Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut paham demokrasi. Dimana
dengan paham tersebut kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini,
semua masyarakat mendapatkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan karena setiap
warga negara mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Di Indonesia sendiri, terdapat
sarana yang dapat digunakan untuk mengungkapkan pendapat. Sarana tersebut salah satunya
adalah melalui pers. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran,
ide-ide maupun pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas
dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan
salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis pula.

Babak baru dalam dunia pers datang ketika keruntuhan kekuasaan rezim presiden Soeharto
pada tahun 1998. Hal tersebut dianggap sebagai suatu pencerahan bagi rakyat yang menginginkan
suatu reformasi dari segala bidang mulai dari ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang sempat
terbelenggu oleh rezim orde baru. Tumbuhnya kebebasan pers pada masa reformasi merupakan
angin segar bagi masyarakat. Karena kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi
kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Sehingga saat ini, pers di
Indonesia sudah bebas bahkan dapat dikatakan pula menjadi sudah sangat bebas. Hal ini dapat kita
lihat salah satunya adalah dari media yang mengekspos kehidupan pribadi seseorang yang
sebenarnya tidak perlu dipublikasikan. Selain itu, kita juga dapat mengamati berbagai pendapat dari
masyarakat yang jika kita telaah karena kebebasan pers, malah menjadi masalah baru dan juga
dapat meresahkan masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, penyusun tertarik untuk membuat makalah dengan judul


“Kebebasan Pers: Antara Anugrah dan Musibah” dimana dengan adanya kebebasan pers, hal
tersebut seolah menjadi seperti bumerang untuk masyarakat.

1.2.       Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, masalah utama yang ingin
penyusun kaji dalam penyusunan makalah ini adalah mengenai “kebebasan pers”. Agar
permasalahan yang dikaji tidak meluas, maka penyusun membatasi danmerumuskannya ke dalam
beberapa pertanyaan. Adapun rumusan masalah yang akan penyusun uraikan adalah sebagai
berikut:

1.2.1.      Bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru?

1.2.2.      Bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru?


1.2.3.      Bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap
kehidupan  masyarakat di Indonesia?

1.3.       Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka  tujuan yang


ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.3.1.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa Orde Baru;

1.3.2.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pers pasca runtuhnya pemerintahan


Orde Baru;

1.3.3.      Untuk mengetahui bagaimana dampak kebebasan pers pada masa reformasi terhadap


kehidupan  masyarakat di Indonesia.

1.4.Metode Penelitian

Mengenai metode dan teknik penyusunan, disini penyusun menggunakan metode


historis yang terdiri dari:

1.4.1. Heuristik

1.4.2. Kritik

1.4.3. Interpretasi, dan

1.4.4.  Historiografi

Dalam tahap heuristik, penyusun memulainya dengan mengumpulkan berbagai literatur


ataupun sumber yang relevan dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari sumber lain di
Internet. Hal ini dilakukan agar penyusunan makalah ini sesuai dengan fakta-fakta yang ada.

Pada tahap kritik, penyusun melakukan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern,
penyusun mengkaji bagaimana latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun penyusun
sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya serta profesinya. Hal ini dilakukan agar data yang
diperoleh itu benar-benar sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sedangkan kritik
ekstern, penyusun melakukan kritik mengenai bagaimana tahun terbit, dan apa penerbitnya.

Pada tahap interpretasi, penyusun menafsirkannya berdasarkan sumber-sumber yang


diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran yang dilakukan secara asal-asalan karena sesuai
dengan sumber yang diperoleh.

Yang terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil dari penyusunan makalah yang selama ini
dilakukan oleh penyusun setelah melalui berbagai tahap dari mulai heuristik sampai  kritik hingga
pada akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan penyusunan sejarah atau apapun yang telah kita
telaah atau teliti.
1.5.   Sistematika Penyusunan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang bagaimana latar belakang yang diungkapkan penyusun tentang
permasalahan yang dibahas. Dimana disini penyusun mengungkapkan latar belakang munculnya
kebebasan pers di Indonesia. Bab ini juga terdiri dari tujuan penelitian, metode penelitian yang
dignakan serta sistematika penyusunan yang digunakan penyusun sesuai dengan pedoman
penulisan makalah.

BAB II METODE PENELITIAN

Dalam bab ini, dijelaskan mengenai metode yang digunakan penyusun ketika menyusun
makalah ini. Disini penyusun menggunakan metode Historis  yang diantaranya meliputi heuristik,
kritik, interpretasi dan proses penyusunan (historiografi) mengenai fakkta-fakta yang didapat dari
berbagai literatur.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini penyusun menjelaskan mengenai perkembangan pers pada masa orde baru,
reformasi, dan dmpak dari kebebasan pers di Indonesia bagi masyarakat.

BAB IV STUDI KASUS

Dalam bab ini, penyusun membahas kasus yang berkaitan dengan kebebasan pers dan
kemudian penyusun analisis sebagai sebuah fenomena yang terjadi setelah munculnya kebebasan
pers.

BAB V KESIMPULAN

Dalam bab ini penyusun mengemukakan bagaimana kesimpulan atas permasalahan yang di


ungkap oleh penyusun dalam penyusunan makalah ini.
BAB II

METODE PENELITIAN

Setelah pembahasan mengenai pendahuluan dan kajian pustaka, maka


selanjutnya penyusun akan menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan
oleh penyusun. Disini penyusun menggunakan metode historis melalui studi literatur
sebagai teknik dari penelitian. Metode ini digunakan karena sumber yang didapatkan
oleh penyusun merupakan sumber dari masa lalu dan untuk mengkajinya, maka lebih
cocok menggunakan metode historis ini. Menurut Helius Sjamsuddin (2007: 17-
19),metode historis yaitu suatu proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan
secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau. Gottschalk juga
menjelaskan bahwa metode historis merupakan proses menguji secara kritis rekaman
dan peninggalan masa lampau. Berdasarkan pendapat yang diungkapkan oleh
HeliusSjamsuddin dan Gottschalk, penyusunan makalah ini berupaya untuk mencoba
mencari kejelasan atas suatu gejala masa lampau untuk kemudian menemukan dan
memehami kenyataan yang bermakna untuk kehidupan sekarang dan mendatang.

Metode ini digunakan untuk mengkaji data dan fakta yang sudah penyusun
temukan dari berbagai literatur baik dari buku maupun dari artikel yang berasal dari
internet yang relevan dengan permasalahan yang dibahas oleh penyusun. Berdasarkan
uraian tersebut, penyusun melakukan langkah-langkah penting dalam penyusunan
makalah ini. Lahkah-langkah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Heuristik, yaitu kegiatan mengumpulkan sumber-sumber baik berupa tertulis maupun


lisan untuk bahan penyusunan makalah ini.

2.      Kritik, yaitu menguji dan menilai keotentikan data yang didapatkan apakah sesuai
dengan masanya atau tidak.

3.      Interpretasi, yaitu menetapkan makna atau penafsiran tentang suatu kejadian dimasa
lampau berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan.

4.      Historiografi, proses penyusunan laporan dari seluruh rangkaian penyusunan makalah


ini.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penyusun membagi tahap-tahap dalam


metode penyusunan ini, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan laporan penyusunan
penyusunan makalah ini.

3.1.  Persiapan Penyusunan Makalah

Proses ini merupakan langkah awal dalam Penyusunan Makalah. Pada tahap ini,
penyusun  mendapatkan tema dari dosen mata kuliah Sejarah Orde Baru dan Reformasi
untuk menulis makalah mengenai kebebasan pers pada masa reformasi. Karena tugas
ini merupakan tugas yang dilakukan secara kelompok, maka setelah diberikan tema
kami sebgai penyusun pun berdiskusi mengenai bagaimana teknik pengerjaan dan
pembagiaan tugasnya. Setelah itu, penyusun melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu
pelaksanaan dan penyusunan makalah.

3.2.  Pelaksanaan Penyusunan

Pelaksanaan penyusunan merupakan tahap penting dari proses penyusunan karya makalah
ini. Dalam tahapan ini, terdapat serangkaian langkah-langkah yang harus dilakukan berdasarkan
metode historis yang terdiri dari Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.

1.2.1.    Heuristik

Dalam tahap heuristik, penyusun memulainya dengan mengumpulkan berbagai


literatur ataupun sumber yang relevan dengan mengunjungi perpustakaan dan mencari
sumber lain di internet. Hal ini dilakukan agar penulisan makalah ini sesuai dengan
fakta-fakta yang ada. Untuk lebih jelasnya, perpustakaan yang penyusun kunjungi
adalah sebagai berikut:

1.2.1.1.     Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

     Kunjungan ke perpustakaan ini dilakukan dimulai dari bulan November-


Desember 2012. Adapun buku-buku yang penyusun temukan antara lain adalah
buku karya Jacob Oetama yang berjudul Perspektif Pers Indonesia dan buku Pers Orde
Baru karya Rizal Mallarangeng.

Selain melakukan kunjungan ke perpustakaan, dalam mencari sumber penyusun


juga menggunakan artikel dari berbagai situs di internet. Selain itu, penyusun juga
menemukan berbagai buku yang didapatkan dari google book yang kemudian penyusun
download. Sumber yang penyusun dapat kemudian penyusun kaji dan bandingkan
sehingga diperoleh pokok permasalahan yang akan penyusun angkat.

1.2.2.      Kritik

Pada tahap kritik, dilakukan kritik intern dan ekstern. Dalam kritik intern, dikaji
mengenai bagaimana latar belakang dan ideologi dari pengarang ataupun penulis
sumber itu, kemudian bagaimana pendidikannya serta profesinya. Namun, dikarenakan
buku yang penyusun dapatkan merupakan buku hasil download dari google book, maka
penyusun tidak mendapatkan informasi mengenai riwayat hidup dari penulis buku
tersebut. Sehingga penyusun tidak dapat melakukan kritik intern. Sedangkan kritik
ekstern, penyusun melakukan kritik mengenai tahun terbit, dan apa penerbitnya.

1.2.3.      Interpretasi
Pada tahap interpretasi, penyusun menafsirkannya berdasarkan sumber-
sumberyang diperoleh. Jadi tidak ada penafsiran yang dilakukan secara asal-asalan
karena sesuai dengan sumber yang diperoleh.

1.2.4.     Historiografi

Yang terakhir adalah mengenai historiografi. Hasil dari penyusunan makalah


yang selama ini dilakukan oleh penyusun setelah melalui berbagai tahap dari mulai
heuristik sampai  kritik hingga pada akhirnya akan ditulis. Historiografi merupakan
penyusunan sejarah atau apapun yang telah kita teliti atau telah kita telaah.

3.3.  Laporan Penyusunan (Historiografi)

Langkah ini merupakan langkah akhir dari pembuatan makalah ini. Teknik
penyusunan yang digunakan oleh penyusun mengacu pada sistem Harvard.
Penggunakan sistem ini digunakan oleh penyusun karena disesuaikan dengan
penyusunan dalam buku pedoman karya tulis ilmiah yang dikeluarkan oleh UPI.
BAB III

MEDIA MASSA

Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun1920-an untuk


mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat
luas (Wikipedia, 2012). Menurut UU No. 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia
(http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa, diunduh 03 November 2012).

Menurut Oemar Seno Adji pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran,


gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis. Sedangkan pers dalam arti luas, yaitu memasukkan
di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan
seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan. Berbeda dengan Oemar, Kustadi
mengatakan bahwa pers adalah seni atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah,
menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam
rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya (Wikipedia, 2012).

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan
bahwa pers merupakan sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk mengemukakan pendapat,
berekspresi maupun menyampaikan ide-ide ataupun gagasan untuk diinformasikan kepada
masyarakat luas. Dengan kata lain, pers dapat dikatakan sebagai kurir ataupun jendela penghubung
pemikiran antar masyarakat.

4.1.       Pers Pada Masa Orde Baru

Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Indonesia dibawah rezim Orde Baru
pernah mengenal satu periode di mana pers bersikap sangat kritis terhadap berbagai kebijaksanaan
pemerintah dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Pers berani mengkritik penyalahgunaan
kewenangan kekuasaan, membongkar korupsi yang merajalela di tubuh negara, serta mengecam
ketidakadilan. Namun, daya kritis dan kebebasan pers tersebut justru menumbuhkan frustasi pada
masyarakat. Karena, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie dalam sebuah artikel yang ditulisnya di
harian Indonesia Raya tahun 1969 (http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-
sekarang-untuk-berperang/, diunduh 11 November 2012) daya kritis dan kebebasan pers waktu itu
memungkinkan masyarakat mengetahui secara lengkap dan dalam berbagai penyimpangan dan
penyalahgunaan kekuasaan serta sekaligus memungkinkan masyarakat menyampaikan kritikan dan
kecamannya. Namun, kritikan dan kecaman masyarakat tersebut tidak ditanggapi secara positif oleh
pemerintah melalui perubahan yang nyata dan sungguh-sungguh sehingga mengakibatkan
kekecewaan dan keputusasaan masyarakat. Dunia pers yang seharusnya menyambut kebebasan
pada masa orde baru, namun pada kenyataannya pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah.
Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Ketika ada yang
menerbitkan hal tersebut, maka media massa itu akan mendapatkan peringatan keras dari
pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.

Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa
penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan
tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga
pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik (http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-
dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/, diunduh 11 November 2012).

Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No.
1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah
penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung
ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya.
Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers
seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.

Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada
tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai
menentang pemerinTah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan
Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, Detik, dan
Editor (ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37, diunduh 14 November
2012).

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pers mengalami depolitisasi pers. Dengan
kata lain, pada masa orde baru tersebut segala penerbitan yang dilakukan media massa berada
dalam pengawasan pemerintah. Bila pers itu ingin tetap ada, maka pers harus memberitakan hal-hal
yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk
mempertahankan kekuasaannya.

4.2.       Pers Pada Masa Reformasi

Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan. Pada masa ini terbentuk UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan
dipermudahnya pengurusan SIUPP dan semua bebas mengemukakan pendapatnya tanpa harus
mengurus SIUPP dan peraturan yang lain (https://www.isomwebs.com, diunduh 14 November
2012).

Dengan transparansi dan demokartisasi serta terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun


1999 tentang Pers dan Undang-undang Nomor 32 tentang penyiaran, hal tersebut dapat
memberikan peluang seluas-luasnya bagi kemerdekaan pers Indonesia, sehingga pers tidak lagi
merasa khawatir untuk dicabut ijinnya, meskipun informasi datang dari berbagai penjuru tidak lagi
satu arah sebagaimana pada masa orde baru (http://www.tni.mil.id/view-43381-
kebebasan+pers+di+era+reformasi.html, diunduh 28 November 2012).

Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumna pada latar belakang masalah bahwa saat ini, kehadiran pers
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan
rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan
menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi
pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan
penyelenggara negara.

Menurut Anwar Arifin (www.balitbang.depkominfo.go.id/.../..,  diunduh 10 Desember 2012)


didalam tonggak perjalanan sejarah pers di Indonesia, tercatat sejak Era Reformasi, media massa
memiliki kebebasan yang luas terutama dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap jalannya
pemerintahan. Sejalan dengan itu, penerbitan pers tidak perlu lagi memiliki izin (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers-SIUPP) dan tidak lagi dikenal adanya sensor dan pembredelan .Hal ini sesuai dengan
ketentuan dan jiwa dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa pers memiliki
kebebasan meskipun seringkali terasa bahwa suratkabar, tabloid dan majalah yang
menyalahgunakan kebebasan itu.

Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri ditengah
kebebasan politik yang baru diperolehnya. Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang politik
saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers yang fondasinya telah dipasang sejak
berlakunya UU Nomor 21 Tahun 1982 melalui ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau
SIUPP pasal 13 ayat 5.  Sehingga, tidak heran jika setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun
1998, industri media di Indonesia meningkat dengan tajam. Ratusan surat kabar dan tabloid terbit
tanpa harus memakai SIUPP setelah keharusan ini dicabut oleh Menpen pada tahun itu
juga mekanisme pasar bebas sukar dihindari lagi dalam industri pers nasional, sekaligus mengakhiri
kontrol penguasa terhadap pers.

Dr.Ibnu Hamad (2004: 66) mengidentifikasi fenomena pertumbuhan media massadalam era


Reformasi di Indonesia terdapat dalam 3 pemikiran. Pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya
pers industri dengan menggeser gejala pers idealis. Kedua, mengundang para pemodal untuk masuk
ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka, dan ketiga memunculkan kelompok-
kelompok usaha penerbitan pers.

Dengan datangnya gelombang reformasi,di mana pers telah dibebaskan dari belenggu
politik, ketiga kecenderungan itu semakin kuat. Media makin leluasa mengekspresikan keyakinan
politiknya tanpa harus merasa terancam usahanya dicabut SIUPP. Banyak media dalam
pemberitaannya terkesan terbuka luas bagi tokoh-tokoh dan partai politik, baik yang didukung
maupun yang diserangnya. Kepentingan politik media lantas berbaur dengan kepentingan
usaha dari media tersebut sehingga berita yang disajikan pers kadangkala merupakan berita yang
disajikan untuk meraih keuntungan semata dan dikomersilkan.
4.3.       Kebebasan Pers dan Dampaknya terhadap Kehidupan Masyarakat Indonesia

Kebebasan pers dalam bahasa Inggrisnya disebut  freedom of opinion and


expression  dan  freedom of the speech.  John C. Merril
(http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-pers-di-indonesia/,
diunduh 14 November 2012) merumuskan kebebasan pers sebagai suatu kondisi riil yang
memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan mengerjakan tugas sesuai
keinginan mereka. Bebas dari negatif dan bebas dari positif. Bebas artinya kondisi seseorang yang
tidak di paksa melakukan sesuatu.

Kebebasan pers mulai didapatkan setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada
saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya
yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang
menguntungkan bagi masyarakat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan
memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan
memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau
mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.

Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya,
antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam
mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak
dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa
juga menjadi ciri baru pers Indonesia.

Dalam sebuah negara yang demokratis, Pers yang bebas merupakan salah satu komponen
yang paling esensial dari masyarakat, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang
baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang
penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap
publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan
benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita dengan se-objektif mungkin, hal
ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi
tentang jalannya pemerintahan.

Masalah baru muncul ketika kebebasan pers telah kebablasan. Hal ini terlihat darii
pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakat dan kepentingan pers
untuk mengejar tingkat oplah. Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang
sensasional, sangat partisipan, dan yang kurang obyektif. Selain itu, pada level etis kemanusiaan
kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih
mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri.

Emilianus (http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-
reformasi/, diunduh 26 November 2012), juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihat dari
kebebasan pers (liberal) yang dinilai menafikan nilai human being dan telah merongrong keutuhan
ruang privat manusia. Dari fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap
kebebasan pers yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya
moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga muncullah tuntutan
masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang provokatif, sensasional dan
komersil dalam menyajikan informasi. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan
berita politik dan hiburan baik berupa seks ataupun yang lainnya. Sungguh ironi, dalam sistem politik
yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang
dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat
media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan
tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan
hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan
pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Padahal
seharusnya peran pers saat ini dapat menyelesaikan kesenjangan komunikasi politik antara
masyarakat dan pemerintah. Karena, disinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk
menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik antara yang berkuasa dengan
masyarakatnya dapat berjalan. Namun masa Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers,
tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan juga dampak yang diakibatkan dapat
meresahkan masyarakat(http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-
dan-reformasi/, diunduh 26 November 2012).
BAB IV

STUDI KASUS

Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa
dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru
cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik
penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.

Hal tersebut senada dengan ungkapan Amir Purba (2006) yang mengatakan bahwa kehidupan
pers setelah reformasi mengalami perubahan yang besar. Secara yuridis, perubahan ini ditandai oleh
lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berbeda jauh dengan rezim sebbelumnya,
di mana pers dikunci, dibredel serta terjadi monopoli oleh kekuasaan yang sedang berdiri. Masih
menurut Purba, khususnya pada masa Orde Baru, ada beberapa ciri kuatnya intervensi Negara
kepada pers, yakni:

1.        Pers menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan
ekonomi, dengan didominasi subyek negara.

2.        Kecenderungan pers lebih berat ke sisi negara dilakukan dengan cara lebih memilih
realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.

Maka ketika keran reformasi dibuka, pers mendapat nafas baru untuk menarik
udara serta menghelanya pada publik. Demokratisasi Negara, dengan amandemen
UUD 1945 serta disahkannya banyak UU yang dianggap demokratis, secara seiring
membentuk pola masyarakat baru, yang siap menerima informasi dari mana saja dan
kapan saja. Terutama karena terlibatnya Indonesia pada era globalisasi; di mana akses
yang cepat pada informasi (dengan fasilitas internet), maka kebebasan pers menjadi
kata kunci dalam demokratisasi Indonesia. Namun, kebebasan seperti apa yang
dimaksud? Setidaknya ada empat konsep pers yang dikemukakan oleh Purba (2006),
yakni:

“Pers Otoriter (The Authoritarianism Press), Pers Komunis (The Communism Press),
Pers Liberal (The Libertarianism Press), dan Pers Tanggung Jawab Sosial (The Social
Responsibility Press). Pada Pers Otoriter negara melakukan pengawasan atau kontrol
terhadap pers untuk menjaga agar aktivitas mereka tidak menyimpang dari kepentingan-
kepentingan negara; sementara pada Pers Komunis, pers ditempatkan sebagai organ
negara sehingga keberadaan mereka tergantung kepada negara. Pers Liberal,
menempatkan pers sebagai lembaga yang independen, otonom, dan bebas dari negara;
sedangkan Pers Tanggung-jawab Sosial yang lahir sebagai konsekuensi dari Pers
Liberal menempatkan kepentingan masyarakat sebagai tujuan utama, di mana
kebebasan pers, peranan negara, hukum, dan lain-lain berpedoman kepada
kepentingan masyarakatnya.”
Dari keempat konsep pers di atas, kita tentunya telah melewatinya terutama pada
fase otoriter. Namun, yang sama-sama publik harapkan adalah bagaimana pers yang
memiliki tanggung jawab secara social, yakni pada konsep keempat. Pers Tanggung
Jawab Sosial, adalah sebuah konsep pers di mana pers tidak hanya bekerja untuk
dirinya sendiri, apalagi hanya sentralistik pada Negara. Ia tak hanya berperan aktif
pada  penyebaran informasi, namun juga memikirkan apa yang akan diberikan pada
public terkait informasi tersebut. Maka, kata kunci perbedaan antara Liberal dan
Tanggung Jawab Sosial adalah, penyebaran nilai yang terkandung pada informasi
tersebut. Sehingga masyarakat tak hanya tahu (know) soal informasi, namun juga
paham bagaimana perlakuan terhadap dan setelah mendapat informasi tersebut.

Saptohadi (2011) mengemukakan prinsip- prinsip dari konsep pers ini, yakni:

1.        Media memiliki kewajiban tertentu kepada masyarakat

2.        Kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional
tentang keinformasian, kebenaran, objektivitas, keseimbangan dan sebagainya

3.        Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media dapat seyogyanya


mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.

4.        Media seyogyanya menghindarkan segala sesuatu yang mungkin menimbulkan


kejahatan yang mengakibatkan ketidaktertiban umum atau juga penghinaan terhadap
minoritas etnik dan agama.

Era reformasi, memungkinkan kemudahan dalam penerbitan SIUPP. Kemudahan


ini mengakibatkan munculnya banyak media. Saptohadi (2011) mengambil data
dari Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada tahun 1999, jumlah penerbitan adalah
1687, melonjak ketika dibandingkan pada tahun 1997 hanya berkisar 289 penerbitan.

Namun, kuantitas ini tidaklah bebas kritik. Selanjutnya Saptohadi menuliskan:

“Kritikan itu sangat variatif, ada yang menyoroti kelemahan- kelemahan dalam proses
pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masyarakat dan
kepentingan (tingkat oplah) pers. Pihak pers dinilai cenderung mengutamakan konsep
berita yang kurang objektif, sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis
kemanusiaan kebebasan pers itu dinilai telah mengangkangi nilai dan norma moral
kemasyarakatan dan telah meruntuhkan kaidah jurnalistik itu sendiri.”

Pers kemudian berdiaspora bak jamur. Seperti mendapat momentumnya, pers


bermunculan tak hanya membawa kepentingan politik tertentu, namun juga ideologis
yang mendekati sektarian. Setidaknya studi yang dilakukan oleh Rahmat Saleh seperti
dikutip Purba (2006), terhadap isi surat kabar Media Indonesia, yakni :
1.      Media Indonesia kental memperlihatkan ideologi pemilik –Surya Paloh– dalam
konstruksi teks. Penerjemahan ideologi dilakukan dengan “patuh” dalam aktivitas rutin
media (media routine) dan menjadi panduan dalam referendum Aceh;

2.      Kepentingan terhadap aspirasi ini dominan ditampilkan dalam berbagai jenis teks mulai
editorial sebagai ruang pribadi (private space), berita, komentar pembaca, dan artikel
opini sebagai ruang publik.

3.      Eksekusi teks tersebut mengindikasikan rendahnya peran media sebagai ruang publik,
seperti akses publik non-elite yang minim, ketimpangan kedudukan publik dalam diskusi
isu, strategi pemberitaan dengan pendekatan talking news, rendahnya keberlakuan
obyektivitas pemberitaan, konstelasi sikap publik yang tidak berimbang, serta tendensi-
tendensi sikap media yang misleading. Semua rangkaian eksekusi teks tersebut
memiliki motif baik ekonomi maupun, khususnya yang terlihat jelas, “kepentingan
ideologis”.

Selain kepentingan politik, juga yang bersifat ideologis. Ini dikemukakan oleh Febri
Ichwan Butsi dalam studinya terhadap majalah Sabili dan Tempo dalam kasus Bom Bali,
seperti dikutip oleh Purba (2006) :

“Frame kedua majalah sangat berbeda. Majalah Sabili memaknainya sebagai masalah


kepentingan politik, sedangkan Tempo sebagai masalah moral dan hukum.”

Corak ideologi media sangat berpengaruh. Majalah Sabili sebagai majalah Islam


bersikap positif terhadap Islam dan Indonesia, dan negatif terhadap Amerika Serikat.
Majalah Tempo, sebagai majalah umum yang mengusung jurnalisme sastra dan
reportase investigatif lebih bersikap hati-hati memaknai kasus bom Bali.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, penyusun mendapatkan tiga


kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah tersebut. Adapun kesimpulan yang
didapat oleh penyusun adalah sebagai berikut:

Pertama, pada masa orde baru kebebasan pers cenderung merupakan


kebebasan yang semu dimana terdapat kebebasan pers namun kebebasan tersebut
harus tunduk terhadap pemerintah. Pada masa ini, terdapat teori yang pas untuk
mengungkapkan kondisi ini. Teori tersebut adalah teori pers otoriter, dimana teoriberasal
dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolut. Dalam teori ini, penetapan
tentang hal-hal yang benar dipercayakan hanya kepada segelintir orangyang mampu
memimpin. Jadi dengan kata lain pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari atas ke
bawah dimana pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada
negara. Dalam teori pers otoriter ini disebutkan bahwa para penerbit diawasi melalui
paten-paten, izin-izin terbit dan sensor. Konsep ini  menetapkan pola asli bagi sistem
pers Indonesia pada masa orde baru.

            Kedua, pada masa reformasi kebebasan pers mulai menggeliat seolh bangun dari tidurnya.
Pada masa ini, teori yang pas dalam menggambarkn kondisinya adalah teori pers libertarian atau
teori pers bebas. Dalam teori ini, pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian
kebenaran. Pandangan dalam teori ini, pers perlu mengawasi pemerintah.Oleh karenanya, pers
harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua
gagasan harus memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan
dapat dipercaya akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap. Teori ini paling banyak
memberi landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Disini pers bebas paling banyak
memberi informasi dan hiburan,namun pers bebas juga sedikit mengadakan kontrol terhadap
pemerintah. Dalam perusahaan pers yang menganut teori pers bebas, sebagian besar aturan yang
ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemilik modal.

Ketiga, praktik kebebasan pers di Indonesia pada pada setiap periode zamannya selalu
mengikuti politik penguasa. Pada masa Orde Baru, system pers yang berjalan adalah
otoritarian, meskipun secara formal disebut sebagai pers bebas dan bertanggungjawab. Tetapi
bertanggung jawab kepada penguasa, bukan kepada masyarakat. Didalam era
Reformasi, melalui euphoria kebebasan politik berdampak pada praktik kebebasan pers yang
luas. Banyak media surat kabar diterbitkan dan memakai pola pemberitaan yang bebas, sehingga
masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut. Namun dalam
praktiknya, kebebasan pers masih juga menemui hambatan. Hambatan yang kebanyakan merupakan
dampak dari kebasan pers yang sebeba-bebasnya dan tanpa terkendali. Sehingga, dengan
demikianpraktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers
sehingga tidak menjerumuskan dan tidak merugikan masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Bertens, K. (2008). Sketsa-Sketsa Moral: 50 Esai tentang Masalah Aktual. Jogjakarta: Kanisius

Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politil dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta: Granit

Mallarangeng, R. (2010). Pers Orde Baru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Masduki. (2003). Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jogjakarta: UII Pres Yogyakarta

Oetama,

J. (1989). Perspektif Pers Indonesia.  Jakarta: LP3ES

Wibowo, W. (2009). Menuju Jurnalime Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era
Mondial. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara

Sumber Internet

Anonim. (______). Kebebasan Pers. [online] Tersedia: http://www.isomwebs.com [14 November 2012]

Anonim. (2012). Pers Dulu Diperas Sekarang untuk Berperang. [online]


Tersedia:http://politik.kompasiana.com/2012/09/25/pers-dulu-diperas-sekarang-untuk-berperang/ [
11 November 2012]

Anonim. (______). Praktik  Kebebasan Pers Pada Era Reformasi Di Indonesia.[online]


Tersedia:ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/.../37 [14 November 2012]

Anonim. (______). Kebebasan Pers di Era Reformasi. [online] Tersedia:http://www.tni.mil.id/view-43381-


kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [28 November 2012]

Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [online]


Tersedia:http://media.kompasiana.com/buku/2012/09/25/kebebasan-pers/[28 Maret 2011]

Kompasiana. (2012). Kebebasan Pers. [online] Tersedia: http://www.tni.mil.id/view-43381-


kebebasan+pers+di+era+reformasi.html [05 Desember 2012]

 Pratiwi, S. (2011). Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia. [online]

Tersedia:http://septianapratiwi.wordpress.com/2011/02/10/sejarah-perkembangan-

 
pers-di-indonesia/ [14 November 2012]
Putra, A. F. (______). Jejak Pers di Masa Orba dan Reformasi. [online]
Tersedia:http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi/ [
26 November 2012]

Berikut ini adalah cuplikan isi dari Makalah peran pers dalam masyarakat demokrasi -
Makalah PKN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Salah satu ciri menonjol negara demokrasi adalah adanya kebebasan untuk berekspresi.
Kebebasan berekspresi dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti berkesenian,
menyampaikan protes, atau menyebarkan gagasan melalui media cetak. Media ekspresi dan
penyebarluasan gagasan yang banyak dikenal masyarakat adalah pers.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia, dunia pers tidaklah asing. Jauh sebelum
Indonesia merdeka, awal kemunculan pers merupakan alat perjuangan bagi seluruh komponen
masyarakat Indonesia dalam menyampaikan aspirasinya guna mencapai proklamasi
kemerdekaan. Paska-Proklamasi kemerdekaan 1945, peranan pers sangat besar sebagai alat
perjuangan dalam rangka menyebarluaskan informasi atau berita-berita ke seluruh pelosok
daerah Indonesia bahkan penjuru dunia. dalam perkembangannya di Indonesia, dunia pers
pernah mengalami pasang surut baik di era Liberal, Orde Lama, Orde Baru maupun Era
Reformasi. Pada kehidupan masyarakat demokratis, salah satu peranan penting pers adalah
sebagai penggerak prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, dan
menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki perikehidupannya. 
Pers juga mengemban misi sebagai salah satu alat kontrol sosial terhadap pemerintah, telah
mampu memberikan kontribusi guna melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan dalam
melaksanakan pemerintahan. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi pemberitaan yang menjurus
fitnah, setiap insane pers telah dibekali Kode Etik Profesi Wartawan Indonesia yang harus
dipatuhi. Kode Etik mencakup : 1. Kepribadian Wartawan Indonesia, 2. Pertanggung Jawaban, 3.
Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat, 4. Pelanggaran Hak Jawab, 5. Sumber berita, 6.
Kekuatan Kode Etik, dan 7. Pengawasan Penataan Kode Etik.
Era globalisasi dewasa ini telah memberi peranan yang lebih besar kepada dunia pers dalam
menggalang prakarsa dan kreativitas warga masyarakat melalui berbagai infrastruktur teknologi
informasi. Dunia pers dalam perspektif demokrasi telah menemukan jati diri dan dan
kebebasannya yang mampu menembus batas-batas Negara baik dalam bidang politik, ekonomi,
sosial-budaya, hokum, pertahanan keamanan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, memasuki era
globalisasi kita sebagai masyarakat demokrasi harus dapat mengevaluasi peranan pers dalam
masyarakat demokrasi.
Dengan alasan tersebut tugas makalah ini tercipta. Sehingga membuat kami terus berusaha dan
bekerja keras sebagai siswa dan generasi muda untuk menciptakan karya-karya yang kreatif
agar bisa diterima oleh semu orang serta melalui tugas ini kami berharap teman-teman dan para
pembaca lainnya dapat menerima tugas kami ini dengan baik dan selalu memberikan dorongan
kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. 

1.2. STANDAR KOMPETENSI


1.2.1. Mengevaluasi peranan pers dalam masyarakat demokrasi.

1.3. KOMPETENSI DASAR


1.3.1. Mendeskripsikan pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.
1.3.2. Menganalisis pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik dalam
masyarakat demokratis di Indonesia.
1.3.3. Mengevaluasi kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa
dalam masyarakat demokratis di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian, fungsi, dan peran serta perkembangan pers di Indonesia.

2.1.1. Pengertian Pers 


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pers adalah usaha percetakan dan penerbitan usaha
pengumpulan dan penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio, orang yang bergerak
dalam penyiaran berita, medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi
atau film.

Pers (press) atau jurnalisme adalah proses pengumpulan, evaluasi dan distribusi berita kepada
public. Sedangkan Kantor Berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media
elektronik atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas
dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media
komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan
informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada
orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam
pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses
percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan
sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.

Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang
tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan
bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah
daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lembaga-lembaga masyarakat lainnya

Pers sebagai Medium Komunikasi


Ditinjau dari kerangka proses komunikasi, pers tidak lain adalah medium (perantara) atau
saluran (channel) bagi pernyataan-pernyataan yang oleh penyampainya ditujukan kepada
penerima yaitu khalayak. Dalam proses komunikasi melalui media terdapat 5 unsur atau
komponen yang terlibat, yaitu (1) penyampai, (2) pesan, (3) saluran, (4) penerima, (5) efek. Pers
hanya sebagai saluran bagi pernyataan umum. Yang bertindak sebagai penyampai bukan
individu biasa seperti yang terdapat dalam komunikasi tatap muka, melainkan individu yang
bekerja pada surat kabar, majalah, studio radio, televisi, dan sebagainya. Dalam penyampaian
pernyataan tersebut ia tidak bertindak sebagai individu biasa, melainkan sebagai bagian atau
mewakili media massa. Jadi ia sendiri tidak menampilkan atau mencantumkan namanya, seperti
lazimnya dalam media massa. Ia adalah orang yang anonim.

Wilbur Schramm menyebutnya sebagai institutionalized person. Sekalipun harus diakui bahwa
tidak semua individu bekerja secara anonim, sebab ada juga orang yang bekerja pada
persuratkabaran secara terang-terangan, misalnya seorang kolumnis. Ia adalah orang yang
secara periodik dengan menyebutkan atau menuliskan namanya dalam penyelenggaraan suatu
rubrik tertentu. Seorang kolumnis dapat juga digolongkan sebagai opinion leader atau
pembentuk pendapat umum. Karena namanya sudah merupakan jaminan bagi mutu tulisannya,
dan tulisan itu dijadikan pedoman bagi pembaca-pembacanya yang setia. Bahkan pengaruh
seorang kolumnis kadang-kadang sampai sedemikian besarnya, sehingga sebagai
perseorangan ia mampu mempengaruhi kebijaksanaan politik pemerintahnya.

Pers sebagai Lembaga Masyarakat


Pers sebagai subsistem dari sistem sosial selalu tergantung dan berkaitan erat dengan
masyarakat dimana ia berada. Kenyataan ini mempunyai arti bahwa di manapun pers itu berada,
membutuhkan masyarakat sebagai sasaran penyebaran informasi atau pemberitaannya. Pers
lahir untuk memenuhi keperluan masyarakat akan informasi secara terus menerus mengenai
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa besar atau kecil yang terjadi di dalam masyarakat.

Peranan dan fungsi pers selain melakukan pemberitaan yang obyektif kepada masyarakat, juga
berperan dalam pembentukan pendapat umum. Bahkan dapat berperan aktif dalam
meningkatkan kesadaran politik rakyat dan dalam menegakkan disiplin nasional. Peranan pers
dan media massa lainnya yang paling pokok dalam pembangunan adalah sebagai agen
perubahan. Letak peranannya adalah dalam membantu mempercepat proses peralihan
masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.

2.1.2. Fungsi Pers 


Adalah sebagai “watchdog” atau pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dni, pembentuk opini dan
pengarah agenda ke depan.

2.1.3. Peran serta perkembangan pers di Indonesia


Sejarah pers di Indonesia baru dimulai pada abad ke 20 ketika Rd. Mas Tirto Adhi Surjo
menerbitkan mingguan Soenda Berita pada 17 Agustus 1903. Pada 1 Januari tahun 1907 Tirto
dkk menerbitkan mingguan medan Prijaji dan sering mengkritik korupsi serta pemborosan
terhadap pejabat belanda maupun pribumi, akibatnya dia sering dipenjara. Setelah merdeka
harian Mas Tirto yaitu Indonesia Merdeka yang dipimpin Mochtar Lubis sering berbenturan
dengan kebijakan politik dan penyelewengan- penyelewengan pemerintah bahkan pada tahun
1954 Presiden Soekarno pernah dikritiknya.
Dr.H.Krisna Harapap membagi perkembangan kemerdekaan pers dalam 5 periode, yaitu :
a. Perkembangan Pers Pada Era Colonial
Seperti dikemukakan di atas pers pada masa ini sering mengkritik pemerintah kolonial sehingga
pembredelan dan ancaman hukuman terhadap pers acap kali terjadi, setelah proklamasi terjadi
perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang termasuk pers seperti : Soeara Asia (Surabaya),
Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang). Pada bulan September 1945 pers RI makin
kuat dengan ditandai terbitnya Soeara Mrdeka, Berita Indonesia, Warta Indonesia dan The Voice
of free Indonesia. Pada saat agresi militer Belanda pers terbagi 2 yaitu yang terbit di kota dan
desa, yang di kota sering mengalami pembredelan dari pihak Belanda seperti Waspada,
Merdeka dan Mimbar umum sedangkan yang di desa antara lain Suara Rakyat, Api Rakyat,
Patriot dan Penghela Rakyat serta menara.
b. Perkembangan Pers Pada Era Demokrasi Liberal (1945-1959)
Pada tahun 1946 pemerintah mulai membina hubungan dengan pers dengan merancang aturan-
aturan tetapi karena masih mendapat gangguan Belanda maka RUU ini tidak kelar-kelar, baru
pada tahun 1949 Indonesia mendapat kedaulatan pembenahan dibidang pers dilanjutkan
kembali dan pers yang ada di desa dan kota bersatu kembali. Komite Nasional Pusat melakukan
sidang pleno VI di Yogya pada tanggal 7 Desember 1949, yang pada dasarnya permerintah RI
memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers nasional, yang mencakup perlindungan pers,
pemberian fasilitas yang dibutuhkan pers & mengakui kantor berita Antara sebagai kantor
beritanasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan. 15 Maret 1950 dibentuk panitia
pers dan penyediaan bahanbahan dan halaman pers ditambah serta diberi kesempatan untuk
memperdalam jurnalistik sehingga iklim pers saat ini tumbuh dengan baik terbukti dengan
bertambahnya surat kabar berbahasa Indonesia, Cina dan Belanda dari 70 menjadi 101 buah
dalam kurun waktu 4 tahun setelah 1949.

c. Perkembangan Pers Pada Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)


Era ini kebijakan pemerintah berpedoman pada peraturan penguasa perang tertinggi (peperti)
No.10/1960 & penpres No.6/1963 yang menegaskan kembali perlunya izin tertib bagi setiap
surat kabar & majalah dan pada tanggal 24 Februari 1965 pemerintah melakukan pembredelan
secara masal ada 28 surat kabar di Jakarta dan daerah dilarang tertib serentak.
d. Perkembangan Pers Pada Era Orde Baru (1966-1998)
Pada masa ini pembredelan dan pengekangan terhadap pers semakin parah tercatat ada 102
kali pembredelan yaitu tahun 1972 50x, tahun 1972 40x, serta 12 penerbitan dibredel terkait
peristiwa malari tanggal 15 Januari 1974. Pada saat itu Departemen penerangan seolah-olah
menjadi pengawas di Indonesia yang mengharuskan SIT atau SIUPP bagi setiap surat kabar
yang ada. Koran Detik, Tempo dan Editor menjadi fenomena terakhir dari sejarah pers yang
dibredel yaitu tahun 1994.
e. Perkembangan Pers Pada Era Reformasi (1998-sekarang)
Pada tanggal 5 Juni 1998, kabinet reformasi di bawah presiden B.j.Habibie meninjau dan
mencabut permenpen No.01/1984 tentang SIUPP melalui permenpen No.01/1998 kemudian
mereformasi UU pers lama dengan UU yang baru dengan UU No.40 tahun 1999 tentang
kemerdekaan pers dan kebebasan wartawan dalam memilih organisasi pers.

2.2. Menganalisis pers yang bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik
dalam masyarakat demokratis di Indonesia.

Peranan pers adalah memberi informasi yang benar kepada publik tentang suatu peristiwa, pers
adalah media yang dapat dengan bebas menginvestigasi jalannya pemerintahan dan
melaporkan tanpa takut adanya penuntutan. Dalam masyarakat demokratis, rakyat bergantung
pada pers untuk memberantas korupsi, memaparkan kesalahan penerapan kukum serta ketidak
efisienan dan ketidak efektifan kerja sebuah lembaga pemerintah. Negara demokrasi ditandai
adanya pers bebas, sedangkan kediktatoran penguasa ditandai adanya
pembungkaman/pembredelan media masa.

Pasal 6 UU pers No 40 tahun 1999 tentang peranana pers mengatakan :


1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
2. Menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong penegakan supremasi hukum dan HAM,
menghormati pluralism/kebhinekaan,
3. Mnengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat & benar,
4. Melakukan pengawasan ktiris, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum,
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

1. Kode Etik Pers


Dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wartawan penyiaran tunduk kepada kode etik jurnalistik
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kalau pemberitaannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku maka meskipun bersinggungan dengan yang punya kekuasaan tetap
akan selamat, meskipun ada juga yang tersandung tempok kokoh penguasa terbukti banyak
kasus-kasus besar terbongkar seperti : skandal Watergate, Bank Century, Perang Vietnam dll.

a. Kode etik AJI (Analisi jurnalis Independen) mengatakan :


1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Jurnalis selalu mempertahankan prinsip kebebasan berimbang dalam peliputan.
3. Jurnalis member tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya & kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya.
4. Jurnalis hanya melaporkan fakta & pendapat yang jelas sumbernya.
5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
7. Jurnalis menghormati hak narasumber untuk member informasi, off the record dan embargo.
8. Jurnalis segera meralaat setiap pemberitaan yang diketahui tidak akurat.
9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial identitas korban kejahatan
seksual dan pelaku tindak pidana dibawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi SARA,
bangsa, politik, kecacatan dan latar belakang sosial lain yang negatif.
11. Jurnalisme menghormati privasi kecuali hal yang merugikan masyarakat.
12. Jurnalisme tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan
dan seksual.
13. Jurnalisme tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimiliki untuk mencari keuntungan
pribadi.
14. Jurnalisme tidak dibenarkan menerima sogokan.
15. Jurnalisme tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalisme menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalisme menolak campur tangan pihak lain mengenai hal di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis kode etik.

b. Kode etik pers PWI


Kepribadian dan Integritas

Pasal 1
WI Berimtak kepada Tuhan YME, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, kesatria, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi pada kepentingan bangsa
dan negara serta terpecaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
WI dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya
menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan
negara agama.

Pasal 3
WI tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutar balikan fakta,
bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.

Pasal 4
WI tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita/tulisan/gambar yang
dapat menguntungkan/merugikan seseorang/pihak.

Dan seterusnya . . .

2.3. Mengevaluasi kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa
dalam masyarakat demokratis di Indonesia.

1. Kebebasan Pers
Kebebasan pers berarti kekebalan media komunikasi meliputi surat kabar, buku, majalah, radio
dan televisi dari control/sensor pemerintah. Kebebasan pers dianggap sebagai hal yang
fundamental dalam hak-hak individu, tanpa media yang bebas masyrakat & pemerintah yang
demokratis tidak mungkin terwujud. Melalui pengakuan atas hak untuk berseberangan pendapat,
pemerintah demokratis mendorong perubahan politik dan sosial yang damai dan tertib.
Pembubaran Departemen Penerangan dan hilangnya SIUPP menandai sebuah perubahan
besar dalam dunia pers Indonesia. Salah saut indikasinya adlah bertambahnya jumlah media
masa baik media cetak, radio maupun televisi. Meskipun kebebasan pers membawa sisi
negative seperti mengekspos pornografi & pornoaksi yang bertentangan dengan nilai norma
yang ada di masyarakat.

Menurut Rommy Sugiantoro dalam etika ada 2 faktor yang berperan yaitu norma & nilai norma,
perilaku etis yang kongkret merupakan penggabungan 2 hal tersebut. Namun yang dapat
mengontrol etika pers adalah masyarakat sendiri.Menurut teori tanggung jawab sosial pers, pers
yang etis bukan hanya memanfaatkan hak publik untuk mengetahui tetapi juga menunjukan
tanggung jawab atas pemberitaannya terhadap publik. Etika yng harus dimiliki seorang jurnalis
minimal sama dengan 9 prinsip sosial yang dimiliki profesi kemasyarakatan seperti :

1. Jangan sampai menghilangkan nyawa orang lain


2. Meminimalisi kerugian
3. Bersikap adil (pemberitaan yang adil)
4. Membantu mereka yang perlu perhatian segera
5. Memenuhi janji
6. Menghargai setiap sumber
7. Menghargai orang (menjaga kehormatan, kehidupan pribadi & kemandirian)
8. Jujur
9. Menghargai publik unuk mengetahui semua hal.

Melayani kepentingan umum juga merupakan prinsip yang harus dimiliki seorang jurnalis.
Wartawan bertugas menjaga kelangsungan pers bebas, terus menggugat akuntabilitas
kekuasaan, menghindari terjadinya kepanikan, menyuarakan mereka yang tidak mampu
bersuara, mendidik masyarakat untuk mengatasi krisis.

2. Dampak Kebebasan Pers


Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan pers, dengan bebasnya pers menyapaikan
informasi selain ada positif juga ada negativenya disamping berdampak juga terhadap insan dan
lembaga pers itu sendiri seperti penyerangan, pengusiran, intimidasi, pembredelan yang sampai
dengan tuntutan hukum.

Tindakan yang menjamin keterbukaan informasi


1. UU yang menjamin keterbukaan informasi
2. Meniadakan sensor politik
3. Standar profesi yang lebih tinggi para wartawan
4. Penetapan standar profesi, indepedensi & tanggung jawab
5. Penyesuaian ketentuan untuk pers bebas dan masyarakat umum
6. Fair dalam permberitaan terhadap penguasa
Jaminan kebebasan pers di Indonesia tertuang dalam:
1. UU No.40 Tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik PWI dan AJI
2. UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran.

Pemerintah RI dan DPR membuat UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Dengan UU
tersebut penyiaran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control
dan perekat sosial. Serta UU tersebut juga menyerahkan pengaturan penyiaran kepada KPI
(Komisi penyiaran Indonesia) untuk mengontrol penyiaran yang dilakukan media yang ada di
Indonesia.
c. Penyalahgunaan Kebebasan Pers Dalam Masyarakat Demokratis di Indonesia 
Beban tugas pers sangat besar sehingga diperlukan tanggung jawab yang berasal dari
pengelola pers, pemilik dan para wartawannya. Saat ini suara masyarakat terhadap pers
bertambah keras dan kritis kalau terjadi pemberitaan atau tingkah laku insane pers yang tidak
proporsional jadi sudah seharusnya pers tidak mengabaikan kritik dan protes masyarakat
dengan melakukan reflexi dan koreksi kedalam.
Pertanggung jawaban pers diberikan secara hukum. Dalam KUHP (pernah dikumpulkan oleh
Menpen Moh. Yunus dalam buku biru tahun 1998), terkumpul pasal-pasal pidana yang bias
menjerat peras, diantaranya menyangkut pencemaran nama baik, menyebarkan rasa
permusuhan dan penghinaan. Pertanggung jawaban lainnya adalah pertanggung jawaban
wartawan, pemilik dan pengelola pers yang disebut pertanggung jawaban etika. Oleh karena itu
yang namanya control tetap diperlukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Kontrol yang paling umum di dunia adalah dengan sensor dan di Indonesia selain sensor ada
Depen, UU pers, penerbitan SIUPP hingga yang ekstrim pembredelan. Secara umum ada 5 ada
5 mengapa buku, majalah atau koran dilarang beredar dikita, yaitu 1.Alasan Politik 2.Alasan
Agama 3.Alasan Ras 4.Alasan Pornografi 5.Alasan Penerbitan dalamm aksara asing. Salah satu
kelemahan pemerintah kita adalah tidak adanya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah
dalam mengambil kebijakan pelarangan buku atau pers disamping itu juga lemahnya
penguasaan bibliografi (usaha mengetahui buku) apa saja yang pernah diterbitkan,
perpustakaan yang memilikinya yang bagipemerintah kita tidak mungkin dilakukan sebab tidak
ada UU wajib simpankarya cetak (UU Deposit) yang mewajibkan setiap penerbit mengirimkan
contoh terbitannya (biasanya 2 eksemplar) ke perpustakaan yang ditunjuk
(biasanyaperpustakaan nasional).

Saat ini tidak ada satu negara pun di dunia yang terang-terangan menyebutkan sensor sebagai
kebijakan resmi pemerintah. Hal ini terlihat dari konvenan dan deklarasi yang telah disahkan
mengenai kebebasan dan HAM seperti :
1. Piagam PBB (1945)
2. DUHAM PBB (1948)
3. Konvenan Hak-hak politik dan sipil PBB (1966)
4. Konvenan tentang Hak-hak ekonomi dan Sosbudb (1966)
5. Konvenan HAM Eropa (1953)
6. Akta Final Helsinki (1975)
7. Konvenan HAM Amerika (1978). 

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. pers sebagai
kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat
melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik
secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga
harus bebas dari kapitalisme dan politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan
pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan
masyarakat yang lebih besar.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Media memiliki peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell,
1934), bahkan teoretisi Marxis melihatmedia massa sebagai piranti yang sangat kuat (a
powerfull tool). Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin
berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan.
Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan
untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Media massa yang terjamin
kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara
maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan
politik tertentu.
Media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Secara
konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik.
Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau
mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh
realitas masyarakat.
Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas
dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas, yang ada hanya celaka. Oleh karena
salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial, pers melakukan kritik dan koreksi
terhadap segala sesuatu yang menrutnya tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada
anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang salah daripada yang benar.
Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif,
melainkan parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga
memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih
kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.
Berdasarkan uraian diataslah penulis menyusun karya tulis ini agar pembaca lebih
memahami arti dan peranan pers itu.
1.2 Rumusan Masalah
a.       Apa itu pengertian pers ?
b.      Apakah peran dan fungsi pers itu ?
c.       Bagaimana peran pers dari kemerdekaan sampai sekarang ?

1.3 Tujuan Penulisan


            Penulis membuat karya ilmiah ini dengan tujuan untuk :
1.      Memberi tahukan kepada pembaca mengenai pers dan memaparkan fungsi serta peranan pers dari
masa kemerdekaan hingga sekarang ini.
2.      Dapat mengajak pembaca untuk lebih memahami pers itu sendiri dan mampu menilai bagaimana
perananan pers dari kemerdekaan hingga sekarang.
3.      Untuk melengkapi tugas mata pelajaran sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN PERS
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press.
Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau
publikasi secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam
pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup
semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi
memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau
sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio,
jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan
produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian,
majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media
cetak.
B.     PERAN DAN FUNGSI PERS
Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999
tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol
sosial. Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan
sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar
demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta
menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang
tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut
sebagai pilar keempat demokrasi ( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan
pers itu baru dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari
pemerintah. Menurut tokoh pers, jakob oetama, kebebasan pers menjadi syarat mutlak agar
pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit dibayangkan bagaiman peranan pers
tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers. Pemerintah orde
baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahn yang sangat membatasi kebebasan pers . ha l ini
terlihat, dengan keluarnya Peraturna Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izn
Usaha penerbitan Pers (SIUPP), yang dalam praktiknya ternyata menjadi senjata ampuh
untuk mengontrol isi redaksional pers dan pembredelan.
C.     PERANAN MEDIA/PERS DARI KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG

A.      Masa Penjajahan Belanda


Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi
Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu
penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari
negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam
nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan
Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh
pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih
berbentuk koran iklan.
Tujuan pendirian pers masa itu :

         Untuk menegakkan penjajahan


         Menentang pergerakan rakyat
         Melancarkan perdagangan

B.   Masa Pendudukan Jepang


Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri
dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-
rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan
“Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan
Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat
hanyalah pro-Jepang semata.

C.    Awal Kemerdekaan (1942-1945)

Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa
beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista),
beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan
Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan
kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya.
Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa
Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik,
BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh
wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha
wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan
September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa
Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya,
seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya,
RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto,
Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.

D.    Setelah Indonesia Merdeka (1945-1959)

1. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI

Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu
alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia sekaligus penggerak pembangunan
bangsa. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan
kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang
diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai
akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Di Sulawesi dan sekitarnya,
kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang
mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh
mulai beredarnya koranSoeara Merdeka(Bandung),Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia,da nThe Voice of Free Indonesia.
Kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal
tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
2. Setelah Agresi Militer

Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah
berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan
penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung
menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus
menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut.
Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948
karena pada masa ini jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap
dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar
kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa-desa terpencil.
Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan.

E.   Tahun 1950± 1960-an


Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa
demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem
pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol.
Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers
dikenal sebagai pers partisipan.

F.    Tahun 1970 -an


Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami
depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan
peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar,
PDI, danPP P. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi
massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.

G.  Tahun 1980 -an


Pada tahun 1980-an banyak Media Massa Cetak yang menyesuaikan kebijakannya
pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat
kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran
kegiatan ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan
pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis.
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No.
1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP,
sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan
langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan
kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani
melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di
Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel- artikel yang kritis terhadap
tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup,
yaitu Tempo,DeT IK, dan Editor.

H.  Masa Reformasi (1998/1999) ± sekarang


Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang
publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah
memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang
diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam
rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini
publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut.
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini
terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya
keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya
pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16
tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ.
Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja. Berdasarkan perkembangan pers
tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan
dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-
perubahan tersebut adalah :
         Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
         Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan
         sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.
         Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan
         pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
         Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
         Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ.
         Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan
         Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.
BAB III
PENUTUP

3.1  SIMPULAN
            

Pers memiliki peranan yang sangat penting untuk bangsa ini mulai dari zaman kemerdekaan hingga saat ini, itu
disebabkan  karena antara pemerintah dan warga negara memerlukan komunikasi dan media yang
dapat menghubungkan keduanya. Apalagi saat ini perkembangan pers di Indonesia sudah
maju dengan pesat. Dengan adanya berita melalui koran, tabloid, majalah, radio, televisi, dan
internet, masyarakat dapat dengan cepat mengetahui suatu kebijakan pemerintah. Penyajian
berita atau kejadian melalui pers dapat diketahui masyarakat dengan cepat, akurat, dan
efektif.
Tanpa adanya pers bisa-bisa kita akan menjadi bangsa yang terbelakang karena media
sangatlah dibutuhkan. Dapat disimpulkan bahwa fungsi & peranan pers di Indonesia antara
lain:
1. media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.
2. media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.
3. penyampai informasi kepada masyarakat luas.
4. penyaluran opini publik.

3.2   SARAN
                Setelah mengetahui arti dan peranan pers di Indonesia, penulis mengharapkan bahwa
hendaknya kita sebagai bangsa Indonesia meyakini bahwa keberadaan pers sangat dibutuhkan
dalam memperoleh suatu informasi, akan tetapi kita juga harus lebih pandai dalam memilah
informasi yang disampaikan oleh media. 
BI
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peranan pers dalam masyarakat demokrasi, Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk
mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers
yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan
merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam
Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung
jawab.
Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu)
dalam mempengaruhi sebuah keputusan.Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang
muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan.Pada berbagai
aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan
langkah kebijakan suatu Negara. pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif
dan yudikatif. pers sebagai.
kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat
melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara
jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas
dari kapitalisme dan politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan
melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih
besar. kemungkinan kebebasan lembaga pers yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan
politik tersebut, mendorong semangat lahirnya citizen journalism. istilah citizen journalism untuk
menjelaskan kegiatan pemrosesan dan penyajian berita oleh warga masyarakat bukan jurnalis
profesional. aktivitas jurnalisme yang dilakukan oleh warga sebagai wujud aspirasi dan penyampaian
pendapat rakyat inilah yang menjadi latar belakang bahwa citizen journalism sebagai bagian dari pers
merupakan sarana untuk mencapai suatu demokrasi.
Wajah demokrasi sendiri terlihat pada dua sisi. Pertama, demokrasi sebagai realitas kehidupan sehari-
hari, kedua, demokrasi sebagaimana ia dicitrakan oleh media informasi. Di satu sisi ada citra, di sisi
lain ada realitas. Antara keduanya sangat mungkin terjadi pembauran, atau malah keterputusan
hubungan. Ironisnya yang terjadi sekarang justru terputusnya hubungan antara citra dan realitas
demokrasi itu sendiri. Istilah yang tepat digunakan adalah simulakrum demokrasi, yaitu kondisi yang
seolah-olah demokrasi padahal sebagai citra ia telah mengalami deviasi, distorsi, dan bahkan terputus
dari realitas yang sesungguhnya. Distorsi ini biasanya terjadi melalui citraan-citraan sistematis oleh
media massa. Demokrasi bukan lagi realitas yang sebenarnya, ia adalah kuasa dari pemilik informasi
dan penguasa opini publik.
Proses demokratisasi disebuah negara tidak hanya mengandalkan parlemen, tapi juga ada media
massa, yang mana merupakan sarana komunikasi baik pemerintah dengan rakyat, maupun rakyat
dengan rakyat. Keberadaan media massa ini, baik dalam kategori cetak maupun elektronik memiliki
cakupan yang bermacam-macam, baik dalam hal isu maupun daya jangkau sirkulasi ataupun siaran.
Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, dimana adanya tranformasi
secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara yang menganut paham demokrasi,
sehingga ada persebaran informasi yang merata. Namun, pada pelaksanaannya, banyak faktor yang
menghambat proses komunikasi ini, terutama disebabkan oleh keterbatasan media massa dalam
menjangkau lokasi-lokasi pedalaman.
Keberadaan radio komunitas adalah salah satu jawaban dari pencarian solusi akan permasalahan
penyebaran akses dan sarana komunikasi yang menjadi perkerjaan media massa umum. Pada
perkembangannya radio komunitas telah banyak membuktikan peran pentingnya di tengah persoalan
pelik akan akses informasi dan komunikasi juga dalam peran sebagai kontrol sosial dan menjalankan
empat fungsi pers lainnya.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Pengertian pers
2. Fungsi dan peranan pers
3. Sejarah pers di indonesia
4. Pers yang bebas dan bertanggungjawab
5. Penyalahgunaan kebebasan pers dan dampak-dampaknya

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Melengkapi salah satu tugas kelompok bidang study pkn (Peranan pers dalam masyarakat
demokrasi)
2. Untuk mengetahui peranan pers dalam masyarakat demokrasi.
3. Untuk mengetahui fungsi pers dalam masyarakat demokrasi.
4. Upaya untuk mengenalkan pemahaman tentang peranan pers dalam masyarakat demokrasi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pers

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pers adalah alat cetak untuk mencetak buku/surat kabar,
alat untuk mnjepit, surat kabar/majalah berisi berita dan orang yang bekerja di bidang persurat
kabaran.
Pengertian menurut UU No 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.
Menyatakan bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya
sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum.
Menurut J.C.T Simorangkir
Pers memiliki 2 arti :
- Arti sempitHanya terbatas pada surat kabar, majalah dan tabloid.
- Arti luasBukan hanya dalam arti sempit, namun mencakup juga radio, televisi, film dll.

2.2 Fungsi dan Peranan Pers


Beda fungsi dan peranan :
Fungsi lebih mengacu pada kegunaan suatu hal dalam hal ini adalah kegunaan atau manfaat dari
pers itu sendiri.
Peranan lebih merujuk kepada bagian atau lakon yang dimainkan pers dalam masyarakat, dimana
pers memainkan peran tertentu dalam seluruh proses pembentukan budaya manusia
Fungsi :
1. Sebagai media komunikasi
2. Memberikan informasi kepada masyarakat dalam bentuk berita
3. Sebagai media pendidikan
4. Pemberitaan mengandung nilai dan norma tertentu dalam masyarakat yang baik
5. Sebagai media hiburan
6. Lebih bersifat sebagai sarana hiburan
7. Sebagai lembaga ekonomi
8. Mendatangkan keuntungan financial
Peranan :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
2. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan HAM, serta
menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
4. Melakukan pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran

2.3 Sejarah Pers di Indonesia


A. Jaman Belanda
Pers mulai dikenal pada masa gubjen Belanda Jan Pieter zoon Coen masa VOC (abad 17)
Tujuan pendirian pers masa itu :
1. Untuk menegakkan penjajahan
2. Menentang pergerakan rakyat
3. Melancarkan perdagangan
4. Pada masa Jepang
Sesuai dengan sifat penjajahan maka pers oleh Jepang dijadikan sebagai alat propaganda dengan
maksud memperoleh dukungan rakyat Indonesia dalam perangnya melawan tentara sekutu.
B. Pada masa pendudukan tentara Sekutu
Sekutu masuk ke Indonesia pada tahun 1945. Pada saat itu bangsa Indonesia telah dapat
mengoperasikan peralatan pers sendiri. Adapun tujuan dari pers waktu itu dilihat dari sisi kita adalah
mengobarkan semangat perlawanan untuk melawan penjajah
C. Pers di awal Kemerdekaan
Ini adalah pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Pers dibentuk dan dikembangkan dengan tujuan
utama untuk menyebarluaskan berita proklamasi ke seluruh wilayah RI.
D. Pers di masa Liberal
Struktur pers terbagi dalam 3 katagori
1. Pers Nasional
2. Surat kabar Belanda
3. Surat kabar berbahasa Cina
Secara financial pers nasional jauh lebih lemah dibanding Koran Belanda maupun Cina. Pembredelan
pers (pelarangan terbit krn kegiatan melawan pemerintah) banyak dipakai sebagai upaya
menghambat perkembngan pers oleh pemerintah di era Soekarno. Tahun 1957-1958 banyak terjadi
pengambilalihan perusahaan Belanda oleh Indonesia, yang juga menandai menghilangnya Koran
Belanda.
E. Pers masa Orde Lama
Pers tunduk sepenuhnya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat revolusi dan
penggerak massa. Hal yang menonjol adala :
1. Peraturan No3. Thn 1960 tentang larangan terbit surat kbr berbahasa Cina
2. Peraturan no 19 thn 1961 tentang keharusan adanya Surat Izin terbit bagi surat kabar
3. Peraturan No.2 tahun 1961 tentang pembinaan pers oleh pemerintah, yang tidak loyal akan
dibreidel
4. UU no 4/ 1963 tentang wewenang Jaksa Agung mengenai pers
F. Pers masa Orde Baru
Awalnya bagus, mengikis dan memberitakan kebobrokan rezim orde lama namun tidak bertahan lama
karena segera dikendalikan oleh penguasa dengan dikeluarkannya UU No.11 tahun 1966 tentang
pokok-pokok pers. Dibentuk dewan pers yang merupakan perpanjangan tangan Orde Baru untuk
mengontrol perkembangan pers. Pers ideal adalah pers Pancasila yang penerapannya dilaksanakan
dengan penuh tanggungjawab demi tercapainya stabilitas nasional serta terwujudnya keamanan dan
ketertiban umum. UU No.21 thn 1982 yg dikeluarkan mempertegas pemberlakuakn KUHP terhadap
pers. Di era ini ada 3 faktor penghambat kebebasan pers yaitu :
1. Adanya perizinan terhadap pers (SIUP)
2. Adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan yaitu PWI
3. Praktek intimidasi dan sensor pers.
Pencabutan SIUPP atau yang disebut dengan pembreidelen pers manjdi momok yang sangat
menakutkan dunia pers.
G. Perkembangan pers di era Reformasi
SIUPP dicabut oleh Habibie karena dianggap memnghambat kebebasan pers di era demokrasi ini, dan
diganti dengan UU No.40 thn 1999. Pers menjadi lebih bebas dan longgar, banyak pers yang
mengumbar sensasional dan lebih vulgar sehingga terkesan pers menjadi tidak terkontrol. Era
reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengeksplorasi kebebasan. Akibat
ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, public kemudian
menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolak ukur mereka sendiri.
2.4 Pers Yang Bebas Dan Bertanggungjawab
Kebebasan pers memiliki hubungan yang erat dengan fungsi pers dalam masyarakat demokratis. Pers
adalah salah satu kekuatan demokrasi terutama kekuatan untuk mengontrol dan mengendalikan
jalannya pemerintahan. Dalam masyarakat demokratis pers berfungsi menyediakan informasi dan
alternative serta evaluasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam partisipasinya dalam proses
penyelenggaraan Negara. Kedaulatan rakyat tidak bias berjalan atau berfungsi dengan baik jika pers
tidak memberikan informasi dan alternative pemecahan masalah yang dibutuhkan.
Meskipun demikian, pers tidak bias mempergunakan kebebasannya untuk bertindak seenaknya saja.
Bagaimanapun juga, kebebassan manussia tidak bersifat mutlak. Kebebasan bersifat terbatas karena
berhadapan dengan kebebasan yang dimiliki orang lain. Juga dalam kebebasan perspers tidak bias
seenaknya memberitakan informasi tertentu, wajib menghormati hak pribadi orang lain.
Ada 3 kewajiban pers yang harus diperhatikan :
1. Menjunjung tinggi kebenaran
2. Wajib menghormati privacy orang atau subyek tertentu
3. Wajib menjunjung tinggi prinsip bahwa apa yang diwartakan atau diberitakan dapat
dipertanggungjawabkan
Menurut UU No. 40 thn 1999 tanggungjawab pers meliputi :
1. Pers memainkan peran penting dalam masyarakat modern sebagai media informasi
2. Pers wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat
3. Pers wajib menghormati asas praduga tak bersalah
4. Pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan/ atau melanggar
kerukunan hidup antar umat beragama
5. Pers dilarang memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya

2.5 Penyalahgunaan Kebebasan Pers Dan Dampak-Dampaknya


Menurut UU No.40 thn 1999 pers Indonesia memiliki kebebasan yang luas sesuai tuntutan pada era
reformasi. Beberapa dampak yang mungkin sebagai ekses dari kebebasan pers misalnya :
1. Berita bohong
2. Berita yang melanggar norma susila dan norma agama
3. Berita kriminalits dan kekerasan fisik
4. Berita, tulisan, atau gambar yang membahayakan keselamatan dan keamanan Negara dan
persatuan bangsa
Untuk memecahkan masalah ini maka Komisi penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan dalam memberitakan peristiwa kejahatan (kriminalits) terutamna
bag media elektronik yaitu :
1. Menyiarkan atau menayangkan gambar pelaku kejahatan melanggar etika dan hokum
2. Penayangan gambar-gambar mengerikan merugikan konsumen
3. Penayangan gambar korban kejahatan harus dengan izin korban
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kebebasan pers yang sedang kita nikmati sekarang memunculkan hal-hal yang sebelumnya tidak
diperkirakan. Suara-suara dari pihak pemerintah misalnya, telah menanggapinya dengan bahasanya
yana khas; kebebasana pers di ndoesia telah kebablasan! Sementara dari pihak asyarakat, muncul
pula reaksi yang lebih konkert bersifat fisik.
Barangakali, kebebasana pers di Indonesia telah mengahsilkan berbagai ekses. Dan hal itu makin
menggejala tampaknya arena iklim ebebasan tersebut tidak dengan sigap diiringi dengan
kelengakapan hukumnya. Bahwa kebebasan pers akan memunculkan kebabasan, itu sebenarnya
merupakan sebuah konsekuensi yan wajar. Yang kemudan harus diantisipasi adalah bagaimana agar
kebablasan tersbeut tidak kemudian diterima sebagai kewajaran.

3.2 Saran
Para pekerja pers dalam bekerja wajib memenuhi aspek-aspek profesionalitas. Standar profesionalitas
dalam jurnalistik.
1. Tidak memutar balikan fakta, tidak memfitnah.
2. Berimbang, adil dan jujur.
3. Mengetahui perbedaan kehidupan pribadi dan kepentingan umum.
4. Mengetahui kredibilitas narasumber.
5. Sopan dan terhormat dalam mencari berita.
6. Tidak melakukan tindak yang bersifat plagiat.
7. Meneliti semua bahan berita terlebih dahulu.
8. Memiliki tanggung jawab moral yang besar (mencabut berita yang salah)
9. Bagi pembaca makala ini kami mohon maaf jika ada kesalahan dari segi apapun, kami mohon
keritik dan saran, untuk memotifasi kami untuk kedepannya lebih baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Segala puji bagi  Allah Tuhan semesta alam, yang telah memerintahkan manusia
untuk menyeru saudaranya dengan hikmah, mauidzah hasanah, dan al-jidal al-hasanah
Shalawat dan salam semoga tercurah bagi Nabi Muhammad SAW, penuntun umat
manusia ke jalan yang benar melalui wahyu dan sabdanya.
Pers mempunyai peranan penting dalam kehidupan, sebagai salah satu sarana media
yang diakui keabsahannya di roda kehidupan bermsyarakat maupun bernegara, pers
mempunyai banyak fungsi di kehidupan yang menganut demokrasi, mempunyai prinsip  dan
juga kode etik didalamnya agar tetap berada dijalur yang benar sehingga tetap terjaga
keabsahannya. Dengan adanya pers kita dapat dengan mudah memperbaharui informasi
terkini sehingga akan membantu kita dalam menjalani irama kehidupan bernegara dan kita
juga bebas mengemukakan kritik maupun opini sebagai warga negara.

B.     Rumusan Masalah
Setelah kita tahu bagaimana latar belakang yang sudah di jelaskan oleh penyusun
maka kita mendapatkan beberapa pokok permasalahan yang patut kita telaah lebih jauh lagi
diteliti lebih rinci. Akan tetapi, dalam hal ini penyusun membatasi masalah hanya untuk
mengkaji peranan pers dalam masyarakat demokrasi.
1.      Apa yang dimaksud dengan pers?
2.      Apa saja fungsi pers?
3.      Bagaimana peranan pers dalam kehidupan berdemokrasi?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pers
Kata pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Press
dalam bahasa Latin, pressare yang berarti tekan atau cetak. Secara harfiah pers berarti cetak
dan secara istilah berarti penyiaran yang dilakukan secara tercetak.
Pers dalam arti sempit, artinya hanya terbatas pada pers cetak, yaitu surat kabar,
majalah, dan tabloid. Pers dalam arti luas, yaitu meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk
pers elektronik, siaran radio, dan siaran televisi.
Pengertian Menurut Para Ahli
a.       Menurut L. Taufik, seorang ahli jurnalistik, pers adalah usaha-usaha dari alat komunikasi
massa untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota masyarakat terhadap penerangan,
hiburen, keinginan mengetahui peristiwa-peristiwa, atau berita-berita yang telah atau akan
terjadi di sekitar mereka khususnya dan di dunia umumnya.
b.      Menurut Weiner, seorang ahli jurnalistik, pers memiliki tiga arti. Pertama, wartawan media
cetak. Kedua, publisitas atau peliputan. Ketiga, mesin cetak-naik cetak.
c.       Menurut Oemar Seno Adji, seorang pakar komunikasi, pengertian pers dibagi dalam arti
sempit dan luas. Dalam arti sempit, pers mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan,
atau berita-berita dengar jalan kata tertulis. Dalam arti luas, pers adalah semua media
komunikasi massa yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang, baik dengan kata-kata
tertulis maupun kata lisan.
d.      Menurut J.C.T. Simorangkir, seorang tokoh hukum, pers dibedakan menjadi dua pengertian
sebagai berikut.  

B.     Ciri-Ciri Pers
Ciri-ciri pers seperti berikut.
a.       Periodesitas, artinya pers harus terbit secara teratur dan periodik. Periodesitas
mengedepankan irama terbit, jadwal terbit, dan konsistensi atau keajekan.
b.      Publisitas, artinya pers ditujukan atau disebarkan kepada khalayak dengan sasaran yang
sangat heterogen, baik dari segi geografis maupun psikografis.
c.       Aktualitas, artinya informasi apa pun yang disuguhkan media pers harus mengandung unsur
kebaruan, menunjuk pada peristiwa yang benar-benar baru atau sedang terjadi.
d.      Universalitas, artinya memandang pers dari sumbernya dan keanekaragaman materi isinya.
e.       Objektivitas, merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh olen surat kabar
dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.
C.    Fungsi Pers
Adalah sebagai “watchdog” atau pemberi isyarat, pemberi tanda-tanda dni,
pembentuk opini dan pengarah agenda ke depan. Beberapa fungsi Pers lainnya :
a.       Fungsi Informasi : menyajikan informasi karena masyarakat memerlukan informasi tentang
berbagai hal yang terjadi di masyarakat, dan Negara.
b.      Fungsi Pendidikan : sebagai sarana pendidikan massa (mass education), maka pers itu
memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah
pengetahuan dan wawasannya.
c.       Fungsi Kontrol Sosial : adalah sikap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan
terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan.
Tulisan yang dimaksud memuat kritik baik langsung atau tidak langsung terhadap aparatur
Negara, lembaga masyarakat.
d.      Fungsi sebagai Lembaga Ekonomi : Pers adalah sebuah berusahaan yang bergerak di bidang
penerbitan. Pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga menghasilkan produk yang
namanya “berita” yang diminatai masyarakat dengan nilai jual tinggi. Semakin berkualitas
beritanya maka semakin tinggi nilai jualnya. Pers juga menyediakan kolom untuk iklan. Pers
membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidupnya.
D.    Peranan Pers
Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 disebutkan peran pers meliputi
hal-hal berikut.
a.       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Hal ini dilakukan melalui transfer informasi
dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
b.      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
c.       Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM).
d.      Menghormati kebhinekaan.
e.       Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
f.       Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentinga.1 umum. g. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Pasal 6 UU pers No 40 tahun 1999 tentang peranana pers mengatakan :
a.       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
b.      Menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong penegakan supremasi hukum dan HAM,
menghormati pluralism/kebhinekaan,
c.       Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat & benar,
d.      Melakukan pengawasan ktiris, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum,
E.     Prinsip-Prinsip Pers
Demi eksistensi pers dalam menjalankan fungsi dan perannya, pers harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikui ini.
a.       Idealisme, artinya cita-cita, obsesi, atau sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau dengan
segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta
diakui oleh masyarakat dan negara.
b.      Komersialisme, artinya pers harus mempunyai kekuatan untuk mencapai cita-cita dan
keseimhangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya.
c.       Profesionalisme, paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya atau
kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan.
F.     Teori Pers
a. Teori Pers Otoritarian
Teori pers otoritarian muncul pada masa iklim otoritarian, yaitu akhir renaisans atau
segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap
bukanlah hasil dari massa rakyat, melainkan dari sekelompok kecil orang bijak yang
berkedudukan membimbing dan rnengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi, kebenaran
dianggap hama diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan.
b. Teori Pers Libertarian
Dalam teori libertarian, pers bukan instrumen pemerintah, melainkan sebuah alat
untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi banyak
orang untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya.
c. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial
Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh sebagian pers.Teori tanggung jawab
sosial mempunyai asumsi utama bahwa kebebasan mengandung suatu tanggung jawab yang
sepadan. Pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi
penting komunikasi massa dengan masyarakat modern.
d.      Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori pers Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada pada orang-orang,
sembunyi di lembaga-lembaga sosial, dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat.
Kekuasaan itu mencapai puncaknya jika digabungkan dengan sumber daya alam, kemudahan
produksi dan distribusi, serta saat kekuasaan itu diorganisasi dan diarahkan
G.    Kode Etik Jurnalistik
Kode artinya tanda (sign) yang secara luas diartikan sebagai bangun simbolis. Kode
etik berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara universal yang menjadi cita-cita setiap
manusia. Kode etik yang berkaitan dengan dunia pers adalah Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik adalah suatu kode etik profesi yang harus dipatuhi oleh
wartawan Indonesia. Tujuan terpenting suatu Kode Etik Jurnalistik adalah melindungi hak
masyarakat memperoleh informasi objektif di media massa dan memayungi kinerja wartawan
dari segala macam risiko kekerasan.
Wartawan Indonesia menetapkan kode etik jurnalistik sebagai berikut:
a. Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen menghasilkan berita yang akurat,
berimbang dan tidak beretikan buruk
b. Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan
tugas jurnalistik.
c. Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji Informasi memberitakan secara berimbang tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah
d. Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.
e. Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
f. Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
g. Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
H.    Asas-Asas Kode Etik Jurnalistik
Terdapat empat asas Kode Etik Jurnalistik. Keempat asas Kode Etik Jurnalistik
tersebut sebagai berikut.
1) Profesionalitas, cirinya sebagai berikut.
   a) Tidak memutarbalikkan fakta.
   b) Berimbang, adil, dan jujur.
   c) Mengetahui sesuatu yang privat dan sesuatu yang publik.
2) Nasionalisme, cirinya sebagai berikut.
   a) Mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara.
   b) Memperhatikan keselamatan dan kearnanan bangsa.
3) Demokrasi, cirinya sebagai berikut.
   a) Harus cover both side (tidak berat sebelah).
   b) Harus jujur dan berimbang.
4) Religius, cirinya sebagai berikut.
   a) Menghormati agama dan kepercayaan lain.
   b) Beriman dan bertakwa.
6. Landasan Hukum Pelaksanaan Kebebasan Pers di Indonesia
Landasan pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia meliputi:
a.       Landasan idiil
b.      Landasan idiil dari pelaksanaan kemerdekaan pers adalah Pancasila.
c.       Landasan konstitusional
d.      Landasan konstitusional pelaksanaan kebebasan pers adalah UUD 1945, yaitu yang tertuang
dalam pasal 28 dan 28 F UUD 1945. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi “Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang.
e.       Pasal 28 F UUD 1945 berbunyi “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang
tersedia”.
f.       Landasan Yuridis
g.      Landasan yuridis dari pelaksanaan kemerdekaan pers adalah UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai beberapa hal tentang kebebasan
pers yaitu sebagai berikut:
h.      Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yangf berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
i.        Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
j.        Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan
penyiaran.
k.      Landasan Etis
l.        Landasan etis dari pelaksanaan kemerdekaan pers adalah tata nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Hal ini tentunya disesuaikan dengan lingkungan masing-masing.
Meskipun terdapat nilai dan norma yang berlaku universal.
m.    Landasan Profesional
n.      Landasan professional pelaksanaan kebebasan pers adalah kode etik jurnalistik.
I.       Kebebasan Pers di Indonesia
a. Pengendalian Kebebasan Pers
Pengalaman sejarah Indonesia mengajarkan bahwa setidaknya ada 4 faktor terjadinya
pengendalian kebebasan pers, yaitu melalui:
  Distorsi peraturan perundang-undangan
  Perilaku aparat
  Pengadilan massa
  Perilaku pers itu sendiri
b.      Penyalahgunaan Kebebasan Pers
Bentuk-bentuk penyalahgunaan kebebasan pers kini bisa bermacam-macam, seperti:
1). Penyajian informasi yang tidak akurat.
2). Tidak objektif, sensasional
3).Tendensius, menghina.
5). Menyebarkan kebohongan dan permusuhan
6). Pornografi.
Hak dan Kewajiban Pers
Hak tolak, hak jawab, hak pencabutan berita.
J.      Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Media Massa
1.      Kebebasan Pers
Menurut S. Tasrif, seorang pengacara dan wartawan senior, untuk kondisi Indonesia ada tiga
syarat kebebasan pers:
a.       Tidak ada lagi kewajiban untuk meminta surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) bagi suatu
penerbitan umum kepada pemerintah.
b.      Tidak ada wewenang pemerintah untuk melakukan penyensoran sebelumnya terhadap berita
atau karangan yang akan dimuat dalam pers.
c.       Tidak ada wewenang pemerintah untuk memberangus suatu penerbitan pada waktu tertentu
atau selamanya, kecuali melalui lembaga peradilan yang independen.
Payung Hukum Pers di Indonesia
Dalam menjamin kebebasan pers demi terwujudnya pers yang bebas dan bertanggung
jawab sesuai dengan ideologi dan kultur kebudayaan bangsa pemerintah mengeluarkan
beberapa peraturan berkaitan dengan pers sebagai berikut.
1.      Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 berkaitan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul
(berkaitan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat). Dari ketentuan pasal ini kemudian
disusun undang-undang antara lain Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1997 tentang Penyiaran yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 yang mengatur tentang penyiaran yang berisi tentang KPI, jasa penyiaran, lembaga
penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, perizinan, isi siaran, bahas siaran, sensor isi
siaran dan sebagainya.
2.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang aturan kebebasan Pers.
3.      KUHP berkaitan dengan penyalahgunaan kebebasan pers antara lain delik penghinaan
presiden dan wakil presiden (pasal 137), delik penyebaran kebencian (pasal 154 dan 155),
delik penghinaan agama (pasal 156), dan delik kesusilaan atau pornografi (pasal 282).
4.      Pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut
pers diartikan sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik.

BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Kata pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Press
dalam bahasa Latin, pressare yang berarti tekan atau cetak. Secara harfiah pers berarti cetak
dan secara istilah berarti penyiaran yang dilakukan secara tercetak.
Pers dalam arti sempit, artinya hanya terbatas pada pers cetak, yaitu surat kabar,
majalah, dan tabloid. Pers dalam arti luas, yaitu meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk
pers elektronik, siaran radio, dan siaran televisi.
Pers mempunyai beberapa fungsi diantaranya fungsi informasi, pendidikan, kontrol
sosial dan fungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 disebutkan peran pers meliputi
hal-hal berikut.
g.      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Hal ini dilakukan melalui transfer informasi
dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
h.      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
i.        Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM).
j.        Menghormati kebhinekaan.
k.      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
l.        Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentinga.1 umum. g. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran

B.     Saran
Pers merupakan salah satu sarana untuk masyarakat agara dapat berpartisipasi
menyalurkan asprasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang demokratis, pers
mempunyai kode etik. Maka dari itu lembaga pers harus benar-benar menjaga keabsahan
mereka sebagai lembaga yang menjadi pedoman masyarakat agar dapat memperbaharui
informasi dengan mudah dan akurat.
http://maesajuli.blogspot.co.id/2014/11/makalah-peranan-pers-dalam-masyarakat.html

DAFTAR PUSTAKA

http://kewarganegaraan3.wordpress.com/2010/01/29/peranan-pers-dalam-masyarakatdemokratis/
http://www.tugaskuliah.info/2011/04/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi.html
http://amankeun.blogspot.co.id/2013/12/makalah-pers.html

Anda mungkin juga menyukai