Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMBELAJARAN BAHASA DALAM GAMITAN PENDIDIKAN

KARAKTER DAN KURIKULUM 2013

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Bahasa Dan Sastra Indonesia

Dosen Pengampu: Muhd Hayyanul Damanik, M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Nurazmi BR Siregar (0306203119)

Nisa Amelia Purba ( 0306203144)

Harri Gusnirwanda (0306203145)

Hamidah Sal’aty ( 0306203146 )

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN GURU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA( UINSU )

2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kekuatan dan
kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya.

Sholawat berangkaikan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Penyusun makalah ini merupakan tugas mata kuliah Bahasa Dan Sastra Indonesia yang dikerjakan
secara berkelompok dan dipersentasekan sebagai bahan diskusi mahasiswa Program Sarjana
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Kelas PGMI 6.

Dalam penulisan makalah ini, tentunya banyak pihak yang terlibat didalamnya, memberikan
bantuan baik moral maupun materi. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
tiada hingga kepada bapak Muhd Hayyanul Damanik, M.Pd selaku dosen Bahasa Dan Sastra
Indonesia di kelas PGMI 6.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, maka kritik dan saran
sangat kami harapkan demi penyempurnaan selanjutnya.

Medan, 30 maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 2

A. Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Pembelajaran Bahasa………………….. 2


B. Beberapa Asumsi Pendidikan Karakter Yang Salah Arah ...................................... 3
C. Pengertian Pendidikan Karakter.............................................................................. 5
D. Internalisasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa ............................ 7
E. Nilai Yang Dikembangkan Dalam Pembelajaran Bahasa....................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pembelajaran menulis sampai saat ini masih menjadi bahan penelitian yang digemari.
Kondisi ini sejalan dengan kenyataan bahwa pembelajaran menulis masih menyisakan
sejumlah masalah serius. Salah satu masalah serius tersebut adalah rendahnya kemampuan
siswa dalam menulis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemampuan menulis sejak
tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi masih memprihatinkan. Sejalan dengan
kenyataan ini, seorang sastra terkemuka negeri ini mengatakan bahwa bangsa Indonesia rabun
membaca dan lumpuh menulis.
Rendahnya kemampuan siswa dalam menulis disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu
faktor yang dominan adalah rendahnya peran guru dalam membina siswa agar terampil
menulis. Pembelajaran menulis yang seharusnya membina para siswa untuk berlatih
mengemukakan gagasan masih belum secara optimal dikembangkan dan bahkan dianggap
sebagai pembelajaran yang menyenangkan bagi guru sebab selama siswa menulis guru bisa
bersantai di dalam ruang kelas bahkan meninggalkan ruang kelas untuk berbicara dengan guru
lain di ruang guru.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Pembelajaran Bahasa?


2. Bagaimana Beberapa Asumsi Pendidikan Karakter Yang Salah Arah?
3. Bagaimana Pengertian Pendidikan Karakter?
4. Bagaimana Internalisasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa?
5. Bagaimana Internalisasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Pembelajaran Bahasa!
2. Mengetahui Beberapa Asumsi Pendidikan Karakter Yang Salah Arah!
3. Mengetahui Pengertian Pendidikan Karakter!
4. Mengetahui Internalisasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa!
5. Mengetahui Internalisasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa!

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Pembelajaran Bahasa


Pentingnya pendidikan karakter dan pembelajaran Bahasa Indonesia akan diintegrasikan
dalam proses belajar mengajar. Istilah pembelajaran sering terdengar dalam kajian pendidikan di
sekolah saat ini. Istilah ini merupakan pengembangan istilah dari "Proses Belajar Mengajar"
(PBM). Dalam istilah PBM makna yang familiar bagi guru-guru saat ini adalah guru melakukan
pengajaran dalam berbagai materi ajar kepada peserta didik. Sedangkan istilah pembelajaran saat
ini menjadi aktual, dimaknai sebagai proses interaksi peserta didik dengan lingkungan belajarnya.
Dalam proses ini anak menjadi objek sekaligus subjek belajar. Guru dan lingkungan belajar
lainnya menjadi kondisi penting yang menyertai proses pembelajaran.1
Pembelajaran dalam pendidikan karakter didefinisikan sebagai pembelajaran yang
mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan atau
dirujuk pada suatu nilai. Penguatan adalah upaya untuk melapisi suatu perilaku anak sehingga
kuat. Pengembangan perilaku adalah proses adaptasi perilaku anak terhadap situasi dan kondisi
baru yang dihadapi berdasarkan pengalaman baru. Kegiatan penguatan dan pengembangan
didasarkan pada suatu nilai yang dirujuk. Artinya proses pendidikan karakter adalah proses yang
terjadi karena didesain secara sadar, bukan suatu kebetulan. 2
Menurut Woolfork pembelajaran berlaku apabila sesuatu pengalaman secara relatifnya
menghasilkan perubahan kekal dalam pengetahuan dan tingkah laku. Pembelajaran menurut
Knowles adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pendidikan karakter secara terintergrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-
nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai
nilai kedalam tingkah laku peserta didik sehari-sehari melalui proses pembelajaran baik yang
berlangsung di dalam maupan di luar kelas pada semua mata pelajaran, selain untuk menjadikan
peserta didik menguasai materi yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan

1 Sulistiyowati Eni, Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia, Edukasia Jurnal Penelidia Pendidikan Islam,
8(Agus.),2013:hal 315, Tersedia di https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Edukasia/article/view/756/725, diakses pada tanggal,
29 Maret 2022.
2 Dapip Sahron, Pentingnya Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran, 1, 2017, hlm.123, Tersedia di

http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/snbk/article/view/213, diakses pada tanggal, 30 Maret 2022

2
peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannnya
perilaku.

B. Beberapa Asumsi Pendidikan Karakter Yang Salah Arah


Mendikbud dan Panglima TNI baru menandatangani kerja sama program penguatan
pendidikan karakter. Ini kelanjutan dari program ”Tentara Masuk Sekolah”, kerja sama
Mendikbud dengan Panglima TNI, pada 2017. Guna meningkatkan disiplin, semangat
nasionalisme, dan sekaligus menangkal radikalisme di sekolah-sekolah, personel TNI akan
dilibatkan dalam pendidikan karakter siswa baru.
Dari SD hingga SMA, di seluruh Indonesia. Caranya, antara lain, latihan baris-berbaris dan tata
cara upacara bendera. Dengan segala hormat kepada niat baik ini, menurut saya, itu merupakan
kebijakan pendidikan yang salah arah, keliru orientasi, dan harus dikoreksi. 3
1. Berpikir logis
Tanggung jawab utama lembaga pendidikan adalah memastikan para siswa berpikir logis.
Dengan begitu, ia bisa jernih mengenali dan menyelesaikan masalah. Sayangnya, itulah yang
selama ini tak cukup diurus sekolah-sekolah kita.
Sekolah kita begitu sibuk mengurus perkara moral, kesalehan, ideologi, nasionalisme,
kewirausahaan, bahkan komitmen organisasi. Semua dijejalkan masuk kurikulum.
Sejak SD hingga perguruan tinggi, lembaga pendidikan kita membebani siswa dengan
begitu banyak hal, khawatir mereka kelak akan tumbuh menjadi individu yang tidak bermoral,
kurang beragama, tidak modern, kurang nasionalis, gagap teknologi, radikal, minder, dan segala
yang menakutkan. Lalu para siswa dipaksa menanggung begitu banyak beban. Dunia pendidikan
kita tampak kemrungsung, nervous, membuat para siswa tidak menyambut masa depan dengan
sukacita. Ikhtiar menanamkan daya kritis dan cara berpikir logis sebagai tanggung jawab utama
pendidikan justru terabaikan, malah dikorbankan.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kita tidak usah khawatir dengan macam-macam hal di
sekitar kita. Namun, sekolah bukanlah juru selamat yang bertanggung jawab mengatasi segala
masalah. Harus ada pembagian peran antara sekolah dan keluarga.

3Mohammad Ariandy, Kebijakan Kurikulum Dan Dinamika Penguatan Pendidikan Karakter DiIndonesia, Jurnal Pendidikan, 2,
Jul-Dec 2019, hal 139.

3
Tanggung jawab utama sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah menanamkan daya
kritis dan cara berpikir logis agar para siswa tumbuh menjadi manusia dengan kemampuan kognitif
memadai untuk mengarungi kehidupan.
Lebih jauh, nasionalisme, disiplin, integritas moral, kepercayaan diri, kejujuran, kepekaan sosial,
sikap toleran, dan seterusnya sebetulnya bisa tumbuh sebagai buah dari olah kekritisan dan cara
berpikir logis para siswa dalam proses belajar. Dengan asah nalar, mengembangkan rasa ingin
tahu, para siswa diarahkan menjadi pribadi-pribadi yang nasionalis, disiplin, jujur, dan
berintegritas.
Sebaliknya, kenapa nasionalisme kita selalu ”mencemaskan” dan disiplin kita payah meski sekian
lama ikut upacara bendera dan baris-berbaris di semua level sekolah? Apakah melibatkan TNI
akan efektif? Menurut saya tidak.
Kita lebih banyak mengurus atribut formal prosedural ”apa” itu nasionalisme dan disiplin
ketimbang ”kenapa” dan ”bagaimana” menginternalisasikan keduanya dalam kenyataan. Ibarat
membuat kuil pasir di bibir pantai, pendidikan nasionalisme dan disiplin kita segera hilang ketika
gelombang datang menyapunya.
2. Formalitas dan prosedur
Bukan hanya dalam soal pendidikan karakter, secara umum sekolah kita sekarang lebih
banyak menimbuni kepala para siswa dengan data, bukan membekali mereka dengan paradigma
untuk memahami kenyataan. Para siswa digiring menampung ”sebanyak mungkin” hal-hal teknis
yang sering tak relevan dan banyak yang percuma dalam kehidupan.
Jumlah mata pelajaran pada level SD kita hampir dua kali lipat jumlah mata pelajaran SD
di Amerika dan negara-negara Eropa. Siswa kehilangan kesempatan bertanya, harus banyak
menghafal. Sebelum masuk sekolah, anak-anak punya begitu banyak pertanyaan dan bisa
mengungkapkan pikiran dengan jelas. Semakin lama mereka sekolah, semakin banyak yang sulit
bertanya. Bahkan ketika mengemukakan pikiran, banyak yang bahasanya sulit dimengerti.
Siswa digenjot untuk menghafal begitu banyak hal tanpa benar-benar mencernanya. Kemampuan
mereka pun lebih kerap diuji lewat soal-soal pilihan ganda. Kenyataan yang rumit dan penuh
nuansa ”mati” menjadi fakta a, b, c, d.
Sekolah kita lebih banyak mengajari siswa dengan ”kiat-kiat” menjawab soal, bukan
”bagaimana” merumuskan persoalan dan berbagai kemungkinan logis mengatasinya. Saya ulang,
sistem pendidikan kita tidak cukup efektif menjalankan tanggung jawab utamanya: mengasah

4
kritisisme dan nalar logis para siswa. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengurus
prosedur dan formalitas, kurang memedulikan esensi.
Yang lebih mengenaskan, para guru dan dosen pun sekarang menghabiskan waktu untuk urusan
administratif ”borang-borang” yang melelahkan dan membingungkan. Mereka amat terbatas
mengeksplorasi ”apa”, ”kenapa”, dan ”bagaimana” buat merawat nalar logis dalam proses
pembelajaran.
Kembali ke disiplin militer yang hendak ditanamkan, itu adalah disiplin yang
mengedepankan otoritas dan pola ”siap, laksanakan” tanpa banyak bertanya. Ia bahkan berpotensi
mematikan daya kritis dan daya pikir logis yang hendak dirawat dan dikembangkan. Padahal,
pergaulan global yang kita takuti itu menuntut lahirnya individu-individu mandiri, lentur, kreatif,
inovatif, berpikir serta bersikap efektif dalam kenyataan yang terus berubah.
Di sekolah, disiplin jelas kita perlukan untuk merawat rasa ingin tahu dan stamina mengeksplorasi
hingga menemukan jawaban terbaik. Disiplin untuk membaca, berdiskusi, mengasah argumen, dan
berani menempuh jalan sunyi berdasarkan kebenaran yang ia temukan. Ini adalah disiplin yang
digerakkan oleh kemerdekaan berpikir dan kreativitas individual. Bukan disiplin upacara bendera
dan baris-berbaris.
Disiplin militer juga baik. Namun, disiplin militer di sekolah tidak tepat. Jika urusan mau
beres, kita perlu menyadari tugas dan tanggung jawab masing-masing. Maka, kebijakan keliru ini
perlu dikoreksi demi masa depan bangsa.

C. Pengertian Pendidikan Karakter


1. Pengertian Pendidikan Karakter
Secara terminologis ‘karakter’ diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang
bergantung pada faktor kehidupannya sendiri. Secara harfiah ‘karakter’ adalah kualitas atau
kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus
yang membedakan dengan individu lain. Menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia, karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat,
4
watak.

4 Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma Pustaka. 2010), hal 9.

5
Secara kebahasaan, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli
psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan
seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui,
maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi
tertentu. Dari sudut pengertian berarti karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan tang terjadi tanpa ada lagi pemikiran
lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain keduanya dapat disebut dengan
kebiasaan.
Menurut Kepmendiknas, karakter adalah sebagai nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai
kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan)
yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa, 2010). Karakter meliputi serangkaian sikap seperti keinginan untuk melakukan
hal yang terbaik; kapasitas intelektual, seperti berpikir kritis dan alasan moral; perilaku seperti
jujur dan bertanggung jawab; mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh
ketidakadilan; kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi
secara efektif dalam berbagai keadaan; dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan
masyarakatnya”.

2. Pengertian Pendidikan karakter


Menurut Depdiknas (2010), pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan
guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak
peserta didik. Hal ini meliputi keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Berdasarkan
grand design yang dikembangkan Kemendiknas tersebut, secara psikologis dan sosial kultural
pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia
(kognitif, afektif, konaktif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. 5
Pengembangan karakter bangsa dapat dilakukan melalui perkembangan karakter individu
seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka
perkembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan

5 Andrianto, Tuhana Tufiq, Mengembangkan Karakter Sukses Anak di Era Cyber. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011) hal 20.

6
budaya yang bersangkutan. Artinya, perkembangan karakter dapat dilakukan dalam suatu proses
pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, masyarakat, dan budaya
bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila, jadi pendidikan budaya dan
karakter adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peseta didik melalui pendidikan
hati, otak, dan fisik.
Pendidikan kearah terbentuknya karakter bangsa para siswa merupakan tanggung jawab
semua guru. Oleh karena itu, pembinaannya pun harus oleh guru. Dengan demikian, kurang tepat
jika dikatakan bahwa mendidik para siswa agar memiliki karakter bangsa hanya ditimpahkan pada
guru mata pelajaran tertentu.
Pengertian pendidikan karakter tingkat dasar haruslah menitikberatkan kepada sikap maupun
keterampilan dibandingkan pada ilmu pengetahuan lainnya. Dengan pendidikan dasar inilah
seseorang diharapkan akan menjadi pribadi yang lebih baik dalam menjalankan hidup hingga ke
tahapan pendidikan selanjutnya. Pendidikan karakter tingkat dasar haruslah membentuk suatu
fondasi yang kuat demi keutuhan rangkaian pendidikan tersebut. Karena semakin tinggi tingkat
pendidikan maka semakin luas pula ragam ilmu yang didapat dari seseorang dan akibat yang akan
didapatkannyapun semakin besar jika tanpa ada landasan pengertian pendidikan karakter yang
diterapkan sejak usia dini.
Pengertian pendidikan karakter ini merupakan salah satu alat yang paling penting dan harus
dimiliki oleh setiap orang. Sehingga tingkat pengertian pendidikan karakter seseorang juga
merupakan salah satu alat terbesar yang akan menjamin kualitas hidup seseorang dan keberhasilan
pergaulan di dalam masyarakat. Di samping pendidikan formal yang kita dapatkan, kemampuan
memperbaiki diri dan pengalaman juga merupakan hal yang mendukung upaya pendidikan
seseorang di dalam bermasyarakat. Tanpa itu pengembangan individu cenderung tidak akan
menjadi lebih baik. Pendidikan karakter diharapkan tidak membentuk siswa yang suka tawuran,
nyontek, malas, pornografi, penyalahgunaan obat-obatan dan lain-lain.

D. Internalisasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa


Berangkat dari pandangan bahawa pendidikan karakter adalah proses pembelajaran itu
sendri, pendidikan karakter dapat di internalisasikan kedalam semua mata pelajaran tanpa
mengubah materi pembelajaran yang sudah ditetapkan dalam kurikulum, termasuk dalam
pembeljaran bahasa sekalipun. Penginternaisasian pendidikan karakter dalam pembelajran bahasa

7
Indonesia dilakukan melalui pemciptaan pembelajaran bahasa Indonesia yang berlandaskan
pembelajaran aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Beberapa saluran yang dapat
6
diguakan untuk membina karakter dalam pembelajran bahasa Indonesia.
1. Melalui Bahan Ajar
Saluran yang paling banyak diguna-kan untuk mengintegrasikan pendidikankarakter ke
dalam pembelajaran membacaadalah melalui bahan ajar. Hal ini dilaku-kan dengan cara
mengembangkan bahanajar yang mengandung muatan karakter.Bahan ajar yang demikian
biasanya berupakarya sastra atau biografi tokoh yangmengandung berbagai unsur yang
dapatditeladani, dan juga bisa melalui bacaan motivasional serta karya nonsastra yangberisi
muatan-muatan karakter.Penggunan bahan ajar yang berisimuatan karakter telah banyak
diteliti.Hasilnya cukup menggembirakan, yakni bahwa melalui bahan ajar yang berisimuatan
karakter diyakini mampu mem-bina karakter siswa. Permasalahanya ada-lah guna dapat
mengintegrasikan pendi-dikan karakter ke dalam bahan ajar, guruharus secara cermat melakukan
pemilihanbahan ajar yang bermuatan karakter.
Bahan ajar yang terdapat dalam bukut teks disekolah rata-rata dianggap kurang ber-muatan
karakter sehingga guru harus ber-susah payah mencari bahan ajar yang lain.Upaya internalisasi
pendidikan ka-rakter melalui saluran bahan ajar dapat dilakukan guru. Langkah-langkah yang ha-
rus dilakukan guru adalah (1) memilih ba-han ajar secara cermat; (2) menentukan je-nis kegiatan
penggalian karya sastra secaratepat (memilih pendekatan apresiasi); (3)memandu siswa menggali
karya sastraberorientasi nilai dan moral sastra; dan (4)melakukan evaluasi hasil dan
karakter.Berdasarkan langkah kerja ini penerapanpendidikan karakter telah sesuai denganyang
diharapkan Kemendiknas yakni pen-didikan karakter bukan merupakan bahanajar, bukan
merupakan pokok bahasan ter-sendiri, dan berlangsung secara integrativedalam proses
pembelajaran.
2. Melalui Model Pembelajaran
Saluran kedua yang dapat dilakukandalam menginternalisasikan pendidikankarakter dalam
pembelajaran adalah melalui pengembangan model-model pembelajaran berbasis karakter. Istilah
pengembangan dalam hal ini bukan hanya berartipenciptaan model, tetapi juga pemanfaatan model
yang telah ada sebagai saluran pendidikan karakter. Dengan demikian, internalisasi pendidikan

6Darmiyati, dkk. 2010., Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi dalam Perkuliahan dan
Pengembangan Kultur Universitas, Yogyakata : UNY press

8
karakter ke dalam pembelajaran membaca melalui model pembelajaran dapat dilakukan dengan
meng-gunakan model pembelajaran yang telah ada namun juga bisa melalui model pem belajaran
baru yang sengaja dikembangkan untuk keperluan tersebut.
Lickona (2004) menyatakan bahwa pembentukan karakter dan kemampuan akademik
dalam satu proses pembelajaran dapat dilakukan jika seorang guru mampu memilih dan
menggunakan model pembelajaran yang tepat. Ia mencontohkan ketika guru menggunakan model
kooperatif tipe Number Head Together (NHT), guru tersebutakan secara langsung membina siswa
dalam hal kemampuan akademik, namun sekaligus membina karakter dalam diri mereka. Nilai -
nilai kerja sama, kedisiplinan,tanggung jawab, dan kreativitas akan terbentuk selama siswa belajar
menggunakan model NHT tersebut.
Lebih lanjut ia menyimpulkan bahwa pengembangan karakter dan sekaligus membina
prestasi akademik dapat dilakukan melalui optimalisasi proses pembelajaran itu sendiri.
Penggunaan model pembelajaran sebagai saluran pendidikan karakter juga telah banyak diteliti
oleh para ahli di Indonesia. Penelitian ini tidak hanya terjadi dalam mata pelajaran bahasa Indonsia,
melainkan pada mata pelajaran yang lain. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Budiastuti.
Penelitian yang dilakukan Budiastuti menunjukkan bahwa penerapan pendidikan karakter melalui
praktik berbusana mampu mengembangkan karakter positif siswa walaupun masih terdapat
banyak kendala.
Studi terbaru tentang implementasi pendidikan karakter dilakukan Astuti dkk.(2010).
Dalam penelitianya mereka mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran
berbasis masalah. Hasilnya adalah bahwa pendidikan karakter yang dilakukan mampu
meningkatkan kepedulian dan kepekaan sosial mahasiswa, meningkatkan nilai produk, dan
meningkatkan beberapa nilai - nilai karakter yang diharapkan. Sejalan dengan Astuti, Mulya-na
(2011) membuktikan bahwa pendidikan karakter dapat diterapkan melalui pembelajaran PAKEM
sehingga mampu mengembangkan karakter siswa.Penggunaan model pembelajaran sebagai sarana
pendidikan karakter tampaknya lebih efektif dan cenderung mendekati konsep pendidikan karakter
yang sesungguhnya. Melalui model pemecahan masalah misalnya, banyak nilai karakter yang akan
terbina, misalnya kejujuran, kerja keras, disiplin, rasa ingin tahu, kreativitas,dan beberapa yang
lainnya. Demikian pula melalui model konstruktivis, siswa akan terbina nilai karakternya misalnya
karakter peduli lingkungan, religius, menghargai prestasi, mandiri, dan demokratis. Demikian pula
melalui beberapa model pembelajaran yang lain. Setiap model pembelajaran pastilah berisi sintak

9
pembelajaran. Masing-masing sintak ini akan berisi kegiatan yang harus dilakukan siswa. Pada
saat berkegiatan inilah, nilai-nilai karakter tercermin. Siswa secara tidak sadarakan menunjukkan
karakternya. Di sisi lain siswa pun secara tidak sadar akan membina diri untuk berkarakter lebih
baik. Dengan demikian melalui pengamatan yang cermat guru bisa menilai karakter siswa.
Berdasarkan konsepsi paragraf diatas, langkah yang harus dilakukan guruuntuk mengintegrasikan
pendidikan karakter melalui model pembelajaran adalah :
a) memilih model pembelajaran yang se-suai dengan SK dan KD kurikulum,
tujuanpembelajaran, dan materi ajar;
b) meran-cang tahapan pembelajaran yang dapatmerangsang timbulnya karakter;
c) mela-kukan pengamatan untuk menilai karakter;dan
d) melakukan evaluasi terhadap tuju an yang dicapai. Keempat langkah ini di-yakini dapat
dijadikan paduan dasar bagiguru yang tertarik melaksanakan pembe-lajaran bahasa
Indonsia berbasis pendidik-an karakter.
3. Melalui Penilaian Otentik
Saluran terakhir yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter adalah melalui penilaian
otentik. Penilaian Otentik adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui
oleh guru agar bisa memastikan bahwasiswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.
Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan
dalam belajar, guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan
belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan disepanjang proses
pembelajaran, penilaian ini tidak dilakukan di akhir periode saja (akhir semester). Kegiatan
penilaian dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Mueller (2008) mengemukakan
bahwa penilaian otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks
dunia “nyata” yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan masalah yang
memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bias memunyai lebih dari satu macam pemecahan.
Dengan kata lain, asesmen otentik memonitor dan mengukur kemampuan siswa dalam
bermacam - macam kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi dalam situasi atau konteks
dunia nyata dan dalam suatu proses pembelajarannyata. Dalam suatu proses pembelajaran,
penilaian otentik mengukur, memonitor,dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup
dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu

10
proses pembelajaran, maupun berupa perubahan dan perkembangan aktifitas, dan perolehan
belajar selama proses pembelajaran didalam kelas maupun siluar kelas. Pada hakikatnya, kegiatan
penilaian yang dilakukan tidak semata - mata untuk menilai hasil belajar siswa saja, melainkan
juga berbagai faktor yang lain, antara lain kegiatan pengajaran yang dilakukan itu sendiri.
Artinya, berdasarkan informasi yang diperoleh dapat pula dipergunakan sebagai umpan
baik penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan (Nurgiyantoro, 2011:4).O’Malley dan Pierce
(1996:4) mendefinisi-kan authentic assessment sebagai berikut. “Authentic assessment is an
evaluation processthat involves multiple forms of performance mea-surement reflecting the
student’s learning, achie-vement, motivation, and attitudes on instructio-nally-relevant activities.
Example of authenticassessment techniques include performanceassessment, portofolio, and self-
assessment”. Jadi, asesmen otentik sangat terkait dengan upaya pencapaian kompetensi.
Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang terunjuk kerjakan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak dalam suatu persoalan yang dihadapi.
Ciri utama kompetensi adalah “able to do” yaitu siswa dapat melakukan sesuatu
berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya. Melalui asesmen otentik, hal
tersebut sangat mungkin untuk diterjadikan. Oleh karena itu, KTSP dengan jelas menyarankan
guru untuk mengurangi menggunakan tes - tes objektif, utamanya untuk asesmen yang bersifat
formatif. Penilaian otentik merupakan sebuah bentuk penilaian yang mengukur kinerja nyata yang
dimiliki siswa. Kinerja yang dimaksud adalah aktivitas dan hasil akti vitas yang diperoleh siswa
selama proses pembelajaran.
Berdasarkan pemahaman inipenilaian otentik pada prinsipnya mengukur aktivitas yang
dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Bertemali dengan pendidikan
karakter, pendidikan karakter bertujuan agar siswa mampu menjadi orang yang berkarakter mulia.
Usaha pengembangan karakterini harus dilakukan secara bekesinambungan dalam proses
pembelajaran. Secarapraktisnya, pembentukan dan pengembangan karakter ini bersifat integrative
dengan aktivitas belajar yang dilakukansiswa. Oleh sebab itu, penilaian otentik pada dasarnya
digunakan untuk mengkreasikan berbagai aktivitas belajar yang bermuatan karakter dan sekaligus
mengukur keberhasilan aktivitas tersebut serta mengukur kemunculan karakter pada dirisiswa.

11
E. Nilai Yang Dikembangkan Dalam Pembelajaran Bahasa.
Pembelajaran ditujuakan untuk membangun karakter pada diri siswa. Wujud karakter
tersebut adalah nilai nilai yang dipandang, baik dalam konteks universal maupun dalam konteks
ke indonesiaan yakni nilai-nilai yang berbasis budaya bangsa. Pendidikan karakter di sekolah
sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau
seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan
berkarakter baik selanjutnya.
Selain itu banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah
karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat
dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan
pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini
saja pentingnya pendidikan budi pekerti / karakter menjadi bahan pembicaraan ramai. Bedasarkan
kenyataan tersebut, nilai karakter yang harus di kembangkan dapat sangat beragam dan tidak
terbatas pada suatu pendapat tertentu. 7
Nilai – nilai ini dalam konteks tertentu bias sangat bersifat local. Dalam konteks lain yang
berisfat lebih umum, nilai yang di kembangkan seharusnya merupakan nilai yang berlaku secara
universal dalam berbagai budaya, agama dan kehidupan social masyarakat dunia.
Berdasarkan keberagaman nilai budaya yang berorientasi karakter di Indonesia, secara umum
Kemendiknas merumuskan 18 nilai karakter yang harus dikembangkan pada diri anak selama
pembelajaran. Ke 18 nilai karakter ini tentu saja dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran
membaca pemahaman yaitu Religius, Jujur,Toleransi, Disipln, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Mengaharagai Prestasi,
Komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung jawab.
Selain kedelapan Belas nilai di atas, Suyanto mengemukakan Sembilan pilar penddikan
karakter. Sembilan pilar ini pada dasarnya berisi nilai – nilai karakter yang harus dikembangkan
dalam diri selama proses pembelajaran ataupun diluar proses pembelajaran. Kesembilan pilar
pendidikan tersebut adalah :
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggung jawab
3. Kejujuran dan diplomatis

7 Abidin, yunus. 2012. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung : PT Refika aditama.

12
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka tolong menolong, dan bekerja sama
6. Percaya diri dan pekerja keras.
7. Baik dan rendah hati
8. Kepimimpinan dan keadilan
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Beradasarkan berbagai jenis nilai karakter tersebut selanjutnya guru harus membuat matrik
jenis nilai karakter dengan aktivitas pembelajaran yang dilakasanakan. Matriks inilah yang akan
memberikan gambaran keterhubungan antara prosedur dan aktivitas pembelajaran dengan
pendidikan karakter.

13
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan berkarakter
juga dilakukan secara berkelanjutan (continu).
Berdasarkan keberagaman nilai budaya yang berorientasi karakter di Indonesia,
secara umum Kemendiknas merumuskan 18 nilai karakter yang harus dikembangkan pada
diri anak selama pembelajaran. Ke 18 nilai karakter ini tentu saja dapat dikembangkan
melalui proses pembelajaran membaca pemahaman yaitu Religius, Jujur,Toleransi,
Disipln, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat
Kebangsaan, Cinta tanah air, Mengaharagai Prestasi, Komunikatif, Cinta damai, Gemar
membaca, Peduli lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung jawab.
B. Saran
Hendaknya pendidikan berkarakter dikalangan sekolah lebih ditingkatkan agar mampu
mencetak siswa – siswi utuh yang berkarakter. Siswa –siswi inilah yang kedepannya akan
menjadi generasi penerus bangsa Indonesia, oleh karena itu mereka harus memiliki good
character.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sulistiyowati, Eni. "Pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia." Edukasia:


Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 8.2 (2013).
Sahlan, Asmaun, and Angga Teguh Prastyo. "Desain pembelajaran berbasis pendidikan
karakter." (2012).
Ariandy, Mohammad. "Kebijakan Kurikulum dan Dinamika Penguatan Pendidikan Karakter di
Indonesia." Sukma: Jurnal Pendidikan 3.2 (2019): 137-168.
Andrianto, Tuhana Tufiq. 2011. Mengembangkan Karakter Sukses Anak di Era Cyber.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Depdiknas, 2003, Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,
www.depdiknas.go.id
Darmiyati, dkk. 2010., Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi
dalam Perkuliahan dan Pengembangan Kultur Universitas, Yogyakata : UNY press
Abidin, yunus. 2012. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung : PT Refika
aditama.

15

Anda mungkin juga menyukai