Nama Pasien (Initial) : TN.RA Nama Praktikan : Friska Gresya Silaen, Jonda Geraldina.W
Usia : 45 Tahun NIM : 01501170423, 01501170042
No. Rekam Medis : 201-345-20 Nama Pembimbing : Ibu Martha Octaria, S.Kep
Diagnosa Medis
: Spinal cord injury dd bilateral radiks neuropati AST 1
3. Data Objektif: 10
Memaparkan data dari hasil observasi, pemeriksaan fisik, data penunjang, dan terapi yang didapatkan pasien yang
mendukung penegakkan diagnosis keperawatan (berdasarkan case study)
Hasil (Observasi):
- Aktivitas harian Buang air kecil : 3 (bantuan alat dan orang)
- Tampak pasien Terpasang Dower Catheter (Tgl 29 Juni 2020)
- Kontur abdomen tampak Rounded - Abdomen teraba massa
- Meatus uretra tidak ada haluaran
- Ginjal kanan dan kiri tidak teraba.
- Produksi urin 850 ml (6 Jam) warna kuning jernih, tidak ada sedimen dan darah pada urin.
(Data Penunjang)
Pemeriksaan Foto Vetebra Lumbo Sacral AP/ Lateral (29/06/2020):
Tampak kompresi pada vertebrae torakalis 11 dan lumbal 2
Data pemeriksaan lab: e-GFR hasil 98,1 mL/menit/1,73 m2 (Normal: < 60 mL/menit/1,73 m2)
(Terapi )
Dower Catheter (Tgl 29 Juni 2020) nomer catheter 16 dan isi balon 25 ml
Pemberian terapi obat Piracetam (BD) 3gr (IV), Meticobalamin (OD) 500 mg (IV), Metilprednisolon (QDS) 125
mg (IV)
5. Dasar Pemikiran: 15
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet :
kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik
volunteer. Spinal Cord Injury ( SCI) didefinisikan sebagai lesi traumatik akut elemen saraf dari kanal tulang belakang,
termasuk sumsum tulang belakang dan cauda equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung
kemih sementara atau permanen (Oteir et al, 2014).
Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan
neurobiologis (lessi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur. (Hidayat, 2011). Dalam sumber lain menurut (Lewis,2011)
inkiontinensia refleks ditandai dengan keluarnya urin yang tidak disadari yang disebabkan oleh adanya lesi pada medulla spinalis sacrum S2 ke atas.
Hal ini yang menyebabkan terjadinya hiperrefleksia destrusor kandung kemih dan menggangu jalur koordinasi antar kontraksi dan relaksasi sfingter.
Penatalaksanaan dalam inkontensia urin yang mengalami gangguan berkemih adanya sumbatan atau ketidakmampuan otot
sfingter dilakukan pemasangan douwer chateter. Douwer chateter merupakan selang yang dimasukkan pada kandung kemih
melalui uretra pada pasien tidak mampu mengeluarkan urin dari kandung kemih secara mandiri (Potter & Perry, 2010)
Kateterisasi urine adalah pemasangan kateter melalui uretra ke kandung kemih. Tindakan pemasangan kateter dilakukan
pada pasien dengan indikasi yaitu: untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil,
untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung
kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien
yang sakit berat (Smelzter & Bare,2013, hlm. 1388).
Tindakan pemasangan kateter dilakukan membantu pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang
mengalami obstruksi pada saluran kemih. Namun tindakan ini bisa menimbulkan masalah lain seperti infeksi, trauma pada
uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya rangsangan berkemih terjadi akibat pemasangan kateter dalam
waktu yang lama sehingga dapat mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi selain itu juga dapat
mengakibatkan kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Otot detrusor tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat
mengontrol pengeluaran urinnya, atau inkontinensia urine (Smelzter & Bare,2013, hlm.1390).
Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang klien yang mengalami cidera medulla spinalis, digenerasi neuromuscullar
atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan
meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Potter & Perry, 2013)
Pemakaian kateter berkelanjutan akan menyebabkan infeksi saluran kemih. Tindakan yang perlu dilakukan untuk
meminimalkan dampak kateterisasi adalah perawatan kateter dari mulai pemasangan sampai melepas, termasuk persiapan
perawat saat akan melepas kateter, salah satunya untuk meningkatkan kualitas hidup pasien adalah dengan program bladder
training (Sabrini, 2015).
6. Analisa Tindakan Keperawatan: 15
Sebutkan prinsip tindakan dan analisis apakah dosis/tindakan yang diberikan cukup untuk pasien? Jelaskan (disertai
sumber/artikel)
1. Prinsip tindakan > Prinsip pada pelaksanaan bladder training yang dilakukan adalah Prinsip Bersih. Karena dalam
langkah-langkah tertulis dalam buku (MODUL BLOK SISTEM PERKEMIHAN (NS 351) Erfin Firmawati, Ns., MNS,
2016) yang mengatakan bahwa Cuci tangan dengan 6 langkah, gunakan sarung tangan bersih
2. Analisa Tindakan:
Bladder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan sfingter kandung
kemih agar berfungsi optimal (Pamungkas dkk, 2013). Bladder training adalah salah upaya untuk mengembalikan fungsi
kandung kencing yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Bladder training
merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi non farmakologis.
Tujuan dari bladder training adalah untuk memperpanjang interval antara urin pasien, menstabilkan kandung kemih dan
menghilangkan urgensi. Umumnya bladder training dilakukan sebelum kateter dilepas dengan cara kateter di klem selama
dua jam dan dilepas setelah satu jam (Sabrini, 2015).
Bladder training terdapat 3 Tutik (2012) yaitu :
Merupakan latihan yang dilakukan dengan cara mengencangkan atau otot-otot dasar panggul.
Merupakan latihan dengan cara menunda interval waktu untuk berkemih dalam waktu yang sudah di tentukan.
Merupakan latihan dengan cara membuat jadwal berkemih dengan waktu penjadwalan yang sudah di tentukan seperti,
bangun pagi, dua jam pada siang dan sore hari dan sebelum tidur
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih). Pada pasien yang
terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Tindakan ini dapat
dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Bladder
training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan
klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam. Kateter diklem selama 20 menit dan kemudian dilepas. Terapi ini
bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbakai teknik distraksi atau teknik relaksasi
sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali perhari atau 3-4 jam sekali. (Ginsberg D, 2013)
Dalam sumber lain, Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menjepit katater urin dengan klem kemudian jepitanya di
lepas setiap beberapa jam sekali, kateter di klem selama 1-2 jam dan kemudian klem kateter dilepas agar aliran urin
mengalir ke urin bag, tindakan penjepitan kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot-otot detrusor
brkontraksi dan sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Hariyati dan
Tutik, 2012).
- SCI adalah traumatik akut elemen saraf dari kanal tulang belakang, termasuk sumsum tulang belakang dan cauda
equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau disfungsi kandung kemih sementara atau permanen (Oteir et
al, 2014). Dimana ini sesuai dengan kondisi pasien saya yang terdapat pada case study 10 dimana kondisi pada Tn. RA
mengatakan kesulitan mengontrol BAK, Pasien mengatakan setelah jatuh saat di rumah BAK keluar tanpa dirasa,
- Pengkajian riwayat baik pola berkemih ,ataupun pengkajian riwayat penyakit seperti yang dijelaskan Menurut (Buku
Praktikum Keperawatan Medikal Bedah II,Kemenkes RI 2016) Sebelum melakukan tindakan ini, maka Anda harus melakukan
1. Pola berkemih Info ini memungkinkan perawat merencanakan sebuah program yang sering memakan waktu 2
2. Ada tidaknya ISK atau penyakit penyebab Bila terdapat ISK atau penyakit yang lainnya maka harus diobati dalam
- Tindakan yang saya lakukan adalah melakukan jadwal berkemih dengan menunda selama 1-2 jam dengan cara
mengklem bagian kateter, untuk meningkatkan refleks berkemih pada pasien dan sesuai dengan pendapat teori dari
(Hariyati dan Tutik, 2012) dimana menyatakan kateter di klem selama 1-2 jam dan kemudian klem kateter dilepas agar
aliran urin mengalir ke urin bag, tindakan penjepitan kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot-
otot detrusor brkontraksi dan sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya.
- Jika penggunaan kateter yang lama dan tidak dilakukan latihan blader training dapat menyebabkan infeksi dan penyakit lain seoperti yang
dijelaskan pada (European Association of Urology Nurses, 2012 ). Namun pemasangan kateter memberikan dampak pada pasien yaitu infeksi
saluran kemih, menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai obat. Gejala ruang dekubitus, infaksi kulit serta
saluran kemih dan pembatasan aktifitas merupakan penyebab dari inkontinensia urine( Brunner & suddarth, 2013 )
Referensi:
- Erliant, dr. Harrina. (2018). Panduan Tata Laksana Urine pada Dewasa, edisi 2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia: Jakarta.
- Aspiani, R. Y. (2014). “Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Aplikasi NANDA, NIC dan NOC”. Edisi 1; Jakarta:
EGC
- Rantell, A. (2012) Intermittent self‐catheterisation in women. Nursing Standard, 26(42), 61–68.
- Erfin Firmawati, Ns., MNS (2016). MODUL BLOK SISTEM PERKEMIHAN (NS 351). Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Uniersitas Muhammadiyah: Yogyakarta.
- Wulandari, Sri. (2012).Pengaruh Latihan Bladder Training Terhadap Penurunan Inkontinensia Pada Lanjut Usia Dipanti Wreda Dharma Bakti
Surakarta.
- Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
8. Hasil yang didapat: 10
Mengevaluasi perubahan pada pasien setelah diberikan intervensi/tindakan dengan menggunakan SOAP
(30/06/2020, Pukul 20.00)
S: pasien mengatakan pasien masih sering tidak merasakan keinginan untuk berkemih, dan tidak merasaka apapun saat
berkemih.
O: pasien masih terpasang cateter Tanda-tanda Vital TD : 120/80, HR : 92 x/menit, RR : 20x/menit suhu:36,7 °C
Produksi urin 850 ml, warna kuning jernih, tidak ada sedimen dan darah pada urin, tidak ada ditensi pada kandung
kemih, Tidak ada tanda-tanda infeksi yang terlihat pada sekitar area katerisasi.
A: Masalah keperawatan Inkontinensia urine reflex berhubungan dengan spinal cord injury belum teratasi
P:Intervensi dilanjutkan:
- Pemberian obat sesuai IMR
(Pemberian terapi obat Piracetam (BD) 3gr (IV), Meticobalamin (OD) 500 mg (IV), Metilprednisolon (QDS) 125 mg
(IV))
- Latihan berjadwal untuk berkemih setiap 2 jam sekali
- Pertahankan Hygiene dan rutinitas perawatan kulit yang adekuat
- Monitor Tanda-tanda vital
- Monitor kateristik urin: warna urin, bau, volume
9. Evaluasi Diri 5
Kelebihan saya adalah saya sudah terbiasa untuk melaukukan komunikasi terpeutik dan mengkomunikasikan mengenai tujuan
dan manfaat serta hal yang perlu diketahui oleh pasien dari tindakan bladder traing yang saya lakukan.
Kekurangan saya adalah saya masih takut untuk melakukan bladder training secara mandiri sehingga masih perlu didamping dan
diawasi oleh senior / kkaaperawat sehingga meminimalisir resiko yang terjadi
Perbaikan: saya akan berusaha mempelajari apa saja hal-hal penting untuk membuat saja semakin kompeten baik dalam
meningkatkan hasil bagi pasien maupun keahlian saya dalam melakukan tindakan bladder training.
10. Daftar Pustaka (APA style): 5
Menggunakan minimal 3 literatur (buku/artikel) maksimal 10 tahun terakhir.
Herdman; Kamitsuru (2018). Diagnosis keperawatan defenisi & klarifkasi 2018-2020. Penerbit buku kedokteran: ECG.
ed:11
Black, J.M & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi
8. Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2. Jakarta EGC
Pamungkas, M Reza, Nurhayati Nurhayati dan Musiana Musiana. (2013). Pengaruh Latihan Kandung Kemih (Bladder
Training) Terhadap Interval Berkemih Wanita Lanjut Usia (Lansia) Dengan Inkontinensia Urin. Jurnal Keperawatan Vol
9 no 2.
Potter and Perry. (2010). Fundamental Of Nurshing Buku 3 Edisi. Salemba Medika: Jakarta.
Sabrini, Lucy Angelia, Ismonah dan Samsul Arif. (2015). Efektifitas Bladder Training Sejak Dini Dan Sebelum Pelepasan
Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontensia Urin Pada Pasien Paska Operasi Di Smc Rs Telogorejo. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan Vol 2 No 3.
Aspiani, R. Y. (2014). “Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Aplikasi NANDA, NIC dan NOC”. Edisi 1; Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.C., & Bare, B.B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. Jakarta : EGC
IUGA. (2011). Bladder training. Article of International Gynecologycal Ascosiation.Diakses pada 7 juli 2020, dari:
www.iuga.org/resource/resmgr/.../eng_btraining.pdf
Erliant, dr. Harrina. (2018) Panduan Tata Laksana Urine pada Dewasa. Edisi 2; Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Diakses pada 16 Juli 2020, dari: http://103.139.98.4/iaui/Guideline%20PERKINA%202018_24.1.19.pdf
Hidayat, Alimul Aziz. (2011). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika
Doengoes, Marilynn E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien Ed.3. Jakarta: EGC.
Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp.
191- 194.
Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
Rantell, A. (2012) Intermittent self‐catheterisation in women. Nursing Standard, 26(42), 61–68
Erfin Firmawati, Ns., MNS (2016). MODUL BLOK SISTEM PERKEMIHAN (NS 351). Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Uniersitas
Muhammadiyah: Yogyakarta. Diakses pada 7 Juli 2020, dari http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14155/Blok
%20perkemihan.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Wulandari, Sri. (2012).Pengaruh Latihan Bladder Training Terhadap Penurunan Inkontinensia Pada Lanjut Usia Dipanti Wreda Dharma Bakti
Surakarta.Diakses pada 16 Juli 2020,dari: http://eprints.ums.ac.id/19599/20/12._NASKAH_PUBLIKASI.pdf
Total 100