Perkataan Penulis:
ولهذا كان من قرأ هذه اآلية في ليلة؛ لم يزل عليه من هللا حافظ وﻻ يقربه
شيطان حتى يصبح
“Oleh karenanya, orang yang membaca ayat ini di malam
hari senan senantiasa dia akan mendapatkan penjagaan dari
Alloh dan tidak akan di dekati oleh syaiton”.
Penjelasan:
Ini adalah petikan dari hadits yang diriwayatkan Imam
Bukhari dari Abu Hurairah -radhiyallohu ‘anhu- pada kisah
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memintanya untuk
menjaga zakat dan syaiton mengambil zakat itu. Dan
ucapannya kepada Abu Hurairah: Jika engkau beranjak ke
tempat tidurmu; maka bacalah ayat kursi هَّللا ُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو ْال َح ُّي
”“ ْالقَيُّو ُمAllah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah
dengan benar) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya)” sampai akhir ayat;
maka senantiasa engkau mendapat penjagaan dari Alloh dn
syaiton tidak akan mendekatimu sampai subuh. Lalu Abu
Hurairah mengkhabarkan hal itu kepada nabi -shollallohu
‘alaihi wa sallam-. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya
telah jujur kepadamu padahal dia adalah pendusta”.
Perkataan penulis:
Dan sifat yang Alloh sifatkan diriNya dengannya yang
terdapat pada ayat yang paling agung dalam Kitabulloh;
ketika Alloh berfirman:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah dengan
benar) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang
dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”. (QS Al-Baqarah: 255)
Penjelasan:
Perkataan Penulis: “Dan sifat yang Alloh sifatkan diriNya
dengannya yang terdapat pada ayat yang paling agung
dalam Kitabulloh”. Ayat ini dinamakan dengan ayat kursi;
sebab di dalamnya disebutkan “Al-Kursi”: ت ِ َو ِس َع ُكرْ ِسيُّهُ ال َّس َما َوا
ض َ أْل
َ ْۖ وا ر َ (Kursi Allah meliputi langit dan bumi) (Al
Baqarah: 255) dan ini adalah ayat yang paling agung dalam
kitabulloh.
Dalil akan hal tersebut adalah: Bahwasannya Nabi
-shollallohu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada Ubai bin
Ka’ab: “Ayat apa yang paling agung dalam kitabulloh?”. Ia
menjawab: “( ۚ هَّللا ُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو ْال َح ُّي ْالقَيُّو ُمAllah, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya))(QS Al
Baqarah: 255). lalu beliau menepuk dadanya dan bersabda:
“Semoga Alloh memudahkan ilmu untukmu wahai Abu
Mundzir”.
Yakni bahwasannya Nabi -sollallohu ‘alaihi wa sallam-
menegaskan bahwa ini adalah ayat yang paling agung
dalam kitabulloh -azza wa jalla-.
FirmanNya:
ۚ اَل تَأْ ُخ ُذهُ ِسنَةٌ َواَل نَوْ ٌم
“tidak ditimpa kantuk dan tidak tidur”
As-Sinnah maksudnya adalah An-Nuas (ngantuk);
yakni permulaan tidur. Dan tidak dikatakan: La
yanam (tidak tidur); sebab tidur itu dengan ikhtiyar
sedangkan ditimpa (kantuk) adalah dengan paksaan.
Tidur adalah sifat naqis (kekuranga bukan sempurna
-pent). nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إن هللا ﻻ ينام وﻻ ينبغي له أن ينام
“Sesungguhnya Alloh tidaklah tidur dan tidak layak
bagiNya untuk tidur” (HR Muslim 179 dari hadits
Abu Musa Al-‘Asyari).
FirmanNya:
ِ ْت َو َما فِي اأْل َر
ض َ لَّهُ َما فِي ال َّس َم
ِ اوا
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”.
Lafadz ُ لَّهadalah khobar muqoddam (khabar yang
didahulukan). Dan َماadalah mubtada’ yang diakhirkan.
Maka pada kalimat ini ada pembatasan, formatnya adalah
dengan mendahulukan bagian kalimat yang harusnya
diakhirkan yaitu khobar. Huruf lam pada ُ لَّهadalah
menunjukkan kepemilikan yang sempurna tanpa ada
lawanNya. Dan ت ِ “ َما فِي ال َّس َما َواApa-apa yang ada di langit”.
Yaitu para malaikat, jin dan lain sebaginya dari hal-hal yang
kita tidak tahu. ض ِ ْ“ َو َما فِي اأْل َرDan apa-apa yang ada di
bumi”; berupa makhluk-makhluk seluruhnya, di antaranya
hewan-hewan dan yang bukan hewan.
* FirmanNya ت ِ اواَ ( ال َّس َمlangit-langit) memberikan informasi
bahwa langit itu berbilang; dan memang demikian adanya.
Dan Al-Qur’an telah menginformasikan bahwa langit itu
ada tujuh:
ش ْال َع ِظ ِيم
ِ ْت ال َّسب ِْع َو َربُّ ْال َعر
ِ قُلْ َمن رَّبُّ ال َّس َما َوا
Katakanlah: “Siapakah Pemilik langit yang tujuh dan
Pemilik ‘Arsy yang besar?” (QS Al-Mukminun: 86)
Dan bumi-bumi diisyaratkan Al-Qur’an bahwa jumlahnya
tujuh tanpa penjelasan; dan dijelaskan oleh As-Sunnah.
Alloh ta’ala berfirman;
ض ِم ْثلَه َُّن
ِ ْت َو ِمنَ اأْل َر َ َهَّللا ُ الَّ ِذي خَ ل
ٍ ق َس ْب َع َس َما َوا
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan bumi dengan
semisalnya”.(QS Ath-Tholaq: 12)
Semisalnya dalam jumlah dan bukan dalam sifat. Dan
dalam hadits Nabi -‘alaihisholatu wa salam-:
من اقتطع شبرا من االرض ظلما طوقه هللا به يوم القيامة من سبع أرضين
“Barang siapa merampas sejengkal tanah secara dzalim
niscaya Aloh akan mengalungkannya pada hari kiamat
dengan tujuh lapis bumi”. (HR Bukhari 2452 dan Muslim
1610 dari Sa’id bin Zaid -radhiyallohu ‘anhu).
FirmanNya: ( َمن َذا الَّ ِذي يَ ْشفَ ُع ِعن َدهُ إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِهSiapakah yang
dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-
Nya?). Lafadz َمن َذاadalah isim istifham (kata
tanya). Atau kita katakan: َمنisim istifham dan َذا
mulghah (diabaikan). Dan tidak benar dikatakan
bahwa َذاadalah isim maushul pada susunan seperti
ini; sebab makna kalimat menjadi َمن الَّ ِذي الَّ ِذي
(siapakah yang yang). Ini tidaklah benar.
Dan firmanNya ُ( َمن َذا الَّ ِذي يَ ْشفَ ُع ِعن َدهSiapakah yang
dapat memberi syafa’at di sisi Allah). Syafaat secara
bahasa adalah enjadikan yang ganjil menjadi genap.
Alloh ta’ala berfirman: ( والشفع والوترyang genap dan
yang ganjil). (QS Al-Fajri:3). Sedangkan secara
istilah yaitu wasilah kepada orang lain dalam
memperoleh manfaat ataupun menolak mudharat;
misal: Syafaat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-
kepada penduduk padang mahsyar agar Alloh
memutuskan perkara mereka: ini adalah syafaat
untuk menolak mudharat.
Alloh menyebutkan setelah firmanNya: ت ِ لَّهُ َما فِي ال َّس َما َوا
“BagiNya apa-apa yang ada di langit…” memberikan dalil
bahwa kekuasaan ini adalah khusus bagi Alloh -azza wa
jalla-; bahwa Dialah pemilik kekuasaan yang sempurna;
artinya tidak ada seorang pun yang mampu mengatur dan
tidak pula memberikan syafaat yang baik kecuali dengan
izinNya. Ini adalah dari kesempurnaan Rububiyah dan
kekuaaanNya -azza wa jalla-.
FirmanNya:
يَ ْعلَ ُم َما بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه ْم َو َما خَ ْلفَهُ ْم
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka”.
Al-Ilmu (ilmu) yaitu pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana kenyataannya dengan pengetahuan
yang pasti. Dan Alloh ‘azza wa jalla “mengetahui
apa-apa yang ada di hadapan mereka” yaitu masa
depan “dan apa-apa yang dibelakang mereka” yaitu
yang telah terjadi. Dan kata ماdengan bentuk umum
mencakup semua yang telah terjadi dan apa yang
akan terjadi, dan mencakup pula perbuatanNya dan
perbuatan-perbuatan hamba.
FirmanNya: “ َوهُ َو ْال َعلِ ُّي ْال َع ِظي ُمdan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar”. Lafadz ْال َعلِ ُّيdngan wazan fa’iil
dan ini adalah sifat musyabahah; sebab ketinggian
Alloh -azza wajalla- senantiasa ada pada DzatNya.
Perbedaan antara sifat musyabahah dan isim fail
yaitu bahwa isim fail adalah kejadian yang tiba-tiba
yang memungkinkan untuk lenyap, sedangkan sifat
musyabahah senantiasa dan terus menerus tersifati
dengannya.
Ketinggian Alloh ada dua: Ketinggian dzatNya dan
ketinggian sifatNya.
Ada pun ketinggian dzatNya maknanya bahwa Dia
berada di atas segala sesuatu dengan DzatNya dan
tidak ada sesuatu pun di atasNya dan tidak ada
sesuatu pun yang sejajar denganNya.
Adapun ketinggian shifat-shifatNya maka
sebagaimana yang Alloh firmankan:
ۚ َوهَّلِل ِ ْال َمثَ ُل اأْل َ ْعلَ ٰى
“dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi;
yakni bahwa sifat-sifatNya seluruhnya adalah tinggi
tidak ada padanya kekurangan dari sisi mana pun.
Note:
1).(Diriwayatkan Abdulloh bin Imam Ahmad dalam
Kitab As-Sunnah no. 586; Ibnu Abi Syaibah dalam
Al’Arsy no. 61; Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid
no. 248; Al-Hakim dalam Mustadrak (2/282) dan dia
berkata sesuai dengan syarat Asy-Syaikhain namun
keduanya tidak mengeluarkannya; Ad-Daruquthny
dalam as-Shifat no. 36 dari Ibnu Abbas secara
marfu’; dan dikuatkan oleh Al-Haitsami dalam
Majmu’ Az-Zawaid (2/323) oleh Ath-Thabroni dan
dia berkata: perawinya perawi shahih; dan Al-
Albani berkata dalam Mukhtashor Al-Uluw no. 45:
Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah).
2). (HR Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Arsy no
58 dan Al-Baihaqy dalam Asma’ wa Shifat 862 dari
Abu Dzar -radhiyallohu ‘anhu dan dishahihkan Al-
Albani dalam As-Silsilah As-Shohihah no 109; dan
dia berkata: Tidak shahih hadits yang marfu’ dari
nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tentang sifat
Arsy kcuali hadits ini)