Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN TUTORIAL

BLOK PSIKIATRI, FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

Disusun Oleh:
Elrica Grace 219 210 029
Grup Tutor A3

Diketahui Oleh:

Fasilitator

dr. Novrina Situmorang, M. Biomed

FAKULT AS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan hasil
laporan tutorial blok Psikiatri, Forensik dan Medikolegal ini sesuai dengan waktu yang
ditentukan.
Dalam penyusunan laporan tutorial blok Psikiatri, Forensik dan Medikolegal ini,
penulis menyadari sepenuhnya banyak terdapat kekurangan di dalam penyajiannya. Hal ini
disebabkan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari
bahwa tanpa adanya bimbingan dan bantuan dari semua pihak tidaklah mungkin hasil laporan
tutorial blok Psikiatri, Forensik dan Medikolegal ini dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan dengan baik.
2. dr. Novrina Situmorang, M. Biomed. Selaku dosen atas segala masukkan,
bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi segala keterbatasan penulis.
Akhir kata, segala bantuan serta amal baik yang telah diberikan kepada penulis,
mendapatkan balasan dari Tuhan, serta laporan tutorial blok Psikiatri, Forensik dan
Medikolegal ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca umumnya.

Medan, 03 Februari 2022


Penulis

Elrica Grace
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................... ii
Pemicu ..................................................................................................................... 1
I. Klarifikasi Istilah ......................................................................................... 1
II. Identifikasi Masalah .................................................................................... 1
III. Analisa Masalah .......................................................................................... 2
IV. Kerangka Konsep ........................................................................................ 3
V. Learning Objective ..................................................................................... 4
VI. Pembahasan ................................................................................................. 4
VII. Kesimpulan ..................................................................................................
Daftar Pustaka ...........................................................................................................
PEMICU
Seorang laki-laki 68 tahun dibawa ke IGD RS Swasta oleh keluarganya dengan keluhan
bicara kacau, sering marah marah tanpa sebab, selalu menyatakan kalau melihat kakeknya datang
menjumpai dirinya. Hal ini dialami O.S. sejak 3 hari belakangan ini, bersifat hilang timbul.
Kadang-kadang O.S, dapat kontak dengan baik dengan keluarganya, namun dalam waktu yang
tidak terlalu lama, O.S. kembali berulang.

Pada pemeriksaan Psikiatri dijumpai Kesadaran yang berkabut, pembicaraan kacau dan
tidak relevan, perilaku psikomotornya agitasi, mood disforik, afek labil, gangguan persepsi
dijumpai halusinasi penglihatan, gangguan pikiran dijumpai test realitanya terganggu dengan
adanya waham persekutorik, dijumpai gangguan pada orientasi waktu, tempat, personal.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai mata sedikit anemis, pemeriksaan lainnya dalam batas
normal.

Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hemoglobin 9,0 mg%; KGD sewaktu 327
mg/dl; Ureum 150; Kreatinin 1,8; Natrium 120; Kalium 2,5 ; klorida 94.

I. Klarifikasi Istilah
1. Waham persekutorik (waham kejar) : adalah waham dimana pengidap merasa seperti
dikejar seseorang
2. Mood disforik : adalah mood yang tidak menyenangkan
3. Psikomotor agitasi : adalah kegelisahan motoric dan hiperaktivitas yang berkaitan
dengan ketegangan, kecemasan dan iritabilitas.
II. Identifikasi Masalah
1. Berhalusinasi tentang kakeknya yang sering mendatanginya
2. Bicara kacau, sering marah tanpa sebab
3. Kesadaran yang berkabut
4. Adanya gangguan persepsi dijumpai halusinasi penglihatan
5. Gangguan pada orientasi waktu, tempat, personal
6. Kadar natrium, kalium dan klorida yang rendah.
III. Analisa Masalah
1. Halusinasi terjadi karena adanya isi alam bawah sadar yang masuk ke alam sadar
sebagai suara respons terhadap konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak dipenuhi
sehingga halusinasi merupakan gambaran dan rangsangan keinginan dan ketakutan
yang dialami oleh pasien.
2. - Terjadi intermiten explosive disorder dimana seseorang mengalami kegagalan
dalam mengontrol rasa marahnya dan memiliki dorongan untuk bertindak secara
kasar
- Hal ini terjadi akibat hormone yang tidak seimbang, ketidakseimbangan hormone
tiroid yaitu saat kelenjar tiroid tidak bisa menghasilkan jumlah yang cukup.
3. Berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dalam bentuk memusatkan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian
4. Halusinasi penglihatan lebih sering terjadi karena pada keadaan delirium biasanya
terjadi atau sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran yang
menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran yang diberikan.
5. - kadar natrium yang rendah, dapat menyebabkan disfungsi otak dimana
bermanifestasi menjadi delirium
- Kadar kalium yang rendah, memiliki efek langsung pada system neurotransmitter
khususnya agen antikolinergik dan dopaminergic menyebabkan disfungsi otak
dan kerusakan saraf juga menganggu fungsi neural sehingga menyebabkan
seseorang mengalami delirium.
IV. Kerangka Konsep

1. waham persekutorik (waham kejar) adalah


waham dimana pengidap merasa seperti dikejar
Laki- laki 68 tahun seseorang

2. mood disforik adalah mood yang tidak


menyenangkan

3. psikomotor agitasi adalah kegelisahan motoric


dan hiperaktivitas yang berkaitan dengan
ketegangan, kecemasan dan iritabilitas.

Berhalusinasi Bicara kacau, Kesadaran Adanya gangguan Gangguan Kadar natrium,


tentang kakeknya sering marah yang persepsi dijumpai pada orientasi kalium dan
yang sering tanpa sebab berkabut halusinasi waktu, tempat, klorida yang
mendatanginya penglihatan personal rendah.

Adanya isi alam seseorang mengalami Halusinasi penglihatan kadar natrium yang
Berkurangnya
bawah sadar yang kegagalan dalam lebih sering terjadi rendah, dapat
kejernihan
masuk kealam
mengontrol rasa kesadaran terhadap karena pada keadaan menyebabkan
sadar sebagai
marahnya dan memiliki lingkungan dalam disfungsi otak dimana
repons psikologis delirium biasanya
bentuk memusatkan
dorongan untuk terjadi atau sering bermanifestasi menjadi
, mempertahankan,
bertindak secara kasar dan mengalihkan muncul bersamaan delirium
perhatian dengan penurunan
Kadar kalium yang
kesadaran yang
rendah, memiliki efek
menimbulkan rasa takut
langsung pada system
akibat gambaran-
neurotransmitter
gambaran yang
menyebabkan
diberikan.
seseorang mengalami
delirium.
Dd:
V. Learning Objective
1. delirium
1. Definisi dan etiologi dd
2. demensia
2. Epidemiologi dd 3. skizofrenia
3. Patofisiologi dd
4. Klasifikasi dd
5. Gejala klinis dd
6. Kriteria diagnostic dd
7. Pemeriksaan laboratorium dd
8. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi (edukasi ) dd
9. Prognosis dd

VI. Pembahasan
1. Definisi dan etiologi dd
- DELIRIUM
Defenisi
Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai kegagalan otak akut yang
berhubungan dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan kegagalan
homeostasis kompleks dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani
dengan buruk. Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk
menggambarkan gangguan mental selama demam atau cedera kepala, ke- mudian
berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status
konfusional akut”, “sindrom otak akut”, “insufisiensi serebral akut”, “ensefalopati
toksik-metabolik”. Seiring waktu, istilah delirium berkembang untuk menjelaskan
suatu kondisi akut transien, reversibel, ber- fluktuasi, dan timbul pada kondisi
medis tertentu.3 Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak
jarang justru terjadi pada hari pertama pasien dirawat, menunjukkan gejala
berfluktuasi yang tidak khas. Setidaknya 32-67% sindrom ini tidak terdiagnosis
oleh dokter, padahal kondisi ini dapat dicegah.
Etiologi
1. Hipoperfusi
2. Hipoperfusi dapat menyebabkan delirium, misalnya pada keadaan :
3. Gagal jantung kongestif
4. Aritmia
5. Anemia
6. Infeksi
7. Delirium dapat disebabkan oleh infeksi, misalnya pada :
8. Infeksi sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, abses
otak)
9. Infeksi saluran kemih
10. Pneumonia
11. Septikemia
- Kelainan Metabolik
Beberapa kelainan metabolik yang dapat menyebabkan delirium adalah :
1. Hipoksia
2. Hipoglikemia atau hiperglikemia
3. Keadaan hipoosmolar atau hiperosmolar
4. Dehidrasi
5. Ketidakseimbangan elektrolit
6. Gangguan asam-basa
7. Defisiensi vitamin (terutama tiamin dan sianokobalamin)
8. Gagal hati
- DEMENSIA
Defenisi
Definisi demensia menurut WHO adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul
karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas disertai dengan
gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan
mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan
fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan
motivasi.
Menurut International Classification of Diseases 10 ( ICD 10 ). Penurunan
memori yang paling jelas terjadi pada saat belajar informasi baru, meskipun
dalam. Pada kasus yang lebih parah memori tentang informasi yang pernah
dipelajari juga mengalami penurun. Penurunan terjadi pada materi verbal dan non
verbal. Penurunan ini juga harus didapatkan secara objektif dengan mendapatkan
informasi dari orang – orang yang sering bersamanya, atau pun dari tes
neuropsikologi atau pengukuran status kognitif.
Etiologi
Penyakit alzheimer
Penyebab utama penyakit demensia adalah penyakit alzheimer. Demensia 50% di
sebabkan oleh penyakit alzheimer, 20% disebabkan gangguan pembulu otak, dan
sekitar 20% gabungan keduannya serta sekitar 10% disebabkan faktor lain.
Penyebab alzheimer tidak diketahui pasti penyebabnya, tetapi diduga
berhubungan dengan faktor genetik, penyakit alzheimer ini ditemukan dalam
beberapa keluarga gen tententu.
Serangan Strok
Penyebab kedua demensia adalah serangan stoke yang terjadi secara ulang. Stroke
ringan dapat mengakibatkan kelemahan dan secara bertahap dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan otak akibat tersumbatkan aliran darah (infark). Demensia
multiinfark serasal dari beberapa stoke ringan, sebagian besar penderita stoke
memliki tekanan darah tinggi (hipertensi) yang menyebabkan kerusakan pembulu
darah pada otak.
Serangan lainnya
Serangan lainnya dari demensia adalah demensia yang terjadi akibat pencederaan
pada otak (cardiac arrest), penyakit parkison, AIDS, dan hidrocefalus.
- SKIZOFRENIA
Defenisi
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan
terganggu.Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri,
melainkan sebagai suatu proses penyakit yang mencakup banyak jenis dengan
berbagai gejala seperti jenis kanker. Selama berpuluh-puluh tahun, skizofrenia
sering disalahartikan oleh masyarakat (Videbeck, 2012: 348).
Skizofrenia ( schizophrenia) adalah gangguan yang terjadi pada fungsi
otak. Menurut Nancy Andreasen (2008) dalam Broken Brain, The Biological
Revolution in Psychiatry, bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia
merupakan suatu hal yang melinbatkan banyak sekali faktor. Faktor-faktor itu
meliputi perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor
genetik. Menurut Melinda Herman (2008), mendefinisikan skizofrenia sebagai
penyakit neurologis yang memengaruhi persepsi klien, cara berpikir, bahasa,
emosi, dan perilaku sosialnya (Neurological disease taht affects a person’s
perseption, thinking, language, emotion, and social behavior)(Yosep I, 2010:211).
Etiologi
Menurut teori model diathesis stress skizofrenia dapat timbul karena adanya
integrasi antara faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan. Seseorang
yang rentan jika dikenai stressor akan lebih mudah untuk menjadi skizofrenia.
Lingkungan emosional yang tidak stabil mempunyai risiko yang besar pada
perkembangan skizofrenia. Stressor sosial juga mempengaruhi perkembangan
suatu skizofrenia. Diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka
kejadian skizofrenia yang tinggi (Sinaga, 2007).
Tampaknya skizofrenia tidak disebabkan oleh penyebab yang tunggal, tetapi dari
berbagai faktor. Sebagaian besar ilmuwan meyakini bahwa skizofrenia adalah
penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor- faktor genetik, ketidakseimbangan
kimiawi di otak, abnormalitas struktur otak, atau abnormalitas dalam lingkungan
prenatal. Berbagai peristiwa stress dalam hidup dapat memberikan kontribusi
pada perkembangan skizofrenia pada meraka yang telah memiliki predisposisi
pada penyakit ini (Arif, 2006).
Keturunan dapat dipastikan bahwa ada faktor keturunan yang juga menentukan
timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga -
keluarga penderita skizofrenia dan terutama pada anak- anak kembar satu telur
(Maramis, 2004).
2. Epidemiologi dd
DELIRIUM
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%, dan
kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS berkisar antara 6-56% di
antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53% pasien geriatri
pasca- operasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif. Delirium
dijumpai pada hingga 60% pasien rumah-rawat atau kondisi perawatan pasca-
akut, dan hingga 83% pasien pada akhir hidupnya. Walaupun prevalensi delirium
secara keseluruhan pada komunitas hanya berkisar 1-2%, namun prevalensi
meningkat seiring bertambahnya umur, hingga 14% pada pasien berusia 85 tahun
atau lebih. Lebih lanjut, pada 10-30% pasien geriatri yang datang ke departemen
gawat darurat, delirium merupakan gejala yang menggambarkan kondisi
membahayakan jiwa.1 Di Indonesia, prevalensi delirium di ruang rawat akut
geriatri RSCM adalah 23% (tahun 2004), sedangkan insidensnya mencapai 17%
pada pasien rawat inap. Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja
karena meningkatkan risiko kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena
memperpanjang masa rawat serta meningkatkan kebutuhan perawatan dari
petugas kesehatan dan pelaku rawat
DEMENSIA
Hal yang terpenting yang merupakan faktor resiko dari penyakit Alzheimer adalah
umur yang tua dan positive pada riwayat penyakit keluarga. Frekuensi dari
penyakit Alzheimer akan meningkat seiring bertambahnya dekade dewasa.
Mencapai sekitar 20-40% dari populasi lebih dari 85 tahun. Wanita merupakan
faktor resiko gender yang lebih beresiko terutama wanita usia lanjut. Lebih dari 35
juta orang di dunia, 5,5 juta di Amerika Serikat yang mengalami penyakit
Alzheimer, penurunan ingatan dan gangguan kognitif lainnya dapat mengarahkan
pada kematian sekitar 3 – 9 tahun ke setelah didiagnosis. Penyakit Alzheimer
merupakan jenis yang terbanyak dari demensia, dihitung berdasarkan 50 – 56 %
kasus dari autopsy dan kasus klinis. Insiden dari penyakit ini dua kali lipat setiap 5
tahun setelah usia 65 tahun, dengan diagnosis baru 1275 kasus per tahun per
100.000 orang lebih tua dari 65 tahun. Kebanyakan orang-orang dengan penyakit
Alzheimer merupakan wanita dan berkulit putih. Karena sangat dihubungkan
dengan usia, dan wanita mempunyai ekspektasi kehidupan yang lebih panjang dari
pria, maka wanita menyumbangkan sebesar 2/3 dari total orang tua dengan
penyakit ini
SKIZOFRENIA
Menurut studi area epidemiologi prevalensi skizofrenia seumur hidup di AS
berkisar antara 0,6% sampai 1,9%. Prevalensi skizofrenia diseluruh dunia sangat
mirip diantara kebanyakan budaya. Onset penyakit cenderung lebih awal pada
laki-laki dengan mulai dari awal usia 20 tahun sedangkan pada wanita berawal
dari usia 20-30 tahun (Dipiro et al, 2014). Skizofrenia dapat menyerang orang-
orang dari semua ras dan jenis kelamin, dan juga termasuk semua kelas sosial dan
ekonomi. Menurut WHO, lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia menderita
skizofrenia. Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang kira-kira 2,4 juta orang
dewasa (Parks, 2011).
Dari gambar diatas terlihat bahwa Indonesia merupakan Negara terbesar dengan
indikasi Skizofrenia. Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013
antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan
pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh
terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk.
Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya
agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis
dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia (Kemenkes, 2013).
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta
masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan
beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah,
gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat
ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa
berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan
jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena
tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar
hak asasi manusia (Kemenkes, 2013).
3. Patofisiologi dd
DELIRIUM
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi
berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik da- pat merupakan salah satu faktor penyebab delirium.5 Delirium
yang diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau
nikotin dapat dibeda- kan dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium
akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan meka- nisme inhibisi dan
eksitasi pada sistem neurotransmiter. Konsumsi alkohol se- cara reguler dapat
menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi
reseptor GABA-A (gamma- aminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral
berhubungan dengan perubahan neuro- transmiter yang memperkuat transmisi
dopaminergik dan noradrenergik, adapun perubahan ini memberikan manifestasi
karakteristik delirium, termasuk aktivasi sim- patis dan kecenderungan kejang
epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepin menyebabkan delirium
melalui jalur pe- nurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang
epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul
melalui berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik
dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.
Perubahan transmisi neuronal yang di- jumpai pada delirium melibatkan berbagai
mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:
- Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter,
khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan
metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung
mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan
neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan kanker payudara
merupakan penyebab utama delirium.
- Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
inflamasi,trauma,atauprosedurbedah.Pada beberapa kasus, respons inflamasi
sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan efeknya
yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses inflamasi berperan menyebabkan delirium pada pasien
dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif ).
- Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak
noradrenalin, dan aksis hipotalamus- pituitari-adrenokortikal untuk melepaskan
lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebabkan
kerusakan neuron.
DEMENSIA
Porsi tertentu dari suatu fungsi intelektual dikontrol oleh batasan region dari
cerebrum. Penurunan memori adalah gejala utama dari demensia dan mungkin
terjadi bersamaan dengan penyakit yang luas pada beberapa bagian yang berbeda
di cerebrum. Keutuhan bagian-bagian tertentu dari diencephalon dan bagian
inferomedial dari globus temporal adalah dasar dari kuatnya suatu memori. Pada
hal yang sama, penurunan fungsi bahasa diasosiasikan secara spesifik dengan
penyakit yang menyerang hemisfer cerebrum khsusunya bagian perisylvian dari
frontal, temporal dan globus parietal. Kemampuan dalam membaca dan
menghitung yang menurun atau bahkan menghilang dihubungkan dengan lesi
pada bagian posterior dari hemisfer serebral bagian kiri (dominan).
Kemampuan dalam menggunakan alat atau apraxia yang menurun atau bahkan
menghilang berhubungan dengan menghilangnya jaringan pada bagian parietal
yang dominan. Penurunan dalam menggambar ataupun konstruksi figur yang
simpel dan kompleks dapat dilihat dengan lesi pada globus parietal dengan bagian
kanan yang lebih sering dibandingkan bagian kiri. Masalah mengenai tingkah
laku dan stabilitas personality umumnya berhubungan dengan degenerasi lobus
frontal. Hasil gambaran klinis dari penyakit cerebral bergantung pada tingkat lesi,
banyaknya jaringan cerebral yang rusak dan bagian-bagian dari otak yang
menanggung beban dari perubahan patologis.
Demensia tipe generatif biasanya berhubungan dengan penyakit struktural yang
jelas terutama pada cortex serebral tetapi juga dapat terjadi pada diencephalon.
Pada beberapa penyakit seperti penyakit Alzheimer, proses utamanya yaitu
degenerasi dan kehilangan sel saraf pada area cortical dan globus medial
temporal. Pada penyakit pick dan demensia frontotemporal primer, atrophy
terutama terjadi pada bagian frontal, temporal atau bahkan keduanya, kadang-
kadang sedikit tidak simetris. Pada penyakit lain seperti Huntington Chorea,
degenerasi sel syaraf lebih dominan pada caudate nuclei, putamens dan bagian
lain pada ganglia basalis. Degenerasi thalamus secara murni jarang dijumpai dan
kemungkinan menjadi dasar dari terjadinya demensia karena terdapatnya
hubungan antara thalamus dengan cortex serebral khususnya yang berkaitan
dengan memori, bahkan ketika penyakit tertentu mempengaruhi satu bagian dari
cerebrum, area tambahan juga sering ikut terlibat dan berkonstribusi terhadap
terjadinya penurunan mental. Salah satu temuan penting pada penyakit Alzheimer
yaitu terjadinya kerusakan utama pada hipokampus dan juga degenerasi nuclei
cholinergic dari daerah frontal basal yang dapat sangat menurunkan fungsi
memori. Penggantian dari hilangnya cholinergic adalah satu dari pendekatan-
pendekatan utama untuk perawatan dari penyakit ini.
Penyakit arteriosclerotic cerebrovaskular berbeda perjalanannya dibandingkan
dengan penyakit neurodegenerative mengakibatkan multiple infark sepanjang
thalamus, ganglia basal, brain stem, cerebrum termasuk saraf motor dan sensorik
serta area proyeksi visual maupun area asosiasi. Efek kumulatif dari stroke yang
berulang dapat merusak intelektual. Stroke yang berulang dapat meningkatkan
penyakit secara jelas pada pasien (Multi-infarct dementia). Penurunan
karakteristik fungsi mental dapat dikaitkan dengan perubahan periventricular
white matter (leukoaraiosis) yang dapat diamati pada computed tomography (CT)
dan magnetic resonance imaging (MRI) scans pada beberapa pasien tua dan pada
pasien yang terduga mengalami iskemik secara alami. Stroke ringan yang
berlebihan dalam berbagai cara dapat menghasilkan proses Alzheimer
Neuropathologic, hal tersebut telah diterima di beberapa tempat.
Lesi yang diakibatkan oleh trauma serebral berat dapat mengakibatkan demensia
bila kerusakan terjadi terutama pada bagian frontal dan temporal, corpus callosum
dan thalamus. Beberapa kasus degenerasi yang menyebar luas sampai ke dalam
hemisfer cerebral disebabkan dari gangguan mekanik pada bagian dalam white
matter yang dapat disebut axonal shearing. Kebanyakan lesi yang berasal dari
trauma yang menyebabkan demensia cukup luas, sehingga membuat sulit dalam
penentuan letak lesi utama. Para ahli menyatakan bahwa lesi pada axonal shearing
adalah penyebab primer dari demensia akibat trauma.
Proses inflamasi secara difusi pada serebral menjadi dasar terjadinya demensia
pada syphilis, cryptococcosis, kronik meningitis dan infeksi virus yang lain
seperti AIDS, herpes simpleks enchepalitis serta subakut subsclerosis
panecephalitis. Terdapat penurunan dari beberapa neuron dan inflamasi
menganggu fungsi neuron secara tetap. Penyakit sebelumnya (Creutzfeldt-Jakob
disease) menyebabkan penurunan saraf cortical secara difus, penggantian gliosis
dan perubahan bentuk spongi serta menghasilkan pola yang spesial dari disfungsi
kognitif. Perubahan lingkungan biokimia memiliki efek terhadap fungsi neuron
SKIZOFRENIA
4. Klasifikasi dd
DELIRIUM
Tampilan klinis delirium dapat bervariasi, namun secara umum delirium
diklasifikasi berdasarkan sifat psikomotorik dalam tiga subtipe, yaitu:
- Delirium Hipoaktif (25%).
Pasien bersikap tenang dan menarik diri, dengan tampilan klinis letargi dan
sedasi, berespons lambat terhadap rangsangan, dan pergerakan spontan minimal.
Tipe ini cenderung tidak terdeteksi pada rawat inap dan menyebabkan
peningkatan lama rawat dan komplikasi yang lebih berat
- Delirium Hiperaktif (30%).
Pasien memiliki gambaran agitasi, hiper- vigilansi, dan sering disertai halusinasi
dan delusi, yang walaupun lebih awal dapat terdeteksi, berhubungan dengan
peningkatan penggunaan benzodiazepin, sedasi berlebihan, dan risiko jatuh.
- Delirium Campuran (Mixed) (45%).
Pasien menunjukkan gambaran klinis baik hiperaktif maupun hipoaktif. Masing-
masing subtipe delirium diakibatkan oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda
dan memberikan prognosis yang juga berbeda. Delirium pasca-operasi dapat
timbul pada hari pertama atau kedua pasca- operasi, namun biasanya bersifat
hipoaktif dan sering tidak terdeteksi. Delirium dapat sulit dideteksi di ICU,
mengingat uji kognitif standar sering tidak dapat digunakan karena pasien
diintubasi dan tidak dapat menjawab pertanyaan secara verbal. Usia lanjut
merupakan faktor risiko delirium yang paling umum pada pasien kondisi kritis.
Pada pasien ICU dan pembedahan, faktor risiko yang signifikan adalah usia lanjut
dan komorbiditas, penggunaan alkohol berlebih dan nilai APACHE II yang tinggi.
Pada pasien jantung yang dirawat di ICU, beberapa faktor risiko adalah usia lanjut
dan nilai Mini-Mental State Examination (MMSE) yang rendah.
DEMENSIA

Klasifikasi demensia adalah sebagai berikut:

1. Demensia tipe Alzheimer

2. Demensia vaskuler

3. Demensia dengan badan lewy (DLB)

4. Demensia frontotemporal

5. Demensia berhubungan dengan HIV (Crash Course Psychiatry).

Klasifikasi demensia menurut patoetiologi adalah sebagai berikut: 1. Primary


neurodegenerative disorders:

Alzheimer disease (AD)

Lewy body disorders


- Dementia with Lewy bodies (DLB)

- Parkinson disease dementia (PDD)

Frontotemporal dementias (FTD)

- Progressive supranuclear palsy (PSP)

- Corticobasal degeneration (CBD)

Huntington disease (HD)

Creutzfeldt-Jakob disease (CJD)

Demensia vaskuler:

Multi-infarct dementia, Binswanger disease, CADASIL

Inflammatory dementias:

lMultiple sclerosis, CNS vasculitis

Infectious dementias:

Neurosyphilis, neuro-Lyme, HIV dementia

Neoplastic dementias:

Tumors, carcinomatous meningitis, paraneoplastic syndromes

Other/physical dementias:

Hydrocephalus, brain trauma (Merritt's neurology)

SKIZOFRENIA

Menurut Videbeck (2012:349) Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-
TR 2000. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan: 

- Skizofrenia, tipe paranoid: ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban


atau dimata-matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang-kadang
keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan
bermusuhan. 
- Skizofrenia, tipe tidak terorganisasi: ditandai dengan afek datar atau afek yang
tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan diorganisasi perilaku
yang ekstern. 
- Skizofrenia, tipe katatonik: ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata,
baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktivitas motorik yang berlebihan,
negativisme yang ekstrem, mutisme, gerakan volunter yang aneh, ekolalia, atau
ekopraksia. Imobilitas motorik dapat terlihat berupa katalepsi (flexibilitas
cerea) atau stupor. Aktivitas motorik yang berlebihan terlihat tanpa tujuan dan
tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal.
- Skizofrenia, tipe tidak dapat dibedakan: ditandai dengan gejalagejala skizofrenia
campuran (atau tipe lain) disertai gangguan pikiran, afek, dan perilaku. 
- Skizofrenia, tipe residual: ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia
sebelumnya, tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek
datar, serta asosiasi longgar.
5. Gejala klinis dd
DELIRIUM
Gejala delirium dapat dibagi menjadi hipoaktif, hiperaktif, dan campuran.
Delirium hiperaktif ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik, agitasi, marah,
atau euforia. Gejala ini lebih mudah dikenali dan berpotensi membahayakan.
Sementara itu, delirium hipoaktif menunjukkan gejala penurunan aktivitas
motorik, cemas, mudah dan mudah lelah. Tipe hipoaktif lebih sulit dikenali dan
sering didiagnosis sebagai depresi.
Gejala utama delirium adalah gangguan atensi dan kognitif. Gejala muncul dalam
beberapa jam hingga hari dan dapat bertahan beberapa bulan, serta berfluktuasi
dalam satu hari. Kadang, pasien mengalami fase prodromal yang ditandai dengan
kelelahan, gangguan tidur, depresi, cemas, iritabilitas, dan sensitif terhadap suara
atau cahaya.
Kognitif:
Gangguan kognitif yang dapat dialami pasien delirium meliputi:
1. Kehilangan ingatan
2. Disorientasi
3. Kesulitan berbicara (misalnya disfasia dan disartria)
4. Gangguan berbahasa (misalnya menulis, membaca, dan kemampuan
berbahasa asing)
5. Gangguan visuo-spasial
6. Gangguan persepsi (misalnya halusinasi dan waham)

Gangguan motoric

Tremor adalah salah satu bentuk gangguan motorik pada delirium. Pasien yang
mengalami hiperurisemia dapat menunjukkan gejala asterixis.

Aktivitas

Pasien delirium dapat mengalami penurunan atau peningkatan aktivitas,


perubahan nafsu makan, dan gangguan tidur.

Perilaku sosial

Contoh gangguan sosial pada pasien delirium adalah tidak kooperatif, menarik
diri, perubahan dalam berkomunikasi, dan perubahan mood.

DEMENSIA

menurut Pieter et al (2011), menyebutkan ada beberapa gejala antara lain : Gejala
awal yang dialami demensia adalah kemunduran fungsi kognitif ringan, kemudian
terjadi kemunduran dalam mempelajari hal-hal yang baru, menurunya ingatan
terhadap peristiwa jangka pendek, kesulitan menemukan kata-kata yang tepat
untuk diucapkan. Pada tahap lanjut, gejala yang diamali demensia antara lain sulit
mengenali benda, tidak dapat bertindak sesuai dengan berancana, tidak bisa
mengenakan pakaian sendiri, tidak bisa memperkirakan jarak dan sulit
mengordinasinakan anggota tubuh. Gejala demensia selanjutnya yang muncul
biasanya berupa depresi yang dialami pada lansia, dimana orang yang mengalami
demensia sering kali menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi
seperti ini dapat saja di ikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memperparah kondisi lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan hingga berhalusinasi. Disinilah peran keluarga sangat penting
untuk proses penyembuhan, kerena lansia yang demensia memerlukan perhatian
lebih dari keluarganya.

Pada tahap lanjut demensia menimbulkan perubahan tingkah laku yang semakin
mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali keluarga mengetahui perubahn tingkah
laku yang dialami lansia pada demensia. Mengetahui perubahan tingkah laku pada
demensia dapat memuculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan anggota
keluarga, yakni harus dengan sabar merawat dan lebih perhatian terdapat anggota
keluarga yang demensia. Perubahan perilaku lyang dialami lansia pada penderita
demensia bisa menimbulkan delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh,
cemas, disorientasi, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, marah, agitasi, apatis, dan
kabur dari tempat tinggal.

SKIZOFRENIA

Videbeck (2012) mengatakan bahwa secara general gejala serangan skizofrenia


dibagi menjadi 2 (dua), yaitugejala positif dan negatif.

Gejala Positif atau Gejala Nyata Gejala positif skizofrenia antara lain: 

1. Halusinasi: Persepsi sensori yang salah atau pengalaman yang tidak terjadi
dalam realitas. 
2. Waham: Keyakinan yang salah dan dipertahankan yang tidak memiliki dasar
dalam realitas. 
3. Ekopraksia: Peniruan gerakan dan gestur orang lainyang diamati klien. 
4. Flight of ideas: Aliran verbalitasi yang terus-menerus saat individu melompat
dari suatu topik ke topik laindengan cepat.
5. Perseverasi: Terus menerus membicarakan satu topik atau gagasan;
pengulangan kalimat, kata, atau frasa secara verbal,dan menolak untuk
mengubah topik tersebut.
6. Asosiasi longgar: Pikiran atau gagasan yang terpecah-pecah atau buruk. 
7. Gagasan rujukan: Kesan yang salah bahwa peristiwa eksternal
memiliki makna khusus bagi individu. 
8. Ambivalensi: Mempertahankan keyakinan atau perasaan yang tampak
kontradiktif tentang individu, peristiwa, situasi yang sama. 
9. Gejala Negatif atau Gejala Samar Gejaja negatif skizofrenia antara lain: 
10. Apati: Perasaan tidak peduli terhadap individu, aktivitas, peristiwa. 
11. Alogia: Kecendrungan berbicara sedikit atau menyampaikan sedikit substansi
makna (miskin isi).
12. Afek datar: Tidak adanya ekspresi wajah yang akanmenunjukkan emosi atau
mood.
13. Afek tumpul: Rentang keadaan perasaan emosional atau mood yang terbatas.
14. Anhedonia: Merasa tidak senang atau tidak gembira dalam menjalani
hidup, aktivitas, atau hubungan. 
15. Katatonia: imobilitas karena faktor psikologis, kadang kala ditandai oleh
periode agitasi atau gembira, klien tampak tidak bergerak, seolah-olah dalam
keadaan setengah sadar. 
16. Tidak memiliki kemauan: Tidak adanya keinginan, ambisi, atau dorongan
untuk bertindak atau melakukan tugas-tugas.
6. Kriteria diagnostic dd
DELIRIUM
Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM V, yaitu:
1. Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran terhadap
lingkungan) dengan penurunan ke- mampuan fokus, mempertahankan atau
mengubah perhatian.
2. Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam hingga
hari) dan cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
3. Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa)
atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
kondisi demensia.
4. Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan
neurokognitif lain yang telah ada, terbentuk ataupun sedang berkembang dan
tidak timbul pada kondisi pe- nurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma.
5. Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang meng-
indikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung suatu
kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian substansi (seperti
penyalahgunaan obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau
karena etiologi multipel.

DEMENSIA

Pedoman diagnostik demensia menurut PPDGJ III.

1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang

sampai mengganggu kegiatan harian seseorang ( personal activities of daily


living ) seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan
kecil

2. Tidak ada gangguan kesadaran ( clear consiousness ).

3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.

SKIZOFRENIA

Diagnosis Skizofrenia menurut PPDGJ III :

- “thought echo”, “thought insertion or withdrawal”, “thought broadcasting”


- waham dikendalikan, waham dipengaruhi à gerakan tubuh, pikiran, perbuatan,
perasaan 
-  halusinasi yang membicarakan atau mengomentari perbuatan penderita,
halusinasi yang berasal dari salah satu bagian tubuh 
- waham-waham menetap lainà tema keagamaan, politik, “kemampuan istimewa”
yang tidak sesuai dengan latar belakang budaya penderita 
- halusinasi yang menetap 
- alur pikir yang terputus, tersisipà inkoherensi, irelevansi, neologisme 
- perilaku katatonik à gaduh gelisah, “posturing”, fleksibilitas serea, negativisme,
mutisme, stupor) 
- gejala-gejala “negatif” à apatis, hilangnya minat, respon emosional tumpul,
penarikan diri secara sosial, malas, “self-absorbed attitude” 
- perubahan perilaku konsisten dan menyeluruh
7. Pemeriksaan laboratorium dd
DELIRIUM
Pemeriksaan penunjang tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis, melainkan
untuk mencari etiologi delirium.

Laboratorium

Tabel 1. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada delirium.

Darah perifer lengkap InfeksiAnemia

Serum elektrolit Ketidakseimbangan elektrolit

Hipoglikemia atau hiperglikemiaKetoasidosis diabetik


Kadar gula darah
Keadaan hiperosmolar

Tes fungsi hati Gagal hati

Tes fungsi ginjal Gagal ginjal

Analisa gas darah Asidosis atau alkalosis

Kadar hormon tiroid Hipotiroid

Urinalisis Infeksi saluran kemih

Tes narkoba (darah dan urine) Penggunaan obat-obatan terlarang

Selain itu, dapat dilakukan tes yang spesifik infeksi mikroorganisme tertentu, seperti HIV dan
sifilis.

- Pencitraan
Foto rontgen dada dapat memperlihatkan infeksi paru-paru dan gagal jantung
kongesti.
- CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan stroke, perdarahan, hematom, dan
kelainan struktur otak lainnya.
- EEG digunakan untuk membedakan delirium dan status epileptikus nonkonvulsi.
- Tes Lainnya
- Pulse oximetry untuk mengetahui keadaan hipoksia.
- Elektrokardiografi (electrocardiography/ECG) untuk mendiagnosis aritmia
dan penyakit jantung iskemik.
- Lumbal pungsi untuk mengetahui adanya infeksi di sistem saraf pusat dan
perdarahan subaraknoid.

DEMENSIA

Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi pemeriksaan


laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi dan pemeriksaan genetika.

- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormon
tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis pada penderita
dengan resiko tinggi. Pemeriksaan cairanotak bila terdapat indikasi.
- Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis, menentukan beratnya
penyakit serta prognosis. Computed Tomography (CT) – Scan atau Metabolic
Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi adanya kelainan struktural
sedangkan Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission
Tomography (SPECT) digunakan untuk mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI
menunjukkan kelainan struktur hipokampus secara jelas dan berguna untuk
membedakan demensia alzheimer dengan demensia vaskular pada stadium awal.
- Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang spesifik. Pada
stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan umum dan kompleks secara
periodik.
- Pemeriksaan Genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang
memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. Setiap allel mengkode
bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara
penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menjadikan genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda untuk demensia. (Asosiasi
Alzheimer Indonesia, 2003)

SKIZOFRENIA
8. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi (edukasi ) dd
DELIRIUM
Terapi Non Farmakologi
Agitasi ringan dapat diatasi dengan terapi non-farmakologi sebagai berikut:
1. Menghentikan konsumsi obat antikolinergik dan zat psikoaktif.
2. Melakukan reorientasi sederhana menggunakan jam, kalender, atau foto
keluarga. Reorientasi juga dapat dilakukan secara verbal dengan bercerita
pada pasien.
3. Mengajak keluarga pasien untuk menenangkan pasien secara verbal.
4. Memperbaiki siklus dan kualitas tidur.
5. Menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Sebaiknya, pasien tidak
terlalu sering berpindah ruang rawat.
6. Fiksasi fisik sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan agitasi serta
menyebabkan imobilitas, ulkus dekubitus, dan aspirasi.
7. Pasien tidak boleh dibiarkan sendiri karena berpotensi membahayakan diri
sendiri.

Selain mengatasi delirium, keadaan umum pasien perlu dijaga melalui langkah
berikut:

1. Memberikan asupan cairan dan nutrisi yang cukup


2. Meningkatkan mobilisasi dan range of motion(ROM)
3. Mencegah kerusakan kulit
4. Mengatasi nyeri, rasa tidak nyaman, dan inkontinensia
5. Mengurangi risiko pneumonia aspirasi.

Medikamentosa

Terapi farmakologis dapat diberikan pada kasus agitasi berat yang dapat
mengganggu terapi utama atau berpotensi melukai diri sendiri maupun orang lain.
Gejala psikosis berat seperti halusinasi dan waham juga merupakan indikasi
terapi farmakologis.

Antipsikotik

Golongan antipsikotik dapat mengatasi agitasi dan gejala psikosis. Meskipun


dapat meringankan gejala delirium, antipsikotik tidak selalu memperbaiki
prognosis. Haloperidol sudah lebih awal digunakan dibandingkan antipsikotik
generasi kedua. Meskipun demikian, haloperidol dosis tinggi (>4,5 mg/hari) lebih
sering menimbulkan efek samping ekstrapiramidal.

Haloperidol dosis rendah (0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan,
dosis maksimal 5 mg/hari) diberikan  secara per oral, intramuskular, atau
intravena. Antipsikotik generasi kedua yang dapat diberikan adalah risperidon
(0,5–3 mg, setiap 12 jam), olanzapin (2,5–15 mg, sekali sehari), dan quetiapin
(25–200 mg, setiap 12 jam). Ketiganya diberikan secara per oral.

Benzodiazepin

Benzodiazepin dapat digunakan untuk delirium yang disebabkan


oleh withdrawal alkohol atau benzodiazepin. Obat yang menjadi pilihan adalah
lorazepam 0,5–1 mg, dapat diulang 1–2 jam sesuai kebutuhan secara per oral atau
intravena.

Antikolinesterase

Pemberian antikolinesterase inhibitor masih menjadi kontroversi. Secara teori,


gejala delirium disebabkan oleh penurunan aktivitas kolinergik. Namun,
penelitian menunjukkan bahwa manfaat antikolinesterase inhibitor pada delirium
tidak konsisten.
Obat lainnya

Obat lain yang dapat diberikan pada penatalaksanaan delirium adalah:

Ramelteon merupakan agonis reseptor melatonin. Obat ini dapat memperbaiki


siklus dan kualitas tidur sehingga mengurangi gejala delirium. Ramelteon
diberikan 8 mg secara per oral, 30 menit sebelum tidur.

Tiamin (B1) dapat diberikan pada ensefalopati Wernicke. Dosis yang dianjurkan
adalah 100 mg (IV), dilanjutkan dengan 50–100mg/hari (IV atau IM).

Sianokobalamin (B12) dapat diberikan untuk delirium yang disebabkan


kekurangan B12.

DEMENSIA

Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan
hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Tidak ada pengobatan
spesifik untuk penyakit Alzheimer. Pengobatan secara simptomatik, sosial, terapi
psikiatri dan dukungan keluarga menjadi pilihan terapi yang digunakan saat ini.
Acetylcholinesterase inhibitors atau N-methyl- D-aspartate(NMDA) inhibitor
(Memantin) dapat meningkatkan fungsi kognitif pada penyakit Alzheimer
stadium awal

- Kolinesterase inhibitor

Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk


pengobatan simptomatik penyakit Alzheimer, dimana pada penderita Alzheimer
didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Cholinesterase inhibitor telah diakui
untuk pengobatan penyakit Alzheimer ringan sampai sedang yang juga dapat
dijadikan standar perawatan untuk pasien dengan penyakit Alzheimer. Kerja
farmakologis dari Donepezil, rivastigmine, dan galantamine adalah menghambat
cholinesterase, dengan menghasilkan peningkatan kadar asetilkolin di
otak .Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase.
- Memantin

Memantin merupakan obat yang telah diakui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer sedang sampai berat. Dosis awal
untuk penggunaan Memantin adalah 5 mg perhari, kemudian dosis ditingkatkan
berdasarkan penelitian, hingga 10 mg dua kali sehari. Memantine tampaknya
bekerja dengan cara memblok saluran N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang
berlebihan. Memantine yang dikombinasikan dengan cholinesterase inhibitor
maupun yang tidak, tampaknya dapat memperlambat kerusakan kognitif pada
pasien dengan AD yang moderat.

- Thiamin

Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan


penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate
(75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada
nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama
3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi
dibandingkan placebo selama periode yang sama.

- Haloperiodol

Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi,


halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4
minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer menderita
depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (Amitryptiline 25-100
mg/hari)

- Acetyl L-Carnitine (ALC)

Merupakan suatu subtrat endogen yang disintesa di dalam mitokondria dengan


bantuan enzim ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat
meningkatkan aktivitas asetilkolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada
pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan,
disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan
fungsi kognitif.

- Antioksidan

Pada pasien dengan AD sedang-berat, penggunaan antioksidan selegiline, α-


tokoferol (vitamin E), atau keduanya, memperlambat proses kematian. Karena
vitamin E memiliki potensi yang rendah untuk toksisitas dari selegiline, dan juga
lebih murah, dosis yang digunakan dalam penelitian untuk diberikan kepada
pasien AD adalah 1000 IU dua kali sehari. Namun, efek yang menguntungkan
dari vitamin E tetap kontroversial, dan sebagian peneliti tidak lagi memberikan
dalam dosis tinggi karena ternyata memiliki potensi dalam menimbulkan
komplikasi kardiovaskular.

SKIZOFRENIA

NON FARMAKOLOGI

- Terapi psikososial 
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban
bagi keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak
melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul. 
- Terapi psikoreligius 
Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat
misalnya, gejala-gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang.Terapi
keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah
keagamaan dan kajian kitab suci.
- Terapi fisik berupa olahraga. 
Berbagai kegiatan seperti kursus atau les (Sinaga, 2007). 

FARMAKOLOGI 
Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga sebagai
trankuiliser mayor. Obat antipsikotik pada umumnya membuat tenang dengan
mengganggu kesadaran dan tanpa menyebabkan eksitasi paradoksikal (Anonim,
2000).

Antipsikotik pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang
berat.

Ciri terpenting obat antipsikotik adalah: 

1. Berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada


pasien psikotik. 
2. Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia. 
3. Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel. 
4. Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis
(Gunawan, 2007)

9.Prognosis dd

DELIRIUM
Berbagai studi menunjukkan hampir sete- ngah pasien delirium keluar dari kondisi
rawatan akut rumah sakit dengan gejala persisten dan 20-40% di antaranya masih
mengalami delirium hingga 12 bulan; prognosis jangka panjang lebih buruk
dibandingkan pasien yang mengalami perbaikan sempurna pada akhir rawatan.2
Pasien sindrom delirium memiliki risiko kematian lebih tinggi jika komorbiditasnya
tinggi,penyakitnyalebihberat(nilaiAPACHE II tinggi), dan jenis kelamin laki-laki.
Episode delirium juga lebih panjang pada kelompok pasien demensia.
DEMENSIA
Dari pemeriksaan klinis pada 42 penderita probable Alzheimer menunjukkan bahwa
nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia, dan jenis kelamin.
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita Alzheimer. Pasien dengan penyakit Alzheimer
mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya
meninggal dunia akibat infeksi sekunder.
SKIZOFRENIA
Prognosis merupakan ramalan kemungkinan perjalanan dan hasil akhir gangguan
skizofrenia. Penderita skizofrenia mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang
bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami
kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Beberapa factor yang dapat
memberikan prognosis yang baik antara lain : usia tua, factor pencetus jelas, onset
akut, riwayat social/pekerjaan premorbid (terjadi sebelum berkembangnya penyakit)
baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung
baik. Sedangkan onset muda, tidak ada factor pencetus, onset tidak jelas,
riwayat social buruk, autistic, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga
skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negative, riwayat trauma prenatal, tidak
remisi dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis
yang buruk (Luana,2007).
KESIMPULAN

Berdasarkan pemicu pasien di duga mengalami delirium dengan kondisi medik umum. Hal ini
berdasarkan gejala klinis yang di alami pasien yaitu bicara kacau, agitasi psikomotor, waham
persekutorik, halusinasi penglihatan, dan gangguan orientasi waktu, tempat, dan personal. Untuk
tatalaksana nya yaitu mengatasi penyebab dari delirium yang membutuhkan pemeriksaan
lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium. Farmakoterapi yang di berikan saat ini yaitu untuk
psikosis nya dapat menggunakan haloperidol dengan dosis 2-10 mg intramuscular dan untuk
pengobatab insomnia dapat diberikan obat golongan benzodiazepine.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorder,


Washington, 5th ed., 2013. American Psychiatric Association.
2. APA. (2000). DSM V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV Text
Revision). Washington, DC: American Psychiantric Association Press.
3. Arif, I. S. (2006). Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: Rafika
Aditama.
4. Bird TD, Miller BL. Alzheimer's Disease and Other Dementias. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005. p. 1-22.
5. Flinn DR, Diehl KM, Seyfried LS, Malani PN. Prevention, diagnosis, and management of
postoperative delirium in older adults. J Am Coll Surg. 2009; 209(2): 261-8. doi:
10.1016/j.amcollsurg.2009.03.008
6. Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth.2007. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI
7. Iyus, Yosep., 2010, Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama
8. J. Francis, G. B. Young, Diagnosis of delirium and confusional states. , 2014
9. Lorenzi S, Fusgen I, Noachtar S. Acute confusional states in the elderly- diagnosis and
treatment. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(21): 391-400.
10. Luana, NA, 2007. Skizofrenia Gangguan Psikotik lainnya.
11. Soejono CH. Sindrom delirium. In: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,
Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.
907-12.
12. Videbeck, Sheila (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Renata Komalasari, penerjemah).
Jakarta: EGC.
13. Wahyudi, A dan Fibriana AI. 2016. Faktor Resiko Terjadinya Skizofrenia (Studi Kasus di
Wilayah Kerja Puskesmas Pati II. Public Health Perspective Journal 1

Anda mungkin juga menyukai