NIM : 2020405030
PROGRAMSTUDI : MAGISTER EKONOMI SYARIAH
MATA KULIAH : USHUL FIQH
KETERANGAN : QUIZ KE 4
Dari ucapan beliau bisa kita ambil ibroh, bahwa seorang ulama’ besar sekalipun tidak
memaksa seseorang untuk selalu mengikuti fatwanya. Jika ucapannya ada yang
menyelisihi sunnah nabi. Lalu bagaimana dengan manusia zaman sekarang yang jelas
jauh dari derajat ma’sum tak luput dari kesalahan dan ilmunya juga belum bisa di
setarakan dengan ulama’ terdahulu?
Oleh karena itu maksud saya boleh menolak disini bukan berarti kita meremehkan
kapasitas ilmu dari MUI, akan tetapi kita hanya boleh menolak jika fatwa dari MUI
tersebut bertentangan dengan Al – Quran dan Sunnah. Namun jika fatwanya di landaskan
dengan dalil yang kuat maka kita wajib untuk mengikuti fatwa tersebut.
Contoh:
[Fatwa nomor 32/ DSN – MUI/IX/2002 yang menghalalkan sukuk ritel atau obligasi
syari’ah]
Saya menolak isi dari fatwa tersebut dengan alasan bahwa terkait akad transaksi yang di
lakukan oleh sukuk di Indonesia tidak halal dan belum sesuai standar syariah. Skema
transaksinya sama percis dengan yang dilakukan oleh negara di seluruh dunia.
Mereka menamakan sukuk Ijarah namun secara praktiknya tidak sesuai dengan prinsip
akad Ijarah, namun akad transaksi yang terjadi adalah akad jual beli Wafa’. Yang mana
mayoritas ulama’ dari mazhab Maliki, Syafi’I, Hanbali dan sebahagian ulama’ mazhab
Hanafi telah mengharamkan jual beli wafa’.
Oleh karena itu transaksi sukuk yang dilakukan sekarang mengandur unsur riba. Dan
jelas bahwa jual beli wafa’ berdasarkan pendapat mayoritas ulama’ adalah haram. Contoh
ini jelas bahwa saya sebagai individu warga negara Indoneisa boleh saja untuk tidak
mengitu atau menolak fata MUI terhadap sukuk ijarah yang ada di Indonesia saat ini.