Anda di halaman 1dari 14

BAB I

Konsep Dasar Komunikasi Dalam Keperawatan Pada Lansia

A. Pendahuluan
Komunikasi adalah bagian yang penting dalam kehidupan dan menyatu dengan
kehidupan kita. Setiap saat, manusia selalu berkomunikasi dan menggunakannya
dalam berinteraksi dengan manusia lain. Kata-kata yang diucapkan seseorang adalah
komunikasi, diamnya seseorang adalah komunikasi, tertawanya seseorang adalah
komunikasi, dan menangisnya seseorang adalah komunikasi. Dengan
berkomunikasi,kehidupan kita akan interaktif dan menjadi lebih dinamis.
Komunikasi dalam aktivitas keperawatan adalah hal yang paling mendasar dan
menjadi alat kerja utama bagi setiap perawat untuk memberikan pelayanan/asuhan
keperawatan karena perawat secara terus-menerus selama 24 jam bersama pasien.
Dalam setiap aktivitasnya, perawat menggunakan komunikasi. Pengetahuan tentang
komunikasi dan komunikasi terapeutik sangat penting terkait dengan tugas-tugas
Anda dalam melakukan asuhan keperawatan dan dalam melakukan hubungan
profesional dengan tim kesehatan lainnya. Sebagai calon perawat ahli madya,
keterampilan dasar yang penting harus Anda kuasai adalah komunikasi. Penguasaan
tentang komunikasi terapeutik dalam praktik keperawatan akan memungkinkan Anda
melaksanakan praktik keperawatan secara berkualitas.
Setelah mempelajari Bab 1 ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
pengertian, tujuan, model, bentuk-bentuk, elemen, proses, dan faktor-faktor yang
memengaruhi komunikasi dan tingkatan komunikasi; menjelaskan definisi, tujuan,
dan kegunaan komunikasi terapeutik, komunikasi sebagai elemen terapi, perbedaan
komunikasi terapeutik dan komunikasi sosial, faktor-faktor yang memengaruhi
komunikasi terapeutik, penggunaan diri secara terapeutik dan menganalisis diri;
menganalisis masalah untuk menentukan sikap terapeutik perawat dalam komunikasi,
teknik-teknik, dan fase-fase; serta menjelaskan hambatan komunikasi terapeutik. Bab
1 yang berjudul Konsep Dasar Komunikasi Dalam Keperawatan Pada Lansia yang
sedang Anda pelajari ini dikemas dalam tiga topik yang disusun dengan urutan
sebagai berikut.
 Topik 1: Komunikasi
 Topik 2: Komunikasi dengan Lansia
TOPIK 1
Komunikasi

A. Definisi Komunikasi Menurut Beberapa Ahli


Komunikasi memiliki ragam pengertian, bila dilihat dari berbagai sudut pandang
jenisnya, unsur dan lainnya. Untuk memahami apa pengertian komunikasi, maka
alangkah baiknya jika kita mengenal beberapa definisi komunikasi secara umum.
Berikut adalah beberapa definisi komunikasi menurut beberapa ahli :
1. Harrold D. Lasswell, Dikutip oleh Tutu April Ariani (2018)
Tindakan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “siapa yang
menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa
pengaruhnya” (Bok, dalam Robbons and Jones, 1992). Pengertian iniseperti yang
dikemukakan oleh William J. Seller (1998) yaitu komunikasi adalah dimana
proses symbol verbal dan non-verbal dikirimkan, diterima dan diberi arti.
(Muhammad A, 2015, Hlm: 4).
Komunikasi juga diartikan sebagai suatu transaksi, proses simbolik yang
menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan cara membangun
antar sesame untuk dapat menghargai orang lain, melalui pertukaran informasi,
untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain/memberikan dukungan, serta
berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu, menempatkan situasi yang tepat
( Roger dan D. Lawrence Kincaid, 1981 dan Query dan Kerps, 1996, hlm :339).
Definisi ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hovland, Janis dan Kelly yang
dikemukakan oleh forsdake (1981) dimana komunikasi adalah proses individu
mengirimkan stimulus yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah
tingkah laku orang lain. Ini dapat diartikan bahwa komunikasi sebagai sebuah
proses (aktifitas) bukan sebagai benda mati/objek. (Muhammad, A 2015 hlm : 3)
Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang
mengirim atau menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise) sebagai
mana yang telah digambarkan oleh model Komunikasi Shanon dan Weaver.
Situasi tersebut terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh
tertentu diantaranya adlah perilaku, pikiran atau emosi orang lain dan ada
kesempatan untuk melakukan umpan balik. ( Devito, Ed, 5 1989, Hlm : 24 dan
Fiske, 2006, Hlm : 2-3). Model ini adalah model komunikasi paling awal dan
memiliki pengaruh paling kuat diantara model komunnikasi lainnya.
Berikut adalah ilustrasi dari model Shanon dan Weaver yang merupakan teori
model komunikasi yang paling sederhana karena bentuk/alurnya yang linear:

Information Transmitter Signal Massage Recived Reciver Destination


Source Signal

Noise source

Gambar 1.1 Model Shanon dan Weaver


(Sumber: Werner J Severin dan James W. Tankard, Jr. Communication Theories :
Origins, Method, And Uses in The Mass Media. New York: Longman, 1992, hlm 39,
Dalam Mulyana D, 2016, hlm, 149 dan Fiske J, 2016, h:3)

Dalam prosesnya, dapat teridentifikasi tentang adanya tiga level permasalahan


yang dapat muncul, yaitu :

Tabel 1.2 Tiga Level Permasalahan Saat Berkomunikasi


(Mulyana D, 2016, hlm : 153)

Level A : Seberapa kuat simbol simbol komunikasi dapat


(Merupakan Masalah Teknis) ditransmisikan
Level B : Seberapa kuat simbol-simbol yang ditransmisikan
(Merupakan Masalah dapat membawa makna yang diinginkan
Semantis)
Level C : Seberapa efektif makna yang dapat diterima dalam
(Merupakan Masalah bentuk (perubahan) Perilaku yang diinginkan
Efektivitasnya)

Berdasarkan dari tiga level persoalan yang dapat muncul selama proses
interaksi, maka terlihat bahwa “Pesan” bukan merupakan focus yang paling
penting, tetap sudah mulai bergeser pada bagaimana pesan tersebut dapat terbaca
oleh penerima pesan. Hal ini juga bermakna bahwa “Pemahaman” tentang pesan
itu menjadi penting. Bagaimana pemahaman itu bisa didapatlkakan, tentunya
harus didasarkan pada tingkat kecermatannya. Model ini menggambarkan bahwa
semua sumber informasi yang dapat menghasilkan pesan untuk dikomunikasikan
melalui seperangkat sarana yang memungkinkan. Sedangkan Receiver (Penerima)
adalah mekanisme pendengaran yang kemudian mengkonstruksikan pesan yang
selanjutnya diolah oleh Destination (Sasaran) yaitu otak dari penerima.
Konsep yang tidak kalah penting dalam komunikasi dari model ini adalah
gangguan (Noise) yang merupakan setiap rangsangan tambahan yang dapat
mengganggu kecermatan pesan yang sedang disampaikan berupa interferensi
statis, misalkan suara televisi, panggilan telfon dan suara hingar binger lainnya.
Gangguan ini selalu ada dalam saluran Bersama sama dengan pesan yang diterima
oleh penerima. ( Dikutip dari Tutu April Ariani, dalam Bukunya Berjudul
Komunikasi Keperawatan, 2018).
B. Model dan Fungsi Komunikasi
1. Model Komunikasi
Model komunikasi dibagi menjadi tiga yaitu model komunikasi linier (satu arah),
interaktif (sirkuler), dan transaksional. Komunikasi satu arah merupakan model
komunikasi dalam proses pengiriman informasi beraal dari satu sumber.
Komunikasi interaktif merupakan proses pertukaran pesan untuk mempertemukan
dan menyatukan persepsi berdasarkan latar belakang masing-masing individu
yang terlibat komunikasi. Komunikasi transaksional merupakan proses pertukaran
informasi menggunakan media tertentu untuk mempertemukan dan menyatukan
pikiran, perasaan, dan perilaku dengan mempertahatikan latar belakang partisipan
(Zen, 2013).
Keterampilan komunikasi harus meliputi teknik yang menggambarkan kompetensi
dalam tiap tingkat. Tingkatan komunikasi terdiri dari komunikasi intrapersonal
yang merupakan bentuk komunikasi dalam diri sendiri; komunikasi interpersonal
merupakan komunikasi antara satu orang dengan satu orang lainnya; komunikasi
transpersonal merupakan interaksi yang terjadi pada wilayah spiritual seseorang;
komunikasi kelompok kecil; dan komunikasi publik (Potter & Perry, 2009).

2. Fungsi Komunikasi
Komunikasi memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan
manusia. Komunikasi dapat berfungsi sebagai sumber informasi,
pendidikan, instruksi, persuasi, dan penghibur (Zen, 2013)

C. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi


Faktor yang memegaruhi komunikasi baik sebagai faktor pendukung maupun
penghambat terjadinya komunikasi yang efektif tidak lepas dari unsur dalam
komunikasi. Menurut Potter dan Perry (2009), unsur-unsur komunikasi diataranya
ialah:
1. Referen
Referan ialah sesuau yang memotivasi seseorang untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Kualitas tidaknya komunikasi seseorang bisa dilihat dari sumber
informasi yang disampaikan. Faktor sumber yang memengaruhi proses
komunikasi ialah bahasa yang digunakan, ketersediaan sumber, dan faktor teknis.

2. Pengirim dan Penerima


Pengirim adalah pihak yang mengirimkan/ menyampaikan informasi/ pesan.
Sedangkan penerima adalah pihak yang menerima dan menguraikan kode pesan.
Komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan efektif tidak jarang karena faktor
penampilan dan sikap pengirim dan penerima yang meliputi sikap, ekspresi
verbal, dan non verbal.

3. Pesan
Pesan merupakan isi dari komunikasi. Pesan mengandung bahasa verbal,
nonverbal, dan simbolik. Teknik penyampaian pesan yang digunakan sering
terganggu karena faktor bahasa. Oleh karena itu, penyampaian pesan harus
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
4. Media
Media merupakan alat penyampaian dan penerimaan pesan melalui indra
penglihatan, pendengaran, dan taktil. Ekspresi wajah mengirimkan pesan visual,
kata-kata memasuki saluran pendengaran, dan sentuhan menggunakan saluran
taktil. Individu akan lebih memahami suatu pesan jika pengirim menggunakan
berbagai media.

5. Umpan balik
Umpan balik merupakan pesan yang dikembalikan oleh penerima. Unsur ini
menunjukkan bahwa penerima telah mengerti arti pesan dari pengirim. Pengirim
dan penerima harus saling terbuka dan sensitif terhadap masing-masing pesan agar
komunikasi berjalan efektif.

6. Variabel interpersonal
Variabel ini merupakan faktor dalam diri pengirim dan penerima yang
memengaruhi komunikasi. Persepsi merupakan salah satu bentuk variabel yang
memberikan pandangan unik masingmasing individu yang terbentuk oleh harapan
dan pengalaman individual. Persepsi akan sangat memengaruhi jalannya
komunikasi karena dalam berkomunikasi harus ada kesamaan persepsi
danpengertian.

7. Lingkungan
Lingkungan merupakan tempat interaksi bagi pengirim dan penerima.
Lingkugan yang efektif harus memenuhi kebutuhan fisik, emosional, dan
keamanan peserta komunikasi. Tujuan komunikasi akan tercapai jika lingkungan
diciptakan senyaman mungkin, terutama pada lansia dan anak-anak

D. Bentuk Komunikasi
Pesan disampaikan secara verbal, nonverbal, konkret, maupun simbolis. Saat
berkomunikasi, individu mengekspresikan dirinya melalui kata, pergerakan, intonasi
suara, ekspresi wajah, dan penggunaan jarak. Menurut Potter & Perry (2009), bentuk-
bentuk komunikasi diantaranya ialah:
1. Komunikasi verbal
Komunikasi ini menggunakan kata yang ditulis atau diucapkan.

2. Komunikasi nonverbal
Komunikasi ini mencakup seluruh indera dan semua hal yang tidak melibatkan
kata tertulis ataupun ucapan yaitu dengan bahasa tubuh.\

3. Komunikasi Simbolik
Komunikasi yang baik membutuhkan kesadaran tentang komunikasi simbolik,
yaitu simbol lisan dan nonverbal yang digunakan pihak lain untuk menyampaikan
arti. Seni dan musik merupakan bentuk komunikasi simbolik.

4. Metakomunikasi
Metakomunikasi merupakan istilah luas yang merujuk kepada seluruh faktor yang
memengaruhi komunikasi.
Topik 2
Komunikasi Dengan Lansia

A. Konsep Komunikasi Dengan Lansia


Proses komunikasi dengan lansia harus memperhatikan beberapa hal yaitu faktor
fisik, psikologi, dan lingkungan untuk menerapkan keterampilan komunikasi yang
tepat. Selain itu, juga harus menggunakan konsentrasi penuh dalam berkomunikasi
dengan lansia. Perubahan pada lansia juga mengakibatkan lansia mengalami kesulitan
dalam komunikasi (Zen, 2013).
a. Teknik berkomunikasi dengan lansia
Menurut Aspiani (2014), karakteristik lansia berbeda-beda sehingga kita harus
memahami lansia tersebut. Dalam berkomunikasi dengan lansia ada teknik-teknik
khusus agar komunikasi yang dilakukan berlangsung lancar dan sesuai tujuan
yang diinginkan, yaitu:
1. Teknik Asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima dan memahami lansia dengan
menunjukkan sikap peduli dan sabar untuk mendengarkan dan memerhatikan
ketika lansia berbicara agar maksud komunikasi dapat dimengerti. Asetif
merupakan pelaksanaan dan etika berkomunikasi.

2. Responsif
Reaksi terhadap fenomena yang terjadi pada lansia merupakan suatu bentuk
perhatian yang dapat diberikan. Ketika terdapat perubahan sikap terhadap
lansia sekecil apapun hendaknya mengklarifikasi tentang perubahan tersebut.

3. Fokus
Sikap ini merupakan upaya untuk tetap konsisten terhadap komunikasi yang
diinginkan. Hal ini perlu diperhatikan karena umumnya lansia senang
menceritakan hal yang tidak relevan.

4. Suportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik aspek fisik maupun psikis secara
bertahap menyebabkan emosi lansia menjadi labil. Perubahan ini dapat
disikapi dengan menjaga kestabilan emosi lansia, misalnya dengan
mengiyakan, senyum, dan mengaggukkan kepala ketika lansia berbicara.

5. Klarifikasi
Perubahan yang terjadi pada lansia menyebabkan proses komunikasi tidak
berjalan dengan lancar. Klarifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan ulang
dan memberi penjelasan lebih dari satu kali perlu dilakukan agar maksud
pembicaraan dapat dimengerti.

6. Sabar dan Ikhlas


Perubahan pada lansia yang terkadang merepotkan dan kekanakkanakan.
Apabila tidak disikapi dengan sabar dan ikhlas akan menimbulkan perasaan
jengkel sehingga komunikasi tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut
menimbulkan kerusakan hubungan komunikasi.
Menurut Zen (2013), dalam berkomunikasi dengan lansia ada beberapa teknik yang
dapat dilakukan yaitu:
1. Pendekatan perawatan terhadap lansia baik secara fisik, psikologis, sosial, dan
spiritual serta menunjukkan rasa hormat dan keprihatinan;
2. Berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dengan menggunakna kalimat
sederhana dan pendek, kecepatan dan tekanan suara tepat, berikan kesempatan
lansia untuk bicara, hindari pertanyaan yang mengakibatkan lansia menjawab
“ya” dan “tidak” dan ubah topik pembicaraan jika lansia sudah tidak tertarik;
3. Komunikasi nonverbal yang meliputi perilaku, kontak mata, ekspresi wajah,
postur dan tubuh, dan sentuhan;
4. Meningkatkan komunikasi dengan lansia yaitu dengan memulai kontak.
5. Suasana komunikasi harus diciptakan senyaman mungkin saat berkomunikasi
dengan lansia, misalnya posisi duduk berhadapan, jaga privasi, penerangan
yang cukup, dan kurangi kebisingan

B. Hambatan Berkomunikasi Dengan Lansia


Proses komunikasi dengan lansia akan terganggu apabila ada sikap agresif dan
sikap non asertif. Sikap agresif ditandai dengan beberapa perilaku, diantaranya
berusaha mengontrol dan mendominasi oranglain, meremehkan orang lain,
memepertahankan haknya dengan menyerang orang lain, menonjolkan diri
sendiri, dan mempermalukan orang lain di depan umum. Sedangkan tanda sikap
non asertif diantaranya ialah menarik diri bila diajak berbicara, merasa tidak
sebaik orang lain, merasa tidak berdaya, tidak berani mengungkap keyakinan,
membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya, tampil pasif (diam),
mengkuti kehendak orang lain, mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga
hubungan baik dengan orang lain. Selain itu, kendala lain dalam berkomunikasi
dengan lansia ialah gangguan neurologi yang menyebebkan gangguan bicara,
penurunan daya pikir, mudah tersinggung, sulit menjalin hubungan mudah
percaya, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan fisik, dan
hambatan lingkungan (Aspiani, 2014)

C. Pentingnya Komunikasi Keluarga Pada Lansia

Keluarga usia lanjut adalah keluarga yang di dalamnya terdapat penduduk


lansia atau anggota keluarga yang seluruhnya berusia lanjut. Salah satu peran
keluarga dalam merawat lansia ialah mempertahankan dan meningkatkan status
mental lansia (Mubarok dkk, 2011). Keluarga dan lansia harus memiliki hubungan
yang baik. Berkomunikasi merupakan salah satu cara menjaga hubungan keluarga
dan lansia. Komunikasi penting untuk lansia karena dapat meningkatkan
hubungan sosial di keluarga maupun masyarakat. Komunikasi dapat
menggerakkan dan memelihara kehidupan. Manusia mampu mengorganisir,
memperbaiki, mengembangkan, dan memperluas cara berkomunikasi sehingga
manusia dapat bertahan hidup. Akibat perubahan lansia, keluarga maupun petugas
kesehatan khususnya perawat harus memiliki keyakinan bahwa lansia harus
dipertahankan kemampuan komunikasinya dan menghilangkan pandangan bahwa
lansia sulit diajak berkomunikasi, tidak perlu diajak berkomunikasi, dan tidak
memerlukan komunikasi dengan orang lain atau mengabaikannya. Keluarga
merupakan support sistem utama bagi lansia dalam mempertahankan
kesehatannya. Peran keluarga diantaranya menjaga atau merawat lansia,
mempertahankan atau meningkatkan status mental lansia, mengantisipasi
perubahan sosial ekonomi, dan memberikan motivasi. Ada beberapa hal yang
dapat dilakukan oleh anggota keluarga dalam melakukan perannya yaitu
membantu mencukupi kebutuhannya, menghormati dan menghargai, tidak
menganggap sebagai beban, mengajak bepergian, mempertahankan kehangatan
keluarga, dan melakukan komunikasi terarah (Maryam dkk, 2008). Tujuan lansia
harus selalu diajak berkomunikasi ialah menumbuhkan rasa percaya diri lansia
kepada pemberi asuhan; memberi rasa aman nyaman kepada lansia dalam
mengungkapkan perasaan; memenuhi kebutuhan lansia akan kasih sayang;
melatih lansia mengembangkan berbicara, mendengar, dan menerima rangsangan;
mempertahankan kemampuan lansia mengambil keputusan; dan menciptakan atau
meningkatkan hubungan sosial dalam masyarakat (Nugroho, 2009).
Topik 3
Komunikasi Teraupetik Pada Lansia

Ciri hubungan atau komunikasi teraupetik adalah berpusat pada klien lansia;
menghargai klien lansia sebagai individu unik dan bebas; meningkatkan klien
lansia untuk berpartisipasi dengan aktif dalam mengambil keputusan mengenai
pengobatan dan perawatannya; menghargai keluarga, kebudayaan, kepercayaan,
nilai nilai hidup dan asasi dari klien lansia; menghargai privasi dan hubungan
pemberi asuhan atau perawat dengan klien lansia; dan saling percaya, menghargai,
dan saling menerima. Hubungan membantu ini akan menjadi lebih efektif
apabila ada rasa saling percaya dan saling menerima antar perawat atau pemberi
asuhan pada klien lansia. Selain itu perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
pada lansia harus menunjukkan rasa peduli dan mau membantu kliennya (Lansia).
Perawat atau pemberi asuhan memfokuskannya seluruh perhatiannya
tidak hanya pada apa yang disampaikan lansia, tetapi bagaimana lansia itu
menyampaikannya. Melalui sikap tubuh dari pemberi asuhan keperawatan atau
perawat, lansia dapat merasakan apakah perawat atau pemberi asuhan siap dan
berminat untuk mendengarkannya. (dikutip dari Nugroho Wahjyudi, B.Sc., SKM,
dalam bukunya yang berjudul Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik, 2006,
hlm. 37-59)
A. Kesiapan Mendengar
Perawat atau pemberi asuhan keperawatan harus dapat menunjukkan kesiapan
mendengarnya. Kesiapan ini dapat ditunjukkan yaitu :
1. Duduk tegak dan rileks serta pandangan menghadap lansia secara muka
dengan muka, posisi ini menunjukkan bahwa “ saya siap untuk
mendengarkan”
2. Mempertahankan kontak mata. Sebaiknya mata perawat atau pemberi
asuhan sejajar dengan mata klien lansia, tempat duduk perawat atau
pemberi asuhan tidak lebih tinggi dari lansia. Kontak mata harus spontan
dan wajar.
3. Tubuh perawat atau pemberi asuhan sedikit membungkuk atau sikap
hormat kea rah lansia. Biasanya secara spontan tubuh sseorang langsung
bergerak seikit mendekat pada lansia yang sedang bicara bila ia ingin
mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan.
4. Mempertahankan sikap tubuh yang terbuka. Hindari duduk dengan kedua
kaki atau tangan bersilang, karena posisi semacam ini menunjukkan sikap
defensive. Posisi tubuh perawat atau pemberi asuhan harus menunjjukan
bahwa dirinya bersedia menerima dan membantu, seperti pintu yang
terbuka yang mengundang orang untuk masuk tanpa mengetuk.
5. Mempertahankan posisi tubuh yang rileks. Memang sulit untuk
mempertahankan posisi tubuh yang rileks karena mendengarkan dengan
seluruh “dirinya” perawat sudah mengeluarkan banyak tenaga. Akan tetapi,
suasana tengang dapat dicegah dengan memberi sedikit waktu sebelum
perawat memberi tanggapannya, memberi waktu untuk berdiam sejenak,
dan menggunakan isyarat yang tepat membantu.

B. Tahapan Hubungan Teraupetik


1. Tahap I (Pra-Interaksi)
Pada tahap ini perawat atau pemberi asuhan sudah memiliki beberapa
informasi tentang klien lansia, seperti nama, alamat, umur, jenis kelamin,
Riwayat kesehatam, dan lain-lain. Pertemuan pertama dengan lansia dapat
membuat cemas perawat atau pemberi asuhan yang belum mempunyai
banyak pengalaman. Ada baiknya apabila perawat atau pemberi asuhan
menyadari perasaan ini.

2. Tahap II (Pengenalan)
Perawat atau pemberi asuhan dan klien lansia saling mengenal dan
mencoba menumbuhkan rasa percaya satu sama lain. Pada tahap ini
perawta atau pemberi asuhan mengusahakan untuk membuat klien lansia
merasa nyaman dengan beberapa interaksi sosial seperi membicarakan
tentang cuaca. Ada kemungkinan perawat atau pemberi asuhan melihat
seikap penolakan dari lansia. Hal ini mungkin karena lansia belum siap
untuk mengungkapkan dan menghadapi masalahnya, ada rasa malu untuk
mengakui bahwa lansia memerlukan bantuan, tidak siap mengubah pola
tingkah laku yang menyebabkan masalah kesehatannya, dan lain
sebagainya.
Tahap pengenalan ini mempunyai tujuan menumbuhkan rasa percaya
klien lansia kepada perawat atau pemberi asuhan:
a. Lansia dapat melihat perawat atau pemberi asuhan sebagai seorang
professional yang mampu membantunya.
b. Lansia dapat melihat perawat atau pemberi asuhan sebagai individu
yang jujur, terbuka, dan peduli lansia.
c. Lansia percaya bahwa perawat atau pemberi asuhan akan menghargai
kerahasian hubungan mereka, nilai, keyakinan, sosio-kulturalnya.
d. Lansia merasa aman dan nyaman dalam mengungkapkan perasaannya.

3. Tahap III (Kerja)


Pada tahap ini perawat atau pemberi asuhan dan klien lansai menemukan,
menghargai, dan meneirma keunikannya masing-masing. Rasa peduli dan
empati juga akan timbul. Perawat atau pemberi asuhan membantu klien
lansia melihat secara mendalam perasaannya agar lansia dapat memperoleh
“insight” tentang masalahnya.
Komunikasi dapat diperlancar apabila perawat atau pemberi asuhan
menunjukkan:
a. Empati
Perawat atau pemberi asuhan akan mampu berempati dengan klien
lansia bila mereka “merasakan’ apa yang dialami lansia. Semua Teknik
komunikasi dipakai akan menjadi kaku, tidak spontan, dan tidak
genumeI, tetapi “sharing” tentang kesulitan lansia akan membuat
perawta atau pemberi asuhan menjadi spontan dan tulus dalam
meresponnya dan sikap ini dapat dirasakan oleh lansia/

b. Menghargai
Perawat atau pemberi asuhan perlu memiliki keyakinan tentang
martabat setiap manusia, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, ia
adalah ciptaan Tuhan, dan cenderung menjadi manusia yang patut
dihargai dan dicintai tanpa mempertahatikan perbuatannya melainkan
dirinya. Keyakinan ini akan membantu perawat atau pemberi asuhan
menerima, mencintai, dan menghargai lansia tanpa syarat.

c. Genuiness
Perawat atau pemberi asuhan sebagai pemberi asuhan keperewatan
disebut genuiness bila :
a. Tidak bersembunyi dalam peran, status, tingkat pendidikannya, dan
sebagainya.
b. Bersikap spontan.
c. Tidak defensive, menerima, dan menanggapi kritikan dari lansia
tanpa membalas atau mencari alas an untuk membenarkan diri.
d. Konsisten dengan ekspresi wajah, nada suara, dan sikap tubuh
sesuai denga apa yang dirasakannya.
e. Mampu membuka diri dan membagi pengalaman bila perlu.

d. Konkret/spesifik
Perawat atau pemberi asuhan perlu terampil dalam memberi pertanyaan
terbuka. Melalui pertanyaan terbuka, perawat atau pemberi asuhan
dapat membantu kansia yang cenderung berbicara secara umum
menjadi lebih konkret dan spesifik.

e. Konfrontasi
Konfontrasi peerlu dipakai dengan hati hati dan penuh pengertian.
Konfontrasi akan lebih mudah diterima lansia bila ia merasa bahwa ia
dihargai dan diterima oleh perawat atau pemberi asuhan. Dengan
konfrontasi, perawat menunjukkan kepada lansia ketidakcocokan antara
pikiran, perasaan, kata kata, atau perbuatannya. Ketidak cocokan ini
akan menghambat pemeriksaan dan penyandaran diri. Penyangkalan
terhadap perasaan dapat membuat lansia tidak mampu mengatur tingkah
lakunya.

4. Tahap IV
Tahap ini desrtai bermacam macam perasaan. Mungkin lansia merasa
kehilangan sesuatu, merasa bimbang tentang kemampuannya tanpa bantuan
dari perawat atau pemberi asuhannya, merasa ditinggalkan, dan lain
sebagainya. Pada tahap ini, perawat atau pemberi asuhan perlu
mengungkapkan kesediannya membantu bila diperlukan agar klien lansia
merasa aman.

C. Sarana Komunikasi
Dalam proses penyampaian pesan dapat menggunakan sarana
komunikasi pancaindra dan sarana komunikasi buatan manusia. Panca indra
harus sehat. Sarana komunikasi buatan manusia meliputi radio, televisi, surat
kabar, dan lain-lain.
Mengingat lansia ini telah tampak beberapa kemunduran, baik dari segi
jasmani (mis. Fungsi pendengaran dan penglihatan). Fungsi berpikir mungkin
masih tetap baik, hanya kecepatan menanggapi peertanyaan atau bertindak
mulai menurun. Biasanya daya tangkap lansia juga mulai menurun. Oleh
karena itu pemberi asuhan atau perawat dalam berkomunikasi dengan lansia
harus sabar, nada suara agak keras, tidak terlalu cepat, dan mengulangi sampai
lansia paham. Kesabaran dan kehadiran kerabata atau kawan yang mengetahui
keadaan lansia akan sangat bermanfaat.
D. Komunikasi Teraupetik
Bagaimana sikap penyampaian pesan dalam berkomunikasi dengan
lansia. Kemampuan komunikasi pada lansia dapat mengalami penurunan,
akibat penurunan fungsi berbagai system organ, seperti penglihatan,
pendengaran, wicara, persepsi, dan lain-lain. Semua ini menyebabkan
penurunan kemampuan lansai untuk menangkap pesan atau informasi dan
transfer informasi. Penurunan kemampuan melakukan komunikasi
berlangsung bertahap dan tergantung pada sebebrapa jauh gangguan indra dan
gangguan orak yang dialami lansia.
Semua komunikasi yang efektif dan teraupetik harus ditunjukkan untuk
menjaga harga diri pemberi/penerima pesan dan menciptakan hubungan saling
pengertian. Agar komunikasi berjalan lancer perawat atau penyampai pesan
harus :
1. Menguasai bahan/pesan yang akan disampaikan
2. Menguasai Bahasa setempat
3. Memiliki keyakinan
4. Bersuara lembut
5. Percaya diri
6. Ramah (menunjukkan penerimaan)
7. Sopan dan santun
8. Jujur dan bijaksana
Disamping itu juga perlu diciptakan lingkungan yang mendukung
komunikasi, misalnya terbuka, akrab, santai, bertatakrama dengan posisi
menghormat, dan perawat harus memahami lansia. Tatakrama dan keakraban
sangat mendukung kelancaran komunikasi. Juga tidak kalah penting, perawat
atau pemberi asuhan harus membiasakan atau melatih sesering mungkin cara
berkomunikasi teraupetik dalam kehidupannya dan dalam pemberian asuhan
kepada lansia, antara lain dengan cara :
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dikatakn lansia
2. Menunjukkan penerimaan
3. Mengajukan pertanyaan yang berkaitan
4. Mengulang ucapan lansia dengan kata kata sendiri
5. Mengklarifikasi ucapan lansia yang kurang jelas
6. Memfokuskan pokok pembicaraan
7. Menyatakan hasil pengamatan perawat terhadap lansia
8. Menawarkan informasi/bantuan walaupun itu tidak diminta
9. Diam sejenak memberi kesempatan lansia untuk Menyusun kata kata
10. Meringkas hasil pembicaraan dengan lansia serta mengulang ide pertama
11. Memberi penghargaan atas hal positif yang telah dilakukan lansia
12. Memberikan kesempatan kepada lansia untuk berbicara terlebih dahulu
atau memulai oembicaraan
13. Menganjurkan lansia untuk meneruskan pembicaraan
14. Menempatkan kejadian secara berurutan
15. Memberi kesempatan kepada lansia untuk menguraikan persepsi tentang
sesuatu hal
16. Memberikan kesempatan kepada lansia untuk mengemukakan dan
menerima ide serta perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri
(refleksi)

E. Mengalihkan Topik Pembicaraan


Kadang kadang perawat atau pemberi asuhan tidak merasa aman
membicarakan topik tertentu dan mengalihkan pembicaraan.

F. Menilai
Respons perawat yang mengandung penilaian dapat mengurangi kemampuan
klien lanjut usia untuk berpikir, menimbang, dan memilih, atau memutuskan
apa yang baik dan apa yang tidak.
REFERENSI

Werner J Severin dan James W. Tankard, Jr. Communication Theories


Origins, Method, And Uses in The Mass Media. New York: Longman,
1992, hlm 39
Nugroho Wahjudi, 2006. Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik, Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
Anjaswarni. 2016. Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta: Pusdik SDM
Kesehatan, diakses dari http://www.depkes.go.id/, tanggal 30 April
2019
Bandiyah, Siti. 2009. Lanjut usia dan keperawatan gerontik. Yogyakarta:
Nuha
Medika

Anda mungkin juga menyukai