Jurnalistik B
Perusahaan media dan jurnalis menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan, terlebih
dalam industri media massa di era konvergensi ini. Perkembangan industri media juga
beriringan dan pertumbuhan media online dan digital. Terdapat perubahan kebijakan baru
yang dibangun dan diciptakan oleh perusahaan media. Konvergensi yang terjadi di industri
media juga membuat terjadinya perubahan struktur dan pola kerja para jurnalisnya.
Pada beberapa daerah di Indonesia, para jurnalis kerap dituntut untuk melakukan
pekerjaan lebih tanpa mendapatkan kenaikan upah. Beberapa media menggaji kontributornya
berdasarkan dengan jumlah berita yang tayang atau terbit tetapi harus loyal kepada
perusahaan dan tidak diperbolehkan untuk rangkap jabatan di media lainnya. Aliansi Jurnalis
Independen melakukan survei untuk melihat honor kontributor yang di survei. Hasilnya, para
kontributor diberi upah Rp 10,000 per berita hingga Rp 500,000 per berita. Jumlah media
yang tumbuh tidak sebanding dengan kesejahteraan pekerja yang semakin minim.
Di era cyber, fungsi sebuah media massa mengalami revolusi besar-besaran. Derasnya
arus informasi dengan gelombang perubahan secara cepat dan terjadinya keterbukaan
membuat pekerjaan sebagai jurnalis mengalami degradasi. Media massa versus media sosial,
setidaknya inilah yang menjadi perubahan besar. perusahaan media terindikasi lakukan
eksploitasi jurnalis/wartawan, tentu sangat tidak nyaman didengar. Ini merupakan kejahatan
kemanusiaan mengandung makna yang tersakiti, teraniaya, termarjinalkan, atau makna lain
yang intinya bukan hal yang menyenangkan bagi para Jurnalis.
Padahal Wartawan dipekerjakan dengan penuh tekanan yang tinggi, tidak hanya
beban tugas peliputan, tapi juga tuntutan-tuntutan lainnya yang diminta perusahaan
medianya. Tuntutan yang sangat mengikat, dan dituntut profesional sebagai pekerja menulis
berita, sedangkan medianya sendiri jauh dari kata profesional.
Di Indonesia, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi dalam industri media
dalam beberapa tahun ini. Salah satunya adalah perubahan iklim kerja pekerja media akibat
dari konvergensi yang dilakukan sejumlah media. Konvergensi dalam ruang pemberitaan
mendorong adanya “perampingan” karena ada pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan
sejumlah orang, kini bisa ditangani dengan sumber daya manusia yang lebih sedikit.
Perubahan lain dari trend digitalisasi ini adalah mulai meredupnya media konvensional. Ini
ditandai dengan turunnya oplah dan iklan, misalnya media cetak. Perkembangan inilah yang
dianggap memberi kontribusi dari tutupnya sejumlah media cetak, atau beralihnya media
cetak ke edisi digital,.
Perkembangan baru semacam ini tentu saja berdampak besar pada pekerja media. Hanya saja,
perubahan cara kerja ini belum berdampak pada kesejahteraan pekerja media. Justru kasus-
kasus ketenagakerjaan terus bermunculan pada era digital sekarang.
para pekerja yang bergelut pada industri kreatif ini juga memiliki sejumlah masalah yang
relatif tidak pernah diangkat ke permukaan. Misalnya, masih dalam sensus yang sama, 31,9
persen pekerja kreatif menghabiskan lebih dari 48 jam kerja tiap pekan atau lebih tinggi dari
batas 40 jam tiap pekan seperti dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
Artinya, lebih dari 1/3 pekerja kreatif Indonesia mengalami overwork atau berkelebihan
kerja. Salah satu penyebabnya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar (kontrak,
outsourcing, magang tanpa upah) sehingga pekerja tak punya nilai tawar di hadapan
pengusaha dan perlindungan negara.
Di sejumlah daerah, jurnalis dan pekerja media lainnya masih menghadapi persoalan
klasik. Masih bisa ditemui sejumlah media daerah menggaji pekerja termasuk para jurnalis
dengan upah rendah, bahkan di bawah standar yang ditentukan pemerintah. Federasi Serikat
Pekerja Media Independen (FSPMI) masih menjumpai praktek -praktek kontrak
berkepanjangan dilakukan perusahaan media di daerah. Belum lagi aspek jaminan sosial yang
masih minim diterima oleh pekerjanya.
Selain digaji rendah, banyak jurnalis juga dituntut bekerja melebihi hak upah yang
mereka terima. Sebagian besar kontributor dan koresponden di Indonesia digaji berdasarkan
jumlah berita yang tayang atau terbit. Mereka dituntut keras untuk loyal dengan perusahaan,
tidak boleh kerja rangkap di media lain tapi gajinya hanya berdasarkan jumlah berita yang
naik. Hal ini merupakan salah satu eksploitasi Jurnalis. Wartawan dipekerjakan tanpa
pembinaan bahkan menjadi liar, tanpa upah. Yang sangat miris ialah, pewarta diimingi belah
semangka, dipaksa jalin kemitraan untuk dibagi dua tanpa ada upah sesuai aturan kelayakan.
Gordon dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Convergence, Rich Gordon
(Quinn, 2004:112) membagi konvergensi ke dalam lima dimensi atau level (Aritasius, S.
2012:39) yang terdiri dari Ownership Convergence (jenis konvergensi karena adanya
kepimilikan media yang lebih dari satu jenis media.), Tactical Convergence (strategi suatu
media untuk melakukan promosi satu sama lain dan saling bertukar informasi yang
dimaksudkan untuk saling menguntungkan pihak yang melakukan Kerjasama), Structural
Convergence (Konvergensi ini menyangkut adanya pembagian kerja dalam suatu industri
media dikarenakan adanya konvergensi media ini.), Information Gathering Convergence (Hal
ini dapat diartikan bahwa seorang jurnalis harus memiliki kemampuan lebih dari satu media)
Storytelling Convergence ( media dimana menuntut keterampilan jurnalis untuk bisa
menyajikan berita sesuai dengan segmen pasar dari media tersebut )
Dalam suatu industri media semua orang dapat melakukan pekerjaan orang lain juga.
Misalnya seorang Profesional PR dapat pula mengerjakan pekerjaan seorang jurnalis,
begitupun sebaliknya.
Dengan kata lain, Tugas reporter yang bekerja pada media yang terkonvergensi
bertambah. Reporter di masa konvergensi dituntut harus mencari dan menuliskan berita
secara komprehensif dimana tidak hanya sekedar informasi saja yang dibutuhkan tetapi juga
foto dan video. Selain itu, reporter dituntut harus mampu menghasilkan foto, video, dan
infografis untuk melengkapi hasil liputannya. Selain itu, reporter juga harus mampu
melaporkan berita dalam beberapa format penulisan, sekarang ini dapat dicontohkan adanya
media yang menyajikan informasi di TV, website, dan tidak lupa penggunaan media sosial
seperti Instagram, Youtube, dan portal yang dimiliki oleh industri media, seperti Vidio.com
(Indosiar), Zulu.id (NET.TV), Okezone.com (MNC Group). media juga dituntut untuk
menyajikan berita dengan menarik sehingga dapat menarik perhatian pembaca atau
penontonnya.
Menjadi seorang wartawan saat ini memang untuk bisa melakukan segala hal. Dan
dengan tuntutan tersebut, ‘seharusnya’ gaji atau pendapatan setara dengan apa yang wartawan
tersebut jalani atau lakukan. Jika perusahaan media memberikan gaji rendah kepada
wartawan tidak menutup kemungkinan wartawan akan membuat berita yang tidak berkualitas
(Waluyo, 2018). Salah satu faktor penentu berkualitasnya suatu berita ialah wartawan itu
sendiri. Dalam Samiyah et al. (2018) menyebutkan bahwa isu kesejahteraan menjadi isu
penting yang hangat dibicarakan sejak sepuluh tahun terakhir. Sebagai seorang wartawan,
mereka membutuhkan pendapatan yang sesuai dan setara untuk menopang hidup mereka
sendiri dan juga beberapa anggota keluarga yang lain. Selain gaji yang sesuai, Samiyah et al.
(2018) menyebutkan bahwa
Upah jurnalis juga berkaitan dengan kesejahteraan jurnalis, di mana isu kesejahteraan
jurnalis ini juga merupakan isu penting salah satunya di Indonesia. Aliansi Jurnalis Indonesia
(AJI) menjadikan isu kebebasan pers dan profesionalisme jurnalis menjadi kampanye yang
penting. Salah satu yang ada di kampanye tersebut ialah upah layak untuk jurnalis. (Malayu,
2000:2) untuk menopang hidup, wartawan membutuhkan pendapatan upah.
Upah yang diberikan kepada jurnalis ialah Standar Upah Minimum (UMK) dan Upah
Minimum Provinsi (UMP), keduanya masih dijadikan patokan untuk menggaji para jurnalis.
Di Kota Jakarta sendiri dilansir dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), bahwa penetapan
upah layak jurnalis pemula di Kota Jakarta pada tahun 2018. Jurnalis pemula ialah jurnalis
yang baru diangkat menjadi jurnalis tetap atau masa kerja tiga tahun pertama. Besaran upah
layak adalah sebesar Rp. 7.963.949. Upah layak yang diberikan merupakan gaji pokok yang
ditambah dengan tunjangan-tunjangan setiap bulannya.
(Tirto, 2020) merilis survei yang dilakukan pada tahun 2019 mengenai upah jurnalis
kepada 144 jurnalis dan 37 media di Kota Jakarta. Survei yang dilakukan pun ditujukan untuk
para jurnalis dengan masa kerja di bawah tiga tahun. Didapatkan dari survei yang dilakukan
bahwa upah terendah jurnalis berada di angka Rp. 2.300.000 dan upah tertinggi berada pada
angka Rp. 8.400.000. Upah layak yang seharusnya diberikan kepada para jurnalis ibu kota
pada Januari 2020 ialah sebesar Rp. 8.793.000. (Warta Ekonomi, 2020) memaparkan hal
tersebut, juga menambahkan bahwa upah layak tersebut telah dipertimbagkan mulai dari
komponen kebutuhan kerja dan hidup jurnalis itu sendiri.
Pemberian upah yang layak menjadi salah satu hal yang penting, yang harus
dilakukan dengan tepat dan diperhatikan. Upah layak yang diberikan oleh perusahaan media
kepada jurnalisnya dapat membentuk kualitas jurnalis yang baik dan juga lebih baik. (Manan,
2017:8) menyebutkan pengupahan yang layak memang bukan jaminan jurnalis bersikap
profesional, namun dengan pengupahan yang layak dapat menjadikan jurnalis bekerja lebih
profesional. Tanpa pemberian upah yang layak, jurnalis bisa saja mengabaikan kode etik
yang ada atau bahkan menerima suap sehingga dapat mengakibatkan independensi jurnalis.
Di samping upah terdapat permasalahan mengenai jam kerja yang telah ditetapkan
untuk para jurnalis. Selain dituntut untuk membuat berita yang berkualitas, jurnalis juga mesti
bergulat dengan jam kerja yang tidak menentu. Disebutkan dalam Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tahun 2004 bahwa seseorang dikatakan lembur
bila waktu kerja melebihi 8 jam sehari, 40 jam dalam satu minggu. Namun, di Indonesia
masih banyak jurnalis yang bekerja lebih dari 8 jam sehari.
Perusahaan media seharusnya dapat memberikan solusi untuk para jurnalis yang
bekerja lebih dari 8 jam tetapi upah yang diberikan tidak sebanding. Jam kerja ini akan
memicu produktivitas jurnalis, ketika jurnalis dituntut untuk bekerja secara terus-menerus
untuk memenuhi kebutuhan khalayak, maka tidak waktu yang dipergunakan untuk istirahat
sehingga kesehatan pun akan terganggu. Lalu bagaimana dengan tunjangan kesehatan bagi
para jurnalis? Apakah sudah terpenuh? Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) mendesak para
perusahaan media untuk menjamin kesehatan dan keselamatan jurnalis, khususnya di masa
pandemi seperti ini. (Media Indonesia, 2021). Akan lebih berisiko jika pada masa sekarang
ini jurnalis bekerja
Seperti yang tertulis dalam pasal 77 ayat (2) UU No.13/2003 di mana telah ditetapkan
dua alternatif pola waktu kerja yang dapat dipilih oleh para pihak pekerja di mana nantinya
kedua pola waktu kerja tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan azas kebebasan
berkontrak, hal tersebut terdapat pada pasal 1338 KUHP Perdata. Dalam pasal tersebut di
antaranya terdapat ketentuan umum yang harus diperhatikan ialah kurun waktu kerja secara
efektif dalam sehari ialah maksimum 8 jam dengan kumulatif waktu kerja dalam seminggu
adalah 40 jam.
Dalam PK dan PP/PKB (pasal 77 ayat (2) dan pasal 79 ayat (2) huruf b jo. Pasal 85
ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13/2003, di mana semua hari (Senin sampai dengan Minggu)
termasuk ke dalam hari kerja kecuali hari libur nasional. Jika terjadi pekerjaan yang melebhi
ketentuan waktu kerja normal maka wajib dibayarkan upah kerja lembur.
(Tempo, 2017) terdapat pemberitaan mengenai jam kerja jurnalis. Di mana ketika
jurnalis bekerja lebih dari 8 jam dianggap menjadi sebuah bentuk kemunduran oleh Aktivis
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi). Hal tersebut diliput
ketika Hari Buruh Internasional. Salah satu narasumber bernama Luvi menyatakan bahwa
terdapat banyak jurnalis yang kelebihan jam kerja dan tidak mendapatkan uang lembur di
mana terdapat mitos bahwa ketika jurnalis pulang setelah melewati kurun waktu 8 jam
bekerja maka ia adalah seorang pemalas dan tidak profesional.
Hal-hal tersebut melekat, yang seharusnya tidak dibelokkan menjadi pemikiran seperti
itu. Sesuai aturan yang ada, bahkan terdapat pada Undang-Undang Ketenagakerjaan bahwa
batas waktu kerja ialah 8 jam perhari di mana jurnalis dan media tempat ia bekerja pun harus
memperhatikan hal tersebut. Dapat disimpulkan bahwa di masa perkembangan teknologi
yang sudah melesat ini, media menjadi salah satu peran terpenting yang hadir untuk
masyarakat.
Kini, media menyuguhkan berita dan informasi yang sesuai dengan kemauan
khalayak sehingga perusahaan akhirnya menumpahkan beban tersebut kepada jurnalis yang
harus selalu memenuhi permintaan khalayak secara cepat. Dengan hadirnya teknologi seperti
sebenarnya memudahkan jurnalis untuk menghasilkan berita-berita yang berkualitas. Tetapi
ternyata, perusahaan media justru dengan cerdas memanfaatkan kecanggihan teknologi
dengan menuntut jurnalis untuk bisa melakukan segala hal. Saat ini jurnalis tidak hanya harus
menghasilkan berita yang berkualitas tetapi juga harus bisa menggunakan perangkat
penunjang informasi yang akan diberikan kepada khalayak. Media menjadikan jurnalis
sebagai robot untuk menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Marx, Karl. (1973) The Grundrisse: Foundations of the Critique of Political Economy. Trans.
Martin Nicolaus. Harmondsworth: Penguin.
Lefebvre, Henri (1979) ‘Space: Social product and use value’, in J.W. Freiberg (ed.), Critical
Samiyah, David Rigar Nugroho, dan Dwi Rini Sovia. (2018). Hubungan Antara Faktor
Kesejahteraan Profesi dan Persepsi Jurnalis Harian Pagi Radar Bogor. Jurnal Penelitian
Sosial Ilmu Komunikasi 3(1).
Sunarni. (2018). Alienasi Kerja Jurnalis dalam Industri Media Kapitalis di Indonesia. Thesis.
Semarang: Universitas Diponegoro. 1-13
Hasan, K. (2009). Kapitalisme, Organisasi Media dan Jurnalis Perspektif Ekonomi Politik
Media. Jurnal online Dinamika Fisip Unbara Palembang. 2(3).
Eksploitasi Jurnalis: Upah Murah & Telat hingga Korban Kekerasan. (27 Januari 2020).
Tirto.id. Diakses dari https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/eksploitasi-jurnalis-upah-
murah-telat-hingga-korban-kekerasan-eu7q
Online, R. W. E. (2020, January 26). Rilis Upah Layak 2020, AJI Tetapkan Gaji Wartawan
Pemula Harusnya Naik Rp300 Ribu. Warta Ekonomi. Retrieved November 15, 2021, from
https://www.wartaekonomi.co.id/read268532/rilis-upah-layak-2020-aji-tetapkan-gaji-
wartawan-pemula-harusnya-naik-rp300-ribu
Bambani, Arfi; Manan, Abdul. (2016). Keberagaman Diberangus, Kebebasan Ditindas.
Laporan Tahunan AJI 2016. Jakarta. Aliansi Jurnalis Independen.
Rappler.com. (2017, May 1). Tuntutan pekerja media di Hari Buruh Internasional. Rappler.
https://www.rappler.com/world/bahasa-indonesia/tuntutan-pekerja-media-hari-buruh
Duh, Eksploitasi Jurnalis di Era Cyber. (9 Februari 2020). Cyberthreat.id. Diakses dari
https://cyberthreat.id/read/5173/Duh-Eksploitasi-Jurnalis-di-Era-Cyber