Anda di halaman 1dari 20

Studi Nasikh dan Mansukh

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an


Dosen Pengampu : Drs. Waharjani, M.Ag.

Disusun oleh :

Amalia Lutfiani (2011027054)

Adila Fitriani (2000027032)

PROGRAM STUDI ILMU HADITS

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA

2020
Abstrak

Di antara persoalan dalam Ulumul al-Qur’an yang mengundang perdebatan para


ulama adalah mengenai nasikh mansukh. Perbedaan pendapat para ulama dalam
menetapkan ada atau tidak adanya ayat-ayat mansūkh (dihapus) dalam al-Qur’an,
antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila dilihat dari
lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa di antara ayat-ayat tersebut ada yang
tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, mereka menerima teori nasikh
(penghapusan) dalam al-Qur’an. Sebaliknya, bagi para ulama yang berpendapat
bahwa ayat-ayat tersebut keseluruhannya bisa dikompromikan, tidak mengakui
teori penghapusan itu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif, penulis
mengumpulkan sejumlah kitab dan buku yang berkaitan dengan obyek penelitian
ini seperti, buku Ulumul al-Qur’an, majalah, jurnal, atau informasi yang relevan,
dan yang masih ada kaitannya dengan pembahasan yang telah dirumuskan.
Urgensi kajian Nasikh dan Mansukh untuk mengetahui dinamika suatu hukum.
Pendekatan yang dilakukan adalah denga studi pustaka.

Studi terkait Nasikh dan Mansukh memberikan kesimpulan bahwa Nasakh hanya
terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahyi), baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermaksud
perintah atau larangan (khabar bi ma’na al amr awal nahy), selama tidak
berhubungan dengan akidah, zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, para
Rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan
pokok pokok ibadah mua’amalat.

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aturan hukum dalam Islam, pada zaman Rasulullah turun secara bertahap, dan
bukanlah secara langsung bersifat final. Hal ini mengandung hikmah bagi kesiapan
para sahabat untuk menjalankannya. Disisi lain, dampaknya ada sebuah hukum
tertentu yang nantinya akan digantikan hukum baru diwaktu yang akan datang,
yang kemudian dikenal dengan istilah nasikh mansukh.

Nasikh dan mansukh merupakan salah satu kajian yang menarik, tidak hanya di
kalangan muslim, namun juga bagi orientalis. Dugaan adanya revisi terhadap
sebagian ayat ayat al-Qur'an sering dijadikan oleh sebagian orientalis sebagai
alasan ketidakorisinalan al-Qur'an, karena tidak konsisten dalam menetapkan
sesuatu peraturan atau hukum. Berbeda dengan kalangan umat Islam, adanya
nasakh internal ayat al-Qur'an diyakini mempunyai banyak hikmah untuk
kemudahan dan kemaslahatan umat Islam. Perdebatan ulama seputar nasakh
internal ayat al-Qur'an terbagi kepada golongan yang meyakini adanya nasakh dan
golongan yang menolak. Kontroversi seputar defenisi, macam dan jumlah ayat-
ayat nasakh perlu disikapi secara bijaksana dengan pemaknaan baru terhadap
nasakh sehingga bisa mengakomodir pendapat-pendapat yang ada.

Ilmu Nasikh wa Mansukh merupakan bagian penting dalam ilmu Alquran yang
wajib diketahui oleh mujtahid, karenanya akan berakibat fatal apabila salah dalam
memahaminya pada konteks kekinian, karena itu mengatahui Nasikh wa Mansukh
dalam Alquran dijadikan syarat yang harus dipenuhi mujtahid dalam menentukan
hukum. Meskipun demikian, pendapat tentang konsep ini dalam ushul fiqih dan
studi qur’an masih debatable dan menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Kontroversi tentang teori naskh ini mencuat menjadi isu yang tak kunjung berakhir

2
B. Problematika
Adapun rumusan masalah dalam penulisan artikel ini yaitu :
1) Apa pengertian Nasikh dan Mansukh
2) Apa saja syarat-syarat Naskh
3) Apa saja pembagian Naskh
4) Bagaimana Kontroversi Nash
5) Bagaimana ruang lingkup Naskh
6) Apa urgensi adanya Nashh dalam Al-qur’an?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1) Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh
2) Untuk mengetahui syarat-syarat Naskh
3) Untuk mengetahui pembagian Nasakh
4) Untuk mengetahui kontroversi Nash
5) Untuk mengetahui ruang lingkup Naskh
6) Untuk mengetahui urgensi adanya Nashh dalam Al-qur’an.

D. Metode Pembahasan

penulis akan mencoba mengulas dan membahas tentang Nasikh dan Mansukh
dengan mengkaji seputar definisi dan ruang lingkup An Naskh, urgensi dan
hikmah An Naskh, Pedoman mengetahui An Naskh, Kontroversi an Naskh dalam
Alquran beserta argumentasi pendapat para ulama (jumhur) tentang eksistensi
nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an, juga pembagian dan macam-macam An
Naskh dalam Al-quran dalam berbagai perspektif.

E. Tulisan topik/ Tema sebelumnya

“ Studi Nasikh dan Mansukh.”

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi An Naskh

Nasikh merupakan isim fa’il (kata benda yang berkedudukan sebagai pelaku)
dari fi’il madzi (kata kerja lampau) nasakha yang bermakna yang menghapus.
Mansukh merupakan isim maful (kata benda yang dikenai pekerjaan), dari fi’il
madzi yang sama nasakha, yang bermakna yang dihapus. Sedangkan bentuk
masdar-nya yakni naskh yang bermakna pembatalan, dan Nashkun berarti al-
izalah Dengan pengertian menghilangkan sesuatu dan mengikutinya.

Naskh dalam pengertian al-izalah terdapat dalam Surat Al- Hajj 52

@‫@س@@ ُخ‬ @َ @‫ك@ ِم@ ْ@ن@ َر@ ُس@ و@ ٍ@ل@ َو@ اَل نَ@ بِ@ ٍّي@ إِ@ اَّل إِ@ َذ@ ا@ تَ@ َم@ نَّ@ ٰ@ى@ أَ@ ْل@ قَ@ ى@ ا@ل@ َّش@ ْي@ طَ@ ا@ ُ@ن@ فِ@ ي@ أُ@ ْ@م@ نِ@ ي@َّ@ تِ@ ِه@ فَ@ يَ@ ْن‬
@َ @ِ‫َو@ َم@ ا@ أَ@ ْ@ر@ َس@ ْل@ نَ@ ا@ ِم@ ْ@ن@ قَ@ ْب@ ل‬
@ٌ‫هَّللا ُ@ َم@ ا@ يُ@ ْل@ قِ@ ي@ ا@ل@ َّش@ ْي@ طَ@ ا@ ُ@ن@ ثُ@ َّم@ يُ@ ْ@ح@ ِك@ ُم@ هَّللا ُ@ آ@يَ@ ا@تِ@ ِه@ ۗ@ َو@ هَّللا ُ@ َع@ لِ@ ي@ ٌم@ َ@ح@ ِك@ ي@م‬

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula)
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun
memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa
yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al- Hajj 22:52)

Lafadz yansakhu dalam ayat diatas bermakna menghilangkan atau meniadakan


bisikanbisikan syaithan dan penyesatannya.Naskh juga memiliki arti “Naqlu al
syay’i wa tahwiluhu ma’a baqaaihi fi nafsihi” yaitu menyalin dan memindahkan
sesuatu dengan tetap menjaga perkara yang disalin tersebut. Makna ini diambil dari
penuturan ayat al Qur’an:

@‫ق@ َع@ لَ@ ْي@ ُك@ ْم@ بِ@ ا@ ْل@ َ@ح@ ق@ِّ@ ۚ@ إِ@ نَّ@ ا@ ُك@ نَّ@ ا@ نَ@ ْس@ تَ@ ْن@ ِس@ ُخ@ َم@ ا@ ُك@ ْن@ تُ@ ْم@ تَ@ ْع@ َم@ لُ@ و@ن‬ @ِ @‫ٰ@هَ@ َذ@ ا@ ِك@ تَ@ ا@بُ@ نَ@ ا@ يَ@ ْن‬
ُ @‫ط‬

4
(Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu
dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan.” (Q.S. Al- Jatsiyah 45:29)

Yaitu bermakna memindahkan amal-amal kalian ke dalam shuhuf (lembaran-


lembaran).

Naskh juga memiliki arti at Tabdiil (mengganti) seperti dalam firman Allah SWT:

َ‫َوإِ َذا بَ َّد ْلنَٓا َءايَةً َّم َكانَ َءايَ ٍة ۙ َوٱهَّلل ُ أَ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُ ٓو ۟ا إِنَّ َمٓا أَنتَ ُم ْفت ۭ ٍَر ۚ بَلْ أَ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمون‬

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Q.S. An-Nahl 101)

Naskh juga memiliki arti at Tahwil (merubah), dan juga berarti an Naql
(memindah).

Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa terjadinya naskh harus memenuhi
beberapa syarat:

1. Hukum yang di-naskh harus bersifat hukum syar’i, bukan hukum aqli.
2. Dalil syar’i yang menasakh haruslah dating kemudian dari dalil syar’i
yang dinasakh. Dan antara keduanya terdapat pertentangan yang
hakikiyang sama sekali tidak mungkin dikompromikan dengan metode
apapun termasuk dengan takhsis atau at-tadarruj fi at-tasyri’
3. Khitab yang diangkat hukumnya tidak boleh merupakan khithab yang
dikaitkan dengan waktu tertentu. Karena hukum akan berhenti dengan
sendirinya apabila waktunya sudah habis, hal seperti ini tidak dinamai
naskh.

5
4. Naskh hanya ada pada masalah hukum semata. Dengan demikian tidak ada
Naskh untuk masalah aqidah, sejarah, tentang alam semesta dan lain lain
yang tidak bersifat hukum.

Sebagian ulama ada yang memperluas syarat-syarat terjadinya naskh menjadi


beberapa poin yaitu:

a) Hukum yang terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada


mansukh.
b) Yang mansukh harus lebih awal dari Nasikh.
c) Hukum yang di-nasakh mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah,
larangan, dan hukuman.
d) Hukum yang di-nasakh tidak terbatas waktu tertentu, mesti berlaku
sepanjang waktu.
e) Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum
munculnya nasikh.
f) Status nash nasikh mesti sama dengan nash mansukh. Maka nash yang
zhanni tidak bisa menasakh-kan yang qath’i. Tentu tidak sah pula dalil
yang besifat ahad untuk me-nasakh-kan dalil yang mutawatir.

6
BAB III
PEMBAHASAN

A. Urgensi dan Hikmah an Naskh

Ketika Allah mengubah suatu hukum yang ada dalam Alquran yang
merupakan sumber hukum utama dalam Islam, maka ada pelajaran yang bisa
diambil sebagai berikut :

a. Menjaga kemashlahatan. Artinya, Allah tidak mungkin berbuat zalim


kepada hamba-Nya dengan membiarkan berlakunya sesuatu yang batil
tanpa mengubahnya dengan yang lebih baik. Mengembangangkan
pensyari’atan hukum sampai tingkat yang sempurna. Artinya, selalu
disesuaikan dengan perkembangan dakwah Islam dan kondisi umat
manusia.
b. Menguji kualitas keimanan. Artinya, dengan adanya hukum yang dirubah,
maka bisa dilihat mana yang istiqamah mengikutinya atau justru jadi
ingkar.
c. Menghendaki kebaikan dan kemudahan. Artinya, jika hukum itu beralih
kepada yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,
sedangkan jika beralih kepada hal yang lebih ringan maka di dalamnya
terkandung kemudahan.
d. Masalah nasikh dan mansukh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, ia
merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul
fiqh. Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya
agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu
terdapat banyak atsar (perkataan sahabat) yang mendorong agar
mengetahui masalah ini. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Wahab bin
Mubarok al-Anmathi bahwasannya Ali bin Abi Thalib RA menceritakan
suatu kisah kepada para sahabat (ketika bertanya kepada seorang hakim),
maka Ali RA berkata “apakah kau mengetahui tentang nasikh dan

7
mansukh?” Hakim menjawab “tidak”. Ali RA berkata “kau telah sesat dan
menyesatkan.”

Adapun tentang hikmah dari adanya naskh, Manna’ al Qathaan menyebutkan


beberapa hikmah diantaranya:

a. Untuk menjaga kemaslahatan para hamba


b. Perkembangan tasyri’ (pensyari’atan) menuju tingkat yang
sempurna sesuai dinamika dakwah dan kondisi masyarakat Islam
c. Sebagai ujian kepada mukallaf untuk ta’at atau tidak ta’at terhadap
syari’at
d. Kehendak Allah untuk kebaikan dan kemudahan umat, karena
apabila naskh itu diganti dengan lebih berat maka akan terdapat
tambahan pahala, dan apabila naskh diganti dengan lebih ringan
maka itu merupakan kemudahan.

B. Pedoman Mengetahui an Naskh

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh para ulama memberi pedoman


dengan mengidentifikasi beberapa cara berikut:

a. Ada keterangan tegas atau pentransimisian yang jelas dari Nabi


S.A.W atau sahabat seperti dalam redaksi hadits: (kuntu
nahaitukum ‘an ziyaratil qubuur alaa fazuuruuhaa), dan seperti
ucapan Anas bin Malik dalam kisah Ashab Bi’r Ma’unah (nazala
fiihim qur’an qara’naahu hatta rufi’a).
b. Konsensus (ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu
mansukh.
c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan histori. Histori ayat dapat diketahui dari keterangan
sahabat, yang bukan ijtihad sahabat itu sendiri. Misalkan sahabat itu
mengatakan: “Ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian,

8
sedangkan ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian, jadi ayat
ini lebih kemudian dari ayat itu”.

Dalam menentukan Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para
mujtahid tanpa penukilan yang sahih, tidak juga pendapat para ahli tafsir, atau
karna ayat ayat yang kontradiktif secara lahiriah, atau terlambatnya keislaman
salah seseorang dari dua periwayat. yang dipegang dalam masalah ini adalah
penukilan yang meyakinkan dan sejarah.

C. Kontroversi An Naskh dalam Al Qur’an

Dalam kajian an Naskh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli agama,


dalam masalah ini kontroversi pendapat tersebut terbagi pada beberapa golongan:

Golongan Yahudi, menurut mereka naskh tidak bisa diakui, karena naskh
mengandung konsep bada’, sedangkan bada’ adalah muncul setelah tersembunyi.
Mereka berpendapat naskh adakalanya tanpa hikmah, dan itu mustahil bagi Allah.
Dan adakalanya karena suatu hikmah, tetapi hikmah itu muncul setelah sembunyi,
yakni sebelumnya tidak nampak oleh Allah dan demikian tidak mungkin bagi
Allah.

Pendapat Yahudi ini menuai kritik, sebenarnya masing-masing dari nasikh dan
mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu, ilmu Allah tentang hikmah naskh
bukan baru muncul. Allah membawa hambanya dari satu hukum kepada hukum
yang lain karna kemaslahatan yang Ia ketehui sebelumnya, sesuai dengan hikmah
dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap milik-Nya. Jadi jumhur ulama
mengatakan cara berdalil mereka keliru dan salah.

Kalangan Syi’ah Rafidhah, mereka sangat berlebihan dan bahkan memperluas


ruang lingkup dalam menetapkan naskh. Mereka kontradiksi dengan Yahudi, karna
menurut mereka bada’ adalah suatu yang mungkin bisa terjadi bagi Allah. Untuk
menguatkan argumentasi mereka, maka mereka mengemukakan kata-kata yang
mereka sandarkan kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, Ja’far al Shadiq dan Musa ibn

9
Ja’far. Dan mereka juga menyebutkan ayat Alquran untuk menguatkan
argumentasi mereka, yakni:

ِ َ‫ت ۖ َو ِعن َد ٓۥهُ أُ ُّم ْٱل ِك ٰت‬


‫ب‬ ۟ ‫يَ ْمح‬
ُ ِ‫ُوا ٱهَّلل ُ َما يَ َشٓا ُء َوي ُْثب‬

“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki, dan di sisinya umm al
kitab”. ( Q.S. al Ra’d: 39).

Demikian Syi’ah Rafidhah menguatkan argumentasinya, sehingga mereka


menyandarkannya kepada ‘Ali, Ja’far dan Musa, dan juga kepada ayat Alquran
tersebut. Komentar terhadap pendapat Syi’ah Rafidhah, mereka salah memahami
ayat yang mereka jadikan dalil surat (al Ra’d: 39), karna pehaman ayat itu
sebenarnya adalah; Allah menghapus yang dipandang perlu dihapus dan
menetapkan penggantinya jika penetapan itu mengandung maslahat. Allah
mengubah syari’at dan ciptaan-Nya yang ia kehendaki, yang sesuai dengan ilmu,
kehendak dan hikmah-Nya, ilmu Allah tidak berubah dan tidak berganti-ganti,
yang mengalami perubahan adalah yang ma’lum.

Dua pendapat yang bertolak dari paham keliru tentang masalah bada’, hanya saja
Syi’ah Rafidhah memungkinkan terjadi bada’ pada Allah, sedangkan Yahudi tidak
mengakui naskh karna bisa timbul bada’. Bada’ mempunyai dua arti, pertama:
menampakkan setelah tersembunyi, kedua: munculnya pemikiran baru setelah
sebelumnya tidak terlintas. Jadi, dari dua definisi tersebut nampak jelas perbedaan
antara bada’ dengan hakikat naskh. sebab Allah mengetahui nasikh dan mansukh
sejak zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.

Abu Muslim al Ashfahani, menurutnya naskh secara akal dapat saja terjadi, tetapi
menurut syara’ naskh tidak bisa terjadi. Sebelum muncul Abu Muslim al
Ashfahani, ulama membolehkan menetapkan sendiri ayat-ayat mana yang nasikh
dan mana yang mansukh, bahkan ketika itu ada yang berlebihan. Kemudian setelah
muncul Abu Muslim, ia-pun menyatakan pendapatnya, bahwa nasikh sama sekali
tidak membatalkan (menghapus ayat al Qur’an). Ia hanya membatalkan segi-segi
pengertian, karna menurutnya berlawanan dengan firman Allah berikut:

10
ْ
ِ ‫ا يَأتِي ِه ْٱل ٰبَ ِط ُل ِم ۢن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن َخ ْلفِِۦه ۖ ت‬
‫َنزي ٌل ِّم ْن َح ِك ٍيم َح ِمي ٍد‬

“Tiada kebatilan apapun didalam al Qur’an, baik yang datang dari depan maupun
yang datang dari belakang, Alquranditurunkan oleh Allah yang maha bijaksana
lagi terpuji.” (Qs. al Fushshilat: 42).

Atas dasar ini pula Abu Muslim lebih suka menyebut kata naskh dengan istilah
lain, yakni takhshish (mengkhususkan). Komentar ulama terhadap pendapat Abu
Muslim, menurutnya naskh secara logika dapat saja terjadi, tetapi tidak menurut
syara’. Sebenarnya Abu Muslim juga keliru memahami ayat dalam surat
Fushshilat: 42, karena maksud ayat itu adalah Alqurantidak didahului oleh kitab-
kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang
membatalkannya. Dan juga yang menjelaskan kata “Bathil” pada ayat itu adalah
lawan dari “al Haqq” (kebenaran). Abu Muslim juga menyatakan bahwa Alquran
tidak disentuh oleh pembatalan, makanya ia lebih memilih istilah lain, yaitu
“Takhshish”.

Jumhur ulama, naskh adalah suatu yang dapat diterima secara akal dan telah terjadi
pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah boleh saja
memerintahkan sesuatu pada satu waktu dan melarangnya pada waktu lain.

Nash-nash Al-qurandan Sunnah menunjuk pada kebolehan nasakh dan terjadinya,


antara lain:

َ‫َوإِ َذا بَ َّد ْلنَٓا َءايَةً َّم َكانَ َءايَ ٍة ۙ َوٱهَّلل ُ أَ ْعلَ ُم بِ َما يُنَ ِّز ُل قَالُ ٓو ۟ا إِنَّ َمٓا أَنتَ ُم ْفت ۭ ٍَر ۚ بَلْ أَ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمون‬

Artinya: “ Dan apabila kami mengganti sesuatu ayat di tempat ayat yang lain..”
(Qs. al Nahl: 101).

ِ ْ‫َما نَن َس ْخ ِم ْن َءايَ ٍة أَوْ نُن ِسهَا نَأ‬


‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَٓا أَوْ ِم ْثلِهَٓا ۗ أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْى ٍء قَ ِدي‬

11
“Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami melupakannya (kepada manusia),
niscaya kami datangkan yang lebih baik atau sebanding dengannya”. (Qs. al
Baqarah: 106)

D. Pembagian dan Macam-Macam Naskh

Naskh terbagi menjadi empat bagian yaitu:

1. Naskh Alquran bi al Qur’an. Para ulama yang mengakui adanya naskh, telah
sepakat adanya naskh Alqurandengan al Qur’an, dan itu-pun telah terjadi menurut
mereka. Salah satu contohnya adalah ayat ‘iddah satu tahun di-nasakh-kan dengan
ayat ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
2. Alquran bi as Sunnah. Naskh yang jenis ini terbagi dua yaitu:
a. Naskh Alqurandengan sunnah ahadiyah (hadits ahad). Jumhur ulama
berpendapat hadis ahad tidak bisa me-naskh-kan al Qur’an, karena
Alquranadalah nash yang mutawatir, menunjukkan keyakinan tanpa ada
praduga atau dugaan padanya, sedangkan hadis ahad adalah nash yang
bersifat zhanni. Maka tidak sah menghapus suatu yang sudah diketahui
dengan suatu yang bersifat dugaan/diduga.
b. Naskh Alqurandengan sunnah mutawatirah. Para ulama berbeda pendapat;
dimana Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat
membolehkannya. Karena keduanya dianggap wahyu. Dasar argumentasi
mereka adalah firman Allah berikut:

‫ُوح َعلَّ َمهۥُ َش ِدي ُ@د ْٱلقُ َو ٰى‬


َ ‫إِ ْن ه َُو ِإاَّل َوحْ ٌى ي‬

“ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauannya hawa nafsunya.


Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs.
An-Najm: 4-5).

Sementara Al Syafi’i, Dzahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak
naskh seperti ini dengan dalil firman Allah Swt sebagai berikut :

12
ِ ْ‫َما نَن َس ْخ ِم ْن َءايَ ٍة أَوْ نُن ِسهَا نَأ‬
‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَٓا أَوْ ِم ْثلِهَٓا ۗ أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْى ٍء قَ ِدي ٌر‬

Artinya: “ Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami melupakannya (kepada
manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik atau sebanding dengannya”.
(Qs. al Baqarah: 106).

Dari dalil ini disimpulkan bahwa as Sunnah tidaklah lebih baik daripada Alquran
juga tidak sebanding dengannya. Pertama, Naskh as Sunnah bi al Qur’an. Jumhur
ulama membolehkan naskh seperti ini. Salah satu contohnya adalah menghadap ke
Baitul Maqdis yang ditetapkan oleh Sunnah, kemudian ketetapan ini di-nasakh-kan
oleh Alqurandalam firman Allah swt:

ْ ‫ َش‬ ‫ك‬
‫ ْال َح َر ِام‬ ‫ ْال َم ْس ِج ِد‬ ‫ط َر‬ َ َ‫ َوجْ ه‬  ِّ‫فَ َول‬

”Maka hadapkanlah wajahmu menuju al Masjid al Haram.” (Qs. Al Baqarah: 144).

Contoh lainnya yaitu kewajiban puasa hari’asyura yang ditetapkan oleh sunnah,
kemudian di-naskh oleh al Qur’an:

ُ َ‫فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم ٱل َّش ْه َر فَ ْلي‬


ُ‫ص ْمه‬

“ Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

3. Naskh as Sunnah bi as Sunnah. Dalam bagian ini naskh terbagi pada empat
macam, yaitu:
a. Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir,
b. Naskhsunnah ahad dengan sunnah ahad,
c. Naskh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir,dan
d. Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah ahad.

Tiga macam naskh yang pertama diatas dihukumi boleh. Adapun macam yang
keempat para ulama berbeda pendapat seperti dalam permasalahan naskh
Alqurandengan sunnah ahad, dimana Jumhur ulama tidak memperbolehkannya.

13
Kemudian naskh yang terjadi dalam Al-quran juga mempunyai tiga macam bentuk,
yakni naskh at tilawah wa al hukmi ma’an, naskh al hukmi duna at tilawah, dan
naskh at tilawah duna al hukmi, berikut penjabarannya:

a. Naskh at tilawah wa al hukmi ma’an yaitu penghapusan terhadap hukum


dan bacaan secara bersamaan.
Contohnya seperti yang dinyatakan dalam hadis; yang diriwayatkan dari
Yahya ibn Yahya, ia membacakan kepada Malik, dari ‘Abdullah ibn Abi
Bakr, dari ‘Amrah, dari ‘Aisyah ra berkata:“Dahulu termasuk yang
diturunkan (ayat al Qur’an) adalah sepuluh radha’at (isapan) yang
diketahui, kemudian dinasakh-kan oleh lima (isapan menyusu) yang
diketahui. Setelah Rasulullah wafat, hukum terakhir tetap dibaca sebagai
bagian al Qur’an”. (H.R. Muslim menurut lafaznya).
b. Menurut pendapat yang adzhar (paling jelas), tilawah ayat ini telah di-
naskh-kan beserta hukumnya menjelang wafat Rasulullah S.A.W. wafat.
sehingga ayat tersebut tidak ditemukan dalam mushaf utsmani.
c. Naskh al hukmi wa baqai at tilawah yaitu penghapusan hukum sedangkan
tilawah-nya masih tetap. Contohnya me-naskh ayat ‘iddah satu tahun dalam
Qs. al Baqarah :240 dengan ayat iddah ‘empat bulan sepuluh hari dalam
Qs. al Baqarah: 234. Hukum iddah dengan satu tahun sudah di-naskh akan
tetapi tilawah atau bacaannya masih ada di dalam al Qur’an. Naskh macam
ini sedikit ditemukan dalam al Qur’an, namun ada juga orang yang
berlebihan dalam menetapkan naskh seperti ini.
Naskh macam ini setidaknya mempunyai dua hikmah:
a) Karena Al-quran firman Allah, dan membacanya mendapat pahala,
maka ditetapkan tilawahnya.
b) Agar mengingat tentang ringan atau beratnya hukum yang dihapus.
c) Naskh at tilawah ma’a baqaai al hukmi yaitu penghapusan tilawah-nya
sedangkan hukumnya tetap berlaku. Salah satu contoh naskh macam
ini, seperti ayat rajam yang mula-mulanya terbilang ayat al Qur’an

14
Kemudian ayat ini dinyatakan telah di-naskh-kan bacaannya sedangkan
hukumnya tetap berlaku. Ayat rajam itu berbunyi :

‫الشيخ والشيخة إذا زينا فارجموهما‬

Artinya: “Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka


rajamlah.”

15
BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimupulan

Pada artikel ini bisa disimpulkan bahwa An-Naskh secara etimologi bisa
diartikan ke dalam empat makna, yaitu al Izaalah (menghilangkan/menghapus), at
Tabdiil (mengganti), at Tahwil (merubah), dan an Naql (memindah).

Dari pengertian diatas, Jumhur ulama berpendapat bahwa an Naskh diperbolehkan


baik secara akal ataupun syara’ dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum
berdasarkan dalil-dalil yang bersifat aqli dan naqli. Kendati demikian, para ulama
menggolongkan pembagian an Naskh menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut
pandang bentuk dalil dari Alqurandan As Sunnah, bentuk bacaan dan hukum,
bentuk badal atau pengganti dan juga dalam bentuk aplikasi hukum yang belum
dilaksanakan secara hakikat, majaz dan karena suatu sebab.

Dengan demikian kita ketahui hikmah diberlakukannya an Naskh adalah untuk


kebaikan dan kemudahan dalam menjaga kemaslahatan para hamba sesuai
dinamika dakwah dan kondisi masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

al-Shabuni, Muhammad Ali , 1981, At-Tibyan fi Ulum Al Qur’an, Damsyik:


Maktabah al Ghazali

Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Itqan Publishing, 2015, cet. IV

Urgensi kajian nasikh dan mansukh dalam bingkai generasi kekinian. (2018).
Diakses pada 01 November 2020 dari
ejournal.iainbukittinggi.ac.id › article › download › pdf

Studi Nasikh dan Mansukh. (2016). Diakses pada 01 November


2020. journal.unj.ac.id › index.php › jsq › article

Konsep nasikh mansukh jalaluddin al-suyuti dan implikasi metode


pengajarannya di perguruan tinggi. (2018). Diaksaes pada 01 November
2020 dari jurnal.iainkediri.ac.id › realita › article › download

17
LAMPIRAN

CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap : Amalia Lutfiani....................................................

Tempat dan Tanggal Lahir : Tasikmalaya, 22 September 2002..........................

Status : Mahasiswa.............................................................

Pekerjaan : -.............................................................................

Alamat : Kp.Cikadu, RT/02 RW/013 Kel.Gunung Gede,

Kec.Kawalu, Kota Tasikmalya.

Motto hidup : Khairunnasi ‘anfauhum Linnas…

Pendidikan

1. Tamatan TK MIFTAHUL KHAER (2009)...................................................


2. Tamatan SDN TALAGASARI (2015)..........................................................
3. Tamatan MTS TALAGASARI(2017)...........................................................
4. Tamatan SMA AT-TAJDID ISLAMIC BOARDING SCHOOL(2019)
5.
Pengalaman Organisasi

1. PRAMUKA- PRATAMA PUTERI (PERIODE 2016/2017 ).......................


2. PASKIBRA-ANGGOTA( PERIODE 2016/2017) .......................................
3. PR IPM AT-TAJDID PUTERI-KEPALA BIDANG KDI (PERIODE 2018/2019)
4. PC IPM SINGAPARNA –ANGGOTA BIDANG KDI (PERIODE 2019-2020)
5. HIZBUL WATHAN- ANGGOTA BIDANG GIAT OPERASI (PERIODE
2018/2019)....................................................................................................

Tasikmalaya, 11 November 2020

(………Amalia Lutfiani ………)

18
CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap : Adila Fitriani..................................................

Tempat dan Tanggal Lahir : Sumenep,03 Juli 2001.....................................

Status : Mahasiswa.......................................................

Pekerjaan : -........................................................................

Alamat : Desa kalikatak, Kec. Arjasa, Kab.sumenep, Madura,

Jawa Timur.

Motto hidup : Jadilah diri sendiri dimanapun dan kapanpun

Pendidikan

1. Tamatan SDN KALIKATAK 3 (2015)................................................


2. Tamatan MTS IPPNI (2017)................................................................
3. Tamatan MBS YOGYAKARTA(2019)

Pengalaman Organisasi

6. PR IPM (PERIODE 2018/2019) ..........................................................


7. HIZBUL WATHAN (PERIODE 2018/2019)
8. TAPAK SUCI (2018/2019)..................................................................

Tasikmalaya, 11 November 2020

(………Adila Fitriani ………)

19

Anda mungkin juga menyukai