Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

SINDROM UREMIKUM

Oleh :
Ninis Ilmi Octasari, S. Ked
K1A1 15 095

Pembimbing:
dr. Adry Leonardy Tendean, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ninis Ilmi Octasari, S. Ked

Nim : K1A1 15 095

Judul referat : Sindrom Uremikum

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Desember 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Adry Leonardy Tendean, Sp.PD


Sindrom Uremikum
Ninis Ilmi Octasari, Adry Leonardy Tendean

A. Pendahuluan
Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa
pembuangan metabolisme protein, yang ditandai dengan peningkatan kadar
ureum diatas 50 mg/dl. Uremia lebih sering terjadi pada Gagal Ginjal Kronis,
tetapi dapat juga terjadi pada Gagal Ginjal Akut jika penurunan fungsi ginjal
terjadi secara cepat. Hingga sekarang belum ditemukan satu toksin uremik
yang ditetapkan sebagai penyebab segala manifestasi klinik pada uremia.
Kadar ureum yang tinggi dan berlangsung kronik merupakan penyebab utama
manifestasi dari sindrom uremia yang di bagi dalam beberapa bentuk yaitu: 1)
Pengaturan fungsi regulasi dan eksresi yang buruk, seperti keseimbangan
volume cairan dan elektrolit, keseimbangan asam basa, retensi nitrogen dan
metabolisem lain, serta gangguan hormonal; dan 2) Abnormalitas sistem tubuh
(sistem gastrointenstinal, hematologi, pernafasan, kardiologi, kulit dan
neuromuscular) (Sirait dkk, 2017).
Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan
mengalami metabolisme di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul
sederhana yaitu asam amino. Hasil metabolisme protein juga menghasilkan zat
sisa berupa senyawa amonia (NH3). Amonia merupakan senyawa toksik yang
bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi
senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Urea mempunyai
sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal sebagai
komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.
Subtrat-subtrat seperti hormon paratiroid (PTH), beta2 mikroglobulin,
poliamina, produk glikosilasi akhirmutakhir, dan molekul menengah lainnya,
diperkirakan berkontribusi terhadap sindrom klinis uremikum (Alper, 2015).
Dikatakan Uremia bila kadar ureum didalam darah di atas 50 mg/dl.
Uremia adalah sindrom penyimpangan biokimia yang ditandai oleh azotemia,
asidosis, hiperkalemia, pengendalian volume cairan yang buruk, hipokalsemia,
anemia dan hipertensi. Uremia adalah sindrom klinis dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG) < 10-15 mL/menit (Sirait dkk, 2017).
Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerulus dan
penurunan LFG terhadap pengaturan cairan tubuh, keseimbangan asam basa,
keseimbangan elektrolit, sistem hematopoesis dan hemodinamik, fungsi
ekskresi dan fungsi metabolik endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya
beberapa gejala klinis secara bersamaan, yang disebut sebagai sindrom uremia
(Suwitra, 2006).
Penyebab dari uremia yang disebabkan oleh Gagal Ginjal Akut dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu pre renal, renal, dan post renal. Uremia pre renal
disebabkan oleh gagalnya mekanisme sebelum filtrasi glomerulus. Mekanisme
tersebut meliputi penurunan aliran darah ke ginjal (syok, dehidrasi, dan
kehilangan darah) dan peningkatan katabolisme protein. Uremia renal terjadi
akibat gagal ginjal (gagal ginjal kronis/chronic renal failure atau juga pada
kejadian gagal ginjal akut/acute renal failure apabila fungsi ginjal menurun
dengan cepat) yang dapat menyebabkan gangguan ekskresi urea sehingga urea
akan tertahan di dalam darah, hal ini akan menyebabkan intoksikasi oleh urea
dalam konsentrasi tinggi yang disebut dengan uremia. Sedangkan uremia
postrenal terjadi oleh obstruksi saluran urinari di bawah ureter (vesica urinaria
atau urethra) yang dapat menghambat ekskresi urin. Obstruksi tersebut dapat
berupa batu/kristaluria, tumor, serta peradangan (Ridwan, 2011).
Kriteria penyakit ginjal kronik yaitu kerusakan ginjal (renal damage)
yang terjadi lebih dari 3 bulan, serta adanya tanda kelainan ginjal, termasuk
kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(Imaging Tests). Dengan penurunan LFG kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Di Amerika Serikat
jumlah pasien penyakit ginjal kronik pada tahun 1991 terdapat 209.000 pasien
hingga tahun 2004 terdapat 472.000 orang yang menderita penyakit ginjal
kronik. WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan penderita
gagal ginjal pada tahun 1995-2025 sebesar 41,4% dan menurut data dari
Persatuan Nefrologi Indonesia (PENEFRI) di perkirakan terdapat 70.000
penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar
10% setiap tahunnya. Di Sulawesi Utara angka kejadian penyakit ginjal kronik
tahun 2013-2014 sebanyak 989 kasus (Dinkes, 2015).

B. Anatomi Ginjal
Morfologi, struktur dan lokalisasi ginjal yaitu
Ginjal terdiri dari dua buah yang berada di sebelah kiri dan kanan
columna vertebralis dan berbentuk seperti kacang merah dengan ukuran
panjang 11 cm, lebar 6 cm, dan tebal 3 cm. Ukuran berat ginjal kira-kira yaitu
135 –150 gram, dan berwarna agak kecoklat-coklatan. Ginjal mempunyai
extermitas cranialis (= polus cranialis ) dan extremitas inferior (= polus
caudalis ), facies anterior dan facies posterior, kedua permukaan itu bertemu
pada margo lateralis dan margo medialis. Kira-kira pada pertengahan margo
medialis terbentuk suatu cekungan yang dinamakna hilum renale, yang
merupakan tempat masuk arteria renalis dan serabut-serabut saraf serta tempat
keluarnya vena renalis dan ureter. Kedua buah ginjal dibungkus oleh suatu
jaringan ikat yang membentuk capsula fibrosa, dan membungkus juga
struktur-struktur yang masuk dan meninggalkan hilum renale. Capsula fibrosa
ini dibungkus oleh jaringan lemak (adipose tissue, disebut perirenal fat=corpus
adiposum pararenale), yang bersama-sama dengan jaringan ikat (connective
tissue) membentuk fascia renalis. Secara relatif ginjal pada anak-anak lebih
besar daripada orang dewasa. Ginjal ikut bergerak dengan gerakan respirasi.
Struktur terdiri atas cortex renalis dan medulla renalis, yang masing-
masing berbeda dalam warna dan bentuk. Cortex renalis berwarna pucat,
mempunyai permukaan yang kasar. Medulla renalis terdiri atas pyramidales
renale (=pyramis renalis Malpighii) berjumlah antara 12–20 buah berwarna
agak gelap. Basis dari bangunan piramid ini, disebut basis pyramidis berada
pada cortex, dan apexnya yang dinamakan papilla renalis, terletak menghadap
ke arah medial, bermuara pada calyx minor. Diantara satu piramid dengan
piramid lainnya terdapat jaringan cortex yang berbentuk colum, disebut
columna renalis Bertini. Pada basis dari setiap piramid terdapat deretan
jaringan medulla yang meluas ke arah cortex, disebut medullary rays. Setiap
piramid bersama-sama dengan columna renalis Bertini yang berada di
sampingnya membentuk lobus renalis, berjumlah antara 5–14 buah.
Pada setiap papilla renalis bermuara 10–40 buah ductus yang
mengalirkan urine ke calyx minor. Daerah tersebut berlubang-lubang dan
dinamakan area cribrosa. Hilum renale meluas membentuk sinus renalis, dan
didalam sinus renalis terdapat pelvis renalis, yang merupakan pembesaran dari
ureter ke arah cranialis. Pelvis renalis terbagi menjadi 2–3 calices renalis
majores, dan setiap calyx major terbagi menjadi 7–14 buah calices renalis
minores.
Ginjal terletak di bagian posterior cavum abdominis, retroperitoneal, di
sebelah kiri dan kanan columna vertebralis, setinggi vertebra lumbalis 1–4
pada posisi berdiri. Kedudukan ini bisa berubah mengikuti perubahan posisi
tubuh. Ginjal dekstra terletak lebih rendah dari yang sinistra disebabkan
karena hepar berada di sebelah cranial dari ginjal. Pada wanita kedudukan
ginjal kira-kira setengah vertebra lebih rendah daripada pria. Axis transversal
dan ginjal terletak latero dorsal, dan axis longitudinal terletak latero-caudal,
sehingga extremitas superior renalis letaknya lebih dekat pada linea mediana
daripada extremitas inferior renalis. Ekstremitas inferior renalis pada
umumnya dapat dipalpasi. Ginjal sinistra dan ginjal dekstra berdampingan
dengan organ-organ yang berada di sekitarnya, baik pada facies anterior
maupun pada facies posteriornya.
Facies posterior renalis berbentuk kurang cembung bila dibandingkan
dengan facies anteriornya, dan berhadapan dengan organ-organ bersangkutan.
Ginjal sinistra di bagian cranio-lateral terdapat, dari lateral ke medial, costa
XI, costa XII. Processus transversus vertebra lumbalis I. Di bagian caudal,
dari medial lateral, terdapt m.transversus abdominis, m.quadratus lumborum,
m.psoas major dan processus transversus vertebrae lumbalis sinister.
Ginjal dekstra di bagian cranial terdapat diaphragma thoracis, costa
XII dan processus transversus vertebrae lumbalis I, dan di bagian caudal dari
lateral ke medial terdapat M.transversus abdominis, M.quadratus lumborum,
M.psoas major dan processus transversus vertebrae lumbalis II. Diantara
facies posterior ginjal dan otot dinding dorsal abdomen terdapat nervus
subcostalis, nervus iliohypogastricus dan nervus ilioinguinalis. Facies anterior
renalis berbentuk cembung, dan pada kedua extremitas superiornya terdapat
glandula suprarenalis.
Ginjal sinistra di bagian tengah terdapat corpus pancreatis dan caudal
pancreatis, di sebelah cranialnya terdapat paries posterior ventriculi, yang
menyebabkan terbentuknya impressio lienalis. Di sebelah caudal, dari medial
ke lateral terdapat duodenum dan flexura colica sinistra.
Ginjal dekstra pada 2/3 bagian cranial berhadapan dengan facies
posterior lobus hepatis dekstra, di sebelah caudalnya terdapat flexura colica
dextra. Di sebelah medial dari area hepatica terdapat duodenum, membentuk
area duodenalis renalis.
Fascia renalis yang berada pada facies ventralis (= lamina ventralis)
meluas melewati linea mediana, sedangkan bagian yang berada pada facies
posterior renalis (= lamina posterior) menyatu dengan jaringan ikat pada facies
anterior columna vertebralis. Facies renalis juga membungkus glandula
suprarenalis, dan di bagian caudal dari ren kedua lapisan fascia tadi saling
mendekati, tidak melekat erat. Ginjal difiksasi pada tempatnya oleh fascia
renalis, corpus adiposum pararenale dan vasa renalis.
Vascularisasi ginjal yaitu Arteria renalis dimana arteri renalis di
percabangkan oleh aorta abdominalis di sebelah caudal dari pangkal arteria
mesenterica superior, berada setinggi discus intervertebrale antara vertebra
lumbalis I dan II. Arteria renalis dekstra berjalan di sebelah dorsal vena cava
inferior memberikan percabangan yang berjalan menuju ke glandula
suprarenalis dan ureter. Di dalam sinus renale arteria renalis
mempercabangkan ramus primer yang disebut ramus anterior yang besar dan
ramus posterior yang kecil. Masing-masing arteri tersebut berjalan masuk ke
dalam belahan anterior dan belahan posterior dari ginjal. Batas antara belahan
anterior dan belahan posterior disebut Broedel’s line, yang miskin
vascularisasi. Ramus primer mempercabangkan arteria interlobaris, berada
diantara pyramid berjalan pada basis piramid membentuk arcus yang
membentuk arcus, disebut Arteria arcuata. Dari arteria arcuata
dipercabangkan Arteria interlobularis. Ujung terminal A.arcuata dan
A.interlobularis berjalan vertikal, paralel, paralel satu sama lain, menuju ke
cortex renalis. A.interlobularis berakhir sebagai arteriola glomerularis afferens
(= vasa afferens) membentuk glomerulus. pembuluh arah yang meninggalkan
glomerulus disebut arteriola glomerulus efferens (=vasa efferens), selanjutnya
membentuk plexus arteriosus, dan dari plexus tersebut dipercabangkan
arteriola recta (= vasa recta ) yang berjalan menuju ke pelvis renalis.
Arteriolae rectae membentuk plexus dan dari plexus ini darah mengalir
kedalam venulae rectae, lalu menuju ke venae interlobulares, dari sini menuju
ke venae arcuatae dan selanjutnya bermuara kedalam venae interlobaris. Vena
interrlobaris bermuara kedalam vena cava inferior.
Venulae stellatae adalah pembuluh darah yang terdapat di daerah
subcapsularis, dibentuk oleh cabang-cabang arteria interlobularis, menjadikan
suatu anastomosis arterio-venosa, dan selanjutnya bermuara kedalam vena
cava inferior.
Nodus Lymphsticus pada ginjal membentuk tiga buah plexus, yakni
yang berada di dalam ginjal, yang berada di sebelah profunda capsula dan
yang berada di dalam corpus adiposum pararenale. Pembuluh lymphe dari
substansi ginjal membentuk 4–5 buah pembuluh lymphe yang lebih besar,
menuju ke hilum renale. Pembuluh lymphe di bagian profunda capsula renalis
dan yang berada di dalam corpus adiposum mempunyai hubungan yang bebas
satu sama lainnya. Kemudian membentuk pembuluh lymphe yang besar dan
bersama-sama dengan pembuluh lymphe dari jaringna ginjal mengikuti
perjalanan vena renalis menuju dan berakhir pada lymphonodus aorticus
lateralis.
Innervasi ginjal yaitu Plexus renalis yang dibentuk oleh percabangan
dari plexus coeliacus. Serabut-serabut dari plexus tersebut tadi berjalan
bersama-sama dengan vena renalis. Plexus suprarenalis juga dibentuk oleh
percabangan dari plexus coeliacus. Kadang-kadang mendapatkan percabangan
dari nervus splanchnicus major dan dari plexus lienalis. Plexus renalis dan
plexus suprarenalis mengandung komponen sympathis dan parasympathis
yang dibawa oleh Nervus vagus. Stimulus dari pelvis renalis dan ureter bagian
cranialis oleh nervus splanchnicus.

Gambar 1. Anatomi Ginjal


C. Fisiologi Ginjal
Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut yang sebagian besar
membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal
1. Mempertahankan keseimbangan H2O di tubuh
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubah yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-
fluks osmotik masuk atau keiuar sel, yang masing-masing dapat
menyebabkan pembengkakkan atau penciutan sel yang merugikan
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk
natrium (Na.), klorida (Cl-), kalium (K), kalsium (Ca2-), ion hidrogen (H),
bikarbonat (HCO3-), fosfat (PO43-), sulfat (SO42-), dan magnesium (Mg).
Bahkan fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat
berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K. CES dapat
menyebabkan disfungsi jantung yang mematikan
4. Mempertahankan volume plasma lang tepat, yang penting dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan
melalui peran regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam (Na+ dan Cl-)
dan H2O
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat
dengan menyesuaikan pengeluaran H. dan HCO3- di urin
6. Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme
tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk
maka bahan-bahan sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak.
7. Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh
8. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel
darah merah
9. Menghasilhan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi
berantai yang penting dalam penghematan garam oieh ginjal
10. Mengubah uitamin D menjadi bentuk aktifnya
Nefron adalah unit fungsional ginjal dan setiap ginjal terdiri dari
sekitar 1 juta unit fungsional mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang
disatukan oleh jaringan ikat. Karena fungsi utama ginjal adalah menghasilkan
urin dan, dalam pelaksanaannyar mempertahankan stabilitas komposisi CES,
maka nefron adalah unit terkecil yang mampu membentuk urin. Susunan
nefron di dalam ginjal adalah sedemikian sehingga dihasilkan dua regio
berbeda-regio luar yang disebut korteks ginjal dan tampak granular dan regio
dalam, medula ginjal, yang tersusun oleh segitiga-segitiga bergaris, piramid
ginjal.
Bagian dominan komponen vaskular nefron adalah glomerulus, suatu
kuntum kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari
darah yang melewatinya. Cairan yang telah disaring ini, yang komposisinya
hampir identik dengan plasma, kemudian mengalir melewati komponen
tubular nefron, tempat berbagai proses transpor mengubahnya menjadi urin.
Ketika masuk ke ginjal, arteri renalis bercabang-cabang hingga akhirnya
membentuk banyak pembuluh halus yang dikenal sebagai arteriol aferen.
Setiap nefron mendapat satu arteriol aferen ini. Arteriol aferen mengalirkan
darah ke glomerulus. Kapiler-kapiler giomerulus kembali menyatu untuk
membentuk arteriol lain, arteriol eferen, yang dilalui oleh darah yang tidak
terfiltrasi untuk meninggalkan glomerulus menuju komponen tubular.
Gambar 2. Bagian-bagian Nefron
Arteriol eferen adalah satu-satunya arteriol di tubuh yang mengalirkan
darah dari kapiler. Biasanya arteriol bercabang-cabang menjadi kapiler-kapiler
yang kemudian kembali menyatu membentuk venula. Di kapiler glomerulus,
tidak terjadi ekstraksi O2 atau nutrien dari darah untuk digunakan oleh
jaringan ginjal serta tidak terjadi penyerapan produk sisa dari jaringan sekitar.
Karena itu, darah arteri masuk ke kapiler glomerulus melalui arteriol aferen,
dan darah arteri meninggalkan glomerulus melalui arteriol eferen. Arteriol
eferen segera bercabang-cabang menjadi set kapiler kedua, kapiler
peritubulus, yang memasok darah ke jaringan ginjal dan penting dalam
pertukaran antara sistem tubulus dan darah sewaktu perubahan cairan filtrasi
menjadi urin. Kapiler peritubulus ini, sesuai yang diisyaratkan oleh namanya,
melilit di sekitar sistem tubulus (peri artinya "di sekitar"). Kapiler-kapiler
peritubulus menyatu mernbentuk venula yang akhirnya mengalirkan isinya ke
vena renalis, yaitu saluran bagi darah untuk meninggalkan ginjal.
Komponen tubular nefron adalah suatu tabung berongga berisi cairan
yang dibentuk oleh satu lapisan sel epitel. Meskipun komponen ini adalah
saluran kontinyu dari pangkalnya dekat glomerulus hingga ke ujungnya di
pelvis ginjal, namun komponen ini dibagi menjadi berbagai segmen
berdasarkan perbedaan.,struktur dan fungsinya suatu invaginasi berdinding
rangkap yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan cairan dari kapiler
glomeruius. Dari kapsula Bowman, cairan yang difiltrasi mengalir ke dalam
tubulus proksimal, yang seluruhnya terletak di dalam korteks dan membentuk
gulungan-gulungan rapat sepanjang perjalanannya. Segmen berikutnya, ansa
Henle (lengkung Henle), membentuk lengkung berbentuk U tajam atau hair
pin yang masuk ke dalam medula ginjal. Pars desendens ansa Henle masuk
dari korteks ke dalam medula; pars asendens berjalan balik ke kortela. Pars
asendens kembali ke regio glomerulus nefronnya sendiri, tempat saluran ini
berjalan melewati garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan eferen. Sel-sel
tubulus dan vaskular di titik ini mengalami spesialisasi untuk membentuk
aparatus jukstaglomerulus, suatu struktur yang terletak di samping glomerulus
(fuksta artinya "di samping"). Regio khusus ini berperan penting dalam
mengatur fungsi ginjal. Setelah aparatus jukstaglomerulus, tubulus kembali
membeptuk kumparan erat menjadi tubulus distal, yang juga seluruhnya
berada di dalam korteks. Tirbulus distal mengalirkan isinya ke dalam duktus
atau tubulus koligentes, dengan masing-masing duktus menerima cairan dari
hingga delapan nefron berbeda. Setiap duktus koligentes berjalan ke dalam
medula untuk mengosongkan cairan isinya (sekarang berubah menjadi urin)
ke dalam pelvis ginjal.
Tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin: filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus. Untuk mempermudah
visualisasi tentang hubungan antara proses-proses di ginjal ini, ada baiknya
nefron "diuraikan” secara skematis, seperti gambar dibawah ini

Gambar 3. Proses-proses dasar di ginjal. Semua yang disaring atau


disekresi tetapi tidak direabsorpsi akan diekskresikan di urin dan keluar dari
tubuh. Semua yang difiltrasi dan kemudian direabsorpsi, atau sama sekalitidak
disaring, akan masuk ke darah vena dan dipertahankan dalam tubuh

Filtrasi Glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein
tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Dalam
keadaan normal, 20% plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses ini,
dikenal sebagai filtrasi glomerulus, adalah langkah pertama dalam
pembentukan urin. Secara rerata, 725 ml filtrat glomerulus (cairan yang
difiltrasi) terbentuk secara kolektif dari seluruh glomerulus setiap menit.
Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon) setiap hari. Dengan
mempertimbangkan bahwa volume rerata plasma pada orang dewasa adalah
2,75 liter, maka ha1 ini berarti bahwa ginjal menyaring keseluruhan volume
plasma sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang difiltrasi keluar sebagai urin,
semua plasma akan menjadi urin dalam waktu kurang dari setengah jam!
Namun, hal ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus
berhubungan erat di seluruh panjangnya, sehingga bahan-bahan dapat
dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus dan darah di dalam kapiler
peritubulus.

Reabsorbsi Tubulus
Sewaktu filtrat mengalir melaiui tubulus, bahan-bahan yang
bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus.
Perpindahan selektif bahan-bahan dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus)
ke dalam darah ini disebut reabsorpsi tubulus. Bahan-bahan yang direabsorpsi
tidak keluar dari tubuh melalui urin tetapi dibawa oleh kapiler peritubulus ke
sistem vena dan kemudian ke jantung untuk diresirkulasi. Dari 180 liter
plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5 liter direabsorpsi. Sisa 1,5 liter di
tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk dikeluarkan sebagai urin.
Secara umum, bahan-bahan yang perlu dihemat oleh tubuh secara selektif
direabsorpsi, sementara bahan-bahan yang tidak dibutuhkan dan harus
dikeluarkan tetap berada di urin.

Sekresi Tubulus
Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus adalah pemindahan selektif bahan-
bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini merupakan
rute kedua bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah,
sedangkan yang pertama adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar
20% dari plasma yang mengalir melaiui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam
kapsul Bowman; sisa 80% mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler
peritubulus. Sekresi tubulus merupakan mekanisme untuk mengeluarkan
bahan dari plasma secara cepat dengan mengekstraksi sejumlah tertentu bahan
dari 80% plasma yang ddak terfiltrasi di kapiler peritubulus dan
memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai hasil filrrasi.

D. Metabolisme Ureum
Gugus amino dilepas dari asam amino bila asam amino itu didaur
ulang menjadi sebagian dari protein atau dirombak dan dikeluarkan dari
tubuh, amino transferase (transminase) yang ada diberbagai jaringan
mengkatalisis pertukaran gugusan asam amino antara senyawa-senyawa yang
ikut serta dalam reaksi-reaksi sintesis. Deminasi oksidatif memisahkan
gugusan amino dari molekul aslinya dan gugusan asam amino yang dilepaskan
diubah menjadi ammonia. Amonia diantar ke hati dan di ubah menjadi reaksi-
reaksi bersambung seluruh urea hampir dibentuk di hati, dari katabolisme
asam-asam amino dan merupakan produk ekskresi metabolisme protein yang
utama. Konsentrasi urea dalam plasma darah terutama menggambarkan
keseimbangan antara pembentukan urea dan katabolisme protein serta ekskresi
urea oleh ginjal: sejumlah urea dimetabolis lebih lanjut dan sejumlah kecil
hilang dalam keringat dan feses (Baron D. N, 1995). Nilai rujukan untuk
ureum adalah 10–50 mg/dl (Urea FS, 2016).

E. Reabsorpsi Urea
Reabsorpsi pasif urea, selain Cl- dan H2O, juga secara tidak Iangsung
berkaitan dengan reabsorpsi aktif Na+. Urea adalah suatu produk sisa dari
pemecahan protein. Reabsorpsi H2O yang berlangsung secara osmosis di
tubulus proksimal sekunder terhadap reabsorpsi aktif Na- menghasilkan
gradien konsentrasi untuk urea yang mendorong reabsorpsi pasif bahan sisa
ini, sebagai berikut. Reabsorpsi besar-besaran H2O di tubulus proksimal secara
bertahap mengurangi filtrat dari semula 725 mL/menit menjadi hanya 44
mL/menit cairan yang tertinggal di lumen di akhir tubulus proksimal (65%
dari H2O di filtrat semula, atau 81 mL/menit, telah direabsorpsi). Bahan-bahan
yang telah terfiltrasi tetapi belum direabsorpsi menjadi semakin pekat di
dalam cairan tubulus karena H2O direabsorpsi sementara mereka tertinggal.
Urea adalah salah satu bahan tersebut. Konsentrasi urea sewaktu difiltrasi di
glomerulus identik dengan konsentrasinya di plasma yang masuk ke kapiler
peritubulus. Namun, jumlah urea yang ada dalam 125 mL cairan yang
difiltrasi di awal tubulus proksimal terkonsentrasi hingga tiga kali lipat dalam
44 mL cairan yang tersisa di akhir tubulus proksimal. Akibatnya, konsentrasi
urea di dalam cairan tubulus menjadi jauh iebih besar daripada konsentrasi
urea di kapiler sekitar. Karena itu, terbentuk gradien konsentrasi untuk urea
yang secara pasif menyebabkan urea berdifusi dari lumen tubulus ke dalam
plasma kapiler peritubulus. Karena dinding tubulus proksimal hanya agak
permeabel terhadap urea maka hanya sekitar 50% dari urea yang terfiitrasi
direabsorpsi secara pasif melalui cara ini.
Gambar 4. Reabsorpsi Urea di akhir tubulus proksimal. (a) Di kapsul
Bowman dan di awal tubulus proksimal, konsentrasi urea sama dengan yang
di plasma dan cairan interstisium sekitar. (b) Di akhir tubulus proksimal,
65%o dari filtrat semula telah direabsorpsi sehingga terjadi pemekatan urea
yang ada di dalam filtrat. Hal ini menciptakan gradien konientiasi yang
mendorong reabsorpsi pasif urea.

Meskipun hanya separuh dari urea yang terfiltrasi dieliminasi dari


plasma setiap kali darah mengalir melalui nefron, namun tingkat pengeluaran
ini sudah memadai. Konsentrasi urea dalam plasma meningkat hanya pada
gangguan fungsi ginjal, ketika urea yang dikeluarkan jaul lebih kecil daripada
angka separuh tersebut. Peningkatan kadar urea adalah salah satu karakteristik
kimiawi pertama yang teridentifikasi dalam plasma pasien dengan gagal ginjal
berat. Karena itu, pengukuran klinis nitrogen urea darah (blood urea ninogen,
B[IN) digunakan sebagai ukuran kasar fungsi ginjal. Kini diketahui bahwa
konsekuensi paling serius gagal ginjal tidak disebabkan oleh retensi urea, yang
tidak terlalu toksik, tetapi lebih pada akumulasi bahan-bahan lain yang tidak
dikeluarkan secara adekuat akibat sekresinyayang rerganggu terutama H+ dan
K-. Para petugas kesehatan masih menyebut gagal ginjal sebagai uremia (urea
dalam darah), yang menunjukkan kelebihan urea dalam darah. meskipun
retensi urea bukan merupakan ancarnan utama keadaan ini.

F. Tinjauan Klinis Ureum


a. Urea Plasma yang Rendah
Penurunan kadar ureum dapat disebabkan oleh malnutrisi atau diet
asupan protein. Uremia dapat terjadi pada akhir kehamilan, karena terjadi
peningkatan sintesis protein dan filtrasi glomerulus. Nekrosis hepatik akut
menyebabkan kadar ureum menurun, karena asam amino tidak di
metabolisme lebih lanjut ke hati. Urea plasma rendah juga terjadi pada
sirosis hati yang disebabkan oleh pengurangan sintesa karena retensi air
dan kecepatan anabolisme protein yang tinggi, keadaan ini timbul selama
pengobatan dengan androgen yang intensif misalnya pada karsinoma
payudara dan malnutrisi protein jangka panjang (Verdiansah, 2016).
b. Urea Plasma yang Tinggi (Azotemia)
Urea plasma yang tinggi merupakan salah satu gambaran abnormal
yang utama dan penyebabnya diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peningkatan katabolisme protein jaringan disertai dengan
keseimbangan nitrogen yang negatif, seperti terjadi demam, penyakit
yang mengakibatkan atrofi, tirotoksikosis, koma diabetika atau setelah
trauma ataupun operasi besar. Kasus peningkatan katabolisme protein
kecil, dan tidak ada kerusakan ginjal primer atau sekunder, maka
ekskresi ke urin akan membuang kelebihan urea dan tidak ada
kenaikan bermakna dalam urea plasma.
2. Pemecahan protein plasma yang berlebihan, seperti pada penderita
leukemia, pelepasan protein lekosit menyokong urea plasma yang
tinggi.
3. Pengurangan ekskresi urea merupakan penyebab utama dan terpenting
serta bisa prarenal, renal atau postrenal. Penurunan tekanan darah
perifer (seperti pada syok) atau bendungan vena (seperti pada payah
jantung kongsetif) atau volume plasma yang rendah dan
hemokonsentrasi (seperti pada deplesi natrium oleh sebab apapun
termasuk penyakit Addison), mengurangi aliran plasma ke
ginjal.Filtrasi glomerulus untuk urea rendah dan terdapat peningkatan
urea plasma, pada kasus yang ringan, bila tidak ada kerusakan struktur
ginjal yang permanen, maka urea plasma akan kembali normal bila
keadaan prarenal dipulihkan ke normal.
4. Obstruksi saluran keluar urin misalnya kelenjar prostat yang membesar
menyebabkan urea plasma menjadi tinggi.
5. Penyakit ginjal yang disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
yang menyebabkan urea plasma menjadi tinggi.

G. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Ureum dalam Darah


Kadar ureum dalam darah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
sebagai berikut :
a. Asupan Protein dalam Tubuh
Ureum di dalam tubuh merupakan produk akhir dari metabolisme
protein yang diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk urin (Joyce L. K,
2014). Semakin banyak asupan protein ke dalam tubuh, maka akan
mengalami peningkatan kadar ureum. Metabolisme ureum dilakukan pada
organ ginjal, sehingga apabila asupan protein seseorang terlalu tinggi dan
tidak diimbangi dengan asupan gizi yang lain maka ginjal akan bekerja
keras untuk merombak protein tersebut menjadi asam amino, sehingga
kadar ureum dalam darah akan meningkat.
b. Kerusakan pada Ginjal
Kerusakan pada organ ginjal sering disebabkan karena
menurunnya fungsi ginjal. Fungsi ginjal menurun ditandai dengan
peningkatan kadar ureum. Apabila hanya 10% dari ginjal yang berfungsi
maka pasien sudah berada pada tahap End Stage Renal Disease (ESRD)
yaitu penyakit ginjal tahap akhir. Ginjal yang rusak tidak mampu
menyaring ureum yang masuk, sehingga kadar ureum akan masuk ke
dalam aliran darah (Baradeno M, Mary dkk, 2009).
Keadaan ini menyebabkan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan
uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain di dalam darah.
c. Dehidrasi
Dehidrasi adalah gangguan keseimbangan cairan dimana tubuh
mengalami kekurangan cairan tetapi tubuh mengeluarkan lebih banyak
cairan. Ginjal berfungsi memproduksi urin sehingga berkaitan langsung
dengan cairan di dalam tubuh. Tubuh membutuhkan cairan yang cukup
untuk metabolisme, jika cairan di dalam tubuh kurang maka darah dan
tekanan darah terganggu. Dehidrasi mempengaruhi kinerja ginjal menjadi
lebih berat. Dehidrasi kronis akan menyebabkan gangguan pada ginjal
(Patrick D., 2006).
d. Konsumi Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar ureum dalam darah
seperti Nefrotoksik, Diuretik {Hidroklorotiazid (Hydrodiuril)}, Asam
etakrinat (Edecrin), Furosemid (Lasix), Triamteren (Dyrenium), Antibiotik
{Basitrasin, Sefaloridin (dosis besar), Gentamisin, Kanamisin},
Kloramfenikol (Chloromycetin), Anti hipertensif {Metildopa (Aldomet),
Guanetidin (Ismelin)}, Sulfonamid, Propranolol, Morfin, Litium karbonat,
dan Salisilat (Joyce L. K, 2014).

H. Epidemiologi
Sulit untuk menentukan prevalensi uremia yang tepat. Di Amerika
Serikat, pasien dengan ESRD biasanya memulai dialisis sebelum
perkembangan gejala uremik. Gejala uremik biasanya timbul setelah bersihan
kreatinin kurang dari 10 mL/menit atau 15 mL/menit pada kasus pasien
diabetes.
Ada sekitar 354 dari satu juta orang yang didiagnosis dengan penyakit
ginjal tahap akhir setiap tahun. Jumlah ini terus meningkat karena harapan
hidup mereka dengan ESRD meningkat. Peningkatan kelangsungan hidup
pada pasien dengan diabetes atau penyakit kardiovaskular, di samping
peningkatan akses ke terapi ginjal, telah menghasilkan peningkatan tertinggi
dalam kejadian ESRD pada pasien berusia 75 tahun atau lebih. Di sisi lain,
jumlah individu di bawah usia 60 dengan ESRD menurun, kecuali untuk
pasien Afrika-Amerika atau penduduk asli Amerika dengan ESRD diabetik.
Mayoritas pasien dengan ESRD adalah Kaukasia (59,8%), sisanya
adalah Afrika Amerika (33,2%), Asia (3,6%) atau Asli Amerika (1,6%).
Namun, kejadian ESRD di antara individu berkulit hitam adalah 3,7 kali lebih
tinggi daripada di antara populasi kulit putih. Demikian pula, kejadian di
antara penduduk asli Amerika adalah 1,8 kali lebih besar daripada di antara
orang kulit putih.
Selain itu, terdapat populasi minoritas dimana pasien cenderung
memulai perawatan dialisis yang terlambat, biasanya setelah sudah ada
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang signifikaan. Pasien dengan
jenis kelamin Pria 1,2 kali lebih beresiko berkembang menjadi ESRD
dibandingkan wanita. Namun wanita 1,7 kali lebih sering menunda dialisis.
Wanita juga lebih rentan terhadap perkembangan gejala uremik pada tingkat
kreatinin yang lebih rendah, karena penurunan jumlah massa otot dan kadar
kreatinin serum awal yang mereka miliki.
Uremic encephalopathy adalah kelainan otak organik yang terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai kadar
creatinine clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/menit. Uremia
adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ
akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa pembuangan
metabolisme protein, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum diatas 50
mg/dl. Uremia lebih sering terjadi pada Gagal Ginjal Kronis (GGK), tetapi
dapat juga terjadi pada Gagal Ginjal Akut (GGA) jika penurunan fungsi ginjal
terjadi secara cepat. Hingga sekarang belum ditemukan satu toksin uremik
yang ditetapkan sebagai penyebab segala manifestasi klinik pada uremia.

I. Patofisologi
Ketika ginjal tidak berfungsi dengan baik, maka dapat terjadi disfungsi
pada homeostasis asam-basa, pengaturan cairan dan elektrolit, produksi dan
sekresi hormon, dan pembuangan hasil metabolisme dalam tubuh. Secara
keseluruhan, kelainan ini dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan pada
akhirnya dapat terjadi kondisi seperti anemia, hipotiroidisme, hipertensi,
asidemia, hiperkalemia, dan kekurangan gizi.
Anemia yang berhubungan dengan penyakit ginjal biasanya normositik
normokrom, dan hiperproliferatif. Hal ini terjadi karena menurunnya produksi
erythropoietin oleh ginjal. Hal ini terkait dengan laju filtrasi glomerulus
(GFR) kurang dari 50 mL/menit kecuali pasien dengan diabetes, maka mereka
mungkin memiliki anemia namun dengan GFR kurang dari 60 mL/menit atau
ketika kreatinin serum lebih dari 2 mg/mL.
Penumpukan toksin uremik dalam darah juga dapat menyebabkan
peningkatan koagulopati sebagai akibat dari berkurangnya adhesi trombosit ke
dinding endotel vaskular, peningkatan pertukaran trombosit, dan jumlah
trombosit yang berkurang secara absolute. Temuan umum pada pasien dengan
gagal ginjal kronik adalah kecenderungan yang rentan mengalami perdarahan.
Komplikasi metabolik utama lain yang terkait dengan uremia pada
gagal ginjal kronik adalah asidosis karena sel-sel tubulus ginjal merupakan
regulator utama homeostasis asam-basa dalam tubuh sehingga saat gagal
ginjal teus berlanjut maka terjadi penurunan sekresi ion hidrogen dan
gangguan ekskresi amonium sehingga menyebabkan penumpukan fosfat dan
asam organik lainnya (mis., Asam laktat, asam sulfat, asam hippurat).
Selanjutnya seiring berkembangnya maka dapat terjadi peningkatan asidosis
metabolik dan anion-gap yang menyebabkan hiperventilasi, kelesuan,
anoreksia, kelemahan otot, dan gagal jantung kongestif karena penurunan
respons jantung.
Hiperkalemia juga dapat terjadi pada pasien gagal ginjal akut dan
kronis. Kondisi ini dapat menjadi darurat medis jika serum kalium mencapai
lebih dari 6,5 mEq/L. Nilai ini dapat diperburuk dengan asupan kalium yang
berlebihan atau penggunaan obat-obatan tertentu (mis., diuretik hemat kalium,
penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACE), penghambat reseptor
angiotensin, penghambat beta, NSAID). Asidosis yang disebabkan oleh gagal
ginjal juga dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia.
Hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan peningkatan kadar hormon
paratiroid juga dapat terjadi akibat gagal ginjal. Hipokalsemia terjadi karena
penurunan produksi vitamin D aktif (1,25 dihydroxyvitamin D) yang
bertanggung jawab untuk penyerapan kalsium dan fosfor di gastrointestinal
(GI) dan penekanan ekskresi hormon paratiroid. Hiperfosfatemia terjadi
karena gangguan ekskresi fosfat pada keadaan gagal ginjal. Keadaan
hipokalsemia dan hiperfosfatemia merangsang hipertrofi kelenjar paratiroid
dan menghasilkan peningkatan produksi dan sekresi hormon paratiroid. Secara
keseluruhan, perubahan metabolisme kalsium ini dapat mengakibatkan
osteodistrofi (penyakit tulang ginjal) dan dapat menyebabkan pengendapan
kalsium di seluruh tubuh (mis., Kalsifikasi metastasis).
Penurunan fungsi ginjal dapat mengakibatkan penurunan insulin yang
mengharuskan penurunan dosis obat anti hiperglikemik untuk menghindari
hipoglikemia. Keadaan uremia juga dapat menyebabkan impotensi pada pria
atau infertilitas, misalnya, anovulasi dan amenore pada wanita sebagai akibat
dari regulasi hormon reproduksi yang disfungsional.
Penumpukan racun uremik juga dapat berkontribusi pada keadaan
perikarditis uremik, dan efusi perikardial yang menyebabkan abnormalitas
fungsi jantung bersama dengan kalsifikasi metastasis sebagai akibat
menurunnya fungsi ginjal. Hal ini dapat menyebabkan memburuknya
disfungsi katup jantung atau penekanan kontraktilitas miokard.

J. Gejala Klinis
Uremia yang simptomatik cenderung terjadi dengan kreatinin
clearance menurun di bawah 10 mL/menit kecuali jika gagal ginjal akut,
dalam hal ini beberapa pasien dapat menjadi simptomatik pada keadaan
kreatinin clearence yang lebih tinggi.
Pasien yang mengalami uremia biasanya mengeluh mual, muntah,
kelelahan, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri otot, pruritus, atau
perubahan status mental. Presentasi klinis uremia dapat dijelaskan oleh
gangguan metabolisme yang terkait dengan kondisi tersebut.
Kelelahan akibat anemia dianggap sebagai salah satu komponen utama
sindrom uremik. Pasien dengan riwayat diabetes dapat terjadi peningkatan
kontrol glikemik. Namun keadaan hipoglikemi merupakan risiko yang lebih
besar ketika fungsi ginjal memburuk.
Hipertensi, aterosklerosis, stenosis katup dan insufisiensi, gagal
jantung kronis, dan angina dapat terjadi sebagai akibat dari penumpukan
toksin uremik dan kalsifikasi metastasis yang berhubungan dengan uremia dan
ESRD.
Perdarahan Gastrointestinal yang tersembunyi sebagai akibat kelainan
trombosit dapat muncul dengan mual atau muntah. Tingginya ureum dalam
darah, amonia atau bau napas seperti urin, juga dapat terjadi pada pasien
uremik.
Tabel 1. Tanda dan Gejala Klinis Sindrom Uremikum
Tanda dan Gejala
Saraf dan Otot  Kelelahan
 Neuropati perifer
 Penurunan ketajaman penglihatan
 Kejang
 Anoreksia dan mual
 Penurunan indera penciuman dan
perasa
 Haid terganggu
 Gelisah
 Gangguan tidur
 Koma
 Berkurangnya membran potensial
otot
Endokrin dan metabolik  Amenore dan disfungsi seksual
 Penurunan suhu tubuh
 Perubahan level asam amino
 Penyakit tulang karena retensi
fosfat, hyperparathyroidism, dan
kekurangan vitamin D
 Resisten insulin
 Peningkatan katabolisme protein
otot
Lainnya  Serositis (termasuk pericarditis)
 Gatal
 Cegukan
 Stres oksidan
 Anemia karena kekurangan
eritropoetin dan usia sel darah
merah yang singkat
 fungsi granulosit dan limfosit
 Disfungsi platelet

K. Diagnosis
Penting untuk menentukan apakah pasien dengan gejala uremik
mengalami gagal ginjal akut atau kronis. Pemeriksaan laboratorium untuk
mengevaluasi kelainan pada hemoglobin, kalsium, fosfat, hormon paratiroid,
albumin, kalium, dan bikarbonat selain urinalisis dengan pemeriksaan
mikroskopik akan membantu menunjukkan kemungkinan kelainan.
Pengumpulan urin 24 jam dapat menghitung GFR dan kreatinin, dapat dengan
mudah menggunakan rumus Cockcroft-Gault yang lebih praktis.
Menurut National Kidney Foundation, pasien dengan penyakit ginjal
kronis berdasarkan perkiraan GFR (kreatinin) sebagaimana dihitung dengan
rumus Modifikasi Diet dalam Penyakit Ginjal.
 Derajat 1 : Kerusakan ginjal dengan GFR normal (≥ 90 mL/menit)
 Derajat 2 : Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan (60
mL/mnt hingga 90 mL / menit)
 Derajat 3 : Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang (30
mL/menit hingga 59 mL/mnt)
 Derajat 4 : Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat (15
mL/menit hingga 29 mL/menit)
 Derajat 5 : ESRD (End Stage Renal Disease) (GFR <15 mL/menit
atau pasien menjalani dialisis)
Ultrasonografi (USG) ginjal berguna untuk menentukan ukuran dan
bentuk ginjal, dan untuk mengevaluasi hidronefrosis atau obstruksi ureter dan
atau kandung kemih. Ini dapat terjadi sebagai akibat dari batu ginjal, kelainan
neurologis, trauma, kehamilan, pembesaran prostat, fibrosis retroperitoneal,
tumor perut (sekunder akibat kanker serviks atau prostat) atau kelainan
struktural tambahan. Nefropati diabetik awal, multiple myeloma, penyakit
ginjal polikistik, dan glomerulonefritis yang terkait dengan human
immunodeficiency virus (HIV) semuanya terkait dengan pembesaran ginjal
pada USG. Ginjal yang lebih kecil merupakan indikasi dari perubahan yang
lebih kronis dan ireversibel akibat penyakit ginjal yang sudah berlangsung
lama, nefropati iskemik, atau nefrosklerosis hipertensi.
Jika seorang pasien mengalami perubahan status mental yang
signifikan, pemindaian computed tomography (CT) otak mungkin diperlukan.
Pasien uremik dengan kadar urea nitrogen darah (BUN) darah lebih dari 150
mg/dL hingga 200 mg/dL juga berisiko lebih tinggi mengalami hematoma
subdural spontan. Peningkatan risiko perdarahan dalam keadaan uremia
terutama dalam trauma, CT scan otak dan abdomen juga dapat
dipertimbangkan. CT scan abdomen dapat membantu menjelaskan penyebab
hidronefrosis yang mendasari jika ditemukan pada USG tanpa etiologi yang
jelas.
Selain itu, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat dipertimbangkan
untuk menilai stenosis atau trombosis arteri renalis, atau diseksi arteri aorta
dan renal untuk menyingkirkan semua penyebab gagal ginjal yang berpotensi
reversibel.
Biopsi ginjal dapat membantu dalam menentukan reversibilitas dari
perawatan. Selain itu, biopsy ginjal dapat digunakan untuk membuat diagnosis
yang akurat dari gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis. Biopsi tidak boleh
dilakukan pada kasus atrofi ginjal karena dapat meningkatkan komorbiditas
dan peningkatan risiko perdarahan.

L. Manajemen/Terapi
Dialisis di indikasikan pada pasien dengan uremia simptomatik
misalnya mual, muntah, hiperkalemia, asidosis metabolik yang tidak dapat
diobati dengan obat-obatan dan harus dimulai sesegera mungkin. Pasien
dengan keadaan darurat uremik misalnya, hiperkalemia, asidosis, efusi
perikardial simptomatik, atau ensefalopati uremik memerlukan dialisis darurat
yang harus dimulai dengan hati-hati untuk menghindari sindrom
disekuilibrium dialisis yaitu gejala neurologis sekunder akibat edema serebral
yang terjadi selama atau segera setelah inisiasi dialisis.
Selanjutnya, terapi penggantian ginjal terbaik adalah transplantasi
ginjal, meskipun dapat juga di pertimbangkan untuk hemodialisis jangka
panjang dan dialisis peritoneal. Transplantasi ginjal dikaitkan dengan
perbaikan dalam kelangsungan hidup dan kualitas hidup dan juga harus
dipertimbangkan lebih awal untuk diberikan sebelum kebutuhan untuk dialisis
Penggantian zat besi harus dimulai pada pasien dengan anemia
penyakit ginjal kronis dan defisiensi zat besi yang mendasarinya. Pemberian
eritropoietin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO
ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi
dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kroniik
harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan perburukan
fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12
g/dl.
Hiperparatiroidisme dan hipokalsemia dapat diobati dengan kalsium
karbonat oral atau kalsium asetat, terapi vitamin D oral, dan pengikat fosfat
oral (mis., Kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer atau lantanum
karbonat).
Pasien dengan sindrom uremikum dapat dipertimbangkan di konsul
gizi untuk diatur pola dietnya. Pasien dengan penyakit ginjal kronis harus
mengurangi asupan kalium, fosfat dan natrium. Protein diberikan 0,6-0,8 gr/
KgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi
tinggi. Meskipun ada beberapa bukti yang bertentangan mengenai asupan
protein pada pasien dengan gagal ginjal, rekomendasi diet rendah protein saat
ini sebelum memulai dialisis adalah 0,8 gr-1 gr protein/KgBB/hari. Diet
rendah protein tidak direkomendasikan pada pasien dengan uremia atau
malnutrisi lanjut, karena jenis diet ini dapat mengakibatkan gizi buruk dan
telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dengan dimulainya
dialisis (Setiati, dkk. 2014).
Pasien dengan kreatinin kurang dari 20 mL/menit harus menghindari
asupan kalium yang berlebihan dan menggunakan obat-obatan tertentu dengan
hati-hati (misalnya, diuretik hemat kalium, inhibitor enzim pengonversi
angiotensin (ACE), penghambat reseptor angiotensin, penghambat beta,
blocker, NSAID) karena penumpukan toksin uremik akan berpotensi
meningkatkan risiko perdarahan maka perlu meresepkan anti koagulan oral
atau obat antiplatelet untuk pasien ESRD.
Selanjutnya, obat-obatan nefrotoksik (mis., NSAID, antibiotik
aminoglikosida) harus dihindari pada semua pasien dengan penyakit ginjal.
Untuk menghindari nefrotoksisitas, N-asetilsistein dapat diberikan sebelum
pemberian kontras intravena untuk pencitraan radiologis, meskipun mode
alternatif pencitraan seperti MRI harus dipertimbangkan pada pasien ini, untuk
menghindari risiko cedera ginjal akut sama sekali (Zermaitis, dkk. 2019).
M. Masalah Lainnya
Ensefalopati uremik terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut atau
kronis, begitu GFR yang diperkirakan menurun dan tetap di bawah 15
mL/menit sehingga penting untuk mengenali tanda dan gejala sejak dini,
karena ensefalopati uremik yang tidak diobati dapat berkembang menjadi
koma, sementara apabila gejalanya lebih cepat di dapatkan maka akan lebih
mudah reversibel dengan terapi dialisis. Gejala awal ensefalopati uremik
meliputi mual, anoreksia, gelisah, mengantuk, dan penurunan konsentrasi dan
fungsi kognitif. Ketika ensefalopati uremik berkembang, pasien biasanya
menjadi lebih bingung dan mungkin menunjukkan perilaku aneh dan
ketidakstabilan emosional. Akhirnya, ensefalopati uremik yang parah akan
menyebabkan kesadaran menurun dan koma. Pemeriksaan fisik dapat
mengungkapkan perubahan status mental, tanda-tanda keterlibatan saraf
kranial (mis., Nystagmus), atau papil edema. Pasien juga dapat menunjukkan
hyperreflexia, clonus atau asterixis, dan akhirnya koma (Zermaitis, dkk.
2019).
Seorang pasien dengan ensefalopati uremik harus membaik secara
klinis, setelah memulai dialisis. Namun temuan electroencephalographic
(EEG) seperti perlambatan atau hilangnya gelombang frekuensi alfa, sinyal
tidak teratur, aktivitas latar belakang yang lambat dengan kenaikan gelombang
theta dan delta yang intermiten mungkin tidak membaik secara instan.
Perbaikan mungkin memakan waktu beberapa bulan, dan seseorang mungkin
tidak akan pernah kembali sepenuhnya normal. Mengobati ensefalopati
uremik adalah mengatasi banyak parameter seperti ketika merawat pasien
dengan ESRD misalnya, mengoreksi anemia terkait, ketidakseimbangan
kalsium atau fosfat, memantau kecukupan dialisis (Zermaitis, dkk. 2019).

N. Prognosis
Secara umum, prognosis untuk pasien dengan uremia buruk kecuali
mereka dirawat dengan terapi penggantian ginjal seperti transplantasi atau
dialisis. Ketika penyebab uremia adalah penyebab reversibel, prognosisnya
lebih baik daripada pada pasien dengan penyebab yang tidak dapat diperbaiki.
Pasien uremik harus dirawat di rumah sakit dan memiliki morbiditas dan
mortalitas yang tinggi tanpa perawatan. Pengobatan dengan dialisis
menunjukkan perbaikan namun akses vaskular masih merupakan masalah
utama dalam jangka panjang. Selain itu, pasien dengan uremia juga beresiko
tinggi mengalami masalah kardiak dan stroke (Zermaitis, dkk. 2019).
DAFTAR PUSTAKA

Alper, A. B. dan R. G. Shenava. 2014. Uremia. http://emedicine.medscape.com. 1


Desember 2019 (21:17)
Baron DN. 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik. Edisi 4. EGC. Jakarta
Datu, R.A. 2015. Diktat Anatomi Abdomen. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Makassar
Dijck, A.V., Daele, W.V., Deyn, P.P.D. 2014. Uremic Encephalopathy.
University of Antwerp Belgium
Nigam, S.K., Bush, K.T. 2019. Uraemic syndrome of chronic kidney disease:
altered remote sensing and signaling. Nature reviews; Nephrology.
Department of Pediatrics and Department of Medicine University of
California San Diego. USA
Ridwan, D.M. 2011. Evaluasi Pemilihan Antihipertensi Pada Pasien Gagal
Ginjal Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Unit 2 Periode 2012–2014. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yogyakarta
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam, A.F.,
2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Interna Publishing. Jakarta
Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Aru W Sudoyo, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.
1035
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem (Human Physiology:
From Cells fo Systems) Edisi 6. EGC. Jakarta
Sirait, F.R.H., Sari, M.I. 2017. Ensefalopati Uremikum pada Gagal Ginjal Kronis.
Jurnal Medula Unila 7(1). Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Lampung
Verdiansah, 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Program Pendidikan Dokter
Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,
Indonesia, 43(2), 148–154.
Zemaitis, M.r., Foris. L.A., Chandra, S., Bashir, K. 2019. Uremia. Stat Pearls
Publishing LLC.

Anda mungkin juga menyukai