Anda di halaman 1dari 26

MODUL 4

PERLINDUNGAN TANAMAN TERHADAP GULMA

PENDAHULUAN

Pokok-pokok Isi dan Manfaat


Pada Modul 4 telah diuraikan bahwa dinamika populasi dan invasi gulma
memungkinkan gulma menjadi pesaing tanaman yang sangat merugikan karena
kehilangan hasil yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, tanaman perlu dilindungi dari
kompetisi oleh gulma. Untuk itu, karena perlindungan tanaman bukan hanya
permasalahan teknis, diperlukan pemahaman mengenai kebijakan perlindungan
tanaman selain pemahaman mengenai aspek teknis. Guna memperoleh
pemahaman yang konprehensif tersebut, pada modul ini terlebih dahulu diuraikan
dasar-dasar kebijakan perlindungan tanaman dan kemudian aspek teknis pengambilan
keputusan perlindungan tanaman terhadap gulma. Uraian tersebut dibagi menjadi tiga
kegiatan belajar sebagai berikut:
1) PHT sebagai dasar kebijakan perlindungan tanaman terhadap
gulma
2) Tindakan perlindungan tanaman terhadap
gulma
3) Periode kritis sebagai pertimbangan teknis perlindungan tanaman terhadap gulma
Penyajian dalam tiga kegiatan belajar ini diharapkan dapat membantu
memahami perlindungan tanaman terhadap gulma sebagai bagian dari perlindungan
tanaman secara utuh dan menyeluruh. Modul 5 ini sangat berkaitan dengan
Modul 6 mengenai pengendalain gulma sebagai bagian dari perlindungan tanaman.

Kompetensi Khusus
Setelah mempelajari ketiga kegiatan belajar yang menjadi bagian dari modul
ini mahasiswa diharapkan mampu:
1) Menyebutkan dan menjelaskan berbagai peraturan perundangan-undangan
yang menjadi dasar kebijakan perlindungan tanaman
2) Menyebutkan dan menjelaskan tindakan perlindungan tanaman yang
perlu
dilakukan untuk melindungi tanaman dari ganggaun yang disebabkan oleh
gulma
3) Menjelaskan pertimbangan teknis yang diperlukan sebagai dasar
pengambilan kebijakan perlindungan tanaman terhadap gulma

Indikator dan Petunjuk Belajar


Keberhasilan mempelajari modul ini ditentukan dengan indikator kemampuan
memahami materi yang diukur dengan kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan pada tes formatif. Untuk dapat memahami uraian pada ketiga kegiatan
belajar, mahasiswa diharapkan membaca uraian ketiga kegiatan belajar secara
berurutan dengan kritis. Kemudian mahasiswa diharapkan mengerjakan sendiri latihan
yang disertakan pada setiap kegiatan belajar dan kemudian mendiskusikannya dengan
kawan
mahasiswa lainnya. Untuk mengukur sejauh mana mahasiswa mampu mensintesis isi
uraian pada setiap kegiatan belajar, mahasiswa dapat membandingkan pemahamannya
dengan isi ringkasan dan glosarium yang disertakan pada bagian akhir setiap kegiatan
belajar.

KEGIATAN BELAJAR 1:
GULMA SEBAGAI OBYEK TINDAKAN PERLINDUNGAN TANAMAN

Uraian
Perlindungan tanaman perlu dilakukan untuk meminimalisasi kehilangan hasil
yang dapat disebabkan oleh binatang hama, patogen, dan gulma. Di satu pihak,
meminimalisasi kehilangan hasil merupakan kepentingan semua petani dan bahkan
juga pemerintah. Di pihak lain, tindakan perlindungan tanaman yang diperlukan untuk
meminimalisasi kehilangan hasil, bila dilakukan secara sembarangan, hasilnya
akan kurang efektif dan bahkan justeru dapat merugikan, baik terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlindungan tanaman perlu
diatur melalui perundang-undangan sehinga hasilnya dapat diupayakan menjadi lebih
optimak dan kerugian yang ditimbulkannya dapat diminimalisasi. Peraturan
perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan tanaman yang telah
ditetapkan sebenarnya banyak, tetapi yang perlu dipahami sebagai dasar adalah
Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No.
16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Peraturan
Pemerintah (PP) No. 6
Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman PP No. 14 Tahun 2002 tentang karantina
Tumbuhan, dan PP No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran,
Pemyimpanan dan Penggunaan Pestisida.

Di antara peraturan perundang-undangan tersebut, UU No. 12 Tahun 1992 yang terdiri


atas 12 bab dan 66 pasal dapat dipandang sebagai payung peraturan perundang-undang
mengenai perlindungan tanaman. Ketentuan mengenai perlindungan tanaman
diatur pada Bab III mengenai Penyelenggaraan Budidaya Tanaman sebagai Bagian
Keenam mengenai Perlindungan Tanaman mulai dari Pasal 20 sampai dengan Pasal
27. Pasal 21 menyatakan bahwa “perlindungan tanaman dilaksanakan melalui kegiatan
berupa:
1) pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke dalam dan
tersebarnya
dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) pengendalian organisme pengganggu
tumbuhan;
3) eradikasi organisme pengganggu
tumbuhan.”
Kegiatan perlindungan tanaman butir pertama sebagaimana diatur pada Pasal 21
selanjutnya diatur lebih lanjut pada Pasal 23 dan kemudian secara khusus melalui UU
UU No. 16 Tahun 1996 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dan PP No.
14
Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan yang terdiri atas 13 bab yang mencakup
95
pasal. Ketiga butir kegiatan perlindungan tanaman diatur lebih lanjut pada Pasal 22
dan Pasal 24-Pasal 27 dan kususnya butir kedua dan butir ketiga, diatur lebih lanjut
melalui PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman dan melalui PP No. 7
Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Pemyimpanan dan Penggunaan
Pestisida. PP No. 6
Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman terdiri atas 6 bab yang mencakup 29 pasal.
Perlindungan tanaman yang dalam UU No. 12 Tahun 1992 disebutkan terdiri atas
tiga
„kegiatan‟, dalam PP ini disebutkan terdiri atas tiga „tindakan‟ perlindungan
tanaman
sebagaimana diatur secara rinci dalam Bab II, Bab III, dan Bab
IV.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab sebelum terlalu jauh mempelajari peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan tanaman adalah apakah
perlindungan tanaman dari gulma termasuk sebagai bagian dari kegiatan/tindakan
perlindungan tanaman sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu dipahami istilah baru
yang diperkenalkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut, yaittu organisme
pengganggu tumbuhan yang kini lazim disingkat menjadi OPT dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang kini lazim disingkat OPTK. Pasal 1 UU No.
12
Tahun 1992 dan PP No. 6 Tahun 1995 memberi definisi OPT
sebagai:
... semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tumbuhan,
sedangkan UU No. 16 Tahun 1992 dan PP Np. 14 Tahun 2002 memberikan definisi
OPTK sebagai:
... organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan Pemerintah untuk dicegah
masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
Kedua definisi di atas mempunyai kata-kata kunci „merusak‟, mengganggu
kehidupan,
„menyebabkan kematian‟, dan „dicegah masuknya‟ yang sejauh ini, setelah
mempelajari Modul 1 sampai Modul 3, dapat dipahami merupakan kata-kata kunci
yang juga berlaku untuk gulma. Dengan demikian, secara tersirat gulma merupakan
bagian dari OPT maupun OPTK. Di sini dikatakan tersirat karena di dalam semua
peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan tanaman tidak
pernah disebut istilah gulma, apalagi didefinisikan. Oleh karena bagian dari OPT dan
OPTK maka gulma dengan demikian merupakan obyek perlindungan tanaman,
sebagaimana halnya juga binatang hama dan organisme penyebab penyakit tumbuhan
(patogen). Sebagai obyek perlindungan tanaman maka gulma juga dapat dikenai
tindakan pencegahan masuknya, pengendalian, dan eradikasi.

Pencegahan masuk berarti kegiatan/tindakan perlindungan tanaman yang


dilakukan, sebagaimana telah diuraikan pada Modul 3, untuk mencegah introduksi
(„masuknya‟) dan pemencaran gulma. Secara konseptual introduksi („masuknya‟) dan
pemencaran („keluarnya‟) dapat terjadi dalam skala lahan usaha, hamparan agro-
ekosistem, atau wilayah yang lebih luas. Secara peraturan perundang-undangan
introduksi dibatasi pada
„masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam wilayah negara Republik Indonesia‟ dan
pemecaran dibatasi pada „keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia‟.
Namun demikian, pembatasan ini sebenarnya dimaksudkan lebih pada pencegahan
sebagai kewajiban pemerintah pada tingkatan tertentu, dalam hal ini pemerintah pusat,
untuk melakukan upaya pencegahan melalui karantina. Pencegahan „masuknya‟ ke
atau
„keluarnya‟ dari lahan usaha merupakan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh
petani secara mandiri, pencegahan „masuknya‟ ke atau „keluarnya‟ dari hamparan agro-
ekosistem merupakan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh petani secara
berkelompok, dan pencegahan „masuknya‟ ke atau „keluarnya‟ dari wilayah yang lebih
luas, misalnya ke atau dari wilayah kabupaten/kota, merupakan kewajiban yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengenai otonomi daerah mempunyai kewenangan untuk
melakukan hal itu.

Pengendalian merupakan kegiatan/tindakan perlindungan tanaman yang dilakukan


dalam rangka pencegahan maupun penanggualangan OPT dengan menggunakan cara-
cara fisik, mekanik, budidaya, biologi, genetik, kimiawi, dan/atau cara lain sesuai
dengan perkembangan teknologi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 PP No. 6
Tahun
1995. Kata kunci dalam konteks pengendalian OPT adalah pencegahan
dan
penanggulangan, tetapi pencegahan dalam konteks pengendalian jangan
dikacaukan dengan pencegahan masuknya. Pencegahan dalam kaitan dengan
pengendalian harus diartikan sebagai upaya yang harus dilakukan agar jangan sampai
populasi OPT meningkat sehingga dapat „dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tumbuhan‟, sedangkan penanggulangan harus diartikan sebagai
upaya yang harus dilakukan agar populasi OPT yang sudah tinggi dapat
diturunkan sehingga menjadi tidak lagi „dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan‟. Untuk maksud tersebut
digunakan cara-cara „fisik, mekanik, budidaya, biologi, genetik, kimiawi, dan/atau cara
lain sesuai dengan perkembangan teknologi‟. Mengenai cara-cara berikut sarana dan
peralatan yang diperlukan untuk melakukan gulma akan diuraikan lebih rinci pada
Modul 5.

Eradikasi merupakan „tindakan pemusnahan terhadap tanaman, organisme pengganggu


tumbuhan, dan benda lain yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu
tumbuhan di lokasi tertentu‟ (Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1992 dan Pasal 1 PP No.
6
Tahun 1995). Definisi ini berlaku untuk semua golongan OPT sehingga eradikasi juga
perlu dilakukan terhadap tanaman yang dalam kaitan dengan binatang hama dapat
terserang atau dalam kaitan dengan organisme penyebab penyakit tumbuhan dapat
menderita sakit. Eradikasi dalam kaitan dengan gulma terutama dilakukan terhadap
gulma itu sendiri sebagai OPT dan dan benda lain yang menyebabkan
tersebarnya gulma. Meskipun demikian, bila gulma yang harus dieradikasi tumbuh
bersama dengan tanaman dan sulit dapat dipisahkan maka eradikasi tanaman
juga tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu, sebagaimana halnya dengan
eradikasi OPT golongan
lainnya, eradikasi terhadap gulma juga dapat disertai dengan kewajiban
pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada petani yang tanamannya harus
dieradikasi.

Latihan
Silahkan unduh dari Internet dan pelajari Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1995 tentang
Perlindungan Tanaman PP No. 14 Tahun 2002 tentang karantina Tumbuhan, dan
PP No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Pemyimpanan dan
Penggunaan Pestisida. Carilah berbagai ketidakkonsistenan penggunaan istilah dan
konsep yang terjadi antar pasal-pasal dalam satu perundang-undangan dan
antar peraturan perundang-undangan. Pikirkan dan diskusikan dengan teman-teman
mengapa hal seperti itu terjadi dan apa konsekuensinya.

Rangkuman
Meskipun dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
tanaman tidak disebutkan secara tersurat, dapat disimpulkan bahkwa gulma merupakan
bagian dari OPT. Oleh karena itu, gulma merupakan obyek perlindungan tanaman.
Sebagai obyek perlindungan tanaman maka gulma dapat dikenai kegiatan
tindakan pencegahan masuknya, pengendalian, maupun eradikasi.

Glosarium
eradikasi: tindakan pemusnahan terhadap tanaman, organisme pengganggu tumbuhan,
dan benda lain yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu
tumbuhan di lokasi tertentu
karantina: (1) tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya organisme
pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam
negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia, (2)
tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk
dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri
dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam
wilayah negara Republik Indonesia
organisme pengganggu tumbuhan: semua organisme yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan
organisme pengganggu tumbuhan karantina: organisme pengganggu tumbuhan
yang ditetapkan Pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya
di dalam wilayah negara Republik Indonesia
penanggulangan: upaya yang harus dilakukan agar populasi OPT yang sudah
tinggi dapat diturunkan sehingga menjadi tidak lagi „dapat merusak,
mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan‟.
pencegahan: (1) kegiatan/tindakan perlindungan tanaman yang dilakukan
untuk
mencegah introduksi („masuknya‟) atau pemencaran („keluarnya‟), (2)
kegiatan/tindakan perlindungan tanaman yang dilakukan untuk mencegah
masuknya dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau
keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia
pencegahan: upaya yang harus dilakukan agar jangan sampai populasi OPT
meningkat
sehingga dapat „dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan
kematian tumbuhan‟
pengendalian: kegiatan/tindakan perlindungan tanaman yang dilakukan dalam
rangka
pencegahan maupun penanggualangan OPT dengan menggunakan cara-cara
fisik, mekanik, budidaya, biologi, genetik, kimiawi, dan/atau cara lain sesuai
dengan perkembangan teknologi
perlindungan tanaman: segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya
tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan

KEGIATAN BELAJAR 2:
PHT SEBAGAI DASAR KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TANAMAN
TERHADAP GULMA

Uraian
Pasal 20 UU No. 12 Tahun 1992 dan Pasal 3 PP No. 6 Tahun 1995 menyatakan bahwa
“Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu”.
Hal ini berarti bahwa ketiga kegiatan/tindakan perlindungan tanaman (pencegahan
masuk dan/atau keluarnya organisme pengganggu tumbuhan, pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan, dan eradikasi organisme pengganggu tumbuhan) dilaksanakan
dengan menggunakan PHT sebagai dasar kebijakan, meskipun dalam UU No. UU
No.
16 Tahun 1992 yang terdiri atas 11 bab yang mencakup 34 pasal maupun dalam PP
No.
14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan yang terdiri atas 13 bab yang
mencakup
95 pasal tidak disinggung mengenai pengendalian hama terpadu. Dengan
ditetapkannya pengendalian hama terpadu sebagai sistem perlindungan tanaman di
Indonesia maka seluruh kegiatan/tindakan perlindungan tanaman perlu didasarkan
atas pengendalian hama terpadu, termasuk di dalamnya perlindungan tanaman
terhadap gulma.

Sebenarnya apakah pengendalian hama terpadu tersebut? Pasal-pasal peraturan


perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan tanaman tersebut di atas
tidak satupun menyebutkan apa sebenarnya pengendalian hama terpadu. Bahkan Pasal
1 yang biasanya berisi istilah dan definisi istilah yang digunakan dalam peraturan
perundang- undangan, tidak memuat istilah maupun definisi pengendalian hama
terpadu dan juga istilah dan definisi hama. Pasal 1 UU No. 12 Tahun 1992, UU No. 16
Tahun 1992, PP No. 6 Tahun 1995, dan PP No. 14 Tahun 2002 justeru memuat
definis organisme pengganggu tumbuhan (OPT) sebagai semua organisme yang
dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan.
Istilah pengendalian
hama terpadu dapat dipahami hanya dari penjelasan Pasal 20 Ayat 1 yang menyatakan
sebagai berikut:
Sistem pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau
tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan
menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang
dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian
secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup...(cetak tebal ditambahkan)
Dari kutipan mengenai penjelasan Pasal 20 Ayat 1 tersebut dapat disimpulkan
bahwa:
1) Pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian. Bila demikian maka
penjelasan Pasal 20 Ayat 1 ini justeru menjadi bertentangan dengan isi Pasal
21
Ayat 1 sendiri bahwa “Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem
pengendalian hama terpadu” dan isi Pasal 21 bahwa perlindungan tanaman
dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan masuknya dan/atau keluarnya OPT,
pengendalian OPT, dan eradikasi OPT.
2) Pengendalian dilakukan terhadap populasi atau tingkat serangan organisme
pengganggu tumbuhan. Dengan demikian hama sebagai sasaran pengendalian
dalam istilah pengendalian hama terpadu adalah populasi atau tingkat
serangan OPT.
3) Upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan OPT dilakukan
dengan
menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang
dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian
secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Hal ini tidak konsisten dengan
penjabaran kembali dalam Pasal 10 PP No. 6 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa
pengendalian dilakukan dengan menggunakan cara, bukan teknik.

Lalu bagaimana pengertian pengendalian hama terpadu sebagai konsep ilmiah?


Menurut Untung (2007), pengendalian hama terpadu yang diterapkan di Indonesia
sebenarnya adalah pengelolaan hama terpadu. Secara ilmiah, pengendalian hama
terpadu dan pengelolaan hama terpadu mempunyai pengertian yang berbeda. Sebagai
konsep ilmiah, dikembangkan oleh para peneliti Universitas Kalifornia di Bekeley dan
di Riverside selama kurang lebih 10 tahun sebelum kemudian diadopsi secara
internasional pada sebuah simposium yang disponsori FAO pada 1965. Pada
simposium tersebut, pengendalian hama terpadu diartikan sebagai pemaduan cara
pengendalian kimiawi dan
hayati:
... applied pest control which combines and integrates biological and chemical
control. Chemical control is used as necessary and in a manner which is least
disruptive to biological control. Integrated control may make use of naturally
occurring biological control as well as biological control effected by
manipulated or induced biotic agents’. (Stern et al. 1959)

Sementara itu, seiring dengan perkembangan, pakar ekologi Australia P.W. Geier dan
L.R. Clark pada 1961pertama kali mengusulkan istilah pengelolaan hama terpadu.
Istilah pengelolaan hama terpadu tersebut mulai mendapat lebih banyak perhatian di
AS sejak sejak publikasi artikel pada Annual Review of Entomology article in
1966, laporan National Academy of Science (NAS) pada 1969, dan prosiding
konferensi di North Carolina yang menghadirkan pakar dari Australia. Istilah
pengendalian hama terpadu sebagaimana yang sekarang digunakan, didefinisikan
pertama kali pada 1998 oleh M. Kogan. Menurut Kogan, pengelolaan hama terpadu
merupakan:
... a decision support system for the selection and use of pest control
tactics,
singly or harmoniously coordinated into a management strategy, based on
cost/benefit analyses that take into account the interests of and impacts on
producers, society, and the environment (Kogan, 1998).
Terdapat banyak sekali definisi mengenai pengelolaan hama terpadu. Namun
demikian, PHT sebenarnya adalah sistem pendukung pengambilan keputusan untuk
pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama. Dalam hal ini hama diartikan
dalam pengertian yang luas, mencakup binatang hama, patogen, dan gulma pada
hewan, ikan, dan tanaman, bahkan pada fasilitas umum dan lingkungan hidup.
Dengan demikian jelas bahwa PHT bukan sekedar pemaduan satu atau lebih cara
pengendalian sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No. 12 Tahun 1992
tentang Perlindungan Tanaman. Untuk menghindarkan kebingungan dalam
memahami, pengendalian hama terpadu sebagaimana yang dimaksudkan dalam
peraturan perundang-undangan akan ditulis sebagai Pengendalian Hama Terpadu dan
selanjutnya disingkat PHT, sedangkan sebagai konsep ilmiah akan digunakan istilah
„pengendalian hama terpadu‟ dan „pengelolaan hama terpadu‟ dengan pengertian yang
berbeda.

Seiring dengan perkembangan „pengelolaan hama terpadu‟, konsep pengelolaan


gulma terpadu (integrated weed management, disingkat IWM) pertama kali dibahas
pada 1981 pada Weed Science Society of America (WSSA) Symposium berjudul
Integrated Weed Management Systems Technology for Crop Production and
Protection. Sejak itu IWM terus berkembang sampai pada saat ini. Menurut UC-IPM
Online (2009), IWM:
... involves the use of all available strategies to manage weed populations in a
manner that is economically and environmentally sound. Such strategies include
cultural, mechanical, and chemical methods.
Menurut CSIRO (n.d.), IWM:
... combines the use of complementary weed control methods such
as:
 grazing
 herbicide application
 land fallowing
 biological control.
The resulting combinations provide the best possible solutions to weed problems
for land managers.
Menurut MAL (2010), IWM:
A balanced approach to successfully managing the resource must include
the following processes:
 managing the resource to prevent weeds from invading
 proper identification and knowledge of invasive weed species
 inventory, mapping and monitoring of weed populations and damage
 making control decisions based on knowledge of potential damage, cost of
control method and environmental impact of the weed and control decision
 using control strategies that may include a combination of methods to
reduce the weed population to an acceptable level
 evaluating the effectiveness and effects of management decisions (cetak
tebal sebagaimana aslinya)
Konsep IWM sebagaimana diberikan oleh MAL (2010) memandang IWM sebagai
komponen pengelolaan hama terpadu yang merupakan instrumen yang diperlukan
untuk memungkinkan petani melakukan pengambilan keputusan dengan dasar
pertimbangan informasi ilmiah. Dari sisi perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dengan demikian, IWM merupakan PHT yang diterapkan untuk
pengendalian gulma. Oleh karena itu, konsep IWM sebagai pengendalian gulma
terpadu yang terpisah dari PHT menjadi tidak mempunyai dasar hukum.

Dalam sejarah penerapannya di Indonesia, PHT berkembang setidak-tidaknya


dalam tiga fase penting:
1) PHT ambang ekonomi (PHT-AE), yaitu fase PHT sebagai „pengendalian
hama terpadu‟ yang pengambilan keputusannya dilakukan untuk menentukan
apakah aplikasi pestisida perlu dilakukan atau belum dengan membandingkab
padat populasi OPT hasil pemantatau dengan AE.
2) PHT sekolah lapang (PHT-SL), yaitu fase PHT yang diorganisasikan oleh
pihak
luar (pemerintah, LSM) dengan pengambilan keputusan yang dilakukan berbasis
keputusan oleh petani sendiri yang telah „diberdayakan‟ untuk melakukan
pengambilan keputusan melalui sekolah lapang.
3) PHT masyarakat (PHT komunitas), yaitu fase PHT yang berkembang melalui
penyadaran masyarakat untuk mampu mengorganisasikan diri dalam melaksanakan
PHT. Penyadaran mula-mula dapat dilakukan oleh pihak luar tetapi segala sesuatu
yang berkaitan dengan perlindungan tanaman selanjutnya dilakukan oleh
masyarakat sendiri.
Pengambilan keputusan pada fase PHT-AE dilakukan oleh pihak dari luar
kalangan
petani, sedangkan pengambilan keputusan pada fase PHT-SL dan PHT masyarakat
oleh petani melalui Sekolah Lapang PHT (SL-PHT), baik secara manual maupun
dengan dukungan sistem pakar.

Seiring dengan perkembangan PHT tersebut pengambilan keputusan perlindungan


tanaman kini dilakukan oleh petani. Dalam kaitan dengan ini, menempatkan
pengendalian gulma sebagai bagian dari PHT memungkinkan petani menentukan
sendiri, apakah memberikan prioritas kepada pengendalian binatang hama,
pengendalian penyakit, atau pengendalian gulma. Hal ini menjadi menyulitkan
bila pengendalian gulma mengusung sendiri konsep IWM, seakan-akan gulma
selalu menjadi prioritas untuk dilakukan pengendaliannya. Meskipun demikian,
IWM perlu
dipahami sebagai konsep untuk bahan perbandingan dalam kaitan dengan
perkembangan penerapan PHT dalam pengendalian binatang hama, patogen, dan
gulma.

Latihan
Cobalah pikirkan dan kemudian diskusikan dengan teman-teman, sesudah hama
didefinisikan secara luas sebagai mencakup binatang hama, patogen, dan gulma,
mengapa masih harus ada konsep pengelolaan gulma terpadu? Mengindikasikan
apakah sehingga hal ini terjadi?

Rangkuman
Kebijakan perlindungan tanaman di Indonesia didasarkan atas sistem Pengelolaan
Hama Terpadu (PHT). Mengingat gulma merupakan bagian dari organisme
pengganggu tumbuhan (OPT) maka perlindungan tanaman terhadap gulma dilakukan
dengan berdasarkan sistem PHT. Di beberapa negara kini berkembang konsep
integrated weed management (IWM, pengelolaan hulma terpadu), tetapi konsep
IWM tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep PHT yang diterapkan di
Indonesia. Oleh karena itu, pengendalian gulma di Indonesia dilakukan dengan sistem
PHT dengan menempatkan gulma sekedar sebagai obyek untuk diputuskan sendiri
oleh petani apakah perlu atau tidak perlu dilakukan upaya pengendalian.

Glosarium
„pengelolaan hama terpadu‟: sistem pendukung pengambilan keputusan untuk
melakukan pemilihan dan penggunaan cara pengendalian opt, secara tunggal
atau dipadukan secara harmonis ke dalam suatu strategi pengelolaan, yang
didasarkan atas analisis nisbah biaya/manfaat dengan mempertimbangkan
kepentingan dari dan dampak terhadap produsen, masyarakat, dan lingkungan
hidup
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT): sistem perlindungan tanaman di indonesia
yang
secara konseptual adalah „pengelolaan hama terpadu‟
pengelolaan gulma terpadu (integrated weed management): pendekatan berimbang
untuk mengelola sumberdaya secara berkelanjutan dengan melalui proses:
 Mengelola sumberdaya untuk mencegah invasi gulma
 Mampu mengenali dan mengetahui spesies gulma invasif secara memadai
 Menginventarisasi, memetakan, dan memantau perkembangan
populasi gulma dan kerusakan yang ditimbulkan
 Mengambil keputusan pengendalian berdasarkan pengetahuan
mengenai potensi kerusakan, biaya pengendalian yang diperlukan, dan
dampak yang ditimbulkan oleh gulma dan pengambilan keputusan
pengendaliannya
 Menggunakan strategi pengendalian yang dapat mencakup
kombinasi berbagai cara untuk menurunkan populasi gulma sampai pada
padat populasi yang dapat diterima
 Mengevaluasi efektivitas pengendalian dan dampak yang ditimbulkannya
„pengendalian hama terpadu‟: pengendalian opt yang mengkombinasikan dan
memadukan pengendalian kimiawi dengan pengendalian hayati. pengendalian
kimiawi dilakukan sedemikian rupa sehingga mengganggu seminimal mungkin
pengendalian hayati. pengendalian hayati dapat dilakukan agen pengendali
yang tersedia secara alami (pengendalian alami) maupun agen pengendali yang
dimanipulasi oleh manusia.
PHT masyarakat: penerapan pht yang pengambilan keputusannya didasarkan atas
hasil
pemantauan agro-ekosistem yang dilaksanakan oleh sekelompok petani
yang mengorganisasikan diri untuk berlatih bersama mengambil keputusan atas
dasar pertimbangan yang disepakati bersama
PHT ambang ekonomi: penerapan pht yang pengambilan keputusannya didasarkan atas
ambang ekonomi
PHT sekolah lapang: penerapan pht yang pengambilan keputusannya didasarkan
atas
hasil pemantauan agro-ekosistem yang dilaksanakan oleh petani yang
diorganisasikan dan dilatih untuk mengambil keputusan atas dasar
pertimbangan yang disepakati bersama
sekolah lapang PHT: kegiatan pelatihan yang melibatkan 20-25 orang petani melalui
pertemuan mingguan selama satu musim tanam dengan berorientasi pada
peserta belajar (learner-centered), bersifat participatory, dan dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran berdasarkan pengalaman (experiential
learning approach).
sistem pengendalian hama terpadu: upaya pengendalian populasi atau tingkat
serangan
organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari
berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk
mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup

KEGIATAN BELAJAR 3: PERTIMBANGAN TEKNIS


PENGAMBILAN KEPUTUSAN PERLINDUNGAN
TANAMAN TERHADAP GULMA

Uraian
Pada Kegiatan Belajar 1 dan Kegiatan Belajar 2 telah diuraikan dasar-dasar kebijakan
perlindungan tanaman terhadap gulma. Sebagai kebijakan, perlindungan tanaman
terhadap gulma mencakup perlindungan pada tingkat nasional yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan pada tingkat daerah yang menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota. Berkaitan dengan kebijakan, telah disinggung bahwa
kebijakan perlu didasarkan atas pertimbangan teknis. Mengenai pertimbangan teknis
pengendalian gulma, konsep pengelolaan gulma terpadu mensyaratkan bahwa
pengendalian gulma:
1) Merupakan upaya pengelolaan sumberdaya untuk mencegah invasi
gulma
2) Mengenali dan mengetahui spesies gulma invasif secara
memadai
3) Menginventarisasi, memetakan, dan memantau perkembangan populasi gulma dan
kerusakan yang ditimbulkan
4) Mengambil keputusan pengendalian berdasarkan pengetahuan mengenai potensi
kerusakan, biaya pengendalian yang diperlukan, dan dampak yang ditimbulkan
oleh gulma dan pengambilan keputusan pengendaliannya
5) Menggunakan strategi pengendalian yang dapat mencakup kombinasi berbagai
cara untuk menurunkan populasi gulma sampai pada padat populasi yang dapat
diterima
6) Mengevaluasi efektivitas pengendalian dan dampak yang
ditimbulkannya
Butir 1 sampai butir 3 mengenai pertimbangan teknis tersebut telah diuraikan pada
Modul 3. Pada Kegiatan Belajar ini akan diuraikan khusus butir 3, sedangkan butir
5 dan butir 6 akan diuraikan pada Modul 6.

Pengambilan keputusan pengendalian gulma berarti menentukan kapan gulma harus


dikendalikan, bagaimana mengendalikannya, dan bagaimana mengupayakan agar
pengendalian yang dilakukan benar-benar dapat mengendalikan gulma secara
efisien dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan. Sebagaimana telah diuraikan
pada Kegiatan Belajar 3 Modul 3, kemampuan gulma untuk menggaggu, menimbulkan
kerusakan, dan bahkan mematikan tanaman dapat terjadi bila gulma berkompetisi
dengan tanaman pada saat tanaman berada pada periode kritis pertumbuhannya.
Kompetisi oleh gulma terhadap tanaman tidak menggaggu, menimbulkan kerusakan,
apalagi mematikan tanaman saat gulma baru berkecambah pada awal musim tanam dan
pada saat setelah tanaman cukup kuat untuk menghadapi kompetisi oleh gulma.
Periode kritis ini disebut periode kritis kompetisi oleh gulma (critical period of weed
competition) dan didefinisikan sebagai:
... selang waktu antara periode terinfestasi-gulma maksimum, atau
panjang
waktu gulma yang berkecambah bersama tanaman dapat dibiarkan sebelum
mulai berkompetisi dengan tanaman dan menyebabkan kehilangan hasil, dan
periode bebas-gulma minimum, atau panjang waktu tanaman harus bebas
gulma setelah berkecambah (Nieto H. et al. (1968); Zimdahl (1980); dan Kropff
et al., (1993) dalam Bedmar et al. (1999).
Namun periode kritis kompetisi tidak harus selalu berarti periode gangguan paling
berat sehingga menyebabkan tanaman mengalami kehilangan hasil paling banyak.
Untuk keperluan pengambilan keputusan pengendalian diperlukan periode kritis
pengendalian (critical period of weed control, disingkat CPWC).

Periode kritis pengendalian gulma merupakan konsep yang menghubungkan


kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma dengan ambang ekonomi, yang di dalam
konsep pengendalian hama terpadu didefinisikan sebagai padat populasi OPT saat
pengendalian harus dilakukan untuk mencegah meningkat mencampai padat populasi
pada saat bila dikendalikan, biaya pengendalian akan bernilai sama dengan nilai
kehilangan hasil yang dapat diselamatkan. Dalam konsep periode kritis pengendalian
gulma, waktu ditetapkan sebagai periode antara saat ketika gulma masih terlalu kecil
sehingga tidak perlu dikendalikan karena belum menyebabkan kehilangan hasil yang
merugikan dengan saat
ketika kemudian setelah tanaman dewasa yang tidak lagi akan mengalami kehilangan
hasil yang merugikan meskipun menghadapi kompetisi oleh gulma. Awal dan
akhir periode kritis pengendalian biasanya ditentukan atas dasar 90% perolehan hasil
relatif dan 10% kehilangan hasil terhadap hasil tanaman bebas gulma

Gulma yang tumbuh setelah periode kritis pengendalian mungkin masih perlu
dikendalikan bila menghasilkan biji dalam jumlah besar sehingga akan menginfestasi
lahan untuk musim tanam berikutnya atau menjadi inang bagi binatang hama
dan patogen. Namun pengendalian terhadap gulma setelah periode kritis pengendalian
bersifat fleksibel, tidak sebagaimana terhadap gulma selama periode kritis
pengendalian yang harus segera dikendalikan agar tidak menimbulkan kerugian.

Gambar 4.1. Periode kritis pengendalian gulma untuk tanaman kedelai di bagian Utara
Iran. Sumbu mendatar menyatakan waktu setelah tanam atau fase pertumbuhan
tanaman, sumby tegak menyatakan hasil relatif terhadap tanaman yang dibiarkan
tumbuh bersama gulma selama periode tertentu (bujursangkar) terhadap hasil dari
tanaman yang diupayakan tumbuh bebas gulma sampai periode tertentu (bujursangkar
miring). Fase pertumbuhan tanaman ditunjukkan dengan tanda panah, V2=daun kedua,
V4=daun keempat, V6=daun keenam, R1=mulai berbunga, dan R3=mulai membentuk
polong. Sumber: Keramati et al. (2008).

Pada Kegiatan Belajar 3 Modul 3 telah diuraikan berbagai faktor yang mempengaruhi
kemampuan gulma berkompetisi dengan satu jenis tanaman tertentu. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kemampuan gulma berkompetisi akan menentukan periode kritis
kompetisi gulma dan dengan demikian juga periode kritis pengendalian gulma.
Misalnya, periode kritis pengendalian gulma tanaman kapas di Australia ditetapkan
dengan mempertimbangkan jenis gulma, kepadatan gulma, dan budidaya dengan jarak
tanam berbeda disertai dengan atau tanpa pengairan.
Tabel 4.1. Periode kritis pengendalian gulma pada budidaya kapas dengan dan tanpa
pengairan di Australia

Sumber: Charles & Taylor (2009).

Gambar 4.2. Periode kritis pengendalian gulma pada budidaya kapas dengan
jarak tanam berbeda terhadap gulma berdaun lebar, gulma berdaun agak lebar, dan
gulma rumput

Pengambilan keputusan pengendalian gulma dengan berdasarkan periode kritis


pengendalian gulma kini banyak dilakukan di negara-negara maju. Dalam hal ini,
petani tentu saja tidak harus menetapkan sendiri atau melalui kelompok tani periode
kritis pengendalian gulma. Dengan semakin majunya teknologi informasi dan
kepintaran pemerintah negara-negara maju untuk tetap dapat memberikan subsidi
kepada petaninya
tanpa melanggar ketentuan WTO (World Trade Organization), subsidi kepada petani
diberikan dalam bentuk akses terhadap informasi sebagai wujud tatakelola
pemerintahan yang baik (good government). Dalam upaya tersebut, misalnya
pemerintah Provinsi Ontario di Kanada, dengan dukungan pemerintah federal,
mengembangkan layanan online WEEDPRO75
(http://www.weedpro75.com/index.php) yang menyajikan langkah-langkah penentuan
periode kritis pengendalian gulma untuk berbagai jenis tanaman penting di provinsi
tersebut. Melalui layanan online tersebut petani dapat memperoleh informasi
mengenai periode kritis pengendalian gulma melalui empat langkah: memilih
jenis tanaman, mengisi data lapangan budidaya tanaman, mengisi data gulma, dan
memperoleh hasil. Untuk mengenali jenis-jenis gulma yang harus diisikan pada saat
mengisi data gulma, disediakan informasi lengkap untuk identifikasi gulma melalui
situs Ontarioweeds.com (http://www. ontarioweeds.com/). Untuk memahami apa
sebenarnya periode kritis pengendalian gulma, disediakan informasi yang dapat dengan
mudah dipahami berikut contoh periode kritis pengendalian gulma oleh Ontario
Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs
(http://www.omafra.gov.on.ca/english/crops/pub75/1critica.htm). Di sana periode kritis
pengendalian gulma disebut periode bebas-gulma kritis (critical weed-free
period). Tentu saja lananan ini tidak dapat digunakan di luar Provinsi Ontario,
mengingat periode bebas-gulma kritis ditentukan sesuai dengan kondisi lingkungan
setempat.

Gambar 4.3. Antarmuka layanan WEEDPRO75 online yang disediakan oleh


pemerintah Provinsi Ontario, Kanada, untuk membantu petani menentukan periode
kritis pengendalian gulma

Pengambilan keputusan pelaksanaan pengendalian gulma dengan berdasarkan periode


kritis, sebagaimana halnya dengan pengambilan keputusan berdasarkan Ambang
Ekonomi pada pelaksanaan PHT-AE, mengisyaratkan bahwa pengendalian dilakukan
dengan menggunakan herbisida. Pengendalian dengan herbisida yang dilakukan
dengan pengambilan keputusan berdasarkan periode kritis pengendalian, dengan
demikian, akan mengurangi frekuensi aplikasi herbisida yang diperlukan selama
musim tanam.
Karena gulma dikendalikan ketika masih berukuran kecil, meskipun padat populasinya
tinggi, akan memerlukan dosis yang tidak terlalu tinggi untuk mengendalikannya.
Hal ini memungkinkan dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan
herbisida terhadap lingkungan hidup akan dapat diminimalisasi. Uraian lebih lanjut
mengenai penggunaan herbisida, cara menggunakannya, dan dampak yang dapat
ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup akan diberikan pada Modul 5.

Tabel 4.2. Contoh periode bebas-gulma kritis untuk tanaman palawija (field crops)
yang dijelaskan dalam situs Ontario Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs,
Canada
Crop Critical Period for Weed Control
rd th
Corn 3 to 8 leaf
st rd
Soybeans 1 to 3 trifoliate
nd st
White Beans 2 trifoliate to 1 flower

Tabel 4.3. Contoh periode bebas-gulma kritis untuk tanaman hortikultura Ontario
Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs, Canada
Crop Critical Weed-free Period
Apples, new plantings During May and June
Apples, bearing Budbreak until 30 days after bloom
Beets First 2-4 weeks after emergence
Cabbage, early First 3 weeks after planting
Carrots First 3-6 weeks after emergence
Cucumbers, pickling First 4 weeks after seedling
Lettuce First 3 weeks after planting
Onions First the whole season
Potatoes First 4 weeks after planting
Squash Unknown, but early plantings compete better
Strawberries, new plantings During May and June
Tomatoes, fresh First 36 days after transplanting
Tomatoes, seeded First 9 weeks after seedling

Latihan
1) Pikirkan dan diskusikan dengan teman-teman apa perbedaan dan persamaan antara
konsep periode kritis pengendalian gulma dengan konsep ambang ekonomi dalam
PHT-AE dan bagaimana dengan kemungkinan penerapannya di Indonesia.
2) Kunjungi situs (http://www.weedpro75.com/index.php) dan cobalah ikuti langkah-
langkahnya. Cobalah pikirkan, sebagai generasi muda calon pemimpin masa
depan, berapa lama kita harus ketinggalan sampai Anda nanti menjadi kepala
dinas, bupati, gubernur, menteri pertanian, atau presiden untuk melakukan hal-hal
yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara maju. Renungkan mengapa untuk
mempelajari ilmu gulma diperlukan lebih dari sekedar mempelajari akar, batang,
daun, bunga, dan buah gulma.
(b) (c)

(a) (d) (e)


Gambar 4.4. Informasi mengenai gulma Echinochloa crusgalli yang diberikan melalui
WEEDPRO75 sebagai bantuan untuk menentukan periode bebas-gulma kritis: (a)
gambar garis, (b) daun, (c) batang, (d) bunga/buah, dan (e) rumpun. Sumber:
http://m.ontarioweeds.com/weed.php?w=ECHCG

Rangkuman
Mengingat gulma merupakan OPT maka pengendalian gulma di Indonesia dilakukan
sistem PHT. Pengendalian gulma dengan sistem PHT berarti melibatkan pengambilan
keputusan mengenai kapan gulma harus dikendalikan, bagaimana mengendalikannya,
dan bagaimana mengupayakan agar pengendalian yang dilakukan benar-benar dapat
mengendalikan gulma secara efisien dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan.
Untuk maksud tersebut digunakan konsep periode kritis pengendalian gulma yang
merupakan periode antara saat ketika gulma masih terlalu kecil sehingga tidak perlu
dikendalikan karena belum menyebabkan kehilangan hasil yang merugikan dengan saat
ketika kemudian setelah tanaman dewasa yang tidak lagi akan mengalami kehilangan
hasil yang merugikan meskipun menghadapi kompetisi oleh gulma.

Glosarium
pengambilan keputusan pengendalian gulma: menentukan kapan gulma harus
dikendalikan, bagaimana mengendalikannya, dan bagaimana mengupayakan
agar pengendalian yang dilakukan benar-benar dapat mengendalikan gulma
secara efisien dan tidak menimbulkan dampak yang merugikan.
periode bebas gulma kritis: istilah periode kritis pengendalian gulma yang digunakan
di
Provinsi Ontario, Kanada
periode kritis kompetisi oleh gulma: selang waktu antara periode terinfestasi-
gulma maksimum, atau panjang waktu gulma yang berkecambah bersama
tanaman dapat dibiarkan sebelum mulai berkompetisi dengan tanaman dan
menyebabkan kehilangan hasil, dan periode bebas-gulma minimum, atau
panjang waktu tanaman harus bebas gulma setelah berkecambah
periode kritis pengendalian gulma: periode antara saat ketika gulma masih terlalu kecil
sehingga tidak perlu dikendalikan karena belum menyebabkan kehilangan hasil
yang merugikan dengan saat ketika kemudian setelah tanaman dewasa
yang tidak lagi akan mengalami kehilangan hasil yang merugikan meskipun
menghadapi kompetisi oleh gulma.

PENUTUP

Tes Formatif
1) Dalam peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan tanaman tidak
disebutkan istilah gulma. Bagaimana kemudian gulma dapat dipandang
sebagai obyek perlindungan tanaman?
2) Bagaimana menjelaskan gulma merupakan organisme pengganggu tumbuhan
dalam kaitan pengertian mengenai gulma sebagaimana telah diuraikan pada Modul
1?
3) Apa yang dimaksud dengan pencegahan dalam perlindungan tanaman terhadap
gulma sesuai dengandimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai perlindungan tanaman?
4) Dalam hal bagimana ketentuan mengenai eradikasi dalam peraturan perundang-
undangan mengenai perlindungan tanaman diterapkan terhadap gulma?
5) Bagaimana seharusnya pemerintah provinsi dan kabupaten/gulma menyikapi
peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan tanaman dalam kaitan
dengan perlindungan tanaman terhadap gulma?
6) Sesuai dengan penjelasan Pasal 20 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 1992, sistem
pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat
serangan organisme pengganggu tumbuhan. Bagaimana definisi ini dapat
diterapkan terhadap gulma mengingat pengendalian gulma tidak dilakukan
terhadap satu melainkan beberapa jenis gulma sekaligus?
7) Mengapa di Indonesia pengendalian gulma harus dilakukan berdasarkan sistem
PHT?
8) Pelaksanaan PHT dilakukan melalui Sekolah Lapang PHT sebagai proses
pembelajaran dan pengambilan keputusan oleh petani. Mengingat selama ini PHT
lebih berfokus pada binatang hama dan penyakit, bagaimana kemudian
penerapannya pada gulma?
9) Bandingkan definisi pengelolaan hama terpadu menurut Kogan (1998) dan definisi
integrated weed management menurut MAL (2010). Manakah di antara kedua
definisi tersebut yang lebih komprehensif dan operasional?
10) Mengingat pengaruh kompetisi terhadap hasil tanaman, manakah yang lebih
dahulu dimulai, periode kritis kompetisi gulma atau periode kritis pengendalian
gulma?
Kunci Jawaban dan Cara Menghitung Nilai Hasil Belajar
Kunci jawaban diberikan secara terpisah pada Lampiran 2 dengan maksud agar
mahasiswa terlebih dahulu menjawab setiap pertanyaan sendiri dan kemudian setelah
selesai, baru mencocokkan jawaban yang diberikannya dengan kunci jawaban. Untuk
menghitung nilai hasil belajar, setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar diberikan
nilai 10. Nilai hasil belajar dihitung dengan menjumlahkan nilai jawaban dari seluruh
pertanyaan. Nilai yang diperoleh kemudian dikategorikan sebagai berikut:
>80 : sangat memuaskan
70-<80 : memuaskan
60-<70 : cukup
50-<60 : kurang
<50 : gagal

Tindak Lanjut
Bila penilaian hasil belajar menunjukkan hasil kurang atau gagal, pelajari
kembali keseluruhan materi modul. Bila penilaian hasil belajar menunjukkan hasil
cukup, pelajari bagian dari kegiatan belajar yang memuat uraian mengenai pertanyaan
yang tidak dapat dijawab dengan benar. Bila penilaian hasil belajar menunjukkan hasil
memuaskan atau sangat memuaskan, persiapkan untuk mempelajari kegiatan
belajar pada Modul 4. Apapun hasil belajar yang diperoleh, lakukan pengayaan
pemahaman dengan membaca referensi yang dianjurkan pada Daftar Pustaka.

Daftar Pustaka
Bajwa, W. I.; & M. Kogan, (1997) Compendium of IPM Definitions (CID).
Electronic
Publication
(http://www.ippc.orst.edu/IPMdefinitions).
Bedmar, F., Manetti, P., & Monterubbianesi, G. (1999). Determination of the critical
period of weed control in corn using a thermal basis. Pesq. Agropec. Bras.,
Brasília, 34(2), 187-193.
Charles, G. & Taylor, I. (2009) How well does the critical period for weed
control
(CPWC) work? The Australian Cotton Growers. Desember 2008-Januari
2009,
40-42.
Charles, G. & Taylor, I. (2008) Applying the critical period for weed control in
the
field. WEEDpak - a guide to integrated weed management in cotton. Cotton
Research and Development Corporation. Diakses pada 20 Desember 2010 dari:
http://www.cottoncrc.org.au/files/81ca096d-3d5e-460e-b286-
9b4b009fd366/WPB4_3.pdf
CSIRO (n.d.) Integrated Weed Management. Diakses pada 25 Desember 2010 dari
http://www.csiro.au/org/IWM.html
Geier, P. W.; & Clark, L.R. (1961) An ecological approach to pest control. In
Proceedings of the eighth technical meeting. International Union of
Conservation of Nature and Natural Resources, Warsaw, 1960. pp. 10-18.
Keramati, S.; Pirdashti, H.; Esmaili, M.A.; Abbasian, A.; & Habibi, M. (2008)
The
critical period of weed control in soybean (Glycine max (L.) Merr.) in North
of
Iran conditions. Pakistan Journal of Biological Sciences, 11(3), 463-
467.
Kogan, M. (1998) Integrated pest manent: Historical perspectives and contemporary
development. Annu. Rev. Entomol. 43:243-70.
MAL (Ministray of Agriculture and Lands, British Columbia, Canada)
(2010).
Integrated Weed Management: An Introductory Manual. Diakses pada
25
Desember 2010 dari: http://www.agf.gov.bc.ca/cropprot/weedman.htm#top
Meredia, K.M.; Dakono, D.; & Mota-Sanchez, D. (eds.) (2003) Integrated
Pest
Management in the Global Arena. Wallingford: CAB International
Oka, I.N. (1988) Pengendalian Hama Terpadu dan Implementainya di
Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
OMAFRA (Ontario Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs) Staff
(2010) Principles of Integrated Weed Management: Critical Period of Weed
Control. Diakses pada 25 Desember 2010 dari:
http://www.omafra.gov.on.ca/english/crops/pub75/1critica.htm
Peraturan Pemerintah No. No. 7 (1973). Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan
dan
Penggunaan Pestisida. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 No.
12
Peraturan Pemerintah No. 14 Republik Indonesia. (2002). Karantina
Tumbuhan.
Lembaran Negara Tahun 2002 No. 35, Tambahan Lembaran Negara No. 4196.
Peraturan Pemerintah No. 6 Republik Indonesia. (1995). Perlindungan
Tanaman.
Lembaran Negara Tahun 1995 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3586.
Pontius, J.; Diltis, R.; & Bartlett, A. (Editors) (2002) From farmer field school
to community IPM: Ten years of IPM training in Asia. Bangkok: FAO.
Radcliffe, E.B.; Hutchison, W.D.; & Cancelado, R.E. (2009) Integrated
Pest
Management: Concepts, Tactics, Strategies and Case Studies.
Cambridge:
Cambridge University Press
Soejitno, J. (1999) Integrated Pest Management in Rice in Indonesia: A Succes
Story.
Bangkok: APAARI, FAO Regional Office for Asia and the Pacific.
Swanton, C.J.; Mahoney, K.J.; Chandler, K.; Gulden, R.H. (2008) Integrated
weed
management: Knowledge-based weed management system. Weed
Science,
56(1), 168-172
Thill, D.C.; Lish, J.M., Callihan, R.H., & Bechinski, E.J. () Integrated weed
management –A component of integrated pest management: A Critical
review. Weed Technology 5, 648-656.
UC IPM Online (2009). Almond Integrated Weed Management. Diakses pada
25
Desember 2010 dari http://www.ipm.ucdavis.edu/PMG/r3700111.html
Undang-undang No. 12 Republik Indonesia. (1992). Sistem Budidaya
Tanaman.
Lembaran Negara Tahun 1992 No. 46, Tambahan Lembaran Negara No.
3478. Undang-undang No. 16 Republik Indonesia. (1996). Karantina Hewan,
Ikan, dan
Tumbuhan. Lembaran Negara Tahun 1996 No. 56, Tambahan
Lembaran
Negara No. 3482.
Untung, K. (1994) Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta: Andi Offset.
Untung, K. (2006) Pengantar Pengendalian Hama Terpadu. Edisi 2.
Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai