Anda di halaman 1dari 13

KEPERAWATAN KOMPLEMENTER DASAR

INTEGRASI KOMPLEMENTER DAN KONVENTIONAL DALAM PELAYANAN


KEPERAWATAN

Oleh

Kelompok 1

1. A.A Gde Weda Pratama (193213005)


2. I Komang Febiana (193213016)
3. Kadek Ayu Rani Ariasih (193213019)
4. Leila Da Silva Pinto (193213021)
5. Ni Gusti Ayu Indah Adsari (193213022)
6. Ni Kadek Winda Pramana Putri (193213026)
7. Ni Luh Putu Satyaning Natha Dewi (193213033)
8. Ni Luh Widiningsih (193213034)
9. Ni Putu Eka Cintya Parwita (193213040)
10. Putri Sukma Maha Dewi (193213047)
11. Solangia Cabral Da Conceicao Santos (193213052)

PROGAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Integrasi Komplementer
Dan Konventional Dalam Pelayanan Keperawatan”.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami berharap kepada pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
membangun untuk menyempurnakan makalah kami kedepannya.
Dalam kesempatan ini tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyusun makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat
bagi kami khususnya bagi pembaca pada umumnya.

Denpasar, 11 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

1.1.. Latar Belakang.................................................................................................................1


1.2.. Rumusan Masalah............................................................................................................1
1.3.. Tujuan..............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................3

2.1. Pengertian.........................................................................................................................3

2.2. Kebijakan.........................................................................................................................4

2.3. Proses Evaluasi.................................................................................................................7

BAB III PENUTUP....................................................................................................................9

3.1. Simpulan..........................................................................................................................9

3.2. Saran.................................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Terapi komplementer adalah terapi tradisional yang digabungan dalam pengobatan
tradisional. Terapi komplementer juga ada yang menyebutkan dengan pengobatan holistic
pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh
dengan sebuah keharmonisan. Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan
pengobatan masyarakat. Di berbagai tempat pelayanan kesehatan. Terapi komplementer ini
bisa juga dilakukan dengan terapi konvensional.
Terapi konvensional suatu sistem pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya berupa mengobati gejala dan penyakit dengan menggunakan obat,
pembedahan, atau radiasi. Terapi tradisional sekarang sudah banyak dilakukan oleh pasien
yang berada di rumah. Kebijakan pemerintah dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, untuk menghindari hal – hal yang kurang baik atau menyalah gunakan terapi
komplementer. Di dalam pasal lain disebutkan bahwa pengobatan tradisional akupuntur
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian atau keterampilan di bidang
akupunktur yang telah memperoleh pendidikan dan pelatihan akupunktur. Sementara
pendidikan dan  pelatihan akupunktur dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa yang dimaksud dengan integrasi komplementer dan konventional dalam
pelayanan keperawatan?
1.2.2. Bagaimana kebijakan integrasi komplementer dan konventional dalam pelayanan
keperawatan?
1.2.3. Bagaimana proses evaluasi integrasi komplementer dan konventional dalam
pelayanan keperawatan?

4
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari integrasi komplementer dan konventional dalam
pelayanan keperawatan.
1.3.2. Untuk mengetahui kebijakan integrasi komplementer dan konventional dalam
pelayanan keperawatan.
1.3.3. Untuk mengetahui proses evaluasi integrasi komplementer dan konventional dalam
pelayanan keperawatan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian

Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam


pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern. Terminology ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer juga
ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistic. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi
yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuat keharmonisan individu untuk
mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi.

Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam
mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transcultural yang dalam praktiknya
mengaitkan ilmu anatomi, fisiologis, patofisiologis, dan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini didukung
dalam catatan keperawatan Florence Nightingale yang telah menekankan pentingnya
mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan dan pentingnya terapi seperti terapi music
dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer meningkatkan kesempatan
perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder & Lindquis, 2007). Definisi tersebut
menunjukkan terapi komplementer sebagai pengembangan terapi tradiosional dan ada yang
diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan individu dari askep
biologis, psikologis, dan spiritual. Kondisi ini sesuatu dengan prinsip keperawatan yang
memandang manusia sebagai makhluk yang holistic (bio-psiko-sosial-spiritual).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2017


Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi, pelayanan kesehatan konvensional
adalah suatu system pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya berupa mengobati gejala dan penyakit dengan menggunakan obat, pembedahan, atau
radiasi.

Integrasi komplementer dan konvensional adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan


yang mengombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan kesehatan

6
tradisional komplementer, baik bersifat sebagai pelengkap maupun pengganti dalam
keadaan tertentu.

2.2. Kebijakan

Dewasa ini kebijakan di bidang pelayanan kesehatan berkembang secara integrasi, yaitu
pelayanan kesehatan kolaborasi antara pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan
tradisional. Tujuan pelayanan kesehatan integrasi adalah memberikan pilihan dan pelayanan
yang semaksimal mungkin kepada masyarakat. Salah satu model pelayanan kesehatan
integrasi yang sering dikombinasikan dengan pelayanan kesehatan konvensional yaitu
akupuntur.

Pemerintah telah menerbitkan kebijakan nasional tentang keperawatan dan terapi


komplementer atau alternative di Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1109 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas
pelayanan kesehatan. Menurut aturan itu, pelayanan komplementer-alternatif dapat
dilaksanakan secara sinergis, terintegrasi, dan mandiri di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengobatan itu harus aman, bermanfaat, bermutu, dan dikaji institusi berwenang sesuai
dengan ketentuan berlaku.

Berikut ini merupakan kebijakan dalam pelayanan keperawatan terintegrasi:

1. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


a. Pasal 1 butir 16 Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan atau
perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan
keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung
jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
b. Pasal 48 Pelayanan kesehatan tradisional.
c. Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang Pelayanan kesehatan tradisional.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 1076/Menkes/SK/2003 tentang pengobatan
tradisional.

7
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang
penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan
kesehatan.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 120/Menkes/SK/II/2008 tentang standar
pelayanan medic hiperbarik.
5. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No. HK.03.05/I/199/2010
tentang pedoman kriteria penetapan metode pengobatan komplementer-alternatif
yang dapat diintegrasikan di fasilitas pelayanan kesehatan.
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 1186/Menkes/Per/XI/1996 diatur tentang
pemanfaatan akupuntur di sarana pelayanan kesehatan.
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan
tradisional.
8. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 37 tahun 2017 tentang pelayanan kesehatan
tradisional integrasi.

Dalam pelaksanaan legal etik keperawatan dalam terapi komplementer alternatif dan
tradisional terdapat beberapa aspek etik yang dilakukan atau terjadi, diantaranya adalah:
1. Aspek kejujuran dan integritas
Dalam aspek ini praktisi terapi komplementer dituntut untuk dapat membuktikan
khasiat dari tindakan yang mereka berikan kepada klien. Perlu adanya pembuktian
karena ini bersangkutan dengan nyawa seseorang. Misalkan saja pemberian obat
multivitamin tidak memiliki efek samping akan tetapi tidak menyembuhkan suatu
penyakit dan itu telah dibuktikan secara klinis. Pada terapi komplementer yang
biasanya memberikan jaminan kesehatan pada kliennya juga harus dapat
membuktikan sendiri khasiat terapi yang diberikan.
2. Beneficience, non-maleficiance dan konsen
Ketika memberikan pengobatan berupa obat kepada klien, seorang pemberi
kesehatan harus mengetahui kandungan dalam obat itu sendiri dan apakah obat itu
benar-benar efektif dalam mengobati penyakit yang diderita klien atau tidak.
Biasanya obat yang ada dipasaran telah diuji terlebih dahulu sebelum dipasarkan
untuk mengobati sakit pada manusia. Obat-obat ini melewati pengujian pada hewan

8
dan dalam pengujian ini dilihat apakah obat benar-benar efektif atau tidak, dan
apakah efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini. Sedangkan pada pengobatan
terapi komplementer obat-obat yang diberikan banyak yang belum melewati proses
pengujian sehingga memungkinkan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan terjadi
dan ini dapat merugikan klien. Ketika mendapatkan pengobatan praktisi terapi
komplementer harus menginformasikan segi keberhasilan terapi ini dan klien berhak
mendapatkan informasi yang sesuai mengenai pengobatan yang diterimanya apakah
benar efektif dan menerima rasa aman bahwa pengobatan yang diterimanya
bukanlah placebo karena biasanya klien yang datang ke terapi alternatif memiliki
penyakit kronis, dimana mereka telah mencoba pengobatan konvensional dan belum
menemukan kesembuhan sehingga apabila terapi komplementer yang biasanya
memberikan jaminan untuk kesehatan klien ini tidak dapat membuktikan
keefektifannya makan bukan tidak mungkin menyebabkan klien menjadi depresi.
3. Conflict of interest
Adanya motif lain yang mungkin melatarbelakangi pemberian terapi selain
Beneficient pada klien juga harus dilihat, karena ini mungkin terjadi pada terapi
komplementer, misalkan saja terapi bebas biaya yang diberikan pada beberapa
tempat terapi alternatif apakah terapi yang diberikan benar-benar tidak memiliki
motif lain selain memberikan kesehatan pada klien atau mungkin ada motif lain
seperti membeli produk-produk dari terapi komplementer ini.
4. Justice
Pemberi pelayanan kesehatan dituntut memberikan keadilan dalam pelayanan
kesehatan. Maksudnya adalah klien harus mendapatkan pelayanan yang terbaik dan
pemberi pelayanan harus menggunakan sumber-sumber yang tersedia dengan baik.
Misalkan saat pemberian obat, apabila masih ada obat generic yang memiliki efek
pengobatan yang sama baiknya dengan obat yang bukan generic, maka pemberi
pelayanan harus menggunakan obat generic terlebih dahulu karena efeknya sama dan
harganya lebih murah. Sedangkan pada terapi komplementer pengobatan yang
diberikan memungkinkan adanya placebo dan klien tetap harus membayar tanpa
mengetahui apakah pengobatan ini benar-benar efektif atau tidak.

9
2.3. Proses Evaluasi

Pemerintah telah menerbitkan kebijakan nasional tentang keperawatan dan terapi


komplementer atau alternative di Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1109 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas
pelayanan kesehatan. Menurut aturan itu, pelayanan komplementer-alternatif dapat
dilaksanakan secara sinergi, terintegrasi, dan mandiri di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pengobatan itu harus aman, bermanfaat, bermutu, dan dikaji institusi berwenang sesuai
dengan ketentuan berlaku.

Banyaknya terapi pengobatan komplementer tidak semuanya digunakan, tetapi untuk


dipilih berdasarkan pertimbangan yang paling sesuai bagi pasien dan keluarganya dari segi
yaitu latar belakang kultural, tersedianya terapis atau fasilitas, serta biaya. Persepsi-persepsi
masyarakat terhadap pengobatan komplementer antara lain berupa anggapan masyarakat
bahwa pengobatan komplementer sering bertentangan dengan keyakinan agama, kurang
berkhasiat, tidak ilmiah dan sebagainya akan berdampak pada sikap yang tidak mendukung
atau negatif terhadap penggunaan pengobatan komplementer oleh masyarakat. Sedangkan
anggapan-anggapan yang positif, misalnya pengobatan komplementer terbukti berkhasiat
dikalangan masyarakat umum, maka persepsi tersebut membentuk sikap positif pada diri
masyarakat, yaitu mereka memiliki kecenderungan menggunakan pengobatan
komplementer tersebut.

Pemerintah daerah (pemda) adalah salah satu pemegang kewajuban dalam pemenuhan
kesejahteraan rakyat melalui pelayanan kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan) untuk melaksanakan kewajibannya tersebut, pelayanan kesehatan sebenarnya
dapat diselenggarakan dengan mengintegrasikan pengobatan tradisional dan konvensional
(KMK No. 1076/Menkes/SK/VII/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional).
Pelayanan kesehatan melalui pengobatan tradisional merupakan suatu bentuk pelayanan
kesehatan yang berbasis kearifan local. Sehingga untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di
suatu daerah melalui pelayanan kesehatan, kebijakan berupa integrasi pengobatan
tradisional pada pelayanan kesehatan konvensional merupakan suatu solusi yang tepat untuk
diterapkan, sebagai suatu kebijakan yang telah mempunyai dasar hukum yang tegas di
seluruh Indonesia. Dan pada beberapa rumah sakit di Indonesia sudah menerapkan terapi

10
komplementer ini sebagai terapi penunjang atau sebagai terapi pengganti bagi pasien yang
menolak pengobatan konvensional.

11
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Integrasi komplementer dan konvensional adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan


yang mengombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan kesehatan
tradisional komplementer, baik bersifat sebagai pelengkap maupun pengganti dalam
keadaan tertentu. Dewasa ini kebijakan di bidang pelayanan kesehatan berkembang secara
integrasi, yaitu pelayanan kesehatan kolaborasi antara pelayanan kesehatan konvensional
dengan pelayanan tradisional.

Kebijakan dalam pelayanan keperawatan terintegrasi antara lain Undang-Undang RI


No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan RI, No.
1076/Menkes/SK/2003, Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 1109/Menkes/Per/IX/2007,
Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 120/Menkes/SK/II/2008, Keputusan Direktur
Jenderal Bina Pelayanan Medik, No. HK.03.05/I/199/2010, Peraturan Menteri Kesehatan
RI, No. 1186/Menkes/Per/XI/1996, Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 103 tahun 2014,
Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 37 tahun 2017.

Banyaknya terapi pengobatan komplementer tidak semuanya digunakan, tetapi untuk


dipilih berdasarkan pertimbangan yang paling sesuai bagi pasien dan keluarganya dari segi
yaitu latar belakang kultural, tersedianya terapis atau fasilitas, serta biaya. Beberapa rumah
sakit di Indonesia sudah menerapkan terapi komplementer ini sebagai terapi penunjang atau
sebagai terapi pengganti bagi pasien yang menolak pengobatan konvensional.

3.2. Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan pemahaman
yang optimal terkait integrasi komplementer dan konvensional dalam pelayanan
keperawatan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No. HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman
kriteria penetapan metode pengobatan komplementer-alternatif yang dapat diintegrasikan
di fasilitas pelayanan kesehatan.

Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 120/Menkes/SK/II 2008 Tentang Standar Pelayanan
Medic Hiperbarik.

Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan tradisional.

Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 1076/Menkes/SK/2003 tentang pengobatan tradisional.

Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang penyelenggaraan


pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 1186/Menkes/Per/XI/1996 diatur tentang pemanfaatan


akupuntur di sarana pelayanan kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 37 tahun 2017 tentang pelayanan kesehatan tradisional
integrasi.

Rahmawati, A., et al. (2016). Analisis Implementasi Pengintegrasian Pelayanan Kesehatan


Tradisional Di Puskesmas Halmahera Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyaraka.
Volume 4, Nomor 1, Januari 2016.

Smith, S.F., et al. (2015). Clinical nursing skills: Basic to advanced skills. New Jersey: Pearson
Prentice Hall.

Snyder, M. & Lindquist, R. (2010). Complementary/alternative therapies in nursing.

Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Widyatuti. (2016). Terapi Komplementer dalam Keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia.


Volume 12, No. 1; hal 53-57.

13

Anda mungkin juga menyukai