Kelompok 5 Etik Dan Legal Keperawatan
Kelompok 5 Etik Dan Legal Keperawatan
Oleh :
KELOMPOK 5
MANAJEMEN 01
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat
iman, sehat dan pengetahuan, serta nikmat kemudahan dalam mengajarkan mata Etik dan Legal
dalam Keperawatan yaitu sebuah makalah Dilema Etik, DNR, Aborsi dan Euthanasia. Shawalat
dan salaman atas junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan kami dalam menuntut
Kami sebagai penulis menyadari penuh bahwa dalam mengerjakan Makalah ini tidaklah
mudah, perlu banyak kajian yang mungkin lebih dalam lagi, untuk kekurangan makalah ini kami
memohon maaf sebesar-besarnya dan kami sangat berterima kasih serta mengharapkan kritikan
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta bermanfaat
Kelompok 5
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................3
C. Tujuan.......................................................................................................................3
D. Manfaat ....................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Dilema Etik...............................................................................................................5
1. Pengertian Dilema Etik........................................................................................5
2. Dilema Etik yang terjadi dalam Keperawatan.....................................................6
3. Prinsip moral dalam menyelesaiakan dilema etik keperawatan..........................7
4. Pemecahan Dilema Etik Keperawatan.................................................................7
5. Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen............................................8
6. Kerangka pemecahan dilema etik .....................................................................9
B. DNR...........................................................................................................................11
1. Pengertian DNR...................................................................................................11
2. DNR dari segi etik dan legal................................................................................12
3. (Do Not Resucitate) dalam Perspektif Hukum Pidana…………………………13
C. Aborsi........................................................................................................................14
1. Pengertian Aborsi.................................................................................................14
2. Tata Cara Aborsi..................................................................................................16
3. Resiko Aborsi.......................................................................................................18
4. Hukum Aborsi di Indonesia.................................................................................18
D. Euthanasia................................................................................................................21
1. Pengertian Euthanasia..........................................................................................21
2. Pembagian Euthanasia.........................................................................................21
3. Etik dan Legal Euthanasia di Indonesia...............................................................22
BAB III PENUTUP..............................................................................................................26
A. Kesimpulan ...................................................................................................................26
B. Saran ..............................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................iv
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
suatu kegiatan pemberian Asuhan kepeda Individu, kolompok atau masyarakat baik
dalam keadaan sakit maupun sehat, sedangkan asuhan keperawatan merupakan segala
rangkaian yang dilakukan perawat dalam berinteraksi denga klien dan lingkungannya
untuk mencapai tujuan dalam memenuhi kebutuhan dan kemandirian klien dalam
Perawat merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan yang dituntut untuk
menjadi tenaga yang profesional maka seorang perawat dituntut memiliki pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang baik dalam bidang keperawatan. Salah satu hal penting yang
perlu dipahami oleh perawat adalah pentingnya memhami etika keperawatan sebagai
Banyangkan jika seorang perawat yang akan melakukan tindakan keperawatan tidak
menjaga privasi pasien, hal tersebut tentunya menunjukkan tindakan yang kurang etis,
yang membuat merasa kurang nyaman dan dinilai sebagai perawat yang kurang
dengan sempurna moral yang telah ada dalam diri yang tepat berada dalam hati, maka
akan menjadi manusia yang akan selalu melakukan perbuatan atau tindakan – tindakan
yang sesat. Dalam kamus Besar bahasa Indonesia, kata moral memiliki arti jajaran
tentang baik yang buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
1
akhlak, budi pekerti, susila; kondisi mental yang membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan, dengan merujuk pada
arti etika yang sesuai, maka arti kata moral sama dengan arti kata etika, yaitu nilai-nilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang, atau suatu kelompok dala mengatur
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti seperti tempat tinggal yang biasa, pada rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak
adalah ta etha artinya adat kebiasaan. Arti terakhir ini yang menjadi latarbelakang
terbentuknya istilah “etika” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kode Etik
adalah norma dan asa yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah
laku. Kode etik merupakan suatu kesepakatan yang diterima. [ CITATION Pan20 \l 1033 ]
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Kata lain “Moral” memiliki arti’ ajaran
tengan baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
akhlak, budi pekerti, susila, kondisi mental yang membuat orang lain tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hari atau keadaan perasaan. Sejalan dengan
pengertian moral sebagaimana disebutkan tadi, K bertens 1994 mengatakan yang sangat
dekat dengan etika adalah moral. Kata ini berasal dari bahasa latin mos, jamaknya mores
yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan moral
keduanta berarti adat kebiasaan. Perbedaannya hanya pada bahasa asalnya. Etika bersal
dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa latin.[ CITATION Ami17 \l 1033 ]
Dengan merujuk pada arti kata etika yang sesuai, maka arti kata moral sama
dengan arti kata etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
2
seseorang, atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Berbicara mengenai
tingkah laku seseorang, maka ini pula berkaitan dengan kesadaran yang harus dijalankan
oleh seseorang, maka ini pula berkaitan dengan kesadaran yang harus dijalankan oleh
seseorang dalam memaknai dirinya sebgai manusia ciptaan Tuhan. Disinilah manusia
membedakan antara halal dan yang haram, yang boleh dan tidak boleh dilakukan
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana Aspek hukum dan model,
proses pengambilan keputusan pada masalah etika (Moral Problems) dan Dilema Ethic
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui Aspek hukum dan model, proses pengambilan keputusan pada masalah
etika (Moral Problems) dan Dilema Ethic yaitu DNR, Abosi dan Eutanasia
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan
b. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan
c. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan
d. Untuk mengetahui aspek hukum dan model, serta proses pengambilan keputusan
3
D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan
keputusan pada masalah etika pada masalah moral dan dilema etik
2. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan
3. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan
4. Mahasiswa dapat memahami aspek hukum dan model, serta proses pengambilan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dilema Etik
1. Pengertian Dilema Etik
Dilema menurut Campbell adalah suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua
alternatif pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan
pemecahan masalah dengan kata lain dilema merupakan keadaan yang didadapkan pada
persimpangan yang serupa atau bercabang dengan petunjuk yang tidak jelas [ CITATION
Ind19 \l 1033 ]Etik adalah pernyataan yang menentukan baik atau buruknya tingkah laku
atau perilaku seseorang dan bagaimana yang seharusnya. Etik ada dari beberapa level,
mulai dari individu atau kelompok kecil sampai dengan masyarakat secara keseluruhan
Dilema etik merupakan masalah yang sulit, dimana tidak ada alternatif yang
memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan
sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau yang salah. Untuk membuat
keputusan yang etis, seorang perawat bergantung pada pemikiran yang rasional bukan
emosional [ CITATION Men18 \l 1033 ] . Meskipun tidak ada jawaban yang benar ataupun
pengaturan ditujukan untuk memastikan standar etika tertinggi. Misalnya yaitu kode etik
ICN yang menegaskan bahwa disamping tanggung jawab utama untuk mempromosikan
asasi manusia, termaksud hak budaya, hak untuk hidup, hak untuk mermartabat dan
diperlakukan dengan hormat “ juga merupakan bagian inheren dari profesi perawat. Kode
5
etik ICN menyatakan bahwa tanggung jawab profesional utama perawat adalah untuk
a. Agama/ kepercayaan.
akan bertemu dengan klien dari berbagai jenis agama/ kepercayaan. Perbedaan ini
Misalnya ada seorang wanita (non muslim) meminta perawat untuk melakukan
abortus. Dalam ajaran agama wanita itu,tidak ada hukum yang melarang tentang
tindakan abortus sedangkan di satu sisi dalam ajaran agama perawatnya (muslim)
meyakini bahwa tindakan abortus itu dilarang dalam agama. Masalah ini
1) Berkata jujur atau tidak. Terkadang muncul masalah yang sulit untuk dijelaskan
kepada klien mengingat kondisi kesehatannya. Tetapi juga perawat harus mampu
2) Kepercayaan klien. Membina hubungan saling percaya antara perawat dan klien
6
ataupun keadaan darurat harus diutamakan terlebih dahulu. Perawat Tidak boleh
memandang dari sisi factor agama, ekonomi sosial, suku, dan budaya.
keperawatan, perawat berada dalam posisi untuk bisa menyatakan kapan pasien
3. Prinsip moral dalam menyelesaiakan dilema etik keperawatan [ CITATION Nas19 \l 1033 ]
a. Otonomi, otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
b. Keadilan, prinsip keadilan dibutuhkan untuk pemberian terapi yang sama dan adil
legal.
mengatakan kebenaran yang ada. Mengatakan sesuatu dengan jujur yang tentang
d. Kerahasiaan, aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah informasi klien dijaga
privasinya.
7
a. Mengembangkan data dasar. Pengumpulan informasi [ CITATION And21 \l 1033 ]
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil
f. Membuat keputusan
5. Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) dalam (Rahmawati, 2019)
a Pengkajian
Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan, dengan
b. Perencanaan
8
Perencanaan agar dapat berhasil perlu untuk setiap orang yang terlibat dalam
Rahmawati (2019) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi
c. Implementasi
Peran perawat selama implementasi adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk,
karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional. Perawat harus menyadari
bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang menarik, tetapi kadang
d. Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai
outcome-nya.
9
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan
yang tepat
f. Membuat keputusan
g. Memberi keputusan
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan
b. Mengidentifikasi dilemma
10
d. Melengkapi tindakan
11
Nekada (2017) telah mencetuskan teori peacefull end of life . Teori ini ini
menyatakan bahwa kedamaian menjelang ajal meliputi terhindar dari rasa sakit,
merasakan kenyamanan, merasakan penghormatan, merasakan kedamaian,
mendapatkan kesempatan
untuk dilakukan DNR menimbulkan masalah dilema etika yang menyangkut perawat,
dokter maupun tenaga kesehatan lainnya yang ikut terlibat. Perintah ini dibuat dimana
pasien dalam keadaan belum sakit atau sadar penuh, untuk mengantisipasi jika suatu saat
dia berada dalam kondisi kegawatdaruratan / kritis. Di Negara barat Do Not Resucitate
(DNR) ini dianggap sebagai pseudo-euthanasia atau yang dikenal dengan istilah Againts
Medical Advice, dimana pasien menolak rekomendasi dari tenaga kesehatan mengenai
rencana perawatan terhadap dirinya. Pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan sesuai
kebutuhan medis dan juga memiliki hak untuk menolak tindakan medis [ CITATION
And21 \l 1033 ]
Terdapat beberapa pro dan kontra terkait DNR. Beberapa pertimbangan yang
digunakan kelompok pro DNR yaitu pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal
yang dimaksud yaitu rekomendasi American Heart Association (AHA) sebagai salah satu
panduan yang banyak digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia yang menyatakan
bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal,
penyakit yang tidak reversibel, dan juga penyakit dengan prognosis kematian hampir
dapat dipastikan untuk tidak perlu dilakukan RJP (Sa’id & Mrayyan, 2015). Beberapa
12
negara di dunia melakukan pelarangan tindakan DNR atas beberapa pertimbangan seperti
Cina dan Korea Selatan, DNR dilarang atas dasar asas keadilan bahwa tindakan resusitasi
jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang dengan kondisi dan tempat
jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan teknis namun juga
dan hak otonomi pasien (autonomy). Selain itu, beberapa pandangan agama juga
membenarkan dilakukannya DNR terutama apabila RJP tidak memberikan hasil yang
terbaik dan justru menambah beban pasien ataupun keluarga. Sebelum keputusan diambil
pasien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien. Dokter wajib
memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan kondisi penyakit, prognosis,
tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif, risiko dan manfaat dari masing-
masing pilihan. Pasien yang kapasitasnya menurun akibat obat-obatan atau penyakit
penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi semula sampai pasien mampu
guidelines nasional perihal DNR, namun sebagian besar Negara di dunia belum memiliki
egulasi perihal DNR tersebut. Di Indonesia, konsep DNR belum secara luas diketahui dan
dipahami secara hukum di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Sebagian besar Rumah sakit di
Indonesia belum memilki regulasi tentang DNR. Saat ini mayoritas RS menjalankan
regulasi tersebut atas dasar pemenuhan akreditasi. Peraturan atau hukum yang mengatur
13
tentang tindakan ini masih belum jelas, sehingga perintah DNR di Indonesia belum
mengenai aspek hukum Do not resuciate (DNR) ini masih terus berlaku. Beberapa negara
melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan seperti misalnya di China dan
Korea Selatan. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa orang meminta tindakan
layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada kemungkinan keinginan euthanasia,
terutama pada pasien dewasa namun menolak untuk dilakukan resusitasi jantung paru
secara irasional Berdasarkan hukum positif di Indonesia, masalah DNR ini belum diatur
titik terang.. Pelaksanaan DNR ini diserahkan sepenuhnya kepada regulasi/ kebijakan
yang dibuat oleh fasilitas pelayanan kesehatan dengan mengacu pada standar akreditasi
rumah sakit. Dalam praktiknya digunakan peraturan yang mendekati dan dapat digunakan
sebagai acuan dalam pertanggung jawaban atau penyelesaian masalah apabila terbukti
adanya pelanggaran hukum atau tindakan melawan hukum. Tindakan (Do Not
Resucitate) dapat dikaji dari aspek Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum
seseorang dapat dipidana atau dihukum jika menghilangkan nyawa orang lain dengan
sengaja atau kelalaian. Penerapan (Do Not Resucitate) diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang tercantum dalam Pasal 338 KUHPidana dan pasal 340
KUHPidana. Sebagai contoh jika permintaan DNR oleh karena sesuatu hal seperti pasien
14
tidak sadar dalam jangka waktu lama, permintaan dilakukan oleh keluarga pasien,
ataupun tindakan yang dilakukan oleh dokter tanpa diminta oleh keluarga pasien, maka
dapat terkena Pasal 338 KUHPidana atau bahkan Pasal 340 KUHPidana yang dapat
And21 \l 1033 ]
C. Aborsi
1. Pengertian Aborsi
Pengertian Aborsi menurut kamus besar Bahasa Indonesia, yaitu sebelum berakhirnya
bulan keempat dari kehi=amilan terjadi perpecahan pada embrio yang tidak lagi hidup.
baik itu secara terencana ataupun tidak. Sebaliknya dalam medis yang dikatakan Dokter.
Gulardi:” Aborsi yakni dikeluarkannya janin saat usia kehamilan <20 pekan serta berat janin
<500 gr serta panjang bakal anak <25 cm. Kadang juga terjadi sebelum kehamilan 3 bulan.
(Maria et al : 2002) Terdapat dua jenis pembagian abortus menurut [ CITATION Dad06 \l
1033 ], yaitu
Merupakan abortus yang dilakukan secara diam-diam dan dilakukan oleh tenaga yang
Permasalahan aborsi, keberadaannya ialah sesuatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri
serta apalagi menjadi bahan kajian yang menarik dan ini menjadi fenomena social dimana
15
berkaitan erat dengan masalah kesehatan reproduksi wanita. Salah satu tingginya angka
kematian wanita disebabkan praktek aborsi yang dilakukan pada usia muda disebabkan
pergaulan yang salah dan belum siap mempunyai anak. Tidak hanya perihal tersebut,
fenomena sosial menjadi perdebatan pro serta kontra. Untuk yang pro aborsi beranggapan
bahawa wanita berhak memiliki hak penuh atas tubuhnya. Wanita berhak memastikan
menghentikannya. Untuk yang kontra aborsi, dimana janin adalah makhluk hidup yang
memiliki hak asasi buat hidup. Untuk mereka aborsi merupakan pembunuhan kejam
Perdebatan menimpa aborsi di Indonesia akhir- akhir ini terus menjadi ramai sebab
dipicu oleh bermacam kejadian yang mengguncang sendi- sendi kehidupan manusia.
Kehidupan yang diberikan kepada tiap manusia ialah Hak Asasi Manusia yang cuma
boleh dicabut oleh sang pencipta. Berdialog menimpa aborsi pastinya kita berdialog
tentang kehidupan manusia sebab aborsi erat kaitannya wanita dan janin yang
2. Tatacara Aborsi
Menurut Echkhlom dalam melakukan tindakan aborsi ada 4 hal yang sering dilakukan ,
yaitu :
16
Lebih banyak menggunakan jasa pertama pada kehamilan suami-istri yang sah,
sedangkan kedua sampai keempat, umumnya hasil hubungan gelap. [ CITATION Mar02 \l
1033 ]
Dalam tindakan Abortus provocatus criminalis ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal
a. Dorongan Individu atau ekonomi : Dorongan ini muncul karena kekhawatiran pada
kemiskinan, tidak ingin memiliki keluarga banyak. Juga pada Banyak pasangan muda
b. Persiapan yang belum matang. Akibat banyak diantara mereka yang hidup masih
menumpang pada orang tuanya terlebih ekonomi orang tuanya kurang. Sementara itu
konsekuensi logis dari suatu pernikahan merupakan lahirnya anak. Lahirnya anak
pastinya meperberat tanggung jawab orang tuanya. Oleh sebab itu mereka setuju tidak
perempuan
yang dibawa ibu, seperti : wanita yang hamil akibat perkosaan, hamil sebelum nikah
17
pendarahan, penyakit penyerta dengan kondisi ibu seperti syphilis, virus toxoplasma,
f. Dorongan ini muncul biasanya karena kekhawatiran bahwa janin akan lahir dalam
keadaan cacat. Kondisi yang terjadi pada kandungan ibu hamil adalah sudah
ketentuan dari Tuhan, baik itu dalam kondisi baik dan sempurna walaupun dalam
keadaan tidak sempurna/cacat. Cacat dari janin yang dikandungnya tersebut apabila
tidak mengganggu kesehatan ibu, maka dilarang melakukan abors, tetapi jika cacat
tubuh tersebut mengganggu kesehatan ibu, maka aborsi seperti ini diperbolehkan
g. Dorongan Sanksi moral: Dorongan ini biasanya terjadi karena wanita yang hamil
yang tidak memperhatikan moral dan agama, contoh hamil diluar nikah dan kumpul
kebo
kehamilan muda, seperti sikap dari penolong (Dokter, bidan, dukun dan yang
aktifitas sexual dan hubungan sexual diluar pernikahan, norma agama serta moral.
3. Resiko Aborsi
a. Kematian wanita yang lebih tinggi didapatkan pada kejadian aborsi dibandingkan
b. Kehamilan karena hubungan yang tidak sah sehingga pacar dan keluarganya ingin
18
aborsi dengan banyak pertimbangan, padahal wanita tersebut tidak ingin
c. Wanita yang melakukan aborsi akan berdampak pada gangguan mentalnya seperti
provocatus, dimana dalam kitab UU Hukum Pidana pasal 346,347,348,dan 349, tertuang
a. Pasal 346
memerintahkan orang lain untuk itu, maka diancam dengan pidana penjara paling
b. Pasal 347
2) Jika tindakan itu wanita tersebut mengakibatkan kematian, maka diancam pidana
c. Pasal 348
d. Pasal 349
19
Jika seorang dokter tenaga kesehatan lainnya membantu melakukan Tindakan sesuai
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu tindakan yang
dituangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang dutetapkan dalan pasal itu
Telah di tegaskan oleh KUHP bahwa tindakan yang dilakukan oleh berbagai
pihak yang terlibat dalam tindakan aborsi dapat dikenai sanksi pidana. Bagi pelaku-
347, Pasal 348, dan Pasal 349 tindakan aborsi secara tegas dilarang tanpa pengecualian,
sehingga tidak ada perlindungan bagi pelaku aborsi. [ CITATION Mar02 \l 1033 ]
a. Pasal 75
yang dapat mengancam nyawa ibu atau janin, penderita penyakit cacat bawaan
atau genetik berat, yang berdampak menyulitkan bayi untuk bertahan hidup
ketika dilahirkan.
20
3) Sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah melewati
4) Sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
dan perkosaan
b. Pasal 76
1) Dihitung dari hari pertama haid terakhir, Sebelum usia kehamilan 6 (enam)
ketetapan Menteri.
c. Pasal 77
bertanggung jawab serta bertentangan dengan nilai, norma agama dan ketentuan
perundang-undangan yang tertuang dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3).
D. Euthanasia
1. Pengertian Euthanasia
21
euthanasia adalah pembunuhan yang disengaja terhadap seseorang untuk keuntungannya.
Kata euthanasia berasal dari kata Yunani: ‘eu’- “Baik dan ‘thanatos’- “kematian”. Jadi
Euthanasia berarti kematian yang baik atau kematian yang mudah, dengan kata lain
euthanasia adalah penghentian hidup pasien yang sakit parah atas permintaan merekan
a. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang dengan segaja dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya demi mengakhiri hidup pasien. Ini dilakukan dengan
memberikan sesuatu melalui oral ataupun dengan suntikan seperti contohnya tablet
sianida
keluarga sudah tidak mampu membayar semua perawatan pasien dan meminta rumah
sakit memberikan surat pernyataan pulang paksa, dan pada akhirnya situasinya yang
tetap menjadi sebuah perdebatan panjang yang melelahkan terutama apabila terdapat
beberapa kasus yang muncul di masayarakat. Terdapat beberapa faktor yang menjadi
penyebab dilaksankannya euthanasia kepada pasien, yang dilihat dari berbagai perpesktif
seperti dari segi moral, agama, medis, dan hukum sendiri yang belum menyatakan kata
sepaham dalam menghadapi permohonan pasien yang memohon untuk mati demi
menghilangkan penderitaan dan rasa sakit yang dialami. Keadaan yang seperti ini
22
mengakibatkan pihal dokter dilema apakah mereka memiliki hak hukum untuk mengakiri
hidup seorang pasien walaupun itu merupakan permohonan sendiri dari pasien atau
keluarga pasien karena tupoksi dokter bukan untuk mengakiri nyawa sesorang melainkan
berupaya menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien. Dalam kondisi tersebut
dokter akan mengalami konflik batin meskipun tujuan dilakukannya euthanasia sendiri
guna mengakhiri penderitaan yang dirasakan selama ini telah dialami secara
dicarilah aturannya atau pasal yang mendekati faktor euthanasia tersebut. Satu satunya
pasal yang bisa dipakai sebagai landasan hukum yang terdapat di dalam KUHP adalah
Pasal 344 KUHP, yang disebutkan bahwa "Siapa saja yang merampas nyawa orang lain
atas permintaan sendiri sesuai hati nurani, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua 12 tahun". Dari isi pasal tersebut telah jelas bahwa euthanasia tidak dapat dilakukan
sekalipun atas permintaan pasien sendiri. Sehingga pihak kedokteran jelas bahwa pasal
yang terdapat dalam KUHP tidak membenarkan euthanasia, terkecuali jika euthanasia
tidak diartikan sebagai tindakan kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP.
Maka dari itu perlu dipikirkan jika memang euthanasia merupakan masalah yang penting,
kedokteran aman dalam melakukan tindakan yang berkenaan dengan masalah tersebut.
Dilihat dari aspek hak asasi manusia menyatakan bahwa hak hidup adalah hak
fundamental yang dimiliki oleh setiap insan. Dampak dari hak hidup ini
23
adalah kewajiban setiap insan menjunjung tinggi keistimewaan dalam hidup
bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup serta meningkatkan
taraf hidupnya. Berdasarkan hukum pidana secara yuridis juga yang berlaku di Indonesia,
dimana euthanasia belum diatur secara jelas. Menurut dari kedokteran forensik,
Tetapi, pada negara bagian di Amerika yaitu Oeregeon hal tersebut legal, keputusan
ini berdasarkan pada, Oeregeon death with dignity act, bahwa dinyatakan pasien
yang tidak bisa disembuhkan lagi dapat mengakhiri hidupnya, problem hak untuk mati
2001 . Efektif berlaku sejak 1 tahun penerbitan UU tersebut, yang dimana negara
pasien yang menderita penyakit menahun dan sulit untuk sembuh, diberikan haknya
Pidana Belanda secara resmi Euthanasia dan bunuh diri berbantuan dapat
dipertahankan dan disebut sebagai kriminal. Pada akhir tahun 1993, hukum di Belanda
24
mengatur kewajiban bagi dokter untuk melapor kasus Euthanasia dan bunuh diri
berbantuan, Instansi kehakiman pasti menilai benar tidaknya prosedur yang dilakukan.
Hukum Pidana Euthanasia dari Tinjauan Yuridis dari Beberapa dokter yang telah
mereka. Walaupun demikian, Euthanasia bukan lagi tindakan kriminal, dokter tidak akan
berhadapan dengan pengadilan. Para Dokter akan dihadapkan pada suatu forum
informal, diantaranya ahli hukum, ahli medis, serta ahli ethis. Tindakan untuk mengakhiri
hidup pasien yang dilakukan di negara Belanda diyakini terlalu bebas dan berbahaya.
Dimana diungkap oleh beberapa pakar hukum di Belanda. Negara ini menganut
mengakhiri hidupnya dapat dituruti. Berdasarkan Dutch Penal Codes Article 293, 294
ada beberapa panduan ditentukan oleh pengadilan di Rotterdam belanda tentang kegiatan
4. Pasien diberikan alternatif selain tindakan Euthanasia dan diberi waktu sebelum
dilakuakan Euthanasia.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan tentang hukum memang perlu dipahami sebagai profesi sebagai seorang
profesional khusunya kita sebagai perawat, hukum adalah seperangkat ketentuan atau kaidah
dalam kehidupan bersama yang memberikan patokan tentang apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang atau subjek hukum serta untuk pelaksaan
hukum.[ CITATION Pur17 \l 1033 ] . Salah satu hal penting yang perlu dipahami oleh perawat
adalah pentingnya memhami etika keperawatan sebagai penunjang sikap profesional perawat
26
dalam memberikan asuhan keperawatan. Banyangkan jika seorang perawat yang akan
melakukan tindakan keperawatan tidak menjaga privasi pasien, hal tersebut tentunya
menunjukkan tindakan yang kurang etis, yang membuat merasa kurang nyaman dan dinilai
sebagai perawat yang kurang profesional.[ CITATION Uta16 \l 1033 ] dai materi diatas kita
sebagai perawat dapat bersama sama belajar bagaimana Aspek hukum dan model, proses
pengambilan keputusan pada masalah etika (Moral Problems) dan Dilema Ethic yaitu DNR,
B. Saran
Pada perawat yang profeional pembelajaran tentang etika dan moral serta pengambilan
keputusan secara etik terutama di bidang keperawatan harus ditanamkan kepada mahasiswa
sedini mungkin agar nantinya mereka bisa lebih memahami tentang etika keperawatan
27
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Y. (2017). Etika Dan Hukum Kesehatan . Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Andriana, G. (2021). Do Not Resucitate (DNR) Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Ilmiah
Indonesia, 515-523.
Arwani, M. (2020). Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Euthanasia Berdasarkan Hukum dari
Beberapa Negara (Indonesia- Belanda-Amerika Serikat. Jurnal Ilmia Hukum.
Charisdiono, M. (2007). Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran. Jakarta: EGC.
Dadang, H. (2006). Aborsi Dimensi Psikoreligi. Jakarta: Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Herawati, , H. (2019). Euthanasia di Indonesia. Citra Justicia : Majalah Hukum dan Dinamika
Masyarakat, 15-23.
Huttahean, S. (2020). Dilematical Euthanasia. Bandung: Media Sains Indonesia.
Huzaimah T, Y. (2002). Ihdad Wanita Karir dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Indar. (2019). Etikolegal Dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Karyadi, P. (2001). Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Media
Persindo.
Maria, Nedra, U. (2002). Aborsi Dalam Perpektif Fiqhi Kontemporer. Jakarta: Fakultas
Kedoteran Universitas Indonesia.
Mendri,Prayogi, N. (2018). Etika Profesi & Hukum Keperawatan. Jakarta: Pustaka Baru Press.
Moeljatno. (2021). KUHP kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Murty, H, s. (2020). Analisis Yuridis Terhadap Suntik Mati . Transparansi Hukum.
Nasrullah, D. (2019). Modul Kuliah Etika Keperawatan Dasar. . Surabaya: Universitas
Muhammadiyyah Surabaya.
Ose, M. (2017). Pengalaman Perawat Igd Merawat Pasien Do Not Resuscitate Pada Fase
Perawatan Menjelang Ajal . Jurnal Keperawatan Indonesia, 32-39.
Panggabean, H. (2020). Buku Ajar Etika dan Buku Kesehatan. Bandung: Widina Bhakti Persada
Bandung.
Perpres, R. I. (2014). Undang Undang Republik Indonesia No 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
iv
Purwaningsih, Dwi Astuti, E. (2017). Etika profesi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Siregar, R. (2019). Euthanasia dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum to-ra Hukum untuk
mengatur dan melindungi masyarakat, 155-236.
Utami, N. W. (2016). Etika Keperawatan Dan Keperawatan Profesional. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Yudhaningsih, L. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana- Nelti.
Retrieved.