Anda di halaman 1dari 16

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

MEDICAL SURGICAL NURSING 3


Judul: Analisa Sintesa Tindakan Keperawatan Melakukan Latihan Bladder Training Delay urination/ Menunda
berkemih setiap 2 jam sekali

Nama Pasien (Initial) : TN.RA Nama Praktikan : Friska Gresya Silaen, Jonda Geraldina.W
Usia : 45 Tahun NIM : 01501170423, 01501170042
No. Rekam Medis : 201-345-20 Nama Pembimbing : Ibu Martha Octaria, S.Kep
Diagnosa Medis
: Spinal cord injury dd bilateral radiks neuropati AST 1

Nama Ruang Rawat : R. Mawar (301)


Tanggal Masuk
: 29/06/2020
Tanggal Tindakan : 30/06/2020
No Kriteria Bobot/Nilai
Mahasiswa
1. Diagnosa Keperawatan (PE): 10
Inkontinensia urine reflex berhubungan dengan Gangguan neurologis di atas lokasi pusat mikturisi sakral d.d tidak dapat
merasakan keinginan untuk BAKdan kesulitan mengontrol BAK.
Referensi: Herdman; Kamitsuru (2018). Diagnosis keperawatan defenisi & klarifkasi 2018-2020. Penerbit buku kedokteran:
ECG. ed:11
2. Data Subjekif: 10
- Pasien mengatakan sebelum sakit tidak ada kesulitan berkemih, dapat berkemih 4- 6x/hari ± 200 cc, warna kuning jernih,
berbau khas.
- Pasien mengatakan kesulitan mengontrol BAK
- Pasien mengatakan setelah jatuh saat di rumah BAK keluar tanpa dirasa,
- Pasien mengatakan tidak ada rasa nyeri saat berkemih

3. Data Objektif: 10

Memaparkan data dari hasil observasi, pemeriksaan fisik, data penunjang, dan terapi yang didapatkan pasien yang
mendukung penegakkan diagnosis keperawatan (berdasarkan case study)
Hasil (Observasi):
- Aktivitas harian Buang air kecil : 3 (bantuan alat dan orang)
- Tampak pasien Terpasang Dower Catheter (Tgl 29 Juni 2020)
- Kontur abdomen tampak Rounded - Abdomen teraba massa
- Meatus uretra tidak ada haluaran
- Ginjal kanan dan kiri tidak teraba.
- Produksi urin 850 ml (6 Jam) warna kuning jernih, tidak ada sedimen dan darah pada urin.
(Data Penunjang)
 Pemeriksaan Foto Vetebra Lumbo Sacral AP/ Lateral (29/06/2020):
Tampak kompresi pada vertebrae torakalis 11 dan lumbal 2
 Data pemeriksaan lab: e-GFR hasil 98,1 mL/menit/1,73 m2 (Normal: < 60 mL/menit/1,73 m2)
(Terapi )
 Dower Catheter (Tgl 29 Juni 2020) nomer catheter 16 dan isi balon 25 ml
 Pemberian terapi obat Piracetam (BD) 3gr (IV), Meticobalamin (OD) 500 mg (IV), Metilprednisolon (QDS) 125
mg (IV)

4. Langkah-langkah Tindakan Keperawatan yang dilakukan (menurut teori): 10


Menyebutkan tindakan-tindakan yang merupakan critical point
Menurut (Buku Praktikum Keperawatan Medikal Bedah II,Kemenkes RI 2016) Sebelum melakukan tindakan ini, maka Anda harus
melakukan pengkajian antara lain :
1. Pola berkemih Info ini memungkinkan perawat merencanakan sebuah program yang sering memakan waktu 2 minggu
atau lebih untuk dipelajari.
2. Ada tidaknya ISK atau penyakit penyebab Bila terdapat ISK atau penyakit yang lainnya maka harus diobati dalam waktu
yang sama.
Berdasarkan buku  (MODUL BLOK SISTEM PERKEMIHAN (NS 351) Erfin Firmawati, Ns., MNS, 2016)
Bladder training merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan kontrol terhadap keinginan berkemih.
Secara umum, bladder training dilakukan sejak sebelum kateter hingga setelah kateter dilepas.
Secara umum, panduan bladder training sebelum kateter dilepas adalah sebagai berikut:
1. Perawat harus mengkaji rencana perawatan pasien termasuk kemungkinan durasi terpasang kateter
2. Prosedur bladder training harus dengan persetujuan dokter
3. Jadwal pelaksanaan baldder training perlu didiskusikan dengan pasien
4. Bladder training bisa memakan waktu hingga 4 hari atau setelah pasien mampu mengontrol miksi dengan
baik
5. Kosongkan urin bag saat selang penghubung kateter ke urin bag di klem
6. Saat klem dilepas, catat warna, kejernihan, dan jumlah urin.
7. Sebelum benar-benar dilepas, pasien harus mampu mentoleransi minimal 250 cc urin di kandung kemih
Alat yang digunakan:
1. Klem kateter/klem arteri
2. Penampung urin
3. Sarung tangan bersih
Prosedur bladder training:
1. Jaga privacy pasien
2. Evaluasi
3. Cuci tangan dengan 6 langkah, gunakan sarung tangan bersih
4. Jelaskan prosedur pada pasien
5. Pada hari pertama, klem selang kateter 1-2 jam (disarankan bisa mencapai waktu 2 jam kecuali pasien
merasa kesakitan)
6. Kosongkan urin bag
7. Cek dan evaluasi kondisi pasien, jika pasien merasa kesakitan atau tidak toleran terhadap waktu 2 jam
yang ditentukan, maka kurangi waktunya dan tingkatkan secara bertahap
8. Lepaskan klem setelah 2 jam dan biarkan urine mengalir dari kandung kemih menuju urine bag hingga
kandung kemih kosong
9. Biarkan klem tidak terpasang sekitar 15 menit, setelah itu klem lagi 1-2 jam.
10. . Lanjutkan prosedur ini hinggal 24 jam pertama
11. Pada hari kedua, tingkatkan lama klem menjadi 2-3 jam, lepaskan klem 15 menit dan klem ulang. Lakukan
prosedur ini higga 24 jam
12. Pada hari ketika, tingkatkan lagi lama klem menjadi 3-4 jam, lepaskan klem 15 menit dan klem ulang.
Lakukan prosedur ini higga 24 jam
13. Pada hari ke 4, lepas kateter dan amati seksama respon pasien setelah kateter dilepas
14. Anjurkan pasien untuk ke toilet setiap 2 jam
15. Setelah kateter dilepas, maka lakukan proses selanjutnya yaitu dengan melakukan: kegel exercise, penundaan
berkemih, dan penjadwalan berkemih
16. Kegel exercise adalah latihan untuk penguatan otot pelvis agar mampu menghentikan aliran urin.
Berikut langkah-langkah melakukan kegel exercise:
17. Penundaan berkemih: pada pasien yang mengalami inkontinensia, penundaan berkemih dapat membantu
mengontrol urin. Caranya, saat merasa ingin berkemih, tunda berkemih selama 5 menit. Jika berhasil, maka
tingkatkan waktu penundaan berkemih misalnya menjadi 10 menit. Lakukan hal tersebut secara bertahap
hingga mencapai waktu 3-4 jam. Jika keinginan berkemih sering muncul sebelum batas waktu yang anda
targetkan, lakukan teknik relaksasi. Tarik nafas anda dalam-dalam dan pelan. Kegel exercise bisa diakukan juga
untuk membantu menunda berkemih
18. Penjadwalan berkemih: beberapa orang mengontrol inkontinensia dengan pergi berkemih secara teratur. Hal
ini berarti bahwa pasien pergi berkemih pada jam yang telah ditentukan meskipun belum merasa ingin
berkemih. Pasien bisa dijadwalkan berkemih setiap jam, lalu secara bertaham ditingkatkan hingga waktu
yang sesuai untuk pasien.
19. Perawat dapat menganjurkan pasien untuk:
a. Minum secara normal, minimal 6-8 gelas per hari (1000-1500ml) kecuali ada anjuran lain dari dokter.
Pasien harus minum dengan normal dan tidak mengurangi jumlah minum. Mengurangi asupan cairan
tidak akan memperbaiki inkontinensia, tetapi justru akan membuat urin menjadi sangat pekat. Hal ini
dapat mengiritasi kandung kemih dan membuatnya semakin sering ingin berkemih sementara urin
yang tertampung dalam kandung kemih sangat sedikit. Kondisi ini juga dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih.
b. Minum secara bertahap. Hindari minum banyak dalam sekali waktu. Minum banyak dalam sekali
waktu, keinginan untuk berkemih akan lebih susah dikendalikan karena kandung kemih segera
penuh, sehingga keinginan berkemih akan segera muncul setelah minum banyak.
c. Beberapa minuman dapat mengiritasi kandung kemih dan menyebabkan keinginan untuk berkemih
semakin sering. Minuman beralkohon dan mengandung kafein harus dihindari. Minuman jenis lain
yaitu minuman bersoda, coklat, dan minuman berkabonasi.
d. Hindari banyak minum 2 jam menjelang tidur karena banyak minum sebelum tidur akan meningkatkan
keinginan berkemih saat malam hari. Anjurkan pasien untuk segera mencari pertolongan medis jika
setelah dilepas kateternya pasien mengalami:
 Tidak dapat berkemih selama 6 jam
 Ada perasaan ingin berkemih tetapi tidak dapat berkemih
 Mengalami nyeri hebat di punggung (back pain)
 Perut membesar
 Demam (> 37.5
 Mual dan muntah
20. Tahap terminasi
a) Tanyakan respon pasien
b) Jelaskan rencana tindak lanjut
c) Salam terapeutik disampaikan kepada pasien
d) Dokumentasikan : volume urin, warna, bau urin, serta respon pasien
Menurut (Buku Praktikum Keperawatan Medikal Bedah II, Kemenkes RI 2016) Hal –hal yang perlu
diperhatikansaat pelaksanaan:
1. Tentukan pola berkemih pasien dan dorong pasien untuk berkemih pada saat itu.
Ciptakan jadwal berkemih regular dan bantu pasien untuk mempertahankannya, baik pasien merasakan keinginan untuk
berkemih ataupun tidak. ( contoh : sesaat setelah bangun, tiap 1 hingga 2 jam selama siang hari, sebelum tidur, setiap 4 jam
pada malam hari). Rangkaian peregangan-relaksasi dalam jadwal tersebut dapat meningkatkan tonus otot dan kontrol
volunter. Instruksikan pasien untuk mempraktikkan nafas dalam hingga rasa keinginan berkemih berkurang atau hilang.
2. Ketika pasien sudah mampu merasakan dapat mengontrol berkemih, jangka waktu bisa diperpanjang tanpa adanya
inkontinensia.
3. Atur asupan cairan, terutama pada siang hari, untuk membantu mengurangi kebutuhan berkemih pada malam hari.
4. Dorong pasien untuk minum Antara pukul 06.00 – 18.00.
5. Hindari konsumsi berlebihan dari jus sitrus, minuman berkabonasi (khususnya minuman dengan pemanis buatan),
alkohol dan minuman yang mengandung kafein, karena dapat mengiritasi bladder, meningkatkan resiko inkontinensia.
6. Bila pasien mendapatkan terapi diuretik, jadwalkan pemberian pada pagi hari.
7. Jelaskan pada pasien untuk minum air secara adekuat, hal ini dibutuhkan untuk memastikan produksi urin adekuat yang
dapat menstimulasi refleks berkemih.
8. Gunakan pengalas untuk mempertahankan tempat tidur dan linen tetap kering. Hindari penggunaan diaper, menghindari
persepsi boleh mengompol.
9. Bantu pasien dengan program latihan untuk meningkatkan tonus otot dan program latihan otot pelvis yang bertujuan
untuk menguatkan otot dasar panggul.
10. Berikan reward positif untuk mendorong kemampuan berkemih.

5. Dasar Pemikiran: 15
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet :
kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik
volunteer. Spinal Cord Injury ( SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut elemen saraf dari kanal tulang belakang,
termasuk sumsum tulang belakang dan cauda equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung
kemih sementara atau permanen (Oteir et al, 2014).
Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan
neurobiologis (lessi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur. (Hidayat, 2011). Dalam sumber lain menurut (Lewis,2011)
inkiontinensia refleks ditandai dengan keluarnya urin yang tidak disadari yang disebabkan oleh adanya lesi pada medulla spinalis sacrum S2 ke atas.
Hal ini yang menyebabkan terjadinya hiperrefleksia destrusor kandung kemih dan menggangu jalur koordinasi antar kontraksi dan relaksasi sfingter.

Penatalaksanaan dalam inkontensia urin yang mengalami gangguan berkemih adanya sumbatan atau ketidakmampuan otot
sfingter dilakukan pemasangan douwer chateter. Douwer chateter merupakan selang yang dimasukkan pada kandung kemih
melalui uretra pada pasien tidak mampu mengeluarkan urin dari kandung kemih secara mandiri (Potter & Perry, 2010)
Kateterisasi urine adalah pemasangan kateter melalui uretra ke kandung kemih. Tindakan pemasangan kateter dilakukan
pada pasien dengan indikasi yaitu: untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil,
untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung
kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien
yang sakit berat (Smelzter & Bare,2013, hlm. 1388).
Tindakan pemasangan kateter dilakukan membantu pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang
mengalami obstruksi pada saluran kemih. Namun tindakan ini bisa menimbulkan masalah lain seperti infeksi, trauma pada
uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya rangsangan berkemih terjadi akibat pemasangan kateter dalam
waktu yang lama sehingga dapat mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi selain itu juga dapat
mengakibatkan kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Otot detrusor tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat
mengontrol pengeluaran urinnya, atau inkontinensia urine (Smelzter & Bare,2013, hlm.1390).

Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang klien yang mengalami cidera medulla spinalis, digenerasi neuromuscullar
atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan
meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Potter & Perry, 2013)
Pemakaian kateter berkelanjutan akan menyebabkan infeksi saluran kemih. Tindakan yang perlu dilakukan untuk
meminimalkan dampak kateterisasi adalah perawatan kateter dari mulai pemasangan sampai melepas, termasuk persiapan
perawat saat akan melepas kateter, salah satunya untuk meningkatkan kualitas hidup pasien adalah dengan program bladder
training (Sabrini, 2015).
6. Analisa Tindakan Keperawatan: 15

Sebutkan prinsip tindakan dan analisis apakah dosis/tindakan yang diberikan cukup untuk pasien? Jelaskan (disertai
sumber/artikel)
1. Prinsip tindakan > Prinsip pada pelaksanaan bladder training yang dilakukan adalah Prinsip Bersih. Karena dalam
langkah-langkah tertulis dalam buku  (MODUL BLOK SISTEM PERKEMIHAN (NS 351) Erfin Firmawati, Ns., MNS,
2016) yang mengatakan bahwa Cuci tangan dengan 6 langkah, gunakan sarung tangan bersih
2. Analisa Tindakan:

Bladder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan sfingter kandung
kemih agar berfungsi optimal (Pamungkas dkk, 2013). Bladder training adalah salah upaya untuk mengembalikan fungsi
kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Bladder training
merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi non farmakologis.
Tujuan dari bladder training adalah untuk memperpanjang interval antara urin pasien, menstabilkan kandung kemih dan
menghilangkan urgensi. Umumnya bladder training dilakukan sebelum kateter dilepas dengan cara kateter di klem selama
dua jam dan dilepas setelah satu jam (Sabrini, 2015).
Bladder training terdapat 3 Tutik (2012) yaitu :

a. Kegel exercises (Latihan otot dasar panggul)

Merupakan latihan yang dilakukan dengan cara mengencangkan atau otot-otot dasar panggul.

b. Delay urination (Menunda berkemih)

Merupakan latihan dengan cara menunda interval waktu untuk berkemih dalam waktu yang sudah di tentukan.

c. Scheduled bathroom trips (jadwal berkemih)

Merupakan latihan dengan cara membuat jadwal berkemih dengan waktu penjadwalan yang sudah di tentukan seperti,
bangun pagi, dua jam pada siang dan sore hari dan sebelum tidur

Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang

terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Tindakan ini dapat

dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Bladder

training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan

klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam. Kateter diklem selama 20 menit dan kemudian dilepas. Terapi ini

bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbakai teknik distraksi atau teknik relaksasi

sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali perhari atau 3-4 jam sekali. (Ginsberg D, 2013)

Dalam sumber lain, Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menjepit katater urin dengan klem kemudian jepitanya di

lepas setiap beberapa jam sekali, kateter di klem selama 1-2 jam dan kemudian klem kateter dilepas agar aliran urin

mengalir ke urin bag, tindakan penjepitan kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot-otot detrusor

brkontraksi dan sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Hariyati dan

Tutik, 2012).

- SCI adalah traumatik akut elemen saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda

equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung kemih sementara atau permanen (Oteir et

al, 2014). Dimana ini sesuai dengan kondisi pasien saya yang terdapat pada case study 10 dimana kondisi pada Tn. RA

mengatakan kesulitan mengontrol BAK, Pasien mengatakan setelah jatuh saat di rumah BAK keluar tanpa dirasa,

Pasien mengatakan tidak ada rasa nyeri saat berkemih.

- Pengkajian riwayat baik pola berkemih ,ataupun pengkajian riwayat penyakit seperti yang dijelaskan Menurut (Buku
Praktikum Keperawatan Medikal Bedah II,Kemenkes RI 2016) Sebelum melakukan tindakan ini, maka Anda harus melakukan

pengkajian antara lain :

1. Pola berkemih Info ini memungkinkan perawat merencanakan sebuah program yang sering memakan waktu 2

minggu atau lebih untuk dipelajari.

2. Ada tidaknya ISK atau penyakit penyebab Bila terdapat ISK atau penyakit yang lainnya maka harus diobati dalam

waktu yang sama.

- Tindakan yang saya lakukan adalah melakukan jadwal berkemih dengan menunda selama 1-2 jam dengan cara

mengklem bagian kateter, untuk meningkatkan refleks berkemih pada pasien dan sesuai dengan pendapat teori dari

(Hariyati dan Tutik, 2012) dimana menyatakan kateter di klem selama 1-2 jam dan kemudian klem kateter dilepas agar

aliran urin mengalir ke urin bag, tindakan penjepitan kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot-

otot detrusor brkontraksi dan sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya.

- Jika penggunaan kateter yang lama dan tidak dilakukan latihan blader training dapat menyebabkan infeksi dan penyakit lain seoperti yang
dijelaskan pada (European Association of Urology Nurses, 2012 ). Namun pemasangan kateter memberikan dampak pada pasien yaitu infeksi
saluran kemih, menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai obat. Gejala ruang dekubitus, infaksi kulit serta
saluran kemih dan pembatasan aktifitas merupakan penyebab dari inkontinensia urine( Brunner & suddarth, 2013 )

7. Bahaya yang dapat terjadi? (Komponen Bahaya dan Pencegahan) 10


Bahaya:
Efek samping bladder Training:
- Bila dilakukan tindakan bledder training yang terlalu lama dari waktu yang dianjurkan, Akibatnya maka akan terjadi
obstruksi saluran kemih, karena urine tidak mampu melewati prostat sehingga menimbulkan retensio urine,
pembentukan batu pada kandung kemih dan apabila tidak segera diobati dapat mengakibatkan gagal ginjal.
(Sjamsuhidajat & de jong. 2010)
- Bila tidak sering dilakukan pengecekan secara teratur kantong urine ketika klem sudah dilepas dan terjadi refluks urine
yang memungkinkan terjadinya infeksi. (Erfin Firmawati, Ns., MNS Arianti, 2016)
- Meningkatkan terjadinya urgensi, infeksi saluran kemih. (Sri Wulandari, 2012).
Pencegahan:
- Melakukan pengkajian secara teratur pada pada bagian abdomen, kandung kemih, dan gejala terjadinya retensi urine.
- Mengobservasi secara terartur warna, kejernihan, dan jumlah urin. (Erfin Firmawati, Ns., MNS Arianti, 2016)
- Melakukan Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih apakah sudah kembali. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu
dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Percatatan pola
berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. (Aspiani, 2014)
- Memeriksa secara teratur isi kantong urin apakah sudah melebihi 2/3 bagian ketika klem sudah dilepas.
- Mengurangi tekanan intravesical juga membantu untuk menjaga fungsi dari ginjal. Resiko komplikasi seperti infeksi, nyeri dan trauma dapat
dikurangi dengan menggunakan kateter. (Rantell, A, 2012)
- Mengedukasi pasien dan keluarga tentang tanda-tanda infeksi ataupun komplikasi yang kemungkinan terjadi agar segera melaporkan kepada
perawat atau dokter. (Erliant, dr. Harrina, 2018)
- Menganjurkan dan mengedukasi pasien untuk minum secara normal, minimal 6-8 gelas per hari (1000-1500ml)
kecuali ada anjuran lain dari dokter. Pasien harus minum dengan normal dan tidak mengurangi jumlah minum.
Mengurangi asupan cairan tidak akan memperbaiki inkontinensia, tetapi justru akan membuat urin menjadi
sangat pekat. Hal ini dapat mengiritasi kandung kemih dan membuatnya semakin sering ingin berkemih
sementara urin yang tertampung dalam kandung kemih sangat sedikit. Kondisi ini juga dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih. (Erfin Firmawati, Ns., MNS Arianti, 2016)
- Mengedukasi pasien untuk minum secara bertahap. Hindari minum banyak dalam sekali waktu. Minum banyak
dalam sekali waktu, keinginan untuk berkemih akan lebih susah dikendalikan karena kandung kemih
segera penuh, sehingga keinginan berkemih akan segera muncul setelah minum banyak. (Erfin Firmawati, Ns., MNS
Arianti, 2016)
- Edukasi pasien dan keluarga tentang minuman yang dapat mengiritasi kandung kemih dan menyebabkan keinginan
untuk berkemih semakin sering. Minuman beralkohon dan mengandung kafein harus dihindari. Minuman jenis
lain yaitu minuman bersoda, coklat, dan minuman berkabonasi. (Erfin Firmawati, Ns., MNS Arianti, 2016)
- Berkolaborasi dengan Dokter dan laboran untuk melakukan pemeriksaan urinalisis secara berkala. (Erliant, dr. Harrina,
2018).

Referensi:
- Erliant, dr. Harrina. (2018). Panduan Tata Laksana Urine pada Dewasa, edisi 2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia: Jakarta.
- Aspiani, R. Y. (2014). “Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Aplikasi NANDA, NIC dan NOC”. Edisi 1; Jakarta:
EGC
-  Rantell, A. (2012) Intermittent self‐catheterisation in women. Nursing Standard, 26(42), 61–68.
- Erfin Firmawati, Ns., MNS (2016). MODUL BLOK SISTEM PERKEMIHAN (NS 351). Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Uniersitas Muhammadiyah: Yogyakarta.
- Wulandari, Sri. (2012).Pengaruh Latihan Bladder Training Terhadap Penurunan Inkontinensia Pada Lanjut Usia Dipanti Wreda Dharma Bakti
Surakarta.
- Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
8. Hasil yang didapat: 10
Mengevaluasi perubahan pada pasien setelah diberikan intervensi/tindakan dengan menggunakan SOAP
(30/06/2020, Pukul 20.00)
S: pasien mengatakan pasien masih sering tidak merasakan keinginan untuk berkemih, dan tidak merasaka apapun saat
berkemih.
O: pasien masih terpasang cateter Tanda-tanda Vital TD : 120/80, HR : 92 x/menit, RR : 20x/menit suhu:36,7 °C
Produksi urin 850 ml, warna kuning jernih, tidak ada sedimen dan darah pada urin, tidak ada ditensi pada kandung
kemih, Tidak ada tanda-tanda infeksi yang terlihat pada sekitar area katerisasi.
A: Masalah keperawatan Inkontinensia urine reflex berhubungan dengan spinal cord injury belum teratasi
P:Intervensi dilanjutkan:
- Pemberian obat sesuai IMR
(Pemberian terapi obat Piracetam (BD) 3gr (IV), Meticobalamin (OD) 500 mg (IV), Metilprednisolon (QDS) 125 mg
(IV))
- Latihan berjadwal untuk berkemih setiap 2 jam sekali
- Pertahankan Hygiene dan rutinitas perawatan kulit yang adekuat
- Monitor Tanda-tanda vital
- Monitor kateristik urin: warna urin, bau, volume
9. Evaluasi Diri 5
Kelebihan saya adalah saya sudah terbiasa untuk melaukukan komunikasi terpeutik dan mengkomunikasikan mengenai tujuan
dan manfaat serta hal yang perlu diketahui oleh pasien dari tindakan bladder traing yang saya lakukan.
Kekurangan saya adalah saya masih takut untuk melakukan bladder training secara mandiri sehingga masih perlu didamping dan
diawasi oleh senior / kkaaperawat sehingga meminimalisir resiko yang terjadi
Perbaikan: saya akan berusaha mempelajari apa saja hal-hal penting untuk membuat saja semakin kompeten baik dalam
meningkatkan hasil bagi pasien maupun keahlian saya dalam melakukan tindakan bladder training.
10. Daftar Pustaka (APA style): 5
Menggunakan minimal 3 literatur (buku/artikel) maksimal 10 tahun terakhir.
 Herdman; Kamitsuru (2018). Diagnosis keperawatan defenisi & klarifkasi 2018-2020. Penerbit buku kedokteran: ECG.
ed:11
 Black, J.M & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi
8. Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.
 Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2. Jakarta EGC
 Pamungkas, M Reza, Nurhayati Nurhayati dan Musiana Musiana. (2013). Pengaruh Latihan Kandung Kemih (Bladder
Training) Terhadap Interval Berkemih Wanita Lanjut Usia (Lansia) Dengan Inkontinensia Urin. Jurnal Keperawatan Vol
9 no 2.
 Potter and Perry. (2010). Fundamental Of Nurshing Buku 3 Edisi. Salemba Medika: Jakarta.
 Sabrini, Lucy Angelia, Ismonah dan Samsul Arif. (2015). Efektifitas Bladder Training Sejak Dini Dan Sebelum Pelepasan
Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontensia Urin Pada Pasien Paska Operasi Di Smc Rs Telogorejo. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan Vol 2 No 3.
 Aspiani, R. Y. (2014). “Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Aplikasi NANDA, NIC dan NOC”. Edisi 1; Jakarta:
EGC
 Smeltzer, S.C., & Bare, B.B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. Jakarta : EGC
 IUGA. (2011). Bladder training. Article of International Gynecologycal Ascosiation.Diakses pada 7 juli 2020, dari:
www.iuga.org/resource/resmgr/.../eng_btraining.pdf
 Erliant, dr. Harrina. (2018) Panduan Tata Laksana Urine pada Dewasa. Edisi 2; Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Diakses pada 16 Juli 2020, dari: http://103.139.98.4/iaui/Guideline%20PERKINA%202018_24.1.19.pdf
 Hidayat, Alimul Aziz. (2011). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika
 Doengoes, Marilynn E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien Ed.3. Jakarta: EGC.
 Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp.
191- 194.
 Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
 Rantell, A. (2012) Intermittent self‐catheterisation in women. Nursing Standard, 26(42), 61–68
 Erfin Firmawati, Ns., MNS (2016). MODUL BLOK SISTEM PERKEMIHAN (NS 351). Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Uniersitas
Muhammadiyah: Yogyakarta. Diakses pada 7 Juli 2020, dari http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14155/Blok
%20perkemihan.pdf?sequence=1&isAllowed=y
 Wulandari, Sri. (2012).Pengaruh Latihan Bladder Training Terhadap Penurunan Inkontinensia Pada Lanjut Usia Dipanti Wreda Dharma Bakti
Surakarta.Diakses pada 16 Juli 2020,dari: http://eprints.ums.ac.id/19599/20/12._NASKAH_PUBLIKASI.pdf
Total 100

Anda mungkin juga menyukai