Disusun oleh :
2020
Abstrak
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif, penulis
mengumpulkan sejumlah kitab dan buku yang berkaitan dengan obyek penelitian
ini seperti, buku Ulumul al-Qur’an, majalah, jurnal, atau informasi yang relevan,
dan yang masih ada kaitannya dengan pembahasan yang telah dirumuskan.
Urgensi kajian Nasikh dan Mansukh untuk mengetahui dinamika suatu hukum.
Pendekatan yang dilakukan adalah denga studi pustaka.
Studi terkait Nasikh dan Mansukh memberikan kesimpulan bahwa Nasakh hanya
terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahyi), baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud
perintah atau larangan (khabar bi ma’na al amr awal nahy), selama tidak
berhubungan dengan akidah, zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, para
Rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan
pokok pokok ibadah mua’amalat.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aturan hukum dalam Islam, pada zaman Rasulullah turun secara bertahap, dan
bukanlah secara langsung bersifat final. Hal ini mengandung hikmah bagi kesiapan
para sahabat untuk menjalankannya. Disisi lain, dampaknya ada sebuah hukum
tertentu yang nantinya akan digantikan hukum baru diwaktu yang akan datang,
yang kemudian dikenal dengan istilah nasikh mansukh.
Nasikh dan mansukh merupakan salah satu kajian yang menarik, tidak hanya di
kalangan muslim, namun juga bagi orientalis. Dugaan adanya revisi terhadap
sebagian ayat ayat al-Qur'an sering dijadikan oleh sebagian orientalis sebagai
alasan ketidakorisinalan al-Qur'an, karena tidak konsisten dalam menetapkan
sesuatu peraturan atau hukum. Berbeda dengan kalangan umat Islam, adanya
nasakh internal ayat al-Qur'an diyakini mempunyai banyak hikmah untuk
kemudahan dan kemaslahatan umat Islam. Perdebatan ulama seputar nasakh
internal ayat al-Qur'an terbagi kepada golongan yang meyakini adanya nasakh dan
golongan yang menolak. Kontroversi seputar defenisi, macam dan jumlah ayat-
ayat nasakh perlu disikapi secara bijaksana dengan pemaknaan baru terhadap
nasakh sehingga bisa mengakomodir pendapat-pendapat yang ada.
Ilmu Nasikh wa Mansukh merupakan bagian penting dalam ilmu Alquran yang
wajib diketahui oleh mujtahid, karenanya akan berakibat fatal apabila salah dalam
memahaminya pada konteks kekinian, karena itu mengatahui Nasikh wa Mansukh
dalam Alquran dijadikan syarat yang harus dipenuhi mujtahid dalam menentukan
hukum. Meskipun demikian, pendapat tentang konsep ini dalam ushul fiqih dan
studi qur’an masih debatable dan menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Kontroversi tentang teori naskh ini mencuat menjadi isu yang tak kunjung berakhir
2
B. Problematika
Adapun rumusan masalah dalam penulisan artikel ini yaitu :
1) Apa pengertian Nasikh dan Mansukh
2) Apa saja syarat-syarat Naskh
3) Apa saja pembagian Naskh
4) Bagaimana Kontroversi Nash
5) Bagaimana ruang lingkup Naskh
6) Apa urgensi adanya Nashh dalam Al-qur’an?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1) Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh
2) Untuk mengetahui syarat-syarat Naskh
3) Untuk mengetahui pembagian Nasakh
4) Untuk mengetahui kontroversi Nash
5) Untuk mengetahui ruang lingkup Naskh
6) Untuk mengetahui urgensi adanya Nashh dalam Al-qur’an.
D. Metode Pembahasan
penulis akan mencoba mengulas dan membahas tentang Nasikh dan Mansukh
dengan mengkaji seputar definisi dan ruang lingkup An Naskh, urgensi dan
hikmah An Naskh, Pedoman mengetahui An Naskh, Kontroversi an Naskh dalam
Alquran beserta argumentasi pendapat para ulama (jumhur) tentang eksistensi
nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an, juga pembagian dan macam-macam An
Naskh dalam Al-quran dalam berbagai perspektif.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi An Naskh
Nasikh merupakan isim fa’il (kata benda yang berkedudukan sebagai pelaku)
dari fi’il madzi (kata kerja lampau) nasakha yang bermakna yang menghapus.
Mansukh merupakan isim maful (kata benda yang dikenai pekerjaan), dari fi’il
madzi yang sama nasakha, yang bermakna yang dihapus. Sedangkan bentuk
masdar-nya yakni naskh yang bermakna pembatalan, dan Nashkun berarti al-
izalah Dengan pengertian menghilangkan sesuatu dan mengikutinya.
@@س@@ ُخ @َ @ك@ ِم@ ْ@ن@ َر@ ُس@ و@ ٍ@ل@ َو@ اَل نَ@ بِ@ ٍّي@ إِ@ اَّل إِ@ َذ@ ا@ تَ@ َم@ نَّ@ ٰ@ى@ أَ@ ْل@ قَ@ ى@ ا@ل@ َّش@ ْي@ طَ@ ا@ ُ@ن@ فِ@ ي@ أُ@ ْ@م@ نِ@ ي@َّ@ تِ@ ِه@ فَ@ يَ@ ْن
@َ @َِو@ َم@ ا@ أَ@ ْ@ر@ َس@ ْل@ نَ@ ا@ ِم@ ْ@ن@ قَ@ ْب@ ل
@ٌهَّللا ُ@ َم@ ا@ يُ@ ْل@ قِ@ ي@ ا@ل@ َّش@ ْي@ طَ@ ا@ ُ@ن@ ثُ@ َّم@ يُ@ ْ@ح@ ِك@ ُم@ هَّللا ُ@ آ@يَ@ ا@تِ@ ِه@ ۗ@ َو@ هَّللا ُ@ َع@ لِ@ ي@ ٌم@ َ@ح@ ِك@ ي@م
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula)
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun
memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa
yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al- Hajj 22:52)
@ق@ َع@ لَ@ ْي@ ُك@ ْم@ بِ@ ا@ ْل@ َ@ح@ ق@ِّ@ ۚ@ إِ@ نَّ@ ا@ ُك@ نَّ@ ا@ نَ@ ْس@ تَ@ ْن@ ِس@ ُخ@ َم@ ا@ ُك@ ْن@ تُ@ ْم@ تَ@ ْع@ َم@ لُ@ و@ن @ِ @ٰ@هَ@ َذ@ ا@ ِك@ تَ@ ا@بُ@ نَ@ ا@ يَ@ ْن
ُ @ط
4
(Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu
dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan.” (Q.S. Al- Jatsiyah 45:29)
Naskh juga memiliki arti at Tabdiil (mengganti) seperti dalam firman Allah SWT:
ََوإِ َذا بَ َّد ْلنَٓا َءايَةً َّم َكانَ َءايَ ٍة ۙ َوٱهَّلل ُ أَ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُ ٓو ۟ا إِنَّ َمٓا أَنتَ ُم ْفت ۭ ٍَر ۚ بَلْ أَ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمون
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Q.S. An-Nahl 101)
Naskh juga memiliki arti at Tahwil (merubah), dan juga berarti an Naql
(memindah).
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa terjadinya naskh harus memenuhi
beberapa syarat:
1. Hukum yang di-naskh harus bersifat hukum syar’i, bukan hukum aqli.
2. Dalil syar’i yang menasakh haruslah dating kemudian dari dalil syar’i
yang dinasakh. Dan antara keduanya terdapat pertentangan yang
hakikiyang sama sekali tidak mungkin dikompromikan dengan metode
apapun termasuk dengan takhsis atau at-tadarruj fi at-tasyri’
3. Khitab yang diangkat hukumnya tidak boleh merupakan khithab yang
dikaitkan dengan waktu tertentu. Karena hukum akan berhenti dengan
sendirinya apabila waktunya sudah habis, hal seperti ini tidak dinamai
naskh.
5
4. Naskh hanya ada pada masalah hukum semata. Dengan demikian tidak ada
Naskh untuk masalah aqidah, sejarah, tentang alam semesta dan lain lain
yang tidak bersifat hukum.
6
BAB III
PEMBAHASAN
Ketika Allah mengubah suatu hukum yang ada dalam Alquran yang
merupakan sumber hukum utama dalam Islam, maka ada pelajaran yang bisa
diambil sebagai berikut :
7
mansukh?” Hakim menjawab “tidak”. Ali RA berkata “kau telah sesat dan
menyesatkan.”
8
sedangkan ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian, jadi ayat
ini lebih kemudian dari ayat itu”.
Dalam menentukan Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para
mujtahid tanpa penukilan yang sahih, tidak juga pendapat para ahli tafsir, atau
karna ayat ayat yang kontradiktif secara lahiriah, atau terlambatnya keislaman
salah seseorang dari dua periwayat. yang dipegang dalam masalah ini adalah
penukilan yang meyakinkan dan sejarah.
Golongan Yahudi, menurut mereka naskh tidak bisa diakui, karena naskh
mengandung konsep bada’, sedangkan bada’ adalah muncul setelah tersembunyi.
Mereka berpendapat naskh adakalanya tanpa hikmah, dan itu mustahil bagi Allah.
Dan adakalanya karena suatu hikmah, tetapi hikmah itu muncul setelah sembunyi,
yakni sebelumnya tidak nampak oleh Allah dan demikian tidak mungkin bagi
Allah.
Pendapat Yahudi ini menuai kritik, sebenarnya masing-masing dari nasikh dan
mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu, ilmu Allah tentang hikmah naskh
bukan baru muncul. Allah membawa hambanya dari satu hukum kepada hukum
yang lain karna kemaslahatan yang Ia ketehui sebelumnya, sesuai dengan hikmah
dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap milik-Nya. Jadi jumhur ulama
mengatakan cara berdalil mereka keliru dan salah.
9
Ja’far. Dan mereka juga menyebutkan ayat Alquran untuk menguatkan
argumentasi mereka, yakni:
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki, dan di sisinya umm al
kitab”. ( Q.S. al Ra’d: 39).
Dua pendapat yang bertolak dari paham keliru tentang masalah bada’, hanya saja
Syi’ah Rafidhah memungkinkan terjadi bada’ pada Allah, sedangkan Yahudi tidak
mengakui naskh karna bisa timbul bada’. Bada’ mempunyai dua arti, pertama:
menampakkan setelah tersembunyi, kedua: munculnya pemikiran baru setelah
sebelumnya tidak terlintas. Jadi, dari dua definisi tersebut nampak jelas perbedaan
antara bada’ dengan hakikat naskh. sebab Allah mengetahui nasikh dan mansukh
sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.
Abu Muslim al Ashfahani, menurutnya naskh secara akal dapat saja terjadi, tetapi
menurut syara’ naskh tidak bisa terjadi. Sebelum muncul Abu Muslim al
Ashfahani, ulama membolehkan menetapkan sendiri ayat-ayat mana yang nasikh
dan mana yang mansukh, bahkan ketika itu ada yang berlebihan. Kemudian setelah
muncul Abu Muslim, ia-pun menyatakan pendapatnya, bahwa nasikh sama sekali
tidak membatalkan (menghapus ayat al Qur’an). Ia hanya membatalkan segi-segi
pengertian, karna menurutnya berlawanan dengan firman Allah berikut:
10
ْ
ِ ا يَأتِي ِه ْٱل ٰبَ ِط ُل ِم ۢن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن َخ ْلفِِۦه ۖ ت
َنزي ٌل ِّم ْن َح ِك ٍيم َح ِمي ٍد
“Tiada kebatilan apapun didalam al Qur’an, baik yang datang dari depan maupun
yang datang dari belakang, Alquranditurunkan oleh Allah yang maha bijaksana
lagi terpuji.” (Qs. al Fushshilat: 42).
Atas dasar ini pula Abu Muslim lebih suka menyebut kata naskh dengan istilah
lain, yakni takhshish (mengkhususkan). Komentar ulama terhadap pendapat Abu
Muslim, menurutnya naskh secara logika dapat saja terjadi, tetapi tidak menurut
syara’. Sebenarnya Abu Muslim juga keliru memahami ayat dalam surat
Fushshilat: 42, karena maksud ayat itu adalah Alqurantidak didahului oleh kitab-
kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang
membatalkannya. Dan juga yang menjelaskan kata “Bathil” pada ayat itu adalah
lawan dari “al Haqq” (kebenaran). Abu Muslim juga menyatakan bahwa Alquran
tidak disentuh oleh pembatalan, makanya ia lebih memilih istilah lain, yaitu
“Takhshish”.
Jumhur ulama, naskh adalah suatu yang dapat diterima secara akal dan telah terjadi
pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah boleh saja
memerintahkan sesuatu pada satu waktu dan melarangnya pada waktu lain.
ََوإِ َذا بَ َّد ْلنَٓا َءايَةً َّم َكانَ َءايَ ٍة ۙ َوٱهَّلل ُ أَ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُ ٓو ۟ا إِنَّ َمٓا أَنتَ ُم ْفت ۭ ٍَر ۚ بَلْ أَ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمون
Artinya: “ Dan apabila kami mengganti sesuatu ayat di tempat ayat yang lain..”
(Qs. al Nahl: 101).
11
“Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami melupakannya (kepada manusia),
niscaya kami datangkan yang lebih baik atau sebanding dengannya”. (Qs. al
Baqarah: 106)
1. Naskh Alquran bi al Qur’an. Para ulama yang mengakui adanya naskh, telah
sepakat adanya naskh Alqurandengan al Qur’an, dan itu-pun telah terjadi menurut
mereka. Salah satu contohnya adalah ayat ‘iddah satu tahun di-nasakh-kan dengan
ayat ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
2. Alquran bi as Sunnah. Naskh yang jenis ini terbagi dua yaitu:
a. Naskh Alqurandengan sunnah ahadiyah (hadits ahad). Jumhur ulama
berpendapat hadis ahad tidak bisa me-naskh-kan al Qur’an, karena
Alquranadalah nash yang mutawatir, menunjukkan keyakinan tanpa ada
praduga atau dugaan padanya, sedangkan hadis ahad adalah nash yang
bersifat zhanni. Maka tidak sah menghapus suatu yang sudah diketahui
dengan suatu yang bersifat dugaan/diduga.
b. Naskh Alqurandengan sunnah mutawatirah. Para ulama berbeda pendapat;
dimana Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat
membolehkannya. Karena keduanya dianggap wahyu. Dasar argumentasi
mereka adalah firman Allah berikut:
Sementara Al Syafi’i, Dzahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak
naskh seperti ini dengan dalil firman Allah Swt sebagai berikut :
12
ِ َْما نَن َس ْخ ِم ْن َءايَ ٍة أَوْ نُن ِسهَا نَأ
ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَٓا أَوْ ِم ْثلِهَٓا ۗ أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْى ٍء قَ ِدي ٌر
Artinya: “ Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami melupakannya (kepada
manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik atau sebanding dengannya”.
(Qs. al Baqarah: 106).
Dari dalil ini disimpulkan bahwa as Sunnah tidaklah lebih baik daripada Alquran
juga tidak sebanding dengannya. Pertama, Naskh as Sunnah bi al Qur’an. Jumhur
ulama membolehkan naskh seperti ini. Salah satu contohnya adalah menghadap ke
Baitul Maqdis yang ditetapkan oleh Sunnah, kemudian ketetapan ini di-nasakh-kan
oleh Alqurandalam firman Allah swt:
ْ َش ك
ْال َح َر ِام ْال َم ْس ِج ِد ط َر َ َ َوجْ ه ِّفَ َول
Contoh lainnya yaitu kewajiban puasa hari’asyura yang ditetapkan oleh sunnah,
kemudian di-naskh oleh al Qur’an:
“ Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Qs. Al Baqarah: 185)
3. Naskh as Sunnah bi as Sunnah. Dalam bagian ini naskh terbagi pada empat
macam, yaitu:
a. Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir,
b. Naskhsunnah ahad dengan sunnah ahad,
c. Naskh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir,dan
d. Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah ahad.
Tiga macam naskh yang pertama diatas dihukumi boleh. Adapun macam yang
keempat para ulama berbeda pendapat seperti dalam permasalahan naskh
Alqurandengan sunnah ahad, dimana Jumhur ulama tidak memperbolehkannya.
13
Kemudian naskh yang terjadi dalam Al-quran juga mempunyai tiga macam bentuk,
yakni naskh at tilawah wa al hukmi ma’an, naskh al hukmi duna at tilawah, dan
naskh at tilawah duna al hukmi, berikut penjabarannya:
14
Kemudian ayat ini dinyatakan telah di-naskh-kan bacaannya sedangkan
hukumnya tetap berlaku. Ayat rajam itu berbunyi :
15
BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimupulan
Pada artikel ini bisa disimpulkan bahwa An-Naskh secara etimologi bisa
diartikan ke dalam empat makna, yaitu al Izaalah (menghilangkan/menghapus), at
Tabdiil (mengganti), at Tahwil (merubah), dan an Naql (memindah).
16
DAFTAR PUSTAKA
Urgensi kajian nasikh dan mansukh dalam bingkai generasi kekinian. (2018).
Diakses pada 01 November 2020 dari
ejournal.iainbukittinggi.ac.id › article › download › pdf
17
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
Status : Mahasiswa.............................................................
Pekerjaan : -.............................................................................
Pendidikan
18
CURRICULUM VITAE
Status : Mahasiswa.......................................................
Pekerjaan : -........................................................................
Jawa Timur.
Pendidikan
Pengalaman Organisasi
19