Nim : 2114011045
Latar Belakang
Sound Governance (SG) adalah konsep yang sama Sekali baru di Indonesia. Konsep ini
menyeruak hadir Di tengah kegandrungan dunia yang teramat sangat Dengan Good Governance
(GG) yang seolah telah menjadi Kebenaran absolut dalam wacana demokrasi dan Administrasi
publik. Pemaparan ini dengan nekad hadir ke tengah Kemapanan keyakinan masyarakat akan
sistem nilai yang Disebut GG. Mungkin saja konsep baru ini akan diabaikan Begitu saja,
ditentang habis karena dianggap telah Melanggar pakem, atau mendapat dukungan luas dari
Berbagai kalangan. Tetapi semoga tidak untuk menggantikan posisi dogmatis GG.
Sejak lebih dari dua dekade terakhir perkembangan Ilmu administrasi publik telah sampai
pada konsep GG. Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisa Melewati batas-batas
perbicangan dimensional dan Sektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapan Dengan
semesta perbicangan ekonomi, politik, sosial, Bahkan lingkungan hidup. Sedangkan batas
sektoral Adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, Kemiskinan, transportasi, bisnis
perusahaan, kelautan, Maupun pengendalian polusi. GG telah menjelma seperti Hantu yang bisa
merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi Para sarjana dan pelaku dalam ilmu sosial. Tidak
sedikit Pihak yang telah mencoba untuk melakukan kritik terhadap GG dari berbagai sudut
pandang dan posisi ideologis.Akan tetapi baru satu yang membuktikan bahwa dirinya tidak
hanya mendekonstruksi, tetapi juga merekonstruksi. Memberikan solusi konkret ketika
menyarankan untuk meninggalkan proyek-proyek Good Governance beralih menuju Sound
Governance.
Kemudian berdasarkan yang penulis ketahui jugaAfrika Selatan sound governance dalam
Ketata negaraanya. Semua ini bermula saat tahun 1994 dihadapkan dengan lingkungan operasi
yang berubah secara dramatis, dengan prioritas sosial-ekonomi dan politik yang berbeda di
depan. Dalam demokrasi baru, dituntut meninjau kembali misi dan misi untuk menilai apakah ini
perlu disesuaikan dengan keadaan yang berubah. Kemudian menilai bagaimana interaksi
pemerintah yang dipilihsecara demokratis dan beradaptasi dengan institusi, aturan, dan budaya
politik baru.
Pemerintah baru harus membangun institusi demokrasi baru, menetapkan Aturan baru
melalui konsultasi dengan rakyat dan organisasi masyarakat sipil, mengembangkan Budaya
politik yang demokratis, dan melaksanakan program politiknya yang bertujuan Kesetaraan dan
pembangunan sosial ekonomi. Tuntutan demokrasi terhadap pemerintah adalah besar, terutama
dalam masyarakat yang terpecah seperti itu, yang dicirikan oleh rasisme, intoleransi, dan
ketidakpercayaan.
Rumusan Masalah
Tujuan
Untuk mengetahui perbandingan konsep governance di negara Afrika Selatan dan negara
Indonesia
Hasil Review
Dalam konteks Afrika Selatan, penting untuk memahami konsep sound governance
sebagai Organisasi progresif, reaksioner, dan apolitis yang satu sama lain, dengan pemerintah
dan masyarakat di medan yang harus Dilihat sebagai diperebutkan. Selama perjuangan anti-
apartheid di Afrika Selatan pada Periode sebelum tahun 1990, masyarakat sipil terutama terbagi
antara organisasi-Organisasi yang mendukung rezim apartheid dan yang menentangnya. Namun,
ada Juga OMS yang fokus pada aspek dasar kelangsungan hidup masyarakat, keluarga atau
Individu dalam menghadapi diskriminasi dan kemiskinan. Selama transisi politik antara Tahun
1990 dan 1994, sebagian besar OMS berebut posisi di dispensasi demokrasi Masa depan dan
berfokus pada penyesuaian atau pembaruan misi dan aktivitas Mereka agar tetap relevan di era
baru. Setelah pemilihan demokratis pertama pada Bulan April 1994, OMS terus bersaing untuk
mendapatkan ruang dan untuk maju Agenda khusus mereka. Kesenjangan progresif-reaksioner
jauh lebih tidak jelas. Ketika bangsa ini bergerak Untuk membangun masyarakat yang benar-
benar non-rasial dan egaliter, OMS yang terstruktur atas dasar Rasial harus mengubah diri
mereka di sepanjang garis non-rasial, atau dihadapkan pada deregistrasi atau Penutupan.
Meskipun demikian, OMS yang bertujuan untuk mempertahankan status quo sebelum tahun
1994, atau setidaknya untuk mempertahankan bidang-bidang hak istimewa tertentu, tetap ada.
Dalam nada yang sama, Okoth -Ogend berpendapat bahwa tata kelola tersebut
menyiratkan “interaksi Kreatif yang dirancang untuk mempromosikan partisipasi penuh dan
efektif oleh warga negara dalam urusan Publik, akuntabilitas oleh negara terhadap aktivisme
sipil, hubungan negara-masyarakat dan intra-masyarakat Yang berkelanjutan, dan pada akhirnya,
keberadaan pengaturan kelembagaan yang didirikan di atas dan Dirancang untuk
mempertahankan nilai-nilai tersebut”.
Sayangnya, konsep yang sering disebut sebagai “pemerintahan yang baik” telah Menjadi
sarat ideologis karena identifikasi dan sering disalahgunakan oleh lembaga-Lembaga
internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Untuk Menghindari beban
politik itu, kami lebih memilih istilah “pemerintahan yang sehat” Atau “pemerintahan yang
demokratis”.
Konsep tata kelola atau dikenal dengan sound governance yang baik terdiri dari beberapa
Komponen utama. Sebagai sistem yang dinamis, Unsur-unsur komponen utama itu seperti
proses,Struktur, nilai pengetahuan, aturan, organisasi, Manajemen, kebijakan, sektor swasta,
globalisasi, Akuntabilitas, dan transparansi. Berinteraksi secara dinamis satu sama lain dan
Semuanya membentuk kesatuan yang unik dengan Membangun inklusifitas relasi politik antara
negara/Pemerintah, civil society, dan sektor bisnis. Beroperasi Dengan keragaman, kompleksitas,
intensitas internal,Tantangan eksternal, hambatan, dan peluang untuk Menjaga agar sistem
pemerintahan tetap fokus pada Arahan dan tindakan dengan tujuan. Sedangkan Karakteristik dari
proses tersebut berkontribusi Pada peningkatan kapasitas, inovasi, kreativitas, dan Respon
adaptif. Farazmand menegaskan, Innovation is key to sound governance, and Innovation in
policy, and administration is central To sound governance as well. Secara konseptual Teoritik,
inovasi bercerita tentang semua komunikasi Yang menggabungkan perilaku biologis dan teknis
Manusia Oleh sebab itu, praktek administrasi publik tradisional pada kegiatan pemerintah
menjadi semakin sulit terlaksana karena perbaikan konsep Dilakukan secara ilmiah dan
pemanfaatan teknologi.
Defisiensi konsep “sound governance”, seperti yang didefinisikan UNDP, berasal dari
dua faktor. adalah bahwa interaksi tiga kekuatan atau elemen yang dianggap menggambarkan
atau melibatkan good governance; tepatnya, interaksi antar negara, masyarakat sipil, dan sektor
privat. Interaksi triad ini mengabaikan kekuatan paling penting yang mempengaruhi governance
di negara berkembang dan kurang maju, tepatnya struktur kekuatan internasional/global –
kekuatan negara global dan elit korporat trans-dunia. Struktur kekuatan internasional atau global
hampir satu abad lamanya mendominasi politik dan ekonomi, serta budaya bangsa berkembang
dan kurang maju. Sebagai sebuah kekuatan global neo-kolonial, ini menggantikan kolonialisme
abad 19 dengan imperialisme, dan lewat intervensi teknologi, politik, ekonomi dan militer, ini
mencampuri dan mengganti beberapa pemerintah merdeka, legitimate dan berdaulat di bangsa
dunia ketiga dan sekitarnya di sepanjang abad 20.
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam konsep sound governance di
Indonesia terdiri dari 3 elemen yaitu partisipasi masyarakat, yang bertujuan untuk memastikan
bahwa setiap kebijakan yang Diambil mencerminkan keinginan rakyat. Tegaknya supremasi
hukum dan yang terakhir transparansi
Kedua, dalam masyarakat yang terbelah oleh kekayaan dan kemiskinan yang ekstrem,
pengucilan dari jaringan sosial adalah ciri yang menentukan menjadi miskin dan terpinggirkan,
dan ini menghambat perkembangan sosial. Ketiga, masyarakat SA juga terbagi menjadi
tradisional dan modern. Sejauh tradisional terkait dengan kepentingan pribadi yang kuat yang
menghambat pemerataan distribusi dan pembangunan, ini harus ditangani. Sebaliknya, dalam
banyak kasus di mana Afrika Selatan telah menyerap yang modern tanpa memikirkan kerugian
sosial perlu diperhitungkan dalam upaya Afrika Selatan – baik oleh pemerintah maupun
sound governance yaitu terjadinya krisis multidimensi, yang bersifat vicious crises, yang
meliputi krisis moral, krisis hukum, krisis moneter, krisis ekonomi, krisis kepercayaan, krisis
politik dan krisis kemanusiaan.Kemudian praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme yang dikenal
dengan KKN juga menjadi tantangan vicious crises, sehingga mengakibatkan kerusakan moral
Kesimpulan
Sound Governance adalah konsep yang menyeruak hadir Di tengah kegandrungan dunia
yang teramat sangat Dengan Good Governance yang seolah telah menjadi Kebenaran absolut
dalam wacana demokrasi dan Administrasi publik. Sound governance ini adalah konsep tata
Negara menjadi lebih baik bukan hanya dalam sektor politik akan tetapi juga seluruh sektor
kehidupan baik itu sosialisasi, ekonomi, dan lain-lain.
Konsep sound governance yakni ada 3 konsep yang disusun oleh Afrika Selatan Secara
fungsional, tata kelola berkaitan dengan bagaimana aturan dibuat, dilegitimasi, dan Ditegakkan.
Kemudian konsep Secara struktural, ia terdiri dari tiga institusi yang berbeda: penguasa atau
negara, Yang diperintah atau masyarakat, dan aturan hukum. Intinya, pemerintahan mewujudkan
kualitas hubungan antara negara dan lembaga-lembaga sosial. Dan yang terakhir Dimensi
normatif menyoroti nilai-nilai yang terkait dengan pemerintahan (yang baik). Ini termasuk:
transparansi, organisasi, efektivitas, akuntabilitas, prediktabilitas, legitimasi, partisipasi rakyat,
dan pluralitas pilihan”.
Sedangkan Konsep sound governance di Indonesia terdiri dari 3 elemen yaitu partisipasi
masyarakat, yang bertujuan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang Diambil
mencerminkan keinginan rakyat. Tegaknya supremasi hukum dan yang terakhir transparansi
mengimplementasikan konsep sound governance yaitu konflik sosial yang mengakibatkan situasi
di mana sumber daya langka dan pemerintah tidak dapat menangani semua prioritas sosial
ekonomi sekaligus. Dalam masyarakat yang terbelah oleh kekayaan dan kemiskinan yang
ekstrem, pengucilan dari jaringan sosial adalah ciri yang menentukan menjadi miskin dan
terpinggirkan, dan ini menghambat perkembangan sosial. Masyarakat SA juga terbagi menjadi
Daftar Pustaka
Camay, Phiroshaw and Anne J. Gordon. “Civil Society as Advocate of Social Change In Pre-
and Post-transition Societies: Building Sound Governance in South Africa”.Co-operative for
Research and Education (CORE).
Taylor, Russel. “Indigenous Community Capacity Building and the relationship to Sound
governance and leadership”.AILC. National NT Conference. June 2003
Muhartono, Djoko Siswanto. “ Pelayanan Pendidikan Dalam Perspektif Sound Governance
(Studi Kasus MBS dan Pelayanan Publik di Kota Probolinggo Tahun 2016)”. Jurnal Ilmiah
Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial – Vol. 2 No. 1 Tahun 2018.
Darmawan, Eki dkk. “Tata Kelola Kebijakan Maritim di Indonesia dalam Perspektif Sound
Governance”. Jurnal Manajemen Pemerintahan Vol 12, No. 1, 2020, pp. 36-50