Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL PENELITIAN

METODE PENELITIAN KUANTITATIF

“HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES PEDAGANG OFFLINE DI


KOTA MEDAN PADA MASA PANDEMI COVID-19”

OLEH

KELOMPOK 8D

No Nama NIM

1 Octry Monica Seles Sianturi 191301149

2 Joice Emyrensiana Santalum Tien 191301150

3 Maulida Munawwarah 191301251

4 Erika 191301152

5 Monica Valentina Simatupang 191301153

6 Ahmad Maulana Surbakti 191301154

Dosen Pengampu: Suri Mutia Siregar, M.Psi, Psikolog

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

0
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan kasih setia-Nya, kami dapat menyelesaikan Proposal Metode
Penelitian Kuantitatif ini dengan tepat waktu. Proposal yang kami tulis pada kesempatan kali
ini berjudul “Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Pedagang offline di Kota Medan
pada masa Pandemi Covid-19”.

Proposal ini kami susun dengan tujuan sebagai pemenuhan tugas kelompok mata
kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif yang diberikan oleh dosen pengampu. Kami
berharap semoga kedepannya makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang baru buat
seluruh pembaca nantinya.

Kami menyadari bahwa keberhasilan dalam penyelesaian dan penulisan proposal


yang kami susun ini sebab adanya peran dan bantuan dari berbagai pihak, Oleh karena itu
kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Zulkarnaen, Ph.D selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera


Utara, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara.
2. Ibu Suri Mutia Siregar, M.Psi, Psikolog selaku Dosen Pengampu mata kuliah
Metodologi Penelitian Kuantitatiif, beserta Dosen mata kuliah Metodologi Penelitian
Kuantitatiif

Kami juga menyadari bahwa penulisan proposal kami masih jauh dari kata sempurna,
oleh sebab itu kedepannya kami sangat berharap dari pembaca untuk memberikan kritik dan
saran untuk kami.

Medan, 23 Januari 2021

Kelompok 8D

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penelitian 4
1.4. Manfaat Penelitian 4
1.5. Sistematika Penulisan 5
BAB II 6
LANDASAN TEORI 6
2.1. Kecerdasan Emosi 6
2.1.1. Pengertian Kecerdasan Emosi 6
2.1.2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi 7
2.1.3. Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi 9
2.2. Stress 10
2.2.1. Pengertian Stres 10
2.2.2. Aspek-Aspek Stres 10
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres 12
2.3. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Stres 14
2.4. Hipotesis Penelitian 14
BAB III 15
METODE PENELITIAN 15
3.1. Identifikasi Variabel Penelitian 15
3.2. Definisi Operasional 15
3.3. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 16
3.3.1. Populasi dan Sampel Penelitian 16
3.3.2. Metode Pengambilan Sampel 16
3.4. Instrumen/Alat Ukur 16
3.4.1. Validitas dan Reliabilitas 16

2
3.5. Model Penelitian 17
3.6. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 17
3.7. Metode Analisis Data 18
3.7.1. Uji Asumsi 18
3.7.2. Uji Hipotesis 19
DAFTAR PUSTAKA 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada akhir tahun 2019, Tiongkok digemparkan dengan kasus infeksi virus baru yang
tidak pernah ditemui sebelumnya. Penyebaran infeksi virus ini semakin hari semakin cepat
hingga ke negara-negara tetangga dan negara yang bahkan tidak berada disekitar Tiongkok
(Yunita, 2020). Jumlah korban dari negara lain yang terinfeksi dengan virus ini semakin
meningkat. Banyak negara dengan jumlah korban yang besar akhirnya memutuskan untuk
melakukan lockdown untuk mengurangi penyebaran virus tersebut. Virus ini dinamakan
sebagai Covid-19, dimana angka 19 melambangkan tahun terjadinya penyebaran virus
tersebut (Ghebreyesus, 2020).

Walaupun sudah banyak negara yang terpapar virus ini, namun di Indonesia sendiri
belum terdengar kasus apapun yang berkaitan dengan Covid-19. Akan tetapi, pada awal tahun
2020 tepatnya pada bulan Maret, Indonesia mulai dikejutkan dengan penemuan korban
pertama yang terinfeksi virus Covid-19. Warga Indonesia mulai panik. Orang-orang mulai
menyetok keperluan sehari-hari agar mereka tidak perlu keluar rumah. Konsumsi barang
secara besar-besaran terjadi hingga stok di toko-toko menipis dan banyak orang yang
kesulitan untuk mendapatkan barang yang benar-benar mereka butuhkan. Korban yang
terinfeksi virus ini pun semakin hari semakin bertambah di Indonesia. (Wahyudi, 2020).

Hal pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah menghimbau masyarakat untuk
selalu mengenakan masker ketika bepergian serta menerapkan social distancing. Selain itu,
warga dilarang untuk berkumpul dengan jumlah yang banyak untuk meminimalisir
penyebaran virus ini. Meskipun demikian, masih ada saja warga yang mengabaikan

3
himbauan-himbauan yang diberikan oleh pemerintah. Masih banyak masyarakat yang
menganggap remeh virus ini karena menurut mereka virus Covid-19 tidak dapat menyebar
dengan mudah di Indonesia karena suhu Indonesia yang tergolong tinggi (Anwar, 2020).

Namun kenyataan tidak berjalan seperti apa yang diasumsikan masyarakat. Jumlah
korban yang terinfeksi Covid-19 semakin hari semakin meningkat, sehingga pemerintah
harus melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) di kota-kota besar di Indonesia (Azanella, 2020). Menjelang masa PSBB, banyak
aturan yang harus ditaati oleh warga Indonesia salah satunya yaitu kegiatan yang dibatasi.
Kegiatan-kegiatan pada wilayah yang diduga terinfeksi virus dan/atau terkontaminasi pun
dibatasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran. Pembatasan kegiatan
dilakukan dengan meniadakan kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah, menutup
toko dan tempat kerja, serta menutup tempat-tempat umum lainnya.

Pembatasan ini mendatangkan banyak kerugian bagi pemerintah maupun masyarakat,


dan pedagang termasuk para pedagang offline di Kota Medan. Keadaan ekonomi para
pedagang mulai terguncang karena mereka tidak diperbolehkan untuk membuka toko dan
menjalankan kegiatan jual-beli. Perlahan banyak pihak yang mulai resah karena kebutuhan
yang semakin sulit tercukupi akibat menurunnya pendapatan mereka. (Thomas, 2020).

Peralihan dari PSBB menuju new normal pun diberlakukan setelah beberapa waktu
PSBB ditetapkan (Alfi, 2020). Walaupun warga sudah diperbolehkan untuk keluar dari
rumah dengan aturan new normal, tidak banyak warga yang pada akhirnya memilih keluar
rumah. Banyak warga yang masih merasa cemas dan memilih untuk beraktivitas secara
online saja seperti kegiatan-kegiatan bekerja dan bersekolah.

“Semenjak Pandemi Corona melanda Kota Medan dan warga jarang keluar rumah serta
pembatasan jarak sosial suasana pasar tampak sepi. Bila ada pembeli itu hanya ditempat
pembelian bahan sembako itu pun tidak seramai hari biasanya sebelum dilanda virus Covid
19,”
Suwarno (19 April 2020). Omset Pedagang Tradisional Anjlok, Kredit Masih Ditagih.
MISTAR.ID

"Sekarang semua toko sepi. Barang banyak nggak jalan (terjual). Orang beli kebutuhan
pokok seperti beras, itu tidak lagi seperti dulu. Biasanya beli karungan, sekarang berubah
jadi kiloan. Jadi itu efeknya yang benar-benar terasa,"

4
Erika (27 Maret 2020). Perjuangan Warung Kelontong Medan di Tengah Pandemi Corona.
CNBC Indonesia.

Hal ini menyebabkan banyak usaha offline mengalami kerugian. Bahkan beberapa
usaha akhirnya gulung tikar (Ihsanuddin, 2020). Hal ini juga berdampak bagi kesejahteraan
psikologis para pengusaha.

"Semogalah virus corona ini cepat berlalu. Kami khawatir jika terus ada, toko pun tutup dan
kami tidak digaji. Kalau tidak digaji, mau makan apa,"
Rina (24 Maret 2020). Dampak Corona, Sejumlah Toko di Pasar Petisah Medan Tutup.
Medan Bisnis Daily.

"Siapa yang tidak khawatir mas. Tapi kami kan orang buruh kayak gini. Kalau gak kerja gak
makan"
Gatot (17 April 2020). Kisah Pedagang Bakso Keliling, Nekat Jualan Saat Wabah Corona
Demi Anak Istri. Kompas.com.

“Omset penjualan saya berkurang hingga 80-90%. Pastinya saya sedih karena
berdampak langsung ke perekonomian saya. Saya jadi lebih sering melamun, sedih dan
mudah marah,”

R. Rizky (Komunikasi Personal, 23 Januari 2021)

Stres didefinisikan oleh Sarafino dan Smith (2012) sebagai kondisi yang disebabkan
adanya interaksi antara individu dengan lingkungan sehingga menimbulkan persepsi jarak
antara tuntutan-tuntutan, berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis
dan sosial dari seseorang. Menurut Hardjana (1994) terdapat beberapa aspek stres diantaranya
aspek emosional yang mencakup gejala mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap
segala sesuatu, gugup, gelisah, merasa sedih dan depresi. Aspek intelektual yang mencakup
kekhawatiran dan evaluasi diri negatif serta citra diri dalam bentuk kegagalan dan
ketidakmampuan yang sering mendominasi kesadaran individu yang mengalami stres. Selain
itu menurut Brecht (2000), stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan
oleh perubahan dan tuntutan hidup baik dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan
individu di dalam lingkungan tersebut.

5
Akibat ketidakmampuan dan kesulitan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan hidup
seperti makan, berakibat pada kondisi psikologis dari para pedagang offline di Kota Medan
itu sendiri seperti adanya kekhawatiran, sedih, dan mudah marah mengidentifikasi bahwa
para pedagang di Kota Medan tersebut telah mengalami stres. Banyak pedagang offline yang
pada akhirnya mengalami stress. Stress bisa disebabkan oleh kejadian besar secara tiba-tiba,
perubahan kehidupan, dan konflik yang dialami individu sehari-hari Brannon & Feist (2007).
Stres dapat disebabkan oleh berbagai hal, namun cara dan kemampuan individu dalam
menangani stress dapat berbeda-beda.

“Sudah tiga minggu saya tidak berjualan, karena anak sekolah diliburin, lebih baik diem di
rumah aja pemasukan tidak ada kan"
Abdullah (4 April 2020). Jeritan Pedagang Kaki Lima di Tengah Pandemi Corona.
Merdeka.com

“Saya khawatir apabila pembatasan di masa pandemi ini terus berlanjut dan dagangan saya
tetap mengalami kerugian, saya juga bingung harus bagaimana, rasanya saya sudah pasrah
dengan keadaan saya saat ini”

R. Rizki (Komunikasi Personal, 23 Januari 2021)

"Sejak pandemi, saya lebih sering mendapat orderan dari pelanggan untuk membeli
makanan. Mungkin masih pada takut naik ojek online, sehingga para pelanggan lebih
memilih memesan makanan, jadi karena khawatir dengan keadaan saya mencoba membuat
strategi diskon harga dan cukup berhasil, jualan saya ramai dikunjungi pembeli. Tapi yah
itu, penjualan hanya mencapai 50 persen, beda jauh saat kondisi normal sebelum pandemi,"
Ayu (16 Oktober 2020). Demi Bertahan Hidup Selama Pandemi COVID-19, Pedagang Kaki
Lima Banting Harga. Sindonews.Com.

Salah satu faktor yang disebabkan perbedaan cara dan kemampuan pedagang dalam
menangani stress adalah tingkat kecerdasan emosi dari pedagang tersebut. Kecerdasan emosi
adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan terhadap frustasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa (Goleman, 2004). Karambut (2012), menyatakan kecerdasan emosional yang semakin
tinggi sehingga stres kerja semakin menurun. Tingkat kecerdasan emosional yang semakin
rendah, maka tingkat stres kerja akan semakin meningkat. Goleman (1995) mengemukakan

6
ciri tau karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi yaitu mampu
mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, berusaha dan
mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan
orang lain dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai. Sedangkan individu
yang memiliki kecerdasan emosi rendah ditandai dengan, pemarah, bertindak agresif dan
tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang
peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain.

Dalam hal ini terdapat perbedaan cara dan kemampuan pedagang offline dalam
menangani serta menyikapi stress yang terjadi pada dirinya, dimana pedagang yang memiliki
ciri kecerdasan emosi tinggi mampu menyelesaikan kekhawatiran yang ia alami dengan
memahami emosi takut pada orang lain lalu mencoba membuat strategi untuk mengatasi
konflik yang sedang terjadi. Namun, pedagang yang memiliki ciri kecerdasan emosi rendah
merasa bingung dan mudah putus asa dengan konflik yang sedang ia hadapi, sehingga tidak
mampu mengatasi kekhawatiran atau stres yang sedang ia alami. Maka dari itu, diperlukan
adanya pengujian lebih lanjut mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres
pedagang offline pada masa pandemi covid-19 di Kota Medan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah kondisi pandemi virus Covid-19 dapat menimbulkan stres bagi pedagang
offline di Kota Medan?

2. Adakah hubungan kecerdasan emosi dengan tingkat stres pedagang offline di Kota
Medan pada masa pandemi virus Covid-19?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah kondisi pandemi virus Covid-19 menimbulkan stress bagi
pedagang offline di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui adakah hubungan kecerdasan emosi dengan tingkat stress yang
dialami pedagang offline di Kota Medan pada masa pandemi virus Covid-19

7
1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, ilmu


pengetahuan maupun informasi di bidang Psikologi yang berhubungan dengan stres
pedagang offline di Kota Medan atau bahkan daerah lainnya di tengah pandemi virus
Covid-19.

2. Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pedagang offline
yang sedang stres terutama yang berbasis di kota Medan agar dapat mengetahui
bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan tingkat stres sehingga pedagang
offline dapat mengurangi stresnya.

1.5. Sistematika Penulisan

Proposal ini dibagi atas tiga bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub
bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah :

1. Bab I: Pendahuluan

Bab ini akan memaparkan uraian singkat mengenai latar belakang masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika
penulisan.

2. Bab II: Landasan Teori

Bab ini berisi tentang tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori pertama yang dimuat dalam proposal ini adalah teori Kecerdasan
Emosi yang didalamnya menjelaskan tentang pengertian kecerdasan emosi, aspek-
aspek kecerdasan emosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi.
Teori selanjutnya adalah teori Tingkat Stres yang berisi tentang pengertian tingkat
stres, aspek-aspek tingkat stress dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stress.
Selain teori penjelasan mengenai kedua variabel, bab II ini juga berisi tentang
hubungan kecerdasan emosi dengan tingkat stress dan juga hipotesis yang diajukan
oleh peneliti.

3. Bab III: Metode Penelitian

8
Pada bab ini dijelaskan metode penelitian yang digunakan peneliti, identifikasi
variabel-variabel penelitian, definisi operasional variabel-variabel penelitian, populasi
dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur,
prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode analisis data

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Kecerdasan Emosi

2.1.1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (2004), tokoh yang mempopulerkan kecerdasan emosi,


berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan terhadap frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Tokoh lain, Shapiro berpendapat bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk berhubungan dengan perilaku moral, cara
berpikir yang realistis, pemecahan masalah interaksi sosial, emosi diri dan keberhasilan
akademik. Kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mempersepsikan emosi orang
lain dan diri sendiri, dapat membedakan dan menggunakan informasi tersebut dalam
berpikir dan bertindak. Adanya ide bahwa emosi menyebabkan seorang individu berpikir
lebih cerdas, yang salah satu pikiran cerdas itu adalah berhubungan dengan emosi,
kecerdasan emosi sebagai kemampuan mempersepsi emosi, membangkitkan, dan
memahami emosi sehingga dapat mengembangkan pertumbuhan.

Menurut Goleman (1995: 44), IQ hanya menyumbang sebesar 20% dalam


mencapai kesuksesan seseorang, sedangkan 80% lainnya adalah sumbangan faktor-faktor
kekuatan lain, yaitu bakat, kecerdasan emosional, faktor biologis, dan faktor sosial
lingkungan. Sedangkan Susiani (2013) menjelaskan bahwa kecerdasan sosio-emosional
merupakan kemampuan individu untuk memahami, mengenali dan mengendalikan kondisi
emosi dirinya dan orang lain agar mampu berinteraksi dengan baik terhadap lingkungan

9
sosialnya. Nasution (2003) menyatakan bahwa di dalam diri manusia banyak emosi
dengan berbagai bentuk ungkapan seperti: marah, sedih, senang, cinta, bahagia, dan
sebagainya. Emosi tersebut turut mempengaruhi sikap, tindakan dan seluruh perbuatan
seseorang. Sebagai gejala kejiwaan, emosi memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif
diantaranya senang, bahagia, cinta, kasih dan sebagainya. Sedangkan sisi negatif misalnya
marah, dengki, iri, cemburu, dan sebagainya.

2.1.2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk memotivasi diri sendiri,


bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman, 2003). Menurut teori Goleman
(2002), ciri – ciri kecerdasan emosional dibagi kedalam 5 (lima) komponen sebagai
berikut:

a) Kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan
menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki
tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b) Pengaturan diri, yaitu menangani emosi sehingga berdampak positif terhadap


pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c) Motivasi, yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif, bertindak
efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

d) Empati, yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan
diri dengan bermacam-macam orang.

e) Keterampilan sosial, yaitu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan


dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial,
berinteraksi dengan lancar.

10
Kecerdasan emosi terbagi dalam beberapa aspek kemampuan yang membentuknya.
Menurut Salovey (Goleman, 2007: 58-59) ada lima aspek utama yang terdapat dalam
kecerdasan emosional, yaitu:

a) Mengenali emosi sendiri, yaitu: mengenali emosi sendiri merupakan suatu


kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.

b) Mengelola emosi, yaitu: mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam


menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu.

c) Memotivasi diri sendiri, yaitu: kendali diri emosional menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam
berbagai bidang.

d) Mengenali emosi orang lain, yaitu: mengenali emosi orang lain disebut juga
empati. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang
lain.

e) Membina hubungan (keterampilan sosial), yaitu: kemampuan dalam membina


hubungan merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan
dan keberhasilan antar pribadi.

Komponen dasar kecerdasan emosional menurut Reuven Bar-on (Stein & Book,
2002) dibagi menjadi lima bagian, yaitu:

a) Intrapersonal, yaitu: Kemampuan menyadari diri, memahami emosi diri, dan


mengungkapkan perasaan serta gagasan.

b) Interpersonal, yaitu: Kemampuan menyadari dan memahami perasaan orang lain,


peduli kepada orang lain secara umum, dan menjalin hubungan dari hati ke hati
yang akrab.

c) Adaptabilitas, yaitu: Kemampuan menguji perasaan diri, kemampuan mengukur


situasi sesaat secara teliti, dengan luwes mengubah perasaan dan pikiran diri, lalu
menggunakannya untuk memecahkan masalah.

11
d) Strategi pengelolaan stress, yaitu: Kemampuan mengatasi stress dan mengendalikan
luapan emosi.

e) Memotivasi dan suasana hati, yaitu: Kemampuan bersikap optimis, menikmati diri
sendiri, menikmati kebersamaan dengan orang lain, dan merasakan serta
mengekspresikan kebahagiaan.

2.1.3. Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

Le Dove dalam buku Emotional Intelligence yang dikutip oleh Goleman bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:

a) Fisik.

Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap
kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang
digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks).
Sebagai bagian yang berada di bagian otak yang mengurusi emosi yaitu sistem limbik,
tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi
seseorang.

1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang
membungkus hemisfer serebral dalam otak.Konteks berperan penting dalam
memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami
perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks
khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi
arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu.

2) Sistem limbik. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh
didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan
emosi dan implus. Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya
proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada
amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.

b) Psikis.

12
Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat
dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi
seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu
konteks dan sistem limbik, secara psikis diantaranya meliputi lingkungan keluarga
dan lingkungan non keluarga.

2.2. Stress

2.2.1. Pengertian Stres

Sarafino (2008) mengemukakan stres sebagai kondisi akibat dari interaksi individu
dengan lingkungan yang menimbulkan ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang
bersumber pada sistem biologis, psikologis, dan sosial individu. Folkman dan Lazzarus
(1984) mendefinisikan stres sebagai suatu akibat dari interaksi antara seseorang dengan
lingkungannya yang dinilai membahayakan dirinya. Sedangkan Taylor (1997 dalam
Suryaningsih dkk., n.d) stres merupakan suatu pengalaman emosional negatif yang disertai
dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif, dan perilaku yang dapat diarahkan untuk
mengurangi atau menyesuaikan diri terhadap peristiwa yang memicu stres dengan cara
mengubah kejadian ataupun mengakomodasikan efek dari stres tersebut. Ahli lain, Kendal
dan Hammen (1998 dalam Safaria & Saputra, 2009) menyatakan stres dapat terjadi pada
individu ketika terdapat ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan
individu atas kemampuannya untuk menghadapi tuntutan-tuntutan tersebut. Situasi yang
menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya.

Berdasarkan berbagai pengertian dari para ahli dapat disimpulkan bahwa stres
merupakan suatu keadaan yang menekan seseorang yang dirasakan melebihi kemampuan
yang dimilikinya. Stres dapat menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis,
psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya. Menurut Helmi (2000
dalam Safaria & Saputra, 2009) ada empat macam reaksi stres, yaitu reaksi psikologis,
fisiologis, proses berpikir, dan tingkah laku. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa
respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan
mengukur tingkat stres yang dialami individu.

13
2.2.2. Aspek-Aspek Stres

Menurut Sarafino dan Smith (2012), terdapat dua aspek stres, yaitu:

a) Aspek Biologis

Gejala fisik merupakan aspek biologis dari stres. Gejala-gejala fisik dapat berupa:

1. Perubahan warna pada rambut dari hitam menjadi kecoklatan, ubanan, atau
kerontokan.
2. Gangguan ketajaman penglihatan.
3. Tinitus (pendengaran berdenging).
4. Turunnya daya ingat, konsentrasi, dan berpikir.
5. Wajah tegang, serius, tidak santai, sulit senyum, dan kedutan pada kulit wajah.
6. Bibir dan mulut terasa kering, tenggorokan terasa tercekik.
7. Kadar gula menjadi tinggi, pada wanita terjadi gangguan menstruasi.
8. Napas terasa sesak dan berat.
9. Jantung berdebar, wajah merah atau pucat.
10. Lambung mual, kembung dan perih, mules, sulit defekasi, atau diare Aspek
psikologis
b) Gejala psikis merupakan aspek psikologis. Gejala psikis dapat berupa:

1. Gejala kognisi (pikiran)

Pikiran individu dapat terganggu karena kondisi stres. Individu


cenderung mengalami gangguan pada daya ingat, perhatian, dan konsentrasi.
Disamping itu, Davis, Nelson dan Agus (Amin dan Al-fandi, 2007)
menyebutkan bahwa gejala kognisi ditandai juga dengan adanya penurunan
harga diri, ketakutan akan kegagalan, mudah bertindak memalukan, cemas akan
masa depan dan emosi yang labil.

2. Gejala Emosi

Kondisi stres dapat mengganggu kestabilan emosi individu. Individu


yang mengalami stres akan menunjukkan gejala mudah marah, kecemasan
yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih, dan depresi. Gejala
emosi lainnya juga ditandai dengan adanya perasaan tidak mampu mengatasi

14
masalah, merasa ketakutan atau ciut hati, merasa tertekan dan mudah marah
(Wilkinson, 2002; Davis, Nelson dan Agus dalam Amin & Al-fandi, 2007).

3. Gejala Tingkah Laku

Kondisi stres dapat mempengaruhi tingkah laku sehari-hari yang


cenderung negatif sehingga menimbulkan masalah dalam hubungan
interpersonal. Gejala tingkah laku yang muncul adalah sulit bekerja sama,
kehilangan minat, tidak mampu rileks, mudah terkejut atau kaget, kebutuhan
seks, obat-obatan, alkohol dan merokok cenderung meningkat (Wilkinson,
2002 ;Davis, Nelson & Agus dalam Amin & Al-fandi, 2007)

Cohen, Kamarck dan Mermelstein (1983) membagi dimensi stress menjadi tiga
yang dinamakan “the perceived stress scale”. Tiga dimensi itu adalah sebagai berikut:

1. Perasaan yang tidak terprediksi (feeling of unpredictability)

Individu tidak dapat mampu memprediksi atau memperkirakan peristiwa


yang akan terjadi dalam kehidupannya secara tiba-tiba, sehingga individu merasa
putus asa dan tidak berdaya.

2. Perasaan yang tidak terkontrol (feeling of uncontrollability)

Perasaan ini terjadi pada individu ketika individu tidak dapat


mengendalikan dirinya sendiri atas berbagai tuntutan dari lingkungan eksternal
sehingga efek perilaku individu mengalami efek yang dijadikan sebagai
pengalaman individu.

3. Perasaan tertekan (feeling of overloaded)

Perasaan tertekan ditandai oleh berbagai gejala-gejala termasuk harga diri


yang merendah, munculnya perasaan benci dan sedih, gejala psikosomatis dan
gejala lainnya. Cohen dan Williamson (1988) menjelaskan bahwa individu yang
mengalami perasaan tertekan lebih berkemungkinan mengalami stres bila
dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami perasaan tertekan.

15
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stres. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi stres menurut Santrock (2003: 560-565) yaitu:

a) Faktor Lingkungan
1. Beban yang terlalu berat, konflik, dan frustasi istilah yang sering digunakan
untuk beban yang terlalu berat di masa kini adalah burnout, perasaan tidak
berdaya, tidak memiliki harapan, yang disebabkan oleh stres akibat pekerjaan
yang sangat berat. Burnout membuat penderitanya merasa sangat kelelahan
secara fisik dan emosional.
2. Kejadian besar dalam hidup dan gangguan sehari-hari. Para Psikolog
menekankan bahwa kehidupan sehari-hari dapat menjadi penyebab stres seperti
halnya kejadian besar dalam hidup. Tinggal dengan keluarga yang mengalami
ketegangan dan hidup dalam kemiskinan bukanlah sesuatu yang dapat dianggap
sebagai kejadian besar dalam hidup seseorang, namun kejadian sehari-hari yang
dialami remaja dalam kondisi kehidupan seperti itu dapat menumpuk sehingga
menimbulkan kehidupan yang sangat penuh dengan stres, dan pada akhirnya
remaja akan mengalami gangguan psikologis atau penyakit.

b) Faktor-faktor kepribadian

Pola tingkah laku tipe A (type A behavior pattern) sekelompok karakteristik-


rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras, tidak sabar, mudah marah, dan sikap
bermusuhan- yang dianggap berhubungan dengan masalah jantung. Individu yang
bermusuhan dan parah sering diberi “reaktor panas”, yang berarti mereka memiliki
reaksi fisiologis yang kuat terhadap stres-detak jantungnya meningkat, pernafasannya
menjadi semakin cepat, dan otot-ototnya menegang, yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan penyakit jantung.

c) Faktor-faktor kognitif

Penilaian kognitif adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk menggambarkan


interpretasi individu terhadap kejadian kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu
yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan keyakinan mereka apakah mereka
memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif.

16
d) Faktor-faktor Sosial-Budaya
1. Stres akulturatif (acculturation) mengacu pada perubahan kebudayaan yang
merupakan akibat dari kontak langsung yang sifatnya terus menerus antara dua
kelompok kebudayaan yang berbeda. Stres akulturatif (acculturative) adalah
konsekuensi negatif dan akulturasi.
2. Status sosial-ekonomi kondisi kehidupan yang kronis, seperti pemukiman yang
tidak memadai, lingkungan yang berbahaya, tanggung jawab yang berat, dan
ketidakpastian keadaan ekonomi merupakan pemicu stres yang kuat dalam
kehidupan warga yang miskin.

2.3. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Stres

Dari penjelasan teori kedua variabel dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi dapat
membantu seseorang dalam menangani stress. Selain karena kecerdasan emosi dapat
mengarahkan seseorang untuk dapat beradaptasi dengan lebih baik, kecerdasan emosi juga
dapat mengetahui apakah seseorang mampu mengenali dan mengelola perasaan diri sendiri
(Adeyemo & Ogunyemi, 2003). Dengan mengenali dan mengelola perasaan diri sendiri,
seseorang dapat berinteraksi secara baik dengan orang lain sehingga dapat mengendalikan
pikiran dan tindakan dengan baik. Hal ini dapat membuat seseorang mampu menghadapi
tuntutan dan tantangan pekerjaan yang menimbulkan stres. Sejalan dengan pendapat
Chiarrochi, Goleman (2001) mengungkapkan bahwa adanya kecerdasan emosi seseorang
akan lebih sadar dengan emosinya sehingga lebih mudah bersikap dan lebih terampil dalam
hubungan antar pribadi, lebih percaya diri dan optimis, mudah beradaptasi dan menyesuaikan
diri terhadap lingkungannya, termasuk lingkungan kerja dan pastinya akan lebih baik dalam
menangani stres. Goleman (1999) juga mengemukakan bahwa kecerdasan emosi dalam dunia
kerja sangat penting karena banyak bidang pekerjaan yang dapat berjalan dengan
menggunakan cara pikir realistis dibandingkan dengan menggunakan perasaan atau emosi.
Pada aspek kecerdasan emosi terdapat kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati,
keterampilan sosial. Masing-masing dari aspek ini memiliki peran dalam mengelola stres
pada individu. Karambut (2012), menyatakan kecerdasan emosional yang semakin tinggi
sehingga stres semakin menurun. Tingkat kecerdasan emosional yang semakin rendah, maka
tingkat stres akan semakin meningkat.

17
2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan data yang telah dijelaskan oleh peneliti, maka hipotesis yang diajukan
adalah “Ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan stress pada pedagang offline di masa
pandemi Covid-19”.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Identifikasi Variabel Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat dua variabel, yaitu:

a) Variabel Bebas: kecerdasan emosi


b) Variabel Tergantung: stres

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional dari penelitian ini perlu dijabarkan untuk menghindari perbedaan
dalam menginterpretasi masing-masing variabel penelitian. Adapun definisi operasional yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Dependent Variable dari penelitian ini adalah stress yang dialami oleh pedagang
offline. Stress dapat kita artikan sebagai gangguan atau kekacauan mental dan
emosional yang disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut dapat timbul dari
luar maupun dalam diri individu yang mengakibatkan berbagai respon dari setiap
individu. Tingkat stress adalah tinggi rendahnya suatu stress yang dialami oleh
individu. Tingkat stress yang berbeda menghasilkan respon dari fisiologis, psikologis
dan perilaku yang dialami individu. Tingkat stress yang dialami oleh setiap individu
berbeda-beda tergantung dari kecerdasan emosi yang dimiliki oleh individu tersebut.

b) Independent Variable dari penelitian ini adalah kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi
adalah kemampuan untuk mengolah dan menggunakan emosi secara efektif untuk
mencapai tujuan yang produktif dan meraih keberhasilan. Kecerdasan emosi ini
memiliki manfaat yaitu mengendalikan, memahami dan mewujudkan emosi agar lebih

18
terkendali dan dapat memecahkan masalah kehidupan yang dialami oleh setiap
manusia. Menggunakan emosi secara efektif membuat individu akan lebih
bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas, tidak impulsif,
lebih bisa mengendalikan diri yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja dan
dapat menurunkan tingkat stress yang terjadi pada individu tersebut. Dan dengan
adanya kecerdasan emosi ini membuat individu tersebut dapat menangani segala
faktor-faktor yang mempengaruhi stress dan hasilnya individu tersebut dapat
menangani setiap tuntutan yang ada dalam kehidupannya.

3.3. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel


3.3.1. Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Hadi (2000), Populasi merupakan seluruh individu yang memiliki


generalisasi keadaan atau kenyataan yang sama. Populasi dalam penelitian adalah
keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi didefinisikan sebagai kelompok
subjek yang akan dijadikan generalisasi dari hasil penelitian. Sebagai suatu populasi,
kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang membedakannya dari
kelompok subjek yang lain. Ciri yang dimaksudkan tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi
akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik-karakteristik individu (Azwar, 2007). Populasi
dalam penelitian ini adalah pedagang offline yang berada di Kota Medan.

Sampel adalah sebagian dari populasi (Hadi, 2000). Sampel merupakan bagian dari
populasi yang memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya (Azwar, 2007). Sampel
dalam penelitian ini adalah pedagang offline di Kota Medan yang mengalami stress.

3.3.2. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel adalah cara-cara untuk memperkecil kekeliruan


generalisasi dari sampel ke populasi, hal ini dapat dicapai jika diperoleh sampel yang
representatif yaitu sampel yang benar-benar mencerminkan populasinya. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sampling
yaitu purposive sampling. Purposive sampling merupakan metode yang sampel diambil
berdasarkan pertimbangan subjektivitas peneliti namun dengan tetap berdasarkan pada
kriteria-kriteria yang telah dirumuskan mengenai definisi populasi.

19
3.4. Instrumen/Alat Ukur
3.4.1. Validitas dan Reliabilitas

a) Uji Validitas

Validitas mengacu pada sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam
mengukur apa yang diklaim untuk diukur. Jika semakin tinggi kualitas alat ukur, maka
semakin baik alat ukur itu digunakan. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap relevansi isi melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau
melalui expert judgement (penilaian ahli). Dalam hal ini, professional judgement yang
terlibat adalah dosen mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.

b) Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah konsistensi dari serangkaian alat ukur. Suatu alat ukur
dikatakan reliabel jika tes tersebut diberikan pada subjek yang sama dalam waktu yang
berbeda namun tetap memberi hasil yang relatif sama. Uji reliabilitas dalam pengukuran
ini akan dihitung menggunakan program software SPSS 25.0 for Windows.

3.5. Model Penelitian

Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian merupakan salah satu unsur
yang penting dalam sebuah penelitian karena dari sebuah metode dapat menentukan apakah
penelitian ini bisa atau tidaknya dipertanggungjawabkan (Hadi,2000).

Metode pengambilan data menggunakan skala yang dikembangkan sendiri, yaitu:


skala kecerdasan emosi diri dan skala tingkat stress pedagang. Model skala ini mengadopsi
skala Likert yang terdiri dari lima tingkatan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S),
Ragu-ragu (R), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS).

3.6. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

a) Penyusunan Alat Ukur

20
Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan untuk meneliti adalah skala.
Pembuatan skala tersebut dengan menentukan aspek-aspek yang digunakan untuk
membuat skala dan berdasarkan dari konsep yang telah dikemukakan dalam teori pada
bab sebelumnya. Setelah aspek-aspek ditentukan, peneliti membuat rancangan skala yang
berisi sejumlah item.

b) Administrasi dan Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur

Uji coba terhadap alat ukur dilakukan sebelum penelitian dilakukan, dengan
tujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas skala yang digunakan sehingga hasil
penelitian dapat dipertanggung jawabkan. Peneliti terjun langsung ke lapangan, yakni di
beberapa toko, warung, grosir, rumah makan dan berbagai tempat penjualanan atau
lokasi lain di Kota Medan, untuk membagikan skala penelitian kepada para responden.
Pengisian skala oleh responden dilakukan pada waktu pemberian skala dan diberikan
kembali kepada peneliti pada waktu yang sama. Uji coba terhadap alat ukur dilaksanakan
pada tanggal 26-30 Desember 2020 dan sebanyak 20 orang responden telah mengisi
skala.

c) Pengumpulan Data Penelitian

Setelah melakukan uji coba terhadap alat ukur, peneliti selanjutnya melaksanakan
pengumpulan data. Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 2-5 Januari 2021.
Peneliti terjun langsung ke lapangan, yakni di beberapa toko, warung, grosir, rumah
makan dan berbagai tempat penjualanan atau lokasi lain di Kota Medan, untuk
membagikan skala penelitian kepada para responden. Sebanyak 40 responden telah
mengisi skala.

3.7. Metode Analisis Data

3.7.1. Uji Asumsi

a) Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui kenormalan distribusi sebaran skor


variabel apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Dalam penelitian untuk menguji

21
normalitas data, peneliti menggunakan metode Kolmogrov-Smirnov dengan ketentuan
sebagai berikut:
● Jika signifikansi (Significance level) > 0.05 maka distribusi dinyatakan normal.
● Jika signifikansi (Significance level) < 0.05 maka distribusi dinyatakan tidak
normal.

b) Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua variabel mempunyai


hubungan yang linier atau tidak secara signifikan. Kaidah yang digunakan untuk
menguji linearitas data adalah:

● Jika signifikansi (Significance level) > 0.05 maka data tidak mempunyai hubungan
yang linear.
● Jika signifikansi (Significance level) > 0.05 maka data mempunyai hubungan yang
linear.

3.7.2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan korelasi Rank Spearman. Jonathan
dan Ely (2010:26) menyatakan bahwa korelasi Rank Spearman digunakan untuk
mengetahui hubungan atau pengaruh antara dua variabel berskala ordinal, yaitu variabel
bebas dan variabel tergantung. Ukuran asosiasi yang menuntut seluruh variabel diukur
sekurang-kurangnya dalam skala ordinal, membuat objek atau individu-individu yang
dipelajari dapat di ranking dalam banyak rangkaian berturut-turut. Skala ordinal atau skala
urutan, yaitu skala yang digunakan jika terdapat hubungan, biasanya berbeda di antara
kelas-kelas dan ditandai dengan “>” yang berarti “lebih besar daripada” Koefisien yang
berdasarkan ranking ini dapat menggunakan koefisien korelasi Rank Spearman.

22
DAFTAR PUSTAKA

Goleman, D. (1995). EI: Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsbury.

Goleman, D. (1998). Working with Emotional Intelligence. Bantam.

Goleman, D. (2004 ). Emotional Intelligence: Mengapa EQ Lebih Penting daripada IQ.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Saputri, K. A., & DYP., S. (t.thn.). Hubungan antara Self Efficacy dan Social Support dengan
Tingkat Stres pada Mahasiswa Akhir Penyusun Skripsi di FIP UNNES 2019.

Winarti, S. (2007). Skripsi. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Interaksi Sosial
pada Siswa-Siswi SMK Kelas X dan XI Cendika Bangsa Kepanjen Malang.

Azziyad, A. (2017) Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kemampuan Adversity Quotient
dengan Tingkat Stress Lingkungan pada Santri Kelas Vii Pondok Pesantren.

Deska Herlinda. (2018). Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Bersosialisasi


Siswa Di Lingkungan Sekolah Kelas VII SMP Negeri 03 Mukomuko

Witrin Gamayanti. (2018) Self Disclosure dan Tingkat Stres pada Mahasiswa yang sedang
Mengerjakan Skripsi

23
24

Anda mungkin juga menyukai