Kasus 2-Widya Astriyani
Kasus 2-Widya Astriyani
Widya Astriyani
2006626424
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
PATOLOGI KLINIK
RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
SEPTEMBER 2021
1
KASUS
Pada tanggal 30 Juni 2021 diterima sampel cairan asites pasien dari unit rawat Gedung A atas
nama Tn. S, usia 64 tahun, dengan keterangan klinis cairan pada perut, dilakukan
pemeriksaan laboratorium sbb:
Makroskopis
Warna Kuning Kuning Muda
Kejernihan DATA
Keruh Jernih
Bekuan Positif Negatif
Rivalta Positif Negatif
Mikroskopis
Jumlah sel
WBC 62623 /uL <200
Kimia
LDH Cairan 23625 U/L <400
LDH Serum 227 U/L 125-220
Rasio LDH 104 <0.6
Protein cairan total 4.0 g/dL 6.4 – 8.3
Protein total serum 6.5 g/dL
Rasio Protein 0.62 <0.5
Albumin Cairan 1.1 g/dL 3.2 -4.6
Albumin Serum 1.8 g/dL
Serum Asites Alb Gradien 0.7 g/dL >1.1
Glukosa Cairan 10 mg/dL
Glukosa serum 64 g/dL 60 – 140
Kesan Eksudat
Susp. Infeksi
TAMBAHAN
Anamnesis
Keluhan utama:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah darah 3 kali sejak 3 jam SMRS. Muntah darah
berwarna hitam.
Universitas Indonesia
2
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 155/97 mmHg
Frekuensi nadi : 89x/menit
Frekuensi napas : 18x/menit
Suhu : 36,5°C
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : tidak tampak adanya kelainan
Mulut : tidak tampak adanya kelainan
Leher : JVP tidak meningkat, tidak teraba pembesaran KGB
Paru : suara napas vesikuler +/+, tidak ada ronkhi dan wheezing
Jantung : bunyi jantung I-II reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen : distensi, shifting dullness(+), hepar dan lien sulit dinilai, nyeri tekan
ringan
Ekstremitas : akral hangat, pitting edema(+)
Universitas Indonesia
3
Hitung Jenis
Basofil 0.6 % 0-2
Eosinofil 0.1 % 1-6
Neutrofil 86.2 % 40.0-80.0
Limfosit 5.5 % 20-40
Monosit 7.6 % 2-10
HEMOSTASIS
PT 13.5 detik 9,8 – 12,6
APTT 42.5 detik 31,0 – 47,0
KIMIA DARAH
SGOT (AST) 18 U/L 5.00-34.00
SGPT (ALT) 10 U/L 0.00-55.00
Ureum 80.6 mg/dL 18 – 55
Kreatinin 1.4 mg/dL 0,73 – 1,18
eGFR 52.7 mL/min/1,73m2 66,0 – 96,0
Pemeriksaan Radiologi :
- Rontgen thorax (27 Juni 2021) : Tidak ditemukan kelainan radiologis jantung dan
paru.
Terapi :
Universitas Indonesia
4
- Lactulax 3x15 ml
- Transfusi PRC
TEORI SINGKAT
Pendahuluan
Sirosis hati merupakan manifestasi tahap akhir dari setiap penyakit hati kronis progresif yang
ditandai dengan hilangnya parenkim hati yang digantikan oleh matriks ekstra seluler,
pembentukan septa fibrous dan struktur nodul yang abnormal.1 Sirosis hati dapat disebabkan oleh
infeksi virus, alkohol, penyakit metabolik, kolestasis, autoimun, obat-obatan dan toksin, hambatan
aliran vena hepatik, serta kriptogenik. Penyebab paling sering adalah infeksi virus kronik.2 Sirosis
hati yang disebabkan oleh infeksi virus kronis merupakan keluaran klinis hepatitis B kronik yang
tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif selama 5 tahun, pasien dengan hepatitis B yang
tidak diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang menjadi
Patofisiologi
Proses terjadinya sirosis diawali dengan proses fibrosis. Penyebab terjadinya sirosis seperti infeksi
virus, alkohol, penyakit metabolik, kolestasis, autoimun, obat-obatan dan toksin, hambatan aliran
vena hepatik, serta kriptogenik akan mengakibatkan terjadinya jejas/trauma pada hepar. Baik
fibrosis maupun sirosis dalam prosesnya melibatkan Extracellullar Matrix (ECM). Matriks
ekstraselular hati mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan. Pada kondisi normal, celah
subendotel Disse memisahkan hepatosit dari sinusoid endotel. Membran basal hepatik
mengandung kolagen nonfibril termasuk tipe IV, VI, IX, glikoprotein, dan proteoglikan. Berbeda
dengan membran basal hepatik, matriks ekstraselular mengandung kolagen fibril (tipe I dan III),
fibronektin, undulin, dan glikokonjugat lainnya.
Ketika hati menjadi fibrotik, kandungan komponen kolagen dan nonkolagen meningkat tiga sampai
lima kali lipat. Saat hati mengalami cedera, sel stelata dan kuppfer teraktivasi, hepatosit kehilangan
Universitas Indonesia
5
villinya, dan sel endotel kehilangan karakteristik fenestrae-nya. Aktivasi dari Hepatic Stellate Cell
(HSC) akan menyebabkan inflamasi dan aktivasi dari sel stelata. Proses ini menyebabkan perubahan
mikrovaskular yaitu terjadi remodeling sinusoid (deposisi matriks ekstraaselular dari sel stellate yang
teraktivasi dan berproliferasi menyebabkan kapilarisasi sinusoid hati), pembentukan shunt
intrahepatik (akibat angiogenesis dan hilangnya sel-sel parenkim), serta disfungsi endotel hati.3
Aktivasi dari sel stelata terbagi dalam 2 fase (inisiasi dan perpetuasi). Pada fase inisiasi terjadi
perubahan sel stelata seperti stimulus parakrin, endotel sinusoid, sel kupfer, hepatosit dan
trombosit. Marker inflamasi akan merangsang sintesis matriks, proliferasi sel dan pelepasan vitamin
A oleh sel stelata melalui sitokin TGF-β, ROS, dan peroksidase lipid. Fase perpetuasi melibatkan 7
perubahan sel: proliferasi, kemotaksis, fibrogenesis, kontraktilitas, degradasi matriks, signal
inflamasi, hilangnya retinoid, dan kemoatraktan leukosit dengan pelepasan sitokin. Pada saat
terjadi jejas hati kronik, aktivasi dari sel stelata akan berdiferensiasi menjadi myofibroblast-like cell
dan mengalami perubahan sifat baik kontraktil, proinflamasi, dan fibrogenik. PDGF adalah sitokin
yang dihasilkan sel Kupffer yang mempengaruhi mitogen untuk aktivasi HSC. Hepatic Stellate Cell
yang sudah teraktivasi bermigrasi dan berkumpul pada jaringan rusak yang sedang dalam proses
perbaikan, mensekresi ECM dalam jumlah besar serta meregulasi degradasi ECM. Sintesis kolagen
dari HSC diregulasi pada saat transkripsi dan pasca transkripsi. Pergantian low-density matrix
oleh high-density matrix mengganggu sintesis hepatosit dan fungsi metabolik pada saat transportasi
Peningkatan kolagen, elastin, glikoprotein, dan hialuronan pada hepar akan mengakibatkan
terjadinya fibrosis. Pada saat terjadi fibrosis, terbentuk nodul-nodul pada hepar yang jika tidak
mengalami perbaikan lama-kelamaan nodul tersebut akan bertambah banyak dan menyebabkan
terjadinya sirosis hati, tampak seperti pada gambar 1.
Universitas Indonesia
6
Gambaran klinis
Sirosis sering tidak memberikan tanda dan gejala sampai pasien mengalami kerusakan hepar
yang berat. Ketika kerusakan itu terjadi, maka dapat ditemukan tanda dan gejala seperti:
fatigue, mudah terjadi perdarahan/memar, nafsu makan menurun, mual, edema pada
ekstremitas bawah, penurunan berat badan, kulit kering dan gatal, ikterik, asites, spider
angioma, eritema palamaris, pada wanita tidak haid bukan masa menopause, pada laki-
laki dapat terjadi ginekomastia, atrofi testis, dan penurunan libido, serta ensefalopati
hepatikum.5
Universitas Indonesia
7
Diagnosis
Sirosis dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan antara lain pemeriksaan laboratorium, radiologi,
dan biopsi.5
Secara klinis, sirosis hati dibagi atas (1) sirosis hati kompensata dan (2) sirosis hati dekompensata.
Pada sirosis kompensata belum terlihat gejala klinis yang nyata (asimptomatik) ataupun hanya
menunjukkan gejala nonspesifik seperti penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan
mudah lelah dikarenakan perjalanan sirosis hati lambat.
Pemeriksaan laboratorium rutin yang digunakan untuk mendiagnosis sirosis antara lain: Hitung
trombosit, rasio AST/ALT, indeks ratio AST/trombosit (APRI), INR, bilirubin, albumin, serta
AFP.1,3 Pada hitung trombosit dapat ditemukan trombositopenia, hal ini dapat terjadi dikarenakan
produksi dari trombopoietin menurun. Selain itu, terjadinya hipertensi portal yang berakhir dengan
hipersplenisme dapat menyebabkan terjadinya trombositopenia.6 Rasio AST/ALT disebut juga dengan
rasio de ritis. Rasio ini berfungsi sebagai indikator untuk mencari etiologi dari hepatitis, pada
hepatitis akut rasio AST/ALT adalah <1 sedangkan pada hepatitis kronik disertai gambaran klinis
sirosis rasio AST/ALT adalah >1.7 Hepatitis B kronik merupakan masalah kesehatan global.
Stadium dari fibrosis hepar secara histologi yang dilakukan melalui biopsi hati sangat penting untuk
mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terapi antiviral. Alternatif lain selain melakukan biopsi
hati perkutaneus untuk mengetahui stadium dari fibrosis hepar adalah Skor Aminotransferase
Universitas Indonesia
8
Platelet Ratio index (APRI). Skor APRI merupakan suatu assessment non-invasive untuk penilaian
fibrosis hepar yang telah divalidasi WHO.8
Konsentrasi
bilirubin dalam serum merupakan penanda spesifik terhadap penyakit hati, tetapi
sensitivitasnya rendah untuk mendeteksi terjadinya kerusakan hati dan biasanya kadarnya dalam
batas normal pada sirosis kompensata. Pada sirosis hati, aliran darah porta terganggu disertai
penurunan dari bersihan bilirubin hati. Selain itu, portosystemic shunting serta splenomegali
mengakibatkan terjadinya peningkatan hemolisis dan produksi bilirubin. Keduanya menyebabkan
peningkatan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum. Pada sirosis lanjut, bilirubin
terkonjugasi dan ekskresi bilier dari bilirubin terkonjugasi akan terganggu dan muncul
ikterus. Sehingga, konsentrasi bilirubin dalam serum dapat menjadi penanda prognostik yang baik
Setiap
individu dengan penyakit hati sering memiliki kelainan gambaran koagulasi seperti
pemanjangan prothrombin time (PT), INR, aPTT, disertai trombositopenia ringan, dan peningkatan
D-dimer, terutama jika terjadi kelainan fungsi sintetis hati dengan peningkatan tekanan porta.
Gangguan koagulasi yang disebabkan oleh gangguan sintesis hati menyebabkan gangguan pada
jalur intrinsik serta jalur bersama faktor koagulasi lainnya.11 Tetapi, pemeriksaan koagulasi ini
dianggap kurang baik dalam memprediksi risiko perdarahan pada individu dengan penyakit hati
karena hanya menunjukan perubahan faktor prokoagulan. PT/INR digunakan sebagai
pemeriksaan prognostik dibandingkan untuk assessment risiko perdarahan. Pemanjangan INR
kemungkinan hanya menggambarkan ketidakstabilitas dari seluruh keseimbangan hemostasis, tetapi
tidak mengindikasikan hipo atau hiperkoagulabillitas pada sirosis.12
Pada
pasien dengan sirosis terjadi hipoalbuminemia, hal itu disebabkan adanya penurunan fungsi
sintesis karena berkurangnya massa sel hati, aliran darah pada vena porta juga menurun serta
distribusi nutrien dan oksigen buruk sehingga menyebabkan maldistribusi. Aliran darah yang
membawa substrat-substrat tersebut dapat mempengaruhi fungsi hati, termasuk sintesis protein
pada pasien sirosis sehingga terbentuk asites. Sintesis albumin dapat meningkat pada pasien
sirosis dengan asites, kemungkinan karena adanya perubahan kadar koloid di interstisial hati
yang dapat menstimulus produksi albumin. Walaupun sintesis dapat meningkat, tetapi konsentrasi
albumin tetap menurun karena terjadi dilusi.9
Universitas Indonesia
9
Komplikasi
Pasien
dengan sirosis memiliki risiko tinggi untuk terjadi komplikasi dan memiliki harapan hidup
pendek. Komplikasi utama dari sirosis antara lain varises, asites, ensefalopati hepatikum,
hipertensi hepatopulmonari, karsinoma hepatoselular, sindrom hepatorenal, peritonitis bakterial
spontan, dan gangguan koagulasi. Apabila terjadi salah satu komplikasi tersebut maka pasien
dikatakan menderita sirosis dekompensata (Gambar 3).16
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan di sistem vena portal dengan hepatic venous
pressure gradient lebih dari 5 mmHg. Hipertensi portal disebabkan oleh peningkatan resistensi
intrahepatik terhadap aliran darah portal. Perburukan hipertensi portal akan menyebabkan
peningkatan aliran darah splanknik sehingga terjadi vasodilatasi dan angiogenesis. Perubahan
tersebut dapat memperburuk hipertensi portal dan terjadinya hipotensi sistemik, vascular
underfilling, stimulasi vasoaktif dan ekspansi volume plasma yang mendukun terjadinya asites dan
sindrom hepatorenal.
Sumber: Nusrat Salman, Muhammad S Khan, Javid Fazili, and Mohammad F Madhoun. Cirrhosis and its
complications: Evidence based treatment. World J Gastroenterol. 2014 May 14; 20(18): 5442–60
Sirosis membuat aliran darah ke hepar melambat, menyebabkan peningkatan tekanan di vena yang
membawa darah dari usus dan limpa ke hepar. Hipertensi portal juga dapat menyebabkan
splenomegali yang menyebabkan leukosit dan trombosit terperangkap sehingga dapat menyebabkan
leukopenia dan trombositopenia.
Hipertensi portal dapat menyebabkan aliran darah ke vena yang lebih kecil. Dengan adanya tekanan
Universitas Indonesia
10
tinggi, maka, pembuluh darah kecil dapat pecah dan menyebabkan pendarahan yang serius.
Hipertensi portal dapat menyebabkan pembesaran vena (varises) di esofagus (varises esofagus)
atau lambung (varises lambung) dan menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa. Jika
hepar tidak dapat membuat faktor pembekuan yang cukup maka dapat menyebabkan perdarahan
yang berkelanjutan.
Salah satu komplikasi berat yang sering terjadi adalah penumpukan racun di otak (ensefalopati
hepatikum). Sirosis menyebabkan kerusakan hepar sehingga tidak dapat membersihkan racun dari
darah dan juga hepar. Racun ini kemudian dapat menumpuk di otak dan menyebabkan konfusi dan
kesulitan berkonsentrasi. Seiring waktu, ensefalopati hepatikum dapat berkembang menjadi
penurunan kesadaran atau koma.
Prognosis
Untuk menilai prognosis pasien dengan sirosis dapat dinilai berdasarkan Skor Child-Pugh,
seperti pada tabel 1.
Poin
1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Derajat 1-2 Derajat 3-4
Asites Tidak ada Ringan-moderat Berat
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (g/dL) >3,5 2,8-3,5 <2,8
INR <1,7 1,7-2,3 >2,3
Kelas A = 5-6 poin (penyakit hati dengan tingkat keparahan ringan)
Kelas B = 7-9 poin (penyakit hati dengan tingkat keparahan moderat)
Kelas C = 10-15 poin (penyakit hati dengan tingkat keparahan berat)
Universitas Indonesia
11
PEMBAHASAN KASUS
Pada tanggal 30 Juni 2021 diterima sampel cairan asites pasien dari unit rawat Gedung A atas nama
Tn. S, usia 64 tahun, dengan keterangan klinis cairan pada perut, dilakukan pemeriksaan laboratorium
analisa cairan asites. Dari hasil analisa cairan memberikan kesan eksudat dan disarankan untuk
dilakuakan kultur cairan asites. Pada hasil pemeriksaan albumin serum didapatkan hipoalbuminemia
berat dengan kadar 1.8 gr/dL
Penurunan albumin menunjukkan terdapat penurunan sintesis hati. Albumin merupakan substansi
terbesar dari protein yang dihasilkan oleh hati. Apabila terdapat gangguan fungsi sintesis sel hati
maka kadar albumin serum akan menurun (hipoalbumin) terutama apabila terjadi lesi sel hati yang
luas dan kronik.
Pitting edema bilateral pada pasien dapat terjadi karena hipoalbuminemia. Sirosis pada pasien
yang disebabkan oleh hepatitis B kronik berdasarkan pada riwayat pemeriksaan HBsAg
reaktif. Sirosis yang terjadi pada pasien ini dapat diklasifikasikan dalam sirosis hepatis
dekompensata karena telah terdapat gejala dekompensasi dan berbagai komplikasi.
Anemia suspek mikrositik hipokrom pada pasien ini kemungkinan disebabkan karena adanya
perdarahan akut akibat pecahnya varises esophagus dan akibat penyakit kronik pasien, kesan
mikrositik hipokrom dapat ditegakkan dengan pembuatan apusan darah tepi. Peningkatan
AST dan ALT serta rasio deritis AST/ALT didapatkah hasil 1,8 hal ini sesuai dengan kondisi
hepatitis kronik. Terdapat peningkatan PT yang menunjukkan adanya gangguan dari fungsi
sintesis hati yang mensintesis faktor-faktor pembekuan.
Universitas Indonesia
12
Bilirubin pada pasien ini sedikit meningkat dan terdapat peningkatan bilirubin direk. Fibrosis
hepar dapat menimbulkan obstruksi pada duktus intrahepatik atau duktus hepatik sehingga
hepar tidak bisa mengeksresikan bilirubin direk sehingga kadar bilirubin direk turut
meningkat.
Peningkatan CRP dapat disebabkan kondisi inflamasi pada tubuh pasien karena CRP
merupakan protein fase akut yang dapat meningkat dalam kondisi inflamasi. Peningkatan
prokalsitonin mungkin disebabkan karena infeksi pada kulit pasien yang awalnya timbul
bulla lalu pecah dan memerah. Pemeriksaan kultur dari swab luka dianjurkan pada pasien ini
agar dapat mengetahui patogen penyebab, mengingat pasien dengan imunodefisiensi
sekunder (diabetes melitus, infeksi virus hepatitis). Skor APRI pada pasien ini sebesar 1,14
dan termasuk dalam klasifikasi fibrosis berat.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda asites dan ensefalopati, masing-masing
mendapatkan skor 1. Hasil pemeriksaan bilirubin total <2 mg/dL, skor 1. Kadar albumin
menunjukkan <2,8 mg/dL, dengan skor 3. Tidak ada data INR pasien secara langsung, namun
terdapat data PT pasien yaitu sebesar 11,8 detik, dengan kontrol 12,3 dan ISI 1,3.
Berdasarkan data tersebut, dilakukan perhitungan INR didapatkan hasil 0,9. Skor hasil INR
pada Child-Pugh didapatkan skor 1 untuk INR <1,7. Berdasarkan skor Child-Pugh, pasien ini
mendapat skor 7 yaitu penyakit hati dengan tingkat keparahan moderat dan sudah termasuk
dalam sirosis dekompensata.
Pemeriksaan AFP diperlukan untuk mencari penyebab gangguan hepatoselular yang terjadi apakah
disebabkan karena keganasan atau tidak. Bila terjadi peningkata melebihi cutoff, kemungkinan
mengarah pada keganasan, namun bila tidak kemungkinan disebabkan karena sirosis hati.
Pemeriksaan USG abdomen merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat dilakukan untuk dapat
menegakkan diagnosis kelainan hepar yang terjadi. Urinalisis lengkap diharapkan terdapat
peningkatan urobilinogen.
KESIMPULAN
Telah dikemukakan satu kasus pasien laki-laki usia 64 tahun dengan diagnosa sirosis hepatis
dekompensata et causa hepatitis B kronik. Diagnosis ini ditetapkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi hepar, serta pemeriksaan pencitraan. Prognosis pasien
menggunakan skor Child-Pugh didapatkan skor 11 yaitu penyakit hati dengan tingkat keparahan
Universitas Indonesia
13
berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rockey DC. Hepatic fibrosis and cirrhosis. In: Podolsky DK, Camilleri M, Fitz JG,
Kalloo AN, Shanahan F, Wang TC. Yamada’s Textbook of Gastroenterology. 6th ed.
New Jersey: Wiley Blackwell; 2016.p.2070-86.
2. Sherlock S. Hepatic cirrhosis. In: Sherlock S, Dooley J, editors. In: Diseases of the liver
and the biliary system. 11th edition. West Sussex: Blackwell Publishing; 2002. p. 365-
79.
3. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia. Perhimpunan Peneliti Hati
Indonesia (PPHI). 2012
4. Nallagangula KS, Shasidar Kurpad Nagaraj, Lakshmaiah Venkataswamy,Muninarayana
Chandrappa. Liver Fibrosis: a compilation on the biomarker status and their significance
during disease progression. Future Sci OA. 2018 Jan; 4(1): FSO250
5. Cirrhosis diunduh dari (https://www.niddk.nih.gov/health-information/liver-
disease/cirrhosis)
6. Schuppan D, Afdhal NH. Liver cirrhosis. Lancet. 2008;371(9615):838–51.
7. Mandiga P, Lisa A. Foris, Gassan Kassim, Pradeep C. Bollu. Hepatic Encephalopathy.
2019. Diunduh dari: (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430869/)
8. Yeung E, Elaine Yong, Florence Wong. Renal Dysfunction in Cirrhosis: Diagnosis,
Treatment, and Prevention. MedGenMed. 2004; 6(4): 9
9. Friedman SL, Rockey DC. Hepatic fibrosis and cirrhosis. In: Schiff ER, Sorrel MF,
editors. Schiff’s diseases of the liver. 10th edition. New York: Lippincott Williams and
Wilkins; 2007. p. 87-105.
10. Ayen Houda Ben et al. APRI Score as a Predictor of Significant Liver Fibrosis in
Chronic Hepatitis B. Oxford University Press. 2017
11. G. K. Tripathi, Ankita A. Katara, Shweta V. Awasthi, Shashank V. Srivastava.
Correlation Of Coagulation Profile in Liver Disease Patients in a Tertiary Care Hosptal.
IJCRR Section: Healthcare Sci. Journal Impact Factor 4.016. 2016
12. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Praktik klinik ensefalopati hepatic di Indonesia.
Jakarta:PPHI; 2014
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia