LATAR BELAKANG
Indonesia yang terletak di daerah katulistiwa mempunyai iklim tropis dimana dalam kurun waktu setahun terdapat
dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan tentunya keberadaan Hijauan
Pakan Ternak (HPT) sangat berlimpah karena memang sangat dipengaruhi oleh distribusi air hujan disetiap
bulannya, (sebaliknya produksi HPT menurun baik kualitas maupun kuantitasnya pada musim kemarau bahkan
dengan semakin kurangnya air, produksi HPT terhambat sampai tidak berproduksi sama sekali. Padahal HPT yang
merupakan pakan utama ternak ruminansia mutlak harus disediakan demi kelangsungan hidup ternak dan untuk
kelangsungan berproduksi.
Kondisi fluktuasi ketersediaan HPT yang besar sangat berpengaruh bagi kelanjutan usaha ternak ruminansia
sehingga harus ada upaya agar HPT tersedia sepanjang tahun dengan kualitas nutrisi tidak jauh berbeda karena
mempengaruhi fisiologi tubuh ternak. Hay adalah teknologi pengawetan HPT yang sederhana dan telah popular
dikalangan peternak Indonesia. Sayangnya karena HPT berlimpah pada saat curah hujan tinggi sehingga hay yang
dihasilkan oleh peternak rendah kualitasnya. Perlu adanya sentuhan teknologi sederhana yang dapat memperbaiki
kualitas hay dimasyarakat yang notabene adalah satu-satunya teknologi pengawetan HPT yang dikuasai peternak.
HAY
Hay adalah tanaman hijauan pakan ternak, berupa rumput-rumputan/leguminosa yang disimpan dalam bentuk kering
berkadar air 20-30%. Prinsip dari pengeringan yaitu menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan
dalam arti dapat menghentikan/menghambat aktifitas dari tumbuhan itu sendiri dan enzim dari mikrobia yang
terdapat didalarnnya dan menurunkan kandungan air sehingga aman untuk disimpan. Merupakan metode konservasi
yang banyak dilakukan (mencapai 20% dari total produksi hijauan di negara maju) dan pengelolaan relatif sederhana
dan mudah dilakukan. Terdapat 2 metode pembuatan hay yang dapat diterapkan yaitu :
1) Metoda hamparan, merupakanmetode sederhana, dilakukan dengan cara menghamparkan hijauan yang sudah
dipotong dilapangan terbuka dibawah sinar matahari. Setiap hari hamparan dibolak balik ingá kering. Hay yang
dibuat dengan cara ini biasanya memiliki kadar air 20-30% dengan tanda warna kecoklat-coklatan.
2) Metoda Pod, dilakukan dengan menggunakan semacam rak sebagai tempat penyimpanan hijauan yang telah
dijemur selama 1-3 hari (kadar air ± 50%). Pemanfaatan hay akan lebih efisien apabila diberikan pada saat tidak
ada sumber hijauan terutama pada bulan Agustus - Nopember.
Hasil pengeringan berkorelasi positif dengan cuaca, pada cuaca baik akan dihasilkan hay yang baik, tetapi pada
cuaca jelek akan dihasilkan hay yang jelek, semakin jelek cuaca akan dihasilkan hay yang berkualitas jelek.
Kandungan nutrient dalam hay yang berkualitas jelek sudah sangat miskin terutama karbohidrat non struktural dan
pro vitamin A. Pada konservasi yang baik sedikit terjadi penurunan kualitas hijauan pakan.
Kerugian pada pembuatan hay dapat terjadi pada saat pra pembuatan, proses pembuatan maupun pada pasca
pembuatan.
1. Kerugian Pra Pembuatan
Hijauan yang akan diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (berkadar protein tinggi, serat kasar dan
kadar air optimal), sehingga hay yang diperoleh tidak berjamur yang akan menyebabkan turunnya palatabilitas
dan kualitas.
Di Indonesia limbah pertanian terutama jerami padi banyak diolah menjadi hay karena hasilnya berlimpah,
tidak perlu menanam khusus tinggal mengumpulkan saja sehingga penggunaannya menjadi sangat popular,
meskipun rendah nutrisi. Sehingga perlu perlakuan khusus dengan penambahan garam atau baking soda untuk
meningkatkan palatabilitas, penekanan jamur ataupun kebakaran spontan bisa juga ditambahkan bahan
pengawet lainnya. Selain itu chopp juga sangat penting untuk meningkatkan kecernaan.
Shattering, khususnya harus diperhatikan pada tanaman legum. Bila pemotongan dari tanaman ini ditunda
terlalu panjang, terjadi kecendrungan daun menjadi rusak atau hancur sewaktu penanganan. Kerugian ini
sangat penting arinya karena daun mengandung dua sampai tiga kali lebih besar persentase proteinnya dari
pada batang. Juga daun lebih kaya dalam hal mineral dan vitamin dari pada batang dan rendah serat kasarnya.
1.1. Respirasi,
Ketika hijauan dipotong, hijauan tersebut masih dapat mengadakan respirasi yang aktif sampai sel-sel
menjadi mati, sebagai hasilnya berupa sel-sel yang kering. Perubahan yang diberikan oleh respirasi
sebagian besar terhadap karbohidrat di dalam tanaman besarnya kerugian yang disebabkan hal ini
tergantung dari lamanya sel-sel menjadi mati. Tanaman sesudah dipotong tetap mengadakan
metabolisme secara kontinyu dan metabolisme ini dapat menghilangkan sejumlah zat-zat makanan.
Keuntungan pada pengawetan yang cepat adalah menghentikan metabolisme yang berlebih-lebihan. Pada
kenyataannya dengan mereduksi kadar air secara cepat adalah penting sekali terhadap efisiensi pada
pengawetan tersebut. Kerugian yang terjadi dalam fraksi karbohidrat yang dapat larut disebabkan oleh
respirasi. Gula dioksidasi menjadi carbón dioksida dan air. kehilangan fraksi karbohidrat ini
mengakibatkan naiknya presentase dinding sel yang terdiri dari khususnya selulose dan lignin sehingga
menaikan kadar serat kasat.
1.2. Fermentasi,
Fermentasi terjadi pada zat-zat makanan organik, khususnya gula dan pati, yang mengalami oksidasi
menjadi karbón dioksida dan air. Berarti ini merupakan wujud dari kerugian, juga hasil fermentasi sangat
membinasakan karotin di dalam hay. Kalau keadaan cuaca menguntungkan dan hay diawetkan dengan
metode yang layak, kerugian akibat fermentasi relatif kecil dan sebaliknya, kalau terjadi fermentasi
berlebihan akibatnya hay menjadi berwarna merah tua atau coklat. Kerugian oleh fermentasi tidak
berakhir pada waktu pengawetan, juga pada saat penyimpanan hay dalam gudang karena akan timbal
fermentasi dan panas, sehingga kualitas yang dihasilkan menjadi turun. Fermentasi berlebihan dapat
dicegah dengan cara merudiksi kadar air hijauan dengan pengeringan yang cepat.
Bleaching terjadi disebabkan oleh destruksi (penghancuran) dari kloropil oleh sinar matahari. Bila hay
mengalami bleaching hay akan menjadi rapuh, kualitas menurun karena turunnya palatabilitas dan
digestibilitas, warna menjadi buruk, aroma hilang dan nilai berkurang. Aksi bleaching meningkat jira
kena hujan dan embun. Bila hay mengalami bleaching akibat penyinaran matahari yang lama, hampir
semua karoten menjadi hilang.
1.3. Leaching ,
Bila selama periode pengawetan terjadi hujan pada hay maka akan terjadi penapisan keluar zat-zat
makanan (leaching) sehingga banyak terjadi kehilangan zat-zat makanan yang larut dalam air.
Upaya yang dapat dilakukan guna mengurangi kerugian akibat proses pengawetan yaitu contoh pada
pembuatan hay dengan jerami jagung menunjukkan tanpa menggunakan atap dari plastik transparan pada
saat penjemuran lebih banyak kehilangan bahan kering akibat fermentasi dan rontok daun dibanding yang
menggunakan atap. Total protein yang diberi atap dan para-para lebih besar karena yang tidak diberi atap
dan para-para terjadi peristiwa leaching, rontok daun dan muncul jamur. Total pigmen yang tidak diberi
atap lebih sedikit karena terjadi bleaching dan begitupan yang tidak diberi para karena faktor kelembaban
udara. Sehingga daya cerna in vitro bahan kering dan bahan organik yang diberi atap lebih baik karena
adanya perbedaan zat makanan dalam hay yang dihasilkan.
POTENSI INDONESIA
Iklim dan Zona Agro Ekologi Indonesia memiliki iklim tropis dengan dua musim yaitu musim basah dan musim
kering. Musim kering biasanya jatuh pada bulan Juni sampai September dan musim basah mulai dari desember
sampai maret. Dewasa ini terjadi perubahan kondisi yang tidak menentu sehingga terjadi pergeseran bulan, musim
kering jatuh lebih panjang sampai bulan nopember. Curah hujan di Indonesia berkisar 1 000-3 500 mm dengan 67-
200 kali hujan pertahunnya. Suhu udara berkisar 14,8o C - 35,0o C dengan suhu pantai berkisar 28o C, bukit 26o C
dan pegunungan 23o C. Kelembaban relative antara 50-90% pada lahan kering sampai area basah. Berdasarkan
panjang musim basah dan kering maka zona iklim dibagi sebagai berikut :
1. Iklim Zona B (sembilan bulan basah dan tiga bulan kering);
2. zona C (7 bulan basah dan 5 bulan kering);
3. zona D (enam bulan basah dan enam bulan kering);
4. zona E (lima bulan basah dan 7 bulan kering);
5. zona F (empat bulan basah dan delapan bulan kering).
Di Irian Jaya, selain dibeberapa wilayah pegunungan, hujan turun tiap hari; sedangkan diarea kering seperti pulau
Sumba sembilan bulan tanpa hujan bukanlah hal yang luar biasa.
Apa yang terjadi di Indonesia??? Mengapa lahan untuk pengembangan HPT terdesak…….
Sistem Pemberian Pakan Ternak Ruminansia di Indonesia
Di tahun 1995 total investasi pada peternakan mencapai 1,105 M terdiri dari 40% hulu, 35% produksi dan 25% hilir.
Selama 1991 – 1995 terjadi kenaikan investasi hingga 77.61%. Pada tahun 1993 terdapat 21 700 000 usaha
peternakan yang terdiri dari 24.81% farm dan 82.4% peternakan tradisional. Sawah panen tiga kali dalam setahun,
jerami padi sebagai pakan ternak dengan sistem cut and carried. Pada daerah perkebunan kelapa, sawit dan karet
system tambatan sering digunakan dan system pengembalaan khusus pada tanaman yang belum dipanen.
Usaha intensif dengan sistem Cut and carry sering sering dilakukan di Jawa. Sedangkan semi intensif banyak di
Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan pulau. Ternak di bebaskan dipengembalaan yaitu system ekstensif banyak di
NTB dan NTT. Pada wilayah pertanian yang intensif, bertani menjadi aktivitas utama sedangkan sapi adalah untuk
draught and saving. Di wilayah semi intensif sapi adalah sebagai mesin pencukur rumput dan penghasail pupuk.
Sedangkan pada daerah kering ruminansia adalah yang utama dan bertani adalah sampingan. Pada musim basah
pendapatan dari peternakan 29% tapi pada saat musim kering hingga 49%.
Faktor Pembatas
1. Biologi
Didaerah Timur Indonesia musim basah hanya tiga sampai empat bulan, sehingga air menjadi factor pembatas.
Sehingga beternak kambing lebih menguntungkan karena lebih efisien dalam penggunaan air dibanding sapi. Di
Nusa Tenggara terjadi dalam lima tahun sekali musim kering yang sangat panjang biasanya ternaknya dijual
dengan harga yang murah, pada kondisi itu semak dan pohonpun dimakan ternak. Berbeda dengan sapi bali, sapi
madura, domba ekor kurus dan kambing kacang masih bisa menyesuaikan dengan kondisi alam tersebut.
Dikebanyakan area di Jawa Tengah dan Sumatera Barat forage and fodder telah dikembangkan, mesin
pengelolah pakan, Kambing Etawah dan sapi FH telah diperkenalkan ke masyarakat luas untuk meningkatkan
produksi.
2. Sosial Ekonomi
Pada pertanian intensif, petani sebagian besar lahan digunakan untuk bercocok tanaman pangan. Sehingga hanya
sebagian kecil yang mau memelihara ternak dan menanam HPT, biasanya sedikit petani yang memiliki sapi atau
kerbau. Pada system ekstensif lahan bukan menjadi pembatas tapi air dan pakan yang menjadi pembatas
sehingga petani lebih menyukai ternak ruminansia kecil. Itupun karena sebagai tabungan. Ayam dan Babi
biasanya dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, ruminansia kecil biasanya dijual untuk kebutuhan
sekolah, sedangakan ruminansia besar dijual untuk keperluan besar seperti pernikahan atau acara keagamaan.
Sehingga nampak jelas bahwa populasi ternak di Indonesia sangat dipengaruhi keadaan cuaca.
KESIMPULAN
Dari keterangan diatas, sebenarnya Indonesia sangat berpotensi menerapkan metoda pengeringan sebagai salah satu
bentuk konsevasi HPT sehingga diharapkan dapat mensuplai ternak sepanjang tahun. Selain karena :
1. Hay satu-satunya konservasi yang dikuasi oleh peternak Indoneisa, juga
2. Hay adalah teknologi yang mudah dan murah serta
3. Potensi panas matahari yang begitu besar
Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan teknologi ini di Indonesia sehingga perlu adanya
penyuluhan yang intensif pada peternak yaitu menghindari kehilangan nutrisi mulai dari pra, prosesing dan pasca
pembuatan hay dengan metoda :
- umur panen HPT yang tepat
- menggunakan peralatan pada saat penjemuran dengan system para-para dan atap plastic transparan sehingga
permasalahan curah hujan tinggi pada saat hijauan atau limbah pertanian berlimpah dapat diatasi (pemanfaatan
sinar matahari tanpa harus dengan peralatan yang mahal) serta kualitas hay dapat diperbaiki
- penambahan bahan pengawet, menekan pertumbuhan jamur sehingga hay dapat dismpan lebih lama untuk
digunakan untuk musim kering yang panjang
Di Indonesia yang seharusnya hay itu berasal dari hijauan segar tetapi pemanfaatan limbah pertanian khususnya
jerami padi sangatlah dominan sehingga hay jerami tidak dapat di berikan sebagai pakan tunggal juga harus
dicacah sebelum penjemuran, dan pentingan penambahan zat lain sehingga dapat meningkatkan palatabilitas.