Kognitif 1960
Kognitif 1960
Kognitif 1960
Terapi Kognitif
1. Tokoh : Dr.Aaron Beck
Konseling kognitif selalu dikaitkan dengan karya Aaron T. Beck (Corey,
2009; Flanagan & Flanagan, 2004; Seligman, 2006; Sharf, 2012; Parrot III, 2003).
Lahir pada tahun 1921, Beck menerima gelar sarjana dari Brown University dan
gelar doktor kedokterannya dari YaleUniversitas pada tahun 1946. Dari tahun
1946 sampai 1948 ia magang di patologi di Rhode Island Hospital di Providence.
Setelah pengalaman itu, ia adalah seorang yang berkecimpung di bidang
neurologi, kemudian menjadi psikiatri di Cushing Veterans Administration
Hospital di Framingham, Massachusetts.
Selain itu, ia adalah seorang rekan di psikiatri di Austen Riggs Center di
Stockbridge, Massachusetts. Pada tahun 1953, ia telah disertifikasi dalam psikiatri
oleh American Board of Psychiatryand Neurology. Pada tahun 1956, ia lulus dari
Philadelphia Psychoanalytic Institute. Dia bergabung dengan fakultas dari
Departemen Psikiatri dari Medical School of the University of Pennsylvania, di
mana dia sekarang Profesor Emeritus. Penelitian awal tentang depresi (Beck,
1961, 1964) menyebabkan publikasi Depression: Clinical, Experimental, and
Theoretical Aspects (1967), yang membahas pentingnya kognisi dalam mengobati
depresi. Sejak itu ia telah menulis atau turut menulis lebih dari 500 artikel dan 25
buku yang terkait dengan terapi kognitif dan pengobatan berbagai gangguan
emosional. Putrinya, Judith S. Beck, psikolog, saat ini direktur Beck Institute for
Cognitive Therapy and Research dekat Philadelphia, Pennsylvania, dan Aaron
Beck adalah presidennya.
Awalnya Beck adalah praktisi psikoanalisa. Beck (2001) mengamati
verbalisasi dan asosiasi bebas dari pasiennya. Terkejut bahwa pasien mengalami
pikiran yang hampir tidak sadar dan tidak melaporkan sebagai bagian dari asosiasi
bebas mereka, ia menarik perhatian pasiennya untuk pikiran-pikiran ini. Tampil
dengan cepat dan otomatis, pikiran-pikiran ini atau kognisi yang tidak berada
dalam kendali pasien. Seringkali pikiran-pikiran otomatis yang tidak pasien sadari
diikuti oleh perasaan tidak menyenangkan bahwa mereka sangat menyadarinya.
Dengan meminta pasien menceritakan pengalaman mereka saat ini, Beck mampu
mengidentifikasi tema negatif, seperti kekalahan atau tidak mampu, yang ditandai
pandangan mereka tentang masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Setelah dilatih sebagai psikoanalis, Beck membandingkan pengamatan
pikiran otomatis dengan konsep Freud tentang prasadar. Beck tertarik pada apa
yang orang katakan kepada diri mereka sendiri dan cara mereka sendiri – mereka
dipantau sistem komunikasi internal sendiri. Dari komunikasi internal dalam diri
mereka sendiri, individu membentuk pola keyakinan. Dari keyakinan ini, individu
merumuskan aturan atau standar untuk diri mereka sendiri, yang disebut skema,
atau pola pikir yang menentukan bagaimana pengalaman akan dianggap atau
ditafsirkan. Beck menyadari bahwa pasiennya, terutama mereka yang mengalami
depresi, menggunakan percakapan internal yang dikomunikasikan menyalahkan
diri sendiri dan self-critic. Pasien tersebut sering memprediksi kegagalan atau
bencana bagi diri mereka sendiri dan interpretasi negatif yang dibuat di mana
yang positif akan menjadi lebih tepat.
Dari pengamatan ini, Beck merumuskan konsep pergeseran kognitif
negatif, di mana individu mengabaikan banyak informasi positif yang relevan
dengan diri mereka sendiri dan berfokus pada informasi negatif tentang diri
mereka sendiri. Untuk melakukannya, pasien dapat mendistorsi pengamatan
peristiwa dengan melebih-lebihkan aspek negatif, melihat hal-hal seperti semua
hitam atau putih semua. Komentar seperti “Saya tidak pernah bisa melakukan
sesuatu dengan benar,” “Hidup tidak akan pernah memperlakukan saya dengan
baik,” dan “Saya putus asa” adalah contoh pernyataan yang overgeneralized,
berlebihan, dan abstrak. Beck menemukan pemikiran tersebut, khas orang yang
mengalami depresi, terjadi otomatis dan terjadi tanpa kesadaran. Banyak dari
pemikiran ini berkembang menjadi keyakinan tentang tidak berharga, yang
dicintai, dan sebagainya. Keyakinan tersebut, Beck berhipotesis, terbentuk pada
tahap-tahap awal dalam hidup dan menjadi skema kognitif yang signifikan.
Misalnya, seorang mahasiswa yang memiliki beberapa ujian datang dalam minggu
depan mungkin mengatakan kepada dirinya sendiri, “Aku tidak akan pernah lulus,
saya tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar.” Ekspresi seperti ini merupakan
verbalisasi dari skema kognitif menunjukkan kurangnya self-worth. Siswa dapat
mengekspresikan keyakinan tersebut meskipun fakta bahwa dia siap untuk ujian
dan telah dilakukan dengan baik sebelumnya di sekolahnya. Dengan demikian,
keyakinan bertahan meskipun bukti yang bertentangan mereka.
Meskipun pekerjaan awal Beck berfokus pada depresi, ia menerapkan
konsep tentang pikiran-pikiran otomatis, keyakinan terdistorsi, dan skema kognitif
dengan gangguan lain. Sebagai contoh, ia menjelaskan gangguan kecemasan
sebagai dominasi oleh ancaman kegagalan atau ditinggalkan. Dari pengamatan
pasien, Beck mengidentifikasi skema kognitif yang umum untuk orang-orang
dengan jenis gangguan emosional dan strategi yang dikembangkan untuk
mengobati mereka.
2. Filosofi
Sisi filosofis CBT adalah mengakui bahwa orang-orang memegang nilai-
nilai dan keyakinan tentang diri mereka sendiri, dunia, dan orang lain. Membantu
orang mengembangkan flexibel, non-extreme, dan sel-helping beliefs yang
membantu mereka beradaptasi dengan realitas dan mengejar tujuan mereka.
Seperti namanya, CBT juga menekankan pada tingkah laku. Banyak teknik CBT
melibatkan mengubah cara berpikir dan merasa dengan memodifikasi cara
bersikap, CBT melibatkan identifikasi pikiran, kepercayaan dan makna yang
diaktifkan ketika klien merasa terganggu emosinya.
3. Psikopatologi
a. Gangguan Paranoid
Penderita gangguan paranoid atau delusional senantiasa merasa ada
seseorang yang akan menipu, membohongi, mengikuti dari belakang, atau
berencana mencelakai dirinya. Sebagai gejala lainnya, seseorang dengan
gangguan paranoid cenderung mudah marah, sedih, atau tersinggung.
Pasien juga kemungkinan mengalami halusinasi, seperti mendengar suara
atau mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Selain diberi terapi untuk mengenali diri sendiri, pasien juga diberi terapi untuk
belajar mengubah pola pikiran dan perilaku. Jadi, perilaku yang membuatnya
terus-menerus merasa cemas, takut, dan curiga, berangsur-angsur akan
hilang.Terapi dapat membantu pasien untuk belajar mengontrol gejala yang
dirasakan, mengenali tanda-tanda jika penyakit tersebut kambuh, dan
mencegah terjadinya kambuh.Mereka cenderung untuk menyendiri karena
merasa curiga entah ada orang lain yang berusaha membohongi, memanipulasi,
atau menyebarkan rahasia mereka. Akibatnya, orang dengan gangguan paranoid
bisa enggan mengikuti pengobatan yang disarankan.
b. Depresi
Terapi kognitif dapat menjadi cara yang efektif untuk meredakan pikiran-
pikiran. Ketika digunakan untuk depresi, terapi kognitif menyediakan
peralatan mental kit yang dapat digunakan untuk menantang pikiran
negatif. Selama jangka panjang, terapi kognitif untuk depresi dapat
mengubah cara orang yang depresi melihat dunia.Penelitian telah
menunjukkan bahwa terapi kognitif bekerja setidaknya serta antidepresan
dalam membantu orang dengan depresi ringan hingga sedang. Pengobatan
dengan obat-obatan dan / atau psikoterapi dapat mempersingkat saja
depresi dan dapat membantu mengurangi gejala seperti kelelahan dan
miskin harga diri yang menyertai depresi. Baca terus untuk melihat
bagaimana terapi kognitif atau terapi bicara dapat membantu Anda mulai
berpikir dan merasa lebih baik jika Anda mengalami depresi.
1. Terapi kognitif bekerja serta obat-obatan antidepresan saja untuk
meningkatkan depresi ringan sampai sedang.
2. Terapi kognitif bekerja serta obat-obatan antidepresan untuk mencegah
kambuh depresi.
3. Terapi kognitif mengurangi gejala sisa depresi.
c. Sosial Fobia
Penderita sosial fobia seringnya memiliki pola pikir yang kurang sehat.
Mereka selalu cemas. Kecemasan pada sosial fobia umumnya karena
penderita sosial fobia tidak ingin mendapat penilaian yang jelek atau
penolakan dari orang lain. Beberapa kepercayaan atau pikiran pada diri
seorang penderita sosial fobia yang sering ditemui adalah:
1) bila tidak ada yang bisa saya omongkan atau sampaikan, itu akan jadi
bencana.
2) mereka akan mulai tidak menyukai saya.
3) saya harus kelihatan mampu
4) saya harus kelihatan menarik atau saya akan gagal
5) bila mereka melihat saya cemas atau gelisah, mereka akan menilai
bahwa saya lemah karenanya seorang penderita sosial fobia akan
selalu cemas dan menarik diri atau menghindar dari melakukan tuga
tugas dimana dia harus tampil atau kelihatan. Untuk itu, dalam
mengobati sosial fobia langkah yang harus dilakukan adalah:
a) Menata ulang setiap pikiran yang tidak realistis atau tidak
membantu (tidak sehat) dengan cara yang lebih mencerminkan
realitas situasi dan lebih membantu dalam kehidupannya.
b) Menempatkan keyakinan baru yang lebih bermanfaat dalam
praktek dengan mendasarkan perilakunya pada pikiran atau
kepercayaan baru tersebut.
c) Belajar untuk mengidentifikasi pikiran yang lewat di kepala
penderita sosial fobia dalam menanggapi peristiwa, dan
interpretasi mereka terhadap peristiwa dan situasi tersebut.
d) Belajar bagaimana melihat setiap pikiran-pikiran secara objektif,
dan memutuskan apakah pikiran pikiran tersebut mewakili
penilaian yang wajar dari situasi (ini untuk menantang mereka
agar mempunyai pikiran atau kepercayaan alternatif ).
4. Goals
Terapi kognitif memiliki tujuan eksplisit mengisi kembali energi reality
testing system (sistem pengujian realitas). Dengan derajat yang bervariasi, klien
dengan bermacam-macam gangguan psikopatalogis pasangan dengan hubungan
yang mengalami distress telah kehilangan kemampuannya untuk menguji realitas
interpretasi disfungsionalitas.
Terapi kognitif mengajarkan meta-kognisi bagaimana memikirkan tentang
pikirannya kepada klien sehingga klien dapat mengoreksi pemrosesan kogntifnya
yang keliru dan mengembangkan asumsi yang memungkinkannya untuk
mengatasi kesulitan. Meskipun terapi kognitif ada awalnya mencoba
menghilangkan gejala, tujuan akhirnya adalah untuk menghilangkan bias-bias
sistematik dalam cara berpikir klien. Selain itu, terapi kognitif bermaksud
memerikan keterampilan perilaku yang relevan dengan masalah klien, misalnya
keterampilan mendengarkan atau keterampilan komunikasi bagi pasangan yang
mengalami distress atau keterampilan asertif untuk orang-orang pemalu.
Klien diberitahu bahwa tujuan terapi kognitig adalah agar klien belajar
menjadi terapis bagi dirinya. Ketika menangani kognisi klien, tujuannya untuk
termasuk mengajarinya untuk: memonitor pikiran otomatik negatifnya, mengenali
hubungan antara kognisi, afek, dan perilaku; memeriksa dan menguji realitas
bukti –bukti yang mendukung dan berlawanan dengan pikiran otomatik yang
terdistorsi; menggantikan kognisi-kognisi terbias dengan interpretasi-interpretasi
yang realistis, dan belajar mengidentifikasi dan mengubah keyakinan yang
mempredisposisikannya untuk mendistorsi pengalamannya.
http://studentners.blogspot.co.id/2013/11/terapi-kognitif.html
Maiasalam.blogspot.co.id/2009/11/terapi-kognitif.html
bungapsikologi.wordpress.com/2012/03/12/terapi-kognitif/