Anda di halaman 1dari 12

TUGAS : MID SEmester

MATA KULIAH : Strategi Pembelajaran


SEMESTER : V (LIMA)

" Strategi Pembelajaran Afektif"

Di Susun Oleh :

Nama : Nurmila Sjachruddin


Nim : 19.801.011

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR

KATA PENGANTAR
Puji syukur  senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

limpahan Rahmat,Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang

telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.

Makalah ini di  susun guna memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran dan juga

untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga

bermanfaat.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................................1
C. TUJUAN.....................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................2
A. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif...................................................................................2
B. Konsep dan Tujuan Strategi Pembelajaran Afektif.....................................................................3
C. Jenis Model Stategi Pembelajaran Afektif (SPA).......................................................................4
D. Peran Guru Dalam Implementasi (SPA).....................................................................................6
E. Keunggulan dan Kelemahan (SPA)............................................................................................6
BAB III PENUTUP........................................................................................................................8
A.  KESIMPULAN..........................................................................................................................8
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembentukan dan pengembangan sikap serta moral seorang siswa melalui pendidikan
agama di sekolah menjadi sangat penting. Sebab dasar agama untuk membentuk pribadi yang
agamis (bertaqwa) merupakan kebutuhan rohaniah dan juga kebutuhan akademis melalui ilmu
pengetahuan. Namun demikian, kondisi kurikulum yang sangat padat, serta kendala-kendala lain
menuntut proses pembelajaran pendidikan agama perlu dilakukan secara baik, sistematis agar
mencapai tujuan yang direncanakan, dan dapat menanamkan nilai-nilai agama tersebut untuk
kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 
Telah kita ketahui bahwa kenakalan remaja itu menjadi sumber degradasi moral pada diri
kita dan lebih-lebih pada bangsa kita ini. Oleh sebab itu, kita sebagai mahasiswa harus peduli
dan tanggap akan moral-moral remaja yang sangat bertolak belakang dengan apa yang telah
ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, seperti halnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang,
pergaulan bebas yang tidak bisa memanaj pada diri kita masing-masing, sehingga munculah
benih-benih kenakalan remaja yang tumbuh pada diri remaja itu sendiri.
Dapat kita lihat pada kenakalan remaja di Negara Indonesia tercinta ini. Sangat jelas dan
nampak sekali. Pada massa era globalisasi ini, khususnya remaja atau pemuda-pemudi banyak
melakukan perbuatan yang sangat tidak  etis, sehingga saat-saat ini Negara Indonesia banyak
mengalami cobaan-cobaan dan bencana alam yang salah satunya adalah akibat dari kenakalan
remaja itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat Salah satu faktor dari kenakalan remaja adalah sikap
yang ada pada peserta didik yang belum diterapkan dan kurang ditanamkan oleh seorang guru
dalam proses pembelajaran di sekolah dan pada kehidupan sehari-hari. Masalah afektif dirasakan
penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang
pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan
psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan
pembelajaran afektif dapat dicapai. Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap
yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur,
menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini
harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan
pembelajaran yang tepat. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan
keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu
dikembangkan acuan pengembangan perangkat penilaian ranah afektif.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Strategi Pembelajaran Afektif?
2. Apa tujuan dari Strategi Pembelajaran Afektif?
C. TUJUAN
Untuk memenuhi tugas MID semester dari MK Strategi Pembelajaran, serta untuk mengetahui
lebih dalam tentang Strategi Pembelajaran Afektig (SPA)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif


Dalam dunia pendidikan strategi di artikan sebagai a plan, method, or series of activities
designed to achieves a particular educational goal (J.R. David, 1976). Jadi dengan demikian,
strategi pembelajaran dapat di artikan sebagai perencanan yang berisi tentang rangkaian kegiatan
yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu
kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat
dicapai secara efektif dan efisien, dan menurut Dick and Caret (1985) mengartikan strategi
pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara
bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.
Kecacatan metodologi berbagai strategi pembelajaran yang telah lama berlangsung
hingga saat ini adalah tidak seimbangnya pengembangan ranah kognitif, afektif,psikomotor.
Selama ini, hampir semua strategi pembelajaran menitikberatkan pada pengembangan kognitif
peserta didik. Di sisi lain, pengembangan ranah afektif dan psikomotor  tidaklah mudah. Dalam
konteks ini, keberadaan strategi pembelajaran afektif memeberi harapan besar bagi
penyeimbangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Strategi pembelajaran adalah strategi pembelajaran yang mampu membentuk sikap
peserta didik melalui proses pembelajaran (Hamruni 2009). Ditinjau dari segi nama harfiah,
strategi ini menekankan pada aspek afektif, bukan kognitif maupun psikomotor. Hal ini bukan
berarti strategi ini lepas sama sekali dengan aspek kognitif maupun psikomotor, namun hanya
komposisinya lebih dominan afektif. Afektif berbeda dengan kognitif, jika afektif adalah sikap
mental(emosional), maka kognitif adalah pemikiran(intelektual); jika kognisi membutuhkan
suatu disiplin mata pelajaran tertentu yang berdiri sendiri (matematika, misalnya), maka tidak
demikian dengan afeksi. Oleh karena itu, pemebelajaran afektif untuk membentuk sikap peserta
didik tidak bisa di bebankan pada hanya satu mata pelajaran tertentu saja. Dengan kata lain,
pembentukan sikap(afeksi) harus menjadi tanggung jawab semua matapelajaran. Dalam hal ini,
atrategi pembelajaran menjadi jembatan antar mata pelajaran dalam membentuk sikap (afeksi)
peserta didik. Dengan kata lain, mata pelajaran apapun yang di ajarkan dengan metode afektif
dapat membentuk sikap dan mental pesertsa didik.
Dengan demikian, jelas bahwa strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran
pembentukan sikap, moral atau  karakter peserta didik melalui semua mata pelajaran. Hal ini
dikarenakan ranah afektif peseta didik sangat berkaitan dengan komotmen, tanggung jawab,
kerja sama, disiplin, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain mengendalikan diri, dan
lain sebgainya. Semua yang di sebutkan tidak lain dan tidak bukan adalah nila-nilai strategi
pembelajaran karakter itu sendiri.
Strategi pembelajaran afektif di kembangkan dari psikologi behavioral, di mana stimulus-
respons (s-r) dapat membentuk perilaku sikap (baru). Afektif selalu berhubungan dengan minat
dan sika, seperti komitmen, tanggung jawab, disiplin percaya diri, jujur, menghargai pendapat
orang lain, pengendalian diri dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika strategi pembelajaran,
secara otomatis akan berorientasi pada penanaman nilai-nilai karakter tersebut. Dalam pengertian
lain, ranah afektif sangat mempengaruhi perasaan atau emosi positif, sehingga guru dapat
memandang proses belajar peserta didik sebagai “proses menjadi”, bukan berhenti pada “hasil
jadi”.
Dalam dimensi yang lebih luas, dimensi afeksi atau afektif merupaka sisi kejiwaan
(psikis) peserta didik yang relatif sulit di baca dan di ukur secara kognitif. Namun demikian, hal
ini bukan berarti mustahil di jelajahi. Melalui gejala psikologi yang di timbulkan (perilaku,
kedisiplinan, sikap, dan lain-lain), dimensi afeksi peserta didik dapat di pelajari bahkan di bentuk
sesuai asas-asas pendidikan.
Dimensi afeksi seringkali di sebut sebagai dimensi emosi. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa emosi (afektif) mempunyai pengaruh besar bagi keberhasilan belajar
peserta didik (Eric Jensen, 2008), penerapan strategi pembelajaran afektif berpengaruh besar
dalam meningkatkan prestasi belajar peseta didik. Misalnya peserta didik yang memiliki minat
belajar atau emosi positif terhadap pelajaran tertentu akan mersa senang mempelajari mata
pelajaran tersebut, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang optimal.
B. Konsep dan Tujuan Strategi Pembelajaran Afektif
Berbeda dengan strategi-strategi pembelajaran pada umumnya, yang memiliki muatan
nilai karakter sangat minim sehingga perlu dikembangkan agar memuat nilai karakter lenih
maksimal, maka tidak demikian dengan strategi pembelejaran afektif. Sebab strategi
pembelajaran afektif sepenuhnya telah memuat nilai-nilai karakter. Bahkan 18 (delapan belas)
nilai karakter yang termuat dalam strategi pembelajaran afektif secara utuh.
Strategi pembelajaran afektif dapat diterapkan pada semua mata pelajaran di semua
jenjang pendidikan. Misalnya, dalam pelajaran Matematika sub tema “Penjumlahan Bilangan
Bulat” pada jenjang SD/MI. Contoh, 4+2 = 6. Dalam konteks ini, Matematika yang di ajarkan
dengan strategi pembelajaran afektif tidak sebatas pengembangan kognitif yang rasional semata,
namun harus di lanjutkan dengan melibatkan mental-emosional atau afektif. Caranya, tambahkan
“makna” pada angka-angka tersebut, (4 penakut + 2 penakut, misalnya ), maka jawabannya buka
6 penakut melainkan 6 pemberani.
Contoh lain, penghasilan satu juta rupiah (Rp. 1.000.000,-) dikurangi dua puluh lima ribu
rupiah (Rp. 25.000 sebagai pajak/zakat), maka hasilnya bukan 975.000, melainkan justru lebih
banyak dari itu. Sebab dengan membayar pajak, sarana-prasarana umum akan semakin maju
sehingga beimplikasi pada peningkatan penghasilan. Di sisi lain, membayar pajak/zakat
merupakan pengamalan patuh hukum/taat beragama.
Contoh lain lagi, setiap warga Nefa Indonesia yang mempunyai sepeda motor wajib
membayar pajak setiap tahun. Jika harga motor adalah 15 juta, kemudian di kurani (-) uang pajak
setiap tahun, dalam kurun waktu tertentu secara rasional pemilik motor tersebut akan merugi.
Namun kenyataanya tidak demikian, semakin tertib masyarakat membayar pajak, semakin luas
pembangunan sarana-prasarana umum. Implikasinya adalah sepeda motor dapat berfungsi lebih
optimal, sehingga meningkatkan pendapatan orang yang mempunyai sepeda motor tersebut. Di
sisi lain, masyarakat akan mempunyai semangat kebangsaan yang semakin kuat, karena dengan
membayar pajak mereka turut mengisi pembangunan bangsa ini.
Contoh-contoh di atas adalah pengembangan ranah kognitof kepada ranah afektif yang
melibatkan mental (emosi positif) dalam pembelajaran. Selajutnya, perlibatan mental atau emosi
positif dalam setiap pembeljaran di lanjutkan pada makna hidup drai ritual peribadahan. Artinya,
belajar tidak semata-mata agar cerdas, melainkan memaknai hidup dengan ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain, hidup lebih bermakna jika bernaung pada ilmu pengetahuan yang benar.
Dalam contoh-contoh diatas, menjadi warga negara yang telah merdeka akan lebih bermakna
jika ikut mengisi kemerdekaan dengan cara salah satunya ikut membayar pajak. Atas dasar ini,
setiap orang merasa menjadi “pahlawan” pembangunan, penerus perjuangan  para pahlawan
kemerdekaan.
Dalam religiusitas (salah satu nilai karakter) belajar dapat dimaknai sebagai upaya
melaksanakan perintah Tuhan. Sebab semua agama dala kitab sucinya masing-masing menyeru
untuk menuntut ilmu (menempuh pendidikan). Artinya berpikir, belajar, bersekolah dan lain-lain
merupakan bentuk dari ibadah itu sendiri. Dalam konteks membayar pajak, membayar pajak
dapat di maknai sebagai ketaatan beragama.
Dengan demikian, konsep strategi pembelajaran afektif bermuatan karakter adalah
pengembangan ranah kognitif ke ranah afektif yang melibatkan mental dan emosi positif, serta
makna hidup dan ritual keagamaan. Jika model strategi pembelajaran afektif bermuatan karakter
ini di lukiskan dalam bentuk bagan, maka akan tampak sebagai berikut.
          

 
Gambar : Model Strategi pembelajaran
C. Jenis Model Stategi Pembelajaran Afektif (SPA)
Menurut Wina Sanjaya (2006), ada 3 model strategi pembelajaran yaitu :
1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model ini
merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kepribadian.Salah satu implementasinya
yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk
menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
2. Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung
secara berangsur-angsur .
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu
siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri
siswa.
Sedangkan Lickona dalam bukunya Educating for Character (dalam Paul   Suparno, dkk.
2002) menekankan pentingnya diperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai,
yaitu;  pengertian atau pemahaman tentang nilai yang dipelajari, perasaan, dan tindakan yang
sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ketiga unsur ini saling berkaitan. Pengajar perlu
memperhatikan ketiga unsur ini agar nilai-nilai yang ditanamkan tidak sekedar sebagai
pengetahuan semata, tetapi benar-benar menjadi tindakan-tindakan nyata.
Pengertian atau pemahaman terhadap suatu nilai adalah kesadaran, rasionalitas, atau
alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan berdasarkan
nilai-nilai tertentu. Ini sering kali disebut sebagai segi kognitif dari nilai. Segi kognitif ini perlu
diajarkan kepada para siswa/mahasiswa. Mereka dibantu  untuk mengerti mengapa suatu nilai
perlu dilakukan. Sedangkan perasaan lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak
baik. Perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari
perasaan ini. Perasaan ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik.
Oleh sebab itu, perasaan terhadap suatu nilai perlu dikembangkan dengan memupuk
perkembangan hati nurani dan sikap empati. Tindakan, yaitu kemampuan untuk melakukan
keputusan yang dilandasi oleh  perasaan terhadap suatu nilai ke dalam perilaku-perilaku nyata.
Tindakan-tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dijunjung tinggi ini perlu difasilitasi agar
muncul dan berkembang dalam pergaulan sehari-hari. Lingkungan belajar yang kondusif untuk
memunculkan tindakan-tindakan ini sangat diperlukan dalam pendidikan aspek-aspek afektif.
Ketiga unsur yaitu, penalaran, perasaan, dan tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai tersebut
harus ada dan dikembangkan dalam pendidikan.
Tantangan dunia pendidikan kedepan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar.
Suatu proses pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas prakarsa individu.
Demokrasi belajar berisi pengakuan  hak seseorang untuk melakukan tindakan belajar sesuai
dengan karakteristiknya. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat belajar yang demokratis
adalah adanya pengemasan pembelajaran yang beragam dengan cara menghapuskan
penyeragaman kurikulum, strategi pembelajaran, bahan ajar, dan evaluasi belajar. Lembaga
pendidikan merupakan tempat untuk mengembangkan seluruh potensi siswa/mahasiswa secara
maksimal termasuk nilai-nilai sosial.
Bentuk-bentuk hubungan antara pengajar dan siswa/mahasiswa perlu diperbaharui. Jika
selama ini pengajar lebih otoriter,  sarat komando,  instruktif,  bergaya birokrat,  perlu diubah
peranannya sebagai ibu/bapak, kakak, sahabat, atau mitra. Sering kali terjadi, dalam
beberapa  hal  pengajar  berperan sebagai murid dan siswa/mahasiswa justru sebagai gurunya.
Proses belajar dalam hubungannya di antara siswa/mahasiswa satu dengan lainnya berubah.
Untuk mengembangkan agar manusia menjadi matang tidak cukup bila ia hanya dilatih
tetapi juga harus dididik. Siswa/mahasiswa harus di didik untuk realis, mengakui kehidupan yang
multi-dimensional, tidak seragam, dan diajak menghayati kebinekaan yang saling melengkapi
demi persaudaraan yang sehat, menghargai hak dan kewajiban sosial yang saling solider. Pada
pelatihan terutama yang dibentuk adalah tingkah laku lahiriah, sedangkan pada pendidikan yang
dibentuk adalah disposisi mental dan emosional (Sindhunata, 2001). Mendidik bukan berarti
sekedar menjadikan siswa/ mahasiswa trampil secara praktis terhadap lingkungannya. Mendidik
juga berarti membantu  siswa/mahasiswa untuk menjadi dirinya dan peka terhadap
lingkungannya.
Pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar siswa/mahasiswa mampu
melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang
demokratis memberi kebebasan kepada siswa/mahasiswa untuk melakukan pilihan-pilihan
tindakan belajar dan akan mendorong mereka untuk terlibat secara fisik,  emosional dan mental
dalam proses belajar,  sehingga akan dapat  memunculkan kegiatan-kegiatan yang kreatif-
produktif. Ini merupakan kaidah yang sangat penting dalam penataan lingkungan belajar. Setiap
siswa/mahasiswa satu persatu dan/atau bersama-sama perlu diberi kebebasan untuk
melakukan  pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukannya. Prakarsa
siswa/mahasiswa untuk belajar akan  mati bila kepadanya dihadapkan pada berbagai macam
aturan yang tak ada kaitannya dengan belajar. Sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar
menjadi modal dasar untuk memunculkan prakarsa belajar. Ini semua sangat penting untuk
mengembangkan kemampuan mental yang produktif. 
D. Peran Guru Dalam Implementasi (SPA)
1. Pola Pembiasan
Menurut penelitian Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan dengan
kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam proses
pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap
tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap kali menerima
perlakuan yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau menyinggung perasaan anak,
maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari anak tersebut yang pada akhirya dia tidak
menyukai guru dan mata pelajarannya.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu teorinya
“operant conditioning” proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson
berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner menekankan pada
proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak menunjukan prestasi yang baik
diberikan penguatan dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan.
Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan bahwa proses
pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui proses pembiasaan yang
dilakukan secara terus menerus melainkan juga memberikan penguatan sehingga anak akan
berusaha dan bersemangat untuk meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap
melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini adalah proses peniruan
anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya yang dimulai rasa
kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk
melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau
didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan
modeling.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya
dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan.
Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau mengapa kita harus
telaten menjaga dan memelihara tanaman.
E. Keunggulan dan Kelemahan (SPA)
1. Kelebihan
a. Dalam pelaksanaan pembelajaran afektif akan dapat Membentuk watak serta peradaban
Bangsa yang bermatabat.
b. Mengembangkan potensi peserta didik dalam hal nilai dan sikap.
c. Menjadi sarana pembentukan manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan yang
Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab.
d. Peserta didik akan lebih mengetahui mana yang hal yang baik dan mana yang tidak baik.
e. Peserta didik akan mengetahui hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak
berharga atau tidak berguna (sikap negatif).
f. Dengan pelaksanaannya strategi pembelajaran afektif akan memperkuat karakter bangsa
indonesia, apalagi apabila diterapkan pada anak sejak dini.
g. Dengan pelaksanaan pembelajaran afektif siswa dapat berperilaku sesuai dengan
pandangan yang di anggap baik dan tidak bertentangan dengan norma- norma yang berlaku.
2. Kelemahan
a. Kurikulum yang berlaku selama ini cendrung diarahkan untuk pmbentukan intelektual
(kemampuan kognitif) dimana anak diarahkan kepada menguasai materi tanpa memperhatikan
pembentukan sikap dan moral.
b. Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang.
c. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera, karena perubahan
sikap dilihat dalam rentang waktu yang cukup lama.
d. Pengaruh kemampuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan
aneka pilihan program acara yang berdampak pada pembentukan karakter anak.
BAB III PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Banyak yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti
pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran
bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh karena itu yang pas
untuk afektif bukanlah pengajaran melainkan pendidikan. Afektif berhubungan sekali dengan
nilai (value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam.
Dalam batas tertentu afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian
untuk sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ktelitian dan
observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam proses pembelajaran di
sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa
melalui proses pembiasaan.Yang termasuk kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
a) Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan.
b) Menanggapi (Responding), yaitu afektif berpartisipasi.
c) Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu.
d) Membentuk (Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda.
e) Berpribadi (Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai
yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap.

Anda mungkin juga menyukai