Anda di halaman 1dari 5

Menjadi Sesama di Ambang Batas Ketakberdayaan

Oleh: Petrus Pit Duka Karwayu (166114063)

1. Pengantar

Dunia modern tiba-tiba menjadi akrab dengan teman perjalanan tertua dalam sejarah
manusia, yakni ketakutan eksistensial akan kematian yang tak terhindarkan dan tak dapat
dielakkan. Bayang-bayang kematian seolah terlihat jelas namun pada saat yang sama tidak
dapat diprediksi. Sejak akhir 2019 sampai saat ini wabah pandemi corona mengguncang
dunia dengan jumlah korban yang tidak terhitung. Hampir di setiap media, entah
konvensional maupun online, pemberitaan mengenai jumlah korban baik yang selamat
maupun yang harus merenggang nyawa dimuat dengan data statistik yang terus berubah.
Akhirnya kehidupan masyarakat dipenuhi teka-teki sembari diliputi kegelisahan yang akut.
Sementara itu di tempat lain orang banyak mendengar tentang perjuangan kaum medis,
pejuang di grada depan, yang harus gugur sebagai pahlawan perang melawan kekuatan yang
bergerak dengan skala besar namun tidak terlihat ini. Kendati mereka tengah berusaha
menciptakan anti virus yang ampuh, namun rasanya belum ada suara bulat mengenai
efektifitas vaksin atau antibiotik yang sungguh-sungguh ampuh untuk menyelamatkan
generasi manusia abad XXI. Yang bisa dilakukan adalah mencegah, kendati belum pasti
apakah kita sendiri aman dari sentuhan virus covid atau tidak.

Kalau berbicara dari perspektif korban masalahnya menjadi semakin akut. Mereka yang
menjadi korban mengalami keterasingan, kesepian, dan kehampaan. Di setiap harapan untuk
sembuh di ujung kematian memunculkan suatu pemberontakan yang luar biasa. Ini tidak
termasuk keluarga yang ditinggalkan yang harus menanggung beban rasa bersalah karena
tidak dapat memberikan yang terbaik.

Untuk konteks masyarakat NTT tempat di mana saya menjalani Tahun Orientasi
Pastoral, belum sempat masyarakat menghirup nafas di tengah himpitan ekonomi akibat
covid 19, pada 02 sampai 04 April 2021, mereka harus menepuk dahi oleh siklus Badai
Seroja yang melanda secara membabi buta. Tercatat ada 12 Kabupaten di NTT yang dilanda
badai Seroja, yaitu Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten
Malaka, Kabupaten Lembata, Kabupaten Ngada, Kabupaten Alor, Kabupaten Sumba Timur,
Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, Tenggara Kabupaten Timor dan Kabupaten
Ende— dan tercatat pula 182 manusia menjadi tumbal ganasnya alam. Ini tidak termasuk
mereka yang hilang, terluka serta rumah dan ladang yang dibabat habis oleh Seroja.
Layaknya angka statistik korban corona yang meningkat, kita kerab kurang sadar bahwa di
balik angka-angka yang ada, terdapat wajah-wajah manusia yang malang.

Dibantu oleh pendekatan Participant Observation (Penelitian Kualitatif yang bertolak


dari pengalaman peneliti), Narasi Kemanusiaan ini akan saya bangun dengan bertolak dari
pertanyaan, “Bagaimana saya menjadi sesama di ambang batas ketidakberdayaan”. Saya akan
menyempitkan narasi kemanusiaan ini dalam konteks Kupang, yang saya bagi dalam dua
pengalaman pokok, yakni meninggalnya P. Yohanes Maria Vianey Lusi Emi, cmf (Senin, 22
Februari 2021) yang adalah mantan Delegatus Misionaris Claretian Indonesia-Timor Leste
selama periode 2014-2020. Kematiannya sangat memengaruhi kondisi formasi tempat saya
mengabdi, karena P. Vian adalah misionaris Indonesia pertama yang meninggal akibat
terkapar covid 19. Lebih dari itu, saya terlibat di dalam proses penguburan dan itu adalah
untuk pertama kalinya saya menyaksikan secara langsung bagaimana korban covid
disemayamkan. Dan yang kedua adalah pengalaman perjumpaan saya dengan para korban
badai Seroja yang meratap akibat kehilangan anggota keluarga dan lahan pertanian mereka
yang adalah satu-satunya sumber pendapatan yang dapat diandalkan.

2. Kematian P. Yohanes Maria Vianey Lusi Emi, CMF

Dari SK Dewan Delegasi Independen Para Misionaris Putera-putera Hati Tak Bernoda
Maria (CMF) Indonesia-Timor Leste yang saya terima pada malam pertama saya tiba di kota
Kupang adalah saya diutus untuk menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Pra
Novisiat Claret Kupang selama satu tahun, Rumah Formasi yang mempersiapkan para calon
misionaris (Aspiran-Postulan) masuk ke dalam jenjang Novisiat. Saya ditugasi untuk menjadi
Co-Formator membantu P. Yohanes Mange, CMF untuk mendampingi para Aspiran yang
berjumlah 30 orang.

Gambaran mengenai masa TOP saya cukup kompleks, menantang, dan pada saat yang
sama, mengharukan. Saya mendampingi anak-anak usia milenial (ada satu yang late vocation
Mateus Tnopo) di dalam masa Pandemi Corona, yang mana banyak hal berubah. Kami
lokdon total dari awal saya tiba di sana sampai akhir masa TOP karena Kota Kupang
berstatus zona hitam (dan ketigapuluh Aspiran sudah sejak Maret merasakan dampak
lokdon).

Sebagai pembina, saya banyak mempunyai waktu rutin untuk berdialog dengan setiap
calon. Hampir kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa mereka jenuh, bosan dan
sebagainya. Kejenuhan mereka bisa dimaklumi, mengingat mereka adalah angkatan pertama
yang merasakan formasi di masa pandemi di mana segala sesuatu dibatasi. Belum lagi
sebagai generasi digital yang memiliki idealisme kebebasan dikungkung dalam biara di masa
lokdon tanpa kunjungan umat ataupun aktivitas di luar komunitas. Perasaan gagal kerab
muncul kala beberapa formandi akhirnya memilih untuk mengundurkan diri oleh karena
pengalaman keterasingan dan kejenuhan yang diakibatkan pandemi covid. Di satu sisi, saya
bersyukur karena sampai akhir masa TOP tak satupun dari kami di komunitas yang terkapar.
Namun di sisi lain, efek psikologi yang ditimbulkannya amat terasa: banyak hal yang dibuat
seolah tidak berarti apa-apa. Kadang saya bertanya, apakah hanya kami para pembina yang
mencemaskan wabah Covid ini? Bukankah ini adalah persoalan global dan itu artinya harus
dihadapi secara bersama-sama? Apakah pengalaman penderitaan para korban covid yang
dimuat di media sama sekali tidak menarik empati para calon misionaris yang saya
dampingi?

Saya sadar, bahwa pertanyaan yang demikian wajar saja, mengingat kami di biara masih
berada dalam situasi aman. Apalagi di anatara kami tidak satupun yang terkena covid 19. Itu
belum termasuk dengan keadaan lingkungan sekitar biara yang seolah-olah meremehkan
kehadiran pandemi covid ini.

Pengalaman akan kepercayaan dan keraguan menghadapi wabah covid berpuncak pada
meninggalnya P. Yohanes Maria Vianey Lusi Emi, cmf (Senin, 22 Februari 2021). Kendati
beliau bukanlah dari komunitas kami namun efeknya amat terasa. P. Vian adalah misionaris
mantan Delegatus dan misionaris pertama kami yang wafat akobat terkapar covid 19 di
Rumah Sakit Carolus Boromeus-Kupang. Di satu sisi saya bersyukur karena jenazahnya tidak
dimakamkan dalam pekuburan umum untuk pasien covid namun diberi izin untuk
disemayamkan di dalam kebun biara. Namun itulah yang menghancurkan hati saya karena
harus menyaksikan secara langsung bagaimana seorang pasien covid disemayamkan.

Betapa saya menghormati beliau yang telah menjadi pemimpin kami selama dua periode.
Dia juga adalah misionaris angkatan awal yang visi dan misinya masih sangat dinantikan
apalagi untuk Delegasi Independen Indonesia Timor Leste yang usianya belum sampai tiga
puluh tahun. Saya tidak pernah membayangkan, sosok yang saya hormati itu dimakamkan
tanpa perayaan misa, hanya ibadat itupun tidak sampai tujuh menit, dan tidak satupun dari
kami para misionaris yang diizinkan untuk membesuk mayatnya ataupun mendoakannya.
Rasa bersalah ini lebih-lebih timbul karena gambaran yang timbul di hati saya bahwa P. Vian
menghadai kematiannya dalam kesendirian, kesepian. Kami sebagai adik-adiknya ingin
memberikan yang terbaik di sisa-sisa akhir hidupnya namun tidak dapat membuat apa-apa.
Saya akhirnya bertanya, apakah covid yang membunuh beliau? Jauh di dasar refleksi saya
adalah “Tidak”. Dia meninggal karena dia adalah manusia. Kesadaran ini membantu saya
pula untuk memahami situasi formandi yang saya dampingi. Mereka jenuh, marah, bosan
semuanya karena mereka hanyalah manusia.

3. Hidup Pasca Badai Seroja

Pengalaman ke dua adalah perjumpaan saya dengan para korban ganasnya Badai Seroja
yang menghantam kota Kupang tiga hari penuh. Hujan yang tak kunjung henti disertai badai
mengakibatkan pohon tumbang di mana-mana. Pada hari kedua, saya terlibat langsung dalam
proses evakuasi para korban banjir. Kami harus mengangkat mereka secara beramai-ramai
melewati air yang tingginya sampai di dada untuk dapat pergi ke tempat atau lokasi yang
lebih tinggi. Mereka yang saya maksudkan di sini adalah para lansia, anak-anak balita, pun
ibu-ibu hamil. Bahkan ada anak berusia sekitar delapan bulan yang basah kuyub karena
proses evakuasi tersebut berlangsung di tengah hujan yang lebat.

Saya ingat persis ketika kami semua tanpa mengenakan baju melupakan protokol
kesehatan covid 19 demi desakan kemanusiaan yang seolah-olah menggerogoti rasa
kemanusiaan saya. Perasaan saya semakin hancur ketika seorang mahasiswi Undana II (saya
tidak dapat menyebut namanya) adik dari salah seorang misionaris yang sekomunitas dengan
saya merenggang nyawa akibat tertindih pohon yang besar. Dia menderita selama beberapa
jam dari jam dua dini hari saat pohon itu tumbang sampai menemui ajal. Saya tidak bisa
membayangkan, anak itu tidak menangis sama sekali. Ketika keluarga mnghubungi pihak
rumah sakit, pihak rumah sakit tidak dapat berbuat apa-apa karena akses jalan yang mati
total. Dia meninggal dalam pangkuan adiknya sendiri. Tidak cukup di situ. Badai seroja
menghancurkan perumahan dan lahan pertanian warga. Saya melihat sendiri bagaimana padi-
padi yang sudah siap dipanen ditutup oleh pasir dan pemiliknya hanya memandang dengan
pasrah. Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang ibu datang kepada saya meminta nasi
yang kami bagikan dengan sebuah bokor sayur karena semua perabotnya dibabat habis oleh
banjir bandang. Badai Seroja membuat saya menjalani apa yang disebut Edward
Schillebeeckx (1914-2009) sebagai pengalaman kontras negatif (negative contrast
experience) atau suatu penderitaan personal yang kontras dengan situasi kebahagiaan
manusia. Schillebeeckx berpendapat pengalaman penderitaan dapat melahirkan daya ketika ia
mengobarkan protes dan perlawanan.1

4. Kesimpulan

Demikianlah dua pengalaman akbar di atas menjadi sumber pengalaman yang dapat
mendefinisikan pengalaman pastoral saya. Memang sangat subjektif karena itulah kelemahan
dari penelitian Participant Observation. Lebih dari itu, saya ingin menegaskan bahwa
“Narasi penderitaan bukanlah kisah-kisah tentang petualangan. Mereka adalah cerita tentang
kehancuran dan kematian. Itulah mengapa setiap orang yang terlibat di dalamnya, tidak akan
suka untuk berbicara tentangnya”. Rasanya saya sepaham dengan adagium Theodor W.
Adorno (1903-1969): Das perennierende Leiden hat soviel Recht auf Ausdruck wie der
Gemarterte zu brüllen2, “Penderitaan yang berkepanjangan mempunyai hak untuk
diungkapkan sebagaimana orang yang dirajam mempunyai hak untuk meraung.”

1
A. Sison, Screening Schillebeeckx: Theology and Third Cinema in Dialogue, (New York: Palgrave Macmillan,
2006), 133.
2
Theodor W. Adorno, Negative Dialektik, (Frankfurt: Suhrkamp Verlag,1966), 354.

Anda mungkin juga menyukai