Anda di halaman 1dari 24

Faidah Ayat Kursi

Diterjemahkan dari kitab Syarah Aqidah Al-Wasithiyyah


Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahulloh-;
hal 180

Perkataan Penulis:
‫ولهذا كان من قرأ هذه اآلية في ليلة؛ لم يزل عليه من هللا حافظ وﻻ يقربه‬
‫شيطان حتى يصبح‬
“Oleh karenanya, orang yang membaca ayat ini di malam
hari senan senantiasa dia akan mendapatkan penjagaan dari
Alloh dan tidak akan di dekati oleh syaiton”.

Penjelasan:
Ini adalah petikan dari hadits yang diriwayatkan Imam
Bukhari dari Abu Hurairah -radhiyallohu ‘anhu- pada kisah
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memintanya untuk
menjaga zakat dan syaiton mengambil zakat itu. Dan
ucapannya kepada Abu Hurairah: Jika engkau beranjak ke
tempat tidurmu; maka bacalah ayat kursi ‫هَّللا ُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو ْال َح ُّي‬
‫”“ ْالقَيُّو ُم‬Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah
dengan benar) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya)” sampai akhir ayat;
maka senantiasa engkau mendapat penjagaan dari Alloh dn
syaiton tidak akan mendekatimu sampai subuh. Lalu Abu
Hurairah mengkhabarkan hal itu kepada nabi -shollallohu
‘alaihi wa sallam-. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya
telah jujur kepadamu padahal dia adalah pendusta”.

Kandungan Ayat Kursyi


Dalam Permasalahan
Asma’ wa Shifat (bag 1)
Leave a reply
Diterjemahkan dari kitab Syarah Aqidah Al-Wasithiyyah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahulloh-;
hal 163 – 167
‫ حيث يقول‬،‫ وما وصف به نفسه في أعظم آية في كتاب هللا‬:‫قوله‬
ٰ
‫ت َو َما فِي‬ ِ ‫اوا‬ َ ‫هَّللا ُ اَل إِلَهَ إِاَّل هُ َو ْال َح ُّي ْالقَيُّو ُم ۚ اَل تَأْ ُخ ُذهُ ِسنَةٌ َواَل نَوْ ٌم ۚ لَّهُ َما فِي ال َّس َم‬
‫ض ۗ َمن َذا الَّ ِذي يَ ْشفَ ُع ِعن َدهُ إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه ۚ يَ ْعلَ ُم َما بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه ْم َو َما خَ ْلفَهُ ْم ۖ َواَل‬
ِ ْ‫اأْل َر‬
‫ض ۖ َواَل‬ َ
َ ْ‫ت َواأْل ر‬ ِ ‫اوا‬ ْ
َ ‫يُ ِحيطُونَ بِ َش ْي ٍء ِّم ْن ِعل ِم ِه إِاَّل بِ َما َشا َء ۚ َو ِس َع ُكرْ ِسيُّهُ ال َّس َم‬
‫يَئُو ُدهُ ِح ْفظُهُ َما ۚ َوه َُو ْال َعلِ ُّي ْال َع ِظي ُم‬

Perkataan penulis:
Dan sifat yang Alloh sifatkan diriNya dengannya yang
terdapat pada ayat yang paling agung dalam Kitabulloh;
ketika Alloh berfirman:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah dengan
benar) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang
dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”. (QS Al-Baqarah: 255)

Penjelasan:
Perkataan Penulis: “Dan sifat yang Alloh sifatkan diriNya
dengannya yang terdapat pada ayat yang paling agung
dalam Kitabulloh”. Ayat ini dinamakan dengan ayat kursi;
sebab di dalamnya disebutkan “Al-Kursi”: ‫ت‬ ِ ‫َو ِس َع ُكرْ ِسيُّهُ ال َّس َما َوا‬
‫ض‬ َ ‫أْل‬
َ ْ‫ۖ وا ر‬ َ (Kursi Allah meliputi langit dan bumi) (Al
Baqarah: 255) dan ini adalah ayat yang paling agung dalam
kitabulloh.
Dalil akan hal tersebut adalah: Bahwasannya Nabi
-shollallohu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada Ubai bin
Ka’ab: “Ayat apa yang paling agung dalam kitabulloh?”. Ia
menjawab: ‫“( ۚ هَّللا ُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو ْال َح ُّي ْالقَيُّو ُم‬Allah, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya))(QS Al
Baqarah: 255). lalu beliau menepuk dadanya dan bersabda:
“Semoga Alloh memudahkan ilmu untukmu wahai Abu
Mundzir”.
Yakni bahwasannya Nabi -sollallohu ‘alaihi wa sallam-
menegaskan bahwa ini adalah ayat yang paling agung
dalam kitabulloh -azza wa jalla-.

Dan dalam hadits ini ada dalil bahwa ayat-ayat Al-Qur’an


itu bertingkat-tingkat (keutamaannya); sebagaimana juga
yang ditunjukkan pada hadits tentang surat Al-Ikhlas. Ini
mebuktikan ada tingkatan keutamaan padanya. Kita
katakan: Adapun ditinjau dari sisi mutakallim (yang
berbicara); maka tidaklah bertingkat-tingkat (sisi
keutamaannya) sebab yang berfirman adalah satu yaitu
Alloh ‘azza wa jalla. Adapun ditinjau dari penunjukannya
dan pembahasannya maka bertingkat-tingkat. Surat Al-
Ikhlas yang di dalamnya ada pujian kepada Alloh ‘azza wa
jalla- dengan kandungannya berupa asma dan shifat (Alloh)
tidaklah seperti surat Al-Masad yang didalamnya terdapat
penjelasan keadaan Abu Lahab dari sisi bahasannya.
Demikian pula bertingkat-tingkat dari sisi pengaruhnya dan
kuatnya dalam uslub (gaya bahasa). Di antara ayat-ayat ada
yang engkau dapati ayat tersebut pendek namun di
dalamnya pengaruh yang kuat dalam hati dan nasehat. Dan
engkau dapati ayat-ayat lain yang lebih panjang darinya
namun tidak berisi sebagaimana ayat-ayat yang pendek tadi.
Misalnya firman Alloh -ta’ala-:
ُ‫ۚ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَنتُم بِ َد ْي ٍن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوه‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar….dst”. (QS Al Baqarah: 282)
Ayat ini bahasannya mudah dan temanya tentang muamalah
yang terjadi di antara manusia namun pengaruh di dalamnya
tidaklah seperti firman Alloh -ta’ala-:
ِ َّ‫ُور ُك ْم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ۖ فَ َمن ُزحْ ِز َح ع َِن الن‬
‫ار‬ َ ‫ت ۗ َوإِنَّ َما تُ َوفَّوْ نَ أُج‬
ِ ْ‫س َذائِقَةُ ْال َمو‬
ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
ُ
ِ ‫ع ْال ُغر‬
‫ُور‬ ُ ‫َوأ ْد ِخ َل ْال َجنَّةَ فَقَ ْد فَازَ ۗ َو َما ْال َحيَاةُ ال ُّد ْنيَا ِإاَّل َمتَا‬
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan” (QS Ali Imran: 185).
Ayat ini mengandung makna-makna yang agung. Di
dalamnya ada peringatan, nasehat, motivasi dan ancaman.
Tidaklah seperti ayat utang piutang misalnya bersamaan
bahwa ayat utang piutang lebih panjang darinya.

 Perkataan Penulis: Ketika Alloh berfirman: َ‫هَّللا ُ اَل إِ ٰلَه‬


‫“ إِاَّل ه َُو‬Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah dengan benar) melainkan Dia”. Dalam
ayat ini Alloh mengkabarkan bahwa Dia Esa dalam
Uluhiyah. Demikian pula firmanNya: ‫اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو‬
“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah dengan
benar) melainkan Dia”; karena kalimat ini
mengandung pembatasan. Dan metode penafikan
dan penetapan dalam ayat ini adalah bentuk
pembatasan yang paling kuat.
 Dan firmanNya: ‫“ ْال َح ُّي ْالقَيُّو ُم‬Yang Hidup kekal lagi
terus menerus mengurus (makhluk-Nya)”. Kata Al-
Hayyu yaitu yang memiliki kehidupan yang
sempurna, mencakup seluruh sifat-sifat
kesempurnaan. Tidak didahului ketidakadaan dan
tidak diikuti kepunahan; dan tidak ditimpa
kekurangan dari segala sisi.
Dan Al-Hayyu di antara nama-nama Alloh dan
terkadang dimutlakkan kepada selain Alloh. Alloh
ta’ala berfirman:
ِ ِّ‫ي ِمنَ ْال َمي‬
‫ت‬ َّ ‫ي ُْخ ِر ُج ْال َح‬
” Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati ”
(QS Al-An’am: 95)
Namun bukanlah kehidupan sebagaimana kehidupan
makhluk. Persamaan dalam nama tidak
mengharuskan sama dengan yang dinamai.
“Al-Qayyum” ( ‫)القَيُّو ُم‬dengan ْ wazan “Fai’uul”
merupakan shigah mubalaghah yang diambilkan
dari kata “Qiyam”.
Makna ‫ ْالقَيُّو ُم‬yakni yang berdiri sediri. Berdiri
dengan diriNya sendiri (Qiyamuhu binafsihi)
mengharuskan ketidakbutuhanNya kepada segala
sesuatu. Tidak butuh kepada makan dan minum dan
selainnya. Dan selain Alloh tidak mampu untuk
berdiri secara mandiri namun dia membutuhkan
Alloh -azza wajalla- dalam penciptaannya,
perbekalannya dan kelengkapannya.
Diantara makna ‫ ْالقَيُّو ُم‬juga bahwa Dia mengurus
selainNya. Sebagaimana firman Alloh -ta’ala-:
‫ت‬ ٍ ‫ۗ أَفَ َم ْن ه َُو قَائِ ٌم َعلَ ٰى ُك ِّل نَ ْف‬
ْ َ‫س بِ َما َك َسب‬
“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri
terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang
tidak demikian sifatnya)?” (QS Ar-Ra’d:33)
dan disini ada lawan dari pernyataan ini yang
dihilangkan yang taqdirnya adalah: sama dengan
yang tidak demikian (sifatnya)? Dan yang menjaga
setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya adalah
Alloh -azza wa jalla-. Oleh karenanya para ulama
berkata: “Al-Qoyyum yaitu yang berdiri tegak
dengan diriNya sendiri dan juga mengurus
selainNya”. Jika Dia mengurus selainNya maka
mengharuskan bahwa selainNya membutuhkanNya.
Alloh -ta’ala- berfirman:
‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أَن تَقُو َم ال َّس َما ُء َواأْل َرْ ضُ بِأ َ ْم ِر ِه‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
berdirinya langit dan bumi dengan perintah-Nya.(QS
Rum: 25)
Dengan demikian maka Dia adalah yang sempurna
sifat-sifatNya, sempurna kepemilikanNya dan
perbuatanNya.
Kedua nama ini adalah nama yang agung yang
apabila Alloh diminta dengan menyebutnya maka
Dia mengabulkannya. Dengan demikian semestinya
bagi seseorang dalam do’anya bertawasul dengan
asma ini dengan mengatakan: Ya Hayyu Ya
Qayyum! Dan kedua asma ini telah disebutkan
dalam Al-Qur’an Al-‘Aziz dalam tiga tempat: yang
pertama di ayat yang kita bahas ini, kedua di surat
Ali imran:
‫هَّللا ُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل ه َُو ْال َح ُّي ْالقَيُّو ُم‬
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus makhluk-Nya”. (QS Ali Imran: 2)
Ketiga di surat Thaha:
‫اب َم ْن َح َم َل ظُ ْل ًما‬ َ َ‫ُّوم ۖ َوقَ ْد خ‬ ِ ‫ت ْال ُوجُوهُ لِ ْل َح ِّي ْالقَي‬
ِ َ‫َو َعن‬
“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri)
kepada Tuhan Yang Hidup Kekal lagi senantiasa
mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah
merugilah orang yang melakukan kezaliman”. (QS
Thaha: 111)

Kedua nama ini di dalamnya mengandung kesempurnaan


dzat dan kesempurnaan kekuasaan. Kesempurnaan dzat
dalam perkataan: Al-Hayyu (yang hidup kekal) dan
kesempurnaan kekuasaan dalam lafadz Al-Qayyum (yang
tegak mengurus makhlukNya); sebab Dia mengurus segala
sesuatu dan segala sesuatu membutuhkanNya.

Kandungan Ayat Kursyi


Dalam Permasalahan
Asma’ wa Shifat (bag 2)
Leave a reply
Diterjemahkan dari kitab Syarah Aqidah Al-Wasithiyyah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahulloh-;
hal 167 – 169

 FirmanNya:
‫ۚ اَل تَأْ ُخ ُذهُ ِسنَةٌ َواَل نَوْ ٌم‬
“tidak ditimpa kantuk dan tidak tidur”
As-Sinnah maksudnya adalah An-Nuas (ngantuk);
yakni permulaan tidur. Dan tidak dikatakan: La
yanam (tidak tidur); sebab tidur itu dengan ikhtiyar
sedangkan ditimpa (kantuk) adalah dengan paksaan.
Tidur adalah sifat naqis (kekuranga bukan sempurna
-pent). nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
‫إن هللا ﻻ ينام وﻻ ينبغي له أن ينام‬
“Sesungguhnya Alloh tidaklah tidur dan tidak layak
bagiNya untuk tidur” (HR Muslim 179 dari hadits
Abu Musa Al-‘Asyari).

Sifat ini termasuk sifat yang ternafikkan (ditiadakan). Dan


telah berlalu penjelasannya bahwa sifat yang ternafikkan
mestilah mengandung sifat yang ditetapkan, yaitu
kesempurnaan sifat kebalikannya. Dan sifat kesempurnaan
dalam firmannya:
‫ۚ اَل تَأْ ُخ ُذهُ ِسنَةٌ َواَل نَوْ ٌم‬
“tidak ditimpa kantuk dan tidak tidur”
yaitu kesempurnaan Al-Hayat (hidup) dan Al-Qayyumiyah
(kemandirian dan kepengurusan terhadap makhlukNya
-pent). Dengan kesempurnaan hidupNya Dia tidak
membutuhkan tidur; dan dari kesempurnaan
QoyyumiyahNya dia tidak tidur; sebab tidur hanyalah
dibutuhkan oleh makhluk hidup sebagai (bentuk)
kekurangannya. Sebab makhluk membutuhkan tidur untuk
istirahat dari kelelahan sebelumnya dan mengembalikan
kekuatan untuk beraktivitas selanjutnya. Tatkala penduduk
surga sempurna hidupnya maka mereka tidak tidur
sebagaimana disebutkan dalam atsar-atsar yang shahih.
Namun senadainya ada yang berkata: Tidur itu bagi manusa
adalah sempurna, oleh karenanya jika manusia tidak tidur
dianggap sakit.

Maka kita katakan: Seperti makan bagi manusia adalah


sempurna, seandainya tidak makan makan dianggap sakit.
Namun ini adalah kesempurnaan di satu sisi dan
kekurangan di sisi lain. Sempurna sebagai pertanda bagi
sehatnya badan dan kebugarannya namun bentuk
kelemahannya karena badan membutuhkannya. Dan ini
pada hakekatnya adalah bentuk kekurangan.

Dengan demikian tidaklah setiap kesempurnaan yang relatif


pada makhluk adalah kesempurnaan juga bagi A-Kholiq.
Sebagaimana juga tidaklah kesempurnaan bagi Al-Kholiq
adalah kesempurnaan juga bagi makhluk. Makan, minum,
dan tidur adalah kesempurnaan bagi makhuk namun sifat
naqis bagi Al-Kholik. Oleh karenanya Alloh -ta’ala-
berfirman tentang diriNya:
ْ ‫ُط ِع ُم َواَل ي‬
‫ُط َع ُم‬ ْ ‫ۗ وه َُو ي‬
َ
“Dan Dia memberi makan dan tidak diberi makan”(QS Al-
An’am: 14)

FirmanNya:
ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬
‫ض‬ َ ‫لَّهُ َما فِي ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”.
Lafadz ُ‫ لَّه‬adalah khobar muqoddam (khabar yang
didahulukan). Dan ‫ َما‬adalah mubtada’ yang diakhirkan.
Maka pada kalimat ini ada pembatasan, formatnya adalah
dengan mendahulukan bagian kalimat yang harusnya
diakhirkan yaitu khobar. Huruf lam pada ُ‫ لَّه‬adalah
menunjukkan kepemilikan yang sempurna tanpa ada
lawanNya. Dan ‫ت‬ ِ ‫“ َما فِي ال َّس َما َوا‬Apa-apa yang ada di langit”.
Yaitu para malaikat, jin dan lain sebaginya dari hal-hal yang
kita tidak tahu. ‫ض‬ ِ ْ‫“ َو َما فِي اأْل َر‬Dan apa-apa yang ada di
bumi”; berupa makhluk-makhluk seluruhnya, di antaranya
hewan-hewan dan yang bukan hewan.
* FirmanNya ‫ت‬ ِ ‫اوا‬َ ‫( ال َّس َم‬langit-langit) memberikan informasi
bahwa langit itu berbilang; dan memang demikian adanya.
Dan Al-Qur’an telah menginformasikan bahwa langit itu
ada tujuh:
‫ش ْال َع ِظ ِيم‬
ِ ْ‫ت ال َّسب ِْع َو َربُّ ْال َعر‬
ِ ‫قُلْ َمن رَّبُّ ال َّس َما َوا‬
Katakanlah: “Siapakah Pemilik langit yang tujuh dan
Pemilik ‘Arsy yang besar?” (QS Al-Mukminun: 86)
Dan bumi-bumi diisyaratkan Al-Qur’an bahwa jumlahnya
tujuh tanpa penjelasan; dan dijelaskan oleh As-Sunnah.
Alloh ta’ala berfirman;

‫ض ِم ْثلَه َُّن‬
ِ ْ‫ت َو ِمنَ اأْل َر‬ َ َ‫هَّللا ُ الَّ ِذي خَ ل‬
ٍ ‫ق َس ْب َع َس َما َوا‬
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan bumi dengan
semisalnya”.(QS Ath-Tholaq: 12)
Semisalnya dalam jumlah dan bukan dalam sifat. Dan
dalam hadits Nabi -‘alaihisholatu wa salam-:
‫من اقتطع شبرا من االرض ظلما طوقه هللا به يوم القيامة من سبع أرضين‬
“Barang siapa merampas sejengkal tanah secara dzalim
niscaya Aloh akan mengalungkannya pada hari kiamat
dengan tujuh lapis bumi”. (HR Bukhari 2452 dan Muslim
1610 dari Sa’id bin Zaid -radhiyallohu ‘anhu).

Kandungan Ayat Kursyi


Dalam Permasalahan
Asma’ wa Shifat (bag 3)
Leave a reply

Diterjemahkan dari kitab Syarah Aqidah Al-Wasithiyyah


Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahulloh-;
hal 169 – 170

 FirmanNya: ‫( َمن َذا الَّ ِذي يَ ْشفَ ُع ِعن َدهُ إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه‬Siapakah yang
dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-
Nya?). Lafadz ‫ َمن َذا‬adalah isim istifham (kata
tanya). Atau kita katakan: ‫ َمن‬isim istifham dan ‫َذا‬
mulghah (diabaikan). Dan tidak benar dikatakan
bahwa ‫ َذا‬adalah isim maushul pada susunan seperti
ini; sebab makna kalimat menjadi ‫َمن الَّ ِذي الَّ ِذي‬
(siapakah yang yang). Ini tidaklah benar.
Dan firmanNya ُ‫( َمن َذا الَّ ِذي يَ ْشفَ ُع ِعن َده‬Siapakah yang
dapat memberi syafa’at di sisi Allah). Syafaat secara
bahasa adalah enjadikan yang ganjil menjadi genap.
Alloh ta’ala berfirman: ‫( والشفع والوتر‬yang genap dan
yang ganjil). (QS Al-Fajri:3). Sedangkan secara
istilah yaitu wasilah kepada orang lain dalam
memperoleh manfaat ataupun menolak mudharat;
misal: Syafaat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-
kepada penduduk padang mahsyar agar Alloh
memutuskan perkara mereka: ini adalah syafaat
untuk menolak mudharat.

Sedangkan syafaat beliau kepada penduduk surga agar


Alloh memasukkannya ke surga adalah (syafaat) untuk
mendapatkan manfaat.

Dan firmanNya: ُ‫” ِعن َده‬di sisiNya” maksudnya adalah di sisi


Alloh.

Lafadz ‫( إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه‬kecuali dengan izinNya); yakni izinNya


untuk dia. Dan ini memberi makna akan adanya syafaat;
namun dengan syarat dia diberi izin. Sisi pendalilannya
seandainya tidak ada syafaat maka istisna (pengecualian)
pada firmanNya “kecuali dengan izinNya” maka sia-sia
tidak ada faidahnya.

Alloh menyebutkan setelah firmanNya: ‫ت‬ ِ ‫لَّهُ َما فِي ال َّس َما َوا‬
“BagiNya apa-apa yang ada di langit…” memberikan dalil
bahwa kekuasaan ini adalah khusus bagi Alloh -azza wa
jalla-; bahwa Dialah pemilik kekuasaan yang sempurna;
artinya tidak ada seorang pun yang mampu mengatur dan
tidak pula memberikan syafaat yang baik kecuali dengan
izinNya. Ini adalah dari kesempurnaan Rububiyah dan
kekuaaanNya -azza wa jalla-.

Kalimat ini juga memberikan dalil bahwa Alloh memiliki


idzn (izin); dan izin secara bahasa adalah i’lam
(pemberitahuan). Alloh -ta’ala- berfirman:
‫ان ِّمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه‬ ٌ ‫َوأَ َذ‬
“Dan (inilah) suatu permakluman(pemberitahuan) daripada
Allah dan Rasul-Nya” (QS At-Taubah: 3)
yakni pemberitahuan dari Alloh dan rasulNya.
Maka makna ‫”بِإ ِ ْذنِ ِه‬dengan izinNya” (pada ayat kursi di atas
-pent)yaitu pemberitahuan dariNya bahwa Dia ridha dengan
hal tersebut.
Di sana ada syarat lain bagi syafaat, di antaranya: yaitu
bahwa Alloh ridho kepada orang yang memberi syafaat dan
yang diberi syafaat. Alloh -ta’ala- berfirman:
‫َض ٰى‬ َ ‫َواَل يَ ْشفَعُونَ إِاَّل لِ َم ِن ارْ ت‬
“dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada
orang yang diridhai Allah” (QS Al-Anbiya’: 28)
Dan firmanNya:
ِ ‫يَوْ َمئِ ٍذ اَّل تَنفَ ُع ال َّشفَا َعةُ إِاَّل َم ْن أَ ِذنَ لَهُ الرَّحْ ٰ َمنُ َو َر‬
‫ض َي لَهُ قَوْ اًل‬
“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at)
orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin
kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya”. (Thaha:
109)

Dan di sana ada suatu ayat yang tiga syarat tersebut:


‫د أَن يَأْ َذنَ هَّللا ُ لِ َمن‬¹ِ ‫ت اَل تُ ْغنِي َشفَا َعتُهُ ْم َش ْيئًا إِاَّل ِمن بَ ْع‬ ٍ َ‫َو َكم ِّمن َّمل‬
ِ ‫ك فِي ال َّس َما َوا‬
]٥٣:٢٦[ ‫ض ٰى‬ َ ْ‫يَ َشا ُء َويَر‬
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka
sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah
mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai
(Nya)”.(QS An-Najm: 26)
yakni Alloh ridho kepada pemberi syafaat dan yang diberi
syafaat; sebab dibuangnya ma’mul (obyek) menunjukkan
pada keumuman.
Apabila ada yang berkata: Apa manfaat dari syafaat jika
Alloh -ta’ala- telah mengetahui bahwa orang yang akan
diberi syafaat akan selamat?
Jawabnya: Sesungguhnya Alloh -subhanahu wa ta’ala-
memberi izin dengan syafaat bagi orang yang diberi syafaat
sebagai pemuliaan dan mendapatkan maqam mahmud
(kedudukan yang terpuji).

 FirmanNya:
‫يَ ْعلَ ُم َما بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه ْم َو َما خَ ْلفَهُ ْم‬
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka”.
Al-Ilmu (ilmu) yaitu pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana kenyataannya dengan pengetahuan
yang pasti. Dan Alloh ‘azza wa jalla “mengetahui
apa-apa yang ada di hadapan mereka” yaitu masa
depan “dan apa-apa yang dibelakang mereka” yaitu
yang telah terjadi. Dan kata ‫ ما‬dengan bentuk umum
mencakup semua yang telah terjadi dan apa yang
akan terjadi, dan mencakup pula perbuatanNya dan
perbuatan-perbuatan hamba.

 Kandungan Ayat Kursyi


Dalam Permasalahan
Asma’ wa Shifat (bag 4)
 Leave a reply
 Diterjemahkan dari kitab Syarah Aqidah Al-
Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-
Utsaimin -rahimahulloh-; hal 169 – 170

 *Dan firmanNya: ‫َواَل يُ ِحيطُونَ بِ َش ْي ٍء ِّم ْن ِع ْل ِم ِه إِاَّل بِ َما َشا َء‬


“dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.”
Dhomir pada kata َ‫ يُ ِحيطُون‬kembalinya kepada
makhluk yang ditunjukkan oleh firmanNya:
ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬
‫ض‬ َ ‫لَّهُ َما فِي ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi”.
Yakni tiada seorang makhluk pun di langit dan di
bumi yang mengetauhui sesuatu pun dari ilmu Alloh
kecuali dengan apa yang Dia kehendaki.

 FirmanNya: ‫“ ِّم ْن ِع ْل ِم ِه‬dari ilmuNya”. Bisa jadi


maksudnya ilmu tentang dzatNya dan shifat-
shifatNya. Yakni bahwasannya kita tidak
mengetahui sesuatu pun tentang Alloh, dzatNya dan
shifat-shifatNya kecuali dengan apa yang Dia
kehendaki dan yang Dia ajarkan kepada kita. Dan
bisa jadi pula bahwa maksud ilmu di sini bermakna
maklum (yang diketahui). Yakni mereka (para
makhluk) tidak mampu menjangkau sesuatu pun
dari pengetahuanNya; yaitu dari apa yang Dia
ketahui kecuali dengan apa yang Dia kehendaki.
Kedua makna ini benar. Dan kita katakan: Makna
yang kedua lebih umum; karena apa yang
diketahuinya masuk di dalamnya ilmuNya tentang
dzatNya dan sifat-sifatNya dan yang selainnya.

 FirmanNya: ‫(ۚ إِاَّل بِ َما َشا َء‬melainkan apa yang


dikehendaki-Nya); yakni kecuali yang Dia
kehendaki dalam perkara yang Dia ajarkan kepada
mereka.
Dan Alloh -ta’ala- telah mengajarkan kepada kita
segala sesuatu yang banyak tentang asma-asmaNya
dan sifat-sifatNya dan juga mengenai hukum-hukum
kauniyah dan hukum-hukum syar’iyyah. Namun
yang banyak ini (yang telah dijelaskan oleh Alloh
ini -pent) dibandingkan dengan apa yang
diketahuiNya adalah sedikit, sebagaimana firman
Alloh -ta’ala-:
‫وح ۖ قُ ِل الرُّ و ُح ِم ْن أَ ْم ِر َربِّي َو َما أُوتِيتُم ِّمنَ ْال ِع ْل ِم إِاَّل‬ َ َ‫َويَسْأَلُون‬
ِ ُّ‫ك ع َِن الر‬
‫قَلِياًل‬
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”. (QS Al-Isra’: 85)
FirmanNya:
‫ض‬َ ْ‫ت َواأْل َر‬ َ ‫ۖ َو ِس َع ُكرْ ِسيُّهُ ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi”.
Maksudnya mencakupi; yakni bahwa kursiNya
melingkupi langit-langit dan bumi, dan lebih besar
darinya sebab jika tidaklah lebih besar tidaklah bisa
melingkupinya.
Dan Kursi; Ibnu Abbas -radhiyallohu ‘anhuma-
berkata: yaitu tempat kedua Kaki Alloh -azza wa
jalla-1), dan bukanlah maksudnya ‘Arsy. Namun
‘Arsy lebih besar dari pada kursi. Dan telah datang
dari nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
‫أن السماوات والسبع واألرضين السبع بالنسبة للكرسي كحلقة ألقيت‬
‫ وأن فضل العرش على الكرسي كفضل الفالة‬،‫في فالة من األرض‬
‫على هذه الحلقة‬
“Sesungguhnya langit yang tujuh dan bumi yang
tujuh dibandingkan dengan kursi Alloh seperti
gelang yang engkau lemparkan ke tengah padang
pasir. Dan sesungguhnya besarnya Arsy
dibandingkan dengan besarnya kursi seperti
besarnya padang pasir dengan gelang tersebut”2)

 Ini menunjukkan akan besarnya makhluk-makhluk


ini. Dan besarnya makhluk menunjukkan akan
agungnya penciptanya.

 Firman Alloh -ta’ala-: ‫“ َواَل يَئُو ُدهُ ِح ْفظُهُ َم‬Dan Allah


tidak merasa berat memelihara keduanya”. Yakni:
tidak memberatkan dan tidak menyusahkanNya
dalam memelihara langit dan bumi.
Ini adalah sifat manfiyah (yang ditiadakan). Ada pun
sifat Subutiyah yang ditunjukkan oleh penafiian ini
adalah kesempurnaan qudrohNya (kemampuanNya),
ilmuNya, kekuatanNya dan rahmatNya.

 FirmanNya: ‫“ َوهُ َو ْال َعلِ ُّي ْال َع ِظي ُم‬dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”. Lafadz ‫ ْال َعلِ ُّي‬dngan wazan fa’iil
dan ini adalah sifat musyabahah; sebab ketinggian
Alloh -azza wajalla- senantiasa ada pada DzatNya.
Perbedaan antara sifat musyabahah dan isim fail
yaitu bahwa isim fail adalah kejadian yang tiba-tiba
yang memungkinkan untuk lenyap, sedangkan sifat
musyabahah senantiasa dan terus menerus tersifati
dengannya.
Ketinggian Alloh ada dua: Ketinggian dzatNya dan
ketinggian sifatNya.
Ada pun ketinggian dzatNya maknanya bahwa Dia
berada di atas segala sesuatu dengan DzatNya dan
tidak ada sesuatu pun di atasNya dan tidak ada
sesuatu pun yang sejajar denganNya.
Adapun ketinggian shifat-shifatNya maka
sebagaimana yang Alloh firmankan:
‫ۚ َوهَّلِل ِ ْال َمثَ ُل اأْل َ ْعلَ ٰى‬
“dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi;
yakni bahwa sifat-sifatNya seluruhnya adalah tinggi
tidak ada padanya kekurangan dari sisi mana pun.

 Adapun ‫ ْال َع ِظي ُم‬maka ini juga shifat musyabahah dan


maknanya adalah ‘yang memiliki keagungan’ yaitu
kekuatan dan kesombongan dan yang serupa dengan
makna-makna itu yang dipahami dari penunjukkan
(makna) kata ini.
Ayat ini mengandung nama Alloh yang lima yaitu:
Alloh, Al-Hayyu, Al-Qoyyum, Al-‘Aliyyu dan Al-
Adzim.

 Note:
1).(Diriwayatkan Abdulloh bin Imam Ahmad dalam
Kitab As-Sunnah no. 586; Ibnu Abi Syaibah dalam
Al’Arsy no. 61; Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid
no. 248; Al-Hakim dalam Mustadrak (2/282) dan dia
berkata sesuai dengan syarat Asy-Syaikhain namun
keduanya tidak mengeluarkannya; Ad-Daruquthny
dalam as-Shifat no. 36 dari Ibnu Abbas secara
marfu’; dan dikuatkan oleh Al-Haitsami dalam
Majmu’ Az-Zawaid (2/323) oleh Ath-Thabroni dan
dia berkata: perawinya perawi shahih; dan Al-
Albani berkata dalam Mukhtashor Al-Uluw no. 45:
Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah).
2). (HR Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Arsy no
58 dan Al-Baihaqy dalam Asma’ wa Shifat 862 dari
Abu Dzar -radhiyallohu ‘anhu dan dishahihkan Al-
Albani dalam As-Silsilah As-Shohihah no 109; dan
dia berkata: Tidak shahih hadits yang marfu’ dari
nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tentang sifat
Arsy kcuali hadits ini)

 Kandungan Ayat Kursyi


Dalam Permasalahan
Asma’ wa Shifat (bag 5)
 Leave a reply
 Diterjemahkan dari kitab Syarah Aqidah Al-
Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-
Utsaimin -rahimahulloh-; hal 173 – 175

 Dan (ayat ini) mengandung 26 dari shifat-shifat


Alloh. Di antara 5 shifat terkandung dalam 5 nama
tadi.
KEENAM: KeesaanNya dalam Uluhiyah.
KETUJUH: Peniadaan mengantuk dan tidur dari
diriNya karena kesempurnaan Hayyah dan
Qoyyumiyah (kemandirian & mengurusi seluruh
makhlukNya).
KEDELAPAN: Keumuman kekuasaannya;
berdasarkan firmanNya:
ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬
‫ض‬ َ ‫ۗ لَّهُ َما فِي ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi”
KESEMBILAN: Pengesaan Alloh -azza wa jalla-
dalam kepemilikan. Kita menyimpulkannya dari
didaahulukannya khobar.

 KESEPULUH: kuat dan sempurnanya otoritasNya;


berdasarkan firmanNya:
‫َمن َذا الَّ ِذي يَ ْشفَ ُع ِعن َدهُ إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه‬
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah
tanpa izin-Nya?”
KESEBELAS: penetapan al-‘indiyyah, dan ini
menunjukkan bahwa Alloh tidak berada di setiap
tempat. Ini bantahan terhadap Hululiyyah.
KEDUABELAS: penetapan adanya izin dari Alloh
berdasarkan firmanNya: ‫( إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه‬kecuali dengan
izinNya).
KETIGABELAS: keumuman ilmu Alloh -ta’ala-
berdasarkan firmanNya:
‫ۖ يَ ْعلَ ُم َما بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه ْم َو َما خَ ْلفَهُ ْم‬
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka”
KEEMPATBELAS DAN KELIMABELAS: Bahwa
Alloh -subhanahu wa ta’ala- tidak lupa apa yang
telah terjadi; berdasarkan firmanNya: ‫( َو َما َخ ْلفَهُ ْم‬apa
yang ada dibelakang mereka) dan mengetahui apa
yang akan terjadi berdasarkan firmanNya: ‫َما بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه ْم‬
(apa yang ada di depan mereka).
KEENAMBELAS: sempurnanya keagungan Alloh;
oleh karenanya makhluk tidak mampu untuk
mencapainya.
KETUJUHBELAS: Penetapan kehendak Alloh,
berdasarkaa firmanNya ‫( إِاَّل بِ َما َشا َء‬kecuali dengan apa
yang Dia kehendaki).
KEDELAPANBELAS: penetapan kursi, yaitu
tempat kedua kaki.
KESEMBILAN BELAS, DUAPULUH DAN DUA
PULUH SATU: penetapan keagungan, kekuatan dan
kekuasaanNya; berdasarkan firmanNya: ُ‫َو ِس َع ُكرْ ِسيُّه‬
‫ض‬َ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫“ ال َّس َما َوا‬Kursi Allah meliputi langit dan
bumi”; sebab besarnya makhluk menunjukkan
kebesaran penciptannya.
KEDUAPULUHDUA, DUA PULUH TIGA DAN
DUA PULUH EMPAT: sempurnanya ilmuNya,
rahmatNya dan penjagaanNya; berdasarkan
firmanNya: ۖ ‫“ َواَل يَئُو ُدهُ ِح ْفظُهُ َما‬Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya”.

 KEDUAPULUHLIMA: penetapan ketinggian Alloh


berdasarkan firmanNya: ‫( َوهُ َو ْال َعلِ ُّي‬dan Alloh adalah
Maha Tinggi).
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa
Alloh -subhanahu wa ta’ala- tinggi dengan Dzat-
Nya. Dan ketinggian Alloh ini adalah termasuk sifat
Dzatiyh yang azali dan abadi.

 Dan dua kelompok telah menyelisihi Ahlus Sunnah


dalam masalah tersebut: Satu kelompok yang
mengatakan: Sesungguhnya Alloh berada di setiap
tempat dengan Dzat-Nya! Dan kelompok yang lain
mengatakan: sesungguhnya Alloh tidak di atas alam,
tidak di bawahnya, tidak pula di dalam alam, tidak
di kanan, tidak di kiri, tidak terpisah dari alam dan
tidak bersatu dengan alam!

 Mereka yang mengatakan bahwa Alloh ada di setiap


tempat berdalil dengan firman Alloh -ta’ala-:
‫ض ۖ َما يَ ُكونُ ِمن‬ ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬ ِ ‫أَلَ ْم تَ َر أَ َّن هَّللا َ يَ ْعلَ ُم َما فِي ال َّس َما َوا‬
َ
‫نَّجْ َو ٰى ثَاَل ثَ ٍة إِاَّل هُ َو َرابِ ُعهُ ْم َواَل خَ ْم َس ٍة إِاَّل ه َُو َسا ِد ُسهُ ْم َواَل أ ْدن َٰى ِمن‬
َ ِ‫ۖ ٰ َذل‬
‫ك َواَل أَ ْكثَ َر إِاَّل ه َُو َم َعهُ ْم أَ ْينَ َما َكانُوا‬
 “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di
bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah
keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara
jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia berada bersama mereka di manapun
mereka berada”. (QS Al-Mujadilah: 7)
dan berdalil pula dengan firman Alloh -ta’ala-:
ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْستَ َو ٰى َعلَى ْال َعر‬
‫ش‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬ َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ َ َ‫ه َُو الَّ ِذي خَ ل‬
ِ ْ‫ۚ يَ ْعلَ ُم َما يَلِ ُج فِي اأْل َر‬
ِ َ‫ض َو َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا َو َما ي‬
‫نز ُل ِمنَ ال َّس َما ِء َو َما‬
‫صي ٌر‬ ُ ‫هَّللا‬ ُ ُ َ ُ
ِ َ‫يَ ْع ُر ُج فِيهَا ۖ َوهُ َو َم َعك ْم أ ْينَ َما كنت ْم ۚ َو ُ بِ َما تَ ْع َملونَ ب‬
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas
‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang
turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya.
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
(QS Al-Hadid: 4)
Berdasarkan ini; maka Alloh tidaklah tinggi dengan
Dzat-Nya tetapi tinggi menurut mereka adalah
ketinggian sifat.

 Adapun mereka yang mengatakan: Sesungguhnya


Alloh tidaklah disifati dengan arah. Mereka berkata:
Sebab jika kita mensifatinya dengan hal itu tentulah
Alloh itu jism (badan); dan jism itu penyerupaan dan
ini berkonsekwensi tamtsil (menyerupakan Alloh
dengan makhluk). Karena hal ini maka kami
mengingkari bahwa Dia ada di arah mana saja.
Namun kita membantah kedua golongan ini dari dua
sisi:
Sisi Pertama: Salahnya pendalilan mereka.
Sisi Kedua: Penetapan kebalikan dari perkataan
ereka dengan dalil-dalil yang qath’i.

 (I) PERTAMA: Kita katakan kepada orang yang


menganggap bahwa Alloh dengan dzatNya ada di
setiap tempat: klaim kamu ini klaim yang batil.
Terbantahkan oleh dalil naqli dan aqli (akal):

 Adapun dalil naqli: Sesungguhnya Alloh -ta’ala-


menetapkan untuk diriNya bahwa diriNya AL-‘Aliy
(Yang Maha Tinggi). Dan ayat yang engkau jadikan
dalil itu tidaklah menunjukkan akan klaimmu (Alloh
ada di mana-mana) sebab ma’iyyah (kebersamaan)
tidak mengharuskan hulul (manunggal) dalam setiap
tempat. Tidakkah engkau mendengar perkataan
orang Arob: Rembulan bersama kita, sedangkan
tempatnya ada di langit? Dan seseorang berkata:
Istriku bersamaku; padahal dia di timur dan istrinya
di barat? Dan seorang komandan berkata kepaada
pasukannya: Berangkatlah kalian ke medan perang
dan aku bersama kalian; padahal dia berada di ruang
kendali dan pasukannya ada di medan perang.
Tidaklah ma’iyah (kebersamaan) itu
berkonsekwensi yang menemani dan ditemani ada di
stu tempat selamanya. Ma’iyyah terbatasi maknanya
tergantung pada penyandarannya. Maka terkadang
kita katakan: Susu ini padanya ada air. Ini adalah
ma’iyyah (kebersamaan) yang mengharuskan
percampuran. Dan seseorang berkata: Hartaku ada
padaku; padahal hartanya ada di rumah tidak
dibawanya. Dan ia berkata ketika membawa
hartanya: hartaku ada padaku; dan hartanya dia
bawa. Maka ini adalah satu kata namun berragam
maknanya tergantung penyandarannya. Berdasarkan
hal ini kita katakan: Kebersamaan Alloh -azza wa
jalla- dengan makhluknya sesuai dengan
kemulianNya (Alloh subhanahu wa ta’ala)
sebagaimana dengan kseluruhan sifat-sifatNya.
Maka ini adalah kebersamaan yang sempurna dan
hakiki namun Dia ada di langit.

 Adapun dalil aqli akan bathilnya perkataan mereka;


maka kita katakan: ketika aku berkata:
Sesungguhnya Alloh bersamamu di setiap tempat.
Maka ini mengandung konsekwensi yang bathil.
Konsekwensinya adalah:

 Pertama: Bisa jadi berbilang atau terbagi-bagi. Ini


adalah konsekwensi yang batil tanpa diragukan lagi.
Dan bathilnya konsekwensi (pemikiran mereka)
menunjukkan akan bathilnya pemikiran mereka.

 Kedua: kita katakan: tatkala aku katakan:


Sesungguhnya Alloh bersamamu di berbagai tempat.
Maka ini berkonsekwensi bertambah dengan
bertambahnya manusia dan berkurang dengan
berkurangnya manusia.

 Ketiga: Pemikiran ini berkonsekwensi tidak adanya


pensucian Alloh dari tempat-tempat yang kotor.
Tatkala aku katakan: Sesungguhnya Alloh
bersamamu ketika engkau ada di kakus. Maka ini
adalah sebesar-besar celaan kepada Alloh -‘azza wa
jalla-.

 (II) KEDUA; kita katakan kepada mereka:


Pertama: Sesungguhnya peniadaanmu terhadap arah
(bagi Alloh) berkonsekwensi peniadaan terhadap
Alloh -azza wa jalla-; sebab tidaklah kita
mengetahui sesuatu yang tidak ada di atas alam dan
tidak pula dibawahnya, tidak dikiri dan tidak
dikanan, tidak bersatu dan tidak berpisah; kecuali
sesuatu itu memang tidak ada. Oleh karenanya
berkata sebagian ulama: “Jika dikatakan kepada
kita: Sifatkanlah Alloh dengan ketiadaan! Maka kita
tidak mendapati pensifatan yang lebih tepat untuk
peniadaan kecuali dengan sifat seperti ini”.
Kedua: Perkataanmu: “Penetapan arah (untuk Alloh)
berkonsekwensi tajsiim (anggapan Alloh punya
jisim/wujud jasmani)!”. Kami akan mengajakmu
diskusi tentang kata jisim:
Apakah jisim ini yang karenanya engkau hindarkan
manusia dari menetapkan sifat-sifat Alloh?! Apakah
maksud kalian jisim itu adalah sesuatu yang
tersusun dari bagian-bagian yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya;
yang tidak mungkin tegak kecuali dengan
bergabungnya bagian-bagian ini?! Jika maksudmu
ini maka kami pun tidak meyakininya. Dan kami
katakan: Sesungguhnya Alloh tidak memiliki jisim
dengan makna ini. Dan barang siapa berkata:
Sesungguhnya penetapan ketinggianNya
berkonsekwensi adanya jisim ini maka perkataannya
hanyalah klaim semata. Cukuplah kita katakan:
Ini tidaklah bisa diterima!! Namun jika yang kalian
maksudkan dengan jisim adalah Dzat yang berdiri
sendiri yang menyandang sifat yang sesuai, maka
kami menetapkannya. Dan kita katakan:
Sesungguhnya Alloh -ta’ala- memiliki Dzat; dan Dia
berdiri sendiri (mandiri) yang memiliki sifat
kesempurnaan; dan ini yang diketahui oleh seluruh
manusia.

 Dengan demikian menjadi jelaslah batilnya


perkataan mereka yang meyakini bahwa Alloh
dengan Dzat-Nya ada di setiap tempat. Atau
(mengatakan) bahwa Alloh -ta’ala- tidaklah ada di
atas alam tidak pula di bawahnya, tidak bergabung
dan tidak pula terpisah. Namun kita katakan bahwa
Dia -azza wa jalla- bersemayam di atas Arsy-Nya.
 Adapun dalil-dalil tentang ketinggian (Alloh
-ta’ala-)yang telah membantah perkataan kedua
golongan dan yang telah menguatkan pendapat
Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka banyak sekali
dalilnya tidaklah terhitung jumlahnya. Adapun
klasifikasinya ada lima yaitu: Al-Qur’an, As-
Sunnah, Ijma’, Akal dan Fithrah.

 Adapun dari Al-Qur’an; maka beracam-macam dalil


tentang ketinggian Alloh di antaranya tentang
penjelasan tentang al-‘Uluww (ketnggian Alloh) dan
Al-Fauqiyyah (Alloh ada di atas), naiknya sesuatu
kepadaNya dan turunnya sesuatu dariNya dan yang
serupa dengan itu.

 Adapun dari As-Sunnah maka beragam


penunjukannya; dan telah bersesuaian As-Sunnah
dengan 3 macamnya (Qoliyah, Fi’liyah dan
Taqririyah -pent) akan ketinggian Alloh dengan
DzatNya. Telah shahih ketinggian Alloh dengan
Dzat-Nya dalam As-Sunnah dari perkataan
Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-
perbuatannya dan ketetapannya.

 Adapun dari Ijma’; maka kaum muslimin telah ijma’


(sepakat) sebelum kemunculan kelompok-kelompok
bid’ah ini bahwa Alloh -ta’ala- bersemayam di atas
‘Arasy-Nya di atas para makhlukNya. Telah berkata
syaikhul Islam: Tidaklah ada dalam firman Alloh
dan tidak pula sabda rasul-Nya dan tidak pula
ucapan shahabat dan tidak pula yang mengikuti
mereka dengan baik yang menunjukkan -tidaklah
secara nash dan tidak pula secara dzahir- bahwa
Alloh ta’ala tidaklah di atas Arsy dan tidak di langit.
Bahkan seluruh perkataan mereka bersepakat bahwa
Alloh berada di atas segala sesuatu. -selesai-
 Adapun dari Akal; maka kia katakan: Semua tahu
bahwa al-Uluww (ketinggian) adalah sifat yang
sempurna. Jika ini adalah sifat kesempurnaan maka
wajib untuk ditetapkan bagi Alloh; karena
sesungguhnya Alloh tersifati dengan sifat-sifat yang
sempurna. Oleh karenanya kita katakan: Adalah bisa
jadi Alloh ada di atas, atau di bawah atau sejajar.
Adapun di bawah dan sejajar ditiadakan (dari sifat
Aloh -pent) sebab di bawah naqish (kurang
sempurna) dari segi makna. Sedangkan sejajar
adalah naqish karena sama dengan makhluk dan
menyerupainya (tamtsil); maka tidaklah tersisa
kecuali sifat Uluw (ketinggian). Dan ini adalah
bentuk lain dari dalil akal.

 Adapun dari Fithrah; maka kita katakan: Tidaklah


ada seorag hamba yang berkata: Ya Robb! kecuali
didapati dalam hatinya secara naluri mengarah ke
atas.

 Maka bersesuaianlah lima dalil ini.


Adapun ketinggian sifat-sifat Alloh; maka ini adalah
ijma’ bagi setiap orang yang beragama atau yang
mengaku dirinya muslim.

 KEDUAPULUH ENAM: Penetapan Al-Adzomah


(keagungan) untuk Alloh ‘azza wa jalla-
ْ
berdasarkan firmanNya: ‫ال َع ِظي ُم‬.

Anda mungkin juga menyukai