akut dan komplikasi
kronik(21).
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut terdiri dari hiperglikemia, diabetik ketoasidosis
(DKA), dan hiperglikemik hiperosmolar (HHS).
a. Hiperglikemia
Menurut International Society for Pediatrics and Adolescent
Diabetes (2007), hiperglikemia adalah suatu keadaan kadar gula darah
sewaktu ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) ditambah dengan gejala diabetes
atau kadar gula darah puasa (tidak mendapatkan masukan kalori
setidaknya dalam 8 jam sebelumnya) ≥7,0 mmol/L (126 mg/dL).
b. Diabetik Ketoasidosis
(DKA)
Diabetik Ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi
kekacauan metabolik yang ditandai dengan oleh trias DKA yaitu
hiperglikemia, asidosis dan ketosis yang merupakan salah satu
komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan
mengancam nyawa. Keberhasilan penatalaksanaan DKA
membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan
elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid dan yang terpenting
adalah pemantauan kondisi pasien terus menerus
c. Hiperglikemik Hiperosmolar (HHS)
HHS ditandai dengan osmolaritas plasma 340 mOsm/L atau lebih
(kisaran normal adalah 280-300 msOsm/L), naiknya kadar glukosa
darah dengan cepat (lebih dari 600 mg/dl dan sering kali 1000-
2000 mf/dl), dan perubahan tingkat kesadaran yang berat. Faktor
pemicu HHS yang paling umum adalah infeksi. Manifestasi gangguan
ini dapat muncul dari 24 jam hingga 2 minggu. Manifestasi dimulai
dengan hiperglikemia yang menyebabkan haluaran urine sehingga
menyebabkan plasma berkurang dan laju GFR menurun. Akibatnya
glukosa ditahan dan air menjadi hilang, glukosa dan natrium akan
menumpuk di darah dan meningkatkan osmolaritas serum yang
akhirnya menyebabkan dehidrasi berat, yang mengurangi air
intraseluler di semua jaringan termasuk otak
2. Komplikasi Kronik
Komplikasi vaskular jangka panjang ini meliputi mikroangiopati
(pembuluh darah kecil), dan makroangiopati (pembuluh darah sedang
dan besar). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang
menyerang glomerulus ginjal (nefropati diabetik), kapiler dan arteriola
retina (retinopati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik),
kulit serta otot-otot
Dalam keadaan hiperglikemia, yang terjadi adalah penebalan dari
lapisan membran dasar pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena
glukosa sebagai salah satu komponennya dapat masuk pada sel-sel
membran dasar tanpa insulin. Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya
mikroaneurisma pada arteriola retina yang bisa berakhir dengsn
neovaskularisasi, perdarahan, bahkan jaringan parut. Selain itu,
hiperglikemia juga dapat meningkatkan sorbitol melalui jalur poliol.
Sehingga dapat menimbulkan katarak pada lensa mata. Jika terjadi
penimbunan sorbitol dalam jaringan saraf, maka kegiatan metabolik selsel
schwan akan terganggu dan menyebabkan neuropati
Makroangiopati diabetikum yang umum terjadi adalah
aterosklerosis. Gangguannya berupa (1) penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah.
Akhirnya yang terjadi adalah penyumbatan aliran darah (Price, 2005). Jika
mengenai arteri-arteri perifer maka dapat menyebabkan insufisiensi
vaskular perifer yang ditandai dengan klaudikasio intermiten dan gangren
pada ekstremitas. Jika mengenai otak, maka dapat terjadi insufisiensi
serebral dan stroke. Jika mengenai arteri koronaria, maka dapat terjadi
angina dan infark miokardium

L. Prognosis
Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh
pasien dalam mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik
ketat (HbA1c < 7%), tanpa disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan
juga tidak ada gangguan mikrovaskuler serta makrovaskuler akan
mempunyai harapan hidup lebih lama. Namun jika pasien memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama (≥ 15 tahun)
akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun telah melakukan
kontrol glikemik ketat sekalipun(22).
DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena dapat
berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal, gangguan
pembuluh darah perifer, gangguan saraf (neuropati), dan retinopati.
Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara efektif untuk pencegahan
DM.

M. Edukasi dan Pencegahan


Edukasi diabetes merupakan pendidikan dan pelatihan mengenai
pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan
menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien
akan penyakitnya, yang bermanfaat untuk mencapai keadaan sehat optimal
dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih
baik(23)
Tujuan utama edukasi gizi adalah menanamkan pengertian kepada
seseorang sehingga pengertian terwujud dalam sikap serta perbuatan dan
kemudian menjadi kebiasaan yang baik dalam mengelola dan mengontrol
kesehatannya, khususnya dalam hal gizi. Salah satu cara dalam
penyampaian edukasi gizi adalah dengan melakukan konseling gizi.
Upaya pencegahan dan pengelolaan diabetes melitus. Perilaku hidup
sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran(24)
a) Mengikuti pola makan sehat.
b) Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
c) Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.
d) Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:
a) Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan.
b) Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang
sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti.
c) Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan
simulasi.
d) Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan
keinginan pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap
tentang program pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan
hasil pemeriksaan laboratorium.
e) Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan
f) pengobatan dapat diterima.
g) Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.
h) Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.
i) Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan
pasien dan keluarganya.
j) Gunakan alat bantu audio visual.

2.2. Hipoglikemia
A. Epidemiologi

Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus.


Sekitar 90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode
hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia sangat bervariasi, namun pada umumnya
penderita diabetes mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode hipoglikemia
simtomatik per minggu dan per tahun. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas
akibat diabetes melitus dikaitkan dengan hipoglikemia (Shafiee, 2012).

Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes


mellitus tipe 2 dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa pada
pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 risiko hipoglikemia berat rendah dalam
beberapa tahun pertama (7%) dan meningkat menjadi 25% dalam perjalanan
diabetes. Namun prevalensi diabetes mellitus tipe 2 adalah sekitar dua puluh
kali lipat lebih tinggi dari diabetes mellitus tipe 1 dan banyak pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2 akhirnya memerlukan pengobatan insulin, sehingga
sebagian besar episode hipoglikemia terjadi pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe 2 (Shafiee, 2012).

Studi yang dilakukan terhadap penduduk yang tinggal di daerah


pedesaan Jawa Timur dan Bali menunjukkan tingkat prevalensi hipoglikemia
sebesar 1,5% pada tahun 1982 dan meningkat menjadi 5,7% pada tahun 1995.
Saat ini Indonesia memiliki estimasi prevalensi hipoglikemia sebesar 1,2-2,3%
(Sutanegara, 2000).

B. Etiologi

Hipoglikemia biasanya dibagi menjadi hipoglikemia pasa-makan


(reaktif), hipoglikemia puasa, dan hipoglikemia pada pasien rawat inap.
Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme
pencernaan, intoleransi fruktosa herediter, galaktosemia, sensitivitas leusin,
dan idiopatik. Pada hipoglikemia puasa penyebab utamanya adalah kurangnya
produksi glukosa atau karena penggunaan glukosa yang berlebihan, sedangkan
pada hipoglikemia pasien rawat inap paling lazim disebabkan oleh
penggunaan obat (Longo, 2011).

Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme


pencernaan. Pasien yang menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi,
piloroplasti atau vagotomi dapat mengalami hipoglikemia pasca-makan. Hal
ini disebabkan karena pengosongan lambung yang cepat dengan penyerapan
singkat glukosa turun lebih cepat dibanding insulin. Ketidakseimbangan
insulin-glukosa yang terjadi menyebabkan hipoglikemia. Intoleransi fruktosa
herediter yang dipicu pemasukan fruktosa dan galaktosa juga dapat
menyebabkan hipoglikemia pada anak-anak. Hipoglikemia pasca-makan
karena sebab idiopatik dapat dibagi menjadi hipoglikemia sejati dan
pseudohipoglikemia. Pada hipoglikemia sejati, gejala adrenergik muncul
sesudah makan dan disertai dengan glukosa plasma rendah pada saat gejala
muncul spontan dalam kehidupan sehari-hari. Gejala tersebut berkurang
dengan pemasukan karbohidrat yang meningkatkan glukosa plasma.
Pseudohipoglikemia adalah keadaan yang mengarah ke hipoglikemia 2 sampai
5 jam setelah makan, tetapi tidak memiliki konsentrasi glukosa plasma rendah
ketika muncul gejala secara spontan dalam kehidupan sehari-hari (Longo,
2011).

Hipoglikemia puasa dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau


penggunaan glukosa, defek enzim, defisiensi substrat, penyakit hati
kongenital, ataupun obat-obatan. Defisiensi hormon penyebab hipoglikemia
puasa karena kurangnya glukosa dapat terjadi pada hipohipofisisme,
insufisiensi adrenal, defisiensi katekolamin, dan defisiensi glukagon. Adapun
defek enzim yang menyebabkan hipoglikemia puasa karena kurangnya
glukosa adalah defek enzim Glucose-6-fosfatase, fosforilase hati, piruvat
karboksilase, fosfoenolpiruvat karboksikinase, fructose-1,6-difosfatase, dan
glikogen sintetase. Defisiensi substrat penyebab hipoglikemia puasa adalah
kurangnya produksi glukosa yang terjadi pada kasus hipoglikemia ketotik
pada bayi, malnutrisi berat, penyusutan otot, dan kehamilan lanjut. Penyakit
hati kongenital yang menyebabkan hipoglikemia puasa karena kurangnya
produksi glukosa dapat berupa kongesti hati, hepatitis berat, sirosis, uremia,
dan hipotermia. Penggunaan obat seperti alkohol, propranolol, dan salisilat
juga dapat menyebabkan hipoglikemia puasa akibat produksi glukosa yang
berkurang. Pada hipoglikemia puasa akibat penggunaan glukosa berlebihan
dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme atau pada kadar insulin memadai
tetapi terdapat kelainan lain di luar pankreas. Hiperinsulinisme disebabkan
karena adanya insulinoma, insulin eksogen, sulfonilurea, penyakit imun
dengan insulin atau antibodi reseptor insulin, dan mengkonsumsi obat-obatan
seperti kuinin pada malaria falciparum, disopiramid, dan pentamidin serta
dapat disebabkan oleh syok endotoksik. Pada kasus kadar insulin memadai
tetapi terjadi hipoglikemia adalah akibat pemakaian glukosa berlebih, dapat
disebabkan oleh tumor ekstrapankreas, defisiensi karnitin sistemik, defisiensi
enzim oksidasi lemak, defisiensi 3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA liase, dan
kakeksia dengan penipisan lemak (Longo, 2011).

Pasien rawat inap yang mengalami hipoglikemia paling lazim


disebabkan oleh pengunaan obat-obatan yang diberikan. Tiga obat yang paling
sering menyebabkan hipoglikemia pada pasien rawat inap adalah insulin,
sulfonylurea, dan alkohol. Diperkirakan 60% kasus ketiga obat ini terlibat
dalam diagnosis hipoglikemia (Longo, 2011).

C. Patogenesis

Pasca Obat-obatan Puasa


Makan

Hiperinsulin Turunnya produksi


mia Contohnya insulin,
alkohol, dan glukosa dan
sulfonylurea penggunaan
glukosa yang
Pengososngan berlebih
lambung yang
cepat

Produksi glukosa
Pengeluaran insulin yang
dengan kebutuhan
penyerapan glukosa yang
kurang

Tidak seimbang Hipoglikemia


insulin dan glukosa

Bagan 1. Patogenensis Hipoglikemia (Isselbacher, 2000 ; Longo, 2011).

D. Patofisiologi

Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh


berlebihan. Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang
terjadi setelah melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia
juga dapat disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan
tertundanya pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi
karena malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas.
Setelah hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya
nafsu makan dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan
takikardi, berkeringat, dan tremor (Silbernagl dan Lang, 2010).

Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme


homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi
untuk menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang
ada di dalam darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan
dapat meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi,
glukagon tidak memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam
sel (Carrol, 2007).

Gambar 1. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer,


2011).

Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan


meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi
dari sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh
melakukan pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan
asupan karbohidrat secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan
menimbukan gejala neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik,
kolinergik, dan berkeringat. Ketika hipoglikemia menjadi semakin parah maka
mungkin juga dapat terjadi kebingungan, kejang, dan hilang kesadaran (Cryer,
2011).

Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak


dapat di tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang
yang terkena hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa
kebingungan. Walaupun penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi
penderita akan terlihat lethargik (kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan
karena glukagon tidak dapat mengompensasi adanya insulin yang berlebihan.
Sehingga terkadang ketika seseorang mengalami hipoglikemia berat
dibutuhkan penyuntikkan glukagon. Penyuntikkan glukagon ini dapat diberikan
dengan orang terdekat yang dilatih atau tenaga medis terlatih (Nelms et al,
2007).

E. Penegakkan Diagnosis

Menurut Departement on Health and Human Service, secara harfiah


hipoglikemia berarti kadar glukosa dalam darah menurun dari kadar normal.
Walaupun kadar glukosa plasma pada puasa jarang melampaui 99mg/dl (5,5
mmol/L) tetapi kadar <108mg/dl (6 mmol/L) masih dianggap normal. Kadar
glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa
darah keseluruhan karena eritrosit mengandung kadar glukosa yang relatif
rendah. Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena
sedangkan kadar glukosa kapiler berada diantara kadar glukosa arteri dan vena
(Soemandji, 2009).

Diagnosis hipoglikemia dapat ditegakan bila kadar glukosa <50mg/dl


(2,8 mmol/L) atau bahkan <40mg/dl (2,2 mmol/L). Walaupun demikian
berbagai studi fisiologis menunjukan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat
terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui
bahwa kadar glukosa darah 55mg/dl (3 mmol/L) yang terjadi berulang kali
dapat merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih
berat (Soemandji, 2009).

Respon regulasi non pankreas terhadap hipoglikemia dimulai pada


kadar glukosa darah 63-65mg/dl (3,5-3,6mmol/L). Oleh sebab itu, dalam
konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa
plasma kurang dari sama dengan 63 mg/dl (3,5 mmol/L) (Soemandji, 2009).

F. Terapi

1. Non Medika Mentosa


Tanda dan gejala hipoglikemia bervariasi dari satu orang dengan
orang lain. Orang dengan hipoglikemia pada diabetes mellitus harus
mengenal tanda-tanda dan gejala serta menggambarkannya kepada teman-
teman dan keluarga sehingga mereka dapat membantu jika diperlukan.
Staf di sekolah juga harus diberitahu bagaimana mengenali tanda dan
gejala hipoglikemia pada anak dan bagaimana cara mengobatinya. Orang
yang mengalami hipoglikemia beberapa kali dalam seminggu harus
menghubungi pusat pelayanan kesehatan untuk mengatur perubahan dalam
rencana pengobatan, pengurangan obat atau pemberian obat yang berbeda,
jadwal baru untuk insulin atau obat-obatan, makan yang berbeda, atau
rencana kegiatan fisik yang baru apabila diperlukan (Fonseca, 2008).

Ketika orang berpikir glukosa darah mereka terlalu rendah,


mereka harus memeriksa kadar glukosa darah pada sampel darah
menggunakan alat ukur. Jika kadar glukosa di bawah 70 mg/dl, makanan
yang tepat yang harus dikonsumsi untuk menaikkan glukosa darah adalah:

a. Glukosa gel 1 porsi yang jumlah sama dengan 15 gram


karbohidrat.

b. 1/2 gelas atau 4 ons jus buah.

c. 1/2 gelas atau 4 ons minuman ringan biasa.

d. 1 cangkir atau 8 ons susu.

e. 5 atau 6 buah permen.

f. 1 sendok makan gula atau madu.


Langkah berikutnya adalah memeriksa kembali glukosa darah
dalam 15 menit untuk memastikan kadar glukosa telah meningkat menjadi
70 mg/dl atau lebih . Jika masih terlalu rendah, diberikan makanan serupa.
Langkah-langkah ini harus diulang sampai kadar glukosa darah adalah 70
mg/dl atau lebih (Fonseca, 2008).

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006)


pedoman tatalaksana hipoglikemiaa adalah sebagai berikut:

a. Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl.

b. Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (Intravena) bisa


diberikan satu flakon (25 cc) dextrosa 40% (10 gr dextrosa) untuk
meningkatkan kadar glukosa kurang lebih 25-50 mg/dL.

Manajemen hipoglikemia menurut Soemadji (2009) tergantung


pada derajat hipoglikemia, yaitu :

a. Hipoglikemia ringan

1. Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir
permen atau 2-3 sendok teh sirup atau madu.

2. Bila tidak membaik dalam 15 menit, ulangi pemberian.

3. Tidak dianjurkan untuk memberikan makanan tinggi kalori


seperti coklat, kue, ice cream, cake dan lain-lain.

b. Hipoglikemia berat

1. Tergantung pada tingkat kesadaran pasien.

2. Bila pasien dalam keadaan tidak sadar, jangan memberi makanan


atau minuman karena bisa berpotensi terjadi aspirasi.

2. Medika Mentosa

Adapun terapi medika mentosa hipoglikemia yang dapat diberikan adalah:

a. Glukosa Oral.
b. Glukosa Intravena.

c. Glukagon (SC/IM).

d. Thiamine 100 mg (SC/IM) pada pasien alkoholisme.

e. Monitoring

Kadar Glukosa (mg/dL) Terapi Hipoglikemia


< 30 mg/dl Injeksi IV dextrose 40 % (25 cc) bolus
3 flakon
30-60 mg/dl Injeksi IV dextrose 40 % (25 cc) bolus
2 flakon
60-100 mg/dl Injeksi IV dextrose 40 % (25 cc) bolus
1 flakon
Follow up :
1. Periksa kadar gula darah 30 menit setelah injeksi.
2.  Setelah 30 menit pemberian bolus 3 atau 2 atau 1 flakon dapat
diberikan 1 flakon lagi sampai 2-3 kali untuk mencapai kadar
glukosa darah 120 mg/dl.

Untuk tatalaksana pada hipoglikemia, ada beberapa cara yang dapat dilakukan.

1. Jika pasien sadar, lakukan pemberian gula murni sebanyak 30 gram (dua
sendok makan) atau sirup/permen atau gula murni. Pastikan yang diberikan bukan
pengganti gula, atau gula diabetes, atau makanan yang mengandung karbohidrat.
2. Hentikan pemberian obat diabetes atau yang menyebabkan hipoglikemia, dan
periksa gula darah tiap 1-2 jam

3. Pertahankan glukosa darah tetap 200 mg/dl, dan cari penyebab hipoglikemia

Jika pasien datang dengan tidak sadar, berikan :

1. Berikan larutan dekstrose 40% sebanyak 50 ml berikan bolus IV


2. Berikan cairan dekstrose 10% per 6 jam/kolf
3. Periksa gula darah sewaktu tiap satu jam setelah bolus dekstrosa 40%, Bila
gula darah < 50 mg/dl berikan 50 ml dekstrosa 40%, jika < 100 mg/dl berikan
dekstrosa 40% sebanyak 25 ml

4. Jika gula darah sudah di atas 100 mg/dl sebanyak 3 kali pemeriksaan, ganti
cairan dekstrosa dengan natrium klorida, dan protocol hipoglikemia dapat
dihentikan.

 Penatalaksanaan Hipoglikemi ringan-sedang

Minum larutan gula murni 20-30 gr

• Minum gula gula

• Obat obat diabetes di berhentikan

• Pantau kadar GD setiap 1 -2 jam

• Pertahankan GD berkisar 200 mg/dl • Cari penyebab

 Penatalaksanaan Hipoglikemia Berat

Dekstrose IV : hipoglikemia berat + penurunan kesadaran

• Bolus 20-50 cc D40%

• Infus D 5-10% : Pertahankan GD 100-200 mg/dl

• Glucagon 1 mg IM : bila akses IV sulit dilakukan

1. D 40 % IV 50 cc atau glukagon 0.5-1mgIV/IM

2. Infus D10% 500 cc dalam 6 jam

3. Periksa GD 15 menit setelah pemberian IV


4. Bila GD belum mencapai target : ulangi pemberian D40%

5. Monitoring GD setiap 1/2 jam

6. Bila GD sudah tercapai tetapi belum sadar :

• Hidrokortison 100 mg setiap 4 jam selama 12 jam

• Dexametasone 10 mg/kgBB dilanjutkan 1,5 - 2 gr/kgBB setiap 6-8 jam

• Evaluasi penyebab hipoglikemi

G. Pencegahan Hipoglikemia

Rencana perawatan diabetes dirancang untuk sesuai dengan dosis


dan waktu pengobatan dengan waktu makan dan kegiatan seseorang yang
seperti biasa. Inkompatibilitas dapat menyebabkan hipoglikemia. Misalnya,
meningkatkan dosis insulin atau obat lain yang, tapi kemudian melewatkan
penggunaan insulin dapat menyebabkan hipoglikemia (Fonseca, 2008). Untuk
membantu mencegah hipoglikemia, orang dengan diabetes harus selalu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. Obat-obatan untuk diabetes

Penyedia layanan kesehatan dapat menjelaskan obat-obat


yang digunakan untuk terapi diabetes yang dapat menyebabkan
hipoglikemia dan menjelaskan bagaimana dan kapan harus
mengkonsumsi obat tersebut (Fonseca, 2008).

Orang-orang yang mengkonsumsi obat untuk diabetes harus


bertanya kepada dokter atau tenaga kesehatan profesional kesehatan
mengenai
1. Apakah obat yang dikonsumsi dapat menyebabkan
hipoglikemia.

2. Kapan mereka harus mengkonsumsi obat diabetes terebut.

3. Berapa jumlah obat yang harus mereka konsumsi.

4. Mereka harus tetap mengkonsumsi obat ketika mereka sakit.

5. Mereka harus menyesuaikan obat sebelum melakukan


aktivitas.Fisik

6. Mereka harus menyesuaikan obat jika melewatkan waktu


makan (Fonseca, 2008).

b. Pola makan

Seorang ahli diet dapat membantu merancang rancangan


menu makan yang sesuai preferensi pribadi dan gaya hidup. Rencana
makan ini penting bagi pengelolaan hipoglikemi. Orang-orang
hipoglikemi harus makan secara teratur, cukup makanan setiap kali
makan, dan mencoba untuk tidak melewatkan waktu makan atau
makanan ringan. Beberapa makanan ringan dapat lebih efektif daripada
makanan lain dalam mencegah hipoglikemia pada malam hari. Ahli
diet dapat membuat rekomendasi untuk makanan ringan (Fonseca,
2008).

c. Aktivitas sehari-hari

Untuk membantu mencegah hipoglikemia yang disebabkan


oleh aktivitas fisik, penyedia layanan kesehatan mungkin
menyarankan:

1. Memeriksa glukosa darah sebelum olahraga atau aktivitas fisik


lainnya dan konsumsi camilan jika kadar gula darah di bawah 100
miligram perdesiliter (mg/dL).
2. Menyesuaikan obat sebelum aktivitas fisik.

3. Pemeriksaan glukosa darah secara teratur dengan interval selama


waktu beraktivitas fisik dan konsumsi makanan ringan sesuai
kebutuhan.

4. Memeriksa glukosa darah secara berkala setelah aktivitas


fisik(Fonseca, 2008).

d. Konsumsi alkohol

Minum-minuman beralkohol, terutama pada saat perut


kosong, dapat menyebabkan hipoglikemia, bahkan satu atau dua hari
kemudian. Alkohol dapat sangat berbahaya bagi orang yang memakai
insulin atau obat yang meningkatkan produksi insulin (Fonseca, 2008).

e. Rencana pengelolaan diabetes

Manajemen diabetes intensif untuk menjaga glukosa darah


agar mendekati kisaran normal dapat mencegah komplikasi jangka
panjang yang bisa meningkatkan risiko hipoglikemia. Mereka yang
berencana melakukan kontrol ketat harus berbicara dengan penyedia
layanan kesehatan mengenai cara-cara yanga dapat dilakukan untuk
mencegah hipoglikemia dan cara terbaik untuk mengobatinya
(Fonseca, 2008).

H. Prognosis

Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah,


dan waktu onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki
prognosis baik (dubia et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa
segera diberikan oral glucose (dubia et malam) (Hamdy, 2013).

Hipoglikemia pada bukan penderita diabetes tidak memiliki prognosis


yang relevan dapat bersifat baik maupun buruk untuk jangka panjang
(Manucci et al., 2006). Apabila pasien dianjurkan pengambilan pankreas maka
memiliki prognosis tergantung skill medis dan kondisi indivual (Anonymous,
2013).

2.3 Hipertensi
A. Definisi Hipertensi
Berdasarkan JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi bila
tekanan sistolik nya melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya
melebihi 90 mmHg berdasarkan rerata dua atau tiga kali kunjungan
yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali kunjungan(1)

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah(2)


JNC VII ESC/ISH (2007)
Klasifikasi
Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik
Normal < 120 < 80 Optimal < 120 < 80
Pre- 130-139 80-89 Normal 120-129 80-84
Hipertensi
Tahap 1 140-159 90-99 Normal 130-139 85-89
Tinggi
Tahap 2 >160 >100 Tingkat 1 140-159 90-99
Tingkat 2 160-179 100-109
Tingkat 3 > 180 > 110
Hipertensi > 140 < 90

Sistolik

B. Epidemiologi Hipertensi
Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan sekitar
1,13 Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia
terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap
tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar orang yang terkena
hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal akibat
hipertensi dan komplikasinya.
Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi hipertensi berdasarkan hasil
pengukuran pada penduduk usia 18 tahun sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan
Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%). Hipertensi terjadi
pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-
64 tahun (55,2%).

B. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan
menjadi hipertensi primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana
pada hipertensi jenis ini tidak diketahui penyebabnya. Selain itu
terdapat pula hipertensi sekunder akibat adanya suatu penyakit atau
kelainan yang mendasari, seperti stenosis arteri renalis, penyakit
parenkim ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronism, dan
sebagainya(3)

C. Faktor Resiko Hipertensi


Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik,
umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat
dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi(4)
a. Usia
Usia mempengaruhi faktor resiko terkena Hipertensi dengan
kejadian paling tinggi pada usia 30 – 40 th. Kejadian 2X lebih
besar pada orang kulit hitam, dengan 3X lebih besar pada laki-
laki kulit hitam, dan 5X lebih besar untuk wanita kulit hitam.
b. Jenis kelamin
Komplikasi hipertensi meningkat pada seseorang dengan
jenis kelamin laki-laki.
c. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dengan hipertensi memberikan resiko
terkena hipertensi sebanyak 75%.
d. Obesitas
Meningkatnya berat badan pada masa anak-anak atau usia
pertengahan resiko hipertensi meningkat.
e. Serum lipid
Meningkatnya triglycerida atau kolesterol meninggi
resiko dari hipertensi.
f. Diet
Meningkatnya resiko dengan diet sodium tinggi, resiko
meninggi pada masyarakat industri dengan tinggi lemak, diet
tinggi kalori.
g. Merokok
Resiko terkena hipertensi dihubungkan dengan jumlah rokok
dan lamanya merokok.
Terdapat penambahan kriteria, sebagai berikut :
a. Keturunan atau Gen
Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang
tuanya kepada anaknya.
b. Stres Pekerjaan
Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami
stress berhubungan dengan pekerjaan mereka. Stres dapat
meningkatkan tekanan darah dalam waktu yang pendek, tetapi
kemungkinan bukan penyebab meningkatnya tekanan darah dalam
waktu yang panjang
c. Asupan Garam
Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan
darah. Terdapat bukti bahwa mereka yang memiliki
kecenderungan menderita hipertensi secara keturunan memiliki
kemampuan yang lebih rendah untuk mengeluarkan garam dari
tubuhnya
d. Aktivitas Fisik (Olahraga)
Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan
hipertensi karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan
tekanan darah.

D. Patogenesis Hipertensi
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial
yang timbul akibat berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu.
Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan(5)
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak.
Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak
ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana
dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah kapiler(6)
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf
simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor
pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran
darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi. Perubahan
struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta
dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi
volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer(7)
Gambar 2.1 Patogenesis Hipertensi

Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung


dan tekanan perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung
dan tekanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah seperti
asupan garam yang tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor
endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya
tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi
tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem
yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut
yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang.
Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian
dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya reflek
kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon
iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis
otot polos. Dari sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat
diikuti oleh sistem pengendalian yang bereaksi kurang cepat,
misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga
intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin.
Kemudian dilanjutkan sistem yang poten dan berlangsung dalam
jangka panjang misalnya kestabilan tekanan darah dalam jangka
panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan
tubuh yang melibatkan berbagai organ. Peningkatan tekanan darah
pada hipertensi primer dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik yang
menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas
saraf simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan
hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal
serta obesitas dan faktor endotel. Akibat yang ditimbulkan dari
penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang membawa
darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan
otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya
pembuluh darah otak dan akan mengakibatkan kematian pada
bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke.
Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada
ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat mengakibatkan
kebutaan, sakit kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas
setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah,
penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang
air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus) dan
dunia terasa berputar(8)

E. Manifestasi Klinis Hipertensi


Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat
terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial. Penglihatan kabur akibat
kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langkah yang tidak
mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena
peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu
pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung
secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain(9)

F. Diagnosis Hipertensi
Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit
kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat
menunjang kecurigaan ke arah hipertensi sekunder antara lain
penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat
atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada
anamnesis dapat pula digali mengenai faktor resiko kardiovaskular
seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang, dislipidemia,
diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat
keluarga(10)
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien
diambil rerata dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke
dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih
kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan
darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset
yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang
telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah
lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam
urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi
jantung berupa elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks
dan ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder
dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding
yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi
tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+),
hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin
plasma, CT scan abdomen, peningkatan kadar serum Na, penurunan K,
peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada
feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen.
Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada
hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri renalis,
USG ginjal, Doppler Sonografi(11)

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang yang lain disesuaikan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta
ketersediaan fasilitas(12)
a. Pemeriksaan Laboratorium:
- Pemeriksaan awal (darah lengkap, ureum, kreatinin, gula darah,
elektrolit, urinalisis)
- Pemeriksaan pada kecurigaan HT sekunder (aktivitas renin plasma,
aldosteron, catecholamine).
b. Pemeriksaan Penunjang:
- Elektrokardiografi, foto polos thoraks
- Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi (USG ginjal, CT-scan atau
MRI otak, echocardiography, CT scan atau MRI thoracoabdominal)

H. Diagosis Banding
1. Sroke Iskemik / Hemoragic
2. Stroke Trombotik Akut
3. Perdarahan Intracranial
4. Encephalitis

Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan


peningkatan tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013; Ferri,
2017). Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah salah satu jenis
penyakit yang mematikan di dunia dan faktor risiko paling utama terjadinya
hipertensi yaitu faktor usia sehingga tidak heran penyakit hipertensi sering
dijumpai pada usia senja/ usia lanjut.

I. Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup
namun terapi antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi
derajat 1 dengan penyerta dan hipertensi derajat 2. Penggunaan
antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi gaya hidup(13)
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
• Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes,
gagal ginjal, dan individu dengan usia > 60 tahun <140/90
• Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko
atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia
juga harus dilaksanakan hingga mencaoai target terapi masing-masing
kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan
farmakologis. Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua
pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan
mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target
indeks massa tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-
22,9 kg/m2), kontrol diet berdasarkan DASH mencakup konsumsi
buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak
jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl
yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan
adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling
tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol.
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga
mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan
antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada
atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah
dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan dosis
setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan
pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.
Jenis obat antihipertensi(14):
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek
pada turunnya tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah:
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan
indapamide.
2. ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin
II (zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping
yang sering timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan
lemas. Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah Catopril,
enalapril, dan lisinopril.
3. Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa
jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).
Contoh obat yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine,
diltiazem dan nitrendipine.
4. ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya
daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini
adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang
telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma
bronchial. Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker
adalah atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
Gambar 2.3 Tata Laksana Menurut JNC VII
Gambar 2.3 Algoritma penanganan hipertensi (JNC 8)

J. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya
sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang
berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah
arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi,
kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya
adalah terjadinya kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi
yang dimilikinya(15).
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung
dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress
oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan
bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar
dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh
darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-
β).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang
umum ditemui pada pasien hipertensi adalah(16):
1) Jantung - hipertrofi ventrikel kiri - angina atau infark miokardium -
gagal jantung
2) Otak - stroke atau transient ishemic attack
3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) Retinopati

K. Prognosis
Prognosis untuk hipertensi tergantung pada seberapa baik dapat
dikendalikan. Jika pasien mengikuti kebiasaan gaya hidup sehat (diet
rendah garam, berolahraga setiap hari selama kurang lebih 30 menit, tidak
merokok dan tidak kelebihan berat badan) dan minum obat yang
diresepkan secara teratur untuk menurunkan tekanan darah hingga nilai
kurang dari 140/90 mmHg, maka prognosisnya baik karena tindakan ini
mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular(17)
L. Edukasi dan Pencegahan
Pengobatan hipertensi memang penting tetapi tidak lengkap jika
tanpa dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan faktor resiko
penyakit kardiovaskuler akibat hipertensi. Menurut Bustan MN (2015) dan
Budistio (2015), upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi
didasarkan pada perubahan pola makan dan gaya hidup. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan meliputi(18):
1. Perubahan pola makan
2. Pembatasan penggunaan garam hingga 4-6gr per hari, makanan yang
mengandung soda kue, bumbu penyedap dan pengawet makanan.
3. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi (jeroan,
kuning telur, cumi-cumi, kerang, kepiting, coklat, mentega, dan
margarin).
4. Menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol
5. Olah raga teratur
6. Hindari stres
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


No.Rekam Medis : 313662
Ruangan : Jabal B2
Nama : Sawiyem
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 65 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : : Jl. Pertiwi No.77 Medan Bantan, Medan Tembung

3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara allo-anamnesa terhadap keluarga pasien, pada
hari Sabtu, 18 Juni 2021 di Ruangan Jabal Rumah Sakit Umum Haji Medan.

3.3 Keluhan Utama : Penurunan kesadaran

3.4 Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Penurunan
kesadaran yang dialami oleh pasien terjadi secara tiba-tiba, sebelumnya pasien
dapat melakukan aktifitas. Pasien datang keadaan lemas, merasa mual dan nafsu
makan juga menurun. Pasien juga mengeluhkan kebas-kebas pada kaki dan tangan
pada sebelah kanan dan kiri. Kebas dirasakan pasien hilang timbul. Kebas di
rasakan pasien sudah lama sejak pasien didiagnosa DM tipe II pada 30 tahun yang
lalu. Pasien mengonsumsi obat DM dengan rutin tetapi keluarga pasien lupa nama
obat tersebut. Keluarga pasien mengatakan, sebelumnya pasien telah berobat,
namun tak kunjung membaik.

3.5 Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Hipertensi
2. Diabetes Mellitus Tipe II
3. Tuberkulosis

3.6 Riwayat Penyakit Keluarga :


1. Hipertensi
2. Diabetes Mellitus Tipe II

3.7 Riwayat Penggunaan Obat:


Pasien mengatakan bahwa ia mengonsumsi obat tapi lupa nama obatnya

3.8 Riwayat Alergi :


Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, obat maupun
benda-benda tertentu.

3.9 Riwayat Kebiasaan :


Pasien memiliki kebiasaan makan dan minum yang manis-manis serta
kurang berolahraga.

3.10 Anamnesa Umum


Badan Kurang Enak : Ya - Tidur :terganggu
Merasa Lemas : Ya - Berat Badan : tidak
Merasa Kurang Sehat : Ya - Malas : ya
Menggigil : tidak - Demam : tidak
Nafsu Makan : Menurun - Pening : ya

3.11 Anamnesa Organ


1. COR
Dyspneu D’effort : tidak - Cyanosis : Tidak
Dyspnea D’repos : Tidak - Angina Pectoris : Tidak
Oedema : Tidak - Palpitasi Cordis : Tidak
Nokturia : Tidak - Asma Cardiale : Tidak

2. SIRKULASI PERIFER
Claudicatio Intermitten : Tidak - Gangguan Tropis : Tidak
Sakit Waktu Istirahat : Tidak - Kebas- Kebas : Tidak
Rasa Mati Ujung Jari : Tidak

3. TRAKTUS RESPIRATORIUS
Batuk : Tidak - Stridor : Tidak
Berdahak : Tidak - Sesak Nafas : Tidak
Haemoptoe : Tidak - Cuping Hidung : Tidak
Sakit dada saat bernafas : Tidak - Suara Parau : Tidak

4. TRAKTUS DIGESTIVUS
A. LAMBUNG
Sakit di epigastrium : Tidak - Sendawa : Tidak
Rasa panas epigastrium : Tidak - Anoreksia : Tidak
Muntah : Tidak - Mual-mual : Ya
- Dysphagia : Tidak
Hematemesis : Tidak - Feotor ex ore : Tidak
Ructus : Tidak - Pyrosis : Tidak
B. USUS
Sakit di Abdomen : Tidak - Melena : Tidak
Borborygmi : Tidak - Tenesmi : Tidak
Obstipasi : Tidak - Flatulensi : Tidak
Defekasi :- - Haemorrhoid : Tidak
Diare : tidak
C. HATI DAN SALURAN EMPEDU
Sakit Perut Kanan : Tidak - Gatal Dikulit : Tidak
Kolik : Tidak - Asites : Tidak
Ikterus : Tidak - Oedema : Tidak
Berak Dempul : Tidak

5. GINJAL DAN SALURAN KEMIH


Muka sembab : Tidak - Sakit pinggang : Tidak
Kolik : Tidak - Oligouria : Tidak
Miksi : 2L / hari - Anuria : Tidak
Polyuria : Ya - Polakisuria : Tidak

6. SENDI
Sakit : Tidak - Sakit Digerakan : Tidak
Sendi Kaku : Tidak - Bengkak : Tidak
Merah : Tidak - Stand Abnormal : Tidak

7. TULANG
Sakit : Tidak - Fraktur Spontan : Tidak
Bengkak : Tidak - Deformasi : Tidak

8. OTOT
Sakit : Tidak - Kejang-kejang : Tidak
Kebas-kebas : Ya - Atrofi : Tidak
9. DARAH
Sakit dimulut dan lidah : Tidak - Muka pucat : Tidak
Mata berkunang-kunang : Tidak - Bengkak : Tidak
Pembengkakan kelenjar : Tidak - Penyakit darah : Tidak
Merah dikulit : Tidak - Perdarahan subkutan : Tidak

10. ENDOKRIN
A. Pankreas
Polidipsi : Tidak - Pruritus : Tidak
Polifagi : Tidak - Pyorrhea : Tidak
Poliuri : Ya
B. Tiroid
Nervositas : Tidak - Struma : Tidak
Exoftalmus : Tidak - Miksodem : Tidak
C. Hipofisis
Akromegali : Tidak -Distrofi Adipos kongenital :
Tidak

11. FUNGSI GENITAL


Menarche : (-) - Ereksi : Tidak ditanya
Siklus Haid : (-) - Libido : Tidak ditanya
Menopause : (-) - Coitus : Tidak ditanya
G/P/A : (-)

12. SUSUNAN SYARAF


Hipoastesia : Tidak - Sakit kepala : Tidak
Parastesia : Tidak - Gerakan tics : Tidak
Paralisis : Tidak
13. PANCA INDRA
Penglihatan : Terganggu - Pengecapan : Normal
Pendengaran : Normal - Perasaan : Normal
Penciuman : Normal

14. PSIKIS
Mudah Tersinggung : Tidak - Pelupa : Tidak
Takut : Tidak - Lekas marah : Tidak
Gelisah : Tidak

15. KEADAAN SOSIAL


Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Hygiene : Baik

3.12 Anamnesa Penyakit Terdahulu :


Hipertensi, Diabetes Mellitus Tipe II, dan Tuberkulosis

3.13 Riwayat Pemakaian Obat:


Os mengonsumsi obat Diabetes Mellitus tetapi lupa nama obat

3.14 Anamnesa Penyakit Veneris


Bengkak Kelenjar Regional : Tidak - Pyuria : Tidak
Luka-Luka Dikemaluan : Tidak - Bisul-Bisul : Tidak

3.15 Anamnesa Intoksikasi


Tidak Ada

3.16 Anamnesa Makanan


Nasi : Ya, frek 3x/ Hari - Sayuran : Ya
Ikan : Ya - Daging : Ya
3.17 Anamnesa Family
Penyakit-penyakit family : Hipertensi, DM Tipe II
Penyakit seperti orang sakit : Tidak ada
Anak : 7 Hidup : 7 Mati : 0

3.18 Status Present


A. Keadaan Umum
Sensorium : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah : 165/95 mmHg
Temperatur : 37,0⁰C
Pernafasan : 20 x/Menit,Reg/Irreg, Tipe Pernafasan
Nadi : 90 x/ Menit, Equal/Inequal,Teg/Vol
B. Keadaan Penyakit
Anemi : Tidak - Eritema Palmaris : Tidak
Ikterus : Tidak - Turgor : Baik
Sianosis : Tidak - Gerakan Aktif : Tidak
Dispnoe : Tidak - Sikap tidur paksa : Tidak
Edema : Tidak
C. Keadaan Gizi
BB : tidak diukur
TB : tidak diukur

3.19 Pemeriksaan Fisik


1. Kepala
Pertumbuhan rambut : Normal
Sakit kalau dipegang : Tidak
Perubahan local : Tidak
a. Muka
Sembab : Tidak - Parese : Tidak
Pucat : Tidak - Gangguan Lokal : Tidak
Kuning : Tidak
b. Mata
Stand Mata : Normal - Ikterus : Tidak
Gerakan : Segala arah - Anemia : Tidak
Reaksi pupil : Isokor+/+ - Eksoftalmos : Tidak
Ptosis : Tidak - Gangguan lokal : Tidak
c. Telinga
Sekret : Tidak - Bentuk : Normal
Radang : Tidak - Atrofi : Tidak
d. Hidung
Sekret : Tidak ada - Benjolan-benjolan : Tidak
Bentuk : Simetris
e. Bibir
Sianosis : Tidak - Kering : Tidak
Pucat : Tidak - Radang : Tidak
f. Gigi
Karies : Tidak - Jumlah : Tidak dihitung
Pertumbuhan : Normal - Pyorroe alveolaris : Tidak
g. Lidah
Kering : Tidak - Beslag : Tidak
Pucat : Tidak - Tremor : Tidak
h. Tonsil
Merah : Tidak - Membran : Tidak
Bengkak : Tidak - Angina lacunaris : Tidak
Beslag : Tidak

2. Leher
Inspeksi
Struma : Tidak - Torticolis : Tidak
Kelenjar bengkak : Tidak - Venektasi : Tidak
Pulsasi Vena : Tidak
Palpasi
Posisi trachea : Medial - Sakit/ nyeri tekan : Tidak
TVJ : R-2 cm H2O - Kosta servikalis : Tidak

3. Thorax Depan
Inspeksi
Bentuk : Fusiformis - Venektasi : Tidak
Simetris/asimetris : Simetris - Pembengkakan : Tidak
Bendungan Vena : Tidak - Pulsasi verbal : Tidak
Ketinggalan bernafas : Tidak - Mammae : Normal
Palpasi
Nyeri tekan : Tidak - Iktus : Tidak teraba
Fremitus suara : Sama Ka=Ki a. Lokasi :-
Fremissemen : Tidak b. Kuat angkat :-
c. Melebar :-
d. Iktus Negatif :-
Perkusi
Suara perkusi paru : Sonor
Batas paru hati :
Relatif : ICS V linea midclavicularis dextra
Absolut : ICS VI Iinea midclavicularis dextra
Gerakan bebas : 2 cm
Batas Jantung :
Atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri : ICSV linea midclavicularis sinistra 2cm ke arah
medial
Auskultasi
- Paru –paru
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara Tambahan : Tidak
Ronchi Basah : Tidak
Ronchi Kering : Tidak
Krepirtasi : Tidak
Gesek Pelura : Tidak
- Cor :
Heart Rate : 90 x/Menit, Reguler, Intensitas (Keras)
Suara katup : (M1 > M2), (A2 > A1)
(P2 > P1), (A2 > P2)
Suara tambahan :
Desah jantung fungsionil/organis : Tidak
Gesek pericardial/pleurocardial : Tidak

4. Thorax belakang
Inspeksi
Bentuk : Fusiformis - Scapulae alta : Tidak
Simetris/tidak : Simetris - Ketinggalan bernafas: Tidak
Benjolan : Tidak - Venektasi : Tidak
Palpasi
Nyeri tekan : Tidak - Penonjolan : Tidak
Fremitus suara : Sama Ka=Ki
Perkusi
Suara perkusi paru : Sonor
Gerakan bebas : 2 cm
Batas bawah paru :
Kanan : IX Proc. Spinosus Vertebra Thoracal
Kiri : X Proc. Spinosus Vertebra Thoracal
Auskultasi
Pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan` : Tidak Ada

5. Abdomen

Inspeksi
Bengkak : Tidak
Venektasi : Tidak
Gembung : Tidak
Sirkulasi Collateral : Tidak
Pulsasi : Tidak
Palpasi
Defens muscular : Tidak
Nyeri tekan : Tidak
Lien : Tidak teraba
Ren : Tidak teraba
Hepar : Tidak teraba
Perkusi
Pekak hati : Tidak
Pekak beralih : Tidak

Auskultasi
Peristaltik usus : 10x/ menit
6. Genitalia
Luka : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sikatrik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nanah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Hernia : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Extremitas
A. Atas
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Bengkak : Tidak Tidak - Refleks:
Merah : Tidak Tidak - Bisep: ++ ++
Stand abnormal : Tidak Tidak - Trisep: ++ ++
Gangguan fungsi : Tidak Tidak - Radio : ++ ++
Tes Rumpelit : Tidak Tidak periost
B. Bawah
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Bengkak : Tidak Tidak - Varises: Tidak Tidak
Merah : Tidak Tidak - Refleks:
Oedem : Tidak Tidak - Bisep: ++ ++
Pucat : Tidak Tidak - Trisep: ++
++
Gangguan fungsi : Tidak Tidak - Radio : ++ ++
Tes Rumpelit : Tidak Tidak periost

3.20 Pemeriksaan Darah Rutin


Darah Hasil Satuan
Darah rutin
Hb 11,8 g/dl
Eritrosit 4,44 10^3/uL
Leukosit 14,3 uL
Hematokrit 34,8 %
Trombosit 435,0 ribu/mm3
Index Eritrosit
MCV 78,3 fL
MCH 26,6 Pg
MCHC 34,0 %
Jenis Leukosit
Eusinofil 0 %
Basofil 0 %
N. Stab %
N. Seg 83,7 %
Limfosit 9,5 %
Monosit 7 %
LED mm/jam
Fungsi Hati
Bilirubin Total mg/dl
Bilirubin direk mg/dl
AST (SGOT) 21 U/l
ALT (SGPT) 8 U/l
Protein Total g/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 54 mg/dl
Kreatinin 0,42 mg/dl
Glukosa Darah 79 mg/dl
3.21 Resume

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran

Telaah :
- Asthenia (+)
- Nausea (+)
- Anoreksia (+)
- Paresthesia (+)
- Malaise (+)
- Insomnia (+)
- Cephalgia (+)
- Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi, DM Tipe II, dan Tuberkulosis
- Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi dan DM Tipe II
- Riwayat Pemakaian Obat : Os mengonsumsi obat tapi lupa nama obat
- Riwayat Kebiasaan : Makan dan minum yang manis-manis

3.22 Status Present :


Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi
Sens : Somnolen Anemia : Tidak BB : Tidak
TD : 165/95 mmHg Ikterus: Tidak diukur
Nadi : 90x/ menit Sianosis : Tidak TB : Tidak
Nafas : 20x/ menit Dyspnoe: Tidak diukur
0
Suhu : 37,0 C Edema :Tidak
Eritema : Tidak
Turgor : Baik ,< 2 menit
Gerakan aktif: Menurun
Sikap Paksa : Tidak

3.23 Pemeriksaan Fisik


- Kepala : Dalam Batas Normal
- Leher : Dalam Batas Normal
- Thorak : Dalam Batas Normal
- Abdomen : Dalam Batas Normal
- Ekstremitas : Dalam Batas Normal

3.24 Pemeriksaan Laboratorium


- Darah : Hb = menurun, Hematokrit = menurun, Trombosit = meningkat
- Urin : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Tinja : Tidak dilakukan pemeriksaan
- dll : KGD = menurun , ureum = meningkat , kreatinin = menurun

3.25 Diagnosa Banding

- Penurunan kesadaran et causa Hipoglikemia + DM Tipe II + Hipertensi Grade II


+ Neuropati Diabetik
- Penurunan kesadaran et causa gangguan elektrolit + DM Tipe I + Hipertensi
Grade I
- Penurunan kesadaran et causa stroke hemoragik akut + DM Tipe II + Hipertensi
Urgency
- Penurunan kesadaran et causa stroke iskemik akut + DM Tipe I + Hipertensi
Emergency
- Penurunan kesadaran et causa ketoasidosis diabetikum + DM Tipe II + Krisis
Hipertensi
3.26 Diagnosa Sementara:
Penurunan kesadaran et causa Hipoglikemia + DM Tipe II + Hipertensi
Grade II + Neuropati Diabetik

3.27 Terapi
1. Aktivitas : Tirah baring
2. Diet : Sonde. M2. Rendah garam
3. Medikamentosa :
- Dextrose 40 % IV 50 cc
- Berikan cairan dextrose 10% 500cc sebanyak 21 tetes/menit

per 6 jam/kolf

- Periksa gula darah sewaktu tiap satu jam setelah bolus dextrose 40%

- Bila gula darah < 50 mg/dl berikan 50 ml dextrose 40%

- Jika < 100 mg/dl berikan dextrose 40% sebanyak 25 ml

- Kalau belum mencapai target : ulangi pemberian dextrose 40%

- Jika gula darah sudah di atas 100 mg/dl sebanyak 3 kali pemeriksaan,
ganti cairan dextrose dengan natrium klorida

- Captoprile tab 10 mg

- Amlodipine tab 10 mg

- Gabapentin 100 mg

3.28 Pemeriksaan Anjuran/Usulan


1. EKG
2. Elektrolit
3. KGD
4. Ureum Kreatinin
5. HBA1c
6. Tes Fungsi Hati
7. Konsultasi ke Neurologi

BAB IV
KESIMPULAN

Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak normal,


suatu resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan ditandai
dengan adanya peningkatan komplikasi perkembangan makrovaskuler. Secara
umum, ketiga elemen diatas telah digunakan untuk mencoba menemukan
diagnosis atau penyembuhan diabetes (Mogensen, 2007).
Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau
sebagian besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau Langerhans pada pankreas yang
berfungsi menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan insulin. Di samping
itu diabetes melittus juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin
dalam memasukan glukosa ke dalam sel. Gangguan itu dapat terjadi karena
kegemukan atau sebab lain yang belum diketahui.
Penyakit diabetes mellitus yang dikenal masyarakat sebagai penyakit
kencing manis terjadi pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula
(glukosa) dalam darah akibat kekurangan insulin atau reseptor insulin tidak
berfungsi baik.
Diabetes yang timbul akibat kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Sedang diabetes karena insulin
tidak berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2 atau Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM).
Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar
90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode hipoglikemia.
Kejadian hipoglikemia sangat bervariasi, namun pada umumnya penderita
diabetes mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode hipoglikemia simtomatik per
minggu dan per tahun. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas akibat diabetes melitus
dikaitkan dengan hipoglikemia (Shafiee, 2012).
Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes mellitus tipe 2
dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa pada pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2 risiko hipoglikemia berat rendah dalam beberapa tahun
pertama (7%) dan meningkat menjadi 25% dalam perjalanan diabetes. Namun
prevalensi diabetes mellitus tipe 2 adalah sekitar dua puluh kali lipat lebih tinggi
dari diabetes mellitus tipe 1 dan banyak pasien dengan diabetes mellitus tipe 2
akhirnya memerlukan pengobatan insulin, sehingga sebagian besar episode
hipoglikemia terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat
disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya
pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena
malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah
hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan
dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat,
dan tremor.
Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013; Ferri,
2017). Penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah salah satu jenis
penyakit yang mematikan di dunia dan faktor risiko paling utama terjadinya
hipertensi yaitu faktor usia sehingga tidak heran penyakit hipertensi sering
dijumpai pada usia senja/ usia lanjut.
Jika saat ini seseorang sedang perawatan penyakit hipertensi dan pada saat
diperiksa tekanan darah seseorang tersebut dalam keadaan normal, hal itu tidak
menutup kemungkinan tetap memiliki risiko besar mengalami hipertensi kembali.
Lakukan terus kontrol dengan dokter dan menjaga kesehatan agar tekanan darah
tetap dalam keadaan terkontrol.
Tekanan darah arteri sistemik merupakan hasil perkalian total resistensi/
tahanan perifer dengan curah jantung (cardiac output). Hasil Cardiac Output
didapatkan melalui perkalian antara stroke volume (volume darah yang dipompa
dari ventrikel jantung) dengan hearth rate (denyut jantung). Sistem otonom dan
sirkulasi hormonal berfungsi untuk mempertahankan pengaturan tahanan perifer.
Hipertensi merupakan suatu abnormalitas dari kedua faktor tersebut yang ditandai
dengan adanya peningkatan curah jantung dan resistensi perifer yang juga
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization : Diabetes (Cited Agustus 2016) Available from:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/
2. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu.
Cetakan kelima, 2005. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.
3. WHO. The 10 leading causes of death by broad income group. 2008
4. Cho NH. Q&A: Five questions on the 2015 IDF Diabetes Atlas. 2016
5. Tahun 2030 prevalensi diabetes melitus di indonesia mencapai 21,3 juta
Orang . 2009
6. Marentek E. Resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2. 2006
7. S. Joste, Mutmainnah, Hardjoeno. Lipid profile in type 2 diabetic mellitus
patient’s. 2006
8. Pandelaki K. Diabetic dyslipidemia management, the first east Indonesia endo-
metabolic update. Makassar: Perkeni Cabang Makassar; 2006. p. 24–31.
9. Avogaro A1, Giorda C, Maggini M, Mannucci E, Raschetti R, Lombardo F et
al. Incidence Of Coronary Heart Disease In Type 2 Diabetic Men And
Women: Impact Of Microvascular Complications, Treatment, And
Geographic Location. Italy: Epub; 2007.
10. Subekti I, Susatia B, Yusrizal. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner Dan
Senam Jantung Sehat. Malang: Poltekkes Kemenkes Malang; 2015.
11. Fowler MJ. Microvascular and macrovascular complications of diabetes.
clinical diabetes.2008;26(2):77 – 82.
12. Primadana DA, Pandelaki K, dan Wongkar CP. Hubungan Kadar Hba1c
Dengan Profil Lipid Pada Pasien Kaki Diabetik Di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Manado: Jurnal e-clinic(eCl); 2016.
13. Priyadi R, Saraswati MR. Hubungan antara kendali glikemik dengan profil
lipid pada penderita diabetes melitus tipe 2. Denpasar.
14. Pearson ER, McCrimmon RJ. Diabetes Mellitus. Davidson's Principles and
Practice of Medicine edisi 22. Elsevier; 2014. P.797-836.
15. Wulandari H. Evaluasi Ketepatan Pemilihan Obat Pada Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Mardi Lestari
Sragen Tahun 2009. Surakarta: 2010.
16. Wiardani NK, dan Kusumayanti GDA. Indeks Massa Tubuh, Lingkar
Pinggang Serta Tekanan Darah Penderita Dan Bukan Penderita Diabetes
Melitus. Denpasar
17. Hanum NN. Hubungan Kadar Glukosa Darah Puasa Dengan Porfil Lipid Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon
Periode Januari-April 2013. Jakarta: Universitas Negeri; 2013.
18. Ferri FF. Ferri's Clinical Advisor 2017: Metabolic Syndrome. Elsevier; 2017.
19. Sherwood L. Fisiogi Manusia dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC.p.754,758.
20. Wedro B. Cholesterol Management.201521. Wahab Z, Novitasari A, Fitria
NW. Profil Lipid sebagai Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Mellitus
Tipe II. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.
22. Wahab Z, Novitasari A, Fitria NW. Profil Lipid sebagai Kontrol Glikemik
pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang. [Cited Mei 2017]. Available from:
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/kedokteran/article/view/2569.
23. Huang, L., & Khardori, R. (2017). Pathogenesis of diabetic nephropathy.
In Managing Diabetic Nephropathies in Clinical Practice (pp. 23-45).
Adis, Cham.
24. Phillip, M., Battelino, T., Rodriguez, H., Danne, T., & Kaufman, F. (2007).
Use of insulin pump therapy in the pediatric age-group: consensus
statement from the European Society for Paediatric Endocrinology, the
Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society, and the International Society
for Pediatric and Adolescent Diabetes, endorsed by the American Diabetes
Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetes care, 30(6), 1653-1662

Anda mungkin juga menyukai