Anda di halaman 1dari 2

Kata Senja

Sore ini langit kembali menumpahkan warna jingganya, sorotnya memeluk kamarku
melalui celah jendela. Aku mengehela napas panjang, menatap ponsel karena sebagian
daripada waktuku kini habis bersamanya. Sudah hampir satu bulan ini aku benar-benar tidak
mendapatkan balasan email apapun dari berbagai surat kabar dan penerbit yang kusodori
berbagai macam jenis tulisanku yang daripada sekadar bersarang di kepala lebih baik aku
tulis.

Pikiranku melayang cukup jauh kepada sindiran tetangga depan rumahku yang
hobinya mengambil puluhan gambar yang dia temui, bahkan di tepi jalan sekalipun.

“Selama daring ngapain aja?” tanyanya ketika aku mengantarkan brownies keju
buatan ibu yang sudah terlanjur dibuat namun pemesanannya dibatalkan beberapa biji. Lelaki
dengan bekas luka baret yang cukup lebar pada bagian dahi itu mencomot brownies yang
bahkan aku sendiri harus memotongnya. “Ya kuliah.” Balasku santai.

“Terus?” tanyanya membuatku sedikit ragu, menatap langit yang mulai berubah
warnaya “Y-ya bersih-bersih, bantuin ibu bikin kue.” Balasku lagi.

“Itu aja?” tanyanya kembali membuatku mengangguk ragu. Dante menelan sisa
browniesnya dan menepukkan kedua tangan ke udara. “Gini, nih, Yel. Lu kan udah kuliah,
apalagi kuliah daring. Kan yang namanya daring lu nggak keluar banyak tenaga, keluar uang
yang paling cuma buat beli kuota dan itupun subsidi kampus. Berhubung lu punya bakat nulis
yang menurut gua lumayan, lah. Lu bisa jadiin sarana nyari duit. Ikut lomba kek, kalau perlu
tulisan-tulisan lu dikumpulin terus dijadiin buku terus jadi duit, loh.” Ucapnya panjang lebar
sambil memasang wajah seriusnya.

Aku menunduk cukup dalam antara tersinggung dan mengakui kenyataan yang Damar
ucapkan itu benar. “Sorry nih gua ngomong kaya gini, Yel. Tapi gua Cuma mau bantuin lu
aja, apalagi lu baru aja cerita kan kalo ibu lu beberapa pesenannya di-cancel karena pandemi
gini.” Aku mulai menjentikkan kuku-kukuku untuk mengurangi perasaan yang menelusup,
bahwasanya sebesar ini tapi aku yang predikatnya disebut mahasiswa tapi tidak bisa apa-apa.

“Bukannya mau membanggakan diri, lu liat selama ini gua jepret sana-sini, jalan ana
sana-sini. Lu juga inget si Aldo kan? Dia yang hobi nggambar, si Neta yang buka jualan
online sampai gua skip semua story-nya di sosmed, bahkan lu liat sendiri si Anjar, cowok
kacamata yang sekarang jadi guru les online. Dan gua percaya kalo lu juga bisa
mengembangkan diri, Yel. Kalo kata Bu Tejo tuh, “Mbok yo dadi wong sing solutip.” Oke,
Yel?” ucapan yang diakhiri cengiran khas itu kubalas dengan menarik senyum seikhlas
mungkin sambil mengangguk dan memasang raut berpikir.

Aku menatap pohon rambutan di depan kamarku frustrasi. “Aaargh!” teriakku sambil
membanting diriku sendiri ke atas kasur. Aku mencoba menenangkan diri dengan berkata
semuanya butuh proses. Bahwa semua yang berjalan tidak seinstan mie yang biasa ku
konsumsi di kost, dunia berputar cepat tapi semuanya adalah bagian daripada proses. Aku
menghela napas untuk yang ke sekian kalinya, memaksa bangun untuk keluar mencuci muka
dan mencoba menghilangkan amarah dan putus asa yang mulai menggerogoti.

Tanpa kusadari, beberapa pesa beruntun masuk ke dalam ponselku.

Anda mungkin juga menyukai