Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

“SARANA, PRINSIP, RAMBU-RAMBU DAN PROSEDUR


BKPBI”

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Bina Komunikasi Persepsi Bunyi Dan Irama (BKPBI)

Dosen Pengampu: Dra. Zulmiyetri, M.Pd

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK II

1. DINI ZATALINI (21003265)


2. DEDI NURDIANA KUSUMA WARDANI (21003262)
3. ISTI’ANAH NASTY (21003284)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah

dengan judul “Sarana, Prinsip, Rambu-Rambu dan Prosedur BKPBI” guna

memenuhi sebagian tugas Mata Kuliah Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan

Irama Jurusan Pendidikan Luar Biasa pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas

Negeri Padang.

Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam

menyelesaikan Makalah ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Ibu Dra. Zulmiyetri, M.Pd selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah yang

telah memberikan dorongan dalam penulisan Makalah ini.

2. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri

Padang yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan baik isi

maupun susunannya. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi

penulis juga bagi para pembaca.

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................i

Daftar Isi ..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................3

A. Sarana dan Prasarana Bina Persepsi Bunyi dan Irama ..........................................3

B. Prinsip Pelaksanaan BKPBI ..................................................................................9

C. Rambu- Rambu Pelaksanaan BKPBI ....................................................................17

D. Prosedur Pelaksanaan BKPBI ...............................................................................18

E. Program Pelaksanaan BKPBI ............................................................................... 25

BAB III PENUTUP ..................................................................................................31

A. Kesimpulan ............................................................................................................31
B. Saran ......................................................................................................................31

Daftar Pustaka ............................................................................................................33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pembelajaran anak tunarungu, penggunaan media pembelajaran yang


memadai merupakan sesuatu yang harus diupayakan agar pembelajaran berjalan
secara efektif dan efisien. Demikian juga dalam pembelajaran Bina komunikasi
Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI). Untuk menstimulasi anak tunarungu dalam
mengembangkan kemampuan bicarannya, diperlukan berbagai media terutama
yang bersifat visual. Di samping itu diperlukan juga media-media untuk
memanipulasi organ bicara dalam membentuk berbagai fonem, maupun untuk
kelenturan oragan artikulasi itu sendiri. Demikian juga dalam pembelajaran bina
persepsi bunyi dan irama, diperlukan berbagai media terutama yang bersifat
auditif untuk memberikan stimulus bunyi-bunyian guna melatih kepekaan sisa
pendengarnnya bagi anak tuanrungu yang tergolong kurang dengar, serta melatih
perasaan vibrasinya bagi anak – anak yang tergolong tuli. Seorang guru harus bisa
memilih dan menggunakan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang
diajarkan/dilatihkan dan sesuai dengan kemampuan sensoris anak tunarungu
seperti tingkat kehilangan pendengarannya.

Pembelajaran Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI)


merupakan program kekhususan yang ditujukan untuk mengoptimalkan sisa
pendengaran dan kemampuan komunikasi verbal pada anak tunarungu.
Pembelajaran BKPBI ini memiliki karakteristik tersendiri sebagai konsekuensi
dari sifat materi, metode pembelajaran yang digunakan, alat pendukung yang
digunakan, dan karakteristik ketunarunguan sebagai subyek dalam pembelajaran
ini. Atas dasar inilah, melaksanakan pembelajaran BKPBI harus didasarkan pada
kompetensi guru secara profesional.

Dalam upaya menciptakan pembelajaran BKPBI secara profesional, maka


pola pembelajaran yang dilaksanakan harus didasarkan pada kaidah keilmuan dan

1
petunjuk praktis yang terstandar, serta best practis dari para praktisi yang
memiliki pengalaman di bidang BKPBI. Tuntutan pembelajaran BKPBI yang
harus dilaksanakan secara profesional tersebut, berimplikasi terhadap penguasaan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari guru-guru yang akan mengajarkan
BKPBI dimaksud.

Dalam Permendiknas No. 32 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan


Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, khususnya dalam lampiran program
kekhususan BKPBI, dinyatakan salah satu kompetensi guru SLB adalah
menguasai prinsip, teknik, dan prosedur pembelajaran BKPBI. Tuntutan
kompetensi yang tercantum dalam Permendiknas dimaksud, dijadikan sebagai
rujukan dalam membuat kurikulum diklat berbasis kompetensi yang dilaksanakan
di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Luar Biasa (PPPPTK TK dan PLB).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Sarana dan Prasarana BKPBI?
2. Bagaimana Prinsip Pelaksanaan BKPBI?
3. Bagaimana Rambu-Rambu Pelaksanaan BKPBI?
4. Bagaimana Prosedur Pelaksanaan BKPBI?
5. Bagaimana Program Pelaksanaan BKPBI?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami Sarana dan Prasarana BKPBI.
2. Memahami Prinsip Pelaksanaan BKPBI
3. Memahami Rambu-Rambu Pelaksanaan BKPBI
4. Memahami Prosedur Pelaksanaan BKPBI
5. Memahami Program Pelaksanaan BKPBI

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sarana dan Prasarana Bina Persepsi Bunyi dan Irama

Salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan


pengajaran BPBI ialah bahwa anak tunarungu harus secara terus-menerus
dimasukkan ke dalan dunia bunyi. Hal ini hanya mungkin apabila sisa
pendengaran anak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Jelaslah bahwa anak harus
memakai alat bantu dengar (ABD) sepanjang hari, baik di dalam maupun di luar
kelas. Dalam era teknologi canggih ini ABD juga telah dikemangkan semakin
canggih pula, sehingga anak yang tergolong tuli sekaipun dapat menikmati dunia
bunyi berkat ABD. Saat ini telah tersedia berbagai macam ABD, baik itu untuk
individual maupun ABD klasikal (ABD kelompok). Di samping penggunaan
ABD ruang-ruang belajar anak harus jauh dari keramaian atau kebisingan yang
dapat mengganggu efektifitas penggnaan ABD dan konsentrasi anak terhadap
penghayata bunyi.

Khusus untuk ruang BPBI harus diusahakan agar digunakan dinding


akustisuntuk mengusahakan adanya ruang kedap suara yang sangat membantu
anak untuk belajar menghayati bunyi. Demikian pula ruang-ruang latihan wicara,
sebaiknya juga kedap suara, karena di ruang inipun anak diatih untuk mengamati
bunyi-bunyi bahasa yang sangat halus secara auditoris.

Alat Bantu Dengar

ABD ialah sebuat alat elekronik yang fungsinya memperkeras bunyi. Oleh
karena itu anak tunarungu yang memakainya akan segera dapat menditeksi bunyi
atau suara.

Prinsip dasar ABD

Bagian bagian pokok ABD

1) Microphone

3
2) Sumber tenaga
3) Amplifier
4) Pengatur volume
5) Receiver

Secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut :

1) Microphone : menangkap bunyi dari luar dan


mengubahnya menjadi tenaga elektronik
2) Sumber tenaga listrik batu baterai
3) Amplifier memperkeras/memperkuat bunyi
4) Pengatur volume
5) Receiver : disini tenaga elektronik (telepon)
diubah lagi menjadi bunyi yang sudah
diperkeras.

Menurut jenisnya ada 4 macam ABD yaitu :

1. ABD standar untuk orang tua atau anak yang kurang dengar ringan
2. ABD medium power untuk anak yang kurang dengar sedang
3. ABD High power untuk anak yang tergolong kurang dengar berat
4. ABD super power untuk anak tergolong tuli

4
ABD saku (body ABD belakang ABD dalam telinga (in the ear
worm aid atau pocket telinga (bar level hearing aid
hearing aid atau Behid the ear
hearing aid

ABD dalam liang telinga (XP peritympanic ABD model saku bentuk baru
hearing AID

5
Batu baterai ABD Model belakang Batu baterai ABD model saku
telinga

Ruang BPBI
Ruang BPBI seharusnya dilengkapi dengan sistem looping, sekaligus
dengan empat buah kotak pengeras suara di setiap sudutnya. Di samping itu,
masih ada persyaratan lain yang harus diperhatikan, a.l.:

Ukuran ruangan : sekurang-kurangnya 2 X ruang kelas yang berukuran 6


X 7 meter, agar anak dapat bergerak secara bebas

 Lokasi ruangan : jauh dari jalan raya atau keramaian, supaya anak
tidak terganggu dalam berkonsentrasi terhadap bunyi.
 Dindingnya bila mun gkin dibuat dari bahan kedap suara supaya suara
tidak memantul atau bergema sehingga mengganggu efektifitas latihan.
 Bila mungkin di salah satu dinding balik terhadap gerakan yang dibuat
anak sendiri waktu mendengar bunyi.
 Dan yang terakhir, harus dipasang papan tulis di dinding yang lain,
untuk menuliskan tuga-tugas individual yang harus dilakukan anak

6
Ruang BPBI harus dilengkapi dengan peralatan yang dipakai sebagai
sumber bunyi, baik yang elektronik maupun yang non elektronik. Peralatan
elektronik yang dapat disediakan,
 Orgen elektronik
 Tape recorder dilengkapi dengan beberapa macam rekaman :
 Rekaman bunyi-bunyi binatang
 Beberapa macam lagu anak-anak
 Beberapa macam lagu berirama mars, wals,dangdut, disko
 Musik instrumentalia dari daerah dan dari barat

Peralatan non elektronik yang dapat disediakan, a.l.:


 Gamelan Jawa atau Sunda atau Bali atau dari daerah lain
 Drum besar dan drum kecil (tambur)
 Rebana, ketipung, kendang
 Bel besar, bel keci
 Melodika, harmonika, seruling, terompet
 Marakas, kastanyet
 Kentongan besar, kentongan kecil
 Benda-benda lain yang dapat memproduksi bunyi

Perlengkapan penunjang
 Berbagai macam permainan : bola, boneka, manik-naik, tali balok-
balok susun, dsb.
 Berbagai macam peralatan menari: selendang, simpai, bendera kecil,
kuda kepang, topeng, dsb.
 Berbagai pias-pias kartu bertuliskan ungkapan atau istilah yang selalu
dipergunakan dalam latihan.
 Gambar-gambar yang relevan untuk melaksanakan BPBI.

7
Ruang Bina Wicara
Ruang Bina Wicara sebagai ruang untuk melaksanakan latihan auditori
verbal secara individual, sebaiknya dilengkapi dengan :
 Speech trainer atau speech master, ada yang biasa, ada yang
menggunakan vibrator, atau speech recorder untuk merekam suara anak
sendiri, ada pula yang menggunakan layar monitor (speech Display
Unit)
 Lampu indikator untuk menyadarkan ada tidak adanya bunyi/suara anak
 Cermin untuk memperoleh umpan balik visual, yang berukuran kira-
kira 4 X 60 cm, sehingga wajah anak dan guru nampak secara utuh
berdampingan di dalamnya
 Gambar-gambar dan pias-pias (kartu identifikasi)
 Daftar istilah atau kata-kata BPBI yang akan selalu dipergunakan dalam
melaksanakan
Ukuran ruang bina wicara sekurang-kurangnya 2 X 2 m. menggunakan
dinding kedap suara. cukup terang dan sirkulai udara bagus, agar anak tidak
merasa tertekan di dalam ruang tersebut.

Ruang Kelas
Sekolah yang akan melaksanakan BPBI secara konsekuen, harus
memperlengkapi setiap ruang kelasnya dengan Alat Bantu Dengar kelompok
(Group hearing aid atau teaching unit). Untuk ruang kelas anak-anak kecil (kelas
persiapan dan kelas D1/D2) lebih cocok menggunakan Looping System) yaitu
sebuah amplifier untuk memperkeras suara guru (yang menggunakan
michrophone). kemudian suara diteruskan ke setiap ABD individual anak lewat
medan magnit yang dibuat dari lilitan kawat melingkar di sekeliling dinding kelas.

8
B. Prinsip Pelaksanaan BKPBI

Prinsip Umum Dalam Pembelajaran BKPBI

Prinsip umum dalam pembelajaran BKPBI dimaksudkan sebagai kerangka


pikir dan tindakan yang dapat dijadikan petunjuk umum bagi guru dalam
mengajarkan BKPBI. Prinsip-prinsip umum BKPBI ini dapat dipahami juga
sebagai kaidah umum yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengoptimalkan
keberhasilan program pembelajaran BKPBI bagi anak tunarungu. Bambang
Nugroho (2002: 16), mengemukakan ada 6 prinsip umum yang harus diperhatikan
oleh guru dalam membelajarkan BKPBI, yakni: (1) anak tunarungu harus secara
terus-menerus dimasukkan ke dalam dunia bunyi; (2) BKPBI hendaknya
diberikan sedini mungkin (sisa pendengaran perlu diberi rangsangan bunyi secara
terus-menerus dan teratur); (3) memperhatikan prinsip-prinsip umpan balik
(prinsip cibernetik) dalam dunia bunyi: irama, bunyi, gerak; (4) hendaknya
digunakan pendekatan multisensory; (5) BKPBI dilaksanakan secara sistematis,
teratur, berkesinambungan, terprogram baik materinya maupun jumlah waktu
yang dibutuhkan; dan (6) BKPBI merupakan bagian integral dari proses
pemerolehan bahasa anak tunarungu.

Untuk memberikan gambaran secara detail tentang ke-enam prinsip umum dalam
pembelajaran BKPBI sebagaimana dijelaskan di atas, berikut dipaparkan uraian
detail tentang ke-enam prinsip umum dimaksud.

1. Anak Tunarungu Harus Secara Terus Menerus Dimasukkan Ke


Dalam Dunia Bunyi.

Prinsip ini memberikan pesan kepada guru-guru yang mengajar anak


tunarungu, termasuk dalam membelajaran BKPBI, bahwa seberat apapun taraf
ketulian, tetap secara edukatif guru harus mengajarkan, memperkenalkan, dan
mengajak anak tunarungu tentang bunyi-bunyian. Prinsip ini memberikan
penekanan bahwa kehilangan pendengaran pada anak tunarungu, bukan berarti

9
mereka tertutup untuk belajar mengenali berbagai bunyi, bahkan semaksimal
mungkin guru harus terus memotivasi anak tunarungu untuk menyadari bahwa di
dunia ini ada yang namanya bunyi-bunyian.

Makna yang terkandung dari kata ―membawa anak tunarungu ke dalam


dunia bunyi‖ sangatlah fundamental dalam pembelajaran BKPBI. Hal tersebut
mengandung makna bahwa dalam membelajarkan BKPBI, guru tidak terbatas
pada upaya mengenalkan bunyi-bunyian, akan tetapi anak tunarungu harus
dibiasakan memiliki kesadaran, konsep, kepekaan—semaksimal mungkin dengan
sisa pendengaran—tentang bunyi-bunyian yang ada di sekitar anak tunarungu.
Misalnya ketika guru memukul meja, memindahkan meja dan kursi, memukul
lonceng, menium terompet, membunyikan gitar, katakan kepada anak tunarungu
bahwa benda dan tindakan itu mengandung unsur bunyi-bunyian.

2. BKPBI Hendaknya Diberikan Sedini Mungkin (Sisa Pendengaran


Perlu Diberi Rangsangan Bunyi Secara Terus–Menerus Dan Teratur).

Pembelajaran BKPBI akan memberikan hasil maksimal bagi optimalisasi


sisa pendengaran dan komunikasi verbal pada anak tunarungu, bila diberikan
sedini mungkin. Melatih sisa pendengaran dengan diberikan rangsakan bunyi
secara terus menerus dan teratur, akan membantu anak tunarungu untuk
menyadari bahwa di lingkungan sekitar ada yang namanya bunyi dan diharapkan
mereka merasakan adanya bunyi tersebut.

Hasil yang akan diperoleh anak tunarungu jika mereka dilatih sejak usia
dini akan mengantarkan mereka untuk terbiasa dengan bunyi-bunyian yang
ditangkapnya, meskipun itu dalam batas yang minimal. Hal yang positif bagi
perkembangan anak tunarungu apabila dalam diri mereka tertanam konsep bahwa
di dunia ini ada bunyi, dan mereka sampai dapat merasakan bunyi mulai dari
tahap deteksi, diskrimintasi, identifikasi, dan komprehensif.

10
3. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Umpan Balik (Prinsip Cibernetik)
Dalam Dunia Bunyi: Irama, Bunyi, Gerak.

Mengajarkan bunyi-bunyian pada anak tunarungu akan efektif apabila


guru membangun pola timbal balik antara bunyi yang dirasakan oleh anak
tunarungu. Pola timbal balik ini dalam tahap yang lebih tinggi akan mengantarkan
pada pemahaman dan kesadaran anak tunarungu untuk merasakan adanya irama,
bunyi, dan gerak. Misalnya ketika anak tunarungu merasakan adanya getaran
bunyi, maka guru tidak cukup mengatakan bagus, pintar, tetapi melalui
pengalaman bunyi yang dirasakan oleh anak tunarungu, guru mengembangkannya
ke dalam irama, dan gerak. Dengan pola umpan balik (cibernetik), penghayatan
anak tunarungu tentang bunyi-bunyi yang dirasakan akan terpadu dengan konsep
irama dan gerak. Anak tunarungu akan memahami bahwa bunyi itu ada gradasi
dan ada pola yang dapat dipadukan ke dalam gerak dan irama.

4. Hendaknya Digunakan Pendekatan Multisensory.

Mengajarkan BKPBI pada anak tunarungu akan efektif jika guru


memanfaatkan indera-indera lainnya secara terpadu dalam mengajarkan bunyi dan
komunikasi. Misalnya ketika guru mengajarkan anak tunarungu untuk mendeteksi
bunyi, maka sebaiknya guru tidak hanya memanfaatkan sisa indera pendengaran
saja, akan tetapi guru dapat menggunakan indera penglihatan, penciuman,
kinestetik. Dengan pola pendekatan multisensory ini, anak tunarungu akan
terbantu dalam mengenali bunyi-bunyian secara komprehensif.

5. BKPBI Dilaksanakan Secara Sistematis, Teratur, Berkesinambungan,


Terprogram Baik Materinya Maupun Jumlah Waktu Yang
Dibutuhkan.

Melaksanakan pembelajaran BKPBI harus ditata secara sistematis, teratur,


berkesinambungan, dan terprogram. Hal ini mengingat bahwa membelajarkan
bunyi dan persepsi pada anak tunarungu tidak dapat dilaksanakan secara acak.
Mengajarkan BKPBI pada anak tunarungu harus dimulai dari deteksi bunyi,

11
diskriminasi bunyi, identifikasi bunyi, sampai pada komprehensif bunyi. Begitu
juga dalam hal jumlah waktu yang digunakan dalam pembelajaran BKPBI harus
disesuaikan dengan sifat dan kedalaman materi yang akan disampaikan. Semakin
komplek materi yang disampaikan, maka semakin banyak waktu yang digunakan
dalam pembelajaran.

6. BKPBI merupakan bagian integral dari proses pemerolehan bahasa


anak tunarungu.

Membelajarkan BKPBI pada akhirnya tidak hanya sebatas mengenalkan


bunyi dan persepsi saja, akan tetapi pembelajaran BKPBI yang dilaksanakan
secara terus menerus dan terpadu, merupakan proses pemerolehan bahasa pada
anak tunarungu. Dalam konteks ini, harus dipahami oleh para guru bahwa
pemerolehan bahasa pada anak tunarungu memiliki keunikan dibandingkan
dengan siswa reguler lainnya. Pemerolehan bahasa pada anak tunarungu
terhambat secara signifikan, karena saluran untuk memperoleh berbagai
informasi, simbol melalui pendengaran terhambat. Oleh karena itu mengajarkan
BKPBI harus terpadu dengan proses pengembangan bahasa pada anak tunarungu.

Prinsip Khusus Dalam Pembelajaran BKPBI Meliputi Pandangan-


Pandangan Sebagai Berikut:

1. Prinsip Cibernetik dalam Pembelajaran BKPBI

Prinsip cibernetik menekankan bahwa dalam pembelajaran BKPBI, guru


harus mengembangkan komunikasi secara aktif dengan anak tunarungu dalam
memadukan bunyi yang dipersepsinya menjadi sebuah konsep yang dapat
dikembangkan. Pengembangan konsep bunyi pada anak tunarungu melalui umpan
balik, guru dapat memadukan antara bunyi ke dalam gerak dan irama. Misalnya,
setelah anak tunarungu mampu mendeteksi bunyi, guru terus memberikan
pertanyaan kepada anak, bahwa bunyi-bunyi yang dideteksinya tersebut dapat
didiskriminasikan, terus dapat diidentifikasi. Begitu juga setelah anak tunarungu
mampu mengidentifikasikan bunyi, guru dapat mengembangkan kemampuan anak

12
untuk memadukan dengan gerakan dan irama, sehingga pada akhirnya anak
tunaurungu dapat menikmati gerakan dan irama melalui bunyi-bunyi yang
dipersepsikannya.

Dalam mengembangkan umpan balik dengan anak tunarungu tentang


bunyi yang dipersepsikannya, guru harus melaksanakan pola komunikasi dengan
melibatkan pengalaman anak secara langsung. Misalnya ketika guru
menginformasikan bahwa bunyi itu ada yang keras, sedang, dan lemah, maka guru
harus melibatkan pengalaman anak secara langsung dalam mengidentifikasi
ragam bunyi dimaksud. Apabila hanya guru saja yang mengalami tentang
identifikasi bunyi dan guru hanya menyampaikan secara verbal saja, tanpa anak
mengalami langsung dalam mengidentifikasi bunyi, maka hal tersebut menjadi
kurang efektif.

Ketika guru berhasil mengembangkan dialog secara melebar dari bunyi


kedalam gerak dan irama, maka secara alamiah pembelajaran BKPBI akan
mendorong perkembangan bahasa pada anak tunarungu. Pengembangan bahasa
pada anak tunarungu menjadi hal yang sangat urgen atau penting, sebab dengan
bahasa yang dimiliki, anak tunarungu dapat mengembangkan konsep secara luas
tentang lingkungan sekitarnya. Ludwig yang dikutip Bambang Nugroho (2010: 8)
mengatakan bahwa ―batas bahasaku adalah batas duniaku‖. Pernyataan ini
meskipun singkat, tetapi cukup memberikan kerangka pikir pada guru yang
menegaskan bahwa pengembangan bahasa pada anak tunarungu menjadi hal
sangat penting.

Melalui layanan BKPBI, diharapkan penyandang tunarungu dapat


mendeteksi
bunyi, mengidentifikasi bunyi, mendiskriminasikan bunyi, dan pada akhirnya
memahami bunyi, baik bunyi alat-alat musik, bunyi latar belakang, dan sifat-sifat
bunyi maupun bunyi-bunyi bahasa. Oleh karena itu materi-materi BKPBI non
bahasa selayaknya dikaitkan dengan unsur-unsur pembentukan bahasa, khususnya

13
pada aspek fonem dan konsonan (segmental) dan irama, tempo, cepat-lambat,
jeda, dan intonasi (suprasegmental).

Materi Bina Komunikasi Persepsi dan Irama dikembangkan sesuai dengan


daya dengar anak tunarungu walaupun anak tidak menggunakan ABM. Latihan
harustetap diberikan bagi anak yang tergolong tunarungu sangat berat. Materi
BKPBI tersebut mencakup: (1) bunyi latar belakang, dan (2) berbagai macam
sifat bunyi di sekitar kita baik bunyi hewan, alam, maupun bunyi yang diciptakan
manusia.

Materi dalam BKPBI sebaiknya sesuai dengan metode yang sesuai.


Dengan cara ini, guru dapat mengamati kemudian menilai reaksi anak.
Pelaksanaan BKPBI tidak boleh terlepas dari pembelajaran wicara. Oleh karena
itu pemilihan metodenya pun sebaiknya dikaitkan dengan metode yang digunakan
di dalam pembelajaran wicara. Metode yang sangat sesuai adalah metode
pemberian tugas dan demonstrasi. Dengan menerapkan metode ini diharapkan
anak memperoleh pengalaman dan penghayatan lewat suatu proses penemuan
sendiri.

2. Prinsip Kontras dalam Pembelajaran BKPBI

Prinsip kontras dalam pembelajaran BKPBI mengandung makna bahwa


dalam melatih bunyi-bunyian pada anak tunarungu, berdasarkan sifat dari bunyi
yang dipersespsikan. Dalam hal ini, guru harus melatih anak tunarungu untuk
memperkenalkan bunyi-bunyian secara kontras, seperti bunyi yang keras dengan
bunyi yang lemah, bunyi dengan nada yang tinggi dengan bunyi nada yang
rendah. Dalam konteks ini, ketika mengajarkan BKPBI, guru harus mampu
memberikan berbagai jenis bunyi-bunyian secara variasi dan kontras, misalnya
guru mengajak anak tunarungu untuk mendeteksi bunyi meja yang dipukul
dengan suara pesawat terbang, suara piano dalam nada yang tinggi dengan nada
yang rendah. Prinsip ini membimbing anak tunarungu untuk memiliki persepsi
tentang bunyi-bunyian dengan berbagai tingkatannya.

14
3. Prinsip Individualitas dalam Pembelajaran BKPBI

Prinsip individualitas dalam pembelajaran BKPBI mengandung makna


bahwa ketika melaksanakan pembelajaran BKPBI, guru harus mempertimbangkan
dan mengakomodir keunikan individu setiap anak tunarungu. Perbedaan derajat
kemampuan pendengaran, jenis ketunarunguan, dan peristiwa terjadinya
ketunarunguan harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan
struktur materi, metode, pendekatan, dan penggunaan alat bantu yang digunakan
dalam pembelajaran.

4. Prinsip Keterpaduan dalam Pembelajaran BKPBI

Layanan BKPBI adalah layanan khusus yang merupakan suatu kesatuan


antara pembinaan komunikasi dan optimalisasi sisa pendengaran untuk
mempersepsi bunyi dan irama. Layanan tersebut dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan interaksi dan komunikasi anak yang mengalami
hambatan sensori pendengaran dengan lingkungan orang mendengar. Layanan
tersebut dapat diberikan secara terpisah maupun secara terpadu.

Dalam pandangan lainya, dikemukakan oleh Hermanto (2010: 16-17),


yang membagi prinsip-prisip pembelajaran BKPBI dikelompokan ke dalam
prinsip tradisional dan prinsip modern.

Prinsip-prinsip tradisional dalam pembelajaran BKPBI meliputi


pandangan-pandangan sebagai berikut:

1. Semua anak tunarungu (bila tdk ada kelainan tambahan), dapat


menghayati bunyi melalui sisa pendengaran maupun bagian tubuh
lainnya, maka BPBI justru diperuntukan bagi ATR yang tergolong
tuli lebih 90 dB

2. Agar menjadi sadar bunyi, maka perlu dilibatkan serta dibina


kemampuan vibrasi atau getaran dlm tubuh mereka terutama pada

15
tahap awal latihan, getaran ini akan menggugah kesadaran anak akan
bunyi atau suara.

3. Agar BPBI lebih berhasil maka perlu diupayakan agar ATR


mempunyai hubungan dengan bunyi maka perlu pengunaan ABD
yang berfungsi secara kontinu.

4. Latihan BPBI harus mengupayakan terjadinya satu kesatuan yang


utuh antara kemampuan anak tuli untuk menangkap gelombang
bunyi/suara lewat vibrasi dan sisa pendengaran. Jadi ATR tidak
dituntut ―mendengar‖ melainkan mempersepsikan bunyi.

5. Dasar pelaksanaan BPBI adalah umpan balik atau sibernetik

6. Penyadaran terhadap bunyi harus dilakukan sedini mungkin.

7. Latihan penyadaran bunyi perlu dilakukan secara bermakna.

8. Setelah ATR sadar bunyi/mampu mendeteksi maka dapat dimulai


latihan diskriminasi/membedakan antar sumber bunyi & sifat bunyi.

9. Latihan hrs dilakukan secara sistematis, teratur dan


berkesinambungan.

10. Bagi yg berat maka diperlukan pendekatan multisensoris.

Sedangkan prinsip-prinsip modern dalam pembelajaran BKPBI meliputi


pandangan-pandangan sebagai berikut:

1. BKPBI atau latihan mendengar dapat dipandang sebagai satu seri


latihan yang terstruktur yang ditata dari yang sederhana sampai yang
kompleks meliputi deteksi, diskriminasi, pengenalan dan pemahaman
wicara. Khusus anak tunarungu berat, latihan keterampilan deteksi
bunyi terlebih dahulu sebelum latihan diskriminasi, pengenalan dan
pemahaman.

2. Latihan mendengar perlu dikaitkan secara erat dengan perkembangan


kognitif, bahasa, dan motorik anak.

16
3. Latihan pendengaran perlu mempertimbangan kebutuhan perorangan
setiap anak (kognitif, bahasa, atau tingkat ketunarunguan). Untuk itu
silabinya juga harus mengarah pada individual.

4. Latihan mendengar perlu dibedakan dari pengalaman mendengar.


(sedang dan berat)

5. Latihan mendengar bisa mencakup deteksi, diskriminasi, pengenalan,


pemahaman dan menikmati bunyi non bahasa.

6. Perlu didukung kondisi akustik yang optimal, yaitu penggunaan Alat


Bantu Dengar (ABD) yang kuat dan sesuai.

7. Anak Tunarungu berat terutama yang memiliki sisa pendengaran yang


rentang frekuensinya terbatas tidak seslalu akan mampu menyimak
bahasa lisan melalui pengalaman dan latihan mendengar.

8. Sejalan dengan pendapat Van Uden dianjurkan latihan sejak dini.

9. Agar keterampilan menyimak berkembang maka guru, orang tua


menyediakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya pengalaman
dan latihan mendengar.

10. Senada Van Uden, Hyde menganjurkan latihan mendengar dilakukan


bersamaam dengan latihan wicara dalam satu pelajaran.

C. Rambu- Rambu Pelaksanaan BKPBI

1. Pelaksanaan bahan ajar BKPBI Bahasa dilaksanakan sesuai dengan


situasi kondisi di lapangan (sarana, siswa, dan tenaga guru ). Guru
diberi wewenang untuk menentukan kompetensi mana yang sesuai
dengan kondisi anak.
2. Materi pokok bahan ajar ini telah diurutkan sesuai dengan prinsip
dasar BKPBI Bahasa, dimulai dengan mendeteksi ada tidak adanya
bunyi, mendiskriminasi, mengidentifikasi, dan mengkomprehensikan
bunyi makna bahasa.

17
3. Ada sebagian materi yang disajikan dalam bahan ajar ini belum
tercantum dalam Standar Kompetensi, untuk itu kami
menambahkannya.
4. Model bahan ajar ini dapat dipakai secara fleksibel kapanpun dan usia
berapapun siswa mulai diterima di sekolah, tidak tergantung pada
urutan jenjang satuan pendidikan dan umur anak.
5. Inisiatif dan kreativitas guru sangat diharapkan agar pembelajaran
BKPBI Bahasa menarik, menantang , berakhir menyenangkan bagi
siswa, dan hasilnya memuaskan.
6. Agar tujuan tercapai hendaknya latihan dilaksanakan secara
tersruktur, terprogram, dan berkesinambungan, dengan
memperhatikan ketunarunguan, kecerdasan, kondisi alat bantu
mendengar (ABM), dan motorik anak.
7. Keterampilan guru akan terlatih dengan melaksanakan BKPBI
Bahasa.
8. BKPBI Bahasa merebak di semua mata pelajaran bahkan berlangsung
sepanjang hari, tidak tergantung pada jam pelajaran BKPBI saja.
9. Agar tujuan tercapai perlu dilaksanakan penilaian secara obyektif dan
kualitatif sesuai dengan kompetensi, kecerdasan, sisa pendengaran
anak, penggunaan ABM, metode, pendekatan pemilihan materi,
bahasa yang bermakna, dan peralatan yang menunjang.
10. Pembelajaran BKPBI ini berakhir dengan menyenangkan.

D. Prosedur Pelaksanaan BKPBI

Hambatan sensori pendengaran tidak hanya berdampak pada


kurangnya/tidak berkembangnya kemampuan bicara, namun dampak yang paling
besar adalah terbatasnya kemampuan berbahasa (Van Uden, 1977). Sejalan
dengan hal tersebut , Leigh (1994) dalam Bunawan,L. (2004) mengemukakan
bahwa masalah utama anak dengan hambatan sensori pendengaran bukan terletak

18
pada tidak dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan melainkan akibat hal
tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasa secara keseluruhan.

Masalah utama anak tunarungu adalah tidak atau kurang mampu


memahami lambang dan aturan bahasa. Secara lebih spesifik, mereka tidak
mengenal atau mengerti lambang/kode atau nama benda-benda, peristiwa
kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami aturan/sistem/tata bahasa. Keadaan
ini terutama dialami anak yang mengalami ketulian sejak lahir atau usia dini (tuli
pra bahasa).

Terhambatnya perkembangan bicara dan bahasa, menyebabkan anak


dengan gangguan pendengaran mengalami hambatan dalam berkomunikasi secara
verbal, baik secara ekspresif (bicara) maupun reseptif (memahami pembicaraan
orang lain). Keadaan tersebut menyebabkan anak dengan gangguan pendengaran
mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar
yang lazim menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi.

Terhambatnya kemampuan berkomunikasi yang dialami anak tunarungu,


berimplikasi pada kebutuhan khusus mereka untuk mengembangkan
komunikasinya yang merupakan dasar untuk mengembangkan potensi lainnya.
Pada dasarnya setiap anak tunarungu dapat dikembangkan kemampuannya
melalui berbagai layanan khusus dan fasilitas khusus yang sesuai dengan
kebutuhannya. Layanan khusus tersebut antara lain adalah layanan bina
komunikasi, persepsi bunyi, dan irama. Di samping itu, untuk mengoptimalkan
sisa pendengaran yang masih ada, mereka membutuhkan fasilitas khusus, yaitu
sistem amplifikasi pendengaran.

Dalam upaya mengembangkan kemampuan berbicara dan berbahasa pada


anak tunarungu, dilakukan melalui pembelajaran BKPBI. Implementasi
pembelajaran BKPBI tersebut, harus dilaksanakan secara prosedural. Dalam hal
ini, maka mengajarkan BKPBI, harus mengikuti prosedur pembelajaran yang
dilaksanakan dalam 4 tahapan sebagai berikut: (1) deteksi bunyi musik/irama; (2)

19
diskriminasi bunyi musik/irama; (3) identifikasi bunyi musik/irama; dan (4)
komprehensi bunyi musik/irama.

1. Deteksi Bunyi Musik/Irama

Tujuan dari deteksi bunyi, yaitu anak menyadari adanya bunyi-bunyian


latar belakang, bunyi suara manusia, dan bunyi suara binatang secara terprogram.
Program ini merupakan program pertama yang perlu dilatihkan pada anak dengan
hambatan sensori pendengaran. Program ini merupakan latihan untuk memberi
respon yang berbeda terhadap ada/tidak adanya bunyi, atau kesadaran akan bunyi
yang menyangkut daya kepekaan (sensitivitas) atau kesadaran terhadap bunyi.
Bunyi yang dilatihkan meliputi bunyi latar belakang, bunyi alat musik dan bunyi
bahasa.

Berikut disajikan kegiatan pembelajaran untuk melatih deteksi bunyi/irama


pada anak tunarungu.

1. Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi serta melakukan


pengecekan ABM (bila menggunakan) kemudian dilanjutkan dengan
percakapan, dimana hasil percakapan itu digunakan sebagai titik tolak
respon untuk materi yang akan dilaksanakan pada saat itu.
2. Siswa memperhatikan dan mendengarkan bunyi yang diperdengarkan guru
dengan memanfaatkan semua inderanya (penglihatan, vibrasi,
pendengaran) secara klasikal maupun kelompok, kemudian siswa mereaksi
ada atau tidak ada bunyi yang diperdengarkan guru dengan memberikan
respon berupa: gerakan, membunyikan, mengucapkan kata, menuliskan
kata, atau bermain peran. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mereaksi bunyi
menggunakan indera pendengaran saja.
3. Guru melakukan pengamatan dari reaksi yang dilakukan siswa.

20
2. Diskriminasi Bunyi Musik/Irama

Tujuan dari diskriminasi bunyi yaitu anak dapat membedakan dua macam
sumber bunyi atau lebih yang berbeda timbrenya secara terprogram. Program ini
mencakup latihan untuk membedakan bunyi, baik itu bunyi alat musik maupun
bunyi bahasa. Oleh karena itu, dalam prosedur pembelajaran diskriminasi bunyi
musik/irama, guru dapat menggunakan prinsip kontras, misalnya melatih anak
tunarungu untuk mendengarkan bunyi dengan nada yang tinggi dengan nada yang
rendah. Latihan membedakan bunyi mencakup:

1. Membedakan dua macam sumber bunyi


2. Membedakan dua sifat bunyi (panjang-pendek, tinggi- rendah,
keras – lemah, serta cepat – lambatnya bunyi).
3. Membedakan macam-macam birama (2/4,3/4, atau 4/4).
4. Membedakan bunyi –bunyi yang dapat dihitung
5. Membedakan macam-macam irama musik.
6. Membedakan suara manusia, dan sebagainya.

Dalam latihan diskriminasi bunyi tersebut, perlu menerapkan prinsip


kekontrasan, yang artinya melatih anak untuk membedakan bunyi yang memiliki
perbedaan yang besar menuju perbedaan yang semakin kecil.

Berikut disajikan kegiatan pembelajaran BKPBI untuk melatih anak


tunarungu dalam mendiskriminasi bunyi-bunyian.

1. Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi serta melakukan


pengecekan ABM (bila menggunakan) kemudian dilanjutkan dengan
percakapan, sebagai titik tolak respon untuk materi yang akan
dilaksanakan pada saat itu.
2. Siswa memperhatikan dan mendengarkan bunyi yang diperdengarkan guru
dengan memanfaatkan semua inderanya (penglihatan, vibrasi,
pendengaran) secara klasikal maupun kelompok, kemudian siswa
membedakan bunyi gong dan tambur yang diperdengarkan guru dengan

21
memberikan respon berupa: gerakan , membunyikan, mengucapkan kata,
menuliskan kata, atau bermain peran. Kegiatan ini dilanjutkan dengan
mereaksi bunyi menggunakan indera pendengaran saja.
3. Guru melakukan pengamatan dari reaksi yang dilakukan siswa.

3. Identifikasi Bunyi Musik/Irama

Tujuan dari identifikasi bunyi yaitu anak dapat menyebutkan ciri–ciri dari
bunyi-bunyi tertentu dan mampu mengenali bunyi-bunyi yang diperdengarkan
baik melalui alat musik atau melalui suara manusia secara terprogram. Bunyi-
bunyi yang diidentifikasi antara lain:

1. Bunyi alam seperti: hujan, gemercik air, halilintar, dan sebagainya.


2. Bunyi Binatang, seperti: burung berkicau, anjing menjalak, ayam
berkokok, dan sebagainya.
3. Bunyi yang dihasilkan oleh peralatan, seperti: bunyi bedug, lonceng, bel,
bunyi kendaran, klakson, dan sebagainya.
4. Bunyi alat musik, seperti: gong, tambur, suling, terompet,
piano/harmonika, rebana, dan sebagainya.
5. Bunyi yang dibuat oleh manusia, seperti : tertawa, terikan, batuk, serta
bunyi bahasa (suku kata, kelompok kata atau kalimat).

Untuk membantu anak tunarungu mengenal bunyi, ada beberapa hal yang
harus dilakukan, yaitu:

1. Anak perlu diberi berbagai kesempatan untuk menemukan


hubungan/asosiasi antara penghayatan bunyi melalui pendengaran dengan
penghayatan melalui modalitas/ indera lain yang sebelumnya telah
membentuk persepsinya terhadap berbagai rangsangan luar, yaitu
modalitas motorik, perabaan, dan penglihatan.
2. Dalam berinteraksi dengan anak, setiap kali terjadi suatu bunyi yang
mendadak, mengarahkan perhatian anak terhadap bunyi tersebut.
Tanyakan pada anak bunyi apa yang ia dengar. Apabila anak tersebut

22
belum bisa menjawabnya, berikan jawabannya dan tunjukan dari mana
bunyi tersebut berasal.

Berikut disajikan contoh kegiatan pembelajaran BKPBI dalam melatih


mengidentifikasi bunyi-bunyian, pada anak tunarungu.

1. Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi serta melakukan


pengecekan ABM (bila menggunakan) kemudian dilanjutkan dengan
percakapan sebagai titik tolak respon untuk materi yang akan dilaksanakan
pada saat itu.
2. Siswa memperhatikan dan mendengarkan bunyi yang diperdengarkan guru
dengan memanfaatkan sisa pendengarannya secara klasikal maupun
individual, yang diperdengarkan guru dengan memberikan respon berupa:
menyebutkan ciri-ciri, menyebut nama alat musik, membunyikan,
menuliskan nama alat musik, atau bermain peran. Kegiatan ini dilanjutkan
dengan mereaksi bunyi menggunakan indera pendengaran saja.
3. Guru melakukan pengamatan dari reaksi yang dilakukan siswa.

4. Komprehensi (Pemahaman) Bunyi Musik/Irama

Tujuan dari komprehensi bunyi yaitu anak dapat memahami dan


melakukan perintah sesuai bunyi yang diperdengarkan. Latihan memahami bunyi
bahasa merupakan latihan untuk menangkap arti atau makna dari bunyi yang
diamati berdasarkan pengalaman dan memberi respon yang menunjukkan
pemahaman. Untuk menuju ke tahap pemahaman ini, dianjurkan hanya jika anak
pada tahap identifikasi telah dapat mengidentifikasi lebih dari 50%
materi/stimulus yang disajikan dalam tes identifikasi.

Materi latihan pemahaman diambil dari perbendaharaan bahasa yang telah


dimiliki oleh anak dan disajikan dalam bentuk: pertanyaan yang harus dijawab
anak; perintah yang harus dilaksanakan; serta tugas yang bersifat kognitif
(menyebutkan lawan kata, menjawab ya/tidak atau betul/salah terhadap
pertanyaan/pernyataan yang diberikan).

23
Berikut disajikan kegiatan dalam pembelajaran BKPBI pada tahap komprehensi
bunyi-bunyian pada anak tunarungu.

1. Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi serta melakukan


pengecekan ABM (Bila menggunakan) kemudian dilanjutkan dengan
percakapan sebagai titik tolak respon untuk materi yang akan dilatihkan
pada saat itu.

2. Siswa memperhatikan dan mendengarkan bunyi yang diperdengarkan guru


dengan memanfaatkan sisa pendengarannya secara klasikal maupun
kelompok, kemudian siswa memahami bunyi lonceng dan petir yang
diperdengarkan guru dengan memberikan respon berupa: menyebutkan
nama bunyi, mengucapkan kalimat, dan bermain peran.

3. Guru melakukan pengamatan dari reaksi yang dilakukan siswa.

Dalam latihan komprehensi, guru dapat mengembangkan kegiatan secara


variasi dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman perintah yang terkait
dengan simbol bunyi. Berikut disajikan kegiatan lainnya dalam latihan
komprehensi dalam pembelajaran BKPBI pada anak tunarungu.

1. Guru menempatkan siswa sesuai dengan kondisi dan melakukan


pengecekan ABM kemudian dilanjutkan percakapan sederhana untuk
mendapatkan materi yang akan dilatihkan.

2. Guru menyajikan pertanyaan atau perintah dengan menggunakan satu


indera pendengaran menggunakan kata ganti tanya apa, siapa, berapa,
dimana, mengapa, bagaimana, dan beberapa perintah spontan yang
dilakukan siswa sehari-hari, contoh: Apa warna bajumu?

 Siswa menjawab pertanyaan secara spontan.

 Siswa melakukan perintah guru secara spontan.

 Guru mengamati respon siswa dan menuliskan di lembar pengamatan.

3. Diakhir kegiatan guru membuat catatan hasil latihan

24
E. Program Pelaksanaan BKPBI Meliputi:

1. Program diteksi/kesadaran suara/bunyi


Seperti dikatakan sebelumnya, kesadaran ada/tidak ada suara/bunyi
merupakan langkah pertama yang perlu dilatihkan. Kesadaran ini harus
dikembangkan melalui pengalaman dan eksperimen, mula-mula secara
terpimpin, namun lambat laun anak sendiri diharapkan peka terhadap
bunyi sekitar Dan ini berlaku untuk seluruh lingkup materi BPBI yaitu
bunyi sebagai tanda/signal, musik dan bunyi bahasa/ wicara.
Dalam hal ini tidak dibedakan antara menghayati bunyi dan vibrasi
(A. Boskosumnitro, 1987: 11). Dalam bagian pelaksanaan akan diberikan
berbagai contoh bagaimana kesadaran akan bunyi ini bisa ditumbuhkan
pada anak yang kecil yang baru pakai ABD yang belum dapat
menafsirkannya dan karenanya cenderung untuk menolak pakai ABD atau
bersikap tidak menghiraukan bunyi.
Pada program BKPBI atau latihan mendengar yang mutakhir,
latihan diteksi diberikan guna mengecek apakah ABD berfungsi/tidak,
apakah kekerasan (penyetelan volume ABD) sudah memadai/tidak, guna
menarik perhatian anak sebelum menyajikan tugas mendengar yang lebih
kompleks dan untuk mengetahui bunyi bahasa yang mana yang dapat
ditangkap. Suatu prosedur yang menggunakan materi bunyi bahasa guna
mengecek bunyi bahasa mana yang dapat ditangkap anak dapat dibaca
pada bagian yang menguraikan mengenai asesmen/penilaian yaitu Tes
deteksi Ponim dari N. Erber dan Tes Lima Bunyi (Bahasa) dari D.Ling.
Materi wicara lainnya yang bisa dilatihkan untuk diteksi adalah berupa
kata-kata misalnya nama anak, nama hari, nama bulan dan sebagainya dan
berupa kata-kata yang diambil dari pelajaran bahasa yang telah dikuasai
anak. Anak bisa diminta memberi respon dengan menjawab "ya" (bila
mendengar bunyi) atau "tidak" (bila tidak mendengarnya) atau
mengangkat tangan ataupun menunjuk pada telinga dsb. Menurut Marie
Fram, untuk BPBI yang mutakhir ini jarang terjadi bahwa guru harus

25
menyediakan waktu yang terlalu lama untuk latihan diteksi ini. Latihan
diteksi ini masih dianjurkan bila misalnya anak mengalami kesuaran untuk
menditeksi bunyi bahasa tertentu misalnya bunyi bahasa (konsonan) yang
sengau (1985 : 50).

2. Program/Latihan Membedakan Antara Berbagai Bunyi


Dalam melakukan latihan membedakan atau mendeteksi
persamaan /perbedaan antara berbagai sumber bunyi, pendidik perlu
bersikap waspada, karena ada kemungkinan bahwa anak bisa memberi
respon yang benar dengan alasan yang salah. Misalnya bila anak harus
membedakan antara bunyi drum dan bel, karena bunyi yang pertama pada
dasarnya lebih keras daripada bunyi kedua, maka mungkin saja anak akan
berpatokan pada kerasnya bunyi tersebut dalam arti bahwa bila dia bisa
mendeteksi bunyi maka itu berasal dari drum, sedangkan bila tak
mendengar suatu bunyi maka itu bel. Disini letak perbedaan daya
diskriminasi dengan pengenalan. Pada proses yang terakhir ini anak perlu
mengabstrahir ciri ciri yang menetap dari bunyi agar dapat mengenalnya,
sedangkan kekerasan bunyi bisa saja berubah-ubah tergantung dari jarak
anak terhadap sumber bunyi. Juga ada kemungkinan anak hanya menerka
jawabannya karena bila dia hanya harus memilih antara dua sumber maka
terdapat 50% kemungkinan bahwa dia akan memilih secara benar setiap
kalinya. Maka latihan seperti ini perlu di ulang berkali kali, paling tidak
bila sampai lima kali anak memberi respon yang benar, baru pendidik bisa
yakin bahwa anak sungguh dapat membedakannya.

3. Latihan Mengenal Bunyi


USIC Daya mengenal merupakan inti dari suatu program
pengamatan bunyi bagi anak tunarungu. Berdasarkan pengalaman yang
telah banyak dan bervariasi dengan dunia bunyi anak perlu mengabstrahir
pola-pola atau ciri bunyi yang konsisten (A. Boothroyd, 1982 102). Untuk

26
membantu anak agar bisa mengembangkan kecakapan mengenal bunyi,
beberapa hal bisa dilakukan :
Pertama, anak perlu diberi berbagai kesempatan guna meletakkan
dan menemukan hubungan/asosiasi antara penghayatan bunyi dengan
penghayatan lewat modalitas/indera lain yang sebelumnya telah
membentuk persepsinya terhadap berbagai rangsangan luar yaitu modalitas
motorik, perabaan dan penglihatan. Agar hubungan ini lebih mudah terjadi
maka penting untuk memberi latihan mendengar aktif dimana anak
mengamati bunyi yang dihasilkannya sendiri. Kegiatan seperti memukul-
mukul sendok pada piring, menggoyang-goyangkan kerincingan, meniup
suling dan sebagainya, mencakup gerak (motorik), perabaan, penglihatan
dan mendengar secara serempak. Memang sewaktu anak berbicara dalam
mengamati suaranya sendiri, unsar penglihatan tak begitu berperan
(kecuali bila berada di depan cermin), namun anak tetap bisa
menghubungkan kegiatan gerak, perabaan dan mendengar. Pembinaan
atau latihan seperti ini tentu perlu dilakukan berkali kali dan bervariasi
agar asosiasinya bisa terjadi.
Kedua, selama mengadakan interaksi dengan anak, setiap kali bila
terjadi suatu bunyi yang mendadak, arahkan perhatian anak terhadap bunyi
tersebut. Tanyakan "bunyi apa yang kau dengar ?" dan kemudian bila anak
belum bisa menjawabnya, berikan jawabannya dan tunjukkan dari mana
bunyi tersebut berasal. Secara lebih V formal, guru bisa mengumpulkan
berbagai benda yang menghasilkan bunyi yang kemudian disembunyikan
(masukkan ke dalam suatu kantong atau di belakang UGG anak). Setiap
kali guru membunyikan salah satu benda dan anak diminta menerka Er
benda apa yang dibunyikan. Bila anak belum mengetahuinya, perlihatkan
bendanya.
Ketiga: Cara lain yang bisa ditempuh agar anak bisa memutuskan
sendiri bunyi apa yang didengarnya adalah guna memanfaatkan setiap
kesempatan untuk menggunakan bunyi sebagai sumber informasi bagi
anak akan terjadinya sesuatu atau untuk mengenal suatu benda.

27
Misalnya: Arahkan perhatian anak pada bunyi bel sekolah sebagai
pertanda bahwa anak akan istirahat/pulang, sebelum masuk kelas, ucapkan
"selamat pagi" dengan keras agar anak tahu akan kehadiran guru sebelum
melihatnya berada dalam kelas dan sebagainya. Dengan mengikuti
pembinaan seperti diuraikan diatas pada tahap awal, diharapkan anak
akhirnya bisa mengenal apa yang didengarnya dengan menyebutkan
"nama" hal yang dia dengar atau mengulang bunyi bahasa/kata kelompok
kata/kalimat yang didengarnya atau menunjuk pada benda gambar,
kata/kalimat yang didengarnya.

1. Guru mengucapkan bunyi Anak mengulang rangsangan tsb.


bahasa kelompok kata/kalimat atau tertentu menunjuk pada
tulisannya di papan/kartu
kartu/pias.
2.- Mana gambar ........ mobil/ Anak menunjuk/mengambil
kapal terbang/boneka dst gambar/benda .dari, kumpulan
Ambil ………….. bola/tas/ beberapa gambar/benda
kapur/pensil/dst.
3. Guru memberikan bacaan Anak mencari kata yang
kemudian secara acak diucaapkan
mengucapkan suatu kata dari
bacaan tersebut

4. Latihan Memahami Bunyi


Latihan pada tahap ini seperti dikatakan sebelumnya melibatkan
pemahaman akan makna yang didengar artinya, anak dituntut untuk bisa
membentuk hubungan yang kompleks antara bunyi dan kejadian/benda-
benda atau antara berbagai bunyi itu sendiri (M. Fram, 1985; 59).
Selanjutnya tokoh ini juga mengemukakan bahwa sebaiknya digunakan
matèri bahasa berupa kelompok kata/kalimat karena akan lebih membawa
manfaat dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak.

28
Dalam memberi latihan memahami bunyi bisa dituntut respon anak
berupa "menamakan" bunyi yang didengar, mengikuti suatu
perintah/melakukan tugas, menjawab pertanyaan,, menjawab sesuai
perintah/misalnya memberi lawan kata/ persamaan kata atas rangsangan
berupa kata, menjawab ya/tidak atau betul/salah (bila rangsangannya
berupa pertanyaan/pernyataan). Selanjutnya.

5. Latihan Ikhtisar Tubuh


Latihan ini penting dalam rangka menerapkan prinsip Sibernetik
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu bahwa setiap gerak
menghasilkan bunyi yang diamati dan kemudian mengontrol/mengemudi
gerak selanjutnya. Maka latihan ikhtisar tubuh ini bertujuan untuk
membina agar anak dapat mengenal bagian bagian tubuhnya (kiri, kanan,
atas, bawah, depan, belakang, anggota tubuh besar dan kecil) serta dapat
menguasai motoriknya (A. Van Uden, 1971: 4). Nama nama bagian tubuh
dan istilh berbagai gerak juga perlu dikuasai anak sambil bermain. Seperti
telah diuraikan sebelumnya, penerapan Sibernetik ini, berarti bahwa dalam
latihan perlu dijalain hubungan antara :
 Segi sensorik dan motorik
Misalnya diberi rangsangan nada rendah respon = jongkok
diberi rangsangan nada tinggi respon = melompat
Maka agar anak bisa memberi respon yang tepat, pembinaan
ikhtisar tubuh tak boleh ditinggalkan. Berbarengan dengan ini daya
ingatan anak untuk mencamkan suatu rangkaian gerakan pun akan turut
dilatih. Misalnya anak diminta untuk 2007 melompat-jalan-merangkak-
melompat-jalan dan seterusnya atau jalan dari pojok kiri ruangan, ke pojok
kanan, atau merangkak diatas bangku panjang kemudian merangkak
dibawah meja dan seterusnya. Dari rangkaian gerak motorik besar
kemudian perlu menuju gerak motorik kecil/halus yaitu wicara.

29
Selanjutnya Van Uden juga membedakan antara gerak yang
bersifat transitif dan intransitif. Gerak transitif adalah gerak yang
dilakukan terhadap suatu benda seperti misalnya
 gerak meremas (seperti pada adonan/lilin mainan)
 gerak berjalan (di atas ubin) chum gu
 gerak memukul (pada meja/drum dsb.)
 gerak meniup (suling, harmonika dsb.).
Gerak yang instransitif adalah gerak seperti menari, tepuk tangan,
bicara dsb. Van Uden menemukan bahwa anak tuli mengalami lebih
banyak kesulitan untuk mengikuti irama sambil bertepuk tangan dari pada
memukul irama di atas meja. Hal ini pun dapat diterangkan berdasarkan
prinsip Sibernetik tersebut, karena bagi orang dengar, gerak tersebut
biasanya dikemudikan pendengaran sedangkan ini justru tak terjadi pada
anak tuli (A. Van Uden, 1971 : 6).

6. Latihan Menemukan Sumber Bunyi/Lokalisasi Bunyi


Setelah anak dapat membedakan antara berbagai sumber bunyi,
mereka perlu dilatih untuk mengetahui atau menunjukkan arah/lokalisasi
sumber bunyi (A. Boskosumitro 1987: 26).

7. Latihan Membilang Jumlah Bunyi


Latihan ini juga diberikan setelah anak dapat membedakan
berbagai sumber & sifat bunyi. Misalnya guru memukul drum lima kali
anak diminta mengatakan berapa jumlah pukulan/bunyi yang didengarnya.
Kemudian dapat dikombinasi dengan salah satu aspek/sifat suara misalnya
memukul drum dengan campuran pukulan keras/lemah dan anak diminta
membilang jumlah pukulan keras dan jumlah pukulan lemah yang
didengarnya (A. Boskosumitro, 1987: 25).

30
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari semua uraian yang telah dipaparkan di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1) Komunikasi yang baik dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus,
sangat diperlukan. Hal ini berlaku untuk semua jenis kelainan.
Komunikasi memang memegang peranan penting dalam diri individu
khususnya dan dalam hidup manusia pada umumnya. Di mana sejumlah
kebutuhan hanya dapat disampalkan lewat komunikasi. Demikian hainya
dengan anak berkebutuhan khusus dengan segala kekurangan dan
hambatannya. Untuk memenuhi kebutuhan komunikasi, guru berupaya
agar kemampuan berkomunikasi dapat berkembang secara optimal.
2) Materi ajar yang efektif sangat membantu anak berkebutuhan khusus
dalam hal ini anak-anak tunarungu yaitu dengan materi BKPBI anak
tunarungu akan sangat mudah untuk mengoptimalisaslkan sisa
pendengarannya.

B. SARAN

Saran yang dapat diberikan oleh penulis dari makalah ini adalah:

1. Bagi masyarakat, agar lebih memperhatikan anak-anak yang berke


butuhan khusus.
2. Kepada orang tua, pendidik, agar dapat memberikan perhatian yang
maksimal kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus dalam
pembahasan ini yaitu anak-anak tuna rungu dan diharapkan bagi para
pendidjk anak-anak tunarungu untuk dapat membantu mereka dalam
mengoptimalisasikan sisa - pendengaran yang mereka miiiki.

31
3. Bagi akademisi, khususnya akademisi yang bergelutdi dunia psikologi
anak berkebutuhan khusus untuk lebih mengenal lebih dalam yaitu
seperti, apa itu tunarungu, apa itu tunanetra, apa itu tuna grahita, Dan
gejala-gejaia yang melatar belakangi munculnya semua itu

32
DAFTAR PUSTAKA

Agus Irawan Sensus. (2005). Konsep Dasar BKPBI. Bandung: PPPPTK TK dan
PLB.
Bambang Nugroho. (2002). Bina Persepsi Bunyi dan Irama. Jakarta: UNJ.
Boothroyd, Arthur (1982), Hearing Impairments in Young children, Prentice Hall,
Inc. Englewood Cliffs, New York
Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa
Anak Tunarungu, Yayasan Santi Rama, Jakarta
Cox TC, A (1980), Audiologi, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan
Sosial (DNIKS), Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan
Irama untuk Anak Tunarung, Jakarta
Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alihbahasa
Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
Griffey, Nicholas (1981), A Survey of Present Metods of Developing Language in
Deaf Children
Gunarhadi, dkk. (2011). Bahan Pendalaman Materi PLPG. Solo: UNS.
Moores, Donald F. (2001), Educating The Deaf, Psychology, Principles and
Practices, Houghton Mifflin Company, Boston , New York
Murni, W., dkk. (2010). Program Khusus SLB Bagian Tunarungu. Jakarta:
Depdiknas.
Sadjaah, E., & Sukarja, D. (1995). Bina Bicara, Persepsi Bunyi dan Irama.
Bandung: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
SLB-B YRTRW. (2010). Profil SLB-B YRTRW. Diunduh pada 13 Maret 2012 dari
slbb-yrtrw.blogspot.com/2010/12/tklb.html
Subarto (1993), Pelaksanaan Bina Persepsi Bunyi dan Irama di SLB-B
di Indonesia, Makalah pada Penataran dan Lokakarya Federasi
Nasional untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia, Jakarta
Uden, Van (1977), A World of Language for Deaf Children; basic Principles A
Maternal Reflective Metod, Swetz&Zeitlinger, Amsterdam&Lisse,
Holland

33

Anda mungkin juga menyukai