Anda di halaman 1dari 3

NAMA : ARINALDI NUGRAHA

NIM : 2020405030
PROGRAMSTUDI : MAGISTER EKONOMI SYARIAH
MATA KULIAH : USHUL FIQH
KETERANGAN : QUIZ KE 4

1. Hukum Menolak Ijtihad MUI.


Adapun terkait perkara menolak ijtihad dari MUI menurut berbagai referensi yang telah
saya telusuri bahwa tidak adanya dalil yang melarang akan hal tersebut. Oleh karena itu
dapat saya simpulkan bahwa hukum menolak ijtihad dari MUI mubah atau boleh saja,
karena persepsi setiap individu tentunya pasti berbeda. Dari setiap individu itu pun
menolak fatwa karena alasan yang jelas seperti: menyelisihi nash, dalilnya dari sanad
yang lemah dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang di ucapkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah:


“Apabila ada ucapan atau fatwa dariku yang menyelisihi sunnah nabi maka buanglah
pendapatku tersebut ke tembok, dan ikutilah sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”

Dari ucapan beliau bisa kita ambil ibroh, bahwa seorang ulama’ besar sekalipun tidak
memaksa seseorang untuk selalu mengikuti fatwanya. Jika ucapannya ada yang
menyelisihi sunnah nabi. Lalu bagaimana dengan manusia zaman sekarang yang jelas
jauh dari derajat ma’sum tak luput dari kesalahan dan ilmunya juga belum bisa di
setarakan dengan ulama’ terdahulu?

Oleh karena itu maksud saya boleh menolak disini bukan berarti kita meremehkan
kapasitas ilmu dari MUI, akan tetapi kita hanya boleh menolak jika fatwa dari MUI
tersebut bertentangan dengan Al – Quran dan Sunnah. Namun jika fatwanya di landaskan
dengan dalil yang kuat maka kita wajib untuk mengikuti fatwa tersebut.
Contoh:
[Fatwa nomor 32/ DSN – MUI/IX/2002 yang menghalalkan sukuk ritel atau obligasi
syari’ah]

Saya menolak isi dari fatwa tersebut dengan alasan bahwa terkait akad transaksi yang di
lakukan oleh sukuk di Indonesia tidak halal dan belum sesuai standar syariah. Skema
transaksinya sama percis dengan yang dilakukan oleh negara di seluruh dunia.

Mereka menamakan sukuk Ijarah namun secara praktiknya tidak sesuai dengan prinsip
akad Ijarah, namun akad transaksi yang terjadi adalah akad jual beli Wafa’. Yang mana
mayoritas ulama’ dari mazhab Maliki, Syafi’I, Hanbali dan sebahagian ulama’ mazhab
Hanafi telah mengharamkan jual beli wafa’.

Oleh karena itu transaksi sukuk yang dilakukan sekarang mengandur unsur riba. Dan
jelas bahwa jual beli wafa’ berdasarkan pendapat mayoritas ulama’ adalah haram. Contoh
ini jelas bahwa saya sebagai individu warga negara Indoneisa boleh saja untuk tidak
mengitu atau menolak fata MUI terhadap sukuk ijarah yang ada di Indonesia saat ini.

2. Apa pandangan anda terhadap kemungkinan ulama menetapkan perubahan ijtihad


yang lama menjadi ijtihad yang baru?
Menurut pandangan saya hal tersebut boleh saja dilakukan mengingat keadaan di masa
lalu tentunya berubah di masa yang sekarang ini. Jika ijtihad yang dahulu di terapkan
pada masa sekarang tentunya tidak relevan lagi dan sangat sulit untuk mencapai
kemaslahatan umat.
Contoh:
Ijtihad dahulu bahwa hukum melakukan KB adalah haram dan tidak di bolehkan karena
membatasi jumlah anak. Yang tentunya bertentangan dengan hadist nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
Namun dimasa saat ini tentunya ijtihad tersebut bisa berubah menjadi halal sesuai dengan
yang telah dikaji para ulama. Karena melakukan KB saat ini bukan untuk membatasi
jumlah anak akan tetapi untuk mengatur jarak kelahiran anak. Dan para ulama’ pun
membedakan antara arti membatasi dan mengatur. Terlebih lagi kita melihat kondisi saat
ini banyak seorang ibu yang mengancam kesehatannya karena tidak mengatur jarak
kelahiran anaknya. Oleh karena itu itu dalam merubah ijtihad lama kepada ijtihad baru itu
tentunya kita tidak bermudah – mudahan dalam menetapkan keputusan. Karena setiap
keputusan ijtihad yang di keluarkan tidak boleh sedikit pun sampai menyelishi Al quran
dan Sunnah.

Anda mungkin juga menyukai