Anda di halaman 1dari 14

Analisis Relasi antara Eksploitasi Pekerja Media dalam Masa Konvergensi

I Nyoman Raditya 210610190044


Athallah Farhan Thalib Rabbani 210610190065
Nazhara Azmi 210610190071
Sulthan Ariq Sulaiman Aden 210610190072
Haninda Hasyafa Utama 210610190079

Jurnalistik B
Perusahaan media dan jurnalis menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan, terlebih
dalam industri media massa di era konvergensi ini. Perkembangan industri media juga
beriringan dan pertumbuhan media online dan digital. Terdapat perubahan kebijakan baru
yang dibangun dan diciptakan oleh perusahaan media. Konvergensi yang terjadi di industri
media juga membuat terjadinya perubahan struktur dan pola kerja para jurnalisnya.

Ekonomi politik adalah studi tentang hubungan sosial, khususnya hubungan


kekuasaan, yang saling membentuk produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya,
termasuk sumber daya komunikasi. Dari zaman dahulu hubungan tentang relasi buruh dengan
para pemilik modal (kapitalis) sudah menjadi bahasan ekonomi yang sering dibahas. Pada
saat itu Karl Marx (1973)
Komodifikasi disebut sebagai titik awal/titik masuknya konsep Ekonomi Politik
Komunikasi. Dalam komodifikasi terdapat istilah spasialisasi yang diperkenalkan oleh Henri
Lefebvre (1979) seorang Ahli Teori Sosial. Istilah spasialisasi digunakan untuk menunjukan
proses mengatasi kendala ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Bagi lingkup Ekonomi
Politik Komunikasi, istilah ini memiliki arti khusus sebab, komunikasi merupakan salah satu
sarana utama yang membawa “spasialisasi” ke seluruh masyarakat dan karenanya spasialisasi
membuat industri komunikasi jadi sangat penting. Komodifikasi pada jurnalis digunakan
terhadap pengembangan akumulasi kapital yang lebih besar lagi, sehingga pada hal tersebut
terjadilah eksploitasi.
Dalam The Grundrisse (1973), Karl Marx mengomentari konsep spasialisasi terkait
kecenderungan kapitalisme untuk “menghancurkan ruang dan waktu.” Hal ini mengacu pada
pertumbuhan kekuatan kapitalisme untuk menggunakan dan meningkatkan sarana
transportasi dan komunikasi serta untuk mempersingkat waktu yang diperlukan untuk
memindahkan barang, orang dan pesan melalui ruang, sehingga akan mengurangi signifikansi
jarak spasial sebagai kendala ekspansi modal.
Spasialisasi dalam konteks ekonomi politik berkaitan dengan perluasan kelembagaan
dan kekuatan perusahaan dalam industri komunikasi. Penekanan spasialisasi dalam ekonomi
politik terletak pada berbagai bentuk konsentrasi perusahaan atau cara perusahaan
memperkuat organisasinya untuk mendominasi pasar. Pertumbuhan ukuran perusahaan media
yang umumnya diukur dengan jumlah aset, pendapatan, laba, karyawan dan nilai saham di
pasar keuangan menjadi bentuk representasi dari konsep spasialisasi.
Dalam hal ini, konsentrasi perusahaan memungkinkan perusahaan untuk lebih
mengontrol produksi, distribusi, dan pertukaran komunikasi serta membatasi persaingan,
maka dari itu informasi dan hiburan yang ada di masyarakat jadi beragam. Meskipun
pertumbuhan dan konsentrasi merupakan fitur utama dari peta komunikasi kontemporer,
kekhawatiran tentang konsekuensi sosial dari perkembangan ini bukanlah hal baru.
Spasialisasi inilah yang menuntut membuat berita dan informasi kini disiarkan dalam
berbagai bentuk dan saluran. Dalam konsep spasialisasi ruang dan waktu, kini berita yang
naik ke internet menjadi sesuatu hal umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehubungan dengan ini, maka media telah sukses mendominasi pasar dalam praktik
menyebarkan berita dan informasi lewat internet. Sehubungan dengan dominasi internet, para
jurnalis juga semakin dituntut untuk serba bisa. Maka muncullah konsep jurnalisme
konvergensi.
Jurnalisme konvergensi datang dari konvergensi media yang hadir sebagai bentuk dari
berubahnya media komunikasi yang umumnya disebabkan karena adanya timbal balik rumit
antara kebutuhan yang dirasakan, tekanan juga persaingan politik media, serta inovasi sosial
dan teknologi. Lahirnya konvergensi media didukung juga oleh faktor dalam bisnis media
massa. Perusahaan media massa mencoba mengadopsi teknologi digital untuk beralih pada
konvergensi media. Era teknologi digital mempengaruhi kesegaran dalam dunia jurnalisme
dalam hal memuat berita baru dan sebuah media untuk menjadi pionir dalam sebuah
pemberitaan.
Adanya jurnalisme konvergensi memungkinkan jurnalisme terjadi pada praktik
medium yang lebih luas seperti pada televisi, radio, media daring, dan prospek-prospek
medium lain yang mungkin akan terjadi di masa depan. Dengan adanya jurnalisme
konvergensi, jurnalis dituntut juga untuk menguasai lebih banyak kemampuan selain hanya
menulis berita cetak - kemampuan yang sudah cukup dimiliki jurnalis pada masa lampau
tetapi tidak cukup untuk jurnalis zaman sekarang.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta melakukan survei pada bulan Januari 2021
hingga bulan Februari 2021 untuk melihat bagaimana kelayakan upah jurnalis. Dari 100
responden, terdapat 97 responden yang dapat di validasi dan 93,8% responden mengakui
bahwa upah yang diterimanya selama bekerja menjadi jurnalis masih belum menerima upah
yang layak. AJI juga menemukan bahwa 10% responden masih diberikan upah provinsi DKI
Jawa Barat.
Eksploitasi terhadap kinerja jurnalis serta dampaknya kepada pemenuhan hak-hak
kerja jurnalis itu penting. Hal tersebut karena berdampak pada kesejahteraan profesi
jurnalisme. Terkait interelasinya pada studi jurnalisme dan media masih harus diteliti
kembali, karena studi jurnalisme dan media juga dapat membahas mengenai bagaimana dan
seperti apa kesejahteraan profesi jurnalisme itu sendiri.
Terdapat sebuah film dokumenter yang berjudul “Di Balik Frekuensi” yang dirilis
pada tahun 2013. Film tersebut menceritakan sebuah perjuangan dari seorang mantan
produser televisi MetroTV yang bernama Luviana, yang memperjuangkan haknya sebagai
pekerja karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak oleh tempatnya bekerja. Luviana
berencana membentuk serikat pekerja di MetroTV, meminta kesejahteraan karyawan, dan
menuntut independensi di ruang redaksi. Kasus tersebut berakhir di Pengadilan Hubungan
Perindustrian (PHI) dengan MetroTV membayar pesangon 16 bulan gaji Luviana.
Film tersebut membuktikan bahwa betapa buruknya sistem manajemen perusahaan
pers dalam industri media kapitalistik. Buruknya sistem tersebut mengakibatkan sebuah
konflik antara jurnalis/pekerja media dan perusahaan media serta pemilik modal. Namun
fenomena tersebut jarang muncul ke permukaan, yang menyebabkan para jurnalis maupun
pekerja media lebih banyak diam atau tidak membela hak-haknya karena konsekuensi yang
dapat diterima mereka karena menyuarakan haknya.
Luviana dalam wawancaranya dengan Remotivi pada tahun 2012 mengungkapkan
bahwa jurnalis adalah orang yang paling gagah di depan, jurnalis adalah orang yang
mendapatkan informasi pertama dan mengabarkannya. Jurnalis dapat menulis tentang
ekonomi-moneter hingga pelanggaran HAM, namun, ketika ada permasalahan riil di
depannya seperti temannya di PHK, mereka hanya diam. Mereka paling berani ketika
menulis sesuatu, namun menjadi orang yang paling takut menghadapi kenyataan.
Rasionalisasi terjadi pada industri media sejak datangnya era digitalisasi. Dalam
laporan Bidang Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2016, terdapat
beberapa media seperti Sinar Harapan, Harian Jurnas, dan Bloomberg TV Indonesia
berhenti beroperasi karena kesulitan finansial. Tidak hanya itu, koran-koran regional seperti
Inilah Sulsel, Harian Jambi juga terpaksa berhenti beroperasi karena finansial.
Beberapa kasus PHK yang dilakukan oleh perusahaan media tidak jauh dengan
adanya persoalan hukum seperti perusahaan tidak dapat memberikan hak pekerja sesuai
ketentuan yang sudah tercantum di Undang-Undang. Menurut lembaga independen The
Nielsen Company, terdapat 54 unit majalah dan surat kabar yang berhenti beroperasi selama
tahun 2015 (Bambani&Manan, 2016:76).
Tahun 2017 merupakan kasus terbesar PHK dalam industri media. Dalam catatan AJI,
sebanyak 200 karyawan Kompas Gramedia yang dirumahkan dari berbagai divisi majalah
dalam rangka efisiensi. Sebanyak 300 karyawan Koran Sindo yang dirumahkan karena
penutupan tujuh biro Koran Sindo di beberapa daerah di Indonesia. Grup MNC merumahkan
42 karyawan PT. Media Nusantara Informasi Global (PT. MNIG). (Bambani&Manan,
2017:6-17).
Isu-isu seperti ketenagakerjaan dan juga kesejahteraan para pekerja media sudah
seharusnya menjadi urgensi. Usaha untuk berkompromi dan memperjuangkan hak-hak
mereka sudah dilakukan walau kesadaran para pekerja media masih dapat dibilang terlambat
jika dibandingkan dengan industri lainnya. Tahun 2015, AJI berusaha membangkitkan
kesadaran pekerja media untuk mendapatkan hak dan upah layak dengan cara mendorong
konsolidasi gerakan buruh media dengan bergabung ke dalam FPMI (Forum Pekerja Media
Indonesia). FPMI adalah gabungan dari beberapa serikat pekerja dan organisasi media di
Indonesia.
Sebuah kampanye yang bertajuk “Jurnalis adalah Buruh” dilaksanakan dengan
mengeluarkan standarisasi upah layak jurnalis pada setiap kota di INdonesia dengan
menyamakan KHL (Komponen Hidup Layak). Hal tersebut bertujuan agar jurnalis dapat
melaksanakan tugasnya lebih professional. Pada tahun 2015, FSPMI (Federasi Serikat
Pekerja Media Independen) dan AJI Jakarta merekomendasikan upah yang layak bagi jurnalis
yaitu Rp. 6.510.400 per bulan kepada jurnalis lajang dengan masa kerja satu tahun.
Namun dalam realisasinya, hanya sedikit perusahaan media yang memberikan
jurnalisnya upah yang sesuai dengan standar kelayakan.Hasil survei atas kerjasama AJI
Jakarta dengan FSPMI terhadap 60 perusahaan media menunjukan bahwa masih banyak
jurnalis yang diupah di bawah ketentuan UMP (Upah Minimum Provinsi) DKI sebesar Rp.
2.700.000 per bulan.
Melihat Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 88 mengenai
pengupahan, disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak sesuai dengan kebijakan pengupahan yang ditetapkan
oleh pemerintah berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Jika melihat Undang-Undang tersebut, Luviana beranggapan bahwa jurnalis adalah
profesi yang memiliki standar khusus yang pekerjaannya diatur oleh undang-undang dan
kode etik, sedangkan Undang-Undang Ketenagakerjaan berlaku secara umum, sehingga
menurutnya aturan dalam undang-undang tersebut tidak relevan.
Pihak perusahaan media maupun pemilik modal cenderung tidak memperdulikan hal-
hal yang disebutkan diatas, karena mereka beranggapan bahwa yang mereka lakukan tidak
menyalahi aturan. Perusahaan media banyak yang mengalokasikan dananya pada hal-hal
yang menguntungkan perusahaan dengan menekan atau membayar upah pekerjanya di bawah
standar.
Membayar upah kerja pekerja media di bawah standar dapat menyebabkan efek bola
salju. Permasalahan kesejahteraan ini dapat berimbas terhadap kinerja jurnalis itu sendiri,
seperti jurnalis mendapatkan suap, rangkap pekerjaan alih profesi praktik jurnalis amplop,
dan ikut andil dalam praktik politik baik secara langsung (menjadi anggota) maupun tidak
langsung (menjadi tim sukses pada pesta demokrasi).
Hal tersebut terjadi pada tahun 2013, tiga anggota AJI mengundurkan diri dari
organisasi untuk terlibat dalam sebuah tim sukses kepada daerah, menjadi anggota KPUD
(Komisi Pemilihan Umum Daerah), dan menjadi calon anggota legislatif partai. Terdapat
juga jurnalis yang secara diam-diam ikut terlibat dalam struktur organisasi kemasyarakatan,
staf ahli menteri, gubernur, DPR, hingga presiden. Hal tersebut dapat mengganggu
objektivitas yang seharusnya ada dalam kerja jurnalistik.
Industri media pada sistem ekonomi kapitalis, tidak mengindahkan pekerja media
sebagai garda terdepan untuk melaksanakan tugas jurnalistik seperti memberikan dan
membawa informasi terhadap publik. Dalam sistem ekonomi kapitalis, jurnalis diindahkan
sebagai buruh yang harus tunduk terhadap pemilik perusahaan media maupun pemilik modal.
Jurnalis harus melakukan kerja jurnalistiknya sesuai dengan kebutuhan industri dan tidak
untuk mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme yang ada karena memang berorientasi
kepada kepentingan kapital untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik.
Semua persoalan yang melibatkan jurnalis seperti kesejahteraan dan ketenagakerjaan,
berpengaruh terhadap profesionalitas dan kualitas karya jurnalistik yang dihasilkan oleh
mereka. Pengaruh ekonomi politik menyebabkan para jurnalis seperti tidak bebas untuk
memanfaatkan media sebagai sarana berekspresi. Seharusnya, pekerjaan yang mereka
lakukan memiliki kebanggan dan kepuasan sendiri tanpa diliputi oleh berbagai syarat untuk
bertahan hidup. Seperti yang dikatakan Maxim Gorky, ketika bekerja merupakan kesenangan,
maka hidup adalah kegembiraan. Namun jika pekerjaan menjadi tugas, maka hidup adalah
perbudakan.
Media cenderung dimonopoli oleh kapitalis yang dilakukan pada skala nasional
maupun internasional, hal tersebut dilakukan dalam bentuk eksploitasi para pekerja media
dan konsumennya untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan usaha
sekecil-kecilnya. Media massa yang bersifat komersial dan universal menjadi tunjangan
tercapainya keberhasilan monopoli yang dilakukan media tersebut.
Dampak dari kegiatan tersebut adalah para pekerja yang bekerja dalam sektor industri
kreatif memiliki masalah-masalah yang tidak terangkat ke permukaan. Hal tersebut membuat
para pekerja kreatif Indonesia mengalami overwork. Beberapa penyebabnya adalah hubungan
kerja yang tidak sesuai dengan standar dalam dunia pekerjaan seperti kontrak yang terlalu
memonopoli pekerjanya, magang tanpa diberi upah atau diberi upah terlalu kecil dan lainnya.
Efeknya beberapa pekerja menjadi tidak memiliki nilai tawar di hadapan para pengusaha.
Beberapa contoh nyatanya adalah pemberhentian hubungan kerja sepihak yang
banyak dilakukan pada tahun 2015 hingga tahun 2016 yang salah satunya dilakukan oleh
Indonesia Finance Today (IFT) pada tahun 2016. Kasus yang terjadi adalah Indonesia
Finance Today tidak membayarkan pesangon serta gaji yang akhirnya masuk ke ranah
pidana. Pada tahun 2017 kasus PHK yang serupa juga terjadi pada 7 karyawan kontrak INews
TV dengan masa kerja di perusahaan tersebut lebih dari 3 tahun, pemberangusan serikat
pekerja pun dilakukan oleh manajemen INews TV.

Pada beberapa daerah di Indonesia, para jurnalis kerap dituntut untuk melakukan
pekerjaan lebih tanpa mendapatkan kenaikan upah. Beberapa media menggaji kontributornya
berdasarkan dengan jumlah berita yang tayang atau terbit tetapi harus loyal kepada
perusahaan dan tidak diperbolehkan untuk rangkap jabatan di media lainnya. Aliansi Jurnalis
Independen melakukan survei untuk melihat honor kontributor yang di survei. Hasilnya, para
kontributor diberi upah Rp 10,000 per berita hingga Rp 500,000 per berita. Jumlah media
yang tumbuh tidak sebanding dengan kesejahteraan pekerja yang semakin minim.

Perkembangan teknologi komunikasi telah menyebabkan pergeseran atau perubahan


dalam konsep komunikasi khususnya karakteristik komunikasi massa. Maraknya konvergensi
media cyber/siber di era digital saat ini, berbondong-bondong membangun industri
perusahaan media portal. Namun dengan maraknya media portal tersebut, ada hal yang sangat
menyayat hati tentang perlakuan perusahaan media terhadap Jurnalis.

Di era cyber, fungsi sebuah media massa mengalami revolusi besar-besaran. Derasnya
arus informasi dengan gelombang perubahan secara cepat dan terjadinya keterbukaan
membuat pekerjaan sebagai jurnalis mengalami degradasi. Media massa versus media sosial,
setidaknya inilah yang menjadi perubahan besar. perusahaan media terindikasi lakukan
eksploitasi jurnalis/wartawan, tentu sangat tidak nyaman didengar. Ini merupakan kejahatan
kemanusiaan mengandung makna yang tersakiti, teraniaya, termarjinalkan, atau makna lain
yang intinya bukan hal yang menyenangkan bagi para Jurnalis.

Padahal Wartawan dipekerjakan dengan penuh tekanan yang tinggi, tidak hanya
beban tugas peliputan, tapi juga tuntutan-tuntutan lainnya yang diminta perusahaan
medianya. Tuntutan yang sangat mengikat, dan dituntut profesional sebagai pekerja menulis
berita, sedangkan medianya sendiri jauh dari kata profesional.

Di Indonesia, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi dalam industri media
dalam beberapa tahun ini. Salah satunya adalah perubahan iklim kerja pekerja media akibat
dari konvergensi yang dilakukan sejumlah media. Konvergensi dalam ruang pemberitaan
mendorong adanya “perampingan” karena ada pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan
sejumlah orang, kini bisa ditangani dengan sumber daya manusia yang lebih sedikit.

Perubahan lain dari trend digitalisasi ini adalah mulai meredupnya media konvensional. Ini
ditandai dengan turunnya oplah dan iklan, misalnya media cetak. Perkembangan inilah yang
dianggap memberi kontribusi dari tutupnya sejumlah media cetak, atau beralihnya media
cetak ke edisi digital,.

Perkembangan baru semacam ini tentu saja berdampak besar pada pekerja media. Hanya saja,
perubahan cara kerja ini belum berdampak pada kesejahteraan pekerja media. Justru kasus-
kasus ketenagakerjaan terus bermunculan pada era digital sekarang.

para pekerja yang bergelut pada industri kreatif ini juga memiliki sejumlah masalah yang
relatif tidak pernah diangkat ke permukaan. Misalnya, masih dalam sensus yang sama, 31,9
persen pekerja kreatif menghabiskan lebih dari 48 jam kerja tiap pekan atau lebih tinggi dari
batas 40 jam tiap pekan seperti dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.

Artinya, lebih dari 1/3 pekerja kreatif Indonesia mengalami overwork atau berkelebihan
kerja. Salah satu penyebabnya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar (kontrak,
outsourcing, magang tanpa upah) sehingga pekerja tak punya nilai tawar di hadapan
pengusaha dan perlindungan negara.

Di sejumlah daerah, jurnalis dan pekerja media lainnya masih menghadapi persoalan
klasik. Masih bisa ditemui sejumlah media daerah menggaji pekerja termasuk para jurnalis
dengan upah rendah, bahkan di bawah standar yang ditentukan pemerintah. Federasi Serikat
Pekerja Media Independen (FSPMI) masih menjumpai praktek -praktek kontrak
berkepanjangan dilakukan perusahaan media di daerah. Belum lagi aspek jaminan sosial yang
masih minim diterima oleh pekerjanya.

Selain digaji rendah, banyak jurnalis juga dituntut bekerja melebihi hak upah yang
mereka terima. Sebagian besar kontributor dan koresponden di Indonesia digaji berdasarkan
jumlah berita yang tayang atau terbit. Mereka dituntut keras untuk loyal dengan perusahaan,
tidak boleh kerja rangkap di media lain tapi gajinya hanya berdasarkan jumlah berita yang
naik. Hal ini merupakan salah satu eksploitasi Jurnalis. Wartawan dipekerjakan tanpa
pembinaan bahkan menjadi liar, tanpa upah. Yang sangat miris ialah, pewarta diimingi belah
semangka, dipaksa jalin kemitraan untuk dibagi dua tanpa ada upah sesuai aturan kelayakan.

Konvergensi di beberapa media menjadi fenomena perubahan yang tidak dapat


dihindari karena perkembangan teknologi digital yang semakin pesat mendorong masing-
masing media untuk menerapkan praktik konvergensi tersebut. Perubahan-perubahan yang
terjadi akibat adanya konvergensi ini mencakup di dalamnya alat, teknik, cakupan/
jangkauan, dan akselerasi.

Gordon dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Convergence, Rich Gordon
(Quinn, 2004:112) membagi konvergensi ke dalam lima dimensi atau level (Aritasius, S.
2012:39) yang terdiri dari Ownership Convergence (jenis konvergensi karena adanya
kepimilikan media yang lebih dari satu jenis media.), Tactical Convergence (strategi suatu
media untuk melakukan promosi satu sama lain dan saling bertukar informasi yang
dimaksudkan untuk saling menguntungkan pihak yang melakukan Kerjasama), Structural
Convergence (Konvergensi ini menyangkut adanya pembagian kerja dalam suatu industri
media dikarenakan adanya konvergensi media ini.), Information Gathering Convergence (Hal
ini dapat diartikan bahwa seorang jurnalis harus memiliki kemampuan lebih dari satu media)
Storytelling Convergence ( media dimana menuntut keterampilan jurnalis untuk bisa
menyajikan berita sesuai dengan segmen pasar dari media tersebut )

Dalam suatu industri media semua orang dapat melakukan pekerjaan orang lain juga.
Misalnya seorang Profesional PR dapat pula mengerjakan pekerjaan seorang jurnalis,
begitupun sebaliknya.

Dengan kata lain, Tugas reporter yang bekerja pada media yang terkonvergensi
bertambah. Reporter di masa konvergensi dituntut harus mencari dan menuliskan berita
secara komprehensif dimana tidak hanya sekedar informasi saja yang dibutuhkan tetapi juga
foto dan video. Selain itu, reporter dituntut harus mampu menghasilkan foto, video, dan
infografis untuk melengkapi hasil liputannya. Selain itu, reporter juga harus mampu
melaporkan berita dalam beberapa format penulisan, sekarang ini dapat dicontohkan adanya
media yang menyajikan informasi di TV, website, dan tidak lupa penggunaan media sosial
seperti Instagram, Youtube, dan portal yang dimiliki oleh industri media, seperti Vidio.com
(Indosiar), Zulu.id (NET.TV), Okezone.com (MNC Group). media juga dituntut untuk
menyajikan berita dengan menarik sehingga dapat menarik perhatian pembaca atau
penontonnya.
Menjadi seorang wartawan saat ini memang untuk bisa melakukan segala hal. Dan
dengan tuntutan tersebut, ‘seharusnya’ gaji atau pendapatan setara dengan apa yang wartawan
tersebut jalani atau lakukan. Jika perusahaan media memberikan gaji rendah kepada
wartawan tidak menutup kemungkinan wartawan akan membuat berita yang tidak berkualitas
(Waluyo, 2018). Salah satu faktor penentu berkualitasnya suatu berita ialah wartawan itu
sendiri. Dalam Samiyah et al. (2018) menyebutkan bahwa isu kesejahteraan menjadi isu
penting yang hangat dibicarakan sejak sepuluh tahun terakhir. Sebagai seorang wartawan,
mereka membutuhkan pendapatan yang sesuai dan setara untuk menopang hidup mereka
sendiri dan juga beberapa anggota keluarga yang lain. Selain gaji yang sesuai, Samiyah et al.
(2018) menyebutkan bahwa
Upah jurnalis juga berkaitan dengan kesejahteraan jurnalis, di mana isu kesejahteraan
jurnalis ini juga merupakan isu penting salah satunya di Indonesia. Aliansi Jurnalis Indonesia
(AJI) menjadikan isu kebebasan pers dan profesionalisme jurnalis menjadi kampanye yang
penting. Salah satu yang ada di kampanye tersebut ialah upah layak untuk jurnalis. (Malayu,
2000:2) untuk menopang hidup, wartawan membutuhkan pendapatan upah.
Upah yang diberikan kepada jurnalis ialah Standar Upah Minimum (UMK) dan Upah
Minimum Provinsi (UMP), keduanya masih dijadikan patokan untuk menggaji para jurnalis.
Di Kota Jakarta sendiri dilansir dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), bahwa penetapan
upah layak jurnalis pemula di Kota Jakarta pada tahun 2018. Jurnalis pemula ialah jurnalis
yang baru diangkat menjadi jurnalis tetap atau masa kerja tiga tahun pertama. Besaran upah
layak adalah sebesar Rp. 7.963.949. Upah layak yang diberikan merupakan gaji pokok yang
ditambah dengan tunjangan-tunjangan setiap bulannya.
(Tirto, 2020) merilis survei yang dilakukan pada tahun 2019 mengenai upah jurnalis
kepada 144 jurnalis dan 37 media di Kota Jakarta. Survei yang dilakukan pun ditujukan untuk
para jurnalis dengan masa kerja di bawah tiga tahun. Didapatkan dari survei yang dilakukan
bahwa upah terendah jurnalis berada di angka Rp. 2.300.000 dan upah tertinggi berada pada
angka Rp. 8.400.000. Upah layak yang seharusnya diberikan kepada para jurnalis ibu kota
pada Januari 2020 ialah sebesar Rp. 8.793.000. (Warta Ekonomi, 2020) memaparkan hal
tersebut, juga menambahkan bahwa upah layak tersebut telah dipertimbagkan mulai dari
komponen kebutuhan kerja dan hidup jurnalis itu sendiri.
Pemberian upah yang layak menjadi salah satu hal yang penting, yang harus
dilakukan dengan tepat dan diperhatikan. Upah layak yang diberikan oleh perusahaan media
kepada jurnalisnya dapat membentuk kualitas jurnalis yang baik dan juga lebih baik. (Manan,
2017:8) menyebutkan pengupahan yang layak memang bukan jaminan jurnalis bersikap
profesional, namun dengan pengupahan yang layak dapat menjadikan jurnalis bekerja lebih
profesional. Tanpa pemberian upah yang layak, jurnalis bisa saja mengabaikan kode etik
yang ada atau bahkan menerima suap sehingga dapat mengakibatkan independensi jurnalis.
Di samping upah terdapat permasalahan mengenai jam kerja yang telah ditetapkan
untuk para jurnalis. Selain dituntut untuk membuat berita yang berkualitas, jurnalis juga mesti
bergulat dengan jam kerja yang tidak menentu. Disebutkan dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tahun 2004 bahwa seseorang dikatakan lembur
bila waktu kerja melebihi 8 jam sehari, 40 jam dalam satu minggu. Namun, di Indonesia
masih banyak jurnalis yang bekerja lebih dari 8 jam sehari.
Perusahaan media seharusnya dapat memberikan solusi untuk para jurnalis yang
bekerja lebih dari 8 jam tetapi upah yang diberikan tidak sebanding. Jam kerja ini akan
memicu produktivitas jurnalis, ketika jurnalis dituntut untuk bekerja secara terus-menerus
untuk memenuhi kebutuhan khalayak, maka tidak waktu yang dipergunakan untuk istirahat
sehingga kesehatan pun akan terganggu. Lalu bagaimana dengan tunjangan kesehatan bagi
para jurnalis? Apakah sudah terpenuh? Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) mendesak para
perusahaan media untuk menjamin kesehatan dan keselamatan jurnalis, khususnya di masa
pandemi seperti ini. (Media Indonesia, 2021). Akan lebih berisiko jika pada masa sekarang
ini jurnalis bekerja

Seperti yang tertulis dalam pasal 77 ayat (2) UU No.13/2003 di mana telah ditetapkan
dua alternatif pola waktu kerja yang dapat dipilih oleh para pihak pekerja di mana nantinya
kedua pola waktu kerja tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan azas kebebasan
berkontrak, hal tersebut terdapat pada pasal 1338 KUHP Perdata. Dalam pasal tersebut di
antaranya terdapat ketentuan umum yang harus diperhatikan ialah kurun waktu kerja secara
efektif dalam sehari ialah maksimum 8 jam dengan kumulatif waktu kerja dalam seminggu
adalah 40 jam.
Dalam PK dan PP/PKB (pasal 77 ayat (2) dan pasal 79 ayat (2) huruf b jo. Pasal 85
ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13/2003, di mana semua hari (Senin sampai dengan Minggu)
termasuk ke dalam hari kerja kecuali hari libur nasional. Jika terjadi pekerjaan yang melebhi
ketentuan waktu kerja normal maka wajib dibayarkan upah kerja lembur.
(Tempo, 2017) terdapat pemberitaan mengenai jam kerja jurnalis. Di mana ketika
jurnalis bekerja lebih dari 8 jam dianggap menjadi sebuah bentuk kemunduran oleh Aktivis
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi). Hal tersebut diliput
ketika Hari Buruh Internasional. Salah satu narasumber bernama Luvi menyatakan bahwa
terdapat banyak jurnalis yang kelebihan jam kerja dan tidak mendapatkan uang lembur di
mana terdapat mitos bahwa ketika jurnalis pulang setelah melewati kurun waktu 8 jam
bekerja maka ia adalah seorang pemalas dan tidak profesional.
Hal-hal tersebut melekat, yang seharusnya tidak dibelokkan menjadi pemikiran seperti
itu. Sesuai aturan yang ada, bahkan terdapat pada Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa
batas waktu kerja ialah 8 jam perhari di mana jurnalis dan media tempat ia bekerja pun harus
memperhatikan hal tersebut. Dapat disimpulkan bahwa di masa perkembangan teknologi
yang sudah melesat ini, media menjadi salah satu peran terpenting yang hadir untuk
masyarakat.
Kini, media menyuguhkan berita dan informasi yang sesuai dengan kemauan
khalayak sehingga perusahaan akhirnya menumpahkan beban tersebut kepada jurnalis yang
harus selalu memenuhi permintaan khalayak secara cepat. Dengan hadirnya teknologi seperti
sebenarnya memudahkan jurnalis untuk menghasilkan berita-berita yang berkualitas. Tetapi
ternyata, perusahaan media justru dengan cerdas memanfaatkan kecanggihan teknologi
dengan menuntut jurnalis untuk bisa melakukan segala hal. Saat ini jurnalis tidak hanya harus
menghasilkan berita yang berkualitas tetapi juga harus bisa menggunakan perangkat
penunjang informasi yang akan diberikan kepada khalayak. Media menjadikan jurnalis
sebagai robot untuk menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Marx, Karl. (1973) The Grundrisse: Foundations of the Critique of Political Economy. Trans.
Martin Nicolaus. Harmondsworth: Penguin.

Lefebvre, Henri (1979) ‘Space: Social product and use value’, in J.W. Freiberg (ed.), Critical

Sociology: European International Perspectives. New York: Irvington. pp. 285–296.

Samiyah, David Rigar Nugroho, dan Dwi Rini Sovia. (2018). Hubungan Antara Faktor
Kesejahteraan Profesi dan Persepsi Jurnalis Harian Pagi Radar Bogor. Jurnal Penelitian
Sosial Ilmu Komunikasi 3(1).

Djoko Waluyo. (2018). Tinjauan Standar Kompetensi Wartawan untuk Meningkatkan


Kapasitas Media dan Profesionalisme. Jurnal Studi Komunikasi dan Media. 22(2). 175

Wahyudi M Pratopo. (2017). Komodifikasi Wartawan di Era Konvergensi: Studi Kasus


Tempo. Jurnal Komunikasi Indonesia. 6(2). 130-131.

Sunarni. (2018). Alienasi Kerja Jurnalis dalam Industri Media Kapitalis di Indonesia. Thesis.
Semarang: Universitas Diponegoro. 1-13

Hasan, K. (2009). Kapitalisme, Organisasi Media dan Jurnalis Perspektif Ekonomi Politik
Media. Jurnal online Dinamika Fisip Unbara Palembang. 2(3).

Eksploitasi Jurnalis: Upah Murah & Telat hingga Korban Kekerasan. (27 Januari 2020).
Tirto.id. Diakses dari https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/eksploitasi-jurnalis-upah-
murah-telat-hingga-korban-kekerasan-eu7q

Online, R. W. E. (2020, January 26). Rilis Upah Layak 2020, AJI Tetapkan Gaji Wartawan

Pemula Harusnya Naik Rp300 Ribu. Warta Ekonomi. Retrieved November 15, 2021, from

https://www.wartaekonomi.co.id/read268532/rilis-upah-layak-2020-aji-tetapkan-gaji-

wartawan-pemula-harusnya-naik-rp300-ribu
Bambani, Arfi; Manan, Abdul. (2016). Keberagaman Diberangus, Kebebasan Ditindas.
Laporan Tahunan AJI 2016. Jakarta. Aliansi Jurnalis Independen.

Rappler.com. (2017, May 1). Tuntutan pekerja media di Hari Buruh Internasional. Rappler.

Diakses pada 15 November, 2021, dari

https://www.rappler.com/world/bahasa-indonesia/tuntutan-pekerja-media-hari-buruh

Duh, Eksploitasi Jurnalis di Era Cyber. (9 Februari 2020). Cyberthreat.id. Diakses dari

https://cyberthreat.id/read/5173/Duh-Eksploitasi-Jurnalis-di-Era-Cyber

Anda mungkin juga menyukai