Anda di halaman 1dari 32

Mata Kuliah : Etik dan Legal dalam Keperawatan

Dosen : Prof Inda, MPH

DILEMA ETIK, DNR, ABORSI DAN EUTHANASIA

Oleh :
KELOMPOK 5
MANAJEMEN 01

SUSILAWATY LESTARI R012211011


THAHIRAH R012211030
FAJAR VILBRA AYU LESTARI R0122111042

PRODI STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
i
Bismillahirrahmanirahim

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat

iman, sehat dan pengetahuan, serta nikmat kemudahan dalam mengajarkan mata Etik dan Legal

dalam Keperawatan yaitu sebuah makalah Dilema Etik, DNR, Aborsi dan Euthanasia. Shawalat

dan salaman atas junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan kami dalam menuntut

ilmu dan dalam mengembangkan pemahaman kami.

Kami sebagai penulis menyadari penuh bahwa dalam mengerjakan Makalah ini tidaklah

mudah, perlu banyak kajian yang mungkin lebih dalam lagi, untuk kekurangan makalah ini kami

memohon maaf sebesar-besarnya dan kami sangat berterima kasih serta mengharapkan kritikan

dan masukan yang sifatnya membangun dan menyempurnakan makalah ini.

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta bermanfaat

bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sekian dan terima kasih

Makassar 16 Oktober 2021

Kelompok 5

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................3
C. Tujuan.......................................................................................................................3
D. Manfaat ....................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Dilema Etik...............................................................................................................5
1. Pengertian Dilema Etik........................................................................................5
2. Dilema Etik yang terjadi dalam Keperawatan.....................................................6
3. Prinsip moral dalam menyelesaiakan dilema etik keperawatan..........................7
4. Pemecahan Dilema Etik Keperawatan.................................................................7
5. Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen............................................8
6. Kerangka pemecahan dilema etik .....................................................................9
B. DNR...........................................................................................................................11
1. Pengertian DNR...................................................................................................11
2. DNR dari segi etik dan legal................................................................................12
3. (Do Not Resucitate) dalam Perspektif Hukum Pidana…………………………13
C. Aborsi........................................................................................................................14
1. Pengertian Aborsi.................................................................................................14
2. Tata Cara Aborsi..................................................................................................16
3. Resiko Aborsi.......................................................................................................18
4. Hukum Aborsi di Indonesia.................................................................................18
D. Euthanasia................................................................................................................21
1. Pengertian Euthanasia..........................................................................................21
2. Pembagian Euthanasia.........................................................................................21
3. Etik dan Legal Euthanasia di Indonesia...............................................................22
BAB III PENUTUP..............................................................................................................26
A. Kesimpulan ...................................................................................................................26
B. Saran ..............................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keperawatan dalam Undang- Undang Keperawatan No 38 tahun 2014 merupakan

suatu kegiatan pemberian Asuhan kepeda Individu, kolompok atau masyarakat baik

dalam keadaan sakit maupun sehat, sedangkan asuhan keperawatan merupakan segala

rangkaian yang dilakukan perawat dalam berinteraksi denga klien dan lingkungannya

untuk mencapai tujuan dalam memenuhi kebutuhan dan kemandirian klien dalam

merawat klien.[ CITATION Ind14 \l 1033 ]

Perawat merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan yang dituntut untuk

memberikan pelayanan yang berkualitas dalam melakukan asuhan keperawatan. Untuk

menjadi tenaga yang profesional maka seorang perawat dituntut memiliki pengetahuan,

sikap dan keterampilan yang baik dalam bidang keperawatan. Salah satu hal penting yang

perlu dipahami oleh perawat adalah pentingnya memhami etika keperawatan sebagai

penunjang sikap profesional perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.

Banyangkan jika seorang perawat yang akan melakukan tindakan keperawatan tidak

menjaga privasi pasien, hal tersebut tentunya menunjukkan tindakan yang kurang etis,

yang membuat merasa kurang nyaman dan dinilai sebagai perawat yang kurang

profesional.[ CITATION Uta16 \l 1033 ]

Dalam kehidupan seorang perawat sebagai manusia yang tidak memfungsikan

dengan sempurna moral yang telah ada dalam diri yang tepat berada dalam hati, maka

akan menjadi manusia yang akan selalu melakukan perbuatan atau tindakan – tindakan

yang sesat. Dalam kamus Besar bahasa Indonesia, kata moral memiliki arti jajaran

tentang baik yang buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,

1
akhlak, budi pekerti, susila; kondisi mental yang membuat orang tetap berani,

bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan, dengan merujuk pada

arti etika yang sesuai, maka arti kata moral sama dengan arti kata etika, yaitu nilai-nilai

dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang, atau suatu kelompok dala mengatur

tingkah lakunya. [ CITATION Ami17 \l 1033 ]

Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal

mempunyai banyak arti seperti tempat tinggal yang biasa, pada rumput, kandang,

kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak

adalah ta etha artinya adat kebiasaan. Arti terakhir ini yang menjadi latarbelakang

terbentuknya istilah “etika” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kode Etik

adalah norma dan asa yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah

laku. Kode etik merupakan suatu kesepakatan yang diterima. [ CITATION Pan20 \l 1033 ]

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Kata lain “Moral” memiliki arti’ ajaran

tengan baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,

akhlak, budi pekerti, susila, kondisi mental yang membuat orang lain tetap berani,

bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hari atau keadaan perasaan. Sejalan dengan

pengertian moral sebagaimana disebutkan tadi, K bertens 1994 mengatakan yang sangat

dekat dengan etika adalah moral. Kata ini berasal dari bahasa latin mos, jamaknya mores

yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan moral

keduanta berarti adat kebiasaan. Perbedaannya hanya pada bahasa asalnya. Etika bersal

dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa latin.[ CITATION Ami17 \l 1033 ]

Dengan merujuk pada arti kata etika yang sesuai, maka arti kata moral sama

dengan arti kata etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan

2
seseorang, atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Berbicara mengenai

tingkah laku seseorang, maka ini pula berkaitan dengan kesadaran yang harus dijalankan

oleh seseorang, maka ini pula berkaitan dengan kesadaran yang harus dijalankan oleh

seseorang dalam memaknai dirinya sebgai manusia ciptaan Tuhan. Disinilah manusia

membedakan antara halal dan yang haram, yang boleh dan tidak boleh dilakukan

walaupun tindakan ini bersifat kejam.[ CITATION Ami17 \l 1033 ]

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana Aspek hukum dan model,

proses pengambilan keputusan pada masalah etika (Moral Problems) dan Dilema Ethic

yaitu DNR, Abosi dan Eutanasia

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui Aspek hukum dan model, proses pengambilan keputusan pada masalah

etika (Moral Problems) dan Dilema Ethic yaitu DNR, Abosi dan Eutanasia

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan

pada masalah etika tentang dilema etik

b. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan

pada masalah etika pada DNR

c. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan

pada masalah etika pada Aborsi

d. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan

pada masalah etika dalam Eutanasia

3
D. Manfaat

1. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan

keputusan pada masalah etika pada masalah moral dan dilema etik

2. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan

keputusan pada masalah etika pada DNR

3. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan

keputusan pada masalah etika pada Aborsi

4. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan

keputusan pada masalah etika pada Eutanasia

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dilema Etik
1. Pengertian Dilema Etik
Dilema menurut Campbell adalah suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua

alternatif pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan

pemecahan masalah dengan kata lain dilema merupakan keadaan yang didadapkan pada

persimpangan yang serupa atau bercabang dengan petunjuk yang tidak jelas [ CITATION

Ind19 \l 1033 ]Etik adalah pernyataan yang menentukan baik atau buruknya tingkah laku

atau perilaku seseorang dan bagaimana yang seharusnya. Etik ada dari beberapa level,

mulai dari individu atau kelompok kecil sampai dengan masyarakat secara keseluruhan

[ CITATION Nas19 \l 1033 ]

Dilema etik merupakan masalah yang sulit, dimana tidak ada alternatif yang

memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan

sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat

keputusan yang etis, seorang perawat bergantung pada pemikiran yang rasional bukan

emosional [ CITATION Men18 \l 1033 ] . Meskipun tidak ada jawaban yang benar ataupun

salah, ada seperangkat prinsip yang mendasari pembuatan keputusan etis.Mekanisme

pengaturan ditujukan untuk memastikan standar etika tertinggi. Misalnya yaitu kode etik

ICN yang menegaskan bahwa disamping tanggung jawab utama untuk mempromosikan

kesehatan, pencegahan penyakit dan mengurangi penderitaan “penghormatan terhadap hak

asasi manusia, termaksud hak budaya, hak untuk hidup, hak untuk mermartabat dan

diperlakukan dengan hormat “ juga merupakan bagian inheren dari profesi perawat. Kode

5
etik ICN menyatakan bahwa tanggung jawab profesional utama perawat adalah untuk

orang-orang yang membutuhkan asuhan keperawatan. [ CITATION Men18 \l 1033 ]

2. Dilema Etik yang terjadi dalam Keperawatan [ CITATION Nas19 \l 1033 ]

a. Agama/ kepercayaan.

Di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya biasanya perawat

akan bertemu dengan klien dari berbagai jenis agama/ kepercayaan. Perbedaan ini

mereka memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyelesaikan masalah.

Misalnya ada seorang wanita (non muslim) meminta perawat untuk melakukan

abortus. Dalam ajaran agama wanita itu,tidak ada hukum yang melarang tentang

tindakan abortus sedangkan di satu sisi dalam ajaran agama perawatnya (muslim)

meyakini bahwa tindakan abortus itu dilarang dalam agama. Masalah ini

menimbulkan dilema pada perawat dalam pengambilan keputusan.

b. Hubungan perawat dengan klien

Dilema yang buasa muncul antara lain:

1) Berkata jujur atau tidak. Terkadang muncul masalah yang sulit untuk dijelaskan

kepada klien mengingat kondisi kesehatannya. Tetapi juga perawat harus mampu

mengatakanyang sebenarnya kepada klien tentang masalah kesehatan klien.

2) Kepercayaan klien. Membina hubungan saling percaya antara perawat dan klien

tujuannya adalah untuk mempercepat proses penyembuhan klien.

3) Membagi perhatian. Perawat juga harus memberikan perhatiannya kepada

klien.tetapi disisi lain perawat harus memperhatikan tingkat kebutuhan klien,

6
ataupun keadaan darurat harus diutamakan terlebih dahulu. Perawat Tidak boleh

memandang dari sisi factor agama, ekonomi sosial, suku, dan budaya.

c. Hubungan perawat dengan dokter

1) Perbedaan pandangan dalam pemberian praktik pengobatan kepada klien

2) Konflik peran perawat. Salah satu peran perawat adalah melakukan

advokasi,membela kepentingan pasien. Keputusan pasien pulang tergantung

kepada putusan dokter. Dengan keunikan yang dimiliki dalam pelayanan

keperawatan, perawat berada dalam posisi untuk bisa menyatakan kapan pasien

bisa pulang ataupun kapan harus tetap tinggal

3. Prinsip moral dalam menyelesaiakan dilema etik keperawatan [ CITATION Nas19 \l 1033 ]

a. Otonomi, otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis

dan memutuskan sendiri tindakan yang akan dilakukan.

b. Keadilan, prinsip keadilan dibutuhkan untuk pemberian terapi yang sama dan adil

terhadap semua orang yang menjunjung prinsip-prinsip kemanusiaan, moral, dan

legal.

c. Kejujuran, prinsip veracity ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk

mengatakan kebenaran yang ada. Mengatakan sesuatu dengan jujur yang tentang

keadaan klien selama menjalani perawatan.

d. Kerahasiaan, aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah informasi klien dijaga

privasinya.

4. Pemecahan Dilema Etik Keperawatan

Kerangka pemecahan dilema etik [ CITATION Nas19 \l 1033 ]

7
a. Mengembangkan data dasar. Pengumpulan informasi [ CITATION And21 \l 1033 ]

sebanyak mungkin meliputi:

1) Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya

2) Apa tindakan yang diusulkan

3) Apa maksud dari tindakan yang diusulkan

4) Apa konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.

b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan

mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil

keputusan yang tepat

e. Mengidentifikasi kewajiban perawat

f. Membuat keputusan

5. Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) dalam (Rahmawati, 2019)

a Pengkajian

Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan, dengan

bantuan pertanyaan yaitu:

1) Apa yang menjadi fakta medik?

2) Apa yang menjadi fakta psikososial?

3) Apa yang menjadi keinginan klien?

4) Apa nilai yang menjadi konflik?

b. Perencanaan

8
Perencanaan agar dapat berhasil perlu untuk setiap orang yang terlibat dalam

pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson (1985) dalam

Rahmawati (2019) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi

dalam perencanaan, yaitu:

1) Tentukan tujuan dari treatment.

2) Identifikasi pembuat keputusan

3) Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.

c. Implementasi

Peran perawat selama implementasi adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk,

karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional. Perawat harus menyadari

bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang menarik, tetapi kadang

terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak mengenakkan.

d. Evaluasi

Evaluasi bertujuan untuk terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai

outcome-nya.

6. Kerangka pemecahan dilema etik

a. Mengembangkan data dasar. Pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi:

1) Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya

2) Apa tindakan yang diusulkan

3) Apa maksud dari tindakan yang diusulkan

4) Apa konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.

b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

9
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan

mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan

yang tepat

e. Mengidentifikasi kewajiban perawat

f. Membuat keputusan

7. Model Murphy dan Murphy

a. Mengidentifikasi masalah kesehatan

b. Mengidentifikasi masalah etik

c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan

d. Mengidentifikasi peran perawat

e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan

f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan

g. Memberi keputusan

h. Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah

umum untuk perawatan klien

i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan

informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.

8. Langkah-langkah menurut Purtillo dan Cassel (1981) dalam (Nasrullah, 2019)

Purtillo dan Cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik

a. Mengumpulkan data yang relevan

b. Mengidentifikasi dilemma

c. Memutuskan apa yang harus dilakukan

10
d. Melengkapi tindakan

9. Langkah Menurut Thompson (1981) dalam (Nasrullah, 2019)

a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,

komponen etis dan petunjuk individual.

b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi

c. Mengidentifikasi Issue etik

d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional

e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.

f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

B. DNR (Do Not Resuscitation)


1. Pengertian DNR
DNR merupakan suatu keputusan yang ditujukan kepada pasien yang akan
mendapatkan suatu tindakan seperti penghentian alat bantu hidup, penghindaran
Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR), dimana pasien hanya akan mendapatkan
kenyamanan (Amestiasih & Nekada, 2017). Do Not Resuscitate (DNR) merupakan
keputusan untuk tidak melakukan tindakan CPR setelah 30 menit dan tidak menunjukan
ada Return of spontaneous circulation (ROSC) [ CITATION Ose17 \l 1033 ]
DNR dilakukan atas dasar permintaan pasien sendiri dan keluarga ataupun atas
pertimbangan dari tim medis dimana DNR dapat dilakukan berdasarkan
pertimbangan status kesehatan pasien ataupun biaya perawatannya. Pasien dan
keluarga yang meminta untuk dilakukan DNR memiliki hak yang harus dihormati
walaupun hal ini terkadang menjadi suatu dilema bagi tenaga kesehatan. Namun
disisi lain DNR dapat dilakukan apabila tim medis menemukan suatu kenyataan
bahwa pasien memiliki harapan hidup yang rendah dan kemungkinan untuk
tertolongnya sangat kecil (Amestiasih & Nekada, 2017). Menurut penelitian Park (2011)
dalam Amestiasih & Nekada (2017) mengungkapkan bahwa tingkat keberhasilan CPR
yang dilakukan di ICU hanyalah 9.2%. Ruland dan Moore (1998) dalam Amestiasih &

11
Nekada (2017) telah mencetuskan teori peacefull end of life . Teori ini ini
menyatakan bahwa kedamaian menjelang ajal meliputi terhindar dari rasa sakit,
merasakan kenyamanan, merasakan penghormatan, merasakan kedamaian,
mendapatkan kesempatan

2. DNR dari segi etik dan legal


DNR merupakan salah satu keputusan yang paling sulit. Dalam hal ini, keputusan

untuk dilakukan DNR menimbulkan masalah dilema etika yang menyangkut perawat,

dokter maupun tenaga kesehatan lainnya yang ikut terlibat. Perintah ini dibuat dimana

pasien dalam keadaan belum sakit atau sadar penuh, untuk mengantisipasi jika suatu saat

dia berada dalam kondisi kegawatdaruratan / kritis. Di Negara barat Do Not Resucitate

(DNR) ini dianggap sebagai pseudo-euthanasia atau yang dikenal dengan istilah Againts

Medical Advice, dimana pasien menolak rekomendasi dari tenaga kesehatan mengenai

rencana perawatan terhadap dirinya. Pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan sesuai

kebutuhan medis dan juga memiliki hak untuk menolak tindakan medis [ CITATION

And21 \l 1033 ]

Terdapat beberapa pro dan kontra terkait DNR. Beberapa pertimbangan yang

digunakan kelompok pro DNR yaitu pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal

yang dimaksud yaitu rekomendasi American Heart Association (AHA) sebagai salah satu

panduan yang banyak digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia yang menyatakan

bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal,

penyakit yang tidak reversibel, dan juga penyakit dengan prognosis kematian hampir

dapat dipastikan untuk tidak perlu dilakukan RJP (Sa’id & Mrayyan, 2015). Beberapa

12
negara di dunia melakukan pelarangan tindakan DNR atas beberapa pertimbangan seperti

Cina dan Korea Selatan, DNR dilarang atas dasar asas keadilan bahwa tindakan resusitasi

jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang dengan kondisi dan tempat

yang sama [ CITATION And21 \l 1033 ]

Kajian Etik DNR sebagai Pseudo-Euthanasia dimana dalam melakukan resusitasi

jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan teknis namun juga

mempertimbangan 4 kaidah bioetika, (beneficence), (nonmaleficence), keadilan (justice),

dan hak otonomi pasien (autonomy). Selain itu, beberapa pandangan agama juga

membenarkan dilakukannya DNR terutama apabila RJP tidak memberikan hasil yang

terbaik dan justru menambah beban pasien ataupun keluarga. Sebelum keputusan diambil

pasien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien. Dokter wajib

memberikan informed consent yang mensyaratkan pasien mampu menerima dan

memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan kondisi penyakit, prognosis,

tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif, risiko dan manfaat dari masing-

masing pilihan. Pasien yang kapasitasnya menurun akibat obat-obatan atau penyakit

penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi semula sampai pasien mampu

memberikan keputusan medis. Terdapat beberapa negara yang telah mengeluarkan

guidelines nasional perihal DNR, namun sebagian besar Negara di dunia belum memiliki

egulasi perihal DNR tersebut. Di Indonesia, konsep DNR belum secara luas diketahui dan

dipahami secara hukum di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Sebagian besar Rumah sakit di

Indonesia belum memilki regulasi tentang DNR. Saat ini mayoritas RS menjalankan

regulasi tersebut atas dasar pemenuhan akreditasi. Peraturan atau hukum yang mengatur

13
tentang tindakan ini masih belum jelas, sehingga perintah DNR di Indonesia belum

terdokumentasi secara legal [ CITATION And21 \l 1033 ]

3. (Do Not Resucitate) dalam Perspektif Hukum Pidana

Menurut Makino et al., (2014) dalam [ CITATION And21 \l 1033 ] perdebatan

mengenai aspek hukum Do not resuciate (DNR) ini masih terus berlaku. Beberapa negara

melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan seperti misalnya di China dan

Korea Selatan. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa orang meminta tindakan

DNR kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat penatalaksanaan dengan

layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada kemungkinan keinginan euthanasia,

terutama pada pasien dewasa namun menolak untuk dilakukan resusitasi jantung paru

secara irasional Berdasarkan hukum positif di Indonesia, masalah DNR ini belum diatur

secara khusus sehingga pelaksanaanya di fasilitas pelayanan kesehatan belum memiliki

titik terang.. Pelaksanaan DNR ini diserahkan sepenuhnya kepada regulasi/ kebijakan

yang dibuat oleh fasilitas pelayanan kesehatan dengan mengacu pada standar akreditasi

rumah sakit. Dalam praktiknya digunakan peraturan yang mendekati dan dapat digunakan

sebagai acuan dalam pertanggung jawaban atau penyelesaian masalah apabila terbukti

adanya pelanggaran hukum atau tindakan melawan hukum. Tindakan (Do Not

Resucitate) dapat dikaji dari aspek Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum

Administrasi Negara. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP pidana)

seseorang dapat dipidana atau dihukum jika menghilangkan nyawa orang lain dengan

sengaja atau kelalaian. Penerapan (Do Not Resucitate) diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yang tercantum dalam Pasal 338 KUHPidana dan pasal 340

KUHPidana. Sebagai contoh jika permintaan DNR oleh karena sesuatu hal seperti pasien

14
tidak sadar dalam jangka waktu lama, permintaan dilakukan oleh keluarga pasien,

ataupun tindakan yang dilakukan oleh dokter tanpa diminta oleh keluarga pasien, maka

dapat terkena Pasal 338 KUHPidana atau bahkan Pasal 340 KUHPidana yang dapat

diancamkan kepada dokter yang melakukannya. Chazawi (2001) dalam [ CITATION

And21 \l 1033 ]

C. Aborsi

1. Pengertian Aborsi

Pengertian Aborsi menurut kamus besar Bahasa Indonesia, yaitu sebelum berakhirnya

bulan keempat dari kehi=amilan terjadi perpecahan pada embrio yang tidak lagi hidup.

Aborsi dimaksud menggugurkan kandungan, dimana janin dikeluarkan sebelum waktunya,

baik itu secara terencana ataupun tidak. Sebaliknya dalam medis yang dikatakan Dokter.

Gulardi:” Aborsi yakni dikeluarkannya janin saat usia kehamilan <20 pekan serta berat janin

<500 gr serta panjang bakal anak <25 cm. Kadang juga terjadi sebelum kehamilan 3 bulan.

(Maria et al : 2002) Terdapat dua jenis pembagian abortus menurut [ CITATION Dad06 \l

1033 ], yaitu

a. Abortus Provocation Therapeuticus

Merupakann Abortus yang dilakukan berdasarkan pertimbangan kedokteran dan tenaga

yang melakukan memiliki pendiidkan khusus dan bertindak professional.

b. Abortus Provocatus Criminalis

Merupakan abortus yang dilakukan secara diam-diam dan dilakukan oleh tenaga yang

tidak mendapatan pendiidkan khusus.

Permasalahan aborsi, keberadaannya ialah sesuatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri

serta apalagi menjadi bahan kajian yang menarik dan ini menjadi fenomena social dimana

15
berkaitan erat dengan masalah kesehatan reproduksi wanita. Salah satu tingginya angka

kematian wanita disebabkan praktek aborsi yang dilakukan pada usia muda disebabkan

pergaulan yang salah dan belum siap mempunyai anak. Tidak hanya perihal tersebut,

fenomena sosial menjadi perdebatan pro serta kontra. Untuk yang pro aborsi beranggapan

bahawa wanita berhak memiliki hak penuh atas tubuhnya. Wanita berhak memastikan

sendiri ingin hamil atau tidak, ingin meneruskan kehamilannya ataupun

menghentikannya. Untuk yang kontra aborsi, dimana janin adalah makhluk hidup yang

memiliki hak asasi buat hidup. Untuk mereka aborsi merupakan pembunuhan kejam

terhadap janin.[ CITATION Dad06 \l 1033 ]

Perdebatan menimpa aborsi di Indonesia akhir- akhir ini terus menjadi ramai sebab

dipicu oleh bermacam kejadian yang mengguncang sendi- sendi kehidupan manusia.

Kehidupan yang diberikan kepada tiap manusia ialah Hak Asasi Manusia yang cuma

boleh dicabut oleh sang pencipta. Berdialog menimpa aborsi pastinya kita berdialog

tentang kehidupan manusia sebab aborsi erat kaitannya wanita dan janin yang

dikandungnya. [ CITATION Cha07 \l 1033 ]

2. Tatacara Aborsi

Menurut Echkhlom dalam melakukan tindakan aborsi ada 4 hal yang sering dilakukan ,

yaitu :

a. Memakai jasa medis di Rumah Sakit atau Praktek Klinik

b. Memakai jasa dukun

c. Melakukan aborsi sendiri dengan alat tertentu

d. Memakai obat atau ramuan tertentu.

16
Lebih banyak menggunakan jasa pertama pada kehamilan suami-istri yang sah,

sedangkan kedua sampai keempat, umumnya hasil hubungan gelap. [ CITATION Mar02 \l

1033 ]

3. Alasan dan Motivasi Aborsi

Dalam tindakan Abortus provocatus criminalis ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal

Menurut [ CITATION Huz02 \l 1033 ]yaitu:

a. Dorongan Individu atau ekonomi : Dorongan ini muncul karena kekhawatiran pada

kemiskinan, tidak ingin memiliki keluarga banyak. Juga pada Banyak pasangan muda

yang terburu-buruh menikah

b. Persiapan yang belum matang. Akibat banyak diantara mereka yang hidup masih

menumpang pada orang tuanya terlebih ekonomi orang tuanya kurang. Sementara itu

konsekuensi logis dari suatu pernikahan merupakan lahirnya anak. Lahirnya anak

pastinya meperberat tanggung jawab orang tuanya. Oleh sebab itu mereka setuju tidak

memiliki anak terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu.

c. Dorongan fisik: Dorongan ini contohnya ingin memelihara kecantikannya sebagai

perempuan

d. Indikasi psikologis: apabila kehamilan diteruskan akan memperburuk penyakit jiwa

yang dibawa ibu, seperti : wanita yang hamil akibat perkosaan, hamil sebelum nikah

atau hamil sebab gaib

e. Indikasi eugenetik: Dorongan ini terkadi kekhawatiran akan penyakit bawaan

terhadap keturunan contoh adanya kelainan kehamilan, karena trauma mekanis

(benturan aktifitas fisik), atau karena kecelakaan, kelainan pada kandungan,

17
pendarahan, penyakit penyerta dengan kondisi ibu seperti syphilis, virus toxoplasma,

anemia, penyakit ginjal, TBC, dan lain-lain.

f. Dorongan ini muncul biasanya karena kekhawatiran bahwa janin akan lahir dalam

keadaan cacat. Kondisi yang terjadi pada kandungan ibu hamil adalah sudah

ketentuan dari Tuhan, baik itu dalam kondisi baik dan sempurna walaupun dalam

keadaan tidak sempurna/cacat. Cacat dari janin yang dikandungnya tersebut apabila

tidak mengganggu kesehatan ibu, maka dilarang melakukan abors, tetapi jika cacat

tubuh tersebut mengganggu kesehatan ibu, maka aborsi seperti ini diperbolehkan

termasuk abortus provocatus mecicialis

g. Dorongan Sanksi moral: Dorongan ini biasanya terjadi karena wanita yang hamil

tidak sanggup menerima sanksi sosial dimasyarakat, dikarenakan Asosiasi biologis

yang tidak memperhatikan moral dan agama, contoh hamil diluar nikah dan kumpul

kebo

h. Dorongan lingkungan: Faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya aborsi pada

kehamilan muda, seperti sikap dari penolong (Dokter, bidan, dukun dan yang

lainnya), kemudahan dalam akses fasilitas, pemakaian alat kontrasepsi, norma t

aktifitas sexual dan hubungan sexual diluar pernikahan, norma agama serta moral.

3. Resiko Aborsi

Statistik membuktikan resiko bagi perempuan jika melakukan Aborsi adalah :

a. Kematian wanita yang lebih tinggi didapatkan pada kejadian aborsi dibandingkan

dengan ibu melahirkan normal

b. Kehamilan karena hubungan yang tidak sah sehingga pacar dan keluarganya ingin

menggugurkan kandungan karena menutupi aib. Sehingga perempuan melakukan

18
aborsi dengan banyak pertimbangan, padahal wanita tersebut tidak ingin

memepertahankan janinnya, sehingga dirinya pasrah dan serba salah.

c. Wanita yang melakukan aborsi akan berdampak pada gangguan mentalnya seperti

stres pasca trauma aborsi. [ CITATION Dad06 \l 1033 ]

4. . Hukum Aborsi di Indonesia

Di Indonesia telah diatur Peraturan Perundan-Undangan tentang abortus

provocatus, dimana dalam kitab UU Hukum Pidana pasal 346,347,348,dan 349, tertuang

a. Pasal 346

Seorang perempuan dengan sengaja menggugurkan kandungannya serta

memerintahkan orang lain untuk itu, maka diancam dengan pidana penjara paling

lama 4 tahun.[ CITATION Moe211 \l 1033 ]

b. Pasal 347

1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan seorang wanita tanpa

persetujuannya,maka diancam pidana penjara paling lama 12 tahun.

2) Jika tindakan itu wanita tersebut mengakibatkan kematian, maka diancam pidana

penjara paling lama 15 tahun. [ CITATION Moe211 \l 1033 ]

c. Pasal 348

1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan dengan persetujuannya, diancam

dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.

2) Jika wanita yang melakukan Tindakan tersebut mengakibatkan kematian,maka

diancam pidana penjara paling lama 7 tahun. [ CITATION Moe211 \l 1033 ]

d. Pasal 349

19
Jika seorang dokter tenaga kesehatan lainnya membantu melakukan Tindakan sesuai

pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu tindakan yang

dituangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang dutetapkan dalan pasal itu

ditambah dengan sepertiga.[ CITATION Moe211 \l 1033 ]

Telah di tegaskan oleh KUHP bahwa tindakan yang dilakukan oleh berbagai

pihak yang terlibat dalam tindakan aborsi dapat dikenai sanksi pidana. Bagi pelaku-

pelakunya ada pertanggungjawaban pidana masing-masing. Berdasarkan Pasal 346, Pasal

347, Pasal 348, dan Pasal 349 tindakan aborsi secara tegas dilarang tanpa pengecualian,

sehingga tidak ada perlindungan bagi pelaku aborsi. [ CITATION Mar02 \l 1033 ]

Karena KUHP melarang aborsi tanpa pengecualian, maka didalam Undang-

Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengecualian

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 75, 76 dan 77, yaitu :

a. Pasal 75

Setiap individu dilarang melakukan aborsi.

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan :

1) Terdeteksi pada usia awal kehamilan dengan tanda-tanda kedaruratan medis,

yang dapat mengancam nyawa ibu atau janin, penderita penyakit cacat bawaan

atau genetik berat, yang berdampak menyulitkan bayi untuk bertahan hidup

ketika dilahirkan.

2) Kehamilan terjadi karena tindakan perkosaan dimana korban dapat

menimbulkan trauma psikologis.

20
3) Sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah melewati

pengarahan sebelum tindakan dan diakhiri dengan pengarahan setelah tindakan

yang dilakukan tenaga konselor yg berwenang dan berkompeten.

4) Sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan

Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis

dan perkosaan

b. Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

1) Dihitung dari hari pertama haid terakhir, Sebelum usia kehamilan 6 (enam)

minggu terkecuali kedaruratan medis;

2) Dilakukan oleh tenaga yang memiliki keterampilan dan kewenangan

dibuktiksn mempunyai sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

3) Persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

4) Izin pasangan kecuali pada korban perkosaan; dan

5) Tempat dilakukan dipelayanan kesehatan yang memenuhi syarat sesuai

ketetapan Menteri.

c. Pasal 77

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari tindakan aborsi

sebagaimana dimaksud yang tidak aman, tidak aman,tidak bermutu jugatidak

bertanggung jawab serta bertentangan dengan nilai, norma agama dan ketentuan

perundang-undangan yang tertuang dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3).

D. Euthanasia

1. Pengertian Euthanasia

21
euthanasia adalah pembunuhan yang disengaja terhadap seseorang untuk keuntungannya.

Kata euthanasia berasal dari kata Yunani: ‘eu’- “Baik dan ‘thanatos’- “kematian”. Jadi

Euthanasia berarti kematian yang baik atau kematian yang mudah, dengan kata lain

euthanasia adalah penghentian hidup pasien yang sakit parah atas permintaan merekan

atau untuk kepentingan mereka. [ CITATION Hut20 \l 1033 ]

2. Euthanasia dibagi menjadi [ CITATION Sir19 \l 1033 ]

a. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang dengan segaja dilakukan oleh dokter atau

tenaga kesehatan lainnya demi mengakhiri hidup pasien. Ini dilakukan dengan

memberikan sesuatu melalui oral ataupun dengan suntikan seperti contohnya tablet

sianida

b. Euthanasia pasif, merupakan tindakan yang dilakukan dengan memberhentikan

pemberian seluruh bantuan medis yang seharusnya diterima pasien. Contohnya

keluarga sudah tidak mampu membayar semua perawatan pasien dan meminta rumah

sakit memberikan surat pernyataan pulang paksa, dan pada akhirnya situasinya yang

membuat pasien meninggal secara alamiah.

3. Eutanasia dari segi etik dan legal

Beberapa ahli memperbincangkan permasalahan euthanasia, tetapi euthanasia

tetap menjadi sebuah perdebatan panjang yang melelahkan terutama apabila terdapat

beberapa kasus yang muncul di masayarakat. Terdapat beberapa faktor yang menjadi

penyebab dilaksankannya euthanasia kepada pasien, yang dilihat dari berbagai perpesktif

seperti dari segi moral, agama, medis, dan hukum sendiri yang belum menyatakan kata

sepaham dalam menghadapi permohonan pasien yang memohon untuk mati demi

menghilangkan penderitaan dan rasa sakit yang dialami. Keadaan yang seperti ini

22
mengakibatkan pihal dokter dilema apakah mereka memiliki hak hukum untuk mengakiri

hidup seorang pasien walaupun itu merupakan permohonan sendiri dari pasien atau

keluarga pasien karena tupoksi dokter bukan untuk mengakiri nyawa sesorang melainkan

berupaya menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien. Dalam kondisi tersebut

dokter akan mengalami konflik batin meskipun tujuan dilakukannya euthanasia sendiri

guna mengakhiri penderitaan yang dirasakan selama ini telah dialami secara

berkepanjangan. [ CITATION Mur20 \l 1033 ]

Ditinjau dari segi perundang-undangan perkembangan euthanasia di Indonesia

menurut[ CITATION Her19 \l 1033 ] , peraturan yang mengatur tentang euthanasia di

Indonesia belum ada. karena menyangkut tentang keselamatan manusia, sehingga

dicarilah aturannya atau pasal yang mendekati faktor euthanasia tersebut. Satu satunya

pasal yang bisa dipakai sebagai landasan hukum yang terdapat di dalam KUHP adalah

Pasal 344 KUHP, yang disebutkan bahwa "Siapa saja yang merampas nyawa orang lain

atas permintaan sendiri sesuai hati nurani, diancam dengan pidana penjara paling lama

dua 12 tahun". Dari isi pasal tersebut telah jelas bahwa euthanasia tidak dapat dilakukan

sekalipun atas permintaan pasien sendiri. Sehingga pihak kedokteran jelas bahwa pasal

yang terdapat dalam KUHP tidak membenarkan euthanasia, terkecuali jika euthanasia

tidak diartikan sebagai tindakan kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP.

Maka dari itu perlu dipikirkan jika memang euthanasia merupakan masalah yang penting,

sehingga perlu dibuatkan suatu perundang-undangan yang mengatur, sehingga pihak

kedokteran aman dalam melakukan tindakan yang berkenaan dengan masalah tersebut.

Dilihat dari aspek hak asasi manusia menyatakan bahwa hak hidup adalah hak

fundamental yang dimiliki oleh setiap insan. Dampak dari hak hidup ini

23
adalah kewajiban setiap insan menjunjung tinggi keistimewaan dalam hidup

manusia. Pasal 3 Deklarasi Hak Asasi Manusia menyatakan setiap orang

berhak atas penghidupan, kemerdekaan serta keselamatan seseorang. Sedangkan UU

No. 39 Tahun 1999 pada pasal 9 ayat 1 tenatng HAM menegaskan

bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup serta meningkatkan

taraf hidupnya. Berdasarkan hukum pidana secara yuridis juga yang berlaku di Indonesia,

dimana euthanasia belum diatur secara jelas. Menurut dari kedokteran forensik,

euthanasia merupakan bentuk pembunuhan, dimana seseorang dimatikan dengan maksud

untuk mengakhiri penderitaan orang.[ CITATION LPY15 \l 1033 ]

Menurut [ CITATION Arw20 \l 1033 ] di berbagai negara-negara penganut sistem

hukum AngloSaxon seperti Amerika Serikat telah tegas melarang tindakan

Euthanasia pasif maupun aktif, karena merupakan perbuatan melanggar hukum.

Tetapi, pada negara bagian di Amerika yaitu Oeregeon hal tersebut legal, keputusan

ini berdasarkan pada, Oeregeon death with dignity act, bahwa dinyatakan pasien

yang tidak bisa disembuhkan lagi dapat mengakhiri hidupnya, problem hak untuk mati

ini di beberapa negara maju, telah ada pengaturannya di negara tersebut. Di

Belanda juga menerbitkan Undang-Undang tentang Euthanasia Pada tanggal 10 April

2001 . Efektif berlaku sejak 1 tahun penerbitan UU tersebut, yang dimana negara

Beanda menjadi pertama di dunia yang melegalikan praktik Euthanasia. Pasien-

pasien yang menderita penyakit menahun dan sulit untuk sembuh, diberikan haknya

untuk mengakhiri penderitaannya. Walaupun itu, dalam Buku Undang-Undang Hukum

Pidana Belanda secara resmi Euthanasia dan bunuh diri berbantuan dapat

dipertahankan dan disebut sebagai kriminal. Pada akhir tahun 1993, hukum di Belanda

24
mengatur kewajiban bagi dokter untuk melapor kasus Euthanasia dan bunuh diri

berbantuan, Instansi kehakiman pasti menilai benar tidaknya prosedur yang dilakukan.

Hukum Pidana Euthanasia dari Tinjauan Yuridis dari Beberapa dokter yang telah

membantu dalam proses Euthanasia dianggap bertanggungjawab atas partisipasi

mereka. Walaupun demikian, Euthanasia bukan lagi tindakan kriminal, dokter tidak akan

berhadapan dengan pengadilan. Para Dokter akan dihadapkan pada suatu forum

informal, diantaranya ahli hukum, ahli medis, serta ahli ethis. Tindakan untuk mengakhiri

hidup pasien yang dilakukan di negara Belanda diyakini terlalu bebas dan berbahaya.

Dimana diungkap oleh beberapa pakar hukum di Belanda. Negara ini menganut

“active Euthanasia” yang artinya secara hukum permohonan seseorang untuk

mengakhiri hidupnya dapat dituruti. Berdasarkan Dutch Penal Codes Article 293, 294

ada beberapa panduan ditentukan oleh pengadilan di Rotterdam belanda tentang kegiatan

Euthanasia atau “assisted suicide” terdiri dari : [ CITATION Arw20 \l 1033 ]

1. Pasien dalam situasi nyeri yang tidak tertahankan.

2. Pasien dalam keadaan sadar

3. Permintaan untuk mengakhiri hidup dilakukan secara sukarela tanpa paksaan.

4. Pasien diberikan alternatif selain tindakan Euthanasia dan diberi waktu sebelum

dilakuakan Euthanasia.

5. Tidak ada pilihan lain yang bisa dijalankan

6. Dalam proses kematian pasien tidak menimbulkan penderitaan lagi

7. Dalam pengambilan keputusan yang terlibat lebih dari 1 pihak

8. Yang melakukan Euthanasia harus dokter

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengetahuan tentang hukum memang perlu dipahami sebagai profesi sebagai seorang

profesional khusunya kita sebagai perawat, hukum adalah seperangkat ketentuan atau kaidah

dalam kehidupan bersama yang memberikan patokan tentang apa yang boleh dilakukan dan

apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang atau subjek hukum serta untuk pelaksaan

hukum.[ CITATION Pur17 \l 1033 ] . Salah satu hal penting yang perlu dipahami oleh perawat

adalah pentingnya memhami etika keperawatan sebagai penunjang sikap profesional perawat

26
dalam memberikan asuhan keperawatan. Banyangkan jika seorang perawat yang akan

melakukan tindakan keperawatan tidak menjaga privasi pasien, hal tersebut tentunya

menunjukkan tindakan yang kurang etis, yang membuat merasa kurang nyaman dan dinilai

sebagai perawat yang kurang profesional.[ CITATION Uta16 \l 1033 ] dai materi diatas kita

sebagai perawat dapat bersama sama belajar bagaimana Aspek hukum dan model, proses

pengambilan keputusan pada masalah etika (Moral Problems) dan Dilema Ethic yaitu DNR,

Abosi dan Eutanasia

B. Saran

Pada perawat yang profeional pembelajaran tentang etika dan moral serta pengambilan

keputusan secara etik terutama di bidang keperawatan harus ditanamkan kepada mahasiswa

sedini mungkin agar nantinya mereka bisa lebih memahami tentang etika keperawatan

sehingga akan berbuat atau bertindak sesuai kode etiknya

27
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y. (2017). Etika Dan Hukum Kesehatan . Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Andriana, G. (2021). Do Not Resucitate (DNR) Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Ilmiah
Indonesia, 515-523.
Arwani, M. (2020). Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Euthanasia Berdasarkan Hukum dari
Beberapa Negara (Indonesia- Belanda-Amerika Serikat. Jurnal Ilmia Hukum.
Charisdiono, M. (2007). Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran. Jakarta: EGC.
Dadang, H. (2006). Aborsi Dimensi Psikoreligi. Jakarta: Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Herawati, , H. (2019). Euthanasia di Indonesia. Citra Justicia : Majalah Hukum dan Dinamika
Masyarakat, 15-23.
Huttahean, S. (2020). Dilematical Euthanasia. Bandung: Media Sains Indonesia.
Huzaimah T, Y. (2002). Ihdad Wanita Karir dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Indar. (2019). Etikolegal Dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Karyadi, P. (2001). Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Media
Persindo.
Maria, Nedra, U. (2002). Aborsi Dalam Perpektif Fiqhi Kontemporer. Jakarta: Fakultas
Kedoteran Universitas Indonesia.
Mendri,Prayogi, N. (2018). Etika Profesi & Hukum Keperawatan. Jakarta: Pustaka Baru Press.
Moeljatno. (2021). KUHP kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Murty, H, s. (2020). Analisis Yuridis Terhadap Suntik Mati . Transparansi Hukum.
Nasrullah, D. (2019). Modul Kuliah Etika Keperawatan Dasar. . Surabaya: Universitas
Muhammadiyyah Surabaya.
Ose, M. (2017). Pengalaman Perawat Igd Merawat Pasien Do Not Resuscitate Pada Fase
Perawatan Menjelang Ajal . Jurnal Keperawatan Indonesia, 32-39.
Panggabean, H. (2020). Buku Ajar Etika dan Buku Kesehatan. Bandung: Widina Bhakti Persada
Bandung.
Perpres, R. I. (2014). Undang Undang Republik Indonesia No 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

iv
Purwaningsih, Dwi Astuti, E. (2017). Etika profesi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Siregar, R. (2019). Euthanasia dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum to-ra Hukum untuk
mengatur dan melindungi masyarakat, 155-236.
Utami, N. W. (2016). Etika Keperawatan Dan Keperawatan Profesional. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Yudhaningsih, L. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana- Nelti.
Retrieved.

Anda mungkin juga menyukai