Anda di halaman 1dari 21

SOSIOLOGI DAN POLITIK

“INTEGRASI POLITIK”

DISUSUN OLEH :

11_I GUSTI NGURAH ADHI PRATAMA (1907521084)


16_STEVEN NATHANIEL KURNIAWAN (1907521107)
17_NYOMAN DEVI NOVITA SRI JAYATI (1907521109)
19_NI KADEK SRI WAHYUNI (1907521111)

UNIVERSITA UDAYANA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat - Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari Bapak dosen, Dr. Piers Andreas Noak, SH. M. Si. atas
bantuannya dalam menyelesaikan makalah ini.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, April 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 01
DAFTAR ISI 02

BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG 03
1.2. RUMUSAN MASALAH03
1.3. TUJUAN 04

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian integrasi politik 05
2.2. Faktor pendukung integrasi politik 05
2.3. Faktor penghambat integrasi politik 07
2.4. Jenis-jenis integrasi politik 08
2.5. Bagaimanakah proses integrasi politik di Indonesia 10
2.6. Ancaman terhadap integrasi politik di Indonesia14
2.7. Cara mengatasi ancaman terhadap integrasi politik di Indonesia 15

BAB III PENUTUP


3.1. KESIMPULAN 18

DAFTAR PUSTAKA 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Integrasi Politik menunjukkan pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk
akhir’ penyatuan politik ditingkat global atau regional diantara unit-unit nasional yang
terpisah. Integrasi Politik merupakan penyatuan kelompok yang berbeda, masyarakat maupun
wilayah, kedalam suatu organisasi politik yang bisa bekerja atau bertahan hidup bersama.
Dalam proses Integrasi geo politik, indonesia mulai menonjol pada awal abad 16 dan
dalam proses integrasi bangsa Indonesia tersebut banyak faktor yang berperan antara lain
pelayaran dan perdagangan antar pulau serta adanya bahasa Melayu sebagai bahasa
pergaulan.
Merujuk pada tulisan Ramlan Subakti, integrasi politik dibagi dalam lima jenis yaitu :
(1) integrasi bangsa;
(2) integrasi wilayah;
(3) integrasi nilai;
(4) integrasi elite;
(5) perilaku yang integratif.

Pembahasan lebih lanjut mengenai integrasi politik akan kita bahas di Bab II
Pembahasan.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Dari pemaparan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat kita susun
untuk makalah ini, adalah :
1. Apa itu integrasi politik?
2. Apa saja Faktor pendukung integrasi politik?
3. Apa saja Faktor penghambat integrasi politik?
4. Apa saja jenis-jenis integrasi politik?
5. Bagaimanakah proses integrasi politik di Indonesia?
6. Apa sajakah ancaman terhadap integrasi politik di Indonesia?
7. Bagaimana cara mengatasi ancaman terhadap integrasi politik di Indonesia?

3
1.3. TUJUAN
Dari pemaparan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat kita susun
untuk makalah ini, adalah :
1. Mengetahui apa itu integrasi politik.
2. Mengetahui apa saja Faktor pendukung integrasi politik.
3. Mengetahui apa saja Faktor penghambat integrasi politik.
4. Mengetahui apa saja jenis-jenis integrasi politik.
5. Mengetahui bagaimanakah proses integrasi politik di Indonesia.
6. Mengetahui apa sajakah ancaman terhadap integrasi politik di Indonesia.
7. Mengetahui bagaimana cara mengatasi ancaman terhadap integrasi politik di Indonesia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN INTEGRASI POLITIK


Integrasi Politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’
penyatuan politik di tingkat global atau regional diantara unit-unit nasional yang terpisah.
Menurut pandangan Nazaruddin Sjamsuddin (1989) tentang integrasi politik menekankan
pada aspek integrasi sebagai proses. Integrasi politik mengandung bobot politik karenanya
prosesnya bersifat politik pula. Ronald L. Watts: “integrasi politik adalah penyatuan
kelompok yang berbeda, masyarakat maupun wilayah, kedalaman suatu organisasi politik
yang bisa bekerja ataupun bertahan hidup”. “Proses integrasi politik di Indonesia menurut A.
Sartono Kartodirjo dapat dibagi dalam 2 jenis, yaitu:
a) Pertama, integrasi geopolitik yang dimulai sejak jaman prasejarah sampai awal abad
20;
b) Kedua, proses integrasi politik kaum elite sejak awal abad 20 sampai jaman Hindia
Belanda berakhir”.
Dalam proses integrasi geopolitik di Indonesia mulai menonjol pada awal abad 16 dan dalam
proses integrasi bangsa Indonesia tersebut banyak faktor yang berperan antara lain pelayaran
dan perdagangan antar pulau serta adanya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Para
pedagang-pedagang Islam menjadi motor penggerak terjadinya proses integrasi, hal ini
karena dalam ajaran Islam tidak membedakan manusia baik berdasarkan kasta, agama,
suku/etnis atau golongan.

2.2. FAKTOR PENDUKUNG INTEGRASI POLITIK


Dalam mewujudkan integrasi nasional, terdapat beberapa faktor yang mendorong
terwujudnya integrasi nasional di Indonesia. Adapun faktor pendorong tersebut diantaranya :
a. Adanya rasa yang senasib dan seperjuangan yang diakibatkan oleh faktor-faktor sejarah
Indonesia telah mengalami sejarah yang kelam di masa lalu, terutama zaman dimana
Indonesia dijajah oleh bangsa lain selama bertahun-tahun. Dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945, perjuangan yang dilakukan oleh setiap elemen masyarakat untuk
memperoleh kemerdekaan bukanlah sesuatu yang sifatnya main-main. Rasa senasib
seperjuangan di masa lalu yang terbawa sampai dengan masa sekarang menjadi salah satu
faktor pendorong untuk mewujudkan integrasi nasional. Jika di masa lalu rasa senasib
seperjuangan digunakan untuk memujudkan kemerdekaan Indonesia, di era sekarang ini rasa
senasib seperjuangan digunakan untuk memperkuat stabilitas nasional demi terwujudnya
persatuan Indonesia dalam integrasi nasional.

5
b. Adanya ideologi nasional
Ideologi nasional negara kita Indonesia adalah Pancasila. Sebagai ideologi nasional,
Pancasila tidak dapat digantikan oleh ideologi manapun. Walalupun Indonesia terdiri dari
banyak kepercayaan, arti penting dan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemaknaan ideologi
nasional yaitu Pancasila dilakukan melalui implementasi nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan integrasi nasional di Indonesia. Melalui pemaknaan
ideologi nasional yaitu Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, integrasi nasional akan lebih
mudah untuk diwujudkan.
c. Adanya ancaman dari luar
Ancaman-ancaman dari luar di era globalisasi sekarang ini tidak dapat diartikan sebagai
ancaman yang menjajah seperti pada masa kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi ancaman dari luar dalam kaitannya dengan bahaya globalisasi dan
modernisasi, integrasi nasional perlu diwujudkan di setiap lapisan masyarakat yang ada
tinggal di wilayah Indonesia.
d. Penggunaan bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Jika melihat sejarah, hal ini telah
dikumandangkan sejak di gelorakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang berbunyi
“Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuaan Bahasa Indonesia”.
Dengan semangat para pemuda tersebut maka, disepakati Bahasa Indonesia adalah bahasa
pemersatu tanpa memandang perbedaan di dalamnya.
e. Semangat persatuan serta kesatuan di dalam Bangsa.
Kesadaran akan persatuan perlu dimunculkan dalam semangat persatuan dan kesatuan, hal ini
diperlukan untuk menjalin rasa kekeluargaan, persahabatan, dan sikap saling tolong-
menolong antar sesama dan bersikap nasionalisme, serta menjalin rasa kemanusiaan yang
memiliki sikap dan toleransi serta keharmonisan untuk hidup secara berdampingan.
f. Adanya Kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang sama yakni Pancasila.
Pancasila adalah landasan idiil bangsa yang kedudukannya sangat berpengaruh bagi jalannya
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi seseorang yang di dalam jiwanya terdapat sifat
patriotisme yang tinggi, maka Ia akan selalu menerapkan butir-butir Pancasila di setiap aspek
kehidupannya.
g. Adanya jiwa dan rasa semangat dalam bergotong royong.
Gotong royong berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan.
Sikap gotong royong adalah bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan.

6
2.3. FAKTOR PENGHAMBAR INTEGRASI POLITIK
Faktor penghambat sendiri merupakan suatu penghalang untuk melakukan tindakan
secara individu maupun kelompok. Beberapa faktor penghambat terwujudnya integrasi
nasional diantaranya:
a. Kurangnya penghargaan terhadap kemajemukan.
Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah suku dan kebudayaan terbanyak di dunia.
Namun sayangnya, ada beberapa pandangan masyarakat terhadap pemerintah tentang
keberagaman ini. Ada beberapa kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat yang
kurang diperhatikan oleh pemerintah terutama yang berkaitan dengan kebudayaan setempat.
Kurangnya penghargaan terhadap kemajemukan yang dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat Indonesia sendiri membuat kemajemukan itu terkikis secara perlahan-lahan.
b. Kurangnya toleransi antar sesama golongan.
Kurangnya toleransi terhadap keberagaman dan kemajemukan yang ada di masyakat menjadi
salah satu penyebab konflik sosial. Dampak akibat konflik sosial yang terjadi di dalam
masyarakat terutama dalam hal yang berkaitan dengan toleransi akan mengurangi rasa
persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, kurangnya toleransi terhadap perbedaan yang
terjadi secara terus-menerus akan membuat sebuah bangsa hancur akan sendirinya sehingga
integrasi nasional tidak akan pernah terwujud.
c. Kurangnya kesadaran di dalam diri masing-masing rakyat Indonesia
Kurangnya kesadaran diri dalam diri masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan juga
menjadi salah satu faktor yang mengambat terwujudnya integrasi nasional. Di era globalisasi,
masyarakat menjadi lebih individualistis dan cenderung tidak memperdulikan kondisi dan
situasi yang ada di sekitarnya. Jika tidak dicegah, rasa kesadaran diri yang berkurang sebagai
dampak globalisasi akan makin mempersulit terwujudnya integrasi nasional. Oleh karena itu,
diperlukan kiat-kiat untuk membangun karakter bangsa di era globalisasi untuk meningkatkan
kesadaran diri masyarakat untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan demi terwujudnya
integrasi nasional bangsa.
d. Adanya sikap ketidakpuasan terhadap ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagian wewenang dan tanggungjawab
pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Dengan begitu akan semakin
nampak ketimpangan baik sosial maupun ekonomi antar daerah. Untuk menyeimbangkan
ketimpangan tersebut diperlukan kesadaran diri akan rasa keadilan sosial yang merata di
berbagai daerah di Indonesia.

7
2.4. JENIS-JENIS INTEGRASI POLITIK
Merujuk pada tulisan Ramlan Surbakti, integrasi politik dibagi menjadi lima jenis,
yaitu: 
1. Integrasi Bangsa
Integrasi Bangsa merupakan proses penyatuan berbagai kelompok sosio budaya
kedalam suatu kesatuan wilayah kedalam suatu indentitas nasional. Integrasi bangsa perlu
dibangun dalam sebuah sistem politik jika dalam suatu negara terbentuk atas dasar struktur
masyarakat yang majemuk. Berbagai suku, ras, penganut agama, pengguna bahasa, penganut
adat, penghayat nilai, dan ideologi yang berbeda-beda tersebut perlu disatukan dalam sebuah
sistem politik yang integratif. Berbagai elemen atau komponen bangsa yang berbeda-beda
tersebut disatukan dalam satu kesatuan yang utuh, sehingga perbedaan nilai-nilai kultural
masing-masing komponen pembentuk bangsa dalam bentuk hubungan yang saling
berhubungan dan dalam keadaan yang saling tergantung antara satu sama lain. Melalui proses
dan upaya penggabungan ini, maka paksi-paksi kecil dalam bentuk elemen bangsa akan
membentuk sebuah tatanan yang lebih besar yang disebut sebagai bangsa.
Cliford Geertz mengemukakan bahwa pada dasarnya ada lima pola nyata keragaman
primordial dalam masyarakat majemuk, yaitu : (1) pola kelompok dominan dengan minoritas;
(2) pola kelompok sentral dengan beberapa kelompok menengah yang agak menentang; (3)
pola tidak ada kelompok yang dominan; (4) pola kelompok budaya yang seimbang; (5) pola
berdasarkan pembagian etnik yang terdiri atas banyak kelompok kecil. Berdasarkan lima pola
tersebut, maka Ramlan Surbakti merujuk pendapat Weiner mengajukan garis besar kebijakan
yang bisa ditempuh oleh pemerintah dalam mengintegrasikan bangsa. Kebijakan tersebut
diantaranya :
1) Penghapusan sifat kultural utama dari kelompok-kelompok minoritas dan
mengembangkan semacam “kebudayaan nasional”, biasanya kebudayaan kelompok
budaya yang dominan. Kebijakan seperti ini biasanya disebut asimilasi.
2) Pembentukan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaan kelompok budaya
yang kecil-kecil. Kebijakan seperti ini disebut kebijakan unity of diversity atau
kesatuan dalam perbedaan, yang sevara politis ditandai dengan penjumlahan etnik.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang jika mengikuti pendapat
yang dikemukakan oleh Geertz tergolong dalam kelompok sentral dengan beberapa
kelompok menengah yang agak menentang, yaitu Jawa dan Luar Jawa. Akan tetapi, pada
kenyataannya justru bahasa nasional yang diambil tidak dari bahasa Jawa, justru diambil dari

8
bahasa budaya kelompok minorita, yaitu bahasa Melayu, walaupun pada akhirnya bahasa
tersebut dalam perkembangannya diperkaya dengan kosa-kata dari bahasa Jawa, bahasa dari
daerah lain, dan bahasa asing, sedangkan dalam menangani masalah integrasi bangsa.
Perbedaan antara unsur-unsur budaya tersebut terangkum dalam prinsip Bhinneka Tunggal
Ika. Akan tetapi, asumsi ini juga tidak benar seluruhnya, sebab dalam kenyataannya
kebudayaan nasional Indonesia lebih banyak didominasi kebudayaan Jawa. Hal ini dapat
dilihat dari simbol-simbol, lambang negara, dan kebiasaan politik di tingkat nasional yang
acap kali menggunakan simbol-simbol Jawa.

2. Integrasi Wilayah
Integrasi Wilayah adalah pembentukan kewenangan nasional pusat terhadap wilayah
atau daerah politik yang lebih kecil yang mungkin berdasarkan kelompok sosial budaya
tertentu. Yang dikemukakan oleh Organsky bahwa salah satu problema yang dihadapi oleh
pemerintah dalam negara-negara baru terbentuk adalah pembentukan pemerintah pusat yang
menguasai seluruh wilayah dan penduduk yang ada dalam batas wilayah tersebut.
Pengertian Negara (state) ditujukan pada adanya pusat kekuasaan yang menguasai
wilayah-wilayah yang menjadi batas wilayahnya, pengertian Bangsa (nation) lebih
menunjukkan pada adanya kesamaan identitas pada penduduk atau warga yang mendiami
wilayah negara tersebut dan adanya kesetiaan kepada negara. Pengertian ini mendasari
asumsi bahwa integrasi wilayah suatu negara erat kaitannya dengan pembinaan negara (state
building) dan integrasi bangsa berhubungan dengan pembinaan bangsa (nation building).

3. Integrasi Nilai
Integrasi nilai dipahami sebagai persetujuan bersama mengenai tujuan dan prinsip
dasar politik, prosedur-prosedur pemecahan masalah bersama, dan penyelesaian konflik yang
timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Integrasi nilai akan menciptakan suatu sistem nilai
tertentu yang akan menjadi tujuan bersama masyarakat dan akan menjadi prosedur
penyelesaian konflik yang timbul diantara warga masyarakat atau warga negara. Maka kedua
dasar ideologi dan konstitusional tersebut dijadikan pijakan dalam setiap menentukan arah
tujuan negara atau dasar negara, sehingga melalui rumusan tersebut negara diselenggarakan.
Sistem nilai yang dirumuskan didalam Pancasila dan UUD 1945 tersebut menjadi tujuan
berbangsa dan bernegara dan menjadi pemersatu bangsa.

9
10
4. Integrasi Elite
Integrasi elite dengan khalayak adalah upaya untuk menghubungkan antara kaum elite
yang memerintah dengan khalayak atau rakyat yang diperintah. Kekuasaan dipahami sebagai
hubungan sosial dimasa seseorang atau sekelompok memiliki kemampuan memengaruhi
pihak lain terlepas dalam bentuk apa pengaruh itu, tetapi pihak yang dipengaruhi merupakan
kelompok yang secara riil menjadi pihak penurut atas kehendak pihak yang memengaruhi.
Kewenangan merupakan bentuk pengaruh dari penguasa kepada pihak yang dikuasai, tetapi
bentuk pengaruh tersebut memiliki dasar persetujuan bersama. Antara kekuasaan dan
kewenangan adalah sama-sama dalam bentuk adanya pihak yang memerintah dan yang
diperintah, akan tetapi perbedaannya terletak pada sifat memerintah dari pihak penguasa
tersebut diakui kepemerintahannya oleh pihak yang diperintah atau tidak. Didalam struktur
pemerintahan negara yang merdeka dianggap sebagai sistem pemerintahan yang lebih absah
karena dasar kepemerintahan yang ada adalah adanya kesepakatan nilai-nilai antara pihak
yang memerintah dan pihak yang diperintah.

5. Perilaku yang Integratif


Perilaku Integratif adalah kesediaan warga masyarakat untuk bekerjasama dalam
suatu organisasi (pemerintah) dan berperilaku sesuai dengan cara yang dapat membantu
pencapaian tujuan organisasi tersebut. Perilaku integratif dipahami sebagai kesesuaian antara
perilaku pihak yang memerintah dengan yang diperintah dalam mencapai tujuan berbangsa
dan bernegara. Dalam menghadapi berbagai tantangan, suatu bangsa harus mengintegrasikan
sikap dan perilaku antara pemerintah selaku pembuat kebijakan dan rakyat yang akan
menerima kebijakan tersebut. Perlu sekali dalam program dan pelaksanaan pembangunan,
perlu diintegrasikan antara sikap dan perilaku rakyat dengan sikap dan perilaku para
pemimpinnya, sehingga interaksi yang terjadi didalam sistem politik tersebut berada dalam
posisi konsensus.

2.5. BAGAIMANAKAH PROSES INTEGRASI POLITIK DI INDONESIA


James J. Coleman dan Carl G. Roseberg melihat integrasi politik sebagai bagian dari
integrasi nasional yang memiliki dua dimensi yakni vertikal (elit-massa) dan horizontal (atau
teritorial). Menurut mereka, integrasi politik bersifat vertikal, yang bertujuan untuk
menjembatani perbedaan yang mungkin ada antara elit dan massa. Adapun integrasi
horizontal bertujuan untuk mengurangi ketegangan akibat rasa keaderahan sehingga tercipta
masyarakat politik yang homogen. Sementara sebagian dari ilmuwan lain melihat integrasi
nasional memiliki arti yang sama dengan integrasi teritorial seperti yang dikemukakan

11
Coleman dan Rosberg. Akan tetapi Claude Ake menolak istilah integrasi nasional dan lebih
memilih integrasi politik (Nazaruddin, 1989).
Senada dengan Ake, Nazaruddin (1989) juga lebih cenderung terhadap istilah
integrasi politik, sebab menurutnya integrasi politik tidak hanya sebatas hubungan
mempersatukan antara elit dengan massa saja. Secara definisi, menurut Nazaruddin (1989)
integrasi politik merupakan suatu proses integrasi yang mengandung bobot politik dan
karenanya prosesnya bersifat politik. Integrasi politik bisa mencakup bidang vertikal maupun
horizontal. Sehingga integrasi politik melibatkan dua hal, pertama, membuat rakyat tunduk
dan patuh pada tuntutan negara. Dalam hal ini rakyat mengakui dan mematuhi hak-hak yang
dimiliki oleh negara. Kedua, bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur
tingkah laku politik anggota masyarakat (Nazaruddin, 1989).
Merujuk pada Myron Weiner (1971), terdapat dua strategi yang dapat ditempuh untuk
mengatasi kedua masalah tersebut, yakni asimilasi dan persatuan dalam keanekaragaman (di
Indonesia dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika). Asimilasi adalah dijadikannya kebudayaan
suku yang dominan di sebuah negara sebagai kebudayaan nasional. Sedangkan bhineka
tunggal ika menyiratkan bahwa pembentukan kesetiaan nasional tidak menghilangkan
kebudayan kelompok minoritas. Selain itu, kematangan budaya politik sebuah bangsa
merupakan seuatu prakondisi penting bagi terbentuknya integritas politik sebuah bangsa. Jika
merujuk pada Almond dan Verba (1963), kematangan suatu budaya politik sangat
berkesesuaian dengan struktur politik dan kebudayaan (Nazaruddin, 1989).
Dari sejarah pembentukan Indonesia bisa dibilang yang mempersatukan sebuah
daerah dengan daerah yang lain di Indonesia adalah adanya persamaan dijajah oleh Belanda.
Sehingga sebagai sebuah negara yang multi etnis, di awal-awal tahun pertamanya, secara
budaya politik Indonesia memang belum matang. Rakyat belum mampu menerima struktur
politik yang baru terbentuk, sementara mereka masih berada di bawah pengaruh nilai-nilai
tradisional mereka (Nazaruddin, 1989).
Dengan menggunakan konsep Coleman dan Rosberg mengenai integrasi vertikal dan
horizontal, Liddle mengidentifikasikan dua jenis halangan integrasi yang dihadapi oleh negeri
ini. Pertama, pembelahan horizontal akibat perbedaan suku, ras, agama dan geografi. Secara
kesukuan misalnya, Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa. Dalam hal agama, penduduk
Indonesia juga memiliki keragaman agama. Kedua, hambatan yang bersifat vertikal yakni
perbedaan antara elit dan massa. Kaum elit di Indonesia memiliki latar belakang pendidikan
yang lebih tinggi dari kaum massa dengan gaya hidup kebarat-baratan. Perbedaan ini akan

12
mengakibat terciptanya jurang komunikasi, baik dalam hal perbedaan kepentingan ataupun
perbedaan pola berfikir (Nazaruddin, 1989).
Meski potensi perpecahan secara horizontal dan vertika telah ada sejak lama di
Indonesia, namun adanya perasaan senasib dan ingin memiliki masa depan yang sama telah
menumbuhkan nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia. Sehingga kemudian dengan
nasionalisme itulah rakyat Indonesia mampu bersatu di bawah naungan bendera merah putih.
Akan tetapi setelah Indonesia terbentuk, kembali muncul semangat kedaerahan. Sehingga
bisa dikatakan nasionalisme dan patriotisme hanya mampu mengusir penjajah namun tidak
mampu untuk mengintegrasikan Indonesia (Nazaruddin, 1989).
Ada berbagai perspektif ilmuwan yang mencoba menganalisis keadaan yang
mengancam integrasi politik di Indonesia yang diuraikan oleh Nazaruddin (1989) dalam
bukunya. Jika merujuk pada Nawawi, ia melihat bahwa kesukuan dan stagnasi dan diperparah
oleh dampak penjajahan merupakan akar dari regionalism yang terjadi di Ambon. Sedangkan
Herbert Feith melihat bahwa kurangnya integrasi ini kaena dua budaya politik yakni
aristokrasi jawa dan kewiraswastaan Islam, yakni adanya benturan antara ideologi-ideologi
Pancasila dan Islam. Sedangkan Hans O. Schmit melihat sumber konflik dikarenakan
perbedaan kepentingan ekonomi Jawa dan luar Jawa (Nazaruddin, 1989).
Nazaruddin (1989) mengemukakan tesis-nya sendiri untuk menguraikan
permasalahan integrasi politik di Indonesia. Menurutnya ada tiga hal yang perlu dilihat untuk
memahami masalah integrasi di Indonesia. Pertama, masalah integrasi politik timbul sebagai
konsekuensi dari dimobilisasinya sebagian besar rakyat dan penyebaran senjata di dalam
revolusi nasional. Sehingga kemudian meningkatnya komunikasi sosial antara kelompok-
kelompok etnis tidak mampu meningkatkan kesadaran nasional. Bahkan memperkuat
kesukuan dan kedaerahan.
Nasionalisme kemudian tidak mampu menghilangkan prasangka di antara kelompok-
kelompok etnis karena pertama, nasionalisme di dalam masyarakat yang majemuk cenderung
untuk mempertegas pembelahan-pembelahan dan mempertentangkan antara satu suku dengan
lainnya. Kedua, watak nasionalisme itu sendiri yang hanya melihat permasalahan kedudukan
negara terhadap negara lain tanpa mampu menghadapi permasalahan kesukuan. Sedangkan
permasalahan kedua dari integrasi politik di Indonesia adalah adanya sentralisasi birokrasi
yang dijalankan kabinet 1950-an sehingga tidak mendorong integrasi, justru menambah
kemarahan di beberapa daerah. Ini dapat dipahami karena di daerah mengalami kekurangan
sumber daya yang memadai untuk mengurus birokrasi. Oleh karenanya pemerintah saat itu

13
memakai kebijakan asimilasi ala Weigner meski slogan nasionalnya adalah Bhinneka
Tunggal Ika. 
Adapun faktor ketiga adalah tidak adanya satu partai politik yang mampu
mengintegrasikan kekuatan politik yang beraneka warna (Herbert Feith membagi lima aliran
politik Indonesia saat itu dimana tampak kelima aliran tersebut tidak terhubung satu dengan
lainnya sehingga tidak mampu ada yang menjembatani ataupun mempersatukan kelima
ideologi tersebut. Lihat lebih lengkap dalam buku Herbert Feith dan Lance
Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965). Sebab dalam demokrasi partai politik
memiliki dua peranan sekaligus yakni sbeagai penyalur konflik dan instrumen integrasi. Dari
empat partai utama yang ada di tahun 1955 yakni Masyumi, NU, PKI dan PNI. Dari keempat
partai tersebut, hanya Masyumi yang memiliki pengaruh hampir tersebar di seluruh
nusantara. Sementara ketiga partai lainnya hanya memiliki basis di Jawa. Menurut
Nazaruddin keberhasilan Masyumi dalam mendapatkan dukungan yang menyebar tersebut
dikarenakan gabungan antara integrasi dengan apirasi etnis yang dilakukan partai tersebut.
Sehingga dari pengalaman Masyumi dapat dilihat bahwa keberhasilan ideologi dalam
integrasi lebih ampuh jika dipadukan dengan kemampuan menyerap asipirasi daerah.
Secara umum Nazaruddin mengeksplorasi permasalahan integrasi yang dimiliki oleh
Indonesia dengan sangat baik dan komprehensif. Tidak seperti pemikir lain yang hanya
melihat konflik-konflik di Indonesia secara parsial, sehingga teorinya hanya mampu
menjelaskan sejumlah kasus di Indonesia tanpa mampu menjelaskan kasus lainnya. Maka
Nazaruddin mampu untuk melihat secara komprehensif permasalahan substansial yang
sebenarnya dihadapi Indonesia dalaam konflik integrasi politik. Sehingga kemudian tesisnya
tersebut mampu menjelaskan masalah ini secara keseluruhan.
Akan tetapi terdapat pula kritik terhadap tulisan Nazaruddin. Dari segi pembahasan,
Nazaruddin terlampau banyak melakukan pendahuluan dalam eksplorasi teori-teori yang
hendak ia gunakan. Tetapi kemudian ketika dalam level analisis, hanya sedikit ulasan
mengenai teori tersebut dalam menjelaskan analisis yang dikemukakannya. Selain itu
terdapat kontradiktif antara pernyataannya dengan data yang ia kemukakan. Dalam hal ini
ketika ia mengungkapkan bahwa salah satu masalah integrasi politik timbul di Indonesia
karena tidak adanya partai politik yang mampu mengintegrasikan kekuatan politik yang
aneka warna. Namun kemudian Nazaruddin menjabarkan mengenai kekuatan Masyumi yang
mampu mendapat dukungan dari hampir seluruh wilayah nusantara. Inilah yang dimaksudkan
dengan adanya kontradiksi tersebut. Seharusnya jika ingin memperkuat argumentasinya

14
Nazaruddin memberikan penjabaran lebih lanjut bahwa meskipun Masyumi mendapatkan
dukungan dari masyarakat luas, namun belum mampu mengintegrasikan politik di Indonesia. 
Adapun merujuk pada Indonesia di Orde Baru, untuk mengintegrasikan wilayah
Indonesia, Soeharo mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sentralistis bahkan represif.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lebih cenderung untuk melakukan homogenisasi
ketimbang mengakomodasi perbedaan. Salah satu bukti konkritnya adalah ketika
diharuskannya pemakaian baju bagi suku Asmat di Papua, yang ternyata justru menimbulkan
masalah. Meski demikian, kebijakan-kebijakan yang represif tersebut ternyata tidak mampu
meredam konflik integrasi di Indonesia. Di sejumlah gerakan daerah masih melakukan
perlawanan terhadap pemerintah pusat seperti GAM di Aceh ataupun OPM di di Papua
(Nazaruddin, 1989).
Baru di masa reformasi, pemerintah pusat mulai mengakomodasi keinginan daerah dengan
diberlakukannya kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah. Dan terbukti bahwa
integrasi politik justru menguat ketika pemerintah daerah mampu mengakomodasi keinginan
di daerah. Namun tidak dipungkiri masih banyak kebijakan-kebijakan yang berbau
homogenisasi dan tidak mengakomodasi kepentingan daerah. Salah satu contoh konkrit
adalah kebijakan kurikulum pendidikan 2013 yang menghilangkan pelajaran muatan lokal
yang bermanfaat untuk melestarikan pengetahuan mengenai kedaerahan. Tentu hal ini
merupakan langkah mundur dalam menuju integrasi politik Indonesia (Nazaruddin, 1989).

2.6. ANCAMAN TERHADAP INTEGRASI POLITIK DI INDONESIA


1. Ancaman integrasi politik dari dalam negeri
Ancaman berdimensi politik yang bersumber dari dalam negeri dapat berupa
penggunaan kekuatan seperti pengerahan massa. Pengerahan massa bisa memiliki agenda
kudeta atau menumbangkan suatu pemerintahan yang berkuasa, atau menggalang kekuatan
politik untuk melemahkan kekuasaan pemerintah. Contohnya politik berdasarkan SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan) serta politik identitas yang sangat menguat pada
Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017. Diskriminasi SARA dan identitas dimanfaatkan untuk
keuntungan politik semata. Padahal, politik SARA mengancam keutuhan keluarga,
masyarakat, dan negara. Bentuk ancaman integrasi bidang politik yang lain adalah
separatisme yang timbul dari dalam negeri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
separatisme adalah paham atau gerakan untuk memisahkan diri (mendirikan negara sendiri).
Separatisme bisa menempuh pola perjuangan politik tanpa senjata dan perjuangan
bersenjata. Pola perjuangan politik tanpa senjata sering ditempuh untuk menarik simpati
masyarakat internasional. Maka dari itu, separatisme sulit dihadapi dengan menggunakan
kekuatan militer. Contohnya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang ingin
mendirikan Negara Islam Indonesia sejak masa kemerdekaan. Di era setelah Reformasi, ada
Hizbut Tahrir, gerakan yang ingin menjadikan Indonesia negara Islam atau khilafah. Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) akhirnya dibubarkan karena dianggap mengancam keutuhan NKRI.

15
Banyak pihak yang khawatir jika radikalisme dan ekstremisme dibiarkan, Indonesia akan
porak poranda seperti halnya Afghanistan dan Suriah yang dikuasai kelompok Islam radikal.
Dengan demikian, ancaman di bidang politik memiliki tingkat risiko yang besar. Sebab
mengancam kedaulatan, keutuhan dan keselamatan bangsa.

2. Ancaman integrasi politik dari luar negeri


Dari luar negeri, ancaman di bidang politik dilakukan oleh negara lain dengan
melakukan tekanan politik terhadap Indonesia. Bentuk ancaman nonmiliter berdimensi politik
antara lain intimidasi, provokasi atau blokade politik. Ancaman tersebut seringnya digunakan
oleh pihak-pihak dari luar untuk menekan suatu negara yang lebih lemah. Negara yang
berdaulat harus bisa mengelola negaranya sendiri tanpa campur tangan negara lain.
Contohnya, setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia masih berusaha dikuasai oleh
Belanda. Belanda melakukan serangan, blokade ekonomi, hingga membebani utang ke
Indonesia. Contoh ancaman politik dari luar negeri lainnya yakni selama Perang Dingin,
Amerika Serikat selalu mencampuri urusan negara lain termasuk Indonesia. Di Indonesia,
diperkirakan di masa depan masih ada potensi bentuk ancaman integrasi nasional berdimensi
politik dari luar negeri. Untuk menghadapi ancaman integrasi politik di Indonesia yang
bersumber dari luar negeri, diperlukan peran dari fungsi pertahanan nonmiliter.

2.7. CARA MENGATASI ANCAMAN TERHADAP INTEGRASI POLITIK DI


INDONESIA
Dalam menghadapi ancaman yang berdimensi politik, strategi pertahanan di bidang
politik ditentukan oleh kemampuan sistem politik dalam menanggulangi segala bentuk
ancaman yang ditujukan kepada keidupan politik bangsa Indonesia. Menurut Noor Ms Bakry,
strategi di bidag politik terwujud dengan adanya kehidupan politik bangsa yang berlandaskan
demokrasi Pancasila yang telah mampu memelihara stabilitas politik yang schat dan dinamis
serta mampu melaksanakan politik luar negeri bebas aktif.

Adapun langkah langkah yang ditempuh untuk melaksanakan strategi dalam


menghadapi ancaman berdimensi politik dilakukan melalui dua pendekatan berikut:

1) Pendekatan ke dalam, yaitu pembangunan dan penataan sistem politik dalam negeri yang
sehat dan dinamis dalam kerangka demokrasi yang menghargai kebhinnckaan atau
kemajemukan bangsa Indonesia. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya stabilitas
politik dalam negeri yang dinamis serta memberikan efek penangkal yang tinggi. Pentaan
ke dalam diwujudkan melalui pembangunan dan penataan sistem politik dalam negeri
yang dikemas kedalam penguatan tiga pilar berikut.

16
a) Penguatan penyelenggaraan pemerintahan negara yang sah, efektif, bersih, bewibawa,
bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan bertanggung jawab yang
berkemampuan mewujudkan tujuan pembentukan pemerintahan Negara, seperti
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
b) Penguatan lembaga legislatif sehingga menjadi lembaga yang berkualitas dan
professional pada bidang lainnya. Lembaga legislatif yang mampu bekerja sama
dengan pemerintah dalam memproses dan melahiran produk produk legislasi (berupa
peraturan perundang undangan) bagi kepentingan pembangunan nasional.
c) Penguatan kekuatan politik nasional baik partai politik maupun organisasi masyarakat
sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat sebagai subjek politik dan
pembangunan nasional. Kekuatan politik berkewajiban mewujudkan dan
meningkatkan perannya dalam pendidikan politik bagi warga Negara.

2) Pendekatan ke luar yang diarahkan untuk mendinamisasikan strategi dan upaya


diplomatik melalui peningkatan peran instrument politik luar negeri dalam membangun
kerjasama dan saling percaya dengan negara negara lain sebagai kondisi untuk mencegah
atau mengurangi potensi konflik antar negara, yang dimulai dari tataran internal, regional,
supraregional, hingga global. Pendekatan ke luar diwujudkan dengan cara berikut:
a) Pada lingkup internal, yaitu melalui penciptaan, pembangunan dan peningkatan
kondisi dalam negeri yang semakin mantap dan stabil, yang dibarengi dengan upaya-
upaya peningkatan dan perbaikan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan kuat serta
penguatan dan peningkatan kehidupan sosial kemasyarakatan.
b) Pada lingkup regional, politik dan diplomasi Indonesia diarahkan untuk selalu aktif
dan berperan dalam membangun dan meningkatkan kerjasama dengan negara lain
dalam kerangka prinsip saling percaya, saling menghargai, dan tidak saling
mengintervensi urusan dalam negeri.
c) Pada lingkup supraregional, politik luar negeri dikembangkan untuk berperan dalam
penguatan ASEAN plus Enam yang terdiri atas 10 negara anggota bersama sama
dengan Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru, melalui
hubungan bilateral yang harmonis dan terpelihara serta diwujudkan dalam kerjasama
yang lebih konkret. Dalam kerangka penguatan ASEAN plus Enam tersebut, kinerja
politik luar negeri Indonesia harus mampu membangun hubungan dan kerjasama yang
memberikan jaminan atas kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan

17
Republik Indonesia, tidak adanya intervensi, terutama jaminan tidak adanya agresi
terhadap wilayah kedaulatan Indonesia.

Pada lingkup global, politik luar negeri harus memainkan perannya secara maksimal
dalam memperjuangkan kepentingan nasional melalui keberadaan Indonesia sebgai anggota
PBB, Gerakan Non blok, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Forum Regional ASEAN
(ARF). Peran diplomasi harus mampu mengidentifikasi potensi potensi ancaman berdimensi
politik yang mengancam kedaulatan dan kepentingan nasional Indonesia serta melakukan
langkahlangkah pencegahan.
Usaha pertahanan dan keamanan negara Indonesia merupakan tanggung jawab
seluruh Warga Negara Indonesia. Dengan kata lain, pertahanan dan keamanan negara tidak
hanya menjadi tanggung jawab TNI dan POLRI saja; tetapi masyarakat sipil juga sangat
bertanggung jawab terhadap pertahanan dan kemanan negara.

18
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Integrasi Politik menunjukkan pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk
akhir’ penyatuan politik ditingkat global atau regional diantara unit-unit nasional yang
terpisah. Integrasi Politik merupakan penyatuan kelompok yang berbeda, masyarakat maupun
wilayah, kedalam suatu organisasi politik yang bisa bekerja atau bertahan hidup bersama.
Integrasi Politik sangatlah penting bagi suatu bangsa, karena bilamana negara tersebut
memiliki integrasi politik yang lemah, maka sudah bisa dipastikan bahwa negara tersebut
akan sering mengalami kekacauan dalam dunia perpolitikannya.
Integrasi Politik tidak hanya harus dijaga oleh Pemerintah saja namun juga harus turut
dijaga oleh seluruh rakyat Indonesia, sebagai bangsa yang besar dan memiliki kemajemukan
yang tinggi menjaga Integrasi Politik adalah hal yang sangatlah penting untuk kita semua.

19
DAFTAR PUSTAKA

Wibowo, I, 2000, Negara dan Mayarakat : Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat
Cina, gramedia, Jakarta.
Winarno. 2007, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi.
Bumi aksara, jakarta.
Buku Panduan Kewarganegaraan Tahun 2014. Universitas Sriwijaya. UPT Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian.

20

Anda mungkin juga menyukai