Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL PENGEMBANGAN FORMULA RESEP

MAKANAN TINGGI PREBIOTIK

Dosen Pembimbing :
Zulfiana Dewi, SKM., M.P
Dr. Meilla Dwi Andrestian, SP, M.Si

Disusun Oleh :
Kelompok 9
Ilham Ramadhan
Humaira Karimah
Mahbubah Qatrunnada
Nur Laila Alawiyah
Rizki Amelia Sari

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK


KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANJARMASIN
PRODI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia
yang diberikan-Nya kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik serta
tepat pada waktunya.

Kami sebagai kelompok penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyusun proposal ini, terutama kepada teman
kelompok, dosen serta partispasi lain yang telah ikut ambil bagiannya masing-masing demi
terselesaikannya makalah ini yang berjudul “Proposal Pengembangan Formula Resep
Makanan Tinggi Prebiotik”. Harapan kami mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
serta menjadi tambahan referensi bagi kita semua yang membaca.

Kami juga menyadari bahwa proposal ini belum sepenuhnya sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca serta dosen pembimbing sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata kami mengucapkan selamat
membaca.

Banjarbaru, Januari 2022

Kelompok 9
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konstipasi adalah penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai kesulitan
saat pengeluaran feses atau rasa tidak tuntas dan feses keras, kering dan banyak.
Dikatakan konstipasi jika buang air besar kurang dari 3 kali seminggu atau 3 hari tidak
buang air besar dan diperlukan mengejan secara berlebihan. Kejadian konstipasi dianggap
remeh yang sesekali dialami dan tidak berdampak pada gangguan sistem tubuh, tetapi jika
tidak segera ditangani dapat menimbulkan komplikasi (Claudia et al, 2018).
Berdasarkan prevalensi konstipasi di Asia (Korea, Cina, dan Indonesia)
diperkirakan sebear 15-23% pada perempuan dan 11% pada laki-laki. Sedangkan
prevalensi angka kejadian konstipasi di Indonesia sendiri terdapat sebanyak 3.857.327
jiwa yang mengalami konstipasi sesuai data Internasional Amerika Serikat Bereau pada
tahun 2003 (Sari, 2016). Penelitian oleh Karakaya et al (2015) tentang hubungan
konstipasi dan tingkat aktivitas fisik pada mahasiswa pada tahun 2015, menunjukkan
hasil bahwa rata-rata nilai total Kuisioner Aktifitas Fisik Internasional mahasiswa yang
mengalami konstipasi lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak
mengalami konstipasi (Karakaya, 2015).
Konstipasi terjadi ketika buang air besar yang tertunda terlalu lama. Hal ini
kemudian menyebabkan feses berada pada kolon untuk waktu yang lebih lama dari
biasanya, sehingga air akan diserap dari feses dalam jumlah yang lebih banyak dari
biasanya, menyebabkan feses menjadi kering dan keras. Konstipasi mencakup gejala
seperti gerakan usus yang jarang (biasanya < 3 kali per minggu), kesulitan saat buang air
besar (mengejan lebih dari 25% saat buang air besar atau sensasi tinja yang keras), dan
rasa belum puas setelah buang air besar.
Konsumsi makanan kaya probiotik (serat) merupakan salah satu cara alami terbaik
untuk mengatasi konstipasi. Oat termasuk makanan yang kaya akan serat karena
mengandung cukup banyak serat tak larut. Diperkirakan ada sekitar 4 gram serat di dalam
tiap cangkir oat. Sebanyak 2 gram di antaranya adalah serat tak larut yang dapat
mengatasi sembelit. Saat dikonsumsi, serat tak larut dari oatmeal ini akan masuk ke
sistem pencernaan. Serat tak larut akan bercampur dengan kotoran pemicu sembelit yang
mengeras. Saat bercampur dengan kotoran yang keras, serat tak larut akan membuat
kotoran tersebut menjadi lebih lunak. Proses ini memungkinkan kotoran melewati alur
saluran cerna dengan lebih mudah sehingga keluhan sembelit dapat teratasi Serta
membantu semua pergerakan limbah di dalam usus besar dengan mudah.
Pengembangan resep makanan yang tinggi prebiotik yang akan diolah dan
dilakukan dengan memodifikasi brownies menggunakan oat yang kaya serat diharapkan
dapat menjadi makanan pilihan untuk para pasien untuk mengatasi keluhan konstipasi,
meningkatkan daya tarik dan selera makan pasien serta meminimalisir tingkat
kebosananan pasien terhadap menu makanan yang terlalu biasa.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam praktikum ini adalah bagaimana pengembangan resep untuk
makanan atau minuman prebiotik
1.3 Tujuan
1. Untuk menghasilkan produk baru yang tinggi prebiotik berdasarkan resep yang telah
ada
2. Untuk mengetahui daya terima produk baru yang tinggi prebiotik berdasarkan resep
yang telah ada
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Resep


Pengembangan resep adalah kegiatan untuk meningkatkan menu sehingga
lebih berkualitas dalam aspek rasa, aroma, penampilan dan nilai gizi dengan tetap
memperhatikan prinsip dasar dari resep awalnya. Selain itu, pengembangan resep
jugamerupakan cara untuk menambah variasi menu dan bertujuan untuk
meningkatkan daya terima pasien terhadap menu yang disajikan.
Tujuan dari pengembangan resep adalah untuk menjamin bahwa makanan
yang disajikan selalu konsisten jualitas dan kuantitasnya, sebagai panduan kerja bagi
juru masak agar menghasilkan kualitas masakan yang sama, dan juga sebagai alat
kontrol produksi. Pengembangan resep diperlukan untuk meningkatkan daya terima
pasien terhadap menu yang disajikan.
Modifikasi resep sebagai salah satu cara untuk meningkatkan citarasa
makanan. Menu yang telah ada dimodifikasi, sehingga dapat mengurangi rasa
bosan/jenuh pasien terhadap masakan yang sering disajikan. Demikian pula
pengembangan resep untuk meningkatkan nilai gizi masakan, sekaligus meningkatkan
daya terima pasien. Modifikasi resep dapat berupa modifikasi bahan pendukungnya,
modifikasi bentuk, atau cara pengolahannya. Dengan demikian, modifikasi resep
dimaksudkan untuk meningkatkan keanekaragaman masakan bagi pasien,
meningkatkan nilai gizi pada masakan dan meningkatkan daya terima pasien terhadap
masakan (Aritonang, 2014).
2.2 Prebiotik
Prebiotik dapat didefinisikan sebagai subtrat yang tidak dapat dicerna oleh
makhluk hidup seperti manusia dan hewan, tetapi dapat difermentasi selektif oleh
beberapa mikroflora kolon, dimana ia menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri
yang bermanfaat untuk kesehatan makhluk hidup tersebut. Prebiotik dapat menjadi
sumber energi atau nutrien terbatas lainnya bagi mukosa usus dan substrat untuk
fermentasi bakteri cecal dalam menghasilkan vitamin dan antioksidan yang dapat
menguntungkan tubuh. Prebiotik secara alami terdapat pada tanaman, misalnya pada
umbi dahlia, bawang merah, bawang putih, asparagus, kedelai, ubi jalar, dan juga
pada susu.
Prebiotik merupakan komposisi pangan yang tidak dapat dicerna. Ini meliputi
inulin, fruktooligosakarida (FOS), galaktooligosakarida, dan laktosa. FOS secara
alami terjadi pada karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia. FOS ini juga
mendukung pertumbuhan bakteri Bifidobacteria. Secara umum proses pencernaan
prebiotik memiliki karakteristik dengan adanya perubahan dari kepadatan populasi
mikrobia. Suatu substrat dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik bila memenuhi
persyaratan bahwa substrat tersebut tidak terhidrolisis atau terserap pada saluran
pencernaan bagian atas, secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang
menguntungkan pada kolon, dan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen,
sehingga secara sistemik dapat meningkatkan kesehatan (Caglar dkk, 2005).
Ada beberapa senyawa yang termasuk prebiotik, pada golongan prebiotik non-
digestible karbohidrat termasuk laktulosa, inulin, resistant strarch dan sejumlah
oligosakarida yang dapat menjadi sumber karbohidrat bagi bakteri yang
menguntungkan dalam saluran pencernaan (Crittenden, 1999 dalam Wartazoa 2011).
Adapula prebiotik yang telah tersedia secara komersial umumnya yaitu fructo-
oligosaccharides (FOS), isomalto-oligosaccharides, Lactosuccrose, lactulose, Pyro-
dextrins, Soy Oligosaccharides, transgalactooligosaccharides, xylo-
oligosaccharides .Tetapi pada tahun 2007 hanya 2 senyawa yang dapat memenuhi
kriteria prebiotik yaitu inulin dan tran-galactosaccharides (TOS) (Roberfroid, 2007).
Inulin dan oligosakarida dapat diisolasi dari sumber alami, seperti umbi-umbian.
Umumnya umbi-umbian mengandung oligosakarida dalam bentuk rafinosa dalam
jumlah tinggi.
2.3 Pisang
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan buah yang mengandung sumber karbohidrat,
mineral serta vitamin B6 dan vitamin C yang tinggi. Pisang merupakan buah yang
teksturnya lunak dan mudah dicerna oleh tubuh. Pisang berpotensi mengatasi
kelelahan otot karena memiliki karbohidrat sederhana dan kompleks sebagai sumber
energi. (Wulandari, 2018)
Pada umumnya pisang mengandung senyawa fruktooligosakarida (FOS). FOS
ataupun inulin yang terdapat dalam buah pisang berperan sebagai salah satu
komponen prebiotik. Pengaruh utama konsumsi produk pangan berprebiotik terjadi
pada usus besar. Prebiotik akan difermentasi oleh mikroflora di dalam usus besar
menghasilkan senyawa asam lemak rantai pendek (SCFA) yang dapat memberikan
efek menguntungkan terhadap kesehatan. Keuntungan tersebut antara lain
memperbaiki metabolisme lipid dan mengurangi kadar kolesterol darah, memperbaiki
pencernaan, meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di usus oleh kuman
patogen serta memperbaiki keluhan malabsorsi laktosa (Wulandari, 2018)
Kandungan vitamin B6 pisang cukup tinggi, yaitu sebesar 0,5 mg per 100
gram. Selain berfungsi sebagai koenzim untuk beberapa reaksi dalam metabolisme,
vitamin B6 berperan dalam sintetis dan metabolisme protein, khususnya serotonin.
Serotonin diyakini berperan aktif sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi
otak. Vitamin B6 juga berperan dalam metabolisme energi yang berasal dari
karbohidrat.
2.4 Oat
Oat (Avena sativa L.) merupakan spesies sereal yang banyak dimanfaatkan
sebagai makanan manusia dan pakan ternak. Oat merupakan salah satu tanaman dan
komponen utama dalam rotasi tanaman sistem pertanian Mediterania. Dalam beberapa
tahun terakhir, nilai-nilai agronomi dan nutrisi, serta peningkatan popularitas
pertanian organik karena kemampuannya sebagai tanaman penutup musim dingin,
telah menyebabkan minat baru dalam tanaman ini. Selain itu, permintaan oat untuk
konsumsi manusia telah meningkat, mengingat banyak manfaat bagi kesehatan
manusia. Hal ini dikarenakan oat memiliki senyawa primer (misalnya, protein,
karbohidrat, dan serat) serta senyawa sekunder (misalnya, frukto-oligosakarida dan
antioksidan).
Secara khusus, biji-bijian sejenis gandum memiliki konsentrasi tinggi frukto-
oligosakarida (FOS), karbohidrat nonstruktural larut terbuat dari rantai pendek
molekul fruktosa. FOS juga disebut prebiotik, karena mereka dapat selektif
merangsang pertumbuhan dan/atau aktivitas sejumlah bakteri yang berpotensi
merangsang kesehatan usus, dan mereka memiliki peran (Iannucci et al., 2011).
Oat adalah gandum yang mengandung prebiotik yang bermanfaat. Gandum ini
mengandung jumlah fiber beta-glucan yang tinggi dan juga beberapa pati resisten.
Beta-glucan yang terdapat pada oat dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri pada
hati, menurunkan kolestero LDL, mengatur gula darah dan mengurangi risiko terkena
kanker. Oat dapat memperlambat pencernaan dan mengatur nafsu makan. Oat juga
kaya akan antioxidant dan anti-inflammatory karena mengandung asam phenolic.
2.5 Telur
Telur merupakan bahan yang sangat penting dalam pembuatan roti, kue kering
maupun cake, muffin dan sebagainya. Dalam pembuatan pancake telur merupakan
salah satu bahan yang penting karena mempunyai fungsi mengembangkan adonan,
memberikan nilai tambah gizi, warna, dan penambah rasa. Telur dibedakan menjadi
berbagai jenis antara lain telur ayam, telur itik, telur angsa dan jenis telur unggas
lainnya.
2.6 Uji Organoleptik Melalui Uji Hedonik
Penilaian organoleptik adalah suatu disiplin ilmu yang digunakan untuk
mengungkap, mengukur, menganalisa dan menafsir reaksi indera penglihatan, perasa,
pembau dan peraba ketika menangkap karakteristik produk. Uji organoleptik
dilakukan oleh panelis berdasarkan faktor kesukaan.
Karakteristik pengujian organoleptik menurut Bambang Kartika, (1988) adalah
penguji cenderung melakukan penilaian berdasarkan kesukaan, penguji tanpa
melakukan latihan, penguji umumnya tidak melakukan penginderaan berdasarkan
kemampuan seperti dalam pengujian inderawi, pengujian dilakukan di tempat terbuka
sehingga diskusi kemungkinan terjadi.
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
penginderaan. Bagian organ tubuh yang berperan dalam penginderaan adalah mata,
telinga, indera pencicip, indera pembau dan indera perabaan atau sentuhan.
Kemampuan alat indera memberikan kesan atau tanggapan dapat dianalisis atau
dibedakan berdasarkan jenis kesan. Luas daerah kesan adalah gambaran dari sebaran
atau cakupan alat indera yang menerima rangsangan. Kemampuan memberikan kesan
dapat dibedakan berdasarkan kemampuan alat indra memberikan reaksi atas
rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan mendeteksi
(detection), mengenali (recognition), membedakan (discrimination), membandingkan
(scalling) dan kemampuan menyatakan suka atau tidak suka (hedonik). Perbedaan
kemampuan tersebut tidak begitu jelas pada panelis. Sangat sulit untuk dinyatakan
bahwa satu kemampuan sensori lebih penting dan lebih sulit untuk dipelajari. Karena
untuk setiap jenis sensori memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda, dari yang
paling mudah hingga sulit atau dari yang paling sederhana sampai yang komplek
(rumit).
Pengujian organoleptik atau sensory test didefinisikan sebagai metode untuk
mengukur, menganalisa dan menginterprestasikan reaksi dari karakteristik bahan
pangan yang diterima melalui penglihatan, bau, rasa, sentuhan dan pendengaran atau
suara. Penilaian atau uji organoleptik dikenal juga dengan penilaian sensori atau
penilaian inderawi dimana secara tradisional sudah berkembang sejak zaman dahulu,
yakni di saat manusia sudah mulai memperhatikan kualitas lingkungan disekitarnya.
Uji sensori merupakan suatu cara penilaian subjektif tertua yang sangat umum
digunakan untuk memilih hampir semua komoditi terutama hasil pertanian dalam arti
luas, seperti buah – buahan, ikan, rempah – rempah, minyak dan lain – lain.
Penilaian organoleptik dimanfaatkan oleh industri terutama industri pangan dan
juga penelitian unutuk pengukuran atribut – atribut mutu dengan menggunakan
manusia sebagai alat pengukuran. Berdasarkan kemampuan penginderaannya (mata,
hidung, telinga, lidah dan kulit). Tujuan organoleptik adalah untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan – pertanyaan menyangkut mutu produk yang berkaitan
dengan pembedaan (untuk membedakan mutu organoleptik baik satu atau beberapa
atribut organoleptik maupun secara keseluruhan), afektifitas (untuk mengukur
preferensi dan penerimaan) dan deskriptif (untuk mendeskripsikan atribut – atribut
organoleptik).
Pada prinsipnya terdapat 3 jenis uji organoleptik, yaitu uji pembedaan
(discriminative test), uji deskripsi (descriptive test) dan uji afektif (affective test).
Pada praktikum ini dilakukan uji organoleptik melalui uji afektif. Uji afektif
digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan
sifat-sifat organoleptik. Hasil yang diperoleh adalah penerimaan (diterima atau
ditolak), kesukaan (tingkat suka/tidak suka), pilihan (pilih satu dari yang lain)
terhadap produk. Metode ini terdiri atas Uji Perbandingan Pasangan (Paired
Comparation), Uji Hedonik dan Uji Ranking. Dan uji afektif yang digunakan adalah
uji hedonik.
Uji hedonik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk
mengukur tingkat kesukaan terhadap produk. Tingkat kesukaan ini disebut skala
hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka, agak tidak suka, tidak suka, sangat
tidak suka dan lain-lain. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut
rentangan skala yang dikehendaki. Dalam analisis datanya, skala hedonik
ditransformasikan ke dalam skala angka dengan angka manaik menurut tingkat
kesukaan (dapat 5, 7 atau 9 tingkat kesukaan). Dengan data ini dapat dilakukan
analisa statistik.

2.7 Uji Fisik


Uji Fisik adalah uji dimana kualitas produk diukur secara objektif berdasarkan
hal-hal fisik yang nampak dari suatu  produk. Prinsip uji fisik yaitu Pengujian
dilakukan dengan cara kasat mata, penciuman, perabaan dan pengecapan dan alat-alat
tertentu yang sudah di akui secara akademis.  (Kartika, 1998).
Pertama, menggunakan indera manusia, dengan cara menyentuh, memijit,
menggigit, mengunyah, dan sebagainya, selanjutnya kita sampaikan apa yang kita
rasakan. Ini yang disebut dengan analisa sensori. Karena reaksi kita sebagai manusia
yang menguji berbeda-beda, maka diperlukan analisa statistik untuk menyimpulkan
skala perbedaan  ataupun tingkat kesukaan penguji terhadap produk tersebut. Cara uji
kedua dengan pendekatan fisik, menggunakan instrument atau peralatan tertentu, 
(Kartika, 1998).
Uji morfologi adalah uji yang dilakukan terhadap produk pangan seperti
bentuk, ukuran dan warna atau  faktor-faktor luaran dari produk pangan.
(Prabaningtyas 2003).
2.8 Uji Kimia dengan Metode Seliwanoff
Uji seliwanoff atau tes seliwanoff digunakan untuk membedakan gula
(karbohidrat) yang diuji masuk kategori ketosa atau aldosa. Gula aldosa memiliki
gugus aldehida, sedangkan ketosa memiliki gugus keton. Dasar dari uji ini adalah
bahwa ketosa lebih cepat terdehidrasi dibandingkan aldosa saat dipanaskan. HCl
dalam reagen seliwanof akan mendehidrasi gula menjadi furfural yang akan bereaksi
dengan resorsinol membentuk senyawa berwarna merah ceri.
Dengan uji ini, gula ketosa seperti fruktosa akan menghasilkan warna merah
ceri, sedangkan gula aldosa seperti glukosa akan memberikan hasil negatif dengan
tidak muncul warna merah pada larutan. Namun apabila pemanasan tidak sesuai
dengan prosedur (lebih dari 5 menit), gula aldosa kadang akan menghasilkan warna
merah muda. Sedangkan sukrosa (gabungan antara fruktosa dan glukosa) akan
menghasilkan warna merah ceri karena adanya fruktosa di dalamnya.
2.9 Uji Biologis
Pengujian dilakukan dengan pemberian perlakuan uji coba pada makhluk hidup,
biasanya pada hewan seperti tikus atau mencit.
2.10 Uji Mikrobiologi
Prinsip dari metode hitungan cawan atau Total Plate Count (TPC) adalah
menumbuhkan sel mikroorganisme yang masih hidup pada media agar, sehingga
mikroorganisme akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dan dihitung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop.
DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Irianton. 2014. Manajemen Penyelenggaraan Makanan&Asuhan Gizi. Yogyakarta


: CEBios.
Caglar, E., Kargul. B & Tanboga. I. 2005. Bacteriotherapy and Probiotics Role on Oral
Health. Review Article Blackwell Munksgaard, 11. Pp. 131-136.
Claudina, I., Rahayuning, D., Kartini, A. 2018. Hubungan Asupan Serat Makanan dan Cairan
dengan Kejadian Konstipasi Fungsional pada Remaja Di SMA Kesatrian 1 Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyrakat (e-Journal)Vol. 6 (1)
Faridah, Anni. 2008. Patiseri Jilid 3 Untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan.
Gibson, G. R. and Roberfroid, M. B. 1995. Dietary Modulation of Human. Colonik
Microbiota: Introducing The Concept of Prebiotic.
Grizard D, Barthomeuf C, 1999 : Non-digestible oligosaccharides used as prebiotic agents :
mode of production and benefecial effects on animal and human health.
Karakarya, I. C. 2015. Relation of Constipation Problem and Physical Activity Level in
University Students. TAF Preventive Medicine Bulletin Vol. 14
Kartika B., P. Hastuti dan W. Supartomo. 1998. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat
Antar Universitas. Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Santoso, 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatf dan Kualitatif, jakarta: Prestasi Pustaka.
Sari, I.P. 2016. Hubungan Konsumsi Serat dengan Pola Defekasi pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Unand. Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5
Wulandari. 2018. Perbedaan Pemberian Pisang Raja dan Pisang Ambon Terhadap Vo2max
pada Remaja di Sekolah Sepak Bola. Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro. 2012.

Anda mungkin juga menyukai