Anda di halaman 1dari 5

AICE CASE 1

Kasus Es Krim Aice Kembali Jadi Sorotan

Kasus Aice Group, pabrik es krim dibawah naungan PT Alpen Food Industry kembali menjadi
sorotan. Salah satu karyawan bernama Debi Damayanti mengungkapkan keluh kesahnya melalui
akun Tiktok, @ArshellaNova. Rabu, (18/08).
Debi mengunggah video tersebut pada hari Senin,(16/08). Di dalam video tersebut dikatakan
bahwa ia merupakan karyawan Aice yang di PHK secara sepihak. Penyebab ia di PHK adalah karena
menuntut keadilan perbaikan K3.
“Saya Debi Damayanti adalah buruh Aice yang di PHK sepihak karena menuntut keadilan
perbaikan K3,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa sejak tahun 2019 paling sedikit terdapat 20
kasus buruh hamil di PT Alpen Food.
“Bahwa dimana di tahun 2019 sedikitnya ada kasus 20 buruh hamil di PT Alpen Food
Industry,” lanjutnya. Namun pernyataannya tersebut membuat netizen bingung perihal masalah apa
yang terjadi. “Kalo bisa lebih diperjelas lagi, ini yang 20 buruh hamil itu diapain? kurang jelas
infonya,” ujar netizen A melalui komentarnya. Melalui beberapa respon pada komentar A  yang
diberikan oleh netizen lain, dijelaskan bahwa kasus yang dimaksud adalah keguguran buruh hamil
dikarenakan jam kerja berlebih. “Keguguran. K3-nya tidak jalan. Karyawan hamil disuruh lembur,
disuruh shift malam,” ujar netizen W melalui komentarnya.
Debi juga mengatakan ia sudah meminta keadilan kepada pihak Es Krim Aice selama 1 tahun
namun kasus tersebut belum kunjung selesai. “Sudah 1 tahun lebih saya meminta keadilan tapi tak
kunjung selesai. Boikot Aice, beri kami keadilan, boikot Aice. Hidup buruh perempuan,”ujarnya.
Video yang diunggahnya telah ditonton sebanyak lebih dari 500.000 kali, respon yang diberikan oleh
netizen yang menonton juga beragam. Tidak hanya itu, video tersebut sudah sampai ke laman sosial
media lain, yaitu Twitter. Di media sosial Twitter #Aice menjadi trending.
AICE CASE 2
Belum Ada Omnibus Law Saja Sudah Ada Pabrik Jahat seperti AICE

belum ada Omnibus Law saja, kondisi buruh di Indonesia sudah parah. UU yang melindungi buruh
yang sekarang ada saja sudah memberikan banyak celah untuk pabrik AICE berbuat curang gimana
kalau nanti ada….

Hari ini saya membaca sebuah thread yang berisi ajakan untuk melakukan boikot terhadap es krim
AICE. Thread ini disampaikan oleh salah seorang aktivis buruh yang menjadi salah satu kuasa hukum
pekerja AICE.
Thread ini menjadi viral setelah menunjukan bagaimana pabrik AICE melakukan banyak
pelanggaran aturan ketenagakerjaan dan memperlakukan buruh perempuan dengan sangat buruk.
Mbak Sherin yang membuat thread menjelaskan bahwa ada 20 kasus keguguran dan kematian bayi
baru lahir yang menimpa buruh perempuan AICE.
Hal ini terjadi karena buruh perempuan itu, meskipun sedang hamil, dipekerjakan dengan
shift malam, dan tidak dijamin keselamatannya dengan tetap harus bertanggung jawab pada kerja-
kerja berat dan harus terpapar bahan kimia di kesehariannya.
Kondisi kerja buruk yang dialami buruh pabrik AICE memang bukan berita baru. Buruh AICE
sebelumnya pernah melakukan demo dan mogok kerja juga di November 2017. Mojok bahkan
pernah menaikan sebuah esai berjudul “Resep Rahasia AICE, Es Krim Paling Hits Saat ini” yang
menjelaskan bagaimana kondisi buruh pabrik AICE yang sangat mengkhawatirkan.
Ternyata di balik rasa enak, dan betapa murah harganya, ada keringat buruh yang diperas
sedemikian rupa karena harus bekerja dengan kondisi upah yang murah, tapi harus melakukan
pekerjaan yang cepat karena target produksi mereka sangat tinggi.
Tidak lama setelahnya, Tirto kemudian mengeluarkan laporan khusus yang lebih lengkap.
Laporan dengan judul “Kondisi Kerja Buruh Aice Tak Semanis Iklan ‘Have an Aice Day” ini
menunjukan bagaimana buruh pabrik AICE dieksploitasi, dan kondisi kerja seperti apa yang mereka
hadapi.
Pemberitaan mengenai pabrik AICE ini membawa perusahaan akhirnya mengabulkan tuntutan para
buruh yang melakukan aksi November 2017 lalu.
Saya kira Pabrik AICE ini sudah dapat pelajaran dari kasus ini. Eh ternyata belum karena
sekarang kasusnya berulang lagi.
Membaca thread mbak Sherin ini sejujurnya bikin otak saya mendidih. Saya
punya sentiment  pribadi soal isu buruh. Saya merasa punya kedekatan dengan isu ini khususnya isu
buruh perempuan karena ibu dan kakak perempuan saya sempat menjadi buruh pabrik juga. Dan
setelah saya ingat-ingat cerita mereka, apa yang mereka alami tidak jauh berbeda dengan apa yang
dialami para buruh perempuan di pabrik AICE itu.
Di tempat saya tinggal (Baleendah, Kabupaten Bandung) mayoritas memang bekerja sebagai
buruh pabrik di Pabrik Garment yang banyak beroperasi di daerah Palasari, Dayeuhkolot yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari sana.
Di daerah saya ini biasanya anak yang sudah lulus SMA memang diajak untuk bekerja di sana
oleh keluarga mereka yang sudah menjadi buruh sebelumnya. Yang perempuan biasanya akan
dimasukan ke dalam bagian produksi. Mereka akan menjahit potongan-potongan pakaian yang
ditugaskan kepada mereka. Yang laki-laki, kebanyakan jadi montir atau kuli angkut bahan produksi.
Di pabrik garment tempat kakak saya bekerja ini semua pekerja awalnya direkrut dengan sistem
kontrak 6 bulan. Jika bekerja dengan baik, akan diperpanjang satu tahun, dan begitu seterusnya.
Tidak ada jaminan apakah akan diangkat sebagai pegawai tetap atau tidak karena semuanya suka-
suka perusahaan saja.
Kata kakak saya, ada yang sudah bekerja 5 tahun tapi masih belum ditetapkan sebagai
pegawai tetap. Padahal kalau bukan pegawai tetap, buruh nggak punya hak cuti dan dapat tunjangan
seperti THR. Selain itu, jika izin sakit atau melakukan kepentingan lain, gajinya selalu dipotong oleh
perusahaan.
Saya pernah diceritakan kakak saya bagaimana kondisi di pabrik garment itu. Di bagian
produksi tempat dia bekerja ada sekitar seribuan perempuan lain yang mengerjakan tugas yang
berbeda-beda. Ada yang menjahit lengan, kerah, memasang kancing, sampai menggosok baju yang
sudah utuh.
Dalam 8 jam kerja yang harus dia lakukan, buruh perempuan di sana harus tetap
duduk/berdiri (tergantung mesin yang dioperasionalkan). Ada istirahat 1 jam: 15 menit di jam 10,
dan 45 menit di jam makan siang.
Kenyataannya meskipun dalam kontrak kerja harus bekerja 8 jam, kakak saya tidak selalu
bekerja 8 jam. Waktu kerjanya bisa sampai 10 jam sehari karena selalu dipaksa untuk melakukan
lembur. Saya bilang dipaksa karena memang tidak boleh menolak. Jika menolak dia akan dimarahi
habis-habisan dan dilaporkan kepada atasannya karena tidak menurut. Jadi kakak saya harus bekerja
dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Dan itu dilakukan di hari senin-sabtu. Betul, buruh-buruh di pabrik
garment bekerja 6 hari dalam seminggu.
Ketika bekerja, tidak ada standar keselamatan yang diberlakukan oleh pabrik. Mereka juga
terus diawasi agar terus bekerja dan mencapai target produksi. Jika ketahuan terlihat malas-malasan
atau tanpa sengaja melakukan kesalahan, siap-siap saja dibentak dan dimarahi habis-habisan.
Beberapa kali kakak saya sempat pulang sambil menangis karena atasannya tidak
memperlakukannya dengan baik, dia dimaki-maki karena kesalahan kecil saja.
Belum ada Omnibus Law saja, kondisi buruh di Indonesia sudah separah ini. UU yang
melindungi buruh yang sekarang ada saja sudah memberikan banyak celah untuk perusahaan untuk
berbuat curang. Belum lagi, penegakan atas kerangka hukum UU itu selalu tidak diindahkan sehingga
pelanggaran sering sekali terjadi karena tidak ada konsekuensi apa-apa yang akan didapatkan
perusahaan.
Sementara itu, kalau buruh yang turun langsung meminta perbaikan sistem kerja, mereka
terancam dipecat begitu saja.
Saya pikir hanya orang-orang yang nggak punya hati saja yang bilang buruh kita kurang produktif dan
membanding-bandingkannya dengan buruh di Vietnam.
Makanya saya nggak kebayang kalau sudah ada Omnibus Law. Bakal habis sudah nasib buruh kita.

Anda mungkin juga menyukai