Disusun Sebagai Tugas Mengikuti kepanitraan Klinik Stase (KKS) Ilmu Penyakit
Dalam Rumah Sakit Haji Medan Sumatra Utara
Disusun Oleh:
Pembimbing:
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehendak
dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul
”Diabetes, Hipoglikemia, dan Hipertensi”. Penyusunan tugas paper ini di
maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam yang diberikan pembimbing.
Akhir kata semoga paper ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
semua pihak yang membaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes
melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur 15 tahun
sebesar 2%. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan
prevalensi diabetes melitus pada penduduk 15 tahun pada hasil
Riskesdas 2013 sebesar 1,5%. Namun prevalensi diabetes melitus
menurut hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013
menjadi 8,5% pada tahun 2018. Angka ini menunjukkan bahwa baru
sekitar 25% penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya
menderita diabetes.
Prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2013 adalah 2,1%.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007 (1,1%).
Sebanyak 31 Provinsi (93,9%) menunjukkan kenaikan prevalensi DM
yang cukup berarti. Tahun 2007 menjadi 1,2% pada 2013. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukan bahwa
proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54
tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke dua yaitu 14,7%,
sedangkan di daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke enam yaitu
5,8%.
C. Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul pada penderita diabetes mellitus diantaranya (2) :
a. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila
kadar gula darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah
yang tinggi akan dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi
kadar glukosa darah maka ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah
yang banyak. Akibatnya penderita diabetes sering berkemih dalam
jumlah banyak.
b. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka
penderita akan merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin
mengelola kadar gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar
yang berlebihan.
d. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah cadangan
energi lain dalam tubuh seperti lemak.
G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan pemeriksaan
glukosa darah dan pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan untuk
membedakan DM tipe II dan DM tipe I dengan pemeriksaan C-
peptide(13).
1. Pemeriksaan glukosa darah
a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu Pemeriksaan gula darah vena sewaktu
pada pasien DM tipe II dilakukan pada pasien DM tipe II dengan gejala
klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu
diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan
pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM
tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasma vena)
maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak
perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa.
b) Glukosa Plasma Vena Puasa Pada pemeriksaan glukosa plasma vena
puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam sebelum tes dengan menghentikan
semua obat yang digunakan, bila ada obat yang harus diberikan perlu
ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai
berikut : kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal,
≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110- 126 mg/dl
disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Pemeriksaan gula darah
puasa lebih efektif dibandingkan dengan pemeriksaan tes toleransi
glukosa oral.
c) Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP) Tes dilakukan bila ada
kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang mengandung 100gr
karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan merokok serta berolahraga.
Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa darah ≥
200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤ 140.
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140
mg/dl tetapi < 200 mg/dl.28 d) Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dilakukan apabila pada pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah
berkisar 140-200 mg/dl untuk memastikan diabetes atau tidak. Sesuai
kesepakatan WHO tahun 2006,tatacara tes TTGO dengan cara melarutkan
75gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg pada anak-anak kemudian
dilarutkan dalam air 250-300 ml dan dihabiskan dalam waktu 5
menit.TTGO dilakukan minimal pasien telah berpuasa selama minimal 8
jam. Penilaian adalah sebagai berikut;
1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl;
2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl
tetapi < 200 mg/dl; dan
3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus.
2. Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang
tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai
dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa
dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah
selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan
saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang.
Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama
untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang berubah
mendadak(14).
Tabel 2.1 Kategori HbA1c(15)
HbA1c 30 HbA1c < 6.5 % Kontrol glikemik baik
HbA1c 6.5 -8 % Kontrol glikemik sedang
HbA1c > 8 % Kontrol glikemik buruk
H. Diagnosis Banding
1. Diabetes Melitus Tipe I
2. Diabetes Melitus Tipe II
3. Diabetes Melitus Gestasional
I. Diagnosis Kerja
Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak normal,
suatu resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan ditandai
dengan adanya peningkatan komplikasi perkembangan makrovaskuler. Secara
umum, ketiga elemen diatas telah digunakan untuk mencoba menemukan
diagnosis atau penyembuhan diabetes.
Diabetes yang timbul akibat kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Sedang diabetes karena insulin
tidak berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2 atau Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM).
K. Komplikasi
Menurut Lemone, Burke & Bauldoff tahun 2015, komplikasi pada
diabetes mellitus terbagi dalam komplikasi akut dan komplikasi
kronik(21).
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut terdiri dari hiperglikemia, diabetik ketoasidosis
(DKA), dan hiperglikemik hiperosmolar (HHS).
a. Hiperglikemia
Menurut International Society for Pediatrics and Adolescent
Diabetes (2007), hiperglikemia adalah suatu keadaan kadar gula darah
sewaktu ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) ditambah dengan gejala diabetes
atau kadar gula darah puasa (tidak mendapatkan masukan kalori
setidaknya dalam 8 jam sebelumnya) ≥7,0 mmol/L (126 mg/dL).
b. Diabetik Ketoasidosis
(DKA)
Diabetik Ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi
kekacauan metabolik yang ditandai dengan oleh trias DKA yaitu
hiperglikemia, asidosis dan ketosis yang merupakan salah satu
komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan
mengancam nyawa. Keberhasilan penatalaksanaan DKA
membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan
elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid dan yang terpenting
adalah pemantauan kondisi pasien terus menerus
c. Hiperglikemik Hiperosmolar (HHS)
HHS ditandai dengan osmolaritas plasma 340 mOsm/L atau lebih
(kisaran normal adalah 280-300 msOsm/L), naiknya kadar glukosa
darah dengan cepat (lebih dari 600 mg/dl dan sering kali 1000-
2000 mf/dl), dan perubahan tingkat kesadaran yang berat. Faktor
pemicu HHS yang paling umum adalah infeksi. Manifestasi gangguan
ini dapat muncul dari 24 jam hingga 2 minggu. Manifestasi dimulai
dengan hiperglikemia yang menyebabkan haluaran urine sehingga
menyebabkan plasma berkurang dan laju GFR menurun. Akibatnya
glukosa ditahan dan air menjadi hilang, glukosa dan natrium akan
menumpuk di darah dan meningkatkan osmolaritas serum yang
akhirnya menyebabkan dehidrasi berat, yang mengurangi air
intraseluler di semua jaringan termasuk otak
2. Komplikasi Kronik
Komplikasi vaskular jangka panjang ini meliputi mikroangiopati
(pembuluh darah kecil), dan makroangiopati (pembuluh darah sedang
dan besar). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang
menyerang glomerulus ginjal (nefropati diabetik), kapiler dan arteriola
retina (retinopati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik),
kulit serta otot-otot
Dalam keadaan hiperglikemia, yang terjadi adalah penebalan dari
lapisan membran dasar pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena
glukosa sebagai salah satu komponennya dapat masuk pada sel-sel
membran dasar tanpa insulin. Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya
mikroaneurisma pada arteriola retina yang bisa berakhir dengsn
neovaskularisasi, perdarahan, bahkan jaringan parut. Selain itu,
hiperglikemia juga dapat meningkatkan sorbitol melalui jalur poliol.
Sehingga dapat menimbulkan katarak pada lensa mata. Jika terjadi
penimbunan sorbitol dalam jaringan saraf, maka kegiatan metabolik selsel
schwan akan terganggu dan menyebabkan neuropati
Makroangiopati diabetikum yang umum terjadi adalah
aterosklerosis. Gangguannya berupa (1) penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah.
Akhirnya yang terjadi adalah penyumbatan aliran darah (Price, 2005). Jika
mengenai arteri-arteri perifer maka dapat menyebabkan insufisiensi
vaskular perifer yang ditandai dengan klaudikasio intermiten dan gangren
pada ekstremitas. Jika mengenai otak, maka dapat terjadi insufisiensi
serebral dan stroke. Jika mengenai arteri koronaria, maka dapat terjadi
angina dan infark miokardium
L. Prognosis
Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh
pasien dalam mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik
ketat (HbA1c < 7%), tanpa disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan
juga tidak ada gangguan mikrovaskuler serta makrovaskuler akan
mempunyai harapan hidup lebih lama. Namun jika pasien memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama (≥ 15 tahun)
akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun telah melakukan
kontrol glikemik ketat sekalipun(22).
DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena dapat
berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal, gangguan
pembuluh darah perifer, gangguan saraf (neuropati), dan retinopati.
Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara efektif untuk pencegahan
DM.
2.2. Hipoglikemia
A. Epidemiologi
B. Etiologi
C. Patogenesis
Produksi glukosa
Pengeluaran insulin yang
dengan kebutuhan
penyerapan glukosa yang
kurang
D. Patofisiologi
E. Penegakkan Diagnosis
F. Terapi
a. Hipoglikemia ringan
1. Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir
permen atau 2-3 sendok teh sirup atau madu.
b. Hipoglikemia berat
2. Medika Mentosa
a. Glukosa Oral.
b. Glukosa Intravena.
c. Glukagon (SC/IM).
e. Monitoring
Untuk tatalaksana pada hipoglikemia, ada beberapa cara yang dapat dilakukan.
1. Jika pasien sadar, lakukan pemberian gula murni sebanyak 30 gram (dua
sendok makan) atau sirup/permen atau gula murni. Pastikan yang diberikan bukan
pengganti gula, atau gula diabetes, atau makanan yang mengandung karbohidrat.
2. Hentikan pemberian obat diabetes atau yang menyebabkan hipoglikemia, dan
periksa gula darah tiap 1-2 jam
3. Pertahankan glukosa darah tetap 200 mg/dl, dan cari penyebab hipoglikemia
4. Jika gula darah sudah di atas 100 mg/dl sebanyak 3 kali pemeriksaan, ganti
cairan dekstrosa dengan natrium klorida, dan protocol hipoglikemia dapat
dihentikan.
G. Pencegahan Hipoglikemia
b. Pola makan
c. Aktivitas sehari-hari
d. Konsumsi alkohol
H. Prognosis
2.3 Hipertensi
A. Definisi Hipertensi
Berdasarkan JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi bila
tekanan sistolik nya melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya
melebihi 90 mmHg berdasarkan rerata dua atau tiga kali kunjungan
yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali kunjungan(1)
Sistolik
B. Epidemiologi Hipertensi
Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan sekitar
1,13 Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia
terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap
tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar orang yang terkena
hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal akibat
hipertensi dan komplikasinya.
Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi hipertensi berdasarkan hasil
pengukuran pada penduduk usia 18 tahun sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan
Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%). Hipertensi terjadi
pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-
64 tahun (55,2%).
B. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan
menjadi hipertensi primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana
pada hipertensi jenis ini tidak diketahui penyebabnya. Selain itu
terdapat pula hipertensi sekunder akibat adanya suatu penyakit atau
kelainan yang mendasari, seperti stenosis arteri renalis, penyakit
parenkim ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronism, dan
sebagainya(3)
D. Patogenesis Hipertensi
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial
yang timbul akibat berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu.
Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan(5)
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak.
Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak
ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana
dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah kapiler(6)
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf
simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor
pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran
darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi. Perubahan
struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta
dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi
volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer(7)
Gambar 2.1 Patogenesis Hipertensi
F. Diagnosis Hipertensi
Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit
kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat
menunjang kecurigaan ke arah hipertensi sekunder antara lain
penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat
atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada
anamnesis dapat pula digali mengenai faktor resiko kardiovaskular
seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang, dislipidemia,
diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat
keluarga(10)
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien
diambil rerata dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke
dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih
kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan
darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset
yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang
telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah
lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam
urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi
jantung berupa elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks
dan ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder
dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding
yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi
tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+),
hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin
plasma, CT scan abdomen, peningkatan kadar serum Na, penurunan K,
peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada
feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen.
Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada
hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri renalis,
USG ginjal, Doppler Sonografi(11)
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang yang lain disesuaikan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta
ketersediaan fasilitas(12)
a. Pemeriksaan Laboratorium:
- Pemeriksaan awal (darah lengkap, ureum, kreatinin, gula darah,
elektrolit, urinalisis)
- Pemeriksaan pada kecurigaan HT sekunder (aktivitas renin plasma,
aldosteron, catecholamine).
b. Pemeriksaan Penunjang:
- Elektrokardiografi, foto polos thoraks
- Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi (USG ginjal, CT-scan atau
MRI otak, echocardiography, CT scan atau MRI thoracoabdominal)
H. Diagosis Banding
1. Sroke Iskemik / Hemoragic
2. Stroke Trombotik Akut
3. Perdarahan Intracranial
4. Encephalitis
I. Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup
namun terapi antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi
derajat 1 dengan penyerta dan hipertensi derajat 2. Penggunaan
antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi gaya hidup(13)
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
• Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes,
gagal ginjal, dan individu dengan usia > 60 tahun <140/90
• Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko
atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia
juga harus dilaksanakan hingga mencaoai target terapi masing-masing
kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan
farmakologis. Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua
pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan
mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target
indeks massa tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-
22,9 kg/m2), kontrol diet berdasarkan DASH mencakup konsumsi
buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak
jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl
yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan
adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling
tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol.
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga
mencapai tujuan terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan
antihipertensi didasarkan pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada
atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah
dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan dosis
setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan
pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.
Jenis obat antihipertensi(14):
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek
pada turunnya tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah:
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan
indapamide.
2. ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin
II (zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping
yang sering timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan
lemas. Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah Catopril,
enalapril, dan lisinopril.
3. Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa
jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).
Contoh obat yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine,
diltiazem dan nitrendipine.
4. ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya
daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini
adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang
telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma
bronchial. Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker
adalah atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
Gambar 2.3 Tata Laksana Menurut JNC VII
Gambar 2.3 Algoritma penanganan hipertensi (JNC 8)
J. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya
sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang
berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah
arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi,
kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya
adalah terjadinya kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi
yang dimilikinya(15).
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung
dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress
oksidatif, down regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan
bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar
dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh
darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-
β).
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang
umum ditemui pada pasien hipertensi adalah(16):
1) Jantung - hipertrofi ventrikel kiri - angina atau infark miokardium -
gagal jantung
2) Otak - stroke atau transient ishemic attack
3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) Retinopati
K. Prognosis
Prognosis untuk hipertensi tergantung pada seberapa baik dapat
dikendalikan. Jika pasien mengikuti kebiasaan gaya hidup sehat (diet
rendah garam, berolahraga setiap hari selama kurang lebih 30 menit, tidak
merokok dan tidak kelebihan berat badan) dan minum obat yang
diresepkan secara teratur untuk menurunkan tekanan darah hingga nilai
kurang dari 140/90 mmHg, maka prognosisnya baik karena tindakan ini
mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular(17)
L. Edukasi dan Pencegahan
Pengobatan hipertensi memang penting tetapi tidak lengkap jika
tanpa dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan faktor resiko
penyakit kardiovaskuler akibat hipertensi. Menurut Bustan MN (2015) dan
Budistio (2015), upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi
didasarkan pada perubahan pola makan dan gaya hidup. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan meliputi(18):
1. Perubahan pola makan
2. Pembatasan penggunaan garam hingga 4-6gr per hari, makanan yang
mengandung soda kue, bumbu penyedap dan pengawet makanan.
3. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi (jeroan,
kuning telur, cumi-cumi, kerang, kepiting, coklat, mentega, dan
margarin).
4. Menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol
5. Olah raga teratur
6. Hindari stres
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara allo-anamnesa terhadap keluarga pasien, pada
hari Sabtu, 18 Juni 2021 di Ruangan Jabal Rumah Sakit Umum Haji Medan.
2. SIRKULASI PERIFER
Claudicatio Intermitten : Tidak - Gangguan Tropis : Tidak
Sakit Waktu Istirahat : Tidak - Kebas- Kebas : Tidak
Rasa Mati Ujung Jari : Tidak
3. TRAKTUS RESPIRATORIUS
Batuk : Tidak - Stridor : Tidak
Berdahak : Tidak - Sesak Nafas : Tidak
Haemoptoe : Tidak - Cuping Hidung : Tidak
Sakit dada saat bernafas : Tidak - Suara Parau : Tidak
4. TRAKTUS DIGESTIVUS
A. LAMBUNG
Sakit di epigastrium : Tidak - Sendawa : Tidak
Rasa panas epigastrium : Tidak - Anoreksia : Tidak
Muntah : Tidak - Mual-mual : Ya
- Dysphagia : Tidak
Hematemesis : Tidak - Feotor ex ore : Tidak
Ructus : Tidak - Pyrosis : Tidak
B. USUS
Sakit di Abdomen : Tidak - Melena : Tidak
Borborygmi : Tidak - Tenesmi : Tidak
Obstipasi : Tidak - Flatulensi : Tidak
Defekasi :- - Haemorrhoid : Tidak
Diare : tidak
C. HATI DAN SALURAN EMPEDU
Sakit Perut Kanan : Tidak - Gatal Dikulit : Tidak
Kolik : Tidak - Asites : Tidak
Ikterus : Tidak - Oedema : Tidak
Berak Dempul : Tidak
6. SENDI
Sakit : Tidak - Sakit Digerakan : Tidak
Sendi Kaku : Tidak - Bengkak : Tidak
Merah : Tidak - Stand Abnormal : Tidak
7. TULANG
Sakit : Tidak - Fraktur Spontan : Tidak
Bengkak : Tidak - Deformasi : Tidak
8. OTOT
Sakit : Tidak - Kejang-kejang : Tidak
Kebas-kebas : Ya - Atrofi : Tidak
9. DARAH
Sakit dimulut dan lidah : Tidak - Muka pucat : Tidak
Mata berkunang-kunang : Tidak - Bengkak : Tidak
Pembengkakan kelenjar : Tidak - Penyakit darah : Tidak
Merah dikulit : Tidak - Perdarahan subkutan : Tidak
10. ENDOKRIN
A. Pankreas
Polidipsi : Tidak - Pruritus : Tidak
Polifagi : Tidak - Pyorrhea : Tidak
Poliuri : Ya
B. Tiroid
Nervositas : Tidak - Struma : Tidak
Exoftalmus : Tidak - Miksodem : Tidak
C. Hipofisis
Akromegali : Tidak -Distrofi Adipos kongenital :
Tidak
14. PSIKIS
Mudah Tersinggung : Tidak - Pelupa : Tidak
Takut : Tidak - Lekas marah : Tidak
Gelisah : Tidak
2. Leher
Inspeksi
Struma : Tidak - Torticolis : Tidak
Kelenjar bengkak : Tidak - Venektasi : Tidak
Pulsasi Vena : Tidak
Palpasi
Posisi trachea : Medial - Sakit/ nyeri tekan : Tidak
TVJ : R-2 cm H2O - Kosta servikalis : Tidak
3. Thorax Depan
Inspeksi
Bentuk : Fusiformis - Venektasi : Tidak
Simetris/asimetris : Simetris - Pembengkakan : Tidak
Bendungan Vena : Tidak - Pulsasi verbal : Tidak
Ketinggalan bernafas : Tidak - Mammae : Normal
Palpasi
Nyeri tekan : Tidak - Iktus : Tidak teraba
Fremitus suara : Sama Ka=Ki a. Lokasi :-
Fremissemen : Tidak b. Kuat angkat :-
c. Melebar :-
d. Iktus Negatif :-
Perkusi
Suara perkusi paru : Sonor
Batas paru hati :
Relatif : ICS V linea midclavicularis dextra
Absolut : ICS VI Iinea midclavicularis dextra
Gerakan bebas : 2 cm
Batas Jantung :
Atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri : ICSV linea midclavicularis sinistra 2cm ke arah
medial
Auskultasi
- Paru –paru
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara Tambahan : Tidak
Ronchi Basah : Tidak
Ronchi Kering : Tidak
Krepirtasi : Tidak
Gesek Pelura : Tidak
- Cor :
Heart Rate : 90 x/Menit, Reguler, Intensitas (Keras)
Suara katup : (M1 > M2), (A2 > A1)
(P2 > P1), (A2 > P2)
Suara tambahan :
Desah jantung fungsionil/organis : Tidak
Gesek pericardial/pleurocardial : Tidak
4. Thorax belakang
Inspeksi
Bentuk : Fusiformis - Scapulae alta : Tidak
Simetris/tidak : Simetris - Ketinggalan bernafas: Tidak
Benjolan : Tidak - Venektasi : Tidak
Palpasi
Nyeri tekan : Tidak - Penonjolan : Tidak
Fremitus suara : Sama Ka=Ki
Perkusi
Suara perkusi paru : Sonor
Gerakan bebas : 2 cm
Batas bawah paru :
Kanan : IX Proc. Spinosus Vertebra Thoracal
Kiri : X Proc. Spinosus Vertebra Thoracal
Auskultasi
Pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan` : Tidak Ada
5. Abdomen
Inspeksi
Bengkak : Tidak
Venektasi : Tidak
Gembung : Tidak
Sirkulasi Collateral : Tidak
Pulsasi : Tidak
Palpasi
Defens muscular : Tidak
Nyeri tekan : Tidak
Lien : Tidak teraba
Ren : Tidak teraba
Hepar : Tidak teraba
Perkusi
Pekak hati : Tidak
Pekak beralih : Tidak
Auskultasi
Peristaltik usus : 10x/ menit
6. Genitalia
Luka : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sikatrik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nanah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Hernia : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Extremitas
A. Atas
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Bengkak : Tidak Tidak - Refleks:
Merah : Tidak Tidak - Bisep: ++ ++
Stand abnormal : Tidak Tidak - Trisep: ++ ++
Gangguan fungsi : Tidak Tidak - Radio : ++ ++
Tes Rumpelit : Tidak Tidak periost
B. Bawah
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Bengkak : Tidak Tidak - Varises: Tidak Tidak
Merah : Tidak Tidak - Refleks:
Oedem : Tidak Tidak - Bisep: ++ ++
Pucat : Tidak Tidak - Trisep: ++
++
Gangguan fungsi : Tidak Tidak - Radio : ++ ++
Tes Rumpelit : Tidak Tidak periost
Telaah :
- Asthenia (+)
- Nausea (+)
- Anoreksia (+)
- Paresthesia (+)
- Malaise (+)
- Insomnia (+)
- Cephalgia (+)
- Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi, DM Tipe II, dan Tuberkulosis
- Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi dan DM Tipe II
- Riwayat Pemakaian Obat : Os mengonsumsi obat tapi lupa nama obat
- Riwayat Kebiasaan : Makan dan minum yang manis-manis
3.27 Terapi
1. Aktivitas : Tirah baring
2. Diet : Sonde. M2. Rendah garam
3. Medikamentosa :
- Dextrose 40 % IV 50 cc
- Berikan cairan dextrose 10% 500cc sebanyak 21 tetes/menit
per 6 jam/kolf
- Periksa gula darah sewaktu tiap satu jam setelah bolus dextrose 40%
- Jika gula darah sudah di atas 100 mg/dl sebanyak 3 kali pemeriksaan,
ganti cairan dextrose dengan natrium klorida
- Captoprile tab 10 mg
- Amlodipine tab 10 mg
- Gabapentin 100 mg
BAB IV
KESIMPULAN