DOSEN PEMBIMBING :
Oleh kelompok 5 :
7.Annisa (1910013411128)
JURUSAN PGSD
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat
rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ pemikiran atau peran
bung hattan tentang sejarah indonesia . Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah keBung Hattaan
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Sehingga,
makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Mohammad Hatta lahir dengan nama Muhammad Athar di Bukittinggi pada tanggal 12
Agustus 1902 dari keluarga berlatar surau di Batu Hampar (kampung di pinggir jalan antara
Bukittinggi dan Payakumbuh). Kakeknya, Syaikh Abdurrahman, merupakan seorang ulama
besar di surau Batu Hampar. Meskipun ayahnya, Muhammad Djamil tidak melanjutkan
kehidupan ulama, namun sudah tentu berpengaruh banyak terhadap pendidikan agama yang
diterima Hatta semenjak kecil.
Ibunya , Siti Saleha berasal dari kalangan pegadang.Hatta merupakan anak kedua
setelah Rafiah. Ketika berumur tujuh bulan, ayah kandungnya meninggal, sehingga ibunya
menikah lagi dengan Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang. Pernikahan keduanya
dikaruniai empat orang anak perempuan.
2 November 1949, KMB dilaksanakan di Den Haag. Utusan dari RI diketuai oleh Hatta.
Dalam sidang tersebut, ia berhasil menyusutkan luar negeri sebesar f 3.167 juta dan hutang
dalam negeri sebesar f 2.956 juta menjadi f 4.300 juta Adapun masalah Irian Barat, akhirnya
terpecahkan pada tanggal 1 November 1949, dengan kompromi bahwa pemindahan
Kedaulatan Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun sejak konferensi
tersebut Hatta mengatakan, dengan adanya KMB, seakan-akan RI sudah diakui de jure oleh
dunia Internasional, jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya
3. Pasca Kemerdekaan (1950 – 1966)
Hatta membentuk kabinet RIS pada tanggal 20 Desember 1949, banyak terdiri dari orang-
orang yang lebih cenderung kepada keahlian daripada motivasi politik belaka Hatta
menghadapi berbagai persoalan, contohnya Pemberontakan Westerling di Jawa Barat (Januari
1950) dan Pemberontakan Andi Aziz di Makassar (April, 1950).Sebagai perdana menteri
merangkap menteri luar negeri, Hatta berupaya mewujudkan politik bebas aktif. Ia menolak
PKI dan politik perjuangan kelas yang tidak kenal damai. Dalam bidang ekonomi, Hatta
merasa perlu dengan pinjaman luar negeri.
Pada 17 Agustus 1950, Hatta dikukuhkan sebagai wakil presiden. Ia melayangkan
surat mempertanyakan keputusan kabinet jika dirasanya tidak tepat. Ia mengingatkan Menteri
Perekonomian Boerhanoedin agar tidak mendahulukan pengusaha baru yang mempunyai
hubungan dengan partai daripada pengusaha lama yang berpengalaman.Dalam menghadapi
masalah tentara, ia meyerahkan penyelesaiannya kepada pemimpin angkatan. Ia menjaga
betul agar angkatan bersenjata tidak dipengaruhi secara politis, kecuali politik nasional yang
tidak dipermasalahkan di negara kita. Pada Juli 1956, Hatta mengirim surat kepada DPR,
bahwa ia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Pidato Soekarno pada tanggal 28
Oktober, “Marilah sekarang kita kubur semua partai”, yang menunjukkan bahwa ia memiliki
konsep baru tentang demokrasi yang disebutnya Demokrasi Terpimpin, semakimemperteguh
keinginan Hatta tersebut
Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni
Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta Dalam kesehariannya,
Hatta dikenal sebagai pribadi yang disiplin dan sederhana. Cindy Adams, penulis biografi
Soekarno pernah ditolaknya karena terlambat datang.
Disiplin dan ketepatan Hatta mengenai waktu sudah bukan rahasia lagi. Ia
menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan diri dan dan keluarganya. Istrinya
pernah menceritakan, bahwa Hatta bahkan tak memberitahunya mengenai pemotongan
terhadap Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), “Itu rahasia negara” katanyaKecintaan Hatta
terhadap buku tidak lantas menjadi sosok yang text-book thinking . Sebaliknya, ia mencerna
substansi buku itu, apakah pandangannya perlu diadopsi, diadaptasi, atau bahkan secara
fundamental disanggah.Sebagai seorang muslim, ia tidak pernah meninggalkan kewajiban
shalat dan sudah melaksanakan ibadah haji. Baginya, ajaran Islam memimpin tingkah
lakunya, juga membina pandangannya tentang kehidupan masyarakat dan negara.
Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret
1980. Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Mohammad Hatta pada
23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Soekarno. Pada 7 November 2012, Mohammad
hatta secara resmi bersama dengan Soekarno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional
Nama "Indonesia" berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di
pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan
Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan
ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa India
menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan
dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana
karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik
Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatra sekarang)
yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Nama "Indonesia" berasal dari dua kata Yunani
yaitu, Indus (Ἰνδός) yang berarti "India" dan kata Nesos (νῆσος) yang berarti
pulau/kepulauan, maka "Indo-nesia" berarti "kepulauan India".[1]
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan
Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi
("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon
Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita
masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari
luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatra),
Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang
luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut
"Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan
ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel
Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak
juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago,
l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi
Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan
ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli,
pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu
"Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti
pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat
kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the
Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia
Timur"), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang
meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli
etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri
sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the
Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada
Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia").
Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan
Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama
Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan
dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti
"pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari
Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan
menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan
menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia").
Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang
sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia")
terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang
dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka
lahirlah istilah Indonesia.[2] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap
meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah orang India, sebuah julukan yang
dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman
254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-
tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan
bidang etnologi dan geografi.[2]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf
Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel
("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat
hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku
Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga
sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak
benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918.
Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia,
sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa
yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga
dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.[2]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa
Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging)
berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah
mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische
staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal
Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula
menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah
air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober
1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen
Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië
diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama
mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia
Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan,
lahirlah Republik Indonesia.
Linguistik
Penggunaan istilah "bahasa Indonesia" dalam pengertian modern, yaitu seperti dalam
pemikiran Suryaningrat, baru muncul setelah 1918, dan dipakai dalam karya-karya, a.l.:
Adriaanse (1918), Jonkman (1918), Ratu Langie (1918). Secara internasional, istilah tersebut
mulai digunakan luas pada 1920-an, seperti dalam Weber (1922), dan Congres International
Pour la Paix di Paris (1926
SEPARUH isi tulisan ini "menjiplak" milik Mohammad Hatta. Betul, Hatta yang
proklamator Indonesia, alias Bung Hatta, juga setengah penggalan nama dwi-tunggal
Soekarno-Hatta. Jadi, jangan sampai nanti ada yang bilang bahwa tulisan ini plagiarisme ya.
Sudah ada pengakuan di depan, kalaupun sejumlah kalimat tak lagi dirasa perlu diutak-atik
dari milik Hatta. Pada 8 Desember 1928, tulisan Hatta yang mengungkap sejarah panjang
asal-usul nama Indonesia terbit di De Socialist edisi Nomor 10.
Media ini beredar di Belanda, tempat Hatta pernah bersekolah. Judul dan isi tulisan
Hatta itu aslinya menggunakan bahasa Belanda. Baru pada 1980 artikel tersebut
diterjemahkan dan diterbitkan kembali oleh Yayasan Idayu. Berikutnya, Penerbit Buku
Kompas memunculkan lagi artikel itu pada 2015. Judul yang dipasang adalah "Tentang Nama
Indonesia", satu dari 36 tulisan dalam buku “Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan,
Ekonomi (1927-1977)".
Tulisan tersebut merupakan tangkisan tajam Hatta terhadap sejumlah orang dan kelompok
yang menyatakan ketidaksukaan pada nama Indonesia. "Hanya mereka yang keberatan
terhadap kemerdekaan segera Indonesia mencap (buruk) nama tersebut, yang mengandung
gagasan kemerdekaan sebagai 'kata yang mengerikan'," kecam Hatta menjelang akhir tulisan
tersebut.
Kewilayahan dan etnologis Runut, renyah
sekaligus tajam, Hatta bertutur soal sejarah nama Indonesia. Pertama, dia mengoreksi
kredit yang sempat dilekatkan kepada orang Jerman bernama Adolf Bastian soal asal-usul
penamaan ini. Bastian, Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin kelahiran 1826 dan
meninggal pada 1905 memang punya andil besar mengenalkan nama Indonesia. Tepatnya,
sejak dia menggunakan nama itu bagi penyebutan wilayah di Kepulauan Nusantara dalam
artikel berjudul "Indonesien order die Inseln des malayischen Archipels" pada 1884. Sejak
itu, tulis Hatta, Indonesia jadi lazim dipakai dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu
bangsa-bangsa dan ilmu bahasa.
Namun, lanjut Hatta, penelitian Kreemer yang kemudian ditulis dalam "Kolonialiaal
Weekblad" terbitan 3 Februari 1927, menyebutkan asal-usul nama Indonesia sudah lebih tua
lagi. Menurut Kreemer, nama Indonesia sudah dipakai ilmuwan Inggris bernama JR Logan
pada 1850. Penamaan itu bisa ditemukan dalam artikel Logan berjudul "The Ethnology of the
India Archipelago" dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Kalau mau
ditelisik lebih lanjut, ungkap Hatta, penyebutan mendekati kata "Indonesia" sudah lebih dulu
lagi dimunculkan oleh GW Earl, ilmuwan Inggris juga. Bedanya, Earl menggunakan
terminologi "Indunesians" dan "Malayunesians", sebagai penyebut untuk penduduk yang
tinggal di kawasan yang sama. Bila Earl menyatakan kata "Indunesians" hanya dalam arti
etnologis, tulis Hatta, Logan memberikan pada kata Indonesia suatu pengertian geografis
murni untuk menyebut kepulauan yang sekarang masuk wilayah Indonesia.
“Sekalipun dia (Logan) bukan penganjur penambahanpenamaan-penamaan Yunani,
dia sama sekali tidak berkeberatan terhadap nama Indonesia, yang bagi orang Eropa bernada
Yunani, karena menurut pendapatnya kata nusa (pulau) yang berasal dari bahasa Melayu itu
mungkin sama tuanya dengan kata nesos Yunani,” papar Hatta.
Arti politik
Dalam artikel tersebut, Hatta pun menjabarkan runutan penggunaan nama Indonesia
untuk tujuan politik. Menurut dia, nama Indonesia sudah terus dipakai oleh Perhimpunan
Indonesia sejak 1922. Indonesia, lanjut Hatta, juga resmi dipakai oleh Gerakan Perdamaian
Internasional Sipil, untuk merujuk wilayah yang waktu itu disebut Belanda sebagai Hindia
Belanda. “Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan
menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik karena dia mengandung tuntutan
kemerdekaan, bukan kemerdekaanHindia-Belanda melainkan kemerdekaan Indonesia dari
Indonesia (Indonesisch Indonesie),” ungkap Hatta.
Dia pun menjelaskan, penamaan Indonesia juga menyatakan suatu tujuan politik.
“Karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air di masa depan dan untuk
mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya,” tegas dia. Tambahannya, Hatta menyebut bahwa pada saat tulisannya itu
terbit sudah tak ada lagi satu pun koran Indonesia yang memakai kata Hindia Belanda sebagai
terjemahan harfiah dari Nederlands-Indie. Penjelasan lebih lanjut Hatta soal arti politik
penamaan Indonesia, dimuat dalam artikel terpisah yang terbit di Indonesia. Dalam buku
terbitan Penerbit Buku Kompas, artikel itu dimuat menggunakan judul Sekitar Perjuangan
untuk Indonesia, dari tulisan Hatta yang dimuat pada 1929 di Indonesia Merdeka. Jadi, salah
besar ternyata bila ada yang mengira nama Indonesia baru muncul saat Sumpah Pemuda pada
1928 apalagi baru dalam naskah proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno dan
Hatta pada 17 Agustus 1945.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mohammad Hatta lahir dengan nama Muhammad Athar di Bukittinggi pada tanggal
12 Agustus 1902, ayahnya, Muhammad Djamil berasal dari kalangan ulama, sedangkan
ibunya, Siti Saleha berasal dari kalangan pegadang. Hatta menikah dengan Rachim Rahmi
pada tanggal 18 November 1945 dan dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia Farida Hatta,
Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Hatta mendedikasikan hidupnya untuk
membela tanah air Indonesia.
Pada masa pra-Kemerdekaan (1932-1945), ia beberapa kali dibuang oleh pemerintah
Belanda akibat sikapnya yang non-kooperatif. Pada masa pendudukan Jepang, saran-sarannya
mengenai rakyat Indonesia sangat diperhatikan.
Ia merumuskan masa depan Indonesia melalui sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pada masa
Revolusi (1945-1949), Hatta mewujudkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi
wakil presiden pertama. Ia banyak berperan dalam menggalang dukungan Internasional untuk
mempertahankan kemerdekaan. Pidatonya dalam KMB berhasil mengurangi tuntutan-
tuntutan Belanda terhadap Indonesia.
Pada masa pasca-Kemerdekaan (1950-1956), ia berperan sebagai perdana menteri
menteri merangkap menteri luar negeri. Ia menjalankan kebijakan-kebijakan yang dirasanya
tepat, dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dianggapnya kurang tepat. Ia melayangkan
surat pengunduran dirinya saat demokrasi yang dicita-citakannya mulai menjauh. Hatta wafat
di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada tanggal 14 Maret 1980. Pada 7 November
2012, Mohammad Hatta secara resmi bersama dengan Soekarno ditetapkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.
B. Saran
Saran-saran Berikut saran dan kritik penulis kepada pembaca:
1. Hendaknya kita mampu meneladani perjuangan Mohammad Hatta dalam membela
tanah air Indonesia
2. .Dalam mempelajari Peran Mohammad Hatta dalam memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tidak cukup hanya berpedoman pada satu
referensi saja. Penulis menyarankan pembaca untuk mencari referensi-referensi lain
sehingga dapat memperluas cakrawala pengetahuan.
3. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan makalah ini ke
depannya
DAFTAR PUSTAKA
Firmansyah, Adhe. 2010. Hatta Si Bung yang Jujur & Sederhana. Yogyakarta : Garasi
House of Book.
Noer, Deliar. 1990. Mohammad Hatta: Biografi Politik . Jakarta : Penerbit LP3ES
anggota IKAPI.
Noer, Deliar. 2012. Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta : PT Kompas
Media Nusantara.