Reformasi Birokrasi
1. Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi merupakan proses upaya sistematis, terpadu, dan komprehensif, dengan tujuan
untuk merealisasikan tata pemerintahan yang baik. Good governance (tata pemerintahan yang
baik) adalah sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan negara yang efektif dan efisien dengan menjaga sinergi yang konstruktif di
antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Reformasi birokrasi adalah upaya pemerintah meningkatkan kinerja melalui berbagai cara
dengan tujuan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Dengan demikian, reformasi birokrasi
berarti:
a. perubahan cara berpikir (pola pikir, pola sikap, dan pola tindak);
b. perubahan penguasa menjadi pelayan;
c. mendahulukan peranan dari wewenang;
d. tidak berpikir hasil produksi tetapi hasil akhir;
e. perubahan manajemen kerja;
f. mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, transparan, dan profesional, bebas korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN), melalui penataan kelembagaan, penataan ketatalaksanaan,
penataan sumber daya manusia, akuntabilitas kinerja yang berkualitas efisien, efektif, dan
kondusif, serta pelayanan yang prima (konsisten dan transparan).
Agar reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dan menunjukkan cepatnya
keberhasilan, faktor sukses penting yang perlu diperhatikan dalam reformasi birokrasi adalah:
a. Faktor Komitmen pimpinan; karena masih kentalnya budaya paternalistik dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
b. Faktor kemauan diri sendiri; diperlukan kemauan dan keikhlasan penyelenggara
pemerintahan (birokrasi) untuk mereformasi diri sendiri.
c. Kesepahaman; ada persamaan persepsi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi terutama
dari birokrat sendiri, sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat yang menghambat reformasi.
d. Konsistensi; reformasi birokrasi harus dilaksanakan berkelanjutan dan konsisten, sehingga
perlu ketaatan perencanaan dan pelaksanaan.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi
Nasional (Stratanas) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), Kementerian Kesehatan
telah melaksanakan upaya percepatanreformasi birokrasi melalui berbagai cara dan bentuk,
antara lain:
1. Disiplin kehadiran menggunakan sistem fingerprint, ditetapkan masuk pukul 8.30 dan
pulang kantor pukul 17.00, untuk mencegah pegawai melakukan korupsi waktu.
2. Setiap pegawai negeri Kemenkes harus mengisi Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), dan
dievaluasi setiap tahunnya, agar setiap pegawai mempunyai tugas pokok dan fungsi yang
jelas, dapat diukur dan dipertanggungjawabkan kinerjanya.
3. Melakukan pelayanan kepada masyarakat yang lebih efisien dan efektif ramah dan santun,
diwujudkan dalam pelayanan prima.
4. Penandatanganan pakta integritas bagi setiap pelantikan pejabat di kementerian kesehatan.
Hal ini untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK), Wilayah Birokrasi Bersih dan
Melayani (WBBM).
5. Terlaksananya Strategi Komunikasi pendidikan dan Budaya Anti- Korupsi melalui
sosialisasi dan kampanye antikorupsi di lingkungan internal/seluruh Satker Kementerian
Kesehatan.
6. Sosialisasi tentang larangan melakukan gratifikasi, sesuai dengan Pasal 12 b Ayat (1) UU
Nomor 31 Tahun 1999, menyatakan “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri sipil atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan kewajiban atau tugasnya”.
7. Pemberlakuan Sistem Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (LPSE).
8. Layanan Publik Berbasis Teknologi Informasi seperti seleksi pendaftaran pegawai melalui
online dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT).
9. Pelaksanaan LHKPN di lingkungan Kementerian Kesehatan didukung dengan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 03.01/ Menkes/066/I/2010, tanggal 13 Januari
2010.
10. Membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi, berdasarkan Surat Keputusan Inspektorat
Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor 01.TPS.17.04.215.10.3445, tanggal 30 Juli 2010.
11. “Tanpa Korupsi”, “Korupsi Merampas Hak Masyarakat untuk Sehat”, “Hari Gini Masih
Terima Suap”, dll.
2. Penilaian Risiko, adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam
pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Dengan demikian, pengendalian intern
harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik luar maupun dari
dalam.
3. Kegiatan Pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta
penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan
mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif. Kegiatan pengendalian membantu
memastikan bahwa arahan pimpinan instansi pemerintah dilaksanakan. Kegiatan
pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
4. Informasi dan komunikasi proses pengolahan data yang telah diolah dan dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan serta tersampaikan informasi harus dicatat dan dilaporkan
kepada pimpinan instansi pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan
dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan
instansi pemerintah secara berjenjang melaksanakan pengendalian dan tanggungjawab.