Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

KESUBURAN DAN PEMUPUKAN

DisusunOleh :
Nama : Dimas Abimanyu Adwanda
NIM : 21987
Kelas : SPKS G
Jurusan : Budidaya Pertanian
Acara : VII (Tujuh)
Co.Ass : Stephenson Purba

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN STIPER
YOGYAKARTA
2021
I. PENDAHULUAN

Biodekomposer merupakan bioaktivator perombak bahan organik


biologis yang diracik khusus untuk meningkatkan efisiensi dekomposisi sisa-
sisa tanaman, mengurangi penyebab penyakit, dan masalah lingkungan pada
sistem penumpukan sampah. Biodekomposer merupakan konsorsium
mikroba perombak selulosa dan lignin dengan fungsi metabolik yang
komplementer merombak dan mengubah residu organik menjadi bahan
organik tanah, serta menyuburkan tanah, Penggunaan biodekomposer pada
residu bahan organik pertanian mampu mengubah lingkungan mikro tanah
dan komunitas mikroba menuju peningkatan kualitas tanah dan produktivitas
tanaman (Saraswati, 2004).Manfaat mikroba dalam usaha pertanian belum
“disadari sepenuhnya, bahkan sering diposisikan sebagai komponen habitat
yang merugikan, karena pandangan umum terhadap mikroba lebih terfokus
secara selektif pada mikroba patogen yang menimbulkan penyakit pada
tanaman. Padahal sebagian besar spesies mikroba merupakan mikroflora yang
bermanfat, kecuali beberapa jenis spesifik yang dapat menyebabkan penyakit
bagi tanaman (Watanabe, 1979).
Ruskandi (2005) menjelaskan bahwa pupuk kompos dapat
memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, meningkatkan produksi
tanaman dan menjaga kestabilan produksi tanaman, serta menghasilkan
kualitas dan kuantitas hasil pertanian yang berwawasan lingkungan.Kompos
berasal dari sisa bahan organik, baik dari tanaman, hewan, maupun limbah
organik yang telah mengalami dekomposisi atau fermentasi. Jenis tanaman
yang sering digunakan untuk kompos di antaranya adalah jerami, sekam padi,
pelepah pisah, gulma, sayuran busuk, sisa tanaman jagung, dan sabut kelapa.
Sementara itu, bahan dari ternak yang sering digunakan untuk kompos di
antaranya kotoran ternak, urine, pakan ternak yang terbuang, dan cairan
biogas (Hadisuwito, 2008). Proses pengomposan memerlukan aktivator
sebagai dekomposer dalam proses dekomposisi bahan organik kompleks yang
dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menjadi bahan organik sederhana
yang kemudian mengalami mineralisasi sehingga menjadi tersedia dalam
bentuk mineral yang dapat diserap oleh tanaman atau organisme lain.

II. CARA KERJA

a. Alat dan Bahan.

1. Reactor Biokompos (Drum yang sudah diberi keran, angsang, lubang


ventilasi).

2. Sayuran dan buah yang tak layak konsumsi.

3. Air secukupnya.

b. Cara Kerja.

1. Potong bahan organic berupa sayur ataupun buah yang sudah tidak
layak konsumsi.

2. Masukkan potongan bahan kompos kedalam reactor biokompos.

3. Lalu diberi air secukupnya, tutup reactor biokompos dan tunggu


selama sebulan sampai komposnya jadi.
III. REVIEW JURNAL

Perbaikan kesuburan tanah dan peningkatan bahan organik tanah


dapat dilakukan melalui penambahan bahan organik atau kompos. Namun
demikian, kandungan hara pupuk organik tergolong rendah dan sifatnya slow
release, sehingga diperlukan dalam jumlah yang banyak. Pupuk organik
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik
yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses
rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai
bahan organik serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Saat ini beberapa pelaku wirausaha Jamur Tiram, memanfaatkan sisa
Baglog untuk budidaya cacing tanah (lumbricus) dan ada pemanfaat limbah
Baglog budidaya Jamur Tiram untuk dikomposisikan kembali sebagai pupuk
organik tanaman. Selama proses dekomposisi bahan organik, diperlukan
mikrobia yang berperan sebagai dekomposer. Dekomposer adalah organisme
yang mengurai atau memecah organisme yang sudah mati, proses penguraian
yang dilakukannya disebut dekomposisi. 2 Organisme tersebut adalah
heterotrofik yang menggunakan substrat organik untuk mendapatkan energi,
serta karbon dan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Dekomposer
dapat memecah sel-sel dari organime lain menggunakan reaksi biokimia yang
mengkonversi jaringan organisme mati menjadi senyawa kimia metabolik,
tanpa menggunakan pencernaan internal. Dekomposer menggunakan
organisme yang sudah mati sebagai sumber nutrisi mereka.

Pemanfaatan dekomposer sebagai pengurai bahan baku pembuatan


pupuk organik telah banyak di produksi secara komersial, seperti Biodec,
Promi dan EM-4. Produk-produk tersebut berisi bakteri dan jamur
dekomposer yang dapat mempercepat pengomposan bahan organik. Laju
dekomposisi bahan organik sisa tanaman juga dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain; kandungan bahan organik, kondisi lingkungan
dan organisme dekomposer. Organisme dekomposer menunjukkan peran
penting dalam proses penghancuran serta katabolisme. Aktivitas organisme
tanah bervariasi, mulai dari sebagian besar penghancuran sisa tumbuhan oleh
insekta dan uret sampai dekomposisi total sisa tumbuhan oleh organisme
yang lebih kecil seperti bakteri, fungi dan actinomycetes. Keberadaan
makrofauna tanah, yaitu uret yang berperan sebagai dekomposer diduga
berhubungan erat dengan kandungan bahan organik tanaman. Komposisi
kimia bahan organik tanaman yang berbeda menyebabkan laju dekomposisi
yang berbeda pula. Hal ini disebabkan, antara lain oleh perbedaan tingkat
kesukaan dekomposer terhadap bahan organik tanaman dalam
menguraikannya. Sedang pada rayap terdapat protozoa dan bakteri
dekomposer yang dapat mengancurkan bahan organik, sekalipun pohon
tanaman. Rayap pekerja memakan serat kayu yang kaya akan selulosa karena
pada pencernaan rayap dibantu oleh suatu enzim dan bakteri yang bisa
membantu untuk 3 mencerna serat kayu. Dengan demikian, rayap dan enzim
pada pencernaan saling mengguntungkan. Namun belum ada yang
menggunakan mikrobia tanah rayap sebagai bioaktivator pengkomposan sisa
Baglog jamur Tiram.

( http://repository.umy.ac.id )
Secara prinsip, bahan organik merupakan bahan makanan berbagai
serangga di alam, khususnya beberapa jenis serangga pada fase larva. Oleh
sebab itu, secara alami serangga telah terbukti berperan positif dalam
biodekomposisi bahan organik. Sejumlah nutrien yang terkandung dalam
limbah organik dikonversi ke dalam biomassa serangga sehingga potensial
sebagai sumber makanan bagi hewan budidaya. Mekanisme ini telah banyak
diteliti dan bahkan dikembangkan di dalam kegiatan penanganan limbah
sekaligus dimanfaatkan sebagai salah satu cara dalam memproduksi pakan
ternak dan ikan. Produk akhir dari kegiatan tersebut adalah pupuk kompos
bernilai hara tinggi, bebas pathogen dan gulma, dan biomassa larva yang
dihasilkan kaya protein serta lemak yang bernilai ekonomi cukup tinggi.

Larva serangga tidak hanya merombak biomassa limbah organik,


namun juga memberikan kondisi yang aerobik, membantu mengurangi
volume dan kadar air bahan terombak, dan juga mengurangi bau yang biasa
ditimbulkan dalam degradasi bahan organik. Larva serangga, biasa disebut
maggot, juga akan memodifi kasi mikrofl ora kompos, menghilangkan
mikroba patogenik, Salah satu jenis serangga yang memiliki kemampuan
dalam merombak bahan organik adalah lalat tentara hitam atau biasa disebut
Black Soldier Fly (BSF) (Hermetia illucens). Lalat BSF adalah sejenis
serangga yang penyebarannya hampir di seluruh permukaan bumi,
diantaranya Indonesia. Beberapa negara yang telah memanfaatkan serangga
jenis ini, baik sebagai decomposer, sumber protein pakan, atau keduanya,
adalah China, Soviet, Amerika, Eropa, Kanada, dan beberapa negara Asia
lainnya.

Preferensi dan kemampuan dekomposisi bahan organik oleh BSF


telah dilaporkan lebih baik dibandingkan cacing tanah, yang saat ini sudah
banyak dikembangkan sebagai agensia pengomposan. Oleh sebab itu,
teknologi pengomposan sekaligus produksi bahan pakan menggunakan BSF
sangat potensial untuk dikembangkan. Apalagi untuk dilakukan di perkotaan
perkotaan yang memiliki tingkat produksi bahan organik sangat banyak dan
cepat, memiliki keterbatasan luas lahan, tenaga serta waktu dalam mengelola
limbah organik diperkotaan. Konversi bahan organik demikian akan
memberikan keuntungan yang berlipat bagi masyarakat. Keuntungan tersebut
tidak hanya dalam pemenuhan kebutuhan pupuk organik namun juga pakan,
sehingga mendorong tumbuh-kembangnya bisnis pertanian di kota dan
sekitarnya.

Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memanfaatkan lalat


BSF sebagai agensia pengomposan. Beberapa diantaranya meliputi
kemampuan dan kecepatannya dalam mengkonversi bahan organik segar
menjadi pupuk organik atau kompos. Hal ini berbeda dengan cacing merah
yang harus bekerja secara simultan dengan mikroba pendekomposisi dalam
mendegradasi limbah organik. Cacing merah hanya mengkonsumsi bahan
organik yang telah mengalami dekomposisi awal oleh mikroba. Sementara,
larva BSF secara mandiri dapat secara langsung mengonsumsi limbah
organik, kemudian menghasilkan bahan organik terdekomposisi yang dapat
dimanfaatkan oleh biomassa mikroba agar kompos menjadi lebih matang.

Kelebihan lain adalah serangga dewasa BSF dapat hidup mandiri


dan tidak membutuhkan makanan ataupun perlakuan pemeliharaan khusus.
Lalat dewasa ataupun larva tidak menggigit, tidak berbahaya terhadap
kesehatan manusia, dan bukan merupakan vector patogen.

Dalam sistem pengomposan, larva BSF justru dapat menekan


keberadaan lalat rumah yang biasanya berkembang di dalam biomassa
sampah organik. Demikian juga halnya dengan bakteri pathogen khususnya
Escherichia coli dan Salmonella sp. dan beberapa mikroba patogen tanaman.
Pada fase instar terakhir, larva melepaskan beberapa senyawa anti bacterial di
dalam biomassa kompos. Hal tersebut menyebabkan kompos hasil
dekomposisi menjadi bersih dan terbebas dari mikroba berbahaya yang dapat
mengganggu kesehatan manusia, ternak, dan tanaman.

Kelebihan lain dari pengomposan menggunakan lalat BSF adalah


kemampuan larva dalam mengurangi kadar air bahan, permasalahan aerasi
dan drainase, tingginya kandungan nitrogen bahan yang biasa dijumpai dalam
pengomposan limbah organik segar kaya air dan nitrogen. Pada pengomposan
konvensional, karakteristik bahan demikian umumnya menyebabkan proses
pengomposan menjadi lebih lambat serta timbulnya lindi dan bau yang dapat
mencemari lingkungan. Hadirnya larva BSF akan menyebabkan kondisi ideal
pengomposan berjalan dengan baik, minim bau, dan Pengomposan dengan
BSF dapat dikombinasikan dengan sistem vermikomposting yang
menggunakan cacing. Pada sistem kombinasi ini, larva BSF merupakan
pendekomposisi tahap pertama, yang kemudian dilanjutkan oleh cacing dan
mikroba sebagai decomposer tahap kedua dan ketiga. Metode ini dapat
memberikan keuntungan dalam mengatasi permasalahan pengomposan
menggunakan cacing (vermikomposting) akibat timbulnya panas berlebihan
di dalam bin atau tumpukan kompos saat dekomposisi awal bahan organik
oleh mikroba.

( http://repository.pertanian.go.id )

Anda mungkin juga menyukai