Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

CORPORATE GOVERNANCE

GCG DI DUNIA, ASIA DAN INDONESIA

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Rahma Yuliani, SE, M.Si, Ak

Disusun Oleh:

Kelompok 3

1. Ahmad Mufti (1810313210002)


2. Aldila Tiana (1810313220062)
3. Dhea Wahyu Fitriyana (1810313120062)
4. Hapsah (1810313120020)
5. Rasid Rusadi (1810313110014)
6. Sisky Andani Putri (1810313320044)
7. Siti Alviawati (1810313220018)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

BANJARMASIN

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas
Rahmat dan Hidayah-Nya makalah yang berjudul “GCG di Dunia, Asia dan
Indonesia” dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini kami susun guna
melengkapi tugas mata kuliah Corporate Governance.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi


para pembaca dan untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Kami mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Dr. Hj. Rahma Yuliani, SE, M.Si, Ak selaku dosen mata kuliah
Corporate Governance. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini. Maka dari itu, kritik dan saran membangun sangat kami harapkan
dalam perbaikan penyusunan selanjutnya demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Banjarmasin, 31 Agustus 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1. Latar Belakang.........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah...................................................................................1

1.3. Tujuan Penulisan.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Good Corporate Governance di Dunia...................................................3

2.1.1 Pemicu Timbulnya GCG di Dunia..............................................3

2.1.2 Reaksi Dunia Internasional..........................................................4

2.1.3 Perkembangan GCG di Dunia.....................................................6

2.1.4 Contoh Penerapan GCG di Dunia................................................6

2.2 Good Corporate Governance di Asia......................................................7

2.2.1 Pedoman GCG di Malaysia.......................................................12

2.2.2 Pedoman GCG di Singapura......................................................14

2.2.3 Pedoman GCG di Thailand........................................................15

2.2.4 Pedoman GCG di Philipina.......................................................16

2.2.5 Corporate Governance Watch 2020..........................................18

2.2.6 Contoh Penerapan GCG di Asia................................................21

ii
2.3 Good Corporate Governance di Indonesia...........................................24

2.3.1 Tahap-tahap Penerapan GCG....................................................25

2.3.2 Penerapan GCG di Indonesia.....................................................27

2.3.3 Kendala-Kendala Implementasi GCG di Indonesia..................32

2.3.4 Tantangan dan Kesempatan Bagi Perusahaan Publik di


Indonesia 35

2.3.5 GCG di Lingkungan Perbankan.................................................36

2.3.6 Peran BAPEPAM......................................................................37

2.3.7 Contoh Penerapan GCG di Indonesia........................................38

BAB III PENUTUP...............................................................................................39

3.1.4 Kesimpulan............................................................................................39

3.2 Saran......................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................40

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Munculnya corporate governance dapat dikatakan dilatarbelakangi
dari berbagai skandal besar yang terjadi pada perusahaan-perusahaan baik di
Inggris maupun Amerika Serikat pada tahun 1980an dikarenakan tindakan
yang cenderung serakah dan mementingkan tujuan pihak-pihak tertentu saja.
Hal ini tidak terlepas dari pertentangan kepentingan antara kebebasan pribadi
dan tanggung jawab kolektif atau kepentingan bersama dari organisasi
dimana hal ini menjadikannya sebagai pemicu dari kebutuhan akan corporate
governance.
Secara lebih luas pertentangan kepentingan di suatu organisasi itu
terjadi antara pemilik saham dan pimpinan perusahaan, antara pemilik saham
majoritas dan minoritas, antara pekerja dan pimpinan perusahaan, ada potensi
mengenai pelanggaran lindungan lingkungan, potensi kerawanan dalam
hubungan antara perusahaan dan masyarakat setempat, antara perusahaan dan
pelanggan ataupun pemasok, dan sebagainya. Bahkan besarnya gaji para
eksekutif dapat merupakan bahan kritikan.
Pada awalnya corporate governance hanya berkembang di Inggris dan
Amerika, tetapi seiring berkembangnya kompleksitas bisnis di berbagai
negara di dunia maka segara berkembang pula di negara-negara lain. Dalam
corporate governance selalu ada dua hal yang perlu diperhatikan. Apakah
aturan atau sistem tata-kelola sudah ada secara jelas, lengkap, dan tertulis ?
Apakah aturan dan sistem yang sudah jelas tersebut dilaksanakan dengan
konsisten atau tidak ? Kedua hal tersebutlah yang menentukan apakah sudah
ada good corporate governance dalam suatu perusahaan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Good Corporate Governance di dunia?
2. Bagaimana Good Corporate Governance di Asia?
3. Bagaimana Good Corporate Governance di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan

1
1. Untuk mengetahui Good Corporate Governance di dunia.
2. Untuk mengetahui Good Corporate Governance di Asia.
3. Untuk mengetahui Good Corporate Governance di Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Good Corporate Governance di Dunia


Istilah Corporate Governance ditemukan pertama kali pada tahun
1984 pada tulisan Robert I. Tricker dalam bukunya Corporate Governance –
Practices, Procedures, and Power in British Companies and Their Board of
Directors, UK, Gower. GCG (Good Corporate Governance) merupakan alat
bagi perusahaan untuk menjaga kerahasiaan perusahaan melalui fungsi
kontrol atas operasional perusahaan itu sendiri. Pemahaman terhadap prinsip
Corporate Governance telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia
termasuk Indonesia.
2.1.1 Pemicu Timbulnya GCG di Dunia
Pada awal dekade 2000an dunia dikejutkan oleh tumbangnya
perusahaan – perusahaan raksasa terkemuka di berbagai negara industri maju
termasuk Amerika Serikat, Inggris, Itali, Australia, Singapura, dan
Hongkong. Regulator pemerintah tiap negara dan pakar manajemen
memberikan kesimpulan bahwa penyebab utama tumbangnya perusahaan
perusahaan besar tersebut adalah karena lemahnya penerapan prinsip –
prinsip good corporate governance mereka.
Kelemahan corporate governance tersebut antara lain ditandai oleh
berbagai macam hal, diantaranya yaitu:
1. Renggangnya hubungan antara para pemegang saham dengan manajemen
perusahaan.
2. Lemahnya peranan dewan pengurus dalam mengarahkan dan
mengendalikan kebijaksanaan dan pengelolaan harta, utang, dan operasi
bisnis perusahaan.
3. Semakin bebasnya manajemen perusahaan mengelola dan mengambil
keputusan – keputusan penting yang bersangkutan dengan kelangsungan
hidup perusahaan.
4. Tidak transparan, akurat, dan tepat waktunya penyampaian laporan
perkembangan bisnis dan laporan keuangan oleh manajemen perusahaan
kepada para pemegang saham dan kreditur.

3
5. Dalam banyak kasus auditor yang mengaudit laporan keuangan
perusahaan tidak bekerja di bawah pengawasan langsung dari komite
audit.

Kelemahan - kelemahan corporate governance itulah yang


memberikan peluang dewan pengurus dan manajemen perusahaan yang
memiliki moral dan etika bisnis yang buruk mengelola perusahaan demi
kepentingan pribadi atau golongan mereka bukan demi kepentingan
perusahaan. Dalam melakukan penyalah gunaan jabatan tersebut tidak sedikit
manajemen perusahaan berkolusi dengan institusi profesi papan atas seperti
penasehat hukum, perusahaan konsultan, dan perusahaan akuntan publik.

Skandal bisnis perusahaan – perusahaan raksasa dunia tersebut telah


melukai kehidupan ekonomi banyak negara. Dampak negatif skandal tersebut
antara lain adalah menurunnya kepercayaan investor untuk menanamkan
dananya dalam perdagangan surat berharga. Selain itu bank dan lembaga
keuangan non – bank lebih selektif dalam menyalurkan kredit mereka. Sejak
terjadinya skandal bisnis tersebut diatas para investor surat berharga dan bank
- bank kreditur sadar bahwa hak dan kepentingan mereka di perusahaan
dimana mereka menanamkan dananya tidak sepenuhnya terlindungi.

2.1.2 Reaksi Dunia Internasional


Kejatuhan perusahaan raksasa multinasional pada awal tahun 2000an
menyadarkan masyarakat bisnis dan pemerintah bahwa corporate governance
di negara mereka perlu di reformasi. Dua negara yang paling serius
menangani imbas skandal perusahaan – perusahaan publik di dunia itu adalah
Inggris dan Amerika Serikat. Hal itu disebabkan karena pasar modal di kedua
negara itu merupakan motor perkembangan ekonomi mereka.
Reaksi pemerintahan kerajaan Inggris terhadap skandal yang terjadi di
perusahaan – perusahaan serta kejatuhan perusahaan publik adalah:
1. Pemerintah Inggris mengeluarkan pendapat tentang reformasi persyaratan
perusahaan publik. Pendapat tersebut dituangkan dalam sebuah makalah
yang berjudul Modernizing Company Law. Selain itu regulator keuangan
Inggris The Financial Service Authority (FSA) menerbitkan pedoman

4
tentang penyusunan laporan keuangan perusahaan publik, dimana mereka
diharuskan untuk mengungkapkan secara transparan semua transaksi
bisnis yang dilakukan.
2. Pemerintah Inggris membentuk komite – komite corporate governance.
Komite tersebut menyusun laporan – laporan yang memuat pendapat dan
saran bagaimana cara memperbaharui peraturan tentang corporate
governance dan nantinya perusahaan – perusahaan harus mematuhi saran –
saran yang diajukan komite tersebut.

Reaksi Amerika Serikat terhadap skandal yang terjadi di perusahaan –


perusahaan serta kerjatuhan perusahaan publik adalah:

1. Pemerintah Amerika Serikat mengundangkan undang – undang tentang


reformasi corporate governance yang disebut Sarbanes Oxley Act yang
memuat tentang ketentuan ketentuan baru yang tegas tentang perlindungan
hak dan kepentingan pemegang saham dan karyawan perusahaan publik.
Selain itu Sarbanes Oxley Act menentukan bahwa anggota dewan
pengurus wajib menguasai dasar – dasar ilmu manajemen keuangan.
2. Sarbanes Oxley Act mewajibkan perusahaan melakukan pengungkapan
laporan keuangan secara transparan serta diwajibkan untuk menggunakan
auditor independen dan menerapkan standar auditing yang ditetapkan US
Public Accounting Oversight Board (PCAOB).

Reaksi Australia terhadap skandal yang terjadi di perusahaan –


perusahaan serta kerjatuhan perusahaan publik adalah:

1. Pemerintah Australia menerbitkan pedoman good corporate governance


bagi perusahaan – perusahaan publik serta memperbaharui undang –
undang tentang perusahaan Australia.
2. Pemerintah Australia menyusun program untuk meninjau kembali regulasi
audit dan pengungkapan informasi perusahaan yang disebut Corporate
Law Economic Reform Program (CLERP). Program tersebut juga
mengaktifkan partisipasi pemegang saham dalam meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi perusahaan – perusahaan publik.

5
2.1.3 Perkembangan GCG di Dunia
Corporate governance sudah bukan merupakan pilihan lagi bagi
pelaku bisnis, tetapi sudah merupakan suatu keharusan dan kebutuhan vital
serta sudah merupakan tuntutan masyarakat. Setiap tindakan memerlukan
pertanggungjawaban yang baik. Penerapan GCG didukung oleh Organisation
for Economic Cooperation and Development dengan penerbitan prinsip
prinsip GCG yang bertujuan untuk membantu negara-negara baik negara
anggota OECD maupun bukan anggota OECD untuk menerapkan GCG di
negaranya terutama untuk dapat menyediakan pedoman dan saran-saran bagi
bursa saham, investor, perusahaan, dan pihak-pihak lain yang memiliki
peranan dalam proses pengembangan GCG.
2.1.4 Contoh Penerapan GCG di Dunia

PT Medco Energi Tbk (PT ME)

PT Medco Energi Tbk (PT ME) merupakan sebuah perusahaan energi


terpadu yang memiliki kegiatan usaha dibidang eksplorasi dan produksi
minyak dan gas bumi, jasa pemboran, produksi methanol, produksi LPG, dan
pembangkit tenaga listrik. Tahun 2006, PT ME memiliki 2.373 karyawan di
21 wilayah kerja minyak dan gas yang tersebar di seluruh Indonesia hingga
Oman, Libya, dan Amerika Serikat.
PT ME didirikan pada tahun 1980 dan mencatatkan sahamnya di
Bursa Efek Jakarta pada tahun 1994. PT ME memiliki komitmen yang tinggi
dalam penerapan good corporate governance. Investor menyambut baik apa
yang dilakukan perusahaan, dan harga saham perusahaan pada tahun 2005
terus meningkat, dan mencapai puncaknya pada harga Rp 4.100, yang
merupakan harga tertinggi sejak tahun 2002.
Untuk menunjang strategi perusahaan meningkatkan standar
implementasi good corporate governance, PT ME menetapkan penerapan
good corporate governance sebagai salah satu indikator pokok kinerja. PT
ME juga menjunjung tinggi penerapan kode etik dan prinsip good corporate
governance sebagai nilai dan budaya yang melekat di karyawan. Sebagai
bagian dari upayanya meningkatkan penerapan good corporate governance

6
tersebut, PT ME membentuk beberapa komite sebagai penunjang kerja
Dewan Komisaris.

2.2 Good Corporate Governance di Asia


Good Corporate Governance menjadi penting untuk Asia dalam
beberapa tahun terakhir dengan sebagian besar pasar telah memperkenalkan
peraturan yang komprehensif. Regulator perusahaan dan investor memiliki
peran penting dalam Good Corporate Governance. Meskipun masih ada
beberapa kekurangan dalam kerangka peraturan di banyak negara di kawasan
Asia ini yang berfungsi untuk melumpuhkan manfaat apa yang telah dicapai.
Meskipun ada perusahaan yang sadar melebihi standar tata kelola juga ada
bukti yang jelas bahwa pendekatan terhadap masalah pemerintahan oleh
banyak perusahaan di Asia berjumlah lebih sedikit. Hal ini menunjukkan
hubungan yang kuat antara praktik Good Corporate Governance yang baik
dan keuntungan finansial.

Corporate Governance yang baik membutuhkan regulasi yang


memadai kerangka kerja dan penegakan yang efektif. Meskipun yurisdiksi
Asia di beberapa tahun terakhir telah secara substansial mengubah peraturan
dan perusahaan mereka tata kelola dan praktik yang baik, ini berbeda di
antara yurisdiksi, khususnya di bidang transaksi pihak terkait, pengungkapan
Beneficial Ownership dan kewajiban fidusia direksi.

Menurut OECD (2014) kerangka hukum corporate governance di


sebagian besar yurisdiksi adalah dibagi menjadi tiga pilar yang terdiri dari (a)
hukum perusahaan, (b) peraturan sekuritas dan (c) peraturan yang mengatur
tentang penerbitan dan perdagangan ekuitas dan surat utang perusahaan
tercatat, dan tata kelola perusahaan kode yang mengadopsi pendekatan 'patuhi
atau jelaskan' untuk menawarkan beberapa fleksibilitas. Regulator di
yurisdiksi yang berpartisipasi dapat memanfaatkan pembuatan peraturan
merekakekuasaan untuk mengamanatkan prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan tertentu dan pedoman untuk memastikan kepatuhan.

Ketiga pilar tata kelola perusahaan tercantum pada table berikut ini:

7
8
Sumber: OECD (2014)

PENEGAKAN

Penegakan adalah aspek yang paling menantang dari peran regulator


karena sering terjadi di lingkungan yang kerusakannya sudah dilakukan dan
kredibilitas regulator dipengaruhi oleh persepsi bahwa itu lambat dalam
mendeteksi dan mencegah pelanggaran.

Pasar modal beroperasi dalam kerangka hukum, tetapi harus ada


pengawasan yang memadai untuk memastikan kepatuhan. Penegakan adalah
sebuah perpanjangan pengawasan, dengan tujuan menghukum
ketidakpatuhan. Tiga elemen ini – hukum, pengawasan dan penegakan – dari
pasar sekuritas saling bergantung. Oleh karena itu, pasar modal dengan suara
hukum tidak efektif jika pengawasan dan penegakan tidak memadai. Hukum
harus dirancang dengan cukup baik untuk memungkinkan pengawasan dan
penegakan untuk dilakukan dengan mudah dan efektif. Pengawasan yang
memadai dapat mencegah masalah dari meletus menjadi pelanggaran yang
membutuhkan penegakan. Bagian dari pengawasan, pengawasan aktif oleh
regulator melalui pemantauan dini, penilaian reguler dan keterlibatan dengan
perusahaan yang terdaftar memungkinkan otoritas pengatur untuk memantau
perusahaan untuk kemungkinan pelanggaran, membuat keputusan yang

9
diinformasikan tentang aspek tata kelola perusahaan dan menentukan apakah
ada kebutuhan untuk memperkenalkan langkah-langkah regulasi lebih lanjut.

Pengawasan dan penegakan adalah aspek yang berbeda dari spektrum


yang sama: tujuan dari pengawasan adalah deteksi dini atau pencegahan
pelanggaran, sedangkan tujuan penegakannya adalah untuk menghukum
pelanggaran yang telah terjadi, ditambah dengan bertujuan untuk mencegah
pelanggaran di masa depan oleh pelaku dan pihak lain.

Laporan ini berfokus pada penegakan publik dengan menganalisis


struktur, kewenangan dan kapasitas regulator, serta kecukupan dan
pengungkapan sanksi penegakan. Hal ini juga menilai peran peradilan dalam
penegakan dan praktik berbagi informasi antara aparat penegak hukum dalam
dan luar negeri.

Di yurisdiksi Asia, berbagai lembaga sering berbagi penegakan dari


tata kelola perusahaan. Beberapa lembaga ini memiliki kekuatan untuk
menjatuhkan sanksi perdata dan pidana, sedangkan pihak lain memiliki
kekuasaan hanya untuk memberlakukan salah satu jenis sanksi tetapi tidak
keduanya. Bursa saham karena regulator garis depan, sebagian besar, telah
diberi kekuatan untuk memaksakan sanksi perdata mulai dari surat
peringatan, teguran pribadi atau publik, denda, suspensi atau penghapusan
daftar di antara bursa saham, sedangkan pasar modal regulator hukum,
biasanya Komisi Sekuritas dan Bursa atau setara, dapat berusaha untuk
memaksakan upaya hukum pidana melalui pengadilan proses.

Hubungan antara berbagai otoritas penegakan (Komisi Sekuritas dan


Bursa atau yang setara, Bursa Exchange, Biro Administrasi Perusahaan, Bank
Sentral dan polisi) adalah penting unsur penegakan hukum pasar modal yang
efektif. Tumpang tindih yurisdiksi antara otoritas ini menimbulkan tantangan.
Tabel berikut menggambarkan otoritas pengawasan dan penegakan hukum di
yurisdiksi yang berpartisipasi.

10
11
Sumber: OECD (2014)

12
2.2.1 Pedoman GCG di Malaysia
Pedoman Good Corporate Governance (The Malaysian Code on
Corporate Governance) ini di terbitkan oleh Bursa Efek Malaysia dan
kewajiban untuk melaksanakan Pedoman inidiatur dalam peraturan tentang
pencatatan efek di bursa efek tersebut. Pedoman ini diterbitkan pada tahun
2007 dan merupakan revisi atas pedoman yang diterbitkan sebelumnya.
1. Metode penerapan Pedoman Good Corporate Governance

Penerapan Pedoman Good Corporate Governance bagi perusahaan


bersifat complyand explain. Dengan demikian tidak ada sanksi apabila
perusahaan tidak menerapkan seluruh aspek dalam Pedoman tersebut. Bagi
perusahaan yang tercatat di bursa efek Malaysia, prinsip-prinsip Good
Corporate Governance dan praktik-praktik terbaik yang telah diterapkan
perusahaan wajib diungkapkan dalam laporan tahunan. Perusahaan juga
wajib mengidentifikasi prinsip dan praktik terbaik yang tidak dilaksanakan
disertaialasan atas ketidakpatuhan tersebut. Apabila perusahaan mengadopsi
praktek tatakelola negara lain, hal ini juga harus diungkapkan.

Dilansir dari sebuah artikel mengenai Pembahasan Penerapan Good


Corporate Governance Di Beberapa Negara ASEAN, dikatakan bahwa
Malaysia berdasarkan peraturan dari Securities Comission of Malaysia
(SCM) yaitu Securities Commission Act 1993 pada chapter 6 tentang
“Inspection and Inquiry” bahwa perusahaan harus selalu siap baik dengan
adanya pemberitahuan ataupun dengan tidak adanya pemberitahuan terlebih
dahulu bahwa perusahaan dapat dilakukan pemeriksaaan dan penyidikan.

Di Malaysia ditemukan adanya catatan keberhasilan dalam kasus


penuntutuan atas pertukaran dari dalam atau manipulasi pasar di tahun 2010.
Kasus ini ditemukan dan telah diselesaikan oleh Securities Comission of
Malaysia (SCM). Di Malaysia catatan atas kasus penegakan disampaikan
secara rinci dan dapat dipercaya. Hasil kasus penegakan akan disampaikan di
berbagai media baik itu di media online dari website Securities Commission
Malaysia (SCM) itu sendiri baik juga melalui media pers.

13
Salah satu contoh kasus penegakan yang dilakukan oleh Securities
Comission of Malaysia (SCM) adalah adanya tersangka yang ikut serta
dalam memanipulasi saham dari Fountain View Development Bhd. Di
Malaysia didirikan Badan Pencegah Rasuah (BPR), yang bertugas untuk
mencegah terjadinya korupsi di perusahaan sektor swasta maupun publik

2. Sanksi atas ketidakpatuhan terhadap Pedoman Good Corporate


Governance

Penerapan Pedoman Good Corporate Governance bersifat comply


(mematuhi) and explains (menjelaskan), sehingga tidak terdapat sanksi
dalam hal perusahaan tidak menerapkan seluruh aspek dalam Pedoman Good
Corporate Governance. Namun, terdapat kewajiban untuk mengungkapkan
pelaksanaan dari Pedoman tersebut dalam laporan tahunan. Dengan demikian
bagi perusahaan yang tercatat atau akan mencatatkan sahamnya di bursa
tidak mengungkapkan dalam laporan tahunannya terkait dengan penerapan
tata kelola, Bursa Malaysia dapat mengambil tindakan terhadap perusahaan
atau direksi sebagaimana tercantum dalam Persyaratan Listing di Bursa
Malaysia.

3. Ruang lingkup Pedoman Good Corporate Governance

Pedoman Good Corporate Governance terdiri dari tiga bagian yaitu:

a) Bagian 1:
Memuat prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang luas
yang berlaku di Malaysia. Tujuan dari prinsip-prinsip ini adalah untuk
memungkinkan fleksibilitas perusahaan dalam menerapkan prinsip-
prinsip sesuai dengan keadaan masingmasing perusahaan.
b) Bagian 2:
Menetapkan praktik-praktik terbaik dalam tata kelola perusahaan.
Mengidentifikasi seperangkat pedoman atau praktek yang dimaksudkan
untuk membantu perusahaan dalam merancang pendekatan mereka
terhadap tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaannya.

14
c) Bagian 3:
Dorongan atau himbauan bagi pihak-pihak selain tersebut di atas
yang bersifat sukarela. Hal ini tidak ditujukan kepada perusahaan yang
terdaftar tetapi untuk investor dan auditor untuk meningkatkan peran
mereka dalam tata kelola perusahaan. Adapun ruang lingkup dari
Pedoman Good Corporate Governance tersebut adalah :
 The Board Structure, Duties and Effectiveness (Struktur Dewan,
Tugas dan Efektivitas).
 The Audit Committee and its Challenges (Komite Audit
Tantangannya).
 Assessing the Risk and Control Environment (Menilai risiko dan
lingkungan pengendalian).
 Effective Oversight of Financial Reporting (Pengawasan yang efektif
terhadap laporan keuangan).
 Internal and External Audit: “Eyes And Ears” of Audit Committee
(Internal dan Eksternal Audit: “Mata dan Telinga” dari Komite
Audit).
 Conflict of Interest and Related Party Transactions (Benturan
Kepentingan dan Transaksi Pihak Terkait).
 Nominating Committee (Komite Nominasi).
 Remuneration Committee (Komite Remunerasi).
 Shareholder Relations (Hubungan Pemegang Saham).
2.2.2 Pedoman GCG di Singapura
1. Metode Penerapan Pedoman Good Corporate Governance

Metode penerapan Pedoman Good Corporate Governance bersifat


comply and explain. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan pencatatan efek
di Bursa efek Singapore mengharuskan perusahaan tercatat untuk
mengungkapkan praktik tata kelola mereka dalam laporan tahunan dengan
referensi khusus kepada prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pedoman.

Perusahaan juga wajib mengungkapkan dan menjelaskan setiap


perbedaan pelaksanaannya dari Pedoman tersebut. Perusahaan juga

15
didorong untuk melakukan konfirmasi positif tentang pemenuhan prinsip-
prinsip tata kelola dan mengungkapkan setiap ketidak patuhan terhadap
prinsip-prinsip tersebut dalam laporan tahunan perusahaan.

2. Sanksi atas ketidakpatuhan

Penerapan Pedoman Good Corporate Governance oleh


perusahaan hanya bersifat voluntary. Oleh karena itu, tidak ada sanksi
bagi perusahaan yang tidak menerapkannya. Akan tetapi, perusahaan
harus menjelaskan dengan rinci alasan untuk tidak menerapkannya.

3. Ruang lingkup Pedoman Good Corporate Governance

Ruang lingkung Tata Kelola perusahaan:

a) Board Matters
b) Remuneration Matters
c) Accountability and Audit
d) Communication with Shareholders
e) Disclosure of Corporate Governance Arrangements
2.2.3 Pedoman GCG di Thailand
1. Metode Penerapan Pedoman Good Corporate Governance

Metode penerapan Pedoman Good Corporate Governance di


Thailand bersifat Comply or Explain . Oleh karena itu, Stock Exchange of
Thailand (SET) mengharapkan perusahaan untuk mengikuti Pedoman
Good Corporate Governance tersebut. Selain itu, perusahaan dapat
mengadaptasi prinsipprinsip Good Corporate Governance sesuai
kebutuhan fungsional tiap perusahaan. Bagi perusahaan yang memilih
untuk tidak mematuhi prinsip Good Corporate Governance, diharuskan
menjelaskan secara rinci alasan untuk tidak menerapkannya.

Perusahaan Tercatat telah diminta untuk mulai mengungkapkan


pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance pada tahun 2007
pada Laporan Tahunan perusahaan. Selain itu, perusahaan yang terdaftar

16
harus mengungkapkan penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan
yang baik (Good Corporate Governance) melalui media komunikasi yang
yang paling nyaman bagi Perusahaan, pemegang saham, investor,
stakeholder lainnya dan pihak-pihak terkait. Salah satu saluran yang
disarankan adalah situs web perusahaan.

2. Sanksi atas Ketidakpatuhan

Penerapan Pedoman Good Corporate Governance oleh perusahaan


hanya bersifat voluntary. Oleh karena itu, tidak ada sanksi bagi perusahaan
yang tidak menerapkannya. Akan tetapi, perusahaan harus menjelaskan
dengan rinci alasan untuk tidak menerapkannya.

3. Ruang lingkup Pedoman Good Corporate Governance

Prinsip-prinsip dan praktek-praktek terbaik Good Corporate


Governance Perusahaan tercatat yang direkomendasikan oleh SET (Stock
Exchange of Thailand) mencakup 5 kategori yaitu:

a) Hak Pemegang Saham (Rights of Shareholders)


b) Perlakuan Adil kepada Pemegang Saham (Equitable Treatment of
Shareholders)
c) Peran Pemangku Kepentingan (Role of Stakeholders)
d) Keterbukaan dan Transparansi (Disclosure and Transparency)
e) Tanggung Jawab Dewan Direksi (Responsibilities of the Board)
2.2.4 Pedoman GCG di Philipina
Sesuai dengan kebijakan negara untuk secara aktif
mempromosikan reformasi tata kelola perusahaan yang bertujuan untuk
meningkatkan kepercayaan investor, mengembangkan pasar modal dan
membantu mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan untuk
sektor korporasi dan ekonomi, Securities Commission, melalui Resolusi
No.135, Seri 4 April 2002, menyetujui berlakunya dan pelaksanaan
Pedoman Good Corporate Governance ini.

17
Pedoman ini berlaku untuk perusahaan efek yang tercatat atau
terdaftar, perusahaan penerima izin/lisensi dan perusahaan publik.
Pedoman Good Corporate Governance ini juga berlaku untuk cabang atau
anak perusahaan dari perusahaan asing yang beroperasi di Philipina yang
terdaftar.
1. Metode Penerapan Pedoman Good Corporate Governance

Penerapan Pedoman Good Corporate Governance di Philipina


merupakan suatu kewajiban. Penegakan hukum atas pelaksanaan
Pedoman Good Corporate Governance tersebut dilakukan oleh Securities
and Exchange Commission dan dapat dikenakan sanksi. Bursa Efek
Philipina mewajibkan perusahaan tercatat untuk melaporkan secara
periodic mengenai kepatuhan terhadap manual tata kelola termasuk hal-
hal yang belum dapat dipenuhi wajib diungkapkan lengkap dengan
alasannya.

2. Sanksi atas ketidakpatuhan

Kegagalan untuk mengadopsi manual tata kelola perusahaan


seperti yang ditentukan untuk perusahaan, setelah pemberitahuan waktu
dan alasan jatuh tempo dikenakan denda sebesar P100, 000.00.

3. Ruang lingkup Pedoman Good Corporate Governance


a) The Board Governance (Tata Kelola Dewan)
b) Supply Information (Pemberi Informasi)
c) Accountability and Audit (Pertanggungjawaban dan Audit)
d) Stockholders’ Rights and Protection of Minority Stockholders’
Interests (Hak Pemegang Saham dan Perlindungan terhadap
Kepentingan Pemegang Saham Minoritas)
e) Evaluation Systems (Sistem Evaluasi)
f) Disclosure and Transparency (Pengungkapan dan Transparansi)
g) Commitment to Corporate Governance (Komitmen terhadap Tata
Kelola Perusahaan)
h) Administrative Sanction (Sanksi Administratif)

18
2.2.5 Corporate Governance Watch 2020
Terdapat juga survei mengenai corporate governance di asia yang
dilakukan oleh Asian Corporate Governance Association (ACGA) dan
dituangkan dalam 12th Report by Corporate Governance Watch (2020),
dapat dilihat pertumbuhan corporate governance terbaik di pegang oleh
Australia dengan score 74.7, namun jika hanya asia saja di pegang oleh
Hong Kong dengan score 63.5 diikuti oleh Singapore, Taiwan, Malaysia,
Japan, India, Thailand, Korea, China, Philippines, sedangkan Indonesia
berada  pada urutan terendah dengan score 33.6.
Faktor-faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah
regulasi dan investor yang masih berada di titik paling rendah di antara
Negara-negara lain yang sedang tumbuh di  Negara-negara lain yang
sedang tumbuh di Asia.

Sumber: Asian Corporate Governance Association (2020)

19
Skor Berdasarkan Tiap Kategori

Sumber: Asian Corporate Governance Association (2020)

Uraian masing-masing kategori skor adalah sebagai berikut:

1). Pemerintah & Pemerintahan Publik


Pada kategori ini Australia dan Taiwan berada di puncak skor
dengan 68%, dengan Hong Kong tidak terlalu jauh di belakang
sebesar 65%. Jepang, Singapura dan Korea mencapai skor yang sama
yaitu 60%. Skor India juga meningkat, demikian pula Indonesia dan
Filipina. Thailand dan Malaysia keduanya menurun secara signifikan.
2). Regulasi: Pendanaan, Pengembangan Kapasitas dan Reformasi
Peraturan
Hong Kong, Korea, dan Thailand selalu menjawab pertanyaan
survei dengan baik tentang pendanaan komisi sekuritas, sementara
peningkatan skor terjadi di Australia, Jepang dan Taiwan. Salah satu
alasan mengapa pasar ini relatif baik adalah karena mereka
mempublikasikan angka terperinci tentang pendapatan operasional
regulator utama mereka dan pengeluaran, ukuran anggaran meningkat
dari waktu ke waktu, dan tampaknya mereka memiliki sumber daya
yang cukup untuk melakukan pekerjaan mereka.

20
3). Aturan Corporate Governance
Ini adalah salah satu kategori penilaian yang lebih tinggi dalam
survei kami dan. Australia terus memimpin perolehan skor diikuti oleh
Malaysia dan Thailand, yang terlepas dari tantangan politik mereka
telah lama memiliki seperangkat hukum dan peraturan yang kokoh.
Disusul oleh Hong Kong dan Singapura. AGCA berpendapat bahwa
skor 70% atau lebih telah mewakili hasil yang baik dalam hal kategori
ini, yang berarti bahwa lima negara di atas baik-baik saja. Lalu ada
India, sebesar 69%, hampir mencapai 70%. Taiwan di 66% dan Cina
di 63% masih lebih baik dan memiliki peluang meningkatkan skor
mereka menjadi 70%. Sedangkan negara yang tersisa memiliki lebih
banyak PR yang harus dilakukan. Perlu disoroti, Jepang dan Korea
keduanya di bawah 60%, skor mereka meningkat signifikan
dibandingkan tahun 2018. Dua negara terakhir yaitu Philippines dan
Indonesia yang masing-masing mendapat skor 45 dan 35, sangat perlu
evaluasi dan perbaikan aturan CG karena cukup jauh perbedaannya
menuju skor ideal menurut ACGA yaitu sebesar 70%.
4). Perusahaan Tercatat
Survei ACGA menilai dari berbagai bidang tata kelola, termasuk
pelaporan perusahaan tentang metrik keuangan utama, tata kelola,
serta pengungkapan tentang praktik dewan seperti pelatihan, evaluasi
dewan, kebijakan remunerasi, dan sebagainya.
5). Investor
Kategori ini termasuk dalam skor terendah, hanya dua negara yang
menonjol yaitu Australia dan Jepang. Artinya, institusi dalam suatu
negara perlu menunjukkan bahwa mereka serius tentang “investasi
yang bertanggung jawab”, dan bahwa mereka memiliki rencana untuk
mengelola risiko dalam portofolio mereka, mereka memiliki kapasitas
untuk terlibat dengan perusahaan di bidang lingkungan, sosial, dan
masalah pemerintahan, demi menarik minat investor baik asing
maupun lokal.

21
6). Auditor & Regulator audit
Ini adalah kategori skor tertinggi dalam survei kami karena ACGA
menilai berbagai standar dan praktik yang diikuti oleh semua negara
atau setidaknya diikuti, yaitu standar internasional tentang akuntansi
dan audit, penciptaan independen regulator audit (sering disebut
"dewan pengawasan audit" atau AOB), dorongan untuk audit kualitas
yang lebih tinggi, dan serta transparansi proses audit yang akuntabel.
7). Masyarakat Sipil & Media
Tak herankan bahwa Australia dan India melakukannya dengan
baik dalam kategori ini, mengingat semangat sektor nirlaba mereka,
lembaga profesional dan badan industri, dan media terbuka mereka.
Singapura, Jepang, Taiwan dan Hong Kong juga memiliki masyarakat
sipil yang cukup kuat, dengan non-kelompok pemerintah memainkan
peran penting dalam mempromosikan CG, melakukan pelatihan, dan
berkontribusi pada konsultasi peraturan.
Taiwan adalah negara dengan peningkatan skor terbesar di sini.
Sayangnya, ACGA melihat beberapa kemunduran di Malaysia dan
Thailand karena alasan yang diberikan di atas, sementara Indonesia
dan Filipina juga tergelincir. Meskipun peringkatnya rendah, Korea
cukup membaik. Lalu skor China tetap tidak berubah.
Adapun media, ACGA memiliki kekhawatiran serius tentang ini.
Tidak ada negara yang mendapat peningkatan skor tentang seberapa
aktif media yang tidak memihak dalam liputan acara CG.
Gambarannya bahkan lebih buruk dalam hal seberapa terampil liputan
media tentang masaalah CG.
2.2.6 Contoh Penerapan GCG di Asia
Standar laporan keuangan di negara Singapura sudah menggunakan
standar internasional yaitu Singapore Financial Reporting Standards (SFRS)
yang sudah mengikuti International Financial Reporting Standards (IFRS),
sehingga baik standar dan praktik laporan keuangan sudah baik jika
dibandingkan dengan standar internasional.

22
Di Singapura sesuai kode yang dikeluarkan akan tata kelola
perusahaan dimana perusahaan wajib mengungkapkan praktik tata kelola
dengan referensi khusus serta mengungkapkan dan menjelaskan setiap
perbedaan pelaksanaan dalam laporan tahunan perusahaan sehingga standar
dan praktik laporan non keuangan sudah baik.
Untuk Singapura tidak ada peraturan yang mengatur perlunya
melaporkan laporan tahunan yang telah diaudit dalam waktu 60 hari akan
tetapi perusahaan-perusahaan di Singapura sudah mempraktikkan cara ini
sehingga laporan tahunan yang telah diaudit dilaporkan dalam waktu 60 hari.
Di Singapura tidak diatur dalam peraturan-peraturan tetapi telah
disebutkan pada kode tata kelola perusahaan yang baik sehingga pada
praktiknya mereka menerapkan dalam mengungkap kepemilikan saham 68
bagi pihak-pihak yang memiliki saham 5% dan ke atas di laporan tahunan
mereka.
Hukum efek di Singapura dibahas di chapter 9 Interested Person
Transaction dimana jika ada transaksi dari pihak dalam yang dilakukan maka
perlu adanya pengungkapan transaksi dalam 3 hari kerja atau setelah
terjadinya transaksi jika tidak maka transaksi akan ditahan atau dibatalkan.
Berdasarkan Singapore Exchange (SGX) setiap adanya transaksi
material yang dilakukan oleh perusahaan maka perlu diumumkan kepada
publik dan Singapore Exchange (SGX) sendiri karena Singapore Exchange
(SGX) sudah mengikuti standar internasional dimana transaksi material akan
sangat berpengaruh bila tidak diumumkan dalam perdagangan efek yang
terjadi di bursa.
Di Singapura tidak diperkenankan untuk menuntut pihak yang
melakukan kecurangan dalam perusahaan akan tetapi untuk tata kelola
perusahaan masih bersifat sukarela sehingga tidak ada tuntutan hukum
tentang tata kelola perusahaan.
Singapura juga memiliki kode nasional sendiri tentang tata kelola
perusahaannya sendiri. Singapore Exchange (SGX) dan Monetary Authority
of Singapore (MAS) bersama-sama mengelola kode nasional tersebut dan
dengan nama The Singapore Code of Good Corporate Governance di tahun

23
2005 walaupun belum bersifat wajib tapi emiten atau 69 perusahaan perlu
mengungkapkan praktik tata kelola perusahaan dan penjelasan akan
penyimpangan kode dalam laporan tahunan.
Definisi atas direksi independen telah disampaikan dengan cukup jelas
di dalam setiap kode. Dalam kode di Singapura disebutkan bahwa perlu
adanya komisaris independen yang sekurang-kurangnya berjumlah sepertiga
dari jumlah anggota dewan. Adapun yang dimaksud dengan komisaris
independen adalah orang yang tidak memiliki hubungan dengan perusahaan
maupun afiliasinya seperti anak perusahaan atau induk perusahaan karena jika
memiliki hubungan maka dapat mempengaruhi penilaian dari keputusan yang
diambil.
Dalam The Singapore Code of Good Corporate Governance
pengungkapan remunerasi haruslah jelas tentang kebijakan remunerasi,
tingkat dan komponen remunerasi dan prosedur untuk pengaturan remunerasi
dalam laporan tahunan perusahaan. Perusahaan harus melaporkan kepada
pemegang saham setiap tahun tentang remunerasi anggota dewan yang
produktif dengan nama untuk 5 top eksekutif, rincian untuk remunerasi
karyawan yang memiliki hubungan dengan direksi atau komisaris dan rincian
skema saham karyawan yang memungkinkan pemegang saham dapat menilai
manfaat dan potensial yang diperlukan perusahaan.
Berdasarkan kode tata kelola perusahaan di Singapura menyatakan
bahwa masing-masing perusahaan perlu memiliki komite audit. Di 70
Singapura, dewan perlu membuat komite audit dan menyusun kerangka acuan
tertulis yang menjelaskan wewenang dan tugas komite yang sedikitnya
beranggotakan tiga komisaris dimana mayoritas merupakan komisaris
independen serta dewan perlu memastikan bahwa anggota komite audit telah
memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk memenuhi tanggung jawab dan
memiliki keahlian atau pengalaman di bidang akuntansi atau keuangan.
Dari peraturan serta kode tata kelola perusahaan dan praktik yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perbankan Singapura tidak ada hak
khusus bagi pemegang saham minoritas untuk mencalonkan kandidat direktur

24
independen. Singapura pemegang saham minoritas tidak memiliki hak
memesan saham yang baru diterbitkan perusahaan terlebih dahulu.
Singapura mengikuti Monetary Authority of Singapore (MAS) Act 10
dimana jika karyawan melakukan fraud atau tindakan kriminal yang
merugikan perusahaan maka bukan hanya terkena sanksi tetapi juga dapat
dicabut dari posisinya yang sekarang. Di Singapura sesuai dengan Singapore
Exhange (SGX) dan Companies Act, maka perusahaan perlu memberikan
pemberitahuan akan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham kepada
Singapore Exhange (SGX) dalam waktu kurun dari 21 hari sebelum rapat.

2.3 Good Corporate Governance di Indonesia


Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good
Corporate Governance (GCG) kian populer. Tak hanya populer, istilah
tersebut juga ditempatkan di posisi terhormat. Pertama, GCG merupakan
salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam
jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global.
Kedua, krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin yang
diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Pada tahun 1999, kita
melihat negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena krisis mulai
mengalami pemulihan, kecuali Indonesia.
Harus dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antarnegara,
melainkan antarkorporat di negara-negara tersebut. Jadi menang atau kalah,
menang atau terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara
bergantung pada korporat masing-masing . Pemahaman tersebut membuka
wawasan bahwa korporat kita belum dikelola secara benar. Dalam bahasa
khusus, korporat kita belum menjalankan governansi.
Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada tahun 1998 menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki indeks corporate governance paling rendah
dengan skor 2,88 jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan
Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi di Indonesia
ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut.

25
2.3.1 Tahap-tahap Penerapan GCG
Salah satu tujuan utama ditegakannya good corporate governance
ialah untuk menciptakan sistem yang dapat menjaga keseimbangan dalam
pengendalian perusahaan sedemikian rupa sehingga mampu mengurangi
peluang terjadinya kesalahan mengelola (miss management), menciptakan
insentif bagi manajer untuk memaksimumkan produktivitas penggunaan aset
sehingga menciptakan nilai tambah perusahaan yang optimal.
Dalam pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting
bagi perusahaan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan
analisis atas situasi dan kondisi perusahaan, dan tingkat kesiapannya,
sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan mendapat dukungan dari
seluruh unsur di dalam perusahaan. Beberapa tahapan dalam menerapkan
GCG yaitu:
1. Tahap Persiapan
Tahap ini terdiri atas tiga langkah utama yaitu:
 Awareness Building
Awareness Building merupakan langkah sosialisasi awal untuk
membangun kesadaran mengenai arti pentingnya GCG dan komitmen
bersama dalam penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan
meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perushaan. Kegiatan
dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok.
 GCG Assessment
GCG Assessment merupakan upaya untuk mengukur atau
memetakan kondisi perusahaan dalam penerapan GCG saat ini. Langkah
ini perlu guna memastikan titik awal atau level penerapan GCG dan
untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna mempersiapkan
infrastruktur dan struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG
secara efektif.
 GCG Manual Building
GCG Manual Building adalah langkah berikutnya setelah GCG
Assessment dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan

26
untuk kesiapan perusahaan dan upaya identifikasi prioritas penerapannya,
penyusunan manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun
2. Tahap Implementasi
Tahap ini terdiri atas tiga langkah utama yaitu:
 Sosialisasi
Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh
perusahaan berbagai aspek yang terkait dengan implementasi GCG
khususnya mengenai pedoman penerapan GCG. Upaya sosialisasi perlu
dilakukan dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu, langsung
berada dibawah pengawasan Direktur Utama.
 Implementasi
Implementasi adalah kegiatan yang dilakukan sejalan dengan
pedoman GCG yang ada, berdasarkan roadmap yang telah disusun.
Implementasi harus bersifat top down approach yang melibatkan Dewan
Komisaris dan Direksi perusahaan.
 Internalisasi
Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan
GCG di dalam seluruh proses bisnis perusahaan melalui berbagai
prosedur operasi, sistem kerja, dan berbagai peraturan perusahaan.
Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan GCG bukan sekadar
dipermukaan atau sekadar suatu kepatuhan yang bersifat superficial,
tetapi benar-benar tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaan.
3. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur
dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektifitas penerapan
GCG telah dilakukan dengan meminta pihak independen melakukan
audit implementasi dan scoring atas praktek GCG yang ada. Dalam hal
membangun GCG, dan terkait dengan pengembangan sistem, yang
diharapkan akan mempengaruhi perilaku setiap individu dalam
perusahaan yang pada gilirannya akan membentuk kultur perusahaan
yang bernuansa GCG, maka diperlukan langkah-langkah berikut:

27
1. Menetapkan visi, misi, rencana strategis, tujuan perusahaan, serta
sistem operasional pencapaiannya secara jelas;
2. Mengembangkan suatu struktur yang menjaga keseimbangan peran
dan fungsi organ perusahaan (check and balance);
3. Membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses
pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi
material dan relevan mengenai perusahaan;
4. Membangun sistem audit yang handal, yang tak terbatas pada
kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur operasi standar, tetapi juga
mencakup pengendalian risiko perusahaan;
5. Membangun sistem yang melindungi hak-hak pemegang saham secara
adil dan setara diantara pemegang saham;
6. Membangun sistem pengembangan SDM, termasuk pengukuran
kinerjanya.
2.3.2 Penerapan GCG di Indonesia
Krisis ekonomi yang menghantam Asia yang terjadi beberapa tahun
lalu. ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezim-rezim
politik yang berkuasa di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga
Negara yang diawal tahun 1990-an dipandang sebagai “the Asian tiger”,
harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada akhirnya
merambah pada krisis politik.
Setelah itu, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang dapat melihat
pertumbuhan kembali Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut.
Korea Selatan yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan
para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih.
Perkembangan yang sama juga terlihat dengan Thailand maupun
Negara-negara ASEAN lainnya. Bagaimana dengan Indonesia?. Era
pascakrisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan. Mulai dari
restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang
berakibat pada penurunan iklim berusaha (Bakrie,2003).
Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB)
menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada krisis di

28
Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua,
tidak efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan
rendahnya transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi
perusahaan; keempat, terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan
eksternal; dan kelima, ketidak memadainya pengawasan oleh para kreditor.
Tantangan terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara
luas prinsip-prinsip dan praktek good corporate governance oleh kumunitas
bisnis dan publik pada umumnya (Daniri, 2005). Akhirnya komunitas
internasional masih menempatkan Indonesia pada urutan bawah rating
implementasi GCG sebagaimana dilakukan oleh Standard & Poor, CLSA,
Pricewaterhouse Coopers, Moody`s Morgan, and Calper`s.
Kajian Pricewaterhouse Coopers yang dimuat di dalam Report on
Institutional investor Survey (2002) menempatkan Indonesia di urutan paling
bawah bersama China dan India dengan nilai 1,96 untuk transparansi dan
keterbukaan. Jika dilihat dari ketersediaan investor untuk memberi premium
terhadap harga saham perusahaan publik di Indonesia, hasil survey tahun
2002 menunjukkan kemajuan dibandingkan hasil survey tahun 2000.
Pada tahun 2000 investor bersedia membayar premium 27%, sedang
di tahun 2002 hanya bersedia membayar 25% saja. Hal ini menunjukkan
persepsi investor terhadap resiko tidak dijalankannya GCG, menjadi lebih
baik. Laporan tentang GCG oleh ACGA (2020), menempatkan Indonesia di
urutan terbawah dengan total skor 33.6.
Faktor-faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah investor
dan regulasi yang masih berada di titik paling rendah di antara Negara-negara
lain yang sedang tumbuh di Asia. Fakta ini menunjukkan bahwa
implementasi GCG di Indonesia membutuhkan evaluasi dan pendekatan yang
komprehensif dan penegakan regulasi yang lebih nyata.

Tabel 1. Corporate Governance Watch in Asia (2020)

29
Sumber: ACGA (2020)

Terdapat tiga arah agenda penerapan GCG di Indonesia (BP BUMN,


1999) yakni, menetapkan kebijakan nasional, menyempurnaan kerangka
nasional dan membangun inisiatif sektor swasta. Terkait dengan kerangka
regulasi, Bapepam bersama dengan self-regulated organization (SRO) yang
didukung oleh Bank Dunia dan ADB telah menghasilkan beberap proyek
GCG seperti JSX Pilot project. Seiring dengan proyek-proyek ini,
kementerian BUMN juga telah mengembangkan kerangka untuk
implementasi GCG.

Dalam kaitan dengan peran dan fungsi tersebut, BAPEPAM dapat


memastikan bahwa berbagai peraturan dan ketentuan yang ada, terus menerus
disempurnakan, serta berbagai pelanggaran yang terjadi akan mendapatkan
sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Dalam hal regulatory framework, untuk mengkaji peraturan


perundang-undangan yang terkait engan korporasi dan program reformasi
hukum, pada umumnya terdapat beberapa capaian yang terkait dengan
implementasi GCG seperti diberlakukannya undang-undang tentang Bank
Indonesia di tahun 1998, undang-undang anti korupsi tahun 1999, dan
undang-undang BUMN, serta privatisasi BUMN tahun 2003. Demikian pula
dengan proses amandemen undang-undang perseroan terbatas, undang-

30
undang pendaftaran perusahaan, serta undang-undang kepailitan yang saat ini
masih sedang dalam proses penyelesaian.

Dalam pelaksanaan program reformasi hukum, terdapat beberapa hal


penting yang telah diterapkan, misalnya pembentukan pengadilan niaga yang
dimulai tahun 1997 dan pembentukan badan arbitrasi pasar modal tahun
2001. Bergulirnya reformasi corporate governance masih menyisakan hal-hal
strategis yang harus dikaji, seperti kesesuaian dan sinkronisasi berbagai
peraturan perundangan yang terkait.

Demikian pula yang terkait dengan otonomi daerah, permasalahan


yang timbul dalam kerangka regulasi adalah pemberlakuan undang-undang
otonomi daerah yang cenderung kebablasan tanpa diikuti dengan kesadaran
dan pemahaman good governance itu sendiri. Inisiatif di sektor swasta terlihat
pda aktivitas organisasi-organisasi corporate governance dalam bentuk upaya-
upaya sosialisasi, pendidikan, pelatihan, pembuatan rating, penelitian, dan
advokasi. Pendatang baru di antara organisasi-organisasi ini adalah IKAI dan
LAPPI. IKAI adalah asosiasi untuk para anggota komite audit, sedangkan
LAPPI (lembaga advokasi, proxi, dan perlindungan investor) pada dasarnya
berbagi pengalaman dalam shareholders activism, dengan misi utama
melindungi kepentingan para pemegang saham minoritas.

Dalam penerapan GCG di Indonesia, seluruh pemangku kepentingan


turut berpartisipasi. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance yang
diawal tahun 2005 di ubah menjadi Komite Nasional Kebijkan Governance
telah menerbitkan pedoman GCG pada bulan Maret 2001. Pedoman tersebut
kemudian disusul dengan penerbitan Pedoman GCG Perbankan Indonesia,
Pedoman untuk komite audit, dan pedoman untuk komisaris independen di
tahun 2004. Semua publikasi ini dipandang perlu untuk memberikan acuan
dalam mengimplementasikan GCG.

Pemerintah pun melakukan upaya-upaya khusus bergandengan tangan


dengan komunitas bisnis dalam mensosialisasikan dan mengimplementasikan
GCG. Dua sektor penting yakni BUMN dan Pasar Modal telah menjadi

31
perhatian pemerintah. Aspek baru dalam implementasi GCG di lingkungan
BUMN adalah kewajban untuk memiliki statement of corporate intent (SCI).

SCI pada dasarnya adalah komitmen perusahaan terhadap pemegang


saham dalam bentuk suatu kontrak yang menekankan pada strategi dan upaya
manajemen dan didukung dengan dewan komisaris dalam mengelola
perusahaan. Terkait dengan SCI, direksi diwajibkan untuk menanda tangani
appointment agreements (AA) yang merupakan komitmen direksi untuk
memenuhi fungsi-fungsi dan kewajiban yang diembannya. Indikator kinerja
direksi terlihat dalam bentuk reward and punishment system dengan
meratifikasi undang-undang BUMN. Pasar modal juga perlu menerapkan
prinsipprinsip GCG untuk perusahaan publik. Ini ditunjukkan melalui
berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang
menyatakan bahwa seluruh perusahaan tercatat wajib melaksanakan GCG.

Implementasi GCG dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan


kepentingan investor, terutam para pemegang saham di
perusahaanperusahaan terbuka. Di samping itu, implementasi GCG akan
mendorong tumbuhnya mekanisme check and balance di lingkungan
manajemen khususnya dalam member perhatian kepada kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini terkait dengan
peran pemegang saham pengendali yang berwenang mengangkat komisaris
dan direksi, dan dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Di samping
pelindungan investor, regulasi mewajibkan system yang menjamin
transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi bisnis antar perusahaan dalam
satu grup yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. Semangat
untuk memperoleh persetujuan publik dalam transaksi, merupakan bentuk
penerapan prinsip akuntabilitas.

Diperkenalkannya komisaris independen, komite audit, dan sekretaris


perusahaan juga menjadi fokus regulasi BEJ. Independensi komisaris
dimaksudkan untuk memastikan bahwa komisaris independen tidak memiliki
afiliasi dengan pemegang saham, dengan direksi dan dengan komisaris; tidak
menjabat direksi di perusahaan lain yang terafiliasi; dan memahami berbagai

32
regulasi pasar modal. Sedangkan terkait dengan kewajiban untuk memiliki
direktur independen, dalam sistem two tier yang kita anut, justru akan lebih
efektif bilamana bursa mewajibkan perusahaan untuk memiliki komite
nominasi dan remunerasi.

Tujuan pedoman tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas


disclosure perusahaan-perusahaan publik. Pedoman ini merupakan hasil
kolaborasi antara BEJ, IAI, AEI, dan Bapepam. Perkembangan terbaru di
Pasar modal adalah batas waktu penyerahan laporan tahunan yakni 90 hari
sejak tutup buku, lebih pendek dari regulasi sebelumnya yakni 120 hari.
Regulasi ini merupakan indikasi kekonsistenan penegakan GCG oleh
Bapepam.

2.3.3 Kendala-Kendala Implementasi GCG di Indonesia


Aktivitas bisnis tidak akan terlepas dari kondisi lingkungan yang
melandasinya. Begitu pula halnya dengan penerapan good corporate
governance yang sudah tentu akan dipengaruhi oleh berbagai komponen yang
ada di sekelilingnya. Komponen-komponen dimaksud, seperti hukum, budaya
dan sebagainya ada yang bersifat mendukung, namun ada juga yang akhirnya
menjadi kendala dalam aplikasinya. Menurut Dwiridotjahjono (2009)
berbagai kendala yang dihadapi dalam penerapan good corporate governance
di Indonesia antara lain:

1. Kendala Hukum.

Corporate governance haruslah menjamin perlakuan yang sama


dan perlindungan atas hak-hak semua pemegang saham dari berbagai
kemungkinan penyalahgunaan (abuses) oleh pihak-pihak tertentu. Di
Indonesia, pemegang saham minoritas dan stakeholders lainnya hanya
mempunyai sedikit celah untuk melindungi diri mereka terhadap
tindakan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pemegang saham
mayoritas. Dalam sistem hukum kita mekanisme terhadap Tindakan
seperti itu memang ada diatur, tetapi karena masih lemahnya penegakan
hukum dan praktik pengadilan (judiciary) maka efektivitasnya menjadi

33
terbatas. Begitu juga halnya dengan sistem kepailitan dan pengadilan
yang memiliki kelemahan telah membuat para kreditur hanya memiliki
pengaruh yang kecil terhadap para debitur mereka.

2. Kendala Budaya.

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa terdapat suatu


pandangan bahwa praktik corporate governance itu hanyalah merupakan
suatu bentuk kepatuhan (conformance) terhadap peraturan atau ketentuan
dan bukannya sebagai suatu sistem diperlukan oleh perusahaan untuk
meningkatkan kinerja. Hal ini mengakibatkan aplikasi good corporate
governance tidak sepenuh hati dilaksanakan, sehingga efektivitasnya
menjadi berkurang. Begitu juga halnya dengan adanya dan telah
membudayanya anggapan bahwa tindakan penyelewengan (fraud)
maupun transaksi dengan orang dalam (insider transactions) hanyalah
merupakan hal biasa dan lumrah dilakukan dan bahkan tindakan korupsi
pun dipandang sebagai sesuatu tindakan yang tidak salah. Anggapan
yang seperti ini jelas bertentangan dengan jiwa corporate governance,
sehingga akan mengganggu dan bahkan menghambat berjalannya
aplikasi tersebut. Kondisi ini ditambah lagi dengan masih lemahnya
praktik pengungkapan dan keterbukaan serta tidak efektifnya mekanisme
pengungkapan dan kedisiplinan di pasar modal. Dalam beberapa kasus
juga dijumpai fenomena bahwa para manajer dan direktur sangat kebal
(immune) terhadap pertanggungjawaban kepada para stakeholder.

3. Kendala Politik.

Kendala ini terutama terkait dengan perusahaan-perusahaan


BUMN, yaitu perusahaan yang dimiliki negara. Sebagaimana dikatakan
di atas bahwa pengertian negara selalu menjadi kabur, terkadang
diartikan sebagai pemerintah, tetapi juga ada yang mengartikannya
sebagai lembaga negara yang lain. Hal ini ditambah lagi dengan
dikaburkannya pemisahan antara kepentingan bisnis dan kepentingan
pemerintah maupun lembaga negara yang lain. Akibatnya berbagai

34
keputusan bisnis di BUMN sangat diintervensi oleh pemerintah dan
dalam kasus yang lain BUMN justru dieksploitasi oleh para politisi
(Prasetiantono dalam Nugroho dan Siahaan 2005). Dalam beberapa
kasus, hal ini juga terjadi pada perusahaanperusahaan swasta. Kondisi
lain yang mungkin dapat menjadi perhatian adalah bahwa peranan
lembaga pasar modal (Bapepam begitu juga JSX) sebagai lembaga
pengatur masih belum cukup kuat dalam menutupi kelemahan yang ada
di pengadilan.

4. Kendala Lingkungan Bisnis.

Sebagaimana kondisi yang umum berlaku di berbagai negara Asia


lainnya, bahwa perusahaan-perusahaan (meskipun berbentuk perseroan)
Indonesia terutama dimiliki oleh keluarga (family-owned). Dengan
kondisi ini, maka praktik corporate governance dapat saja melenceng dari
praktik yang seharusnya karena pertimbangan dan kepentingan keluarga,
misalnya dalam penunjukan anggota komisaris independen. Keadaan ini
dalam berbagai kasus juga tetap berlaku meskipun perusahaan-
perusahaan tersebut sudah masuk dan memperdagangkan sahamnya di
pasar modal (publicly listed).

5. Kendala Lainnya.

Bank-bank di Indonesia telah diakui keberadaannya sebagai salah


satu lembaga intermediary keuangan yang amat berperan dalam
penyediaan (juga membantu dalam menyediakan) dana yang dibutuhkan
oleh para pelaku bisnis. Sebagai penyedia dana (pinjaman) bank-bank
tersebut semestinya berperan besar dalam memonitor aktivitas
perusahaan, termasuk aktivitas manajernya dalam penggunaan dana.
Dalam berbagai kasus terlihat bahwa fungsi monitoring ini tidak berjalan
secara efektif, bahkan hal itu sudah terjadi selama proses penilaian
terhadap proposal pinjaman yang diajukan. Hal ini dapat dilihat dari
kasus-kasus disetujuinya proposal kredit yang tidak/kurang feasible

35
sehingga pada akhirnya menimbulkan masalah dalam pengembaliannya
kemudian (kredit macet).

2.3.4 Tantangan dan Kesempatan Bagi Perusahaan Publik di Indonesia


Korporasi memainkan peran sentral dalam sistem perekonomian suatu
Negara. Sebaliknya,kemajuan ekonomi suatu negara tergantung pada
berfungsinya perekonomian yang berorientasi pasar yang mengejar
kepentingan terbaik dari para pemilik korporasi yang akan membawa
korporasi kepada efisiensi yang dilakukan oleh manajemen. Efektivitas good
corporate governace tidak terlepas dari rerangka legal dan ekonomi (legal
and economic framework) suatu negara. Sebagai suatu governance system ia
dipengaruhi oleh rerangka legal dan ekonomi tersebut dan pada gilirannya
mempengaruhi rerangka tersebut.
Tantangan terbesar dan unik bagi perusahaan-perusahaan publik
dalam penerapan good corporate governance mungkin bukan lagi
kekurangan legal references, melainkan tantangan untuk mengubah kultur
perusahaan yang umunya sudah mengakar melalui kepemimpinan yang lugas,
kompeten dan memiliki integritas tinggi. Jangankan berpikir dan bertindak ke
arah stakeholder concept karena pada saat ini untuk menerapkan agency
theory saja sudah sangat sulit (Tjager et al., 2003).
Dari berbagai kesempatan tatap muka yang dilakukan oleh Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dengan kalangan korporasi baik
BUMN maupun perusahaan-perusahaan swasta, sebagaian besar responden
menegaskan bahwa kepemimpinan bersifat krusial dan merupakan faktor
penting dalam penerapan good corporate governance, dan tidak satupun yang
mengingkari hal tersebut. Mereka percaya bahwa tanpa kepemimpinan yang
memadai, tidak akan ada penerapan good corporate governance yang efektif
di suatu perusahaan.
Meskipun saat ini (sampai tulisan ini dibuat) belum ada studi empiris
mengenai seberapa erat hubungan antara kepemimpinan organisasi dan
corporate governance, survei di atas merupakan cerminan akan keyakinan
yang kuat bahwa kepemimpinan memiliki hubungan positif dengan corporate
governance di perusahaan. Alasan utama sebagian responden adalah

36
memandang implementasi good corporate governance sebagai upaya
membangun budaya korporasi yang baru, suatu program yang sulit
terlaksanakan tanpa kepemimpinan organisasi yang memadai. Lebih lanjut,
mereka memandang bahwa good corporate governance semacam transformasi
kultural atau proses perubahan kultural. Mereka juga menunjukkan bahwa
kepemimpinan transformasional adalah tipe kepemimpinan yang paling
sesuai untuk melaksanakan proses perubahan ini.
Terlepas dari semua itu, good corporate governance bukanlah suatu
opsi melainkan suatu keharusan bagi perusahaan-perusahaan publik di
Indonesia, karena penerapan good corporate governance di semua
perusahaan publik ini akan bermanfaat baik negara dalam menurunkan
tingkat country risk dalam upaya memulihkan dan menstabilkan
perekonomian nasional maupun bagi perusahaan itu sendiri dalam
meningkatkan value of the firm.
Penerapan good corporate governance bisa dilihat sebagai tantangan
sebab membutuhkan semua hal yang harus diperbaiki (legal, ekonomi,
politik, budaya, dan sebagainya) dalam waktu bersamaan, yang bila dikaji
dalam konteks kondisi Indonesia pasca krisis dan waktu yang sangat
mendesak tentu menimbulkan beban berat atau mungkin frustasi karena
terlampau berat untuk dilalui. Tetapi bila dilihat sebagai kesempatan, dimana
pada saat ini good corporate governance bukan saja dirasakan sebagai
pressure di Indonesia tetapi juga di semua belahan dunia, maka bila
perusahaan di Indonesia dapat lebih cepat dan tepat bertindak dari pesaing-
pesaing mereka (terlepas masih banyaknya kekurangan-kekurangan secara
makro) maka mereka dapat mempertahankan keberadaan dan meningkatkan
kinerja serta menjaga sustainability usaha yang berkualitas di Indonesia.
2.3.5 GCG di Lingkungan Perbankan
Dalam undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, secara
umum telah diatur ketentuan yang terkait dengan GCG baik yang termasuk
governance structure, governance process, maupun governance outcome.
Governance structure terdiri atas (LAN dan BPKP,2000) : pertama, uji
kelayakan dan kepatutan, (fit and proper test), yang mengatur perlunya

37
peningkatan kompetensi dan integritas manajemen perbankan melalui uji
kelayakan dan kepatutan terhadap pemilik, pemegang saham pengendali,
dewan komisaris, direksi, dan pejabat eksekutif bank dalam aktivitas
pengelolaan bank.
Kedua, independensi manajemen bank, di mana para anggota dewan
komisaris dan direksi tidak boleh memiliki hubungan kekerabatan atau
memiliki hubungan financial dengan dewan komisaris dan direksi atau
menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan lain.
Ketiga, ketentuan bagi direktur kepatutan dan peningkatan fungsi
audit bank publik. Dalam standar penerapan fungsi internal audit bank publik,
bank diwajibkan untuk menunjuk direktur kepatuhan yang bertanggung jawab
atas kepatuhan bank terhadap regulasi yang ada. Strategi dan rencana Bank
Indonesia mewajibkan bank untuk memikili rencana dan anggaran jangka
panjang dan menengah dalam bentuk keputusan dewan direksi bank
Indonesia tahun 1995, yang dimaksudkan bagi bank untuk memiliki strategi
korporasi dan yang tertuang dengan jelas, termasuk nilai-nilai yang harus
dikomunikasikan kepada seluruh tingkatan di dalam organisasi dan
resikoresiko pengendalian.
Mengenai governance outcome, Bank Indonesia juga telah
mengeluarkan beberapa peraturan, antara lain transparansi mengenai kondisi
keuangan bank dan peningkatan peran auditor eksternal. Bank diwajibkan
untuk mengungkapkan non performing loan (NPL), pemegang saham
pengendali dan afiliasinya, praktik manajemen resiko dalam pelaporan
keuangan.
2.3.6 Peran BAPEPAM
BAPEPAM secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong
implementasi prinsip-prinsip GCG di Indonesia, dengan menerbitkan
peraturan dan kebijakan yang terkait dengan GCG. Peraturanperaturan
tersebut antara lain menyangkut keputusan Bapepam mengenai prinsip
transparansi yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi
kepada publik, disclosure mengenai beberapa aspek yang terkait dengan
pemegang saham, transaksi material, dan perubahan dalam aktivitas bisnis

38
inti, keputusan mengenai merger dan akuisisi perusahaan publik, serta
ketentuan tentang pengungkapan mengenai apakah suatu perusahaan tengah
dalam proses peradilan kepailitan.
2.3.7 Contoh Penerapan GCG di Indonesia
PT ANTAM (Persero) Tbk
Semenjak menjadi perusahaan publik di Indonesia pada tahun 1997
dan mencatatkan saham di Australia pada tahun 1999, tata kelola perusahaan
(Good Corporate Governance, GCG) telah menjadi salah satu elemen penting
bagi Antam di dalam mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan dan juga
menjadi perusahaan pertambangan internasional. Lebih jauh, sebagai salah
satu BUMN terbesar dan berpengaruh, Antam memiliki komitmen untuk
terlibat dalam pertumbuhan Indonesia dengan berkontribusi secara signifikan
terhadap perekonomian Indonesia dan menjadi contoh bagi perusahaan lain,
terutama BUMN lain, dalam hal implementasi GCG.
Dewan Komisaris, Komite-komite di tingkat Dewan Komisaris,
Direksi, dan manajemen senior terus meningkatkan kapabilitas di dalam
proses pengawasan dan pengelolaan perusahaan, sesuai dengan tugas dan
tanggungjawab masing-masing. Semua pihak juga berupaya untuk
memperkuat hubungan kerja yang harmonis serta kerjasama diantara organ-
organ tata kelola, manajemen dan staf untuk mempertahankan dan
meningkatkan praktik GCG di Antam secara berkelanjutan. Untuk
mendukung fungsi pengawasan, Dewan Komisaris telah membentuk lima
Komite di tingkat Dewan Komisaris yakni Komita Audit, Komite Nominasi,
Remunerasi dan Pengembangan SDM (NRPSDM), Komite Manajemen
Risiko, Komite GCG dan Komite CSR dan Pasca Tambang.

39
BAB III
PENUTUP

3.1.4 Kesimpulan
Di era persaingan global ini, dimana batas-batas negara tidak lagi
menjadi penghalang untuk berkompetisi, hanya perusahaan yang menerapkan
Good Corporate Governance (GCG) yang mampu memenangkan persaingan.
GCG merupakan suatu keharusan dalam rangka membangun kondisi
perusahaan yang tangguh dan sustainable. Ia diperlukan untuk menciptakan
sistem dan struktur perusahaan yang kuat sehingga mampu menjadi
perusahaan kelas dunia
3.2 Saran
Kami menyadari penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan maupun kekurangan yang perlu diperbaiki. Maka dari itu, kami
mengharapkan kritik dan saran kepada setiap pembaca agar makalah ini bisa
lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan para
pembaca.

40
DAFTAR PUSTAKA

Asian Corporate Governance Association. (2020). CG Watch 2020 Future


Promise Aligning governance and ESG in Asia. In Asian Corporate Governance
Association.

Dwiridotjahjono, J. (2009). Penerapan Good Corporate Governance : Manfaat


Dan Tantangan Serta Kesempatan Bagi Perusahaan Publik Di Indonesia. Jurnal
Administrasi Bisnis Unpar, 5(2), 101–112. https://doi.org/10.26593/jab.v5i2.2108.

Pembahasan Penerapan Good Corporate Governance di Beberapa negara


ASEAN. (n.d.). https://core.ac.uk/download/pdf/11520142.pdf

Nuristianti, E. W. dkk. (2018). No Title. Academia.Edu.


https://www.academia.edu/36295089/Makalah_Good_Corporate_Governance

OECD (2014), Public Enforcement and Corporate Governance in Asia: Guidance


and Good Practices, OECD Publishing.

Prabowo, M. S. (2018). Good Corporate Governance (Gcg) Dalam Prespektif


Islam. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE, 11(2), 257–270.
https://doi.org/10.31942/jqi.v11i2.2592

Widianti, L. A. dkk. (2016). Good Corporate Governance. In Good Corporate


Governance Di Dunia, Asia dan Indonesia.

Wulandari, E. R. (n.d.). GOOD CORPORATE GOVERNANCE Konsep, Prinsip


dan Praktik. Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia.

41

Anda mungkin juga menyukai