Anda di halaman 1dari 4

BIBOKI, SEBUAH KERAJAAN ‘BUFFERZONE’

Oleh : RD. Mikhael Valens Boy, Fakultas Filsafat Unwira

Sebelum ketibaan bangsa Portugis di abad XV dan Belanda di abad XVII di Pulau Timor, sudah
terdapat satu kerajaan tradisional di pusaran Pulau Timor berbernama Biboki. Kata ‘Biboki’
terkomposisi dari dua kata, yaitu preposisi ‘Bi’ yang berarti ‘Di’, dan kata benda ‘Boki’ artinya
‘Penyangga’, ‘Penyeimbang’. Menurut Schulte Nordholt, Kerajaan Biboki adalah Kerajaan
‘Bufferzone’, yaitu Kerajaan Penyangga, Penyeimbang.

Ada beberapa alasan mengapa Kerajaan Biboki dikatakan demikian.

1. Yang pertama, secara geografis tanah Biboki bersama dengan tanah Belu
sungguh-sungguh terletak pada ‘pinggang’ dari Pulau Timor, yaitu di tengah-
tengah Pulau Timor.
2. Yang kedua, Kerajaan Biboki berada persis pada pusaran dari dua wilayah
teritorial-kultural yang besar, yaitu Belu-Tetun dan TTU hingga Kupang, yang
Dawan.
3. Ketiga, secara etnis masyarakat Biboki terkomposisi dari manusia yang berasal
dari arah Matahari Terbit (Timur), yaitu ‘Mansa Saena’ (bahasa Dawan) atau
‘Loro Sae’ (bahasa Tetun), dan dari arah Matahari Terbenam (Barat), yaitu
‘Mansa Moufna’ (bahasa Dawan) atau ‘Loro Monu’ (bahasa Tetun).

Pada umumnya yang berasal dari Timur berbahasa Tetun, sedangkan yang
berasal dari Barat berbahasa Dawan. Akan tetapi menurut beberapa suku di
Biboki, mereka sesungguhnya berasal dari Timur, namun mereka berbahasa
Dawan. Hal ini menunjukkan bahwa asimilasi dan pemfusian ‘Timur dan Barat’
secara etnis dan kultural di Biboki sudah berlangsung lama, sudah tua. Bahwa
pemfusian dan asimilasi etnis dan kultural di Biboki sudah tua dapat dibuktikan
pula dengan adanya kenyataan sekarang di mana sebagian besar masyarakat
Biboki berbahasa Dawan dengan logatnya yang khas walau berasal dari Timur.
Dan yang kedua, motif kain tenunan aslinya berwarna dasar ‘merah’ seperti yang
ada pada masyarakat ‘Fialaran-Belu Utara’. ‘Merah’ adalah ‘motif matahari
terbit’ – ‘Loro Sae’. Biasanya Biboki dikonotasikan dengan ‘merah, bakar
menyala’.

Karakter ‘penyeimbang’ masyarakat tradisional Biboki juga tampak dalam


sistem kekeluargaannya. Bila di Molo, Miomafo dan Amfoang (Sonbai) sistem
kekeluargaannya menganut prinsip patrilineal murni, maka Biboki dan juga
Insana menganut sistem patrilineal tidak murni. Betapa pun ada belis, yaitu
pembayaran mahar untuk memasukkan ibu dan anak-anak ke marga ayah, tetapi
paling tidak seorang anak dikembalikan ke marga ibu sebagai ‘sekaf’, yaitu
sebagai pengganti ibu. Di sini terjadi bahwa sistem kekeluargaan matrilineal di
Malaka, ‘Liurai’, mempengaruhi sistem kekeluargaan patrilineal orang Biboki.
Dalam sistem matrilineal Malaka, semua anak masuk ke marga ibu, namun
seorang anak dikembalikan kepada ayah sebagai ‘matamusan’, sebagai pengganti
ayah.

4. Keempat, secara sosial-politik Kerajaan Tradisional Biboki merupakan Kerajaan


‘Bufferzone’ (Kerajaan Penyangga atau Penyeimbang) karena Kerajaan Biboki
menyangga dan menjadi penyeimbang terhadap dua Kerajaan Besar, yaitu
Kerajaan ‘Liurai’ di Timur dan Kerajaan ‘Sonbai’ di Barat. Sebelum kedatangan
bangsa Portugis dan Belanda, Kerajaan Tradisional Biboki ‘berafiliasi’ dengan
dua kekuasaan besar ini, yaitu ‘Liurai’ di Timur dan ‘Sonbai’ di Barat. Hal ini
dibenarkan oleh didirikan dan adanya dua tugu besar di pusat Kerajaan tradisional
Biboki, ‘Tamkesi’. ‘Tamkesi’ artinya ‘penuh dan sempurna’. Tiang tugu yang di
Timur dipersembahkan kepada ‘Liurai’ di Wehali-Waiwiku (Malaka) dan yang di
Barat dipersembahkan kepada ‘Sonbai’ di ‘Oenam’, ‘Kono-Oematan’ (Molo-
Miomafo).
Hakikat Masyarakat Adat Biboki

Masyarakat Adat Biboki adalah paguyuban sosio-kultural-politik dari ‘Klunin


Bo’es, Ba’at Bo’es’, yaitu ‘Sepuluh Pokok, Sepuluh Akar’ dengan bermahkota ‘Loro
Biboki’ sebagai raja atau pemimpin tertinggi. Kesepuluh ‘Pokok dan Akar’ dari
masyarakat tradisional Biboki itu adalah ‘Tnesi-Aluman, T’eba-Tautpah, Tahaf-Nafanu,
Taitoh-Bukifan, Harneno-Manlea’ ini sesungguhnya merupakan paguyuban dari sepuluh
raja ‘berdaulat’ yang masing-masingnya mempunyai komunitas sosial-politiknya, namun
yang bekerja sama untuk membentuk dan membangun Kerajaan Biboki, yang disebut
‘Neno Biboki, Funan Biboki’ yaitu ‘Matahari Biboki, Bulan Biboki’.

Dari kesepuluh paguyuban raja ini, ada empat paguyuban yang telah lebih dahulu
mendiami tanah Biboki, yaitu ‘Tahaf-Nafanu, Taitoh-Bukifan’. Betapa pun demikian,
pengangkatan Loro Biboki tidak dari mereka. Loro Biboki biasanya diangkat dari empat
serangkai ini, ‘Tnesi-Aluman, T’eba-Tautpah’. Dua serangkai, ‘Harneno-Manlea’
merupakan dua paguyuban terakhir yang mempersatukan diri dengan kedelapan
paguyuban yang lain, dan mereka semua bersama-sama membina Kerajaan Tradisional
Biboki.

Dalam membina Kerajaan Biboki, Klunin Boes, Baat Boes harus bekerja sama
dengan ‘Bena Naek, Papa Naek’, yaitu ‘Berbahu Besar, Berluka Besar‘. Mereka adalah
suku-suku bukan raja, yang mempunyai kewibawaan dan kekuatan yang besar dalam
membangun dan menghidupi Kerajaan Biboki. Mereka dikenal sebagai ‘Amafa Naek’,
yaitu ‘Bapa yang Besar’. Mereka secara tertentu dapat dibandingkan dengan Bapak-
Bapak Bangsa dalam Kitab Suci, betapa pun Abraham, Ishak dan Yakub adalah Bapak-
Bapak Bangsa dalam konteks keimanan akan Allah yang Esa.

Dalam konteks masyarakat adat Biboki, ‘Bena Naek, Papa Naek’ merupakan
kekuatan-kekuatan kerakyatan yang besar. Ada empat ‘Bena Naek, Papa Naek’ di Biboki,
yaitu ‘Pai-Sanaunu” di Timur dan ‘Bel-Sikone’ di Barat. Pasangan ‘Pai-Sanaunu’ dan
‘Bel-Sikone’ ini merupakan paguyupan-paguyuban kerakyatan yang besar dan kuat yang
menjadi ‘pendukung utama dan kepercayaan’ dari Loro Biboki. Dari istilah ‘Bena Naek,
Papa Naek’, yang secara harafiah berarti ‘berbahu besar, berluka besar’ dapat
disimpulkan bahwa mereka menjadi ‘tangan kanan’ dari Loro Biboki karena jasa-jasa dan
korban-korbannya bagi kehidupan Kerajaan Tradisional Biboki. Mereka biasanya
menjadi ‘bride givers’ bagi kelompok raja-raja, khususnya bagi ‘Tnesi-Aluman, Teba-
Tautpah’.

Pemimpin tertinggi dari Kerajaan Biboki atau dalam bahasa adatnya, ‘Neno
Biboki, Funan Biboki’ adalah ‘Loro Biboki’ (bahasa Tetun), yang secara harafiah berarti
‘Matahari Biboki’, tetapi yang juga bermakna ‘Cahaya Biboki’. Dalam bahasa Dawan ia
disapa atau bergelar ‘Usi Koko’, yaitu ‘Raja yang Keramat’. Karena hakikatnya juga
sebagai ‘Atupas’, yang secara harafiah berarti ‘Hanya Tidur – Tidak Bergerak’, yaitu
‘tidak boleh dikenai panas dan hujan’, maka dalam menjalankan pemerintahannya, Loro
Biboki ‘didampingi’ oleh ‘komunitas eksekutif’ yang dikepalai oleh ‘Monemnasi Pah
Tuan’, yang secara harafiah berarti ‘Laki-Laki Tua, Raja Bumi’. Kehadiran ‘Monemnasi
Pah Tuan’ ini kadang ditafsir sebagai terjadinya ‘dualisme’ kepemimpinan tertinggi di
Kerajaan Biboki. Tetapi, tidak!

Kaisar atau Loro Biboki tetaplah pemimpin tertinggi dari Kerajaan Biboki dalam
masyarakat adat ‘Klunin Boes, Baat Bo’es’, dan ‘Monemnasi Pah Tuan’ adalah ‘Perdana
Menteri’. Dalam konteks budaya Jawa ia dapat disamakan dengan seorang
‘Mangkubumi’. Loro Biboki sebagai ‘Atupas’ (Hanya Tidur), sesungguhnya
menampilkan dimensi kesakralan dan ‘keimaman’ dari penguasa tertinggi Biboki ini.
Dialah ‘Dewa’, yaitu ‘Usi Kok Leu’ (Raja yang sangat keramat). Dialah ‘Uis Neon Ana’
(Putra Langit) sebagaimana istilah ‘Maromak Oan’ (Anak Allah) untuk penguasa
tertinggi Liurai, Wehali-Waiwiku di Malaka.

Kata ‘Atupas’ perlu dimengerti dalam maknanya yang lain, yaitu bukan ‘Hanya
Tidur’, tetapi ‘Penidur’, – Yang menidurkan’. Artinya Loro Biboki adalah ‘pengayom
dan kedaulatan’ dari seluruh masyarakat tradisional Biboki. Dialah ‘Bapa, Jiwa dan Roh’
dari masyarakat tradisional Biboki. Loro Biboki merupakan ‘personifikasi dan
representasi’ dari seluruh kesatuan dan kedaulatan masyarakat ‘Klunin Bo’es, Ba’at
Bo’es’ Biboki. Dialah “mikrokosmos” dari ‘kosmos Biboki’. Loro Biboki bisa ‘meminta
hujan’, ‘mengusir tulah’ dan ‘menurunkan berkat’ bagi masyarakat tradisional Biboki.

Anda mungkin juga menyukai