Anda di halaman 1dari 10

REAKSI ANAFILAKSIS

No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Reaksi anafilaksis atau anafilaksis adalah hipersensitifitas cepat, akut dan sistemik yang
ditimbulkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe I, terjadi dalam beberapa menit sampai 30
menit setelah terpajan dengan alergen spesifik dan berpotensi fatal.
Reaksi yang terjadi serupa reaksi anafilaksis disebut sebagai reaksi anafilaktoid atau
pseudoalergi yang terjadi atas dasar mekanisme non imun atau mekanisme imun lainnya
tetapi tidak dibedakan keduanya untuk tujuan diagnosis maupun pengobatan akutnya. Perlu
dipelajari mekanisme efektor yang terlibat pada patogenesis reaksi anafilaksis atau
anafilaktoid ini untuk dapat mengembangkan upaya-upaya agar dapat menurunkan resiko
yang optimal dan mencegah reaksi yang berulang.
Reaksi anafilaksis dapat terjadi cukup hebat sampai menimbulkan syok yang disebut sebagai
shok anafilaksis, yang membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat, sehingga diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola syok anafilaksis ini.
Data yang akurat mengenai insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik di Indonesia
saat ini belum ada. Insiden syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-
40 persen akibat zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat pemberian obat penisilin.
Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10.000.000 masyarakat/tahun.
Rencana injeksi penisilin dan obat-obatan yang berpotensi menimbulkan syok anafilaksis di
tempat praktek dokter atau ruang perawatan harus mempersiapkan semua kemungkinan
terburuk terjadinya syok anafilaksis paska-injeksi dan persiapan ketersediaan alat dan obat-
obatan dalam penatalaksanaanya.

TUJAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
reaksi anafilaksis.
TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:
1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis reaksi anafilaksis atau anafilaktoid.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyebab, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis atau
perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan dengan melibatkan pasien, anggota
keluarga dan masyarakat untuk mencegah reaksi anafilaksis berulang.

DEFINISI
Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 dengan onset cepat, bersifat sistemik
dan berpotensi fatal. Jika reaksi tersebut hebat, dapat menimbulkan syok yang disebut syok
anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.
Reaksi anafilaktoid atau pseudoalergi adalah reaksi yang terjadi serupa reaksi anafilaksis,
yang terjadi atas dasar mekanisme non imun atau mekanisme imun lainnya tetapi tidak
dibedakan keduanya untuk tujuan diagnosis maupun pengobatan akutnya.
Pada reaksi anafilaksis ditemukan adanya riwayat keluarga atopi, diperlukan sensitisasi
sebelumnya, jarang terjadi/kejadian <5%, gejala klinis khas, jumlah pajanan untuk timbul
reaksi biasanya sedikit, dosis pemicunya kecil, pengaruh fisiologisnya sedang, reaksi dapat
diramalkan dengan skin prick tes sedangkan pada reaksi anafilaktoid: tidak ada riawayat
atopi keluarga (kecuali defek enzim), reaksi terjadi pada pajanan pertama, sering terjadi
>5%, gejala klinis tidak khas, jumlah pajanan lebih banyak diperlukan untuk menimbulkan
reaksi, dosis tergantung kecepatan pemberian, reaksi tidak dapat diramalkan dengan skin
prick tes, pengaruh fisiologisnya: kuat.

ETIOLOGI
Berdasarka patofisiologi, bahan-bahan yang dapat menimbulkan reaksi dibagi atas reaksi
anafilaksis dan anafilaktoid. Reaksi anafilaksis terjadi melalui mekanisme pelepasan IgE,
misalnya akibat makanan (kacang tanah, kacang-kacangan, makanan asal laut, telur), obat-
obatan (penisilin sefalosporin, insulin,serum, ekstrak allergen), zat kontras, opioid,
barbiturat, pelemas otot, sengatan serangga seperti semut api, racun hymenoptera(lebah,
tawon,yellow jacket), lateks, beberapa hal dalam latihan jasmani.
Reaksi anafilaktoid terjadi akibat adanya gangguan metabolisme asam arakidonat (aspirin,
AINS), agregat imun (pemberian gama globulin, IgA-anti IgA, protamin, dekstran dan
albumin), penglepasan mediator direk pada sel mast dan basofil (vankomisin, radio kontras,
idiopatik, aktifitas, latihan jasmani), multifaktor sepeti aktifitasi komplemen non antigen-
antibodi (zat radio kontras, reaksi protamin, membran dialisat, reaksi transfusi,
immunoglobulin), aktifasi sistim kontak (membran dialisat, radio kontras), sulfit,
skromboid.
PETA KONSEP

Faktor genetik

Mekanisme Imunologik Mekanisme Mekanisme


IgE/FceRI Imunologik lainnya Non Imunologik

Pemicu Pemicu Pemicu


1. sengatan/gigit Aktivasi komplemen Latihan jasmani
2. makanan Aktivasi sistim koagulasi Medikamentosa (opioid)
3. obat-obatan Udara dingin, air dingin
Mekanisme autoimun
4. Lateks, cairan seminal Latihan jasmani
Agregat imun (Ig IV)
Udara dingin, air dingin
Medikamentosa (opioid)

Sel mast Sel basofil

Mediator

Preformed Newly generated Lain-lain


Histamin Leukotrein Sitokin
Triptase Prostaglandin kemokin
Karboksipeptidase A Platelet activating factor

Organ sasaran

Kulit Saluran Saluran Kardio vaskuler Susunan saraf pusat


napas cerna
Gatal Pusing Sakit kepala
Flushing Batuk Hipotensi Penurunan kesadaran
Mual
Bentol Sesak Syok Gangguan penglihatan
Muntah
Angio-edem Parau Denyut nadi melemah inkotinensia
Diare
Stridor
Nyeri perut
mengi

Gambar 1. Peta konsep reaksi anafilaksis


FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadinya anafilaksis adalah
1. Usia: dewasa lebih sering terjadi anafilaksis terhadap beta laktam, obat kontras, anestesi
dan sengatan serangga sedangkan anak-anak lebih sering menunjukkan terhadap reaksi
makanan.
2. Jenis kelamin: lebih sering pada anak laki-laki di bawah usia 15 tahun, tetapi pada dewasa
lebih sering pada wanita yaitu terhadap obat aspirin, kontras dan lateks. Wanita juga lebih
sering menunjukkan anafilaksis idiopatik. Pria lebih sering terhadap sengatan serangga.
3. Rute: dapat terjadi pada semua rute pemberian, pemberian parenteral lebih sering terjadi
dan lebih berat gejala yang timbul dibandingkan oral.
4. Atopi: lebih lebih sering terjadi pada individu atopi terutama terhadap lateks dan
makanan, namun tidak konsiten dengan kejadian terhadap beta laktam.
5. Riwayat pajanan: pemberian obat terus menerus lebih kurang memacu reaksi dibanding
pemberian intermiten.
6. Frekuensi meningkat pada pasien dengan status sosial lebih tinggi

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS
Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat terpajan dengan bahan tertentu dan fokus kan
pada bahan yang merupakan penyebab sebelum reaksi terjadi. Menanyakan lebih rinci
mengenani pajanan, kejadian dan kronologis. Menencari adanya diagnosis konkomitan
seperti asma, rhinitis, eksema dan penyakit alergi lainnya. Menanyakan apakah ada
bersamaan dengan pengobatan β-blocker dan ACE inhibitor.
Awitan dan perjalanan penyakit reaksi anafilaksis/anafilaktoid bervariasi, terjadi beberapa
detik atau sampai menit setelah terpajan dengan bahan penyebab, bahkan dapat timbul
sampai 2 jam. Gejala dapat terjadi pada awal dan kemudian menghilang untuk beberapa
jam lalu timbul kembali, respon ini disebut bifasik. Tanda dan gejala dapat menetap
beberapa jam meskipun diberikan pengobatan.
Gejala yang timbul berupa perasaan seperti mau mati; panas; kesemutan atau gatal pada
telapak tangan,bibir, genitalia, aksila, kulit kepala; terasa mengganjal di tengorokan; rasa
tercekik; suara parau; dada rasa tertekan; gangguan penglihatan dan sakit kepala. Gejala
pada kardiovaskuler berupa palpitasi,pingsan, sinkop,kepala terasa ringan, gejala saluran
napas atas berupa hidung tersumbat, rinore, bersin, sesak napas, gejala saluran napas bawah
berupa batuk dan mengi. Gejala gastrointestinal berupa kembung, enek, muntah dan kram.
Gejala pada kulit berupa kemerahan dan gatal yang menyeluruh.

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat,
hipotensi (gejala yang menonjol pada syok anafilaktik), edema periorbital, angioedema,
mata berair, konjungtiva hiperemi. sianosis, edema laring, stridor inspirasi, bronkospasme,
wheezing, takikardia, aritmia, Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.

PEMERIKSAAN PENUNJUANG
Pada fasilitas kesehatan tingkat pertama : dapat dilakukan pemeriksaan hitung eosinophil
darah tepi, hasilnya sering normal atau meningkat.
Pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut dapat dilakukan uji kulit berupa skin prick test
(makanan) dan intradermal test (antibiotik), pemeriksaan IgE allergen spesifik kuantitatif
dan IgE serum total, challenge test terhadap allergen spesifik (makanan, obat) namun harus
hati-hati sedangkan untuk alergen non-spesifik (tes latihan jasmani, tes terhadap dingin).
Pemeriksaan lain berupa triptase serum, histamin serum dan metabolit histamin urin (N-
metil histamin). Kadar triptase serum meningkat dalam serum 1 jam paska reaksi dan dapat
ditemukan sampai 6 jam. Histamin plasma meningkat dalam 5 menit setelah awal reaksi
anafilaksis dan menurun dalam 30-60 menit. N-metil histamine lebih berguna, dapat
ditemukan di urin dalam 24 jam.

DIAGNOSIS KLINIS
Kriteria diagnosis menurut Sampson dkk, JACI 2006, bila terdapat beberapa gejala dari 1
kriteria diantara 3 kriteria di bawah ini.dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Kriteria diagnosis anafilaksis
Positip beberapa gejala dari 1 kriteria diantara 3 kriteria di bawah ini.
Kriteria pertama onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa
jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari
respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ
sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa
menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa
kulit; respiratory compromise; penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan; dan gejala gastrointestinal yang persisten
Kriteria ketiga terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang
rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%, sedangkan pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari
tekanan darah awal.
Berdasarkan beratnya gejala yang terjadi Ring J, Browkow dan Behrendt,2004 dibagi atas
derajat I, derajat II, derajat III dan IV sepertri terlihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Derajat anafilaksis berdasarkan beratnya gejala klinis
Gejala
Derajat Dermal Abdominal Respiratori K ardiovaskuler
I Pruritus
Flush
Urticaria
Angiodema
II Pruritus Nausea Rinorea Takikardia
Flush Kram Suara serak (>120x/menit)
Urticaria Dispneu Perubahan tekanan
Angiodema (not darah (> 20 mmHg
mandatory) sistolik)
Aritmia
III Pruritus Muntah Laryngeal oedema Shock
Flush Defekasi Bronkospasme
Urticaria Diarroea Sianosis
Angiodema (not
mandatory)
IV Pruritus Muntah Respiratory arrest Cardiac arrest
Flush Defekasi
Urticaria Diarroea
Angiodema (not
mandatory)
DIAGNOSIS BANDING
1. Reaksi vasopresor: bentuk lain shok hemoragik, shok kardiogenik, endotoksik
2. Sindrome restoran : monosodium glutamat, skromboidosis, sulfit
3. Sindrom flush: niasin,karsinoid, paska menopause, alkohol/klorpropamid, karsinoma
medula tiroi,epilepsi autonom, idiopatik
4. Produksi histamin endogen berlebihan: mastositosis sitemik,urtikaria, leukemia, kista
hidatid
5. Penyakit non-organ: serangan panik, sindrom disfungsi pita suara
6. Kardiovaskuler: sinkop vaso-vagal, syok hipovolemik, syok kardiogenik
7. Syok: perdarahan, kardiogenik, sepsis
8. Endokrin : sindrom karsinoid, feokromasitoma, karsinoma medula tiroid
9. Paru; serangan asma, emboli paru, benda asing saluran napas.
10. Sindroma karsinoid: akibat penglepasa bahan vasoaktif oleh tumor pada
bronkus,lambung, pankreas usus halus. Pada kasus ini epinefrin adalah kontraindikasi
karena memacu flush karsinoi
11. Saraf: epilepsi autonom, stroke, penyakit yang menimbulkan pingsan
12. Toksik/metabolik: monosodium-glutamat, sindrom chinese restaurant, Red man
(sindrom paska infus vankomisin), overdosis obat, keracunan ikan skromboid, sulfit
13. Penyakit sistemik: mastositosis sistemik, angioedema herediter, leukemia basofilik,
leukemia promielositik akut.

SARANA PRASARANA
1. Infus set
2. Oksigen
3. Adrenalin/epineprin ampul
4. Aminofilin ampul
5. Metilprednison ampul
6. Sulfas atropin ampul
7. Ipratropium nebul, alat nebulisasi
8. Difenhidramin vial
9. Dexamethasone ampul
10. Infus set dan NaCl 0,9%
11. Resurcitation kit

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Pengobatan diberikan sesuai derajat beratnya reaksi, bila reaksi hanya berupa uttikaria tanpa
keterlibatan sistim pulmo, kardiovaskuler maka antihistamin sudah cukup : AH1 atau AH2
(anti Histamin-1 atau anti Histamin-2). Pada kasus ringan cukup dipantau 6 jam. Pada
keadaan ekstrim jika diperlukan intubasi endotrakhea atau trakeostomi perlu
dipertimbangkan. Seandainya terjadi cardiac arrest maka prosedur RJP (resursitasi jantung
paru) harus dilaksanakan segera. Penatalaksanaan akut anafilaksis dapat dilihat pada
gambar 2 di bawah ini.
Gambar 3 mengenai algoritme penanganan anafilaksis. Pertimbangkan untuk perawatan di
rumah sakit bila terapi awal tidak memberikan respon. Untuk ksus ringan cukup observasi
selama 6 jam.

Nilai Pengobatan Jika diperlukan,diberikan terapi


Jalan napas Epinefrin tambahan
Frekuensi napas Epinefrin Β-2 agonis inhalasi
Sirkulasi Oksigen 3-5 L/menit Anti histamin (AH1)
Orientasi Cairan intra vena Anti histamin (AH2)
Posisi rekumben,tungkai ditinggikan
KulitBerat badan Kortikostroid
Vasopressor
Glucagon

Lain-lain
Resursitasi jantung paru
Ekspansi volume cepat

Gambar 2. Penatalaksanaan akut anafilaksi


Riwayat reaksi alergi berat dengan repiratory
compromise atau hipotensi terutama dengan
perubahan kulit

Identifikasi dan hentikan alergen

Oksigen 100% 8 L/m

Adrenalin / epinephrine (1:1000) 0,3-0,5 ml IM (0,01 mg/kg BB)

Ulangi 5-15 menit jika tidak ada perubahan klinis

Antihistamin 10-20 mg IM atau IV polan

Terapi tambahan
1. Berikan cairan IV 1-2 L jika tanda – tanda syok tidak ada respon terhadap obat
2. Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang dan pasien dengan asma
3. Methyl prednisolone 125-250 mg IV
4. Dexametasone 20 mg IV
5. Hydrocortisone 100-500 mg IV pelan
6. Inhalasi short acting β-2 agonist pada bronkospasme berat
7. Vasopressor

Bila respon tidak baik rujuk ke rumah sakit


PPK-1

Gambar 3. Algoritme penanganan anafilaksis


PPK-2-3
TERAPI FARMAKOLOGIS`
1. Epinefrin
Dosis epinefrin dewasa 0,2 mL-0,3 mL (1:1000) lM (intra muskuler) atau SK (sub
kutan). Untuk reaksi berat, berikan IM (diabsorpsi lebih cepat). Dosis dapat diulang
setiap 10 sampai 15 menit pada jam pertama, bila pasien tetap hipotensi, pertimbangkan
plasma volume expander.
Dosis epinefrin anak 0,01 mg/kg sampai 0,3 mg atau 0,3 cc larutan 1:1000 diberikan
IM.dosis dapat diulang setiap 15 menit sampai 3 dosis
2. Kortikosteroid
Prednison 1 mg/kg peroral tiap 6 jam atau metilprednison 1-2 mg/kgBB ;IV tiap 6 jam
3. Antihistamin
Difenhidramin : dosis dewasa 25-50 mg (1 mg/kgBB tiap 4-6 jam) parenteral. Dosis anak
1-2 mg/kgBB, maksimal 50 mg. Dapat diteruskan difenhidramin oral setiap 4-6 jam bila
perlu. Dapat ditambahkan antihistamin H2 (anti H2), misalnya simetidin 300 mg IV
lambat.
4. Glukagon
Diberikan pada pasien yang resisten terhadap epinefrin. Pasien yang mendapat β-bloker
memiliki resiko tinggi untuk resistensi epineprin.dosis glucagon 0,03-0,1 mg/kg Bb ,
dosis maksimal 1mg/dosis IV, dapat diulang tiap 20 menit.

KONSELING DAN EDUKASI


Keluarga perlu diberitahukan mengenai obat-obat yang akan diberikan, dalam bentuk
suntikan atau oral dan mewaspadai obat-obat yang telah dilaporkan menimbulkan reaksi
anafilaksis (serum,penisillin, anestesi lokal, dll). Perhatikan secara teliti semua obat dengan
label yang benar. Pasien yang tergolong memiliki risiko tinggi (riwayat asma, rinitis, eksim,
atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi.
Dapatkan catatan mengenai riwayat obat-obatan yang menimbulkan alergi pada pasien atau
keluarganya. Jangan mencoba memberi atau menyuntikkan obat yang sama bila
sebelumnya pernah ada riwayat alergi. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang
lebih aman dan sedapatnya tidak parenteral. Bila diperlukan parenteral, pasien diobservasi
selama 20-50 menit pasca suntikan.
Pada anak-anak dengan reaksi anafilaksis, perlu melibatkan orangtua, petugas kesehatan dan
sekolah. Perlu diawasi berbagai hal yang dapat mengancam nyawa dan mengetahui apa yang
harus dilakukan. Ajarkan bahwa anafilakis dapat menimbulkan reaksi alergi yang berat,
awitan cepat dan mengancam nyawa.

MONITORING PENGOBATAN
Setelah penanganan reaksi anafilaksis diberikan, harus dilakukan observasi 24 - 72 jam
terhadap pasien, untuk mencegah fase bifasik yang muncul karena efek epinefrin yang
sudah mulai hilang. Munculnya fase bifasik pada anafilaksis dilaporkan pada 1-20% kasus,
terutama serangan berat. Keterlambatan pemberian epinefrin atau dibutuhkan dosis ekstra
untuk mengontrol serangan awal berhubungan dengan munculnya fase ini.

KRITERIA RUJUKAN
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak terdapat
perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.

KOMPLIKASI
Komplikasi berupa cedera otak akibat hipoksis berat, koma, kematian.

PROGNOSIS
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.

PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap reaksi anafilaksis berupa menghindariReaksi anaf zat-zat penyebab
terjadinya anafilaksis, memberikan tanda berupa gelang atau kalung (medic alert). Hindari
beta adrenergik bloker, inhibitor angiotensin converting enzyme, angiotensin bloker,
inhibitor MAO dan antidepresan trisiklik pada pasien yang cenderung sensitif terjadi
anafilaksis. Pasien yang memerlukan prosedur pemeriksaan atau perlu mendapatkan
bahan/obat yang berisiko anafilaksis, dapat dilakukan teknik pencegahan antara lain pre-
terapi, uji provokasi dan desensitisasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Baratawidjaya KG, Rengganis I. Reaksi anafilaksis dan anafilaktoid. Dalam alergi
dasar.Edisi 1. Jakarta, Interna Publishing, pusat penerbitan ilmu penyakit dalam 2009:
69-93.
2. Panduan Praktik Klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer edisi 1
Pengurus Besar Ikatan Dokter indonesia. (2013). Hal. 74-80
3. Panduan Praktik Klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer edisi 1
Pengurus Besar Ikatan Dokter indonesia. (2015). Hal. 44-47
4. Rengganis I, Sundaru H, Sukmana N, Mahdi D. Renjatan anafilaktik. Dalam Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 4130: 4136
5. Ring J, Behrendt H, de Weck A, History and Classification of Anaphylaxis. In Ring J
(ed): Anaphylaxis. Chem Immunol Allergy. Basel, Karger, 2010, vol 95, pp 1–11.

Anda mungkin juga menyukai