KELOMPOK 1
3.FORISMAN GOSAWA(2114201063)
6`DEWIRNA HULU(2114201060)
7.SARTINAH (2114201077)
9.MUHANMAD RAFFIDO(2114201070)
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja&puji sykur atas rahmat dan ridho Allah SWT. Karena tanpa
rahmat dan Ridhanya, kita Indak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat
waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu CHRISTINA MAGDALENA
T.BOLON,M.KES selaku dosen pengampu promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan yang
membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam
pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang PENDEKATAN MODEL
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari
itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah yang
sempurna.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II
BAB III
BAB VI Penutup
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan
penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi
berbagai macam penyakit lain yang disebut dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi dari virus HIV (Diatmi and Diah, 2014).
Orang yang telah di diagnosa terinfeksi positif oleh virus HIV dan AIDS maka orang tersebut
disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) (Diatmi dan Diah, 2014).
Perkembangan HIV/AIDS pertama kali dikenal pada tahun 1981, namun kasus HIV/AIDS secara
retrospektif telah muncul selama tahun 1970-an di Amerika Serikat dan di beberapa bagian di
dunia seperti Haiti, afrika, dan eropa. (Dinas Kesehatan, 2014). UNAIDS (2017) menunjukkan
terjadi peningkatan jumlah orang yang menderita HIV dari 36,1 millyar di tahun 2015 menjadi
36,7 millyar di tahun 2016. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki
tingkat prevalensi HIV/AIDS yang cukup tinggi. Kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi
Bali pada tahun 1987. Kasus HIV/AIDS telah menyebar di 407 dari 507 kabupaten/kota (80%) di
Jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Tahun
2016 jumlah kasus HIV dilaporkan sebanyak 41.250 kasus dan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
sedikit meningkat dibandingkan tahun 2015 yaitu sebanyak 7.491 kasus. Secara kumulatif, kasus
AIDS sampai dengan tahun 2016 sebanyak 86.780 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Persentase HIV dan AIDS di Indonesia tahun 2017 tercatat dari triwulan 1 (yaitu dari bulan januari
hingga Maret) dengan jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Maret 2017
sebanyak 242.699 orang. Dan jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2017
Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi HIV/AIDS yang cukup tinggi setelah DKI
Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah provinsi Bali. Total Kasus HIV dan
AIDS pada tahun 2016 di bali tercatat 2581 kasus baik yang hidup maupun yang telah meninggal.
Tahun 2017 yang tercatat hingga bulan juni, jumlah kasus HIV dan AIDS mencapai 1291 kasus.
Kabupaten/Kota di bali yang memiliki jumlah penderita HIV dan AIDS terbanyak adalah kota
Denpasar dengan jumlah kumulatif yang tercatat dari tahun 1987 hingga bulan juli 2017 sebanyak
6764 (39,1%) total kasus HIV dan AIDS yang didominasi oleh kelompok umur (20-29) tahun
Penyakit HIV/AIDS menimbulkan masalah yang cukup luas pada individu yang terinfeksi HIV/AIDS
yaitu meliputi masalah fisik, sosial dan masalah emosional. Salah satu masalah emosional
terbesar yang dihadapi ODHA adalah depresi. Depresi adalah penyakit suasana hati, depresi lebih
dari sekadar
kesedihan atau duka cita. Depresi adalah kesedihan atau duka cita yang lebih hebat dan bertahan
terlalu lama (Yayasan Spiritia, 2014). Depresi digambarkan suatu kondisi yang lebih dari suatu
perasaan sedih dan kehilangan gairah serta semangat hidup (Nugroho, 2016).
WHO memprediksi pada tahun 2020 di negara-negara berkembang depresi nanti akan menjadi
salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyakit kedua
terbesar kematian setelah serangan jantung (Lubis, 2016). Masalah depresi yang berkelanjutan
juga akan berdampak self care harian ODHA secara rutin sebagai akibatnya ODHA menjadi tidak
patuh terhadap program pengobatan, ODHA menjadi tidak teratur minum obat anti retroviral
(ARV) dalam jangka waktu yang lama, akan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup ODHA
(Hapsari, 2016).
Yaunin, dkk (2014) dalam penelitiannya menunjukkan angka kejadian depresi pada ODHA adalah
sebanyak 55,8% dengan pembagian depresi ringan 25,6%, depresi sedang 11,6%, depresi berat
4,7%, dan depresi sangat berat 14%. Depresi terbanyak ditemukan pada usia 20–39 tahun
(83,3%). Stigma dan diskriminasi negatif dari masyarakat seringkali menyebabkan ODHA
mengalami masalah seperti depresi. N. L. Lubis (2016) dalam bukunya menyatakan bahwa stres
maupun depresi yang dibiarkan berlarut-larut membebani pikiran dan dapat menganggangu
sistem kekebalan tubuh. Sehingga apabila masalah depresi dibiarkan terus menerus membebani
Salah satu intervensi dari keperawatan jiwa yang mampu mengatasi masalah psikologis pada
ODHA khususnya depresi adalah suatu relaksasi yaitu
relaksasi lima jari. Berdasarkan penelitian Nugroho (2016) yang berjudul Pengaruh intervensi
teknik relaksasi lima jari terhadap fatigue klien ca mammae di RS Tugurejo Semarang
menunjukkan bahwa pemberian teknik relaksasi lima jari efektif untuk mengatasi depresi dan
kualitas tidur. Nugroho (2016) dalam penelitiannya menunjukkan intervensi keperawatan yang
terbukti efektif untuk mengatasi depresi, nyeri dan kualitas tidur sebagai gejala dan tanda yang
sering dijumpai pada klien cancer. Menurut penelitiannya juga dikatakan bahwa teknik relaksasi
lima jari adalah salah satu teknik relaksasi generalis dengan cara mengingat kembali pengalaman-
pengalaman menyenangkan yang pernah dialaminya sehingga timbul perasaan nyaman dan
rileks, tingkat kecemasan dan masalah emosi lainnya menjadi turun, sehingga seseorang menjadi
mudah tertidur.
Manfaat dari penggunaan teknik relaksasi yaitu memberikan ketahanan yang lebih kuat terhadap
penyakit, memberikan ketenangan batin bagi individu, mengurangi rasa cemas, khawatir dan
gelisah, mengurangi tekanan dan ketegangan jiwa yang akan berpengaruh depresi apabila tidak
diatasi. Hal ini selaras dengan penelitian Kashani dkk (2012) yang berjudul “The Effects Of
Relaxation On Reducing Depression, Anxiety And Stress In Women Who Underwent Mastectomy
tingkat kecemasan, tingkat stress, dan tingkat depresi. Dari penelitian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa teknik relaksasi bisa efektif dalam memperbaiki depresi, kecemasan dan stres.
Teknik relaksasi dapat direkomendasikan sebagai salah satu program perawatan yang efektif
untuk menurunkan tingkat depresi pada pasien dengan penyakit ganas, maupun penyakit kronis
seperti HIV/AIDS.
Penelitian lain seperti penelitian menurut Endang Banon, Ermawati Dalami, Noorkasiani yang
berjudul “Efektivitas Terapi Hipnotis Lima Jari untuk Menurunkan Tingkat Ansietas Pasien
Hipertensi” penelitian tersebut menunjukkan bahwa hipnotis lima jari dapat menurunkan
ansietas pada pasien hipertensi (Banon, dkk 2014). Adapun berdasarkan penelitian Ibnu Maulana
Affandi yang berjudul “Pengaruh Terapi Relaksasi Napas Dalam dan Hypnosis Lima Jari Terhadap
Tingkat Stress Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta”
didapatkan hasil uji one way anova diperoleh p-value (0,000) < 0,05, artinya ada perbedaan yang
signifikan tingkat stress antara kelompok napas dalam dengan kelompok hypnosis lima jari,
kelompok napas dalam dengan kelompok kontrol, kelompok hypnosis lima jari dengan kelompok
Selain itu, berdasarkan penelitian Suad M. A. Sulaiman yang berjudul “The Effectiveness of Self
Hypnosis to Overcome Insomnia: A Case Study” juga menunjukkan bahwa teknik relaksasi lima
jari merupakan teknik yang efektif untuk meningkatkan rasa aman dan percaya diri serta
kenyamanan psikologis dengan mengatasi ketegangan dan stres (Sulaiman, 2014). Hal tersebut
juga selaras dengan pernyataan di dalam buku “The Relaxation and Stress Reduction Workbook”
yang dikarang oleh Davis,dkk (2008). Salah satu yayasan di Bali yang mendukung ODHA adalah
Yayasan Spirit Paramacitta, Denpasar. Yayasan Spirit Paramacitta mendukung ODHA dan tersebar
di beberapa kabupaten di Bali seperti Bangli, Jembrana, Karangasem, Tabanan, Badung, Gianyar,
Jumlah ODHA yang aktif di Yayasan yang tercatat dari bulan Januari hingga November 2017 paling
banyak terdapat di daerah kota Denpasar yaitu berjumlah 308 orang, kemudian diikuti oleh
daerah Buleleng berjumlah 200 orang, daerah Badung berjumlah 176 orang, daerah Gianyar
berjumlah 116 orang, dan daerah Tabanan berjumlah 58 orang. Didapatkan informasi bahwa
belum pernah dilakukan suatu intervensi khusus untuk menangani masalah psikologis ODHA
setelah dilakukan wawancara dengan koordinator besar yayasan. Cara yang dilakukan untuk
mengatasi masalah psikologi ODHA adalah hanya dengan metode konseling dengan kelompok
dukungan sebaya yang berfokus pada peningkatan mutu hidup ODHA khususnya dalam
peningkatan pengetahuan HIV/AIDS, peningkatan percaya diri, pengobatan dan perawatan, akses
dukungan, pencegahan positif dengan melakukan perubahan perilaku, dan kegiatan produktif.
Oleh karena itu penelitian yang peneliti akan lakukan adalah untuk memfokuskan penelitian pada
pemberian relaksasi lima jari terhadap depresi pada ODHA sehingga peneliti tertarik mengambil
penelitian tentang Pengaruh Pemberian Terapi Relaksasi Lima Jari terhadap Depresi pada ODHA
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Gejalanya ditandai dengan menurunnya
sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menimbulkan neoplasma sekunder, infeksi oporturnistik,
dan manifestasi neurologis lainnya (Kummar, et al. dalam Yuliyanasari, 2016). Perkembangan dari
mulai terpaparnya virus HIV hingga ke fase AIDS membutuhkan waktu yang cukup lama yakni
dengan masa inkubasi selama 6 bulan – 5 tahun, dalam masa tersebut orang yang terpapar virus
HIV akan terus mengalami penurunan kekebalan (Nandasari & Hendrati, 2015).
2. Penyebab
Immunodeficiency Virus HIV yang menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia dan bekerja
dengan cara merusak sel darah putih sehingga terjadinya penurunan fungsi pada sistem
kekebalan tubuh seseorang. Menurut Rezeki & Sasanti (2017) di dalam tubuh, virus HIV memiliki
kecenderungan untuk berikatan dengan sel CD4, dimana sel ini berpengaruh besar terhadap
infeksi yang diderita (WHO,2016). Berikut adalah tanda dan gejala HIV:
a. Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan dan menunjukkan timbulnya suatu tanda
dan gejala infeksi. Jika ada gejala yang timbul biasanya seperti flu biasa, bercak kemerahan pada
b. Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat infeksi tersebut maka akan timbul
tanda-tanda dan gelaja lain seperti kelenjar getah bening bengkak, penurunan berat badan,
demam, diare dan batuk. Selain itu juga ada tanda dan gejala yang timbul yaitu mual, muntah
dan sariawan.
c. Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala yang khas dan lebih parah.
Gejala yang muncul seperti sariawan yang banyak, bercak keputihan pada mulut, gejala herpes
zooster, ketombe, keputihan yang parah dan gangguan psiskis. Gejala lain yang muncul adalah
d. Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat badan, jumlah virus terus
meningkat, jumlah limfosit CD4+ menurun hingga <200 sel/ul. Pada keadaan ini dinyatakan AIDS.
mycobacteruim avium dan penurunan sistem imum. Jika tidak melakukan pengobatan maka akan
terjadi perkembangan penyakit berat seperti TBC, meningitis kriptokokus, kanker seperti limfoma
4. Patologi
Ketika virus HIV menyerang sistem imun akan berdampak pada kondisi
immunodeficiency atau melemahnya sistem kekebalan tubuh, hal tersebut terjadi akibat virus
HIV akan mengganggu keseimbangan dan fungsi sel CD4 di dalam tubuh. Virus HIV selanjutnya
akan menyerang sel dendrit dan makrofag di dalam tubuh, masuk melalui aliran darah serta
jaringan mukosa kemudian proses infeksi akan terjadi di dalam kelenjar limfoid dan pada saat itu
virus akan berada dalam kondisi laten dalam waktu yang cukup lama hingga kembali aktif dan
5. Penularan
dengan melalui transfusi darah, penyalahgunaan narkoba suntik), penularan ibu kepada anak saat
proses melahirkan dan pemberian ASI. Menurut Astindari & Lumintang (2014) hubungan seksual
tanpa pelindung dimana salah satu individu yang berhubungan seksual tersebut telah terinfeksi
HIV, perilaku heteroseksual, LSL, pekerja seks dan pasangannnya, penggunaan tato, perinatal
dapat menjadi faktor resiko tertular infeksi HIV. Berdasarkan Murni (2016) virus HIV berada di
dalam sebagian cairan tubuh orang yang telah terinfeksi yakni di dalam darah, air mani, cairan
vagina, dan air susu ibu (ASI).Virus HIV dapat menular melalui hubungan seks tanpa pengaman/
kondom dimana air mani dan cairan vagina masuk dari orang yang telah terinfeksi ke tubuh orang
6. Pencegahan
yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi penyakit HIV /AIDS adalah dengan menerapkan
(Abstenence) yang memiliki arti hindari hubungan seks terutama hubungan seks bebas tanpa
menggunakan pengaman hal tersebut akan meningkatkan risiko terinfeksi penyakit menular
seksual. Kedua, B (Being Faithful) yang memiliki arti setia pada satu pasangan dimana dalam
berhubungan seksual tidak diperbolehkan bergontaganti pasangan atau partner seks karena hal
tersebut dapat berdampak buruk pada kesehatan seksual. Ketiga, C (Condom) menggunakan
kondom dalam melakukan hubungan seksual terutama jika tidak bisa untuk setia pada
pasangannya. Keempat, D (Drugs) memiliki arti yakni untuk tidak menggunakan narkoba
terutama pengguna narkoba suntik dan penggunaan jarum suntik secara bergantian dan yang
terakhir adalah dengan E (Education) yakni memberikan pendidikan serta penyuluhan terkait
masalah kesehatan seksual pada teman sebaya (Peer Education), contohnya dengan memberi
informasi kepada teman sebaya untuk melakukan pemeriksaan di klinik VCT (Voluntary
Counseling and Testing) apabila telah menemukan dan merasakan gejala-gejala infeksi menular
seksual.
Menurut YE Purnamaningrum dkk (2019) mencegah penyakit HIV/AIDS dapat dilakukan sejak
remaja yaitu dengan menguasai pengetahuan tentang pencegahan HIV/AIDS yang dapat dicari
sumbernya melalui media elektronik seperti televisi dan internet. Selain itu, memiliki sikap yang
positif terhadap pencegahan penyakit tersebut juga dapat mencegah perilaku-perilaku yang
dapat menimbulkan penyakit HIV/AIDS dimasa yang akan datang. Sikap perempuan dalam
pencegahan HIV/AIDS lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, sehingga seorang perempuan
penyakit HIV/AIDS.
7. Pelaksanaan
Pengobatan yang dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS hingga saat ini adalah penggunaan
antiretroviral (ARV). Terapi obat ARV berfungsi untuk mengontrol laju perkembangan virus HIV di
dalam tubuh agar tidak menimbulkan infeksi lanjutan / infeksi oportinistik sehingga pasien
dengan HIV/AIDS dapat memperoleh kualitas hidup yang jauh lebih baik. ARV merupakan
regimen pengobatan yang harus diterapkan oleh pasien dengan HIV/AIDS selama seumur hidup
dan harus sesuai dengan petunjuk serta pengawasan dokter. Regimen pengobatan ARV terbagi
terkena penyakit infeksi. Menurunnya sistem kekebalan tubuh yang dialami oleh ODHA
berdampak pada terganggunya fungsi fisik dan sosialnya. ODHA akan kesulitan dalam melakukan
aktivitas keseharian, kondisi fisik yang lemah sehingga mudah terserang penyakit, serta sulit
untuk menjalankan perannya sebagai individu secara normal. ODHA tidak hanya mengalami
penurunan fisik dan sosialnya melainkan juga mengalami beberapa hal yang kurang
menyenangkan seperti adanya diskriminasi serta stigma negatif yang berkembang di lingkungan
sehingga ODHA memiliki persepsi negatif tentang penerimaan diri dan penyakitnya (Ma’arif,
2017).
9. Terapi Antiretroviral
perkembangan penyakit HIV/AIDS di dalam tubuh penderita. Sebelum mendapat ARV, ODHA
harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar
akan manfaat, cara penggunaan,efek samping obat, tanda bahaya lain dan sebagainya yang
terkait dengan ARV.ODHA yang mendapat ARV harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan
Untuk orang yang belum mempunyai gejala AIDS, ART akan mengurangi kemungkinan menjadi
sakit. Orang dengan gejala AIDS, memakai ART biasanya mengurangi atau menghilangkan gejala
tersebut. ART juga mengurangi kemungkinan gejala tersebut timbul di masa depan (Indonesia
Sel CD4 adalah sel dalam sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi. Pada orang HIV-negatif,
jumlah CD4 biasanya antara 500 sampai 1.500. Setelah terinfeksi HIV, jumlah CD4 cenderung
berangsur-angsur menurun. Bila jumlah CD4 turun di bawah 200, maka akan lebih mudah terkena
infeksi oportunistik, misalnya PCP (pneumonia) atau tokso (toksoplasma). Jika memakai ART
maka diharapkan jumlah sel CD4 akan naik lagi sehingga dapat
Coalition, 2015).
c. Mengurangi jumlah virus dalam darah
HIV sangat cepat menggandakan diri. Oleh karena itu, jumlah virus dalam darah dapat menjadi
tinggi. Semakin banyak virus, semakin cepat perjalanan infeksi HIV. ART dapat menghambat
penggandaan HIV, sehingga jumlah virus dalam darah kita tidak dapat diukur. Ini disebut sebagai
tingkat tidak dideteksi. Setelah kita mulai ART, jumlah virus dalam darah akan turun secara
drastis. Setelah beberapa bulan diharapkan virus dalam darah menjadi tidak terdeteksi (Indonesia
Kita akan merasa jauh lebih sehat secara fisik beberapa minggu setelah mulai ART. Nafsu makan
akan muncul kembali dan berat badan akan mulai naik. Kita merasa lebih enak dan nyaman.
Walaupun begitu, tidak berarti kita tidak dapat menularkan ke orang lain. Kita harus tetap
memakai kondom waktu berhubungan seks dan menghindari memakai jarum suntik secara
Keputusan tentang kapan memulai ART biasanya didasari keadaan klinis. Sebaiknya diperiksa
secara berkala oleh dokter yang berpengalaman dalam pengobatan HIV. Dia akan menilai kita
berhubungan dengan HIV yang lain di daerah kita. Dengan informasi ini, dia akan menentukan
kita sampai ke stadium penyakit HIV yang mana. Kemenkes menetapkan empat stadium penyakit
HIV, yaitu:
Jumlah CD4 merupakan salah satu petunjuk penting untuk menentukan kapan harus mulai ART.
ART sebaiknya dimulai sebelum jumlah CD4 turun di bawah 350. Perlu diingat bahwa, walaupun
jumlah CD4 biasanya menurun kurang lebih rata-rata 50-60 sel per tahun, kadang kala jumlah ini
dapat merosot lebih cepat. Lagi pula, jumlah CD4 dapat naik-turun; cara mengukur jumlah CD4
tidak begitu persis, dan ada perbedaan antara laboratorium yang mengukurnya, dan dengan
waktu (pagi, siang, sore) pengambilan darah. Jumlah CD4 juga akan berubah tergantung pada
kesehatan umum kita dan beberapa masalah lain (Indonesia AIDS Coalition, 2015).
Oleh karena itu, jika kita memakai jumlah CD4 sebagai patokan, maka penting untuk memantau
jumlah CD4 setiap enam bulan dan memperhatikan kecenderungan penurunan jumlah CD4,
Kemenkes sudah menetapkan kriteria untuk mulai ART pada ODHA dewasa sebagaimana berikut:
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan
Rekomendasi: Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya dan ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (Indonesia AIDS Coalition, 2015).
Sesuai dengan Permenkes no. 21 tahun 2013 dan Surat Edaran Menkes no. 129 tahun 2013, maka
Seks (WPS)
5) Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), baik Gay, Waria dan LSL lain
serodiskordan).
12. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang
Populasi
ODHA hamil
ODHA dengan koinfeksi HIV-HBV ODHA dengan pasangan HIV (-) WPS, Penasun, LSL
Paduan ART
TDF + 3TC atau FTC +EFV TDF + 3TC atau FTC +EFV TDF + 3TC atau FTC +EFV
13. Mengetahui bila ART tidak bermanfaat lagi
Viral load yang menjadi terdeteksi kembali atau jumlah CD4 yang turun
merupakan tanda bahwa terapi tidak bekerja seperti yang diharapkan. Bila alasannya cenderung
lupa minum obat, maka dokter harus mencari cara untuk meningkatkan kepatuhan kita. Jika tidak
ada perbaikan, maka kita mungkin harus mengganti kombinasi obat, karena virus dalam tubuh
telah resistan terhadap kombinasi yang kita pakai. Jika tidak mungkin mengukur viral load, maka
jumlah CD4 dapat menjadi petunjuk keberhasilan terapi. Jika ada kecenderungan jumlah CD4
mulai menurun, ini merupakan petunjuk kegagalan terapi. Biasanya viral load lebih cepat
menunjukkan kegagalan terapi, tetapi jumlah CD4 masih dapat dipakai untuk pemantauan
Bila tes CD4 tidak dapat dilakukan, maka pemantauan ART tergantung pada gejala klinis dan
pemantauan berat badan. Jika berat badan menurun tanpa alasan yang jelas, ini mungkin
menunjukkan bahwa
terapi tidak bekerja dengan baik. Namun jika ini terjadi dalam beberapa minggu setelah kita
mulai ART, apalagi bila jumlah CD4 kita sangat rendah waktu kita mulai terapi, hal ini
kemungkinan disebabkan pulihnya kembali sistem kekebalan kita (Indonesia AIDS Coalition,
2015).
Gagal Pengobatan
Gagal Klinis
Gagal Imunologis
Gagal Virologis
Indikator
Timbulnya keadaan stadium 4 yang baru atau kambuh
Penurunan jumlah CD4 50% dari nilai puncak dgn terapi (jika tahu) atau Jumlah CD4 terus
Gagal Pengobatan
Gagal Virologis
14. Paduan ART Lini Kedua (Indonesia AIDS Coalition, 2015). Tabel 4. Paduan ART Lini Kedua
Populasi
Paduan ART
Dianjurkan menggunakan paduan OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu diberikan maka
pilihan lain adalah menggunakan LPV/r dengan dosis 800mg/200mg dua kali sehari)
AZT +TDF + 3TC atau FTC +LPV/r
15. Beberapa reaksi dari obat ARV: (Indonesia AIDS Coalition, 2015). Tabel 5. Derajat Toksisitas
Obat ARV
Derajat Keadaan
1 Reaksi Ringan
2 Reaksi Sedang
3 Reaksi Berat
Tanda dan Gejala Suatu perasaan tidak enak yang tidak menetap; tidak ada keterbatasan gerak
Sedikit ada keterbatasan bergerak kadang- kadang memerlukan sedikit bantuan dan perawatan
Pasien tidak lagi bebas bergerak; biasanya perlu bantuan dan perawatan
Pasien terbaring tidak dapat bergerak; jelas memerlukan intervensi medis dan perawatan di
rumah sakit
Tatalaksana
Perlu intervensi medis atau perawatan di rumah sakit Substitusi obat penyebabnya tanpa
Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana kelainan yang ada dan terapi ARV kembali diberikan
dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang menjadi penyebabnya pada saat pasien
4 Reaksi yang
Kepatuhan adalah keadaan seseorang ketika menjalankan suatu perintah atau anjuran yang
Kepatuhan pada jadwal pengobatan adalah sangat penting. Jika tingkat obat dalam darah kita
menjadi terlalu rendah, maka virus di tubuh kita dapat menjadi kebal (resistan) terhadap obat
ARV yang kita pakai. Bila hal ini terjadi, maka obat yang kita pakai menjadi tidak efektif terhadap
jenis virus baru ini. Beberapa ahli menganggap bahwa bila kita lebih dari dua kali sebulan lupa
minum obat, maka jenis virus yang resistan dapat muncul. Bila ini terjadi, terapi akan mulai gagal
sehingga kita mungkin harus mengganti semua obat yang kita pakai. Obat baru ini kemungkinan
lebih mahal atau lebih sulit diperoleh (Indonesia AIDS Coalition, 2015).
Menurut teori Lawrence Green yang dikutip dalam Notoatmodjo, (2012), yang mendasari
sebagainya.
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan.
c. Faktor- faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
b. Manfaat
Kepatuhan pengobatan ARV pada ODHA merupakan hal yang sangat penting, apabila ODHA
patuh terhadap regimen pengobatannya maka supresi virus HIV dapat tercapai. Tercapainya
supresi virologis maka kualitas hidup ODHA dapat mengalami peningkatan. Manfaat kepatuhan
terhadap regimen pengobatan juga dapat mencegah terjadinya resistensi obat serta infeksi
Upaya peningkatan kepatuhan ODHA dalam regimen pengobatan ARV salah satunya adalah
dengan konseling kepatuhan atau adherence. Konseling ini dilakukan dengan memberikan
dukungan psikologis, emosional, serta penjelasan mengenai langkah tepat konsumsi obat. Tujuan
dilakukannya konseling kepatuhan, agar ODHA menjadi lebih rajin dan patuh untuk minum obat,
konseling ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dibantu oleh kelompok dukungan sebaya atau
1) Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang
mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap
layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan
kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan membantu pasien (Kemenkes
RI, 2011).
2) Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras / etnis,
penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal kelompok dalam
masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial(kesehatan jiwa,
penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan
3) Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan (FDC
atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum dan
pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses
jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi
oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum
dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga
kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi
dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan
BAB III
PEMBAHASAN
A. Defenisi HIV/AIDS
HIV ( Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang dapat menyebabkan
AIDS
. HIVtermasuk keluarga virusretro
y a i t u v i r u s y a n g m e m a s u k a n m a t e r i genetiknnya
ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda
(retro) yaitu dari RNA menjadi DNA,
yang kemudian menyatu dalam DNAsel tuan rumah, membentuk pro
virus dan kemudian melakukan replikasi.
Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah
putih yang bernama sel CD4 ehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia
ya n g p a d a a k h i r n y a t i d a k d a p a t b e r t a h a n d a r i g a n g g u a n
p e n y a k i t w a l a u p u n h a n g sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang
sel CD4 dan merubahnna menjadi
tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat
digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan
tubuh.Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak
memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia akibat terkena fil
ek biasa.
AIDS
( Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek dari berkemb
ang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup Virus HIV membutuhkanwaktu u
ntuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya.P
enyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya siste
m k e k e b a l a n tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang
banyak dirusak oleh Virus HIV.
Ketika terkena virus kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan wakt yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang
mematikan. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan
manuisa dari virus HIV penyebab penyakit AIDS.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
HIV/AIDS menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan masalah kesehatan atau
persoalan pembangunan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Berdasarkan sifat
dan efeknya, sangatlah unik karena AIDS mematikan kelompok yang paling produktif dan paling
efektif secara reproduksi dalam masyarakat, yang kemudian berdampak pada mengurangi
produktivitas dan kapasitas dari masyarakat. Dampak yang ditimbulkan AIDS terhadap
AIDS secara sosial tidak terlihat (invisible) meski demikian kerusakan yang ditimbulkannya
sangatlah nyata. HIV/AIDS karena sifatnya yang sangat mematikan sehingga menimbulkan rasa
malu dan pengucilan dari masyarakat yang kemudian akan mengiring pada bentuk-bentuk
pembungkaman, penolakan, stigma, dan diskriminasi pada hampir semua sendi kehidupan.
Hampir semua orang yang diduga terinfeksi AIDS tidak memiliki akses terhadap tes HIV, inilah
yang membuat usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan menjadi sangat rumit. Program
pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus segera dilaksanakan, tak terkecuali area Lembaga
B. Saran
Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah dengan mendidik dan
membimbing generasi muda secara intensif agar mereka mampu menjadi motor penggerak
kemajuan dan mendorong perubahan kearah yang lebih dinamis, progesif dan produktif. Dengan
demikian diharapkan kedepannya bangsa ini mampu bersaing dengan negara lainya .
Agar mencapai impian tersebut remaja Indonesia harus tumbuh secara positif dan kontruktif,
serta sebisa mungkin dijauhkan dari telibat kenakalan remaja. Inialah tantangan riil yang kita
hadapi sebagai guru dan orang tua. Sudah sedemikian lama fenomena maraknya kenakalan
remaja ini dibiarkan begitu saja, seolah hanya di tangani dengan asal-asalan.
Pemerintahan sebagai pemengang utama kebijakan juga dapat menjalankan perannya, yaitu
membuat undang undang pendidikan, undang undang teknologi komunikasi (yang mengatur
tayangan yang layak di akses di internet, televisi, dan media massa), serta membangun aparat
Dengan permasalahan remaja yang terkena HIV DAN AIDS dikalangan masyarakat diakibatkan
pergaulan bebas remaja yang tidak terpantau, dengan sebab itupenulis berharap ada
DAFTAR PUSTAKA