Anda di halaman 1dari 103

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. III BANJARMASIN


PERIODE 18 OKTOBER – 10 DESEMBER 2021

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Memperoleh Gelar Apoteker (APT)
Program Studi Profesi Apoteker

Di Susun Oleh:
LIA HERLIYANTI (2043700466)
NADA KHAIRIYAH (2043700468)
RRZKYA MUNAZAT (2043700377)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


ANGKATAN XLIV

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. III BANJARMASIN
PERIODE 18 OKTOBER – 10 DESEMBER 2021

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Memperoleh Gelar Apoteker (APT)
Program Studi Profesi Apoteker

Disusun Oleh :
LIA HERLIANTI (2043700466)
NADA KHAIRIYAH (2043700468)
REZKYA MUNAZAT (2043700377)

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Fakultas Farmasi Pembimbing Kepala Instalasi


Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Farmasi Rumah Sakit Bhyangkara
Tk III Banjarmasin

(apt. Nuzul Fajriani, S.Farm.,M.Sc) (apt. Hamdah, S.Si.,M.M)


NIDN. 0318119103 NIP. PERDA1/197602062014122002

Mengetahui
Kaprodi Profesi Apoteker

(apt. Nuzul Fajriani, S.Farm.,M.Sc)


NIDN : 0318119103
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Oleh karena itu kesehatan merupakan prioritas yang
perlu diperhatikan untuk bertahan hidup dan melakukan aktivitas, sehingga
dibutuhkan pelayanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu jenis layanan publik yang salah
satunya bisa didapatkan di rumah sakit. Menurut Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
Salah satu pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah pelayanan
kefarmasian, yang merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, standar pelayanan
kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan
kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai (BMHP) yang aman, bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan

1
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat dengan tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of
life) terjamin. Apoteker khususnya yang bekerja di rumah sakit dituntut dapat
melakukan pelayanan kefarmasian dan juga harus dapat memenuhi hak pasien
agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum.
Suatu upaya untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya di rumah sakit,
Program Studi Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta bekerja
sama dengan Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat III Banjarmasin dalam
menyelenggarakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Adanya praktik
kerja ini diharapkan para calon apoteker mendapatkan bekal tentang instalasi
farmasi di rumah sakit sehingga kedepannya dapat mengabdikan diri sebagai
apoteker yang profesional.

B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan dari Praktik Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di rumah sakit adalah:
1. Meningkatkan pemahaman tentang fungsi, peran dan posisi serta tanggung
jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
2. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan mempelajari
strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka
pengembangan praktek farmasi komunitas di rumah sakit.
3. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman praktis untuk melakukan kegiatan
kefarmasian di rumah sakit.
4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga
kefarmasian yang kompeten dan profesional.
5. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di
Rumah Sakit.

2
C. Manfaat
1. Mengetahui, memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit.
2. Mendapatkan pengalaman praktis mengenai pekerjaan kefarmasian di
Rumah Sakit.
3. Mendapatkan penegtahuan manjemen praktis di Rumah Sakit.
4. Meningkatkan rasa percaya diri untuk menjadi Apoteker yang professional

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumah Sakit
1. Definisi dan Klasifikasi
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
340/MENKES/PER/III/2010 adalah Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat. Sedangkan pengertian rumah sakit
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, dinyatakan bahwa rumah sakit merupakan sarana
pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang
sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta
memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
Kesehatan.
Menurut PMK No. 340 tentang Klasifikasi Rumah Sakit,
berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanannya, rumah sakit
diklasifikasikan menjadi :
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang
Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13 (tiga
belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis serta memiliki jumlah tempat
tidur minimal 400 (empat ratus) buah.
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah Sakit Umum Kelas B harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar, 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang
Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua)

4
Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Rumah Sakit Umum Kelas B
juga harus memiliki jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus)
buah.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang
Medik. Rumah Sakit Umum Kelas C memiliki jumlah tempat tidur
minimal 100 (seratus) buah.
d. Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D harus mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan
Medik Spesialis Dasar. Pelayanan Medik Spesialis Dasar sekurang-
kurangnya 2 (dua) dari 4 (empat) jenis pelayanan spesialis dasar
meliputi Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah,
Obstetri dan Ginekologi serta memiliki jumlah tempat tidur minimal
50 (lima puluh) buah.

2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah
sakit yang merupakan fasilitas penyelenggaraan kefarmasian di bawah
pimpinan seorang apoteker dan memenuhi persyaratan secara hukum
untuk mengadakan, menyediakan, dan mengelola seluruh aspek
penyediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit yang berintikan
pelayanan produk yang lengkap dan pelayanan farmasi klinik yang sifat
pelayananannya berorientasi kepada kepentingan penderita.
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan pasien, penyediaan
obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau

5
bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi bertanggung jawab atas semua
barang yang beredar di rumah sakit. (Nofriana, 2011).
Menurut PMK No, 58 TAHUN 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana
fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi farmasi dipimpin oleh seorang
apoteker sebagai penanggung jawab. Instalasi Farmasi harus melakukan
pengembangan pelayanan kefarmasian sesuai dengan situasi
perkembangan kefarmasian terkini. Berikut tugas dan fungsi instalasi
kefarmasian di rumah sakit berdasarkan PMK no.58 tahun 2014 :
a. Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan
mengawasi seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang
optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi;
2. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan
efisien;
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna
memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan
risiko;
4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta
memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
5. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan
Pelayanan Kefarmasian;
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan
dan formularium Rumah Sakit.

6
b. Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai.
• Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
• Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan
optimal;
• Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku;
• Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit;
• Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan
yang berlaku;
• Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian;
• Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah
Sakit;
• Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
• Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
• Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila
sudah memungkinkan);

7
• Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
• Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah
tidak dapat digunakan;
• Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
• Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik.
• Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau
permintaan Obat;
• Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
• Melaksanakan rekonsiliasi Obat;
• Memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik
berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada
pasien/keluarga pasien;
• Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang
terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
• Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga
kesehatan lain;
• Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
• Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO) : Pemantauan
efek terapi Obat, Pemantauan efek samping Obat, dan
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
• Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
• Melaksanakan dispensing sediaan steril :

8
• Melakukan pencampuran Obat suntik dan Melaksanakan
pengemasan ulang sediaan steril yang tidak
stabil;Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada
tenaga kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan
institusi di luar Rumah Sakit;
• Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).
Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan
kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama
yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma
baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented). Untuk itu
kompetensi apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar
perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan.
Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan,
yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan
kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan manajerial yaitu
melakukan serangkaian pengelolaan terhadap pemilihan, perencanaan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan, pengendalian dan administrasi (pencatatan dan
pelaporan). Sedangkan pada kegiatan pelayanan farmasi klinik
merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien
dalam rangka meningkatkan terapi dan meminimalkan risiko terjadinya
efek samping karena obat.

3. Managemen Rumah Sakit


Istilah manajemen rumah sakit didefinisikan oleh Aditama (2007)
yaitu suatu ilmu pengetahuan atau seni serta proses mengenai
perencanaan dan penentuan kebutuhan pengadaan, penyimpanan,
penyaluran, dan pemeliharaan serta penghapusan material/alat-alat.

9
Sedangkan menurut Romzi (2010) dalam Ariyanti (2012),
manajemen dapat didefinisikan sebagai Planning, Organizing, Staffing,
Leading, dan Controlling dalam kegiatan yang berkaitan dengan
pengadaan, pendistribusian, penggunaan, pemeliharaan, dan
penghapusan barang dan jasa untuk mendukung kegiatan fungsi-fungsi
utama dalam pencapaian organisasi.
Tahap pengelolaan obat di rumah sakit terdiri dari tahapan pemilihan
dan perencanaan (selection), pengadaan (procurement), penyimpanan
(storage), distribusi (distribution) dan penggunaan (use) yang memiliki
keterkaitan di antara masing–masing tahap sehingga harus terkoordinasi
dengan baik agar masing–masing dapat berfungsi optimal. Tidak
efisiennya salah satu tahap saja akan mengakibatkan tidak efisien pula
sistem suplai dan penggunaan obat yang ada. Dengan demikian
pengelolaan obat perlu dukungan manajemen dari struktur organisasi
yang kuat, keuangan, informasi manajemen yang layak dan staf yang
termotivasi dan kompeten. (Nofriana, 2011).
Siklus pengelolaan obat merupakan rangkaian proses yang
mencakup 4 fungsi dasar sistem pengelolaan obat yaitu perumusan
kebutuhan (selection), pengadaan (procurement), penyimpanan dan
distribusi (distribution), dan penggunaan obat dan evaluasinya (use).
Keempat fungsi ini didukung oleh sistem penunjang (management
support) yaitu organisasi, pembiayaan, sistem informasi dan sumber
daya manusia seperti yang digambarkan dalam siklus manajemen obat .
(Quick. Et. Al., 1997).
a. Tujuan Manajemen
Tujuan manajemen logistik menurut Aditama (2007) adalah
tersedianya bahan logistik setiap saat dibutuhkan, baik mengenai
jenis, jumlah, maupun kualitas yang dibutuhkan secara efisien.
Lebih spesifik kegiatan logistik mempunyai tiga tujuan, yaitu
(Henny, 2013) :

10
1. Tujuan Operasional, agar tersedianya barang serta bahan dalam
jumlah yang tepat dan mutu yang memadai.
2. Tujuan Keuangan, upaya operasional dapat terlaksana dengan
biaya yang serendah-rendahnya. Nilai persediaan yang
sesungguhnya dapat tercermin didalam sistem akuntansi.
3. Tujuan Pengamanan, agar persediaan tidak terganggu oleh
kerusakan, pemborosan, penggunaan tanpa hak, pencurian, dan
penyusutan yang tidak wajar lainnya.
b. Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen menurut Aditama (2007) diantaranya
perencanaan dan penentuan kebutuhan, penganggaran, pengadaan,
penyimpanan, penyaluran, dan pemeliharaan, penghapusan,
pengendalian serta pengawasan.
Fungsi-fungsi manajemen yang membentuk suatu siklus kegiatan
harus dijaga agar selaras, serasi dan seimbang (Seto, 2004). Siklus
logistik adalah proses dari sebelum terjadinya kegiatan logistik
sampai kegiatan itu dapat di evaluasi (Henny, 2013). Apabila salah
satu fungsi manajemen tidak diimplementasikan dengan baik maka
akan mempengaruhi suatu siklus manajemen.
Berikut uraian lebih jelas mengenai fungsi-fungsi kegiatan dalam
manajemen logistik, diantaranya :
1. Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 pemilihan adalah
kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat
Kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan. pemilihan jenis sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan
bahan medis habis pakai berdasarkan :
• Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnose dan
terapi.
• Standar sediaan farmasi, alat Kesehatan dan bahan hbis pakai
yang telah ditetapkan.
• Pola penyakit.

11
• Efektifitas dan keamanan.
• Pengobatan berbasis bukti.
• Mutu.
• Harga
• Ketersediaan dipasaran.
2. Perencanaan dan Penentuan Kebutuhan
Menurut PMK no.58 tahun 2014, perencanaan kebutuhan
merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat
waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
metode konsumsi dan epidemiologi serta disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia.
Perencanaan obat yang dibutuhkan di rumah sakit pada
mulanya ditentukan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)
melalui seleksi obat berdasarkan usulan dari dokter rumah sakit
kemudian disusun menjadi formularium rumah sakit.
Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan dapat dilakukan
melalui beberapa metode :
• Metode konsumsi, metode ini didasarkan pada data riil
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan
berbagai penyesuaian dan koreksi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam perhitungan jumlah perbekalan farmasi
diantaranya pengumpulan data, analisa data, perhitungan
perkiraan kebutuhan dan penyesuaian jumlah kebutuhan.

12
• Metode morbiditas, dasar perhitungan pada metode ini yaitu
jumlah kebutuhan perbekalan perbekalan farmasi yang
digunakan untuk beban kesakitan yang harus dilayani.
Metode ini berdasar pola penyakit, kenaikan kunjungan, dan
waktu tunggu.
• Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Acuan yang
digunakan yaitu formularium RS, rekam medik, anggaran
yang tersedia, penetapan prioritas, pola penyakit, sisa
persediaan, data penggunaaan periode yang lalu, dan rencana
pengembangan.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif
harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat
dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Tujuan
dari pengadaan yaitu mendapatkan perbekalan farmasi dengan
harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman barang
terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak
memerlukan tenaga serta waktu berlebihan. Proses pengadaan
terdapat 3 elemen penting yang harus diperhatikan diantaranya
(Depkes,2008) :
• Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan
“biaya tinggi”
• Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting
untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu
• Order pemesanan agar barang dapat sesuai jenis, waktu dan
tempat.

13
Menurut Quick J. et al, ada empat metode proses pengadaaan :
• Tender terbuka berlaku untuk semua rekan yang terdaftar,
dan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada
penentuan harga lebih menguntungkan.
• Tender terbatas sering disebut dengan lelang tertutup. Hanya
dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan
punya riwayat yang baik. Harga masih bisa dikendalikan.
• Pembelian dengan tawar menawar dilakukan bila jenis
barang tidak urgen dan tidak banyak, biasanya dilakukan
pendekatan langsung untuk jenis tertentu.
• Pengadaan langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera
tersedia. Harga tertentu relatif agak mahal.
4. Penerimaan
Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 Penerimaan
merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik
yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang
harus tersimpan dengan baik.
5. Penyimpanan
Menurut Depkes (2008) bahwa kegiatan penyimpanan
merupakan kegiatan menyimpan dan memelihara perbekalan
farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
Tujuan dari penyimpanan obat adalah untuk melindungi obat-
obat yang disimpan dari kehilangan, kerusakan, kecurian,
terbuang sia-sia dan untuk mengatur aliran barang dari
tempat penyimpanan ke pengguna melalui suatu sistem yang
terjangkau (Febriwati, 2013).
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi
menurut persyaratan yang ditetapkan :

14
• Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
• dibedakan menurut suhunya, kesetabilannya
• mudah tidaknya meledak/terbakar
• tahan tidaknya terhadap cahaya
Pengaturan penyimpanan obat dan persediaan menurut
WHO adalah sebagai berikut : (Istinganah, 2006) :
• Simpan obat-obatan yang mempunyai kesamaan secara
bersamaan di atas rak. ‘Kesamaan’ berarti dalam cara
pemberian obat (luar,oral,suntikan) dan bentuk ramuannya
(obat kering atau cair)
• Simpan obat sesuai tanggal kadaluwarsa dengan
menggunkan prosedur FEFO (First Expiry First Out). Obat
dengan tanggal kadaluwarsa yang lebih pendek
ditempatkan di depan obat yang berkadaluwarsa lebih
lama. Bila obat mempunyai tanggal kadaluwarsa sama,
tempatkan obat yang baru diterima dibelakang obat yang
sudah ada.
• Simpan obat tanpa tanggal kadaluwarsa dengan
menggunakan prosedur FIFO (First In First Out). Barang
yang baru diterima ditempatkan dibelakang barang yang
sudah ada
• Buang obat yang kadaluwarsa dan rusak dengan dibuatkan
catatan pemusnahan obat, termasuk tanggal, jam, saksi dan
cara pemusnahan.
6. Distribusi
Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan
perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu
dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan
serta untuk menunjang pelayanan medis. Proses distribusi obat
dimulai dari pengurusan bea masuk, pengendalian stok,
pengelolaan penyimpanan, penyaluran ke depo obat dan

15
fasilitas kesehatan. Pengaturan distribusi sangat penting
terutama dalam penentuan jenis dan jumlah obat yang harus
sesuai dengan permintaan. Pendistribusian mengutamakan
agar obat sampai ke pengguna tepat waktu, tepat indikasi dan
terjangkau. (Nofriana, 2011).
Tujuan dari pendistribusian yaitu tersedianya perbekalan
farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis
dan jumlah (Depkes,2008). Faktor yang mempengaruhi
pendistribusian barang antara lain proses administrasi, proses
penyampaian data/informasi, proses pengeluaran fisik barang,
proses angkutan, proses pembongkaran dan pemuatan
(Dina,2012).
7. Pemusnahan
Menurut PMK no.58 tahun 2014 bahwa fungsi
penghapusan/pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi,
alkes dan BHP bila produk tidak memenuhi pesyaratan mutu,
telah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan
dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
Pengetahuan dan dicabut izin edarnya. Sedangkan menurut
Aditama (2007), fungsi penghapusan yaitu usaha pembebasan
barang pertanggungjawaban yang berlaku karena kerusakan
yang tidak dapat diperbaiki lagi, dinyatakan sudah tua,
kelebihan, dan hal lain menurut peraturan perundangan yang
berlaku (Herni, 2012).
8. Administrasi (Pencatatan dan Pelaporan)
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan,
pengembalian, pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan

16
dibuat secara periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam
periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau
pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan
peraturan yang berlaku. Pencatatan dilakukan untuk:
• persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM
• dasar akreditasi Rumah Sakit
• dasar audit Rumah Sakit; dan
• dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
• komunikasi antara level manajemen
• penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai
kegiatan di Instalasi Farmasi; dan laporan tahunan.

4. Struktur Organisasi IFRS

Gambar 1. Struktur Organisasi IFRS


a. Kepala IFRS adalah Apoteker yang bertanggung jawab secara
keseluruhan terhadap semua aspek penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian dan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan
perbekalan kesehatan di rumah sakit.

17
b. Panitia Farmasi dan Terapi adalah salah satu bagian yang tidak
terpisahkan dari IFRS sehingga tidak mempunyai jalur fungsional
terhadap IFRS melainkan jalur koordinasi dan bertanggung jawab
kepada pimpinan rumah sakit. Tugas PFT adalah melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan dan pengelolaan
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan di rumah
sakit. Panitia ini terdiri unsur tenaga kesehatan profesional (Dokter,
Dokter Gigi, Apoteker, Ners) sehingga kredibilitas dan akuntabilitas
terhadap monitoring dan evaluasi pelayanan dan pengelolaan
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Farmasi Klinik membidangi aspek yang menyangkut asuhan
kefarmasian terutama pemantauan terapi obat. Bidang ini
membawahi konseling pasien, pelayanan informasi obat dan
evaluasi penggunaan obat baik pasien di ruangan maupun pasien
ambulatory.
d. Logistik mempunyai tugas dalam hal menyiapkan dan memantau
perlengkapan perbekalan kesehatan, perencanaan dan pengadaan,
sistem penyimpanan di gudang, dan produksi obat dalam kapasitas
rumah sakit nonsteril dan aseptik.
e. Distribusi mempunyai tugas bertanggung jawab terhadap alur
distribusi sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan
(obat, bahan baku obat, alat kesehatan dan gas medis) kepada pasien
rawat jalan, IRD, ICU/ICCU, kamar operasi, bangsal atau ruangan.
f. Diklat mempunyai tugas dalam memfasilitasi tenaga pendidikan
kesehatan dan nonkesehatan yang akan melaksanakan praktek kerja
sebagai tuntutan kurikulum dan melaksanakan pelatihan.
g. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses atau upaya
peningkatan pengetahuan dan pemahaman di bidang kefarmasian
atau bidang yang berkaitan dengan kefarmasian secara

18
kesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan
dan kemampuan di bidang kefarmasian.
h. Pendidikan dan Pelatihan merupakan kegiatan pengembangan
sumber daya manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk
meningkatkan potensi dan produktivitasnya secara optimal, serta
melakukan pendidikan dan pelatihan bagi calon tenaga farmasi
untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan di
bidang farmasi rumah sakit.
i. Litbang mempunyai tugas memfasilitasi penelitian dan pengabdian
pada masyarakat.
j. Penelitian yang dilakukan di rumah sakit yaitu: Penelitian
farmasetik, termasuk pengembangan dan menguji bentuk sediaan
baru. Formulasi, metode pemberian (konsumsi) dan sistem
pelepasan obat dalam tubuh Drug Released System.
k. Berperan dalam penelitian klinis yang diadakan oleh praktisi klinis,
terutama dalam karakterisasi terapetik, evaluasi, pembandingan
hasil Outcomes dari terapi obat dan regimen pengobatan.
l. Penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk
penelitian perilaku dan sosioekonomi seperti penelitian tentang
biaya keuntungan cost-benefit dalam pelayanan farmasi.
m. Penelitian operasional operation research seperti studi waktu,
gerakan, dan evaluasi program dan pelayanan farmasi yang baru dan
yang ada sekarang.
n. Pengembangan Instalasi Farmasi Rumah Sakit di rumah sakit
pemerintah kelas A dan B (terutama rumah sakit pendidikan) dan
rumah sakit swasta sekelas, agar mulai meningkatkan mutu
perbekalan farmasi dan obat-obatan yang diproduksi serta
mengembangkan dan melaksanakan praktek farmasi klinik.
o. Pimpinan dan Tenaga Farmasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus
berjuang, bekerja keras dan berkomunikasi efektif dengan semua
pihak agar pengembangan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

19
yang baru itu dapat diterima oleh pimpinan dan staf medik rumah
sakit.

5. SOP atau Sistem Distribusi


Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/ menyerahkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan
tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
IFRS harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin
terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan di unit pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1. Pendistribusian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan untuk
persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi
Farmasi.
2. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang disimpan di
ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan.
3. Dalam kondisi sementara di mana tidak ada petugas farmasi
yang mengelola (di atas jam kerja) maka pendistribusiannya
didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan.
4. Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat
floor stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab
ruangan.
5. Menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi
Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan (Individual Prescription)
Pendistribusian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap
melalui Instalasi Farmasi.

20
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis
tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem
unit dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap. Sistem unit dosis
dapat menggunakan metode unit dose dispensing (UDD) untuk satu
unit dosis penggunaan (sekali pakai) atau once daily dose (ODD)
untuk dosis satu hari diberikan.
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b
+ c atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan
untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat
kesalahan pemberian Obat dapat diminimalkan sampai kurang dari
5% dibandingkan dengan sistem floor stock atau resep individu yang
mencapai 18%.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan:
1. Efisiensi dan efektivitas sumber daya yang ada dan.
2. Metode sentralisasi atau desentralisasi.
3. Metode sentralisasi.
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi
yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada
sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit
pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang
dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi
tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian
resep itu diproses sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik
dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.
Keuntungan sistem ini adalah:

21
1. Semua resep dikaji langsung oleh tenaga farmasi, yang juga
dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan
perbekalan farmasi pasien.
2. Memberi kesempatan interaksi profesional antara tenaga
farmasi-dokterperawat-pasien.
3. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan.
4. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di
suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut :
1. Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan
dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi.
2. Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
meningkat.
3. Tenaga farmasi kurang dapat melihat data riwayat pasien
(patient records) dengan cepat.
4. Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada
waktu penyiapan komunikasi
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya
kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar
sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan
perawatan pasien sangat jauh.
e. Sistem Pelayanan Terbagi (Desentralisasi)
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan yang mempunyai cabang di dekat unit
perawatan/pelayanan. Bagian ini dikenal dengan istilah depo
farmasi/satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan
pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh
pusat pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung
jawab terhadap efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang
ada di depo farmasi.

22
Tanggung jawab tenaga farmasis dalam kaitan dengan distribusi
perbekalan farmasi di satelit farmasi:
1. Dispensing dosis awal pada permintaan baru dan larutan
intravena tanpa tambahan (intravenous solution without
additives).
2. Mendistribusikan IV admixtur yang disiapkan oleh farmasi
sentral. c. Memeriksa permintaan obat dengan melihat
medication administration record (MAR).
3. Menuliskan nama generik dari obat pada MAR.
4. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.

6. Farmasi Klinik
Farmasi klinik merupakan suatu keahlian yang profesional dalam
bidang kefarmasian yang bertujuan untuk keamanan, kerasionalan
dalam penggunaan terapi obat pasien (Rikomah, 2016). Menurut
American College of Clinical Pharmacy (ACCP), farmasi klinik adalah
disiplin ilmu kesehatan di mana apoteker memberikan perawatan pasien
untuk mengoptimalkan terapi pengobatan dan meningkatkan taraf
kesehatan dan pencegahan penyakit. Pada masa sekarang terjadi
peningkatan tuntutan masyarakat dalam hal kualitas pelayanan
kesehatan khususnya pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Hal
ini mendorong apoteker agar memperluas paradigma mengenai
pelayanan kefarmasian, yang awalnya berorientasi pada produk (drug
oriented) diperluas menjadi berorientasi pada pasien (patient oriented).
Dengan adanya perluasan paradigma ini, tenaga kefarmasian khususnya
apoteker diharuskan memiliki kompetensi untuk mendukung pelayanan
farmasi klinik yang berkualitas. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical
care) adalah penyediaan pelayanan langsung dan bertanggung jawab
mengenai terapi dengan tujuan tercapainya hasil yang pasti dan
meningkatkan kualitas hidup pasien.
a. Tujuan Dan Sasaran Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik

23
Dalam pelaksanaan kegiatan farmasi klinik tujuan dan sasaran yang
ingin dicapai diantaranya: (Rikomah,2016)
1. Memaksimalkan efek terapi obat
Memaksimalkan efek terapi obat merupakan salah satu tujuan
dari pelayanan farmasi klinik. Pada prakteknya dalam
memaksimalkan efek terapi obat ialah dengan memberikan saran
dan masukan kepada dokter mengenai obat yang tepat dan paling
efektif terhadap pasien yang didasarkan pada kondisi pasien.
2. Meminimalkan efek samping terapi
Pada pemilihan suatu terapi untuk pasien salah satu faktor yang
harus dipertimbangkan ialah efek samping terapi. Dalam hal ini
kegiatan farmasi klinik dapat meminimalkan dan menurunkan
resiko kejadian efek samping yang mengarah ke DRPs. Kegiatan
farmasi klinik yang dilakukan ialah dengan cara memantau terapi
dan memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi.
3. Meminimalkan biaya pengobatan
Kegiatan farmasi klinik memberikan manfaat pada pasien salah
satunya meminimalkan biaya pengobatan. Penerapannya berupa
mencegah terjadinya polifarmasi, dimana pasien akan
mendapatkan keuntungan pembiayaan yang minimal sedangkan
pada pasien rawat inap keuntungan yang didapat ialah
berkurangnya lama waktu rawat inap pasien di rumah sakit.
4. Menghormati pilihan pasien
Setiap intervensi atau tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan
dalam hal ini apoteker harus menjunjung tinggi keputusan
pasien. Serta pasien dan keluarga pasien berhak diberitahu
mengenai intervensi atau tindakan yang dilakukan.
5. Karakteristik Praktek Farmasi Klinik
6. Karakteristik dalam pelaksanaan pelayanan farmasi klinik antara
lain (Tan, C.K, 2003) :
a. Berorientasi pada pasien;

24
b. Terlibat langsung pada proses pengobatan di bangsal rumah
sakit;
c. Bersifat pasif, dengan memberikan intervensi setelah
pengobatan dilakukan;
d. Bersifat aktif, dengan cara memberikan informasi serta saran
kepada dokter sebelum dimulai nya pengobatan;
e. Bertanggung jawab atas setiap saran dan masukan yang
diberikan;
f. Menjadi pendamping (partner) dokter

B. Rumah Sakit Bhayangkara Tk. III Banjarmasin


1. Sejarah
Rumah sakit bhayangkara banjarmasin pertama kali berdiri pada
tanggal 15 maret 1986 :tempat perawatan sementara (tps) di atas tanah
/bangunan kantor kodamar 6 yang diserahkan kepada polda kalsel oleh
Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Pada tahun 1978 surat keputusan No. Skep/1533/XI/78 tanggal 16
November 1978 tentang penyerahan tanah/bangunan Eks Kantor
Kodamar-6 di Banjarmasin. Pada tahun 1992 Skep Kapolda Kalselteng
Nomor: Skep/62/IX/1992, tanggal 13 September 1992 tentang
Pengoperasian Unit Tempat Perawatan Sementara Disdokkes Polda
Kalselteng di Banjarmasin.Fasilitas kesehatan yang tersedia adalah:
rawat inap sementara dengan 8 tempat tidur, poli gigi, poli umum, kamar
obat, ruang gawat darurat terbatas dan ambulance 1 (satu) unit.
Skep Kapolri Nomor: Skep/1774/XI/1994 tanggal 30 Nopember
1994 tentang Peningkatan Status dan Kapasitas Tempat Tidur Rumah
Sakit dan Tempat Perawatan Sementara di lingkungan Polda Jatim,
Nusra, dan Kalselteng.TPS Disdokkes Polda Kalselteng meningkat
statusnya menjadi Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat IV.Fasilitas
pelayanan kesehatan: poli gigi, poli umum, kamar obat, unit gawat
darurat, pelayanan radiologi, rawat inap dengan 30 tempat tidur dan

25
laboratorium standar. Surat Kapolri Nomor: B/663/III/2006/Pusdokkes
Polri tanggal 22 Maret 2006 tentang Penunjukkan Rumkit Bhayangkara
Banjarmasin sebagai Model Percontohan Pelayanan Prima untuk
Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat IV. Pada tanggal 02 Juli 2007,
Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin diresmikan langsung oleh
Kapolri Jenderal Sutanto dan disaksikan oleh Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara Drs. Taufik Effendi, MBA., Kapusdokkes Polri,
Gubernur Kalimantan Selatan, Muspida Provinsi Kalsel, Kadinkes
Provinsi Kalsel, Kadinkes Kota Banjarmasin, Pejabat Polda Kalsel,
serta seluruh Direktur Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta di
Banjarmasin.
Pada tahun 2009 Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin telah
Terakreditasi Penuh Tingkat Dasar melalui Sertifikat Nomor:
YM.01.10/III159/09 tanggal 16 Januari 2009 yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pada tanggal 01 September
2010 Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin ditunjuk oleh Gubernur
Kalimantan Selatan sebagai Pelaksana Teknis Terpadu Terapi dan
Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkoba di Provinsi Kalimantan
Selatan sesuai dengan Keputusan Gubernur nomor
188.44/0386/KUM/2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: HK.03.05/I/244/2011 tanggal 18 Januari 2011
tentang Penetapan Kelas Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin
sebagai Rumah Sakit Tipe C.
Pada tanggal 26 September 2012, Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin dikukuhkan sebagai Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat
III Banjarmasin sesuai Keputusan Kapolri Nomor: Kep/546/IX/2012
tentang Peningkatan Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Melalui Keputusan Kepala Kepolisian Daerah
Kalimantan Selatan nomor: 25/II/2013 tanggal 25 Februari 2013 tentang
Penunjukkan Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat III Banjarmasin
sebagai Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Korban Penyalahgunaan

26
Narkoba (One Stop Service Center Harm Reduction) bagi Anggota
Polri/PNS Polda Kalimantan Selatan.
Pada tanggal 12 Desember 2013, Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat
III Banjarmasin kelas D dikukuhkan menjadi Rumah Sakit Kelas C
melalui Sertifikat Penetapan Kelas Rumah Sakit oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: HK.02.03/I/2252/2013 tentang
Peningkatan Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat III Banjarmasin mulai
menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum secara
penuh pada tahun 2014 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia nomor 203/KMK.05/2014 tanggal 09 September
2014 tentang Penetapan Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat III
Banjarmasin pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum.

2. Falsafah, Visi dan Misi


a. Visi
“Terwujudnya Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmsin sebagai
fasilitas Kesehatan pilihan utama yang diperjacaya masyarakat serta
rujukan bagi Pegawai Negeri pada Polri se Kalimantan”.
b. Misi
1. Meningkatkan Dukungan Kesehatan Dan Pelayanan
Kesehatan melalui pelayanan Prima dan Paripurna.
2. Meningkatkan Kualitas SDM.
3. Meningkatkan Sarana dan Prasarana Kesehatan disesuaikan
dengan kemajuan teknologi.

27
3. Struktur Organisasi
Gambar 2. Struktur Organisasi Rumah Sakit Bhayangkara Tk. III
Banjarmasin

4. Status Rumah Sakit Bhayangkara Tk. III Banjarmasin


Nama : Rumah Sakit Bhayangkara Tk. III Banjarmasin
Kelas : kelas C
Tanggal Berdirinya : 15 Maret 1986
Status pemilik : POLRI Provinsi Kalimantan Selatan
Jumlah tempat tidur : 97 Tempat tidur
Alamat : Jl. A. Yani KM 3,5. Banjarmasin
Luas tanah : 2952,25 m2

C. Tugas Khusus
1. Pio Dan Dispensing
Pengertian Pelayanan Informasi Obat (PIO) Informasi obat adalah
setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan
terdokumentasi mencangkup farmakologi, toksikologi, dan penggunaan
terapi obat. Cakupan informasi obat antara lain nama kimia, struktur dan
sifat-sifat, identifikasi, indikasi diagnosi atau indikasi terapi,
ketersediaan hayati, toksisitas, mekanisme kerja, waktu mulai bekerja
dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang

28
direkomendasikan, konsumsi, absorbsi, metabolisme, detoksifikasi,
ekskresi, efek samping, reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi obat,
harga, keuntungan, tanda, gejala, dan data penggunaan obat.
Dispensing obat adalah kegiatan atau proses untuk memastikan
kelayakan atau order resep obat, seleksi suatu obat zat aktif yang
memadai dan memastikan bahwa penderita atau perawat mengerti
penggunaan dan pemberian obat yang tepat dari obat tersebut Siregar,
2003. Dispensing adalah proses menyiapkan dan menyarahkan obat
kepada orang yang namanya tertulis pada resep. Dispensing merupakan
tindakan atau proses yang memastikan ketepatan resep obat, ketepatan
seleksi zat aktif yang memadai dan memastikan bahwa pasien atau
perawat mengerti penggunaan dan pemberian yang tepat (Siregar,
2006).
Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolik
menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh
tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah.
Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah
(hiperglikemia) (Kemenkes RI 2014).
American Diabetes Association (2012) mendefinisikan diabetes
mellitus adalah salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan
berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
jumlah hormon insulin yang tidak mencukupi atau tidak dapat bekerja
secara normal, padahal hormon ini memiliki peran utama dalam
mengatur kadar glukosa (gula) didalam darah

29
Di Indonesia diabetes melitus dikenal juga dengan istilah penyakit
kencing manis yang merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya
kian meningkat. Peningkatan prevalensi diabetes melitus menunjukkan
pentingnya upaya pencegahan. Diabetes melitus timbul karena faktor
keturunan dan perilaku. Diabetes melitus merupakan kondisi ketika
tubuh tidak dapat mengendalikan kadar gula dalam darah (glukosa).
Glukosa merupakan hasil penyerapan makanan oleh tubuh, yang
kemudian menjadi sumber energi. Tetapi, pada penderita diabetes
melitus kadar glukosa ini terus meningkat sehingga terjadi
penumpukan.
Kadar gula dalam darah normal dalam keadaan puasa pagi hari
>126 mg/dL dan atau 2 jam setelah makan berkisar antara >200 mg/dL
(Perkeni, 2015).

a. Epidemologi Diabetes Melitus


Diabetes merupakan masalah kesehatan yang serius baik di negara
maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Setiap tahunnya
kejadian diabetes mengalami peningkatan. Berdasarkan Federal
Diabetes Internasional/ International Diabetes Federation (IDF) dan
Badan Kesehatan Dunia/ World Health Organization (WHO) terdapat
277 juta penduduk dunia yang menderita diabetes. Sekitar 80% di
antaranya berada di negara berkembang. Jika tidak segera dilakukan
upaya untuk memperlambat epidemi, tahun 2025 jumlah penderita
Diabetes di dunia akan melonjak menjadi 300 juta. Tahun 2007, di
Amerika Serikat diperkirakan prevalensi kasus diabetes pada semua
kelompok usia mencapai 23,6 juta dan yang tidak terdiagnosis 5,7 juta
orang dan prevalensi Prediabetes mencapai 57 juta orang (WHO, 2014).
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2005 menunjukkan peningkatan prevelensi Diabetes dari
tahun 2001 sebesar 7,5% menjadi 10,4% pada tahun 2004. Sementara
itu hasil survei Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 menyatakan

30
prevalensi Diabetes di perkotaan 14,7% dan 7,2% di pedesaan. Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi
Diabetes secara nasional mencapai 5,7%, prevalensi toleransi glukosa
terganggu (TGT) mencapai 10,2%, prevalensi obesitas umum mencapai
10,3% dan obesitas sentral mencapai 18,8%. Prevalensi Diabetes di
Jawa Barat mencapai 4,2% (Departemen Kesehatan RI, 2008).

b. Gejala Diabetes Melitus


Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smelzer et al. (2013) dan
Kowalak (2011), yaitu:
1. Polyuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang
berlebih) yang disebabkan karena osmollitas serum yang tinggi
akibat kadar glukosa yang meningkat.
2. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi
karena glucosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negative.
3. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan
penggunaan glukosa oleh sel menurun.
4. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa
gatal pada kulit.
5. Sakit kepala, mengantuk dan gangguan pada aktivitas disebabkan
oleh kadar glukosa yang rendah.
6. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidak
seimbangan elektrolit.
7. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan
karena pembengkakan akibat glukosa.
8. Sensasi kesemutan atau kebas ditangan dan kaki yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf.
9. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan
karena neuropati tonom yang menimbulkan konstipasi.
10. Mual, diare dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

31
c. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi diabetes melitus menurut Smelzer et al. (2013) ada 3
yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (Diabetes Melitus Tergantung Insulin)
Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Diabetes
melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel beta pancreas akibat
factor genetic, imunologis dan juga lingkungan. DM tipe 1
memerlukan injeksi insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2. Diabetes
tipe 2 disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas terhadap
insulin (retensi insulin) akau akibat penurunan jumlah insulin yang
diproduksi.
3. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes gestasional ditandai dengan intolerasi glukosa yang muncul
selama kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Risiko
diabetes gestasional disebabkan obesitas, Riwayat pernah
mengalami diabetes gestasional, glikosuria atau Riwayat keluarga.

Sedangkan dalam PERKENI (2015) klasifikasi diabetes mellitus


dapat dilihat dalamtabel berikut :

Table 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut
1. Autoimun
2. Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang

32
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
Tipe lain 1. Defek genetik fumgsi sel beta
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pakreas
4. Endokrinopati
5. Karena obat atau zat kimia
6. Infeksi
7. Sebab imunologi yang jarang
8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM
Gestasional

4. Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes.
Keluhan klasik DM ada seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain pula berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita (PERKENI, 2015).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL atau 2. glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 3. Tes toleransi
glukosa oral (TTGO). Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

33
Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199
mg/dL. Diagnosis GDPT pula ditegakkan bila setelah pemeriksaan
glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (PERKENI,
2015).
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia
fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan
mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan
untuk patokan diagnosis diabetes melitus. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah
plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada Tabel 2.2
sebagai berikut.
Table 2.2 Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis
Jenis Pemeriksaan Bukan DM Belum Pasti DM DM
Plasma
<100 100-199 > 200
Kadar Glukosa Darah Vena
Sewaktu (mg/dl) Darah
<90 90-199 > 200
Kapiler
Plasma
<100 100-125 > 126
Kadar Glukosa Puasa Vena
(mg/dl) Darah
<90 90-99 > 100
Kapiler
Sumber : PERKENI (2015)

5. Komplikasi Diabetes Melitus


Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut meliputi hipoglikemia,
hiperglikemia sedangkan komplikasi kronik meliputi

34
makroangiopati, mikroangiopati, rentan infeksi seperti tuberkulosis
paru, dan infeksi saluran kemih (Mansjoer, 2001).
Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang menunjukkan kadar
glukosa dalam darah rendah. Kadar glukosa darah turun di bawah 50
mg/dL. Pada penyandang diabetes, keadaan ini bisa terjadi akibat
pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi
makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat
dan berlebihan (Smeltzer, 2002).
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah
melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain
oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu.
Hiperglikemia ini di tandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia,
kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila
diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi
parah. Hiperglikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan
kesehatan seperti disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina.
Hiperglikemia berlangsung lama dapat berkembang menjadi
keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis
diabetik. Hiperglikemia dapat dicegah dengan mengontrol kadar
gula darah yang ketat (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes, 2005).
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau
tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan
gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga
gambaran klinik yang penting pada ketoasidosis yaitu terjadinya
dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis (Smeltzer, 2002).
Komplikasi kronik dari diabetes mellitus melibatkan pembuluh
darah kecil (mikroangiopati) serta pembuluh darah sedang dan besar
(makroangiopati). Mikroangiopati menyerang pembuluh kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati
diabetik), dan syaraf-syaraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot
dan kulit (Schteingart, 1995).

35
6. Terapi Diabetes Melitus
a. Non Farmakologi
1. Diet. Pokok pangkal penangan diabetes adalah makan
dengan bijaksana. Semua pasien selalu harus memulai diet
dengan pembatasan kalori, terlebih pada pasien overweight
(tipe-2). Makanan perlu dipilih secara seksama, terutama
pembatasan lemak total dan lemak jenuh untuk mencapai
normalisasi kadar glukosa dan lipida darah.
2. Gerak badan. Bila terdapat resistensi insulin, gerak badan
secara teratur (jalan kaki atau bersepeda, olahraga) dapat
menguranginya. Hasilnya insulin dapat dipergunakan
secara lebih baik oleh sel tubuh dan dosisnya pada
umumnya dapat diturunkan.
3. Berhenti merokok karena nikotin dapat mempengaruhi
secara buruk penyerapan glukosa oleh sel (Tan dan
Rahardja, 2002).

b. Farmakologi
1. Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi I terdiri dari
tolbutamide, tolazamide, asetoheksamide dan
klorpropamide. Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih
besar glibenklamid, glipizid, gliklazid dan glimepirid.
Mekanisme kerja golongan sulfonilurea adalah menstimulasi
sel beta pankreas untuk memproduksi insulin, meningkatkan
sensitivitas sel-sel beta pankreas terhadap glukosa, dan
menghambat pelepasan glukagon (Syarif, dkk., 2011).
a. Sulfonilurea Generasi Pertama
Tolbutamide diabsorpsi dengan baik tetapi cepat
dimetobolisme dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat,
dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam, dan arena itu

36
merupakan sulfonilurea yang paling aman digunakan untuk
pasien diabetes berusia lanjut. Tolbutamide paling baik
diberikan dalam dosis terbagi (misalnya, 500 mg sebelum
makan dan sebelum tidur), namun beberapa pasien hanya
memerlukan satu atau dua tablet sehari. Reaksi toksik yang
akut jarang terjadi, ruam kulit tidak sering terjadi. Jarang
dilaporkan terjadinya hipoglikemia yang berlangsung lama,
terutama hanya terjadi pada pasien yang menerima obat
tertentu (misalnya, dicumarol, phenybutazone, atau
sulfonamide tertentu) yang menghambat metabolisme
tolbutamide (Katzung, 2002).
Chlorpropamide memiliki waktu paruh 32 jam dan
dimetabolisme dengan lambat di dalam hati menjadi produk
yang masih mempertahankan beberapa aktivitas
biologisnya; sekitar 20-30% diekskresi dalam bentuk tidak
berubah di dalam urine. Rata-rata dosis pemeliharaan
adalah sebesar 250 mg sehari, yang diberikan dalam dosis
tunggal pada pagi hari. Dosis yang melebihi 500 mg setiap
hari meningkatkan resiko terjadinya ikterus, yang tidak
lazim terjadi pada pemberian dosis rendah. Pasien dengan
suatu predisposisi genetis yang menggunakan
chlorpropamide mungkin mengalami suatu hyperemic flush
(kemerahan akibat hiperemi), apabila mengkonsumsi
alkohol (Katzung, 2002).
Tolazamide sebanding dengan chlorpropamide dalam
kekuatan tetapi masa kerja tetapi masa kerjanya lebih
pendek, menyerupai masa kerja acetohexamide.
Tolazamide lebih lambat diabsorpsi dibandingkan dengan
sulfonilurea lainnya, dan efeknya pada glukosa darah tidak
segera tampak dalam beberapa jam, waktu paruhnya sekitar
7 jam. Tolazamide dimetabolisme menjadi beberapa

37
senyawa yang mempertahankan efek hipoglikemiknya.
Apabila diperlukan lebih dari 500 mg/hari, maka dosis
tersebut dibagi dan diberikan dua kali sehari. Dosis yang
lebih besar dari 1000 mg sehari tidak dapat memberikan
tingkat kontrol glukosa darah yang lebih baik (Katzung,
2002).
b. Sulfonilurea Generasi Kedua
Gliburide dimetabolisme dalam hati menjadi produk
dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Efek
biologis gliburide bertahan selama 24 jam setelah
pemberian satu dosis tunggal yang biasa adalah 2,5 mg/hari
atau kurang, dan rata-rata dosis pemeliharaan adalah 5-10
mg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi
hari; tidak dianjurakan untuk memberikan dosis
pemeliharaan lebih dari dari 20 mg/hari. Gliburide memiliki
sedikit efek yang tidak diinginkan selain dari potensinya
untuk menyebabkan hipoglikemia. Gliburide merupakan
kontraindikasi pada kerusakan hati dan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal (Katzung, 2002).
Gliclazide memiliki waktu paruh yang paling pendek
(2-4 jam) dari agen yang lebih kuat. Untuk mendapatkan
efek maksimal pada penurunan hiperglikemia
pascaprandial, agen tersebut dikonsumsi 30 menit sebelum
sarapan, karena absorpsinya cepat menjadi tertunda apabila
obat tersebut diberikan bersama dengan 15 mg/hari yang
diberikan dalam dosis tunggal. Efek terapeutik maksimum
yang dicapai oleh obat tersebut adalah 15-20 mg (Katzung,
2002).
Glimepiride digunakan sekali sehari sebagai
monoterapi atau dikombinasi dengan insulin untuk
menurunkan glukosa darah pada pasien diabetes yang tidak

38
dapat mengontrol kadar glukosa dengan cara diet dan
olahraga. Satu dosis tunggal sebesar 1 mg terbukti efektif
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg,
glimepiride memiliki masa kerja yang panjang dengan
waktu paruh 5 jam, sehingga memungkinkan pemberian
dosis sekali sehari. Agen tersebut di metabolisme secara
lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif
(Katzung, 2002).
2. Biguanida
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan
biguanida yaitu fenformin, buformin, dan metformin, tetapi
yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering
menyebabkan asidosis laktat, sekarang yang banyak
digunakan adalah metformin. Mekanisme kerja golongan
biguanida adalah mengurangi glukoneogenesis hati,
menambah pemanfaatan glukosa di daerah perifer,
mengurangi penyerapan glukosa oleh gastrointestinal
(Syarif, dkk., 2011).
Dosis metformin adalah dari 500 mg sampai maksimal
2,55 g setiap hari, dengan anjuran penggunaan dosis efektif
yang paling rendah. Jadwal lazim dimulai dengan satu
tablet tunggal sebesar 500 mg yang diberikan pada waktu
sarapan selama beberapa hari dan apabila berjalan baik
tanpa keluhan saluran cerna, ditambah dengan tablet kedua
sebesar 500 mg yang diberikan pada waktu makan malam
apabila masih tetap terjadi hiperglikemia. Apabila
diperlukan peningkatan dosis selanjutnya setelah 1 minggu,
maka tablet sebesar 500 mg dapat ditambahkan pada waktu
makan siang atau tablet yang lebih besar (850 mg) dapat
diresepkam dua atau tiga kali sehari (dianjurkan dosis
maksimum) apabila diperlukan. Seyogyanya dosis selalu

39
dibagi, karena penggunaan lebih dari 850 mg sekaligus
biasanya menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada
saluran cerna secara bermakna (Katzung, 2002).
Efek samping pada pasien dengan metformin
mengalami mual, muntah, diare serta kecap logam (metallic
taste), tetapi dengan menurunkan dosis keluhankeluhan
tersebut segera hilang. Pada beberapa pasien yang mutlak
bergantung pada insulin eksogen, kadang-kadang biguanid
menimbulkan ketosis yang tidak disertai dengan
hiperglikemia (starvation ketosis), hal ini harus dibedakan
dengan ketosis karena desfisiensi insulin. Pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal atau system kardiovaskular,
pemberian biguanid dapat menimbulkan peningkatan kadar
asam laktat dalam darah, sehingga hal inidapat menggangu
keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh (Syarif, dkk.,
2011).
3. Meglitinid
Meglitinid merupakan suatu golongan sekretagog
insulin yang baru. Repaglinid dan nateglinid merupakan
golongan meglitinid, mekanisme kerjanya sama dengan
sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda.
Golongan antidiabetik oral (ADO) ini merangsang insulin
dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta
pankreas. Mekanisme kerja golongan meglitinid adalah
waktu untuk beraktivitas cepat, hanya menstimulasi insulin
waktu makan, dan aktivitas insulin hanya sewaktu makan
(Syarif, dkk., 2011).
Repaglinide, memodulasi rilis insulin sel beta pankreas
dengan mengatur aliran ke luar kalium melalui kanal
kalium. Repaglinide memiliki mula kerja yang sangat cepat
dengan konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu

40
sekitar 1 jam setelah pemberian. Klirens agen tersebut
terjadi dihati dengan waktu paruh plasma 1 jam. Karena
mula kerjanya yang cepat dan masa kerjanya yang singkat,
repaglinide merupakan indikasi untuk digunakan
mengontrol perjalanan glukosa pasca-prandial. Obat
tersebut seyogyanya digunakan tepat sebelum makan dalam
dosis 0,25-4 mg (maksimal 16mg/hari). Sebaiknya obat
tersebut digunakan secara hati-hati pada individu dengan
gangguan hati. Repaglinide dapat digunakan secara tunggal
sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan biguanida.
Tidak terdapat sulfur dalam struktur, sehingga repaglinide
merupakan indikasi untuk digunakan pada individu
diabetes tipe 2 dengan alergi sulfur atau alergi sulfonilurea
(Katzung, 2002).
4. Inhibitor α-glukosidase
Mekanisme kerja golongan inhibitor α-glukosidase
adalah mengurangi hiperinsulinemia, dan mengurangi
sintesis VLDL, menurunkan kadar trigliserida, kolesterol,
dan asam lemak bebas. Baik acarbose dan miglitol
diberikan dalam dosis 25-100 mg segera sebelum suapan
pertama setiap waktu makan, terapi seyogyanya dimulai
dengan dosis paling rendah dan ditingkatkan secara
perlahan (Katzung, 2002).
Efek samping yang bersifat dose-dependent, al.
malaabsorpsi, flatulen, diare, dan abdominal bloating.
Untuk mengurangi efek samping ini sebaiknya dosis
dititrasi, mulai dosis awal 25 mg pada saat mulai makan
untuk selama 4-8 minggu, kemudian secara bertahap
ditingkatkan setiap 4-8 minggu sampai dosis maksimal 75
mg setiap tepat sebelum makan. Dosis yang lebih kecil
dapat diberikan dengan makanan kecil (Syarif, dkk., 2011).

41
5. Thiazolidinedion
Kelompok lain agen penyensitivitasi insulin adalah
thiazolidinedion (TZD) atau lebih akrab disebut glitazon.
Meskipun insulin diperlukan untuk kerja obat-obat ini,
obat-obat ini tidak memicu pelepasan insulin dari sel beta
pankreas sehingga tidak terjadi hiperinsulinemia.
Troglitazon merupakan agen pertama dari kelompok ini
yang disetujui untuk terapi diabetes tipe 2, tetapi telah
ditarik setelah sejumlah kematian akibat hepatoksisitas
dilaporkan. Saat ini, dua anggota kelompok ini telah
tersedia yaitu pioglitazon dan rosiglitazon (Harvey dan
Champe, 2009).
Mekanisme kerja thiazolidinedion adalah
meningkatkan sensitivitas jaringan otot terhadap insulin,
menurunkan kadar gula darah, trigliserida, dan asam lemak
bebas, menghambat produksi glukosa hati, dan
meningkatkan ketahanan insulin. Dosis awal rosiglitazon 4
mg, bila dalam 3-4 minggu kontrol glisemia belum nampak,
dosis ditingkatkan 8 mg/hari, sedangkan pioglitazone dosis
awal 15-30 mg bila kadar gula darah tetap atau meningkat,
dosis dapat ditingkatkan sampai 45 mg. Efek klinis
maksimalnya tercapai setelah penggunaan 6-12 minggu.
Efek samping antara lain, peningkatan berat badan, edema
menambah volume plasma dan memperburuk gagal jantung
kongesif (Syarif, dkk., 2011).
6. Penghambat Dipeptil Peptidase IV
Sitagliptin merupakan penghambat dipeptil peptidase-
IV (DPP-IV) yang aktif peroral dan digunakan untuk terapi
pasien dengan diabetes tipe 2. Mekanisme kerja sitagliptin
menghambat enzim DPP-IV yang bertanggung jawab untuk
inaktivasi hormon-hormon inkretin, seperti peptida-1 mirip

42
glukagon (glucagon-like peptide-1/GLP-1). Aktivitas
hormon inkretin mengakibatkan peningkatan pelepasan
insulin sebagai respon terhadap makan dan reduksi sekresi
glukagon yang tidak sesuai. Sitagliptin dapat digunakan
sebagai monoterapi atau dalam bentuk kombinasi dengan
sulfonilurea, biguanida, atau glitazon. Dosis sekali sehari
dapat digunakan dengan atau tanpa makanan. Efek samping
secara umum adalah nasofaringitis dan nyeri kepala
(Harvey dan Champe, 2009).

c. Insulin
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel beta pankreas.
Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan
memulai sejumlah aksi termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh
otot, hati, dan jaringan adiposa (Neal, 2006).Insulin merupakan
protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang
dihubungkan oleh ikatan disulfida. Disintesis sebagai protein
precursor (proinsulin) yang mengalami pemisahan proteolitik untuk
membentuk insulin dan peptida C, keduanya disekresi oleh sel beta
pankreas (Harvey dan Champe, 2001).
Table 2.2 Tipe Insulin Untuk Pengobatan Diabetes
No Tipe Insulin Contoh Insulin Onset Kerja Puncak Durasi Kerja
Kerja
1 Kerja cepat Hulamog (Lispro) 30-90 menit
15 menit 3-5 jam
Novolog (Aspart) 40-50 menit
2 Kerja singkat Humulin N
30-60 menit 50-120 menit 5-8 jam
(Regular) Novolin N
Kerja sedang Humulin L 1-3 jam 8 jam 20 jam
3
(NPH) Novolin L 1-2,5 jam 7-15 jam 18-24 jam

43
4 Campuran kerja Humulin 70/30
sedang dan kerja Humalog Mix 75/25
Campuran Campuran Campuran
singkat Novolin 70/30
Novolog Mix 70/30
5 Kerja lama Ultralente 4-8 jam 8-12 jam 36 jam
Lantus (Glasgine) 1 jam Tidak ada 24 jam

d. Pedoman Obat Yang Baik Untuk Penanganan Diabetes Mellitus


Sulfonilurea diindikasikan pada pasien (terutama pasien yang
mendekati berat badan idealnya) yang dietnya gagal untuk mengendalikan
hiperglikemia, tetapi pada sekitar 30% kontrol tidak dapat dicapai dengan
obat ini. Obat ini menstimulasi pelepasan insulin sehingga pasien harus
mempunyai sel beta yang berfungsi parsial agar obat ini bisa berguna.
Glipizid dan gliclazid mempunyai waktu paruh yang relatif singkat dan
biasanya diberikan pertama kali. Glibenklamid mempunyai durasi kerja
lebih panjang dan dapat diberikan sekali sehari, glibenklamid sebaiknya
dihindari pada pasien dengan resiko hipoglikemia (misalnya orang lanjut
usia). Pasien-pasien lanjut usia mungkin lebih aman diberi tolbutamid yang
mempunyai durasi kerja paling singkat (Neal, 2005).

e. Rekam Medis dan Visitasi


1. Rekam Medis
Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 yang
dimaksud rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah
diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan
kepada pasien. Catatan merupakan tulisan-tulisan yang dibuat oleh
tenaga kesehatan mengenai tindakantindakan yang dilakukan kepada
pasien dalam rangka palayanan kesehatan.

44
Adapun isi dari Rekam Medik Menurut PERMENKES No:
269/MENKES/PER/III/2008 data-data yang harus dimasukkan dalam
Rekam medis dibedakan untuk pasien yang diperiksa di unit rawat jalan
dan rawat inap dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik rawat jalan,
rawat inap dan gawat darurat dapat membuat rekam medis dengan data-
data sebagai berikut:
Pasien Rawat Jalan Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam
medical record sekurang-kurangnya antara lain:
1. Identitas Pasien
2. Tanggal dan waktu.
3. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
4. Hasil Pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
5. Diagnosis
6. Rencana penatalaksanaan
7. Pengobatan dan atau tindakan
8. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
9. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik dan
10. Persetujuan tindakan bila perlu
Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam rekam medis,
sekurang-kurangnya antara lain:
1. Identitas Pasien
2. Tanggal dan waktu.
3. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit)
4. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis
5. Pekerjaan
6. Pendidikan
7. Golongan Darah
8. Status pernikahan
9. Nama orang tua
10. Pekerjaan Orang tua
11. Nama suami/istri

45
Data rekam medis diatas dapat ditambahkan dan dilengkapi sesuai
kebutuhan yang ada dalam pelayanan kesehatan.
2. Visit
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap
yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga
kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan
mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan
menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional
kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah
keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan
program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan
Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
Kegiatan meliputi : Apoteker harus memperkenalkan diri dan
menerangkan tujuan dari kunjungan tersebut kepada pasien, untuk
pasien baru dirawat Apoteker harus menanyakan terapi, obat terdahulu
dan memperkirakan masalah yang mungkin terjadi, apoteker
memberikan keterangan pada formulir resep untuk menjamin
penggunaan obat yang benar, melakukan pengkajian terhadap catatan
perawat akan berguna untuk pemberian obat, setelah kunjungan
membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian masalah
dalam satu buku dan buku ini digunakan oleh setiap Apoteker yang
berkunjung ke ruang pasien untuk menghindari pengulangan
kunjungan.
a. Tujuan Visite
Menurut Pedoman Visite (2011), praktik visite yang dilakukan
oleh apoteker bertujuan untuk :
1. Meningkatkan pemahaman mengenai riwayat pengobatan
pasien, perkembangan kondisi klinik, dan rencana terapi
secara komprehensi.

46
2. Memberikan informasi mengenai farmakologi,
farmakokinetika, bentuk sediaan obat, rejimen dosis, dan
aspek lain terkait terapi obat pada pasien.
3. Memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik
ditetapkan dalam hal pemilihan terapi, implementasi dan
monitoring terapi
4. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait
penggunaan obat akibat keputusan klinik yang sudah
ditetapkan sebelumnya sebelum memulai praktik visite di
ruang rawat, seorang apoteker perlu membekali diri dengan
berbagai pengetahuan, minimal: patofisiologi, terminologi
medis, farmakokinetika, farmakologi, farmakoterapi,
farmakoekonomi, farmakoepidemiologi, pengobatan
berbasis bukti. Selain itu diperlukan kemampuan
interpretasi data laboratorium dan data penunjang
diagnostik lain; berkomunikasi secara efektif dengan
pasien, dan tenaga kesehatan lain.

2. Apotek dan Managemen


a. Pengendalian Persediaan
Menurut Priyambodo (2007) bahwa pengendalian persediaan
adalah menghasilkan keputusan tingkat persediaan yang
menyeimbangkan tujuan diadakannya persediaan dengan biaya
yang dikeluarkan. Dengan kata lain, sasaran akhir dari
pengendalian persediaan adalah meminimalkan total biaya
dengan perubahan tingkat persediaan.
Untuk mempertahankan tingkat persediaan yang optimum,
diperlukan jawaban atas dua pertanyaan mendasar yaitu kapan
dilakukan pemesanan dan berapa jumlah yang harus dipesan dan
kapan harus dilakukan pemesanan kembali. Keputusan mengenai

47
kapan dan berapa jumlah yang harus dipesan sangat tergantung
kepada waktu dan tingkat persediaan.
Salah satu fungsi manajerial dalam manajemen persediaan
yang sangat penting adalah pengendalian persediaan. Apabila
perusahaan menanamkan terlalu banyak dananya dalam
persediaan, hal ini akan menyebabkan biaya penyimpanan yang
berlebihan, dan mungkin mempunyai oppurtinity cost. Demikian
pula apabila perusahaan tidak mempunyai persediaan yang
mencukupi, dapat mengakibatkan biaya-biaya dari terjadinya
kekurangan bahan (stock out) (Rangkuti, 2002).
Sedangkan menurut Seto (2004), pengendalian persediaan
(inventory control) adalah fungsi manajerial yang sangat penting
karena persediaan/stok obat akan memakan biaya yang melibatkan
investasi yang besar karena itu perlu dilakukan dengan efektif
dan efisien. Pengendalian persediaan yang efektif adalah
mengoptimalkan dua tujuan yaitu memperkecil total investasi pada
persediaan obat dan menjual berbagai produk yang benar untuk
memenuhi permintaan konsumen.
1. Pengendalian Persediaan Dengan Analisis ABC Investasi
Jenis barang perbekalan farmasi dirumah sakit sangat
banyak jumlahnya yang tidak seluruhnya memiliki prioritas
yang sama. Untuk mengetahui jenis perbekalan farmasi yang
harus mendapat prioritas maka digunakan analisis ABC.
Analisis ABC ini dapat memudahkan pengendalian persediaan
perbekalan farmasi dengan mengklasifikasikan item barang.
Analisis ABC merupakan metode pembuatan grup atau
penggolongan berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi
hingga terendah, dan dibagi menjadi 3 kelompok besar yang
disebut kelompok A, B dan C (Maimun, 2008):
Menurut Assauri (2004), klasifikasi dalam analisis ABC dibagi
menjadi 3, diantaranya :

48
a. Kelompok A adalah inventory dengan nilai investasinya
tinggi dengan jumlah sekitar 80% dan mempunyai jumlah
penggunaan tidak melebihi 10% dari total nilai inventory.
b. Kelompok B adalah inventory dengan nilai investasinya
mencapai 15% dan mempunyai jumlah penggunaan hingga
20% dari total nilai inventory.
c. Kelompok C adalah inventory dengan nilai investasinya
tidak lebih dari 15% dan mempunyai jumlah penggunaan
mencapai 70% dari total nilai inventory.
Menurut Dirjen Binakefarmasian dan Alat Kesehatan
(2008) klasifikasi persediaan berdasarkan kumulasi persennya
dibagi atas 3 bagian, yaitu :
a. Persediaan dengan persen kumulatifnya 0-70% masuk
dalam kategori kelompok A.
b. Persediaan dengan persen kumulatifnya 71-90% masuk
dalam kategori kelompok B.
c. Persediaan dengan persen kumulatifnya 90-100% masuk
dalam kategori kelompok C.
Menurut Priyambodo (2009), beberapa persediaan
memiliki proporsi yang relatif lebih kecil dari volume
persediaan secara keseluruhan, namun memiliki nilai (rupiah)
yang relatif lebih besar.
Besarnya persentase ini adalah kisaran yang bisa berubah-
ubah dan berbeda antara perusahaan satu dengan yang lainnya.
Analisis ABC adalah analisis konsumsi obat tahunan dan biaya
untuk menentukan item yang menjelaskan proporsi terbesar dari
anggaran. Analisis ABC dapat (WHO, 2003) :
a. Mengklasifikasikan item yang memiliki tingkat
penggunaan yang tinggi dan item yang memiliki biaya yang
rendah.
b. Mengukur sejauh mana konsumsi obat yang sebenarnya

49
mencerminkan kebutuhan kesehatan masyarakat dan
membandingkan konsumsi obat pola morbiditas.
c. Mengidentifikasi pembelian untuk item di rumah sakit yang
tidak masuk dalam daftar obat esensial yaitu penggunaan
obat-obatan non- formularium.
Manfaat pengendalian persediaan dengan klasifikasi ABC,
yaitu (Rangkuti, 2002) :
a. Membantu manajemen dalam menentukan tingkat
persediaan yang efisien.
b. Memberikan perhatian pada jenis persediaan utama yang
dapat memberikan cost benefit yang besar bai perusahaan.
c. Dapat memanfaatkan modal kerja sebaik-baiknya
sehingga dapat memacu pertumbuhan perusahaan
d. Sumber-sumber daya produksi dapat dimanfaatkan secara
efisien.
2. Pengendalian Persediaan Dengan Metode EOQ (Economic
Order Quantity)
Berawal di tahun 1913, F.W. Harris mengembangkan suatu
model dimana menjaga persediaan dalam keadaan siap
digunakan, terlebih dahulu mendefinisikan seberapa banyak
suatu persediaan atau produk dipesan. Kemudian Wilson pada
tahun 1934 mengembangkan teori F.W.Harris membuat
perumusan EOQ. Metode ini tidak hanya mengetahui
dan menentukan jumlah pemesanan namun dengan metode ini
diharapkan dapat meminimalisasi total biaya operasional. Hal
ini dikarenakan pada perumusan EOQ, jumlah pemesanan
diperoleh dengan mempertimbangkan biaya pemesanan dan
biaya penyimpanan sebagai variabel yang dihitung (Nadia,
2012).
Menurut Bunawan (1996), rumus ini kemudian mencapai
pemakaian yang sangat luas dalam industri melalui upaya

50
seorang konsultan bernama Wilson. Maka rumus ini sering
pula dinamakan EOQ Wilson yang sebenarnya dikembangkan
oleh Harris. Metode ini merumuskan jumlah barang yang
harus dipesan dengan meminimalkan biaya pengoperasian
persediaan.
Menurut Anief (2008), metode EOQ merupakan volume
atau jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk
dilaksanakan pada setiap kali pembelian. Sehingga diharapkan
metode ini dapat mencegah kekosongan obat dengan
mengadakan jumlah pesanan barang.
Berikut adalah rumus untuk menentukan jumlah pesanan
optimum Heizer dan Render (2010), yaitu :

2DS
Q=√
H

Keterangan :
Q = Jumlah Pesanan
D = Jumlah kebutuhan barang
S = Biaya pesanan untuk setiap kali pesan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
Menurut Schroeder (2003), dalam menggunakan EOQ
ada beberapa asumsi yang digunakan :
a. Permintaan terhadap obat konstan, berulang, dan
diketahui.
b. Waktu tunggu (lead time) konstan dan diketahui.
c. Tidak diperbolehkan terjadi kehabisan stok untuk
menentukan dengan pasti kapan harus memesan bahan
untuk mencegah kekurangan stok.
d. Barang yang dipesan ditempatkan dalam persediaan
dalam satu waktu.
e. Harga per unit konstan dan tidak ada diskon yang
diberikan jika pesanan dalam jumlah banyak.

51
f. Barang merupakan produk tunggal ,tidak ada interaksi
dengan produk lain.
3. Pengendalian Persediaan Dengan Safety Stock
Apabila penggunaan persediaan melebihi dari perkiraan
maka terdapat persediaan pengamanan untuk menghindari
kekosongan obat inilah yang dinamakan safety stock. Rumah
sakit sering menghadapi ketidakpastian jangka waktu
pengiriman dan permintaan akan barang logistik selama
periode tertentu. Dalam hal ini rumah sakit memerlukan
persediaan ekstra yang disebut persediaan pengamanan. Safety
stock bertujuan untuk menentukan berapa besar stok yang
dibutuhkan selama masa tenggang untuk memenuhi besarnya
permintaan. (Rangkuti, 2002).
Safety stock adalah persediaan tambahan yang diadakan
untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya
kekurangan persediaan yang disebabkan karena adanya
permintaan yang lebih besar dari perkiraan semula atau karena
keterlambatan barang yang dipesan sampai digudang
penyimpanan (lead time yang lebih lama dari perkiraan
semula) dengan menentukan besarnya persediaan pengaman
yang kemudian diikuti dengan jumlah pesanan tetap atau EOQ
(Seto dkk, 2004).
Oleh karena itu, mengapa diperlukan perhitungan terhadap
safety stock untuk menentukan jumlah persediaan
pengamanan dalam menjaga kendali persediaan obat dirumah
sakit.
Persediaan pengaman (safety stock) adalah persediaan
tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga
kemungkinan terjadinya kekurangan bahan (stockout)
(Bowersox, 2002). Berikut perhitungan dalam menentukan
persediaan pengaman obat dirumah sakit dengan lead time

52
yang diketahui, permintaan bersifat konstan sehingga service
level sebesar 98% (Z = 2,05) (Rangkuti, 2002) :

SS = Z x d x L
Keterangan
SS = Safety stock
Z = Service level
d = Rata-rata Pemakaian
L = Lead time
4. Pengendalian Persediaan Dengan Metode ROP (Reorder
Point)
Pemesanan terhadap persediaan obat dirumah sakit
dilakukan berulang-ulang setiap bulannya untuk memenuhi
kebutuhan maka perlu dipertimbangkan persediaan pengaman
(safety stock) dan kapan waktu pemesanan kembali (ROP)
untuk menghindari kekosongan obat.
ROP adalah batas/titik jumlah pemesanan kembali
termasuk permintaan yang diinginkan atau dibutuhkan selama
masa tenggang (Rangkuti, 2002). Dimana dengan metode ini
dapat diketahui kapan sebaiknya waktu bagi petugas
kefarmasian dalam melakukan pemesanan kembali barang
yang hampir habis ke distributor.
Pendekatan ROP menghendaki jumlah persediaan yang
tetap setiap kali melakukan pemesanan. Apabila pemesanan
mencapai jumlah tertentu maka harus dilakukan pemesanan
kembali dengan segera untuk menghindari kekosongan obat.
Pendekatan ROP ini mempunyai resiko terjadi stock out jika
jumlah permintaan selama waktu lead time melebihi jumlah
persediaan pengaman (buffer stock). Pendekatan ini
mengharuskan dilakukannya pengecekan kartu stok secara
teratur untuk menentukan apakah pemesanan kembali harus
dilakukan (Priyambodo, 2007).

53
Berikut adalah rumus untuk menentukan titik pemesanan
kembali menurut Heizer dan Render (2010) dan Rangkuti
(2002), yaitu :
ROP = ( d x L ) + SS
Keterangan :
ROP = Reorder Point
d = Permintaan harian
L = Lead Time (waktu tunggu)
SS = Persediaan Pengaman (safety stock)
ROP model terjadi apabila jumlah persediaan yang
terdapat dalam stok berkurang terus sehingga kita harus
menentukan berapa banyak batas minimal tingkat persediaan
yang harus dipertimbangkan sehingga tidak terjadi
kekosongan obat (stock out) (Rangkuti, 2002).

5. Stock Out (Kekosongan Obat)


Menurut Waluyo (2006), sisa obat akhir kurang dari jumlah
pemakaian rata- rata tiap bulan selama satu bulan disebut
stockout. Sedangkan menurut Gazali (2002) dalam Pratiwi
(2009) mendefinisikan stock out adalah keadaan persediaan
obat kosong yang dibutuhkan. Stok kosong adalah jumlah
akhir obat sama dengan nol. Stok obat digudang mengalami
kekosongan dalam persediaannya sehingga bila ada
permintaan tidak bisa terpenuhi.
Apabila jumlah permintaan atau kebutuhan lebih besar dari
tingkat persediaan yang ada, maka akan terjadi kekurangan
persediaan atau disebut Stock Out. Pada situasi terjadinya
kekurangan persediaan, seorang pengusaha akan menghadapi
dua kemungkinan diantaranya permintaan akan dibatalkan
sama sekali dan barang yang masih kurang akan dipenuhi
kemudian (Rangkuti, 2004). Stock out disebabkan beberapa

54
faktor antara lain demand yang fluktuasi, peramalan yang
tidak akurat, dan lead time yang bervariasi (lead time
supplier maupun lead time manufacturing) (Nova, 2013).
Menurut Prawirosentono (2000), Stock out berakibat pada
kerugian berupa tidak efisien dan terputusnya hubungan
dengan konsumen. Upaya-upaya untuk menghindari
terjadinya kehabisan bahan, yaitu bisa dilakukan sebagai
berikut :
a. Pembelian secara darurat, pembelian mendadak ini harus
dilakukan hanya dalam keadaan dimana persediaan bahan
yang ada dalam keadaan kritis.
b. Mengadakan cadangan persediaan (safety stock), salah
satu upaya selain pembelian darurat yaitu mengadakan
safety stock.

55
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin


Instalasi merupakan fasilitas penyelenggara pelayanan medik,
pelayanan penunjang medik, kegiatan penelitian, pengembangan dan
pendidikan, pelatihan, serta pemeliharaan sarana rumah sakit. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu bagian atau unit atau divisi atau
fasilitas di rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan
kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit. Dapat diketahui
pekerjaan kefarmasian adalah membuat, termasuk juga melakukan
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan sediaan, penyimpanan
dan distribusi obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Siregar,
2004).
Instalasi Farmasi Rumah Sakit merupakan suatu depatemen atau unit
atau bagian dari suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker
yang memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku dan
berkompeten secara professional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan
kefarmasian yang terdiri atas pelayanan paripurna yang mencakup :
perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan, perbekalan kesehatan
atau sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep rawat jalan dan
resep rawat inap, pengendalian mutu, pengendalian distribusi, penggunaan
seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit, pelayanan farmasi klinik
umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung kepada penderita dan
pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan
(Siregar, 2004).

56
1. Visi dan Misi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin
a. Visi
Terwujudnya pelayanan kefarmasian yang bermutu dan terjangau
berdasarkan Pharmaceutical Care.
b. Misi
1. Menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yang cepat dan tepat
yang berorientasi kepada pengikatan keselamatan hidup pasien.
2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang
dimiliki.
3. Mengupayakan penyediaan perbekalan farmasi yang lengkap
bermutu dan terjamgkau.
4. Melaksanakan pelayanan farmasi klinik secara optimal yang
berinteraksi langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya.
2. Struktur Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin
Struktur instalasi farmasi rumah sakit Bhayangkara Tk. III
Banjarmasin terdiri dari :
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RS Bhayangkara
Tk. III Banjarmasin

57
3. Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia di Apotek Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin dipimpin oleh satu orang Apoteker dibantu oleh 1 orang
kepala ruangan apotek dan 2 orang Aping (Apoteker Pendamping) dan
16 orang tenaga teknis kefarmasian (TTK). Dimana untuk waktu kerja
Aping dibagi menjadi 2 shift, yaitu :
• Shift pagi : 08.00 – 14.00
• Shift siang : 14.00 – 20.00
B. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan siklus kegiatan yang
dimulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi yang saling terkait antar
satu dengan yang lain. Kegiatannya mencakup perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan, penghapusan, serta monitoring dan evaluasi. Dalam pelaksanaan
pengelolaan perbekalan farmasi terdapat standar operasional yang
digunakan, standar tersebut dijadikan sebagai pedoman teknis dalam
malaksanakan kegiatan di instalasi farmasi RS Bhayangkara Banjarmasin.
1. Perencanaan dan pengadaan pengadaan Farmasi
Kegiatan perencanaan perbekalan farmasi di IFRS adalah
menentukan jenis dan jumlah perbekalan farmasi sesuai dengan
kebutuhan palayanan kesehatan rumah sakit. Dalam pelaksanaan
perencanaan dan pengadaan, perlu dilakukan pemilihan yang matang
sehingga perbekalan farmasi dapat digunakan secara baik. Pemilihan
obat di IFRS RS merujuk pada formularium rumah sakit yang ditetapkan
oleh panitia farmasi dan terapi. Sedangkan untuk pendekatan
perencanaan kebutuhan dilakukan dengan menggunakan metode pola
konsumsi.

58
Gambar 3.2 Alur Pengadaan IFRS Bhayangkara Tk. III Banjarmasin

Alur pemesanan Obat di RS Bhayangkara TK III Banjarmasin :


a. Sebelum obat dilakukan pengadaan, TTK akan menuliskan
kebutuhan obat yang akan dipesan baik itu obat yang fast moving,
Alat kesehatan, BMHP, dan OTC di buku Defektan.
b. Kainstalasi/Apoteker merekap pesanan, jika sudah sesuai lalu
Renbut di cetak.
c. Renbut yang disetujui Kainstalasi akan Ditanda tangani
d. Renbut yang sudah siap lalu diserahkan ke bagian Kaurjangmed
disposisikan ke bagian Kasurbitjangmedum (Kepala RS) setelah
itu bagian Karumkit menyetujui
Setelah itu renbut di disposisikan ke bagian kainstalasi dan pemesanan
direalisasikan
2. Penerimaan
Penerimaan adalah suatu kegiatan dalam menerima obat dan bahan
medis habis pakai dari PBF sesuai dengan permintaan yang telah
diajukan. Penerimaan obat dan alat kesehatan di Rumah Sakit
Bhayangkara Tk.III Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin dilakukan
setiap jam kerja di bagian gudang, namun jika barang datang diluar jam

59
kerja, maka barang tetap akan diterima di apotek yang melayani pasien
selama 24 jam setiap hari. Barang yang datang wajib dilakukan
pengecekan terhadap obat dan bahan medis habis pakai yang diserahkan
oleh seles, mencakup pengecekan detail faktur yang terdiri atas jumlah
sediaan, bentuk sediaan, potensi obat, Expired Date (ED) dan no batch.
Jika barang yang datang tidak sesuai atau tidak memenuhi syarat dengan
surat pemesanan dan/atau ada kerusakan fisik maka bagian pembelian
akan melakukan retur barang tersebut ke PBF yang bersangkutan untuk
ditukar dengan barang yang baru. Apabila barang telah sesuai dengan
faktur, maka petugas yang bertanggung jawab akan menandatangani
faktur dan memberikan stempel.
3. Penyimpanan
Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang- kurangnya
memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa (Menkes,
2016).
Penyimpanan obat disimpan sesuai dengan urutan abjad/alfabetis,
bentuk sediaanya, FIFO/FEFO, dan alkes. Untuk bahan-bahan
tertentu/khusus di simpan di dalam lemari pendingin seperti sediaan
suppo, vaksin, insulin, dan lain-lain, di sertai penamaan yang mirip
LASA (Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan
harus diberi penandaan khusus, untuk mencegah terjadinya kesalahan
pengambilan obat (Permenkes, 2014).
Obat yang perlu diwaspadai (High-Alert Medications) adalah
sejumlah obat-obatan yang memiliki risiko tinggi menyebabkan bahaya
yang besar pada pasien jika tidak digunakan secara tepat. obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome) termasuk obat-obat yang tampak mirip (LASA), termasuk

60
pula elektrolit konsentrasi tinggi. Adapun cara penyimpanan Obat yang
Perlu Diwaspadai (High-Alert Medications) yaitu:
a. Vial yang mengandung konsentrat elektrolit (misalnya KCl) tidak
boleh disimpan di lingkup atau area perawatan pasien.
b. Obat-obatan yang digunakan dalam emergensi medis (misalnya:
kondisi mengancam nyawa yang bersifat gawat darurat) tidak
diwajibkan untuk mengikuti Pedoman dan Prosedur Penggunaan
High Alert Medications.
c. High Alert Medications disimpan di pos perawat di dalam troli atau
kabinet yang memiliki kunci.
d. Semua tempat penyimpanan harus diberikan label yang jelas dan
dipisahkan dengan obat-obatan rutin lainnya. Jika High Alert
Medications harus disimpan di area perawatan pasien, kuncilah
tempat penyimpanan dengan diberikan label „Peringatan: High
Alert Medications‟ pada tutup luar tempat penyimpanan
e. Jika menggunakan dispensing kabinet untuk menyimpan High Alert
Medications, berikanlah pesan pengingat di tutup kabinet agar
pengasuh/ perawat pasien menjadi waspada dan berhati-hati dengan
High Alert Medications. Setiap kotak/ tempat yang berisi High Alert
Medications harus diberi label
f. Infus intravena High Alert Medications harus diberikan label yang
jelas dengan menggunakan huruf/ tulisan yang berbeda dengan
sekitarnya (Permenkes, 2016).
4. Distribusi
Distribusi obat adalah kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi
di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien
rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis.
Sistem distribusi obat di rumah sakit ialah tatanan jaringan sarana,
personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu, dan
berorientasi kepada pasien dalam kegiatan penyampaian sediaan obat
beserta informasinya kepada pasien. Tujuan distribusi adalah

61
tersedianya perbekalan farmasi di unit-unit pelayanan secara tepat
waktu tepat jenis dan jumlah.
Distribusi yang dilakukan oleh apotek Rumah Sakit Bhayangkara
Tk.III Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin dengan metode sentralisasi
atau satu pintu yakni berdasarkan permintaan yang di ajukan oleh
masing ruang perawatan dan resep perorangan yang langsung diambil
di apotek. Obat dan alat kesehatan juga biasanya telah tersedia di
ruangan seperti di IGD (Instalasi Gawat Darurat), ICU (Intensive Care
Unit), poli , perawatan dan kebidanan.Obat yang didistribusikan
sebelumnya melewati pencatatan di apotek yang dilakukan secara
komputerisasi. Setiap hari dilakukan entry pada komputer oleh petugas.
Selain itu dilakukan juga pencatatan manual pada buku khusus
regesterasi resep apotek untuk setiap kali resep yang masuk, agar
mempermudah pencarian jika terjadi kesalahan atau jika ada gangguan
pada sistem komputer.
Sistem distribusi yang digunakan Rumah Sakit Bhayangkara ada 2
yaitu:
a. Sistem Resep Individu (Invidual Prescription)
Pelayanan yang menggunakan metode ini adalah pelayanan rawat
jalan di Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin.
Gambar 3.3 Alur Pelayanan Resep Rawat Jalan

62
Keterangan :
1) Resep di bawa oleh pasien dan di letakkan di keranjang merah
maka selanjutnya akan di ambil oleh TTK
2) Lalu akan dilakukan skrining resep dari administrasi sampai
dengan kesesuaian farmasetis nya dan akan dicek kembali di
sistem riwayat pengobatan pasien sebelumnya atau yang
terakhir di dapatkan oleh pasien
3) Akan langsung di entry Item obat untuk pasien BPJS dan
langsung masuk ke proses dispensin dan untuk pasien umum
maka entri item obat dulu
4) Pasien membayar ke kasir
5) Dispensing obat dari pengambilan obat sampai dengan proses
pembungkusan dan etiket untuk setiap item obat
6) Dilakukan double cek oleh apoteker sebelum diserahkan ke
pasien
7) Obat di serahkan oleh apoteker kepasien beserta dengan PIO
Keuntungan :
1) Semua pesanan obat langsung diperiksa oleh farmasis.
2) Memungkinkan interaksi antara farmasis, dokter, perawat dan
pasien.
3) Meningkatkan pengawasan obat-obatan dengan lebih teliti
4) Memberikan cara yang cocok melaksanakan pembayaran
obatobatan yang digunakan pasien.
Sedangkan kerugian dari sistem distribusi ini adalah meningkatkan
kebutuhan personil bagian farmasi untuk tugas melayani resep
perorangan.
b. One Dailing Dose (ODD) dan Unit Dailing Dose (UDD)
Distribusi obat rawat inap di Rumah Sakit Bhayangkara
Banjarmasin menggunakan sistem ODD (One Dailing Dose) dan
UDD (Unit Dispensing Dose), pendistribusian dari farmasi ke

63
perawat dilakukan dengan sistem ODD, sedangkan pendistribusian
dari perawat ke pasien dilakukan dengan sistem UDD.
Gambar 3.4 Alur Pelayanan Resep Rawat Inap

Keterangan :
1) Resep/kertas pesanan dibawa oleh perawat dan di serahkan ke
apotek untuk di siapkan untuk resep obat maka akan di berikan
untuk ODD (one dayli dispensing) yaitu obat yang di berikan
untuk pengobatan satu hari, untuk kertas pesanan berisikan
untuk obat-obat non oral dan alkes.
2) Lalu akan dilakukan skrining resep dari administrasi sampai
dengan kesesuaian farmasetis nya.
3) Resep/kertas pesanan akan di entri di sistem.
4) Dispensing obat dari pengambilan obat sampai dengan proses
pembungkusan dan etiket untuk setiap item obat.
5) Dilakukan double cek oleh apoteker.
6) Obat di serahkan kepada perawat sesuai dengan ruangan nya
masing-masing.
7) Perawat akan menyerahkan obat untuk pasien untuk dosis satu
hari dimana perawat telah mendapatkan surat tugas dari apoteker
untuk melakukan penyerahan obat untuk pasien rawat inap.
c. Sistem Stock Emergency
Adalah sistem distribusi dimana perbekalan farmasi yang
dibutuhkan oleh pasien sudah disuplai/disediakan di setiap pos
perawatan. Ada 3 Ruangan yang menggunakan sistem stock

64
emergency di rumah sakit bhayangkara yaitu ruang IGD, ICU , dan
Kamar Operasi (OK).

5. Pengawasan dan pemusnahan


Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat
digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. Telah kadaluwarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam
pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan;
dan
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari:
a. Membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang akan dimusnahkan;
b. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat
pemusnahan kepada pihak terkait;
d. Menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk
sediaan serta peraturan yang berlaku.
Pemusnahan narkotika dilaksanakan oleh orang atau
badan yang bertanggung–jawab atas produksi dan peredaran
narkotika yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang dan
membuat berita acara pemusnahan yang memuat antara lain :
a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun.

65
b. Nama pemegang izin khusus (APA/ Dokter).
Untuk pemusnahan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Bhayangkara tingkat III pada jika jumlahnya sedikit obat-obat
bebas , bebas bebas terbatas seperti yang bentuk sediaannya
tablet akan di hancurkan sendiri dengan membuka kemasan
setelah itu tablet akan di haluskan dengan menggunakan
blander dan di larutkan di air mengalir , begitupun untuk
sediaan sirup, ampul dan vial. Jika jumlahnya sangat banyak
maka pemusnahan akan dilakukan diluar daerah oleh pihak
ketiga.
6. Administrasi (Pencatatan dan Pelaporan)
Rumah sakit berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan obat
Narkotika dan psikotropika secara rutin setiap 1 bulan. Dalam laporan
dijelaskan mengenai pemasukan dan pengeluaran narkotika dan
ditandatangani oleh penanggung jawab instalasi farmasi/apotek rumah
sakit. Laporan tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan :
a. Dinas Kesehatan Provinsi setempat
b. Kepala Balai POM setempat
c. Penanggung jawab narkotika di Rumah Sakit
d. Arsip yg di tanda tangani oleh Apoteker penanggung jawab di
sertainama terang, SIK, dan cap Rumah Sakit/Apotek.
Laporan psikotropika ditujukan kepada Kepala Dinas
KesehatanKabupaten/Kota setempat dengan tembusan :
a. Dinas Kesehatan Provinsi setempat
b. Kepala Balai POM setempat
c. Penanggung jawab narkotika di Rumah Sakit.
d. Arsip yg di tanda tangani oleh Apoteker penanggung jawab di
sertainama terang, SIK, dan cap Rumah Sakit/Apotek.
Laporan pemakaian narkotika dan psikotropika di instalasi farmasi
diRS Bhayangkara tingkat III dilakukan 1 bulan sekali secara online

66
menggunakan Web SIPNAP , meliputi stok persediaan yang masih ada
dan jika ada penambahan dari distributor maka akan di masukkan
jumlah yang dipesan pada bulan tersebut.
Alur pelaporan obat narkotika dan psikotropika di instalasi farmasi
dari rumah sakit :

Gambar 3.4 Alur Pelaporan SIPNAP

C. Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal BAB I ayat 6 menyatakan : Standar pelayanan Minimal yang
selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib yang berhak diperoleh setiap
pasien secara minimal. Ayat 7. Indikator SPM adalah tolak ukur untuk
prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan
besaran sasaran yang hendak dipenuh didalarn pencapaian suatu SPM
tertentu berupa masukan, proses, hasil dan atau manfaat pelayanan.
Standar pelayanan minimal rumah sakit pada hakekatnya merupakan
jenisjenis pelayanan rumah sakit yang wajib dilaksanakan oleh
pemerintah/pemerintah provinsi/pemerintah kabupaten/kota dengan standar
kinerja yang ditetapkan. Namun demikian mengingat kondisi masing-
masing daerah yang terkait dengan sumber daya yang tidak merata maka
diperlukan pentahapan dalam pelaksanaan SPM oleh masing-masing daerah

67
sejak ditetapkan pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, sesuai dengan
kondisi/perkembangan kapasitas daerah.
Adapun pelayanan minimal (SPM) berdasarkan KEPMENKES
NOMOR : 129/Menkes/SK/II/2008 di Instalasi Farmasi Periode 2018
RUMKIT Bhayangkara Tk. III Banjarmasin
No SPM Tujuan Frekuensi Periode Sumber Data Standar Deadline
Pengumpulan Analisis
Data
1.a Waktu tunggu Tergambarnya 1 bulan 3 bulan Survey 30% Pengumpulan
pelayanan obat kecepatan data
jadi pelayanan-
Waktu tunggu pelayanan Cara Rekapitulasi
pelayanan obat farmasi perhitungan : hasil
jadi adalah Jumlah
tenggang waktu kumulatif
mulai pasien waktu tunggu
menyerahkan pelayanan
resep sampai obat jadi
dengan pasien yang
menerima obat disurvei
jadi dalam satu
bulan
berbanding
jumlah
pasien yang
disurvey
dalam bulan
tersebut

68
1.b Waktu tunggu Tergambarnya 1 bulan 3 bulan Survey 60% Pengumpulan
pelayanan obat kecepatan data
racikan pelayanan-
pelayanan
farmasi
Waktu tunggu Perhitungan Rekapitulasi
pelayanan obat hasil : hasil
jadi adalah Jumlah
tenggangan kumulatif
waktu mulai waktu tunggu
pasien pelayanan
menyerahkan obat racikan
resep sampai pasien yang
dengan disurvei
menerima obat dalam satu
racikan bulan
berbanding
jumlah
pasien yang
disurvey
dalam bulan
tersebut
2 Tidak adanya 1 bulan 3 bulan Pengambilan 100% Pengumpulan
kejadian data : data
kesalahan Jumlah
pemberian obat seluruh
pasien
instalasi yang
disurvei
dikurangi

69
jumlah
pasien yang
mengalami
kesalahan
pemberian
obat jumlah
seluruh
pasien
instalasi
farmasi yang
disurvey.
Kesalahan obat Tergambar Rekapitulasi
meliputi: kejadian hasil
kesalahan
dalam
pemberian
obat
1. Salah dalam
memberikan
jenis obat
2. Salah dalam
memberikan
dosis
3. Salah orang
4. Salah
jumlah
3. Kepuasan 1 bulan 3 bulan Pengambilan > 80% Pengumpulan
pelanggan data: data
Kepuasan Tergambarnya Jumlah Rekapitulasi
pelanggan presepsi kumilatif hasil

70
adalah pelanggan hasil pnilaian
pertanyaan puas terhadap kepuasan
oleh pelanggan pelayanan dari pasien
terhadap farmasi yang disurvei
pelayanan (dalam
farmasi persen)
berbandingan
jumlah total
pasien yang
disurvei (n
minimal 50)
4 Penulisan resep Tergambarnya 1 bulan 3 bulan Pengmbilan 100% Pengumpulan
sesuai efisiensi data : data
formularium pelayanan Jumlah resep
obat kepada yang diambil
pasien sebagai
sample yang
sesuai
dengan
formularium
dalam satu
bulan
berbanding
jumlah
seluruh resep
yang diambil
sebagai
sample
dalam

71
Formularium Rekapitulasi
obat adalah hasil
daftar obat yang
digunakan di
rumah sakit
Bhayangkara

Indicator mutu yang dilakukan di IFRS Bhayangkara Banjarmasin adalah


waktu tunggu pelayanan obat racikan dan non racikan dan juga penulisan
resep sesuai formularium nasional. Pada indicator mutu waktu tunggu
pelayanan obat racikan dan non racikan menyatakan bahwa rata-rata waktu
tunggu pelayanan resep di apotek Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin
memenuhi standar pelayanan minimal rumah sakit sesuai kepmenkes
No.129 tahun 2008 yang mempunyai standar pelayanan minimal untuk
resep non racikan ≤ 30 menit dan resep racikan ≤ 60 menit.
Pada indicator mutu penulisan resep sesuai formularium nasional sudah
memenuhi standar dimana didapat persentase yaitu 98%.

D. Tugas Khusus
1. Dispensing dan PIO
Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Tk III
Banjarmasin pada tanggal 8 – 18 November 2021. Data diambil dari
resep-resep pasien diabetes rawat jalan pada tanggal 8 – 18 November
2021. Berdasarkan data populasi dari resep diketahui bahwa total resep
diabetes rawat jalan adalah 217 resep, dan setelah dilakukan
perhitungan sampel yang diambil adalah sebanyak 141 lembar resep
dengan 5% kesalahan.
a. Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Berdasarkan
Karakteristik
1. Jenis kelamin

72
Berdasarkan hasil sampel yang diperoleh, total penggunaan
obat pada pasien diabetes melitus rawat jalan di RS
Bhayangkara Banjarmasin pada tanggal 8 – 18 November 2021
adalah sebanyak 141 lembar resep dimana mayoritas
penggunaan obat pada pasien perempuan yaitu sebanak 85 resep
(60,28%) dapat dilihat pada Tabel 4.1
Table 4.1 Karakteristik Jumlah Penggunaan Obat
Antidiabetes Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 85 60,28
2 Perempuan 56 39,72
Total 141 100
Perbedaan resiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak
tubuh, laki-laki penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar
perut sehingga memicu obesitas sentral yang lebih berisiko
memicu gangguan metabolisme. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa laki-laki memiliki peluang yang lebih besar mengalami
diabetes dibandingkan dengan wanita (Syarif, dkk., 2011).
2. Usia
Berdasarkan hasil sampel yang diperoleh, total penggunaan
obat pada pasien diabetes melitus rawat jalan di RS
Bhayangkara Banjarmasin pada tanggal 8 – 18 November 2021
adalah sebanyak 141 lembar resep dimana mayoritas
penggunaan resep adalah pasien berusia diatas 45 tahun yaitu
127 resep (90,07%) dapat dilihat pada table 4.1
Table 4.2 Karakteristik Jumlah Penggunaan Obat
Antidiabetes Berdasarkan Usia
No Usia Jumlah Persentase (%)
1 > 45 Tahun 127 90,07
2 < 45 Tahun 14 9,93

73
Total 141 100
Menurut PERKENI (2019) umur diatas 45 tahun
merupakan kelompok risiko tinggi untuk terjadinya diabetes.
Dikarenakan manusia mengalami penurunan fisiologi yang
dramatis menurun dengan cepat dengan risiko penurunan fungsi
endokrin pankreas untuk memproduksi insulin (Fatimah, 2015).
DM akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan
paling banyak ditemukan pada umur lebih dari 50 tahun. Hal ini
disebabkan beberapa faktor, yaitu perubahan komposisi tubuh
yang terjadi karena penurunan jumlah masa otot, perubahan
peningkatan jaringan lemak, penurunan aktivitas fisik yang
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah reseptor
insulin. Perubahan pola makan yang disebabkan oleh
berkurangnya jumlah gigi geligi sehingga proporsi jumlah
karbohidrat meningkat, yang dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan ambilan glukosa karena menurunnya sensitivitas
insulin (Firni, Inayah dan Yulis, 2016).

b. Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Berdasarkan Bentuk


Sediaan
Table 4.3 Terapi Pengobatan Pasien Diabetes Melitus
No Terapi Jumlah Persentase (%)
1 Obat oral 100 70,92
2 Insulin 41 29,08
Total 141 100
Berdasarkan Tabel 4.3 peresepan yang banyak digunakan
adalah dengan menggunakan obat oral sejumlah 70,92%,
sedangkan untuk terapi insulin didapat persentase 29,08%.
Terapi farmakologi atau pengobatan DM harus dikelola
melalui beberapa tahapan yang paling terkait, diberikan bersama
dengan pengaturan pola makan dan gaya hidup sehat serta latihan

74
fisik yang cukup. Apabila dalam periode tertentu kadar glukosa
darah masih tinggi dari normal, baru diberikan OAD. Pasien DM
tipe 2 tidak tergantung pada insulin, karena insulin yang ada tidak
dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal rendah atau
bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Terapi insulin wajib diberikan pada pasien
DM tipe 1, pada pasien DM tipe 2 sekitar 40% juga harus menjalani
terapi insulin.
Terapi farmakologi dengan pemberian OAD diawali terapi
tunggal yaitu memberikan satu jenis obat saja yang ditujukan untuk
penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang.
c. Persentase Penggunaan Obat Antidiabetes Oral
Table 4.4 Terapi Obat Diabetes Oral
No Golongan Obat diabetes oral Jumlah Persentase (%)
1 Biguanide 73 37,43
2 Sulfonilurea 67 34,36
3 Tiazolidindion 31 15,9
4 Inhibitor α Glukosidase 16 8,21
5 Glipizide 8 4,10

Berdasarkan Tabel 4.4 terapi pengobatan OAD tungal dari


golongan Biguanide diresepkan paling banyak sejumlah 37,43%,
sulfonylurea dengan presentase 34,36%, tiazolidindion 15%,
inhibitor α glukosidase 8,21% dan golongan glipizide 4,10%.
Menurut rekomendasi ADA tahun 2020 golongan biguanide
adalah agen farmakologi awal yang disukai untuk pengobatan DM
tipe 2, setelah diinisiasi golongan biguanide harus dilanjutkan
selama ditoleransi dan tidak dikontraindikasi agen lain, termasuk
insulin harus ditambahkan ke golongan biguanide. Biguanide harus
dimulai pada saat DM tipe 2 didiagnosis kecuali ada

75
kontraindikasi, bagi banyak pasien ini akan menjadi monoterapi
dalam kombinasi dengan modifikasi gaya hidup.
Biguanide efektif dan aman, tidak mahal, dapat mengurangi
risiko kejadian kardiovaskular, dan kematian. Biguanide tersedia
dalam bentuk rilis langsung untuk dosis harian (pada dosis 500 mg
- 850 mg) atau sebagai bentuk rilis diperpanjang yang dapat
diberikan sekali sehari (pada dosis 500 mg - 750 mg).
Dibandingkan dengan sulfonilurea, biguanide sebagai lini pertama
memiliki efek menguntungkan pada berat badan, mortalitas
kardiovaskular, ada sedikit data yang tersedia untuk agen oral
lainnya sebagai terapi awal DM tipe 2. Efek samping utama dari
biguanide adalah intoleransi gastrointestinal karena kembung,
ketidaknyamanan perut, dan diare, ini dapat dititrasi melalui dosis
tunggal. Biguanide dibersihkan oleh filtrasi ginjal dan tingkat
sirkulasi yang sangat tinggi, misalnya akibat overdosis atau gagal
ginjal akut telah dikaitkan dengan asidosis laktat serta terjadinya
komplikasi sekarang diketahui sangat jarang, dan biguanide dapat
digunakan dengan aman pada pasien dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus yang diperkirakan. Food and Drug Administration
(FDA) telah merevisi label metformin untuk mencerminkan
keamanannya pada pasien dengan (ADA, 2020).

d. Waktu Tunggu Pasien Rawat Jalan


Waktu tunggu merupakan salah satu komponen yang
menyebabkan ketidakpuasan pasien, yang berdampak pada
loyalitas pasien. Waktu tunggu pelayanan resep adalah tenggang
waktu mulai dari pasien menyerahkan resep sampai menerima
obat. Waktu tunggu pelayanan resep yang lama dapat
mengakibatkan ketidakpuasan pasien. Pelayanan farmasi
merupakan revenue center bagi rumah sakit, sehingga pendapatan
rumah sakit dapat ditingkatkan melalui banyaknya resep yang

76
terlayani mengingat lebih dari 90% pelayanan kesehatan
menggunakan perbekalan farmasi dan 50% pemasukan rumah sakit
berasal dari perbekalan farmasi.
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu
pelayanan adalah lamanya waktu tunggu pelayanan resep di
instalasi farmasi, sebagaimana berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit. Waktu tunggu pelayanan
resep adalah tenggang waktu mulai dari pasien menyerahkan resep
sampai dengan pasien menerima obat(Permenkes, 2016)
Standar waktu tunggu pelayanan resep non racikan menurut
SPM (Standar Pelayanan Minimal) adalah ≤30 menit dan untuk
standar waktu tunggu pelayanan resep racikan menurut SPM
adalah ≤60 menit.
Table 4.5 Waktu Tunggu Pasien Non Racikan

Pasien Skrining Dispensing Penulisan Penyerahan ke Total ket


(menit) (menit) Etiket (menit) pasien (menit)
1 3,45 5,12 10,43 5,12 24,12 Sesuai
2 3,25 2,22 12,31 6,56 24,34 Sesuai
3 3,20 4,32 13,36 5,24 26,12 Sesuai
4 Tidak
3,15 6,21 12,55 8,15 30,06 Sesuai
5 2,57 4,42 13,11 7,45 27,55 Sesuai
6 3,30 4,29 11,56 7,47 27,52 Sesuai
7 3,14 5,56 11,47 9,21 29,38 Sesuai
8 2,37 4,46 13,12 8,44 28,39 Sesuai
9 1,55 4,34 13,27 9,51 29,07 Sesuai
10 2,24 4,45 11,58 5,41 24,08 Sesuai
11 3,22 6,21 14,08 5,47 29,38 Sesuai
12 3,40 5,35 13,39 7,46 29,60 Sesuai

77
13 Tidak
4,15 5,24 13,43 8,13 31,35 Sesuai
14 Tidak
3,44 5,56 14,67 8,32 32,39 Sesuai
15 Tidak
4,31 5,12 12,23 9,27 31,33 Sesuai
Rata-rata 3,12 5,26 13,10 7,41 28,28 Sesuai

Dari tabel di atas di dapat 73,33% resep non racikan sudah


mencapai standar SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan 26,67%
tidak mencapai standar SPM. Hasil penelitian ini menyatakan
bahwa rata-rata waktu tunggu pelayanan resep non racikan di
apotek Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin memenuhi standar
pelayanan minimal rumah sakit sesuai kepmenkes No.129 tahun
2008 yang mempunyai standar pelayanan minimal untuk resep non
racikan ≤ 30 menit dan resep racikan ≤ 60 menit.
Resep non racikan yang memenuhi standar waktu tunggu
pelayanan resep sebanyak 11 resep dan yang tidak memenuhi
standar didapat sebanyak 4 resep. Rata-rata waktu yg dibutuhkan
adalah 28,28 menit.
Table 4.6 Waktu Tunggu Pasien Racikan

Penulisan Penyerahan
Skrining Dispensing Racikan
Pasien Etiket ke pasien Total ket
(menit) (menit) (menit)
(menit) (menit)
1 3,20 5,22 30,52 8,34 2,15 67,43 TidakSesuai
2 3,25 6,10 45,26 7,13 3,51 65,25 TidakSesuai
3 3,30 5,52 40,39 5,03 3,24 57,48 Sesuai
4 3,15 5,41 35.41 7,35 2,48 54,20 Sesuai
5 2,37 5,12 36,18 6,01 2,53 52,21 Sesuai
Rata-rata 3,05 5,47 41,15 7,17 2,78 59,31 Sesuai

78
Dari tabel di atas di dapat 60% resep racikan sudah mencapai
standar SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan 40% tidak
mencapai standar SPM. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
rata-rata waktu tunggu pelayanan resep racikan di apotek Rumah
Sakit Bhayangkara Banjarmasin memenuhi standar pelayanan
minimal rumah sakit sesuai kepmenkes No.129 tahun 2008 yang
mempunyai standar pelayanan minimal untuk resep non racikan ≤
30 menit dan resep racikan ≤ 60 menit.
Resep racikan yang memenuhi standar waktu tunggu
pelayanan resep sebanyak 3 resep dan yang tidak memenuhi
standar didapat sebanyak 2 resep. Rata-rata waktu yg dibutuhkan
adalah 59,31 menit. Waktu tunggu pelayanan resep racikan lebih
lama dibandingkan dengan pelayanan resep non racikan karena
resep racikan memerlukan waktu yang lebih lama, tidak hanya
mempersiapkan obat tetapi juga perlu perhitungan dosis obat, serta
melakukan peracikan obat.
2. Manajemen apotek
a. Stock Out (Kekosongan Obat)

Kekosongan stok (stock out) atau stok kosong merupakan jumlah


akhir obat sama dengan nol. Stok obat digudang mengalami
kekosongan dalam persediaannya sehingga bila ada permintaan
tidak bisa terpenuhi. Apabila jumlah permintaan atau kebutuhan
lebih besar dari tingkat persediaan yang ada, maka akan terjadi
kekurangan persediaan atau disebut Stock Out. Kekosongan stok
menjadi salah satu kendala yang dapat menurunkan kepuasan pasien
terhadap pelayanan kefarmasian dirumah sakit.
Berdasarkan hasil wawancara dan telaah dokomen kekosongan
obat yangterjadi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bhayangkara Tk
III Banjarmasin dari tanggal 6 November- 22 November tahun 2021
terdapat 8 obat.

79
Table 4.1 Daftar obat yang terjadi kekosongan di Instalasi
FarmasiRS Bhayangkara Tk III Banjarmasin

Bentuk Pemesanan Penerimaan


No Nama Obat Keterangan
Sediaan (tanggal) (tanggal)
1 Meloxicam 15mg Tablet Generik 13/11/2021 16/11/2021
2 Ranitidine Tab Tablet Generik 15/11/2021 19/11/2021
3 Atorvastatin 20mg Tablet Generik 15/11/2021 18/11/2021
4 Domperidon Tab Tablet Generik 14/11/2021 17/11/2021
5 Pregabalin 75 mg Kapsul Generik 16/11/2021 17/11/2021
6 Aricept Evess 10 mg Tablet Paten 19/11/2021 23/11/2021
7 Sibital Tab Tablet Paten 20/11/2021 25/11/2021
8 Folaris 1mg Tablet Paten 22/11/2021 24/11/2021

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada tanggal 6


November – 22 November tahun 2021 terdapat 8 obat mengalami
kekosongan, dimana terdapat 5 obat generic dan 3 obat paten.
Kekosongan obat tidak lebih dari 7 hari maka dari itu rata-rata waktu
tunggu hanya 3 hari.
Dalam pelayanan JKN, rumah sakit pemerintah diwajibkan
menyediakan dan memberikan obat generik kepada pasien
(Kemenkes, 2014). Oleh karena itu, penggunaan obat generik terus
meningkat hingga mengakibatkankekosongan stok.
Masalah kekosongan obat di rumah sakit dapat menurunkan
kepuasan pasien dalam pelayanan yang diberikan. Menurut informan
factor yang sangat mempengaruhi terjadinya kekosongan obat yaitu
faktor distributor, karna obat yang stoknya mendekati kosong sudah
dilakukan pemesanan namun kedatangan obat yang terlambat.
Kekosongan persediaan obat dirumah sakit ini dapat mempengaruhi
kepuasan pasien terhadap pelayanandirumah sakit dan menghambat
perawatan kepada pasien.

80
Instalasi farmasi Rumah Sakit Bhayangkara pernah mengalami
kekosongan obat, misalnya beberapa obat kelas terapi (analgetik)
dan obat-obat yang diresepkan dokter di luar formularium nasional,
selain itu obat yang dipesan kepada pemasok sering terlambat karena
obat yang dipesan tidak tersedia. Menurut penelitian Renie dan
Widodo (2013) bahwa kekosongan stok obat juga dapat
menimbulkan kerugian bagi rumah sakit. Kerugian yang ditanggung
sebagai akibat stock out obat diperhitungkan dengan hilangnya biaya
kesempatan yang harusnya diperoleh rumah sakit.
Dampaknya bagi pasien BPJS, apabila terjadi kekosongan obat
yang diresepkan maka petugas akan meminta no telpon pasien dan
akan dihubungi lagi ketika obat sudah datang. Sedangkan bagi
pasien umum dibeli sendiri oleh pasien atau keluarga pasien yang
bersangkutan, Pentingnya sebuah rumah sakit memiliki suatu
pengendalian obat yang baik sehingga perbekalan farmasi tidak
berlebihan atau kekurangan. Kelebihan persediaan mengakibatkan
banyaknya modal yang tertanam dan tingginya biaya yang
ditimbulkan oleh persediaan. Sebaliknya jika terjadi kekurangan
persediaan akan mengakibatkan arus pelayanan rumah sakit
terganggu antara lain bila stok kurang sehingga membuat pasien
menunggu lebih lama (Agustina, 2011). Persediaan yang tidak
mencukupi dapat menyebabkan biaya kekurangan bahan,
tertundanya keuntungan atau bahkan dapat mengakibatkan
hilangnya pelanggan (Rangkuti, 2002).

b. Pengendalian persediaan dengan Metode EOQ (Economic


Order Quantity)
Dalam menentukan jumlah pemesanan obat di Instalasi Farmasi
RS Bhayangkara Banjarmasin, petugas tidak pernah menggunakan
perhitungan khusus mengenai jumlah pemesanan. Jumlah pesanan
tergantung pada data pemakaian pada bulan sebelumnya. Obat yang

81
sering digunakan pada bulansebelumnya akan dipesan lebih banyak
daripada obat yang jarang digunakan. Hal ini dapat saja
meningkatkan biaya pemesanan jika pemesanan dilakukan dalam
jumlah yang sedikit atau meningkatkan biaya penyimpanan jika
jumlah pemesanan terlalu banyak. Oleh sebab itu, diperlukan
perhitungan yang tepat untuk mengetahui jumlah pemesanan
optimum yaitu dengan metode EOQ.
Untuk mengetahui jumlah pemesanan yang optimum dalam
setiap kali melakukan pemesanan obat paten di Instalasi Farmasi RS
Bhayangkara Tk III Banjarmasin, dapat diterapkan metode EOQ.
Rumus untuk menentukan jumlah pemesanan optimum menurut
Heizer dan Render (2010) adalah sebagai berikut :
𝑄 = 𝐸𝑂𝑄 √(2 𝐷 𝑃: 𝐶

Keterangan :
P = Biaya pemesanan setiap kali pesan (dalam rupiah)
D = Jumlah kebutuhan bahan baku per bulan (dalam unit)
C = Biaya penyimpanan per unit bahan baku (dalam rupiah)
Q = Jumlah unit yang dipesan setiap kali dilakukan pemesanan
TC=Total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan (dalam
rupiah).

Perhitungan Rencana Pengadaan obat Ranitidin tab:

2 𝑥 9.500 𝑥 17.250
EOQ = √ 4.800

= 261 unit (tablet)

Untuk biaya total persediaan dapat dihitung sebagai berikut:

Biaya Total = Biaya pemesanan + Biaya penyimpanan

TC = P D : Q + C Q : 2

82
Perhitungan :

9.500 261
TC = 17.250 ( 261 ) + 4.800 ( )
2

= 627.900 + 626.400

= 1.254.300

Dari hasil perhitungan di atas, diketahui jumlah pesanan yang


paling ekonomis untuk satu kali pesan adalah 261 unit, dan total
biaya persediaan yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit apabila
menggunakan EOQ sebesar Rp 1.254.300 - . Jika Rumah Sakit
Bhayangkara menerapkan EOQ maka biaya persediaan dapat
menjadi lebih efisien. Rumah Sakit dapat memesan bahan obat
Ranitidin pada titik yang paling ekonomis sebesar 261 unit sehingga
biaya yang dikeluarkan tentunya juga lebih rendah. Semakin banyak
barang yang disimpan akan mengakibatkan semakin besar biaya
penyimpanan barang dan risiko kerusakan barang yang lebih besar.
Sebaliknya, semakin sedikit barang yang disimpan dapat
menurunkan biaya penyimpanan, tetapi menyebabkan frekuensi
pembelian barang semakin besar, yang berarti biaya total
pemesanan semakin besar dan juga dapat mengakibatkan risiko
terjadinya kekurangan persediaan (stock out)(Herjanto, 2008).

c. Pengendalian persediaan dengan Metode JIT (Just In


Time)
Jika pada perhitungan total biaya pada Rumah Sakit Bhayangkara
yang menggunakan cara perhitungan EOQ diperoleh total biaya
sebesar Rp 1.254.300,-, tentunya saat menghitung total biaya dengan
memakai konsep JIT akan diperoleh total biaya yang lebih rendah
sehingga total biaya menjadi lebih efisien. Hal ini dikarenakan cara
perhitungan EOQ memperhitungkan biaya-biaya yang terjadi pada
persediaan bahan baku yang disimpan digudang sebagai biaya

83
penyimpanan, sedangkan jika memakai prinsip JIT, biaya
penyimpanan sebisa mungkin menjadi nol karena JIT tidak
memperhitungkan adanya persediaan, atau dengan kata lain
persediaan dianggap nol atau mendekati nol. Gambaran perhitungan
efisiensi biaya dengan konsep JIT dapat dihitung sebagai berikut:
Apabila biaya pemesanan dengan menggunakan EOQ adalah
sebesar Rp 4.800,- perbulan maka berdasarkan konsep JIT, di mana
biaya pemesanan dilakukan berdasarkan permintaan dari pelanggan,
diasumsikan biaya pemesanan lebih rendah dari Rp 1.254.300,-,
misalnya sebesar Rp627.150,. Sedangkan biaya penyimpanan
diasumsikan mendekati nol atau sama dengan nol maka diperoleh:
Biaya Total (TC) = biaya pemesanan + biaya penyimpanan
TC = Rp 627.150,- + Rp 0,- = Rp 627.150,-

Dengan menerapkan JIT, Rumah Sakit diharapkan mendapatkan


kesempurnaan dengan berusaha melakukan perbaikan terus-
menerus untuk mendapatkan yang terbaik, menghilangkan
pemborosan dan ketidakpastian, sehingga diperoleh biaya yang lebih
efisien dari sebelumnya dan adanya peningkatan produktivitas.

d. Pelabelan obat di Gudang Instalasi Farmasi Bhayangkara


Sistem penataan gudang, indikator ini digunakan untuk menilai
sistem penataan gudang standar adalah FIFO dan FEFO, Persentase
stok mati, stok mati merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan item persediaan obat di gudang yang tidak mengalami
transaksi dalam waktu minimal 3 bulan. Persentase nilai stok akhir,
nilai stok akhir adalah nilai yang menunjukkan berapa besar
persentase jumlah barang yang tersisa pada periode tertentu.
Sistem penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi
menggunakan gabungan antara metode FIFO dan metode FEFO.
Metode FIFO (First in First Out), yaitu obat-obatan yang baru masuk

84
diletakkan di belakang obat yang terdahulu, sedangkan metode
FEFO (first expired first out) dengan cara menempatkan obat-obatan
yang mempunyai ED (expired date) lebih lama diletakkan di
belakang obat-obatan yang mempunyai ED lebih pendek. Proses
penyimpanannya memprioritaskan metode FEFO, baru kemudian
dilakukan metode FIFO. Barang yang ED-nya paling dekat
diletakkan di depan walaupun barang tersebut datangnya
belakangan. Sistem penyimpanan dikelompokkan berdasarkan jenis
dan macam sediaan, yaitu:
1. Bentuk sediaan obat (tablet, kapsul, sirup, drop, salep/krim,
injeksi dan infus). 2. Bahan baku.
3. Nutrisi.
4. Alat-alat kesehatan.
5. Gas medik.
6. Bahan mudah terbakar.
7. Bahan berbahaya.
8. Reagensia.
9. Film Rontgen.
Berikut ini adalah label warna berdasarkan tahun yang akan
mendekati kadaluarsa 6 bulan atau kurang dari 6 bulan , lebih dari 6
bulan sampai dengan atau lebih dari 1 tahun.

85
Gambar 4.1 Label kadaluarsa Obat

Tabel 4.2 Daftar Obat yang mendekati kadaluarsa

N Nama Obat Jumlah Tanggal Rentang waktu


o ED &Penandaan

1 Cotrimoxazo 800tab 30.06.2022 (7bulan)


le Forte Tab Kuning
2 Dexketoprof 1.100tab 31.08.2022 (9bulan)
en tab Kuning
3 Glutalan 10 botol 09.09.2022 (10bulan)
Infus 100 ml Kuning
4 Ventolin 300 Tube 01.08.2022 (9bulan)
Nebulizer Kuning
5 Lifadrox 70 botol 31.07.2022 (8bulan)
Forte syr Kuning
6 Infus M-20 72 botol 28.02.2022 (3 bulan)
Merah

86
Pada Rumah Sakit Bhayangkara terdapat 1 obat yang berlabel merah
karena kadaluarsanya mendekati 3 bulan maka sesuai dengan
kesepakatan PBF yang bersangkutan barang akan diretur Kembali.

87
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari hasil pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker yang dilaksanakan
di Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin Tk. III Banjarmasin dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin Tk. III Banjarmasin melakukan
kegiatan pelayanan kefarmasian (satu pintu) selama 24 jam/hari.
2. Perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi di Rumah Sakit
Bhayangkara Banjarmasin Tk. III Banjarmasin merujuk pada
formularium Nasional dan formularium rumah sakit yang telah di
tetapkan oleh panitia farmasi dan terapi dan untuk perencanaan
kebutuhan menggunakan metode pola konsumsi
3. Sistem distribusi perbekalan kesehatan pasien rawat tinggal di Rumah
Sakit Bhayangkara Banjarmasin Tk. III Banjarmasin menggunakan
sistem distribusi kombinasi antara resep individual (individual
prescription), one Dailing Dose (ODD) dan unit dosis (Unit Dose
Dispensing) atau kombinasi ketiganya.
4. Apoteker berperan aktif memberikan informasi dan mengembangkan
pelayanan kafarmasian, berperan dalam panitia farmasi dan terapi yang
merupakan komunikasi atau penghubung antara staf medik dan instalasi
farmasi, membantu dalam menyusun dan merevisi formularium,
sehingga keberadaan apoteker sangatlah penting di Rumah Sakit
Bhayangkara Banjarmasin Tk. III Banjarmasin.

88
B. Saran
Dari hasil kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang
dilaksanakan di Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin Tk. III
Banjarmasin, maka beberapa hal yang dapat disarankan meliputi :
1. Perlunya penambahan jumlah Apoteker untuk lebih meningkatkan mutu
pelayanan agar berjalan optimal sehingga setiap Apoteker hanya
bertanggung jawab pada satu depo farmasi guna mengefektifkan
pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) disertai peningkatan
kualitas pelayanan di depo farmasi untuk meningkatkan citra rumah
sakit secara keseluruhan.
2. Pelayanan informasi obat perlu ditingkatkan dari segi prasarana ruang
penerimaan dan penyerahan obat, agar lebih mudah dan nyaman saat
berkomunikasi dengan pasien, sehingga informasi obat yang diberikan
dapat lebih mudah diserap pasien.

89
DAFTAR PUSTAKA
ADA (American Diabetes Association), 2019. Classification and Diagnosis of
Diabetes : Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care, 42(1), hal 13-
28. AHFS. 2011.
AHFS Drug Information, Bethesda: American Society of Health System
Pharmacists.
Alexiadou K, Doupis J. Management of Diabetic Foot Ulcers. Diabetes Ther.
2012:3;4
American Society of Health System Pharmacists. 2011. AHFS Drug Information.
United States of America.
Aragón-Sánchez J, Lázaro-Martínez JL, Quintana-Marrero Y, et al. Are diabetic
foot ulcers complicated by MRSA osteomyelitis associated with worse
prognosis? Outcomes of a surgical series. Diabet Med. 2009;26(5): 552-555.
Ayano G., 2016. First Generation Antipsychotics: Pharmacokinetics,
Pharmacodynamics, Therapeutic Effects and Side effect: A Review. Research
& Reviews: Journal of Chemistry, Vol. 5 No. 3, p. 53-63.
Baigent C, Blackwell L, Collins R, Emberson J, Godwin J, Peto R, et al., primary
and secondary preventionof vaskular diseases: collaborative metaanalysis of
individual participants data from randomised trials. Lancet. Vol. 373, p.1849-
1860. Blackmer, Allison B., 2018. Fluids and Electrolytes. Fluids, Electrolytes,
and Nutrition.
BNF. 2018. British National Formulary 76th . Edition. London: BMJ Publishing
Group.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2011. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 Tentang Penerapan Farmakovigilans
Bagi Industri Farmasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2019.
Panduan Deteksi dan Pelaporan Efek Samping Obat untuk Tenaga Kesehatan.,
Farmakovigilans (Keamanan Obat). Jakarta: BPOM RI.
BPOM. 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2018
tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika,
dan Prekusor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Badan POM,
Jakarta.

90
BPOM. 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 tahun 2018
tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering
Disalahgunakan. Badan POM, Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor:1197/Menkes/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi
Rumah Sakit, Jakarta.
Departemen Kesehatan R.I., 2016, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 Tahun
2016: Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Departemen
Kesehatan, Jakarta.
Depkes RI. 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Jakarta.
Depkes RI. 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 72 tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Jakarta.
Hatzenbuehler, J and Pulling, T. J., 2011, Diagnosis and Management of
Osteomyelitis, American Family Physician, 84(9): 1027-1033.
Hofstee, I. et al (2020). Review: Current Concepts of Osteomyelitis From
Pathologic Mechanisms to Advanced Research Methods.,The American
Journal of Pathology. Vol. 190. No.6, p. 1151-1163.
Jasiecka, A., T. Maslanka, J.J. Jaroszewki., 2014. Pharmacological characteristics
of metamizole. Polish Journal of Veterinary Sciences. Vol. 17, No. 1, p.207-
214.
Kaplan SL. Osteomyelitis in children. Infect Dis Clin North Am. 2005;19(4):787-
797. 5.
Kemenkes RI. 2015. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 3 tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika. Kemenkes
RI, Jakarta.
Kemenkes RI. 2019. Petunjuk Teknis Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
2019. Kemenkes RI, Jakarta.

91
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan
Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik. Jakarta : Kemenkes RI.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak
Farmasi Praktikum Teknologi Sediaan Steril, Jakarta.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2018, Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
(SNARS) edisi 1, Jakarta : KARS.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit . 2017. Standar Nasional Akreditas Rumah Sakit
(SNARS) edisi 1, Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2016, Peraturam Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarrmasian di Rumah Sakit. Menkes RI.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonessia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Program Pengendalian
Resistensi Antibiotik di Rumah Sakit. Jakarta : Menkes RI.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2020, Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Akreditasi Rumah Sakit,
Jakarta.
Peraturan BPOM No 4 tahun 2018 tentang PENGAWASAN PENGELOLAAN
OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN
PREKURSOR FARMASI DI FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN
Perkeni. 2019. Pedoman Pengellaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Dewasa di Indonesia. PB Perkeni; Jakarta.
PERKI. 2016. Panduan Praktik klinik (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
Permenkes No 3 tahun 2015 tentang PEREDARAN, PENYIMPANAN,
PEMUSNAHAN DAN PELAPORAN NARKOTIKA.
Smeltzer, S, & Bare. (2010). Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical
Nursing. Philadelpia : Lippin cott
SNARS. 2017, Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit, Edisi 1. Komisi
Akreditasi Rumah Sakit Tahun 2017.
Singh S, Pai DR, Yuhhui C (2013). Diabetic foot ulcer-diagnosis and management.
Clinical Research on Foot and Ankle.
Siregar, C. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.

92
LAMPIRAN
PIO DAN DISPENSING
Etiket Copy Resep

Resep

Surat Keterangan Medis Kartu stok


Surat Pesanan
Surat Pesanan Reguler Daftar pengadaan obat E-catalogue

Surat Pesanan Narkotika Surat Pesanan Narkotika (merah)

Surat Pesanan Narkotika (kuning) Surat Pesanan Narkotika (hijau)


Surat Pesanan Psikotropik (putih) Surat Pesanan Psikotropik (merah)

Surat Pesanan Psikotropik Surat Pesanan Psikotropik (Hijau)


(Kuning)

Surat Pesanan OOT


Letak Obat
Paten Injeksi

Sirup Alkes

Antiabetes Tetes mata


Generik Scretom Covid

Suhu 2-8 ◦C Suhu <2 ◦C

OTC
Narkotik & Psikotropik Narkotik Psikotropik
Nota Pembelian

Anda mungkin juga menyukai