Anda di halaman 1dari 4

TELAAH KRITIS JURNAL

Do Not Rush to Return to Sports After Trigger Finger Injection


Jeehae Oh, MD; Leechan Jo, MD; Jong In Lee, MD, PhD

PICO
Patient, Population and Problem
Stenosing tenosinovitis pada tendon fleksor digital, juga dikenal sebagai
trigger finger, adalah masalah yang sering ditemukan. Pengobatan yang sering
diberikan adalah injeksi steroid ke dalam selubung tendon fleksor. Hal ini dapat
menyebabkan pecahnya tendon fleksor. Ada beberapa laporan kasus ruptur
tendon fleksor setelah mendapat suntikan kortikosteroid untuk trigger finger.
Namun, belum ada laporan kasus ruptur tendon yang disebabkan oleh injeksi
kortikosteroid tunggal dan aktivitas olahraga pasca injeksi.
Kasus dalam jurnal ini adalah tentang seorang pria berusia 57 tahun yang
mengalami ruptur tendon fleksor digitorum profundus (FDP) 4 minggu setelah
injeksi kortikosteroid tunggal dan mulai berlatih golf secara teratur segera setelah
mendapat injeksi steroid.

Intervention
Seorang pria 57 tahun mengunjungi klinik 2 bulan setelah menjalani
operasi pada tangannya. Dia mengaku memiliki riwayat kehilangan fleksi dan
gerakan terbatas pada jari kelingking kirinya selama 2 bulan.
1. Onset awal trigger finger, pasien diberikan suntikan steroid non-guided
setinggi sendi metacarpophalangeal untuk trigger finger. Seteleh menerima
suntikan, pasien merasa nyaman dan mulai berlatih golf empat atau lima kali
per-minggu di driving range mulai 1 minggu setelah injeksi.
2. 1 bulan setelah injeksi pasien mengalami nyeri akut yang berat dan tidak
mampu untuk mem-flexikan jarinya. Pasien kembali ke dokter, dan MRI
menunjukkan gangguan tendinus dengan pengumpulan cairan reaktif dan
tenosinovitis yang melibatkan FDP pada level metakarpal distal. Kemudian,
pasien dijadwalkan untuk bedah eksplorasi.
3. Dua bulan setelah operasi, pasien mengunjungi klinik rehabilitasi untuk
keterbatasan/kehilangan gerakan fleksi. Pada pemeriksaan fisik, kekuatan jari
kelingking kiri buruk dengan posisi fleksi serta abduksi, dan kekuatan semua
otot lainnya normal. Pasien mengeluh hipoestesia dan disestesia dengan
sentuhan ringan. Ia juga mengaku memiliki riwayat diabetes dan
hiperlipidemia. Kemudian, pasien menjalani fisioterapi, seperti terapi panas
dan latihan gerakan, untuk jari. Setelah 5 bulan, kekuatan dan sensasi otot
menjadi cukup normal dan range of motion sepenuhnya pulih.

Comparison
Jurnal ini adalah sebuah laporan kasus, sehingga tidak ada perlakuan
ataupun hasil yang dibandingkan dalam jurnal ini.
Dari beberapa literatur yang dibahas dalam laporan kasus ini. Tatalaksana
yang paling sering dipilih adalah injeksi steroid pada selubung tendon fleksor.
Namun, satu kemungkinan komplikasi parah dari modalitas pengobatan ini
adalah ruptur tendon atrisional. Hubungan antara kortikosteroid dan tendinopati
dengan ruptur tendon terkait pertama kali dilaporkan 40 tahun yang lalu. Sejak
saat itu, komplikasi seperti ruptur tendon telah dilaporkan dan telah dikonfirmasi
bahwa injeksi intratendon harus dihindari.
Laporan kasus sebelumnya tentang ruptur FDP setelah injeksi
kortikosteroid untuk trigger finger menunjukkan ruptur tendon setelah beberapa
kali injeksi untuk stenosing tenosynovitis.
Satu studi kasus melaporkan keterlambatan ruptur tendon fleksor
digitorum superfisialis dan profundus setelah hanya dua kali injeksi, yang
diketahui disebabkan oleh infiltrasi steroid intratendinous dengan pemeriksaan
histologis.
Studi kasus lain melaporkan ruptur tendon FDP setelah tujuh kali injeksi,
sedangkan studi kasus lain telah melaporkan ruptur tendon fleksor polisis longus
setelah hanya dua kali injeksi tanpa aktivitas khusus.
Outcome
Setelah 5 bulan menjalani fisioterapi, kekuatan dan sensasi otot jari yang
terkena trigger finger menjadi cukup normal dan range of motion sepenuhnya
pulih.
Dalam kasus ini, diduga terdapat beberapa alasan mengapa tendon pasien
ruptur setelah injeksi tunggal, yaitu:
1. Mikrotrauma berulang mungkin telah mempengaruhi tendon fleksor, yang
menyebabkan trigger finger.
2. Injeksi kortikosteroid dapat melemahkan atau menghambat penyembuhan
tendon yang cedera, sehingga meningkatkan risiko ruptur.
3. Dua penyebab pertama dapat terjadi secara bersamaan.
4. Riwayat diabetes mellitus.
5. Kemungkinan injeksi intratendinous.

VIA
Validity
Case report ini melaporkan sebuah kasus dari Department of
Rehabilitation Medicine, The Catholic University of Korea, Seoul St Mary’s
Hospital, Seoul, South Korea. Waktu kunjungan pasien tidak disebutkan.

Important
Dari tinjauan literatur didapatkan beberapa rekomendasi, yaitu:
1. Berdasarkan beberapa penelitian, akan lebih baik untuk kembali berolahraga
setelah setidaknya 3 minggu masa pemulihan setelah injeksi kortikosteroid.
Selain itu, kita harus mempertimbangkan specific sites of loading berdasarkan
jenis olahraga.
2. Injeksi yang dipandu ultrasound (ultrasound-guided injection) lebih akurat
dan aman daripada non-guided injection (injeksi tanpa panduan). Injeksi
dengan panduan ultrasound dapat menjadi metode untuk menghindari injeksi
intratendinous dan ruptur tendon.
3. Penggunaan steroid lokal dapat mengurangi tensile strength tendon dan
menyebabkan ruptur. Untuk menghindari hal ini, tindakan harus dilakukan
dengan sangat hati-hati agar tidak menembus tendon.
4. Edukasi kepada pasien untuk menunda aktivitas fisik bagian tubuh yang sakit
diperlukan untuk memungkinkan proses penyembuhan yang sempurna setelah
injeksi.

Applicability
Laporan kasus ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para dokter
di Provinsi Jambi dalam menerapkan terapi untuk pasien dengan trigger finger.

Anda mungkin juga menyukai