Anda di halaman 1dari 26

PENDEKATAN MODEL PROMOSI KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS

KELOMPOK 1

1.ERNI LISTIATI ZAI (2114201062)

2.LUTER KRITIAN ZAI (2114201067)

3.FORISMAN GOSAWA(2114201063)

4.NUR INDAH LARAS H.HIA (2114201072

5.ARMY DEBY PASARIBU (2114201057)

6`DEWIRNA HULU(2114201060)

7.SARTINAH (2114201077)

8.AGUSMAN JAYA HULU(2114201084)

9.MUHANMAD RAFFIDO(2114201070)

10.SILVIA ALAMI SARAGIH(2114201079)


S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS IMELDA MEDAN

T.A 2022/2023

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja&puji sykur atas rahmat dan ridho Allah SWT. Karena tanpa

rahmat dan Ridhanya, kita Indak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat

waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu CHRISTINA MAGDALENA

T.BOLON,M.KES selaku dosen pengampu promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan yang

membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih

kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam

pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang PENDEKATAN MODEL

PROMOSI KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari

itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah yang

sempurna.

DAFTAR ISI

Kata pengantar .........……...........……………………………………… i


daftar isi. …………................…………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 latar belakang ............................………………………………… I.1

1.2 rumusan masalah ...................………………………......…………. I.2

1.3 tujuan penulisan ………………....................……............................ I.3

BAB II

2.1 Tinjauan pustaka ......…………………………….……………….... 2.1

BAB III

3.1 Pembahasan ....………...………....……………...…………….. 3.1

BAB VI Penutup

4.1 kesimpulan …….....……….……………………............................. 4..1

4.2 saran ....……………………......………………………………….... 4.2

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1

PENDEKATAN MODEL PROMOSI KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human

Immunodeficiency Virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan
penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi

berbagai macam penyakit lain yang disebut dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

(Kementerian Kesehatan RI, 2017). AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena

rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi dari virus HIV (Diatmi and Diah, 2014).

Orang yang telah di diagnosa terinfeksi positif oleh virus HIV dan AIDS maka orang tersebut

disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) (Diatmi dan Diah, 2014).

Perkembangan HIV/AIDS pertama kali dikenal pada tahun 1981, namun kasus HIV/AIDS secara

retrospektif telah muncul selama tahun 1970-an di Amerika Serikat dan di beberapa bagian di

dunia seperti Haiti, afrika, dan eropa. (Dinas Kesehatan, 2014). UNAIDS (2017) menunjukkan

terjadi peningkatan jumlah orang yang menderita HIV dari 36,1 millyar di tahun 2015 menjadi

36,7 millyar di tahun 2016. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

tingkat prevalensi HIV/AIDS yang cukup tinggi. Kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi

Bali pada tahun 1987. Kasus HIV/AIDS telah menyebar di 407 dari 507 kabupaten/kota (80%) di

seluruh provinsi di Indonesia hingga saat ini (Ditjen P2P, 2016).

Jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Tahun

2016 jumlah kasus HIV dilaporkan sebanyak 41.250 kasus dan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan

sedikit meningkat dibandingkan tahun 2015 yaitu sebanyak 7.491 kasus. Secara kumulatif, kasus

AIDS sampai dengan tahun 2016 sebanyak 86.780 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Persentase HIV dan AIDS di Indonesia tahun 2017 tercatat dari triwulan 1 (yaitu dari bulan januari

hingga Maret) dengan jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Maret 2017

sebanyak 242.699 orang. Dan jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2017

sebanyak 87.453 orang (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2017).

Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi HIV/AIDS yang cukup tinggi setelah DKI

Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah provinsi Bali. Total Kasus HIV dan

AIDS pada tahun 2016 di bali tercatat 2581 kasus baik yang hidup maupun yang telah meninggal.

Tahun 2017 yang tercatat hingga bulan juni, jumlah kasus HIV dan AIDS mencapai 1291 kasus.

Kabupaten/Kota di bali yang memiliki jumlah penderita HIV dan AIDS terbanyak adalah kota
Denpasar dengan jumlah kumulatif yang tercatat dari tahun 1987 hingga bulan juli 2017 sebanyak

6764 (39,1%) total kasus HIV dan AIDS yang didominasi oleh kelompok umur (20-29) tahun

(Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2017).

Penyakit HIV/AIDS menimbulkan masalah yang cukup luas pada individu yang terinfeksi HIV/AIDS

yaitu meliputi masalah fisik, sosial dan masalah emosional. Salah satu masalah emosional

terbesar yang dihadapi ODHA adalah depresi. Depresi adalah penyakit suasana hati, depresi lebih

dari sekadar

kesedihan atau duka cita. Depresi adalah kesedihan atau duka cita yang lebih hebat dan bertahan

terlalu lama (Yayasan Spiritia, 2014). Depresi digambarkan suatu kondisi yang lebih dari suatu

perasaan sedih dan kehilangan gairah serta semangat hidup (Nugroho, 2016).

WHO memprediksi pada tahun 2020 di negara-negara berkembang depresi nanti akan menjadi

salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan depresi berat akan menjadi penyakit kedua

terbesar kematian setelah serangan jantung (Lubis, 2016). Masalah depresi yang berkelanjutan

juga akan berdampak self care harian ODHA secara rutin sebagai akibatnya ODHA menjadi tidak

patuh terhadap program pengobatan, ODHA menjadi tidak teratur minum obat anti retroviral

(ARV) dalam jangka waktu yang lama, akan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup ODHA

(Hapsari, 2016).

Yaunin, dkk (2014) dalam penelitiannya menunjukkan angka kejadian depresi pada ODHA adalah

sebanyak 55,8% dengan pembagian depresi ringan 25,6%, depresi sedang 11,6%, depresi berat

4,7%, dan depresi sangat berat 14%. Depresi terbanyak ditemukan pada usia 20–39 tahun

(83,3%). Stigma dan diskriminasi negatif dari masyarakat seringkali menyebabkan ODHA

mengalami masalah seperti depresi. N. L. Lubis (2016) dalam bukunya menyatakan bahwa stres

maupun depresi yang dibiarkan berlarut-larut membebani pikiran dan dapat menganggangu

sistem kekebalan tubuh. Sehingga apabila masalah depresi dibiarkan terus menerus membebani

pikiran ODHA, akan menambah atau memperburuk penyakitnya.

Salah satu intervensi dari keperawatan jiwa yang mampu mengatasi masalah psikologis pada
ODHA khususnya depresi adalah suatu relaksasi yaitu

relaksasi lima jari. Berdasarkan penelitian Nugroho (2016) yang berjudul Pengaruh intervensi

teknik relaksasi lima jari terhadap fatigue klien ca mammae di RS Tugurejo Semarang

menunjukkan bahwa pemberian teknik relaksasi lima jari efektif untuk mengatasi depresi dan

kualitas tidur. Nugroho (2016) dalam penelitiannya menunjukkan intervensi keperawatan yang

terbukti efektif untuk mengatasi depresi, nyeri dan kualitas tidur sebagai gejala dan tanda yang

sering dijumpai pada klien cancer. Menurut penelitiannya juga dikatakan bahwa teknik relaksasi

lima jari adalah salah satu teknik relaksasi generalis dengan cara mengingat kembali pengalaman-

pengalaman menyenangkan yang pernah dialaminya sehingga timbul perasaan nyaman dan

rileks, tingkat kecemasan dan masalah emosi lainnya menjadi turun, sehingga seseorang menjadi

mudah tertidur.

Manfaat dari penggunaan teknik relaksasi yaitu memberikan ketahanan yang lebih kuat terhadap

penyakit, memberikan ketenangan batin bagi individu, mengurangi rasa cemas, khawatir dan

gelisah, mengurangi tekanan dan ketegangan jiwa yang akan berpengaruh depresi apabila tidak

diatasi. Hal ini selaras dengan penelitian Kashani dkk (2012) yang berjudul “The Effects Of

Relaxation On Reducing Depression, Anxiety And Stress In Women Who Underwent Mastectomy

For Breast Cancer”menunjukkan bahwa pemberian relaksasi efektif berpengaruh terhadap

tingkat kecemasan, tingkat stress, dan tingkat depresi. Dari penelitian tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa teknik relaksasi bisa efektif dalam memperbaiki depresi, kecemasan dan stres.

Teknik relaksasi dapat direkomendasikan sebagai salah satu program perawatan yang efektif

untuk menurunkan tingkat depresi pada pasien dengan penyakit ganas, maupun penyakit kronis

seperti HIV/AIDS.

Penelitian lain seperti penelitian menurut Endang Banon, Ermawati Dalami, Noorkasiani yang

berjudul “Efektivitas Terapi Hipnotis Lima Jari untuk Menurunkan Tingkat Ansietas Pasien

Hipertensi” penelitian tersebut menunjukkan bahwa hipnotis lima jari dapat menurunkan
ansietas pada pasien hipertensi (Banon, dkk 2014). Adapun berdasarkan penelitian Ibnu Maulana

Affandi yang berjudul “Pengaruh Terapi Relaksasi Napas Dalam dan Hypnosis Lima Jari Terhadap

Tingkat Stress Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta”

didapatkan hasil uji one way anova diperoleh p-value (0,000) < 0,05, artinya ada perbedaan yang

signifikan tingkat stress antara kelompok napas dalam dengan kelompok hypnosis lima jari,

kelompok napas dalam dengan kelompok kontrol, kelompok hypnosis lima jari dengan kelompok

control (Affandi, 2017).

Selain itu, berdasarkan penelitian Suad M. A. Sulaiman yang berjudul “The Effectiveness of Self

Hypnosis to Overcome Insomnia: A Case Study” juga menunjukkan bahwa teknik relaksasi lima

jari merupakan teknik yang efektif untuk meningkatkan rasa aman dan percaya diri serta

kenyamanan psikologis dengan mengatasi ketegangan dan stres (Sulaiman, 2014). Hal tersebut

juga selaras dengan pernyataan di dalam buku “The Relaxation and Stress Reduction Workbook”

yang dikarang oleh Davis,dkk (2008). Salah satu yayasan di Bali yang mendukung ODHA adalah

Yayasan Spirit Paramacitta, Denpasar. Yayasan Spirit Paramacitta mendukung ODHA dan tersebar

di beberapa kabupaten di Bali seperti Bangli, Jembrana, Karangasem, Tabanan, Badung, Gianyar,

Buleleng, dan Kota Denpasar

Jumlah ODHA yang aktif di Yayasan yang tercatat dari bulan Januari hingga November 2017 paling

banyak terdapat di daerah kota Denpasar yaitu berjumlah 308 orang, kemudian diikuti oleh

daerah Buleleng berjumlah 200 orang, daerah Badung berjumlah 176 orang, daerah Gianyar

berjumlah 116 orang, dan daerah Tabanan berjumlah 58 orang. Didapatkan informasi bahwa

belum pernah dilakukan suatu intervensi khusus untuk menangani masalah psikologis ODHA

setelah dilakukan wawancara dengan koordinator besar yayasan. Cara yang dilakukan untuk

mengatasi masalah psikologi ODHA adalah hanya dengan metode konseling dengan kelompok

dukungan sebaya yang berfokus pada peningkatan mutu hidup ODHA khususnya dalam

peningkatan pengetahuan HIV/AIDS, peningkatan percaya diri, pengobatan dan perawatan, akses

dukungan, pencegahan positif dengan melakukan perubahan perilaku, dan kegiatan produktif.

Oleh karena itu penelitian yang peneliti akan lakukan adalah untuk memfokuskan penelitian pada
pemberian relaksasi lima jari terhadap depresi pada ODHA sehingga peneliti tertarik mengambil

penelitian tentang Pengaruh Pemberian Terapi Relaksasi Lima Jari terhadap Depresi pada ODHA

di Yayasan Spirit Paramacitta, Denpasar Tahun 2018.

B. Rumusan masalah

 Mengetahui tentang penyakit HIV/AIDS

 Bagaimana cara penularan HIV/AIDS

 Tanda dan gejala penderita HIV/AIDS

 Bagaimana cara mencegah HIV/IDS

C. Tujuan penulisan

 mengetahui penyakit HIV/AIDS

 Mengetahui cara penularan HIV/AIDS

 Mengetahui tanda dan gejala HIV/AIDS

 Mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi HIV/ AIDS

AIDS / Acquired Immune Deficiency Syndrom merupakan sekelompok

gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Gejalanya ditandai dengan menurunnya

sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menimbulkan neoplasma sekunder, infeksi oporturnistik,

dan manifestasi neurologis lainnya (Kummar, et al. dalam Yuliyanasari, 2016). Perkembangan dari

mulai terpaparnya virus HIV hingga ke fase AIDS membutuhkan waktu yang cukup lama yakni

dengan masa inkubasi selama 6 bulan – 5 tahun, dalam masa tersebut orang yang terpapar virus

HIV akan terus mengalami penurunan kekebalan (Nandasari & Hendrati, 2015).

2. Penyebab

Menurut Kemenkes RI (2014) Penyakit AIDS disebabkan oleh Human

Immunodeficiency Virus HIV yang menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia dan bekerja

dengan cara merusak sel darah putih sehingga terjadinya penurunan fungsi pada sistem

kekebalan tubuh seseorang. Menurut Rezeki & Sasanti (2017) di dalam tubuh, virus HIV memiliki

kecenderungan untuk berikatan dengan sel CD4, dimana sel ini berpengaruh besar terhadap

sistem kekebalan tubuh.

3. Tanda dan Gejala HIV yaitu:

Tanda dan gejala HIV sangat bervariasi tergantung dengan tahapan

infeksi yang diderita (WHO,2016). Berikut adalah tanda dan gejala HIV:

a. Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan dan menunjukkan timbulnya suatu tanda

dan gejala infeksi. Jika ada gejala yang timbul biasanya seperti flu biasa, bercak kemerahan pada

kulit, sakit kepala, ruam-ruam dan sakit tenggorokan.

b. Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat infeksi tersebut maka akan timbul

tanda-tanda dan gelaja lain seperti kelenjar getah bening bengkak, penurunan berat badan,
demam, diare dan batuk. Selain itu juga ada tanda dan gejala yang timbul yaitu mual, muntah

dan sariawan.

c. Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala yang khas dan lebih parah.

Gejala yang muncul seperti sariawan yang banyak, bercak keputihan pada mulut, gejala herpes

zooster, ketombe, keputihan yang parah dan gangguan psiskis. Gejala lain yang muncul adalah

tidak bisa makan, candidiasis dan kanker servisk

d. Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat badan, jumlah virus terus

meningkat, jumlah limfosit CD4+ menurun hingga <200 sel/ul. Pada keadaan ini dinyatakan AIDS.

e. Pada tahapan akhir menunjukkan perkembangan infeksi opurtunistik seperti meningitis,

mycobacteruim avium dan penurunan sistem imum. Jika tidak melakukan pengobatan maka akan

terjadi perkembangan penyakit berat seperti TBC, meningitis kriptokokus, kanker seperti limfoma

dan sarkoma kaposi.

4. Patologi

Infeksi HIV akan menyerang sistem kekebalan di dalam tubuh manusia.

Ketika virus HIV menyerang sistem imun akan berdampak pada kondisi

immunodeficiency atau melemahnya sistem kekebalan tubuh, hal tersebut terjadi akibat virus

HIV akan mengganggu keseimbangan dan fungsi sel CD4 di dalam tubuh. Virus HIV selanjutnya

akan menyerang sel dendrit dan makrofag di dalam tubuh, masuk melalui aliran darah serta

jaringan mukosa kemudian proses infeksi akan terjadi di dalam kelenjar limfoid dan pada saat itu

virus akan berada dalam kondisi laten dalam waktu yang cukup lama hingga kembali aktif dan

munculnya gejala AIDS (Yuliyanasari, 2016).

5. Penularan

Penularan terjadi akibat hubungan seksual dan juga parenteral (yakni

dengan melalui transfusi darah, penyalahgunaan narkoba suntik), penularan ibu kepada anak saat
proses melahirkan dan pemberian ASI. Menurut Astindari & Lumintang (2014) hubungan seksual

tanpa pelindung dimana salah satu individu yang berhubungan seksual tersebut telah terinfeksi

HIV, perilaku heteroseksual, LSL, pekerja seks dan pasangannnya, penggunaan tato, perinatal

dapat menjadi faktor resiko tertular infeksi HIV. Berdasarkan Murni (2016) virus HIV berada di

dalam sebagian cairan tubuh orang yang telah terinfeksi yakni di dalam darah, air mani, cairan

vagina, dan air susu ibu (ASI).Virus HIV dapat menular melalui hubungan seks tanpa pengaman/

kondom dimana air mani dan cairan vagina masuk dari orang yang telah terinfeksi ke tubuh orang

yang belum terinfeksi.

6. Pencegahan

Menurut Murwanto (2014) ada beberapa upaya pencegahan HIV AIDS

yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi penyakit HIV /AIDS adalah dengan menerapkan

prinsip “ABCDE”. Pertama adalah A

(Abstenence) yang memiliki arti hindari hubungan seks terutama hubungan seks bebas tanpa

menggunakan pengaman hal tersebut akan meningkatkan risiko terinfeksi penyakit menular

seksual. Kedua, B (Being Faithful) yang memiliki arti setia pada satu pasangan dimana dalam

berhubungan seksual tidak diperbolehkan bergontaganti pasangan atau partner seks karena hal

tersebut dapat berdampak buruk pada kesehatan seksual. Ketiga, C (Condom) menggunakan

kondom dalam melakukan hubungan seksual terutama jika tidak bisa untuk setia pada

pasangannya. Keempat, D (Drugs) memiliki arti yakni untuk tidak menggunakan narkoba

terutama pengguna narkoba suntik dan penggunaan jarum suntik secara bergantian dan yang

terakhir adalah dengan E (Education) yakni memberikan pendidikan serta penyuluhan terkait

masalah kesehatan seksual pada teman sebaya (Peer Education), contohnya dengan memberi

informasi kepada teman sebaya untuk melakukan pemeriksaan di klinik VCT (Voluntary

Counseling and Testing) apabila telah menemukan dan merasakan gejala-gejala infeksi menular

seksual.

Menurut YE Purnamaningrum dkk (2019) mencegah penyakit HIV/AIDS dapat dilakukan sejak
remaja yaitu dengan menguasai pengetahuan tentang pencegahan HIV/AIDS yang dapat dicari

sumbernya melalui media elektronik seperti televisi dan internet. Selain itu, memiliki sikap yang

positif terhadap pencegahan penyakit tersebut juga dapat mencegah perilaku-perilaku yang

dapat menimbulkan penyakit HIV/AIDS dimasa yang akan datang. Sikap perempuan dalam

pencegahan HIV/AIDS lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, sehingga seorang perempuan

perlu memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS yang cukup agar dapat

membantu dan berbagi ilmu kepada pasangannya untuk terhindar dari

penyakit HIV/AIDS.

7. Pelaksanaan

Pengobatan yang dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS hingga saat ini adalah penggunaan

antiretroviral (ARV). Terapi obat ARV berfungsi untuk mengontrol laju perkembangan virus HIV di

dalam tubuh agar tidak menimbulkan infeksi lanjutan / infeksi oportinistik sehingga pasien

dengan HIV/AIDS dapat memperoleh kualitas hidup yang jauh lebih baik. ARV merupakan

regimen pengobatan yang harus diterapkan oleh pasien dengan HIV/AIDS selama seumur hidup

dan harus sesuai dengan petunjuk serta pengawasan dokter. Regimen pengobatan ARV terbagi

menjadi beberapa kelas atau golongan (Kemenkes RI, 2011).

8. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

ODHA memiliki kekebalan tubuh yang sangat lemah sehingga rentan

terkena penyakit infeksi. Menurunnya sistem kekebalan tubuh yang dialami oleh ODHA

berdampak pada terganggunya fungsi fisik dan sosialnya. ODHA akan kesulitan dalam melakukan

aktivitas keseharian, kondisi fisik yang lemah sehingga mudah terserang penyakit, serta sulit

untuk menjalankan perannya sebagai individu secara normal. ODHA tidak hanya mengalami

penurunan fisik dan sosialnya melainkan juga mengalami beberapa hal yang kurang

menyenangkan seperti adanya diskriminasi serta stigma negatif yang berkembang di lingkungan

sehingga ODHA memiliki persepsi negatif tentang penerimaan diri dan penyakitnya (Ma’arif,
2017).

9. Terapi Antiretroviral

Terapi antiretroviral adalah obat yang dirancang untuk menghambat

perkembangan penyakit HIV/AIDS di dalam tubuh penderita. Sebelum mendapat ARV, ODHA

harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar

akan manfaat, cara penggunaan,efek samping obat, tanda bahaya lain dan sebagainya yang

terkait dengan ARV.ODHA yang mendapat ARV harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan

secara klinis dengan teratur (Kemenkes RI, 2011).

10. Manfaat obat ARV adalah:

a. Menghambat perjalanan penyakit HIV

Untuk orang yang belum mempunyai gejala AIDS, ART akan mengurangi kemungkinan menjadi

sakit. Orang dengan gejala AIDS, memakai ART biasanya mengurangi atau menghilangkan gejala

tersebut. ART juga mengurangi kemungkinan gejala tersebut timbul di masa depan (Indonesia

AIDS Coalition, 2015).

b. Meningkatkan jumlah sel CD4

Sel CD4 adalah sel dalam sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi. Pada orang HIV-negatif,

jumlah CD4 biasanya antara 500 sampai 1.500. Setelah terinfeksi HIV, jumlah CD4 cenderung

berangsur-angsur menurun. Bila jumlah CD4 turun di bawah 200, maka akan lebih mudah terkena

infeksi oportunistik, misalnya PCP (pneumonia) atau tokso (toksoplasma). Jika memakai ART

maka diharapkan jumlah sel CD4 akan naik lagi sehingga dapat

dipertahankan dalam jumlah yang lebih tinggi (Indonesia AIDS

Coalition, 2015).
c. Mengurangi jumlah virus dalam darah

HIV sangat cepat menggandakan diri. Oleh karena itu, jumlah virus dalam darah dapat menjadi

tinggi. Semakin banyak virus, semakin cepat perjalanan infeksi HIV. ART dapat menghambat

penggandaan HIV, sehingga jumlah virus dalam darah kita tidak dapat diukur. Ini disebut sebagai

tingkat tidak dideteksi. Setelah kita mulai ART, jumlah virus dalam darah akan turun secara

drastis. Setelah beberapa bulan diharapkan virus dalam darah menjadi tidak terdeteksi (Indonesia

AIDS Coalition, 2015).

d. Merasa lebih baik

Kita akan merasa jauh lebih sehat secara fisik beberapa minggu setelah mulai ART. Nafsu makan

akan muncul kembali dan berat badan akan mulai naik. Kita merasa lebih enak dan nyaman.

Walaupun begitu, tidak berarti kita tidak dapat menularkan ke orang lain. Kita harus tetap

memakai kondom waktu berhubungan seks dan menghindari memakai jarum suntik secara

bergantian jika memakai narkoba suntikan (Indonesia AIDS Coalition, 2015).

11. Indikasi untuk memulai ARV a. Gejala klinis

Keputusan tentang kapan memulai ART biasanya didasari keadaan klinis. Sebaiknya diperiksa

secara berkala oleh dokter yang berpengalaman dalam pengobatan HIV. Dia akan menilai kita

berdasarkan riwayat infeksi oportunistik dan penyakit yang

berhubungan dengan HIV yang lain di daerah kita. Dengan informasi ini, dia akan menentukan

kita sampai ke stadium penyakit HIV yang mana. Kemenkes menetapkan empat stadium penyakit

HIV, yaitu:

1) Stadium 1: Tanpa gejala

2) Stadium 2: Penyakit ringan

3) Stadium 3: Penyakit sedang

4) Stadium 4: Penyakit berat (Indonesia AIDS Coalition, 2015).


b. Jumlah CD4

Jumlah CD4 merupakan salah satu petunjuk penting untuk menentukan kapan harus mulai ART.

ART sebaiknya dimulai sebelum jumlah CD4 turun di bawah 350. Perlu diingat bahwa, walaupun

jumlah CD4 biasanya menurun kurang lebih rata-rata 50-60 sel per tahun, kadang kala jumlah ini

dapat merosot lebih cepat. Lagi pula, jumlah CD4 dapat naik-turun; cara mengukur jumlah CD4

tidak begitu persis, dan ada perbedaan antara laboratorium yang mengukurnya, dan dengan

waktu (pagi, siang, sore) pengambilan darah. Jumlah CD4 juga akan berubah tergantung pada

kesehatan umum kita dan beberapa masalah lain (Indonesia AIDS Coalition, 2015).

Oleh karena itu, jika kita memakai jumlah CD4 sebagai patokan, maka penting untuk memantau

jumlah CD4 setiap enam bulan dan memperhatikan kecenderungan penurunan jumlah CD4,

bukan angka saja (Indonesia AIDS Coalition, 2015).

c. Kriteria untuk mulai ART

Kemenkes sudah menetapkan kriteria untuk mulai ART pada ODHA dewasa sebagaimana berikut:

1) Tidak tersedia pemeriksaan CD4.

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan

pada penilaian klinis (stadium 3 atau 4) (Indonesia AIDS Coalition, 2015).

2) Tersedia pemeriksaan CD4

Rekomendasi: Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa

memandang stadium klinisnya dan ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil

dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (Indonesia AIDS Coalition, 2015).

Sesuai dengan Permenkes no. 21 tahun 2013 dan Surat Edaran Menkes no. 129 tahun 2013, maka

terapi ARV juga dapat diberikan berapapun jumlah CD4 kepada:

1) Ibu hamil HIV (+)

2) Pasien dengan koinfeksi HIV-TB


3) Pasien koinfeksi Hepatitis-HIV

4) Kelompok populasi berisiko tinggi yang HIV (+): Wanita Pekerja

Seks (WPS)

5) Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), baik Gay, Waria dan LSL lain

6) Pengguna Napza Suntik (Penasun)

7) ODHA yang pasangan tetapnya memiliki status HIV (-) (pasangan

serodiskordan).

12. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang

belum pernah mendapat terapi ARV (Indonesia AIDS Coalition, 2015).

Tabel 2. Paduan ART Lini Pertama

Populasi

ODHA dewasa yang belum pernah menggunakan ART sebelumnya

ODHA hamil

ODHA dengan koinfeksi HIV-TB

ODHA dengan koinfeksi HIV-HBV ODHA dengan pasangan HIV (-) WPS, Penasun, LSL

Paduan ART

TDF atau AZT + 3TC atau FTC +EFV atau NVP

TDF atau AZT + 3TC atau FTC +EFV atau NVP

TDF atau AZT + 3TC atau FTC +EFV

TDF + 3TC atau FTC +EFV TDF + 3TC atau FTC +EFV TDF + 3TC atau FTC +EFV
13. Mengetahui bila ART tidak bermanfaat lagi

Viral load yang menjadi terdeteksi kembali atau jumlah CD4 yang turun

merupakan tanda bahwa terapi tidak bekerja seperti yang diharapkan. Bila alasannya cenderung

lupa minum obat, maka dokter harus mencari cara untuk meningkatkan kepatuhan kita. Jika tidak

ada perbaikan, maka kita mungkin harus mengganti kombinasi obat, karena virus dalam tubuh

telah resistan terhadap kombinasi yang kita pakai. Jika tidak mungkin mengukur viral load, maka

jumlah CD4 dapat menjadi petunjuk keberhasilan terapi. Jika ada kecenderungan jumlah CD4

mulai menurun, ini merupakan petunjuk kegagalan terapi. Biasanya viral load lebih cepat

menunjukkan kegagalan terapi, tetapi jumlah CD4 masih dapat dipakai untuk pemantauan

(Indonesia AIDS Coalition, 2015).

Bila tes CD4 tidak dapat dilakukan, maka pemantauan ART tergantung pada gejala klinis dan

pemantauan berat badan. Jika berat badan menurun tanpa alasan yang jelas, ini mungkin

menunjukkan kegagalan terapi. Kambuhnya gejala klinis tertentu seperti kandidiasis

menunjukkan bahwa

terapi tidak bekerja dengan baik. Namun jika ini terjadi dalam beberapa minggu setelah kita

mulai ART, apalagi bila jumlah CD4 kita sangat rendah waktu kita mulai terapi, hal ini

kemungkinan disebabkan pulihnya kembali sistem kekebalan kita (Indonesia AIDS Coalition,

2015).

Tabel 3. Kriteria Gagal Pengobatan ARV

Gagal Pengobatan

Gagal Klinis

Gagal Imunologis

Gagal Virologis

Indikator
Timbulnya keadaan stadium 4 yang baru atau kambuh

Jumlah CD4 menurun ke jumlah sebelum terapi atau

Penurunan jumlah CD4 50% dari nilai puncak dgn terapi (jika tahu) atau Jumlah CD4 terus

menerus kurang dari 100 sel/mm3

Viral load >1.000 copies/ml

Gagal Pengobatan

Gagal Klinis Gagal Imunologis

Gagal Virologis

Gambar 3. Bagan Alur Tatalaksana bila Ada Kecurigaan Gagal Terapi

14. Paduan ART Lini Kedua (Indonesia AIDS Coalition, 2015). Tabel 4. Paduan ART Lini Kedua

Populasi

ODHA dewasa dan remaja (termasuk perempuan hamil)

ODHA dengan koinfeksi HIV-TB

ODHA dengan koinfeksi HIV-HBV

Paduan ART

Jika menggunakan d4T atau AZT pada paduan lini pertama

Jika menggunakan TDF pada paduan lini pertama

TDF + 3TC atau FTC +LPV/r

AZT + 3TC + LPV/r

Dianjurkan menggunakan paduan OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu diberikan maka

pilihan lain adalah menggunakan LPV/r dengan dosis 800mg/200mg dua kali sehari)
AZT +TDF + 3TC atau FTC +LPV/r

15. Beberapa reaksi dari obat ARV: (Indonesia AIDS Coalition, 2015). Tabel 5. Derajat Toksisitas

Obat ARV

Derajat Keadaan

1 Reaksi Ringan

2 Reaksi Sedang

3 Reaksi Berat

Tanda dan Gejala Suatu perasaan tidak enak yang tidak menetap; tidak ada keterbatasan gerak

Sedikit ada keterbatasan bergerak kadang- kadang memerlukan sedikit bantuan dan perawatan

Pasien tidak lagi bebas bergerak; biasanya perlu bantuan dan perawatan

Pasien terbaring tidak dapat bergerak; jelas memerlukan intervensi medis dan perawatan di

rumah sakit

Tatalaksana

Tidak perlu perubahan terapi

Tidak perlu intervensi medis, kalau perlu sangat minimal

Perlu intervensi medis atau perawatan di rumah sakit Substitusi obat penyebabnya tanpa

menghentikan terapi ARV

Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana kelainan yang ada dan terapi ARV kembali diberikan

dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang menjadi penyebabnya pada saat pasien

sudah mulai tenang kembali

4 Reaksi yang

berat mengancam jiwa


16. Kepatuhan Pengobatan a. Definisi

Kepatuhan adalah keadaan seseorang ketika menjalankan suatu perintah atau anjuran yang

diberikan oleh petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Kepatuhan pada jadwal pengobatan adalah sangat penting. Jika tingkat obat dalam darah kita

menjadi terlalu rendah, maka virus di tubuh kita dapat menjadi kebal (resistan) terhadap obat

ARV yang kita pakai. Bila hal ini terjadi, maka obat yang kita pakai menjadi tidak efektif terhadap

jenis virus baru ini. Beberapa ahli menganggap bahwa bila kita lebih dari dua kali sebulan lupa

minum obat, maka jenis virus yang resistan dapat muncul. Bila ini terjadi, terapi akan mulai gagal

sehingga kita mungkin harus mengganti semua obat yang kita pakai. Obat baru ini kemungkinan

lebih mahal atau lebih sulit diperoleh (Indonesia AIDS Coalition, 2015).

Menurut teori Lawrence Green yang dikutip dalam Notoatmodjo, (2012), yang mendasari

timbulnya perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor, yakni:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan

sebagainya.

b. Faktor- faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan.

c. Faktor- faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

masyarakat.

b. Manfaat

Kepatuhan pengobatan ARV pada ODHA merupakan hal yang sangat penting, apabila ODHA

patuh terhadap regimen pengobatannya maka supresi virus HIV dapat tercapai. Tercapainya

supresi virologis maka kualitas hidup ODHA dapat mengalami peningkatan. Manfaat kepatuhan
terhadap regimen pengobatan juga dapat mencegah terjadinya resistensi obat serta infeksi

oportunistik yang dapat mengancam jiwa (Suryaningdiah, 2016).

c. Upaya peningkatan kepatuhan pengobatan

Upaya peningkatan kepatuhan ODHA dalam regimen pengobatan ARV salah satunya adalah

dengan konseling kepatuhan atau adherence. Konseling ini dilakukan dengan memberikan

dukungan psikologis, emosional, serta penjelasan mengenai langkah tepat konsumsi obat. Tujuan

dilakukannya konseling kepatuhan, agar ODHA menjadi lebih rajin dan patuh untuk minum obat,

konseling ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dibantu oleh kelompok dukungan sebaya atau

bahkan keluarga (Kesuma, 2013).

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:

1) Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem pembiayaan kesehatan yang

mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap

kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses

layanan kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman, jaminan

kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan membantu pasien (Kemenkes

RI, 2011).

2) Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras / etnis,

penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal kelompok dalam

masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial(kesehatan jiwa,

penggunaan napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan

terapinya) (Kemenkes RI, 2011).

3) Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan (FDC

atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan (frekuensi minum dan

pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses

untuk mendapatkan ARV (Kemenkes RI, 2011).


4) Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak terdiagnosis HIV,

jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi

oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum

(Kemenkes RI, 2011).

5) Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien- tenaga kesehatan yang

dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga

kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga

kesehatan, komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi

dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian kemampuan dan

kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien (Kemenkes RI, 2011).

BAB III

PEMBAHASAN

A. Defenisi HIV/AIDS

 HIV ( Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang dapat menyebabkan
 AIDS 
. HIVtermasuk keluarga virusretro
y a i t u   v i r u s   y a n g   m e m a s u k a n   m a t e r i genetiknnya
ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda
(retro) yaitu dari RNA menjadi DNA,
yang kemudian menyatu dalam DNAsel tuan rumah, membentuk pro
virus dan kemudian melakukan replikasi.

Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah
putih yang bernama sel CD4 ehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia
ya n g   p a d a   a k h i r n y a   t i d a k   d a p a t   b e r t a h a n   d a r i   g a n g g u a n
p e n y a k i t   w a l a u p u n   h a n g sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang 
sel CD4 dan merubahnna menjadi
tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat
digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan
 tubuh.Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak 
memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia akibat terkena fil
ek biasa.

 AIDS 
( Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek dari berkemb
ang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup Virus HIV membutuhkanwaktu u
ntuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya.P
enyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya siste
m   k e k e b a l a n tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang 
banyak dirusak oleh Virus HIV.

Ketika terkena virus kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS
dibutuhkan wakt yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang
mematikan. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan
manuisa dari virus HIV penyebab penyakit AIDS.

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
HIV/AIDS menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan masalah kesehatan atau

persoalan pembangunan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Berdasarkan sifat

dan efeknya, sangatlah unik karena AIDS mematikan kelompok yang paling produktif dan paling

efektif secara reproduksi dalam masyarakat, yang kemudian berdampak pada mengurangi

produktivitas dan kapasitas dari masyarakat. Dampak yang ditimbulkan AIDS terhadap

masyarakat dapat bersifat permanen atau setidaknya berjangka sangat panjang.

AIDS secara sosial tidak terlihat (invisible) meski demikian kerusakan yang ditimbulkannya

sangatlah nyata. HIV/AIDS karena sifatnya yang sangat mematikan sehingga menimbulkan rasa

malu dan pengucilan dari masyarakat yang kemudian akan mengiring pada bentuk-bentuk

pembungkaman, penolakan, stigma, dan diskriminasi pada hampir semua sendi kehidupan.

Hampir semua orang yang diduga terinfeksi AIDS tidak memiliki akses terhadap tes HIV, inilah

yang membuat usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan menjadi sangat rumit. Program

pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus segera dilaksanakan, tak terkecuali area Lembaga

Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan.

B. Saran

Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah dengan mendidik dan

membimbing generasi muda secara intensif agar mereka mampu menjadi motor penggerak

kemajuan dan mendorong perubahan kearah yang lebih dinamis, progesif dan produktif. Dengan

demikian diharapkan kedepannya bangsa ini mampu bersaing dengan negara lainya .

Agar mencapai impian tersebut remaja Indonesia harus tumbuh secara positif dan kontruktif,

serta sebisa mungkin dijauhkan dari telibat kenakalan remaja. Inialah tantangan riil yang kita
hadapi sebagai guru dan orang tua. Sudah sedemikian lama fenomena maraknya kenakalan

remaja ini dibiarkan begitu saja, seolah hanya di tangani dengan asal-asalan.

Pemerintahan sebagai pemengang utama kebijakan juga dapat menjalankan perannya, yaitu

membuat undang undang pendidikan, undang undang teknologi komunikasi (yang mengatur

tayangan yang layak di akses di internet, televisi, dan media massa), serta membangun aparat

kepolisian yang kuat.

Dengan permasalahan remaja yang terkena HIV DAN AIDS dikalangan masyarakat diakibatkan

pergaulan bebas remaja yang tidak terpantau, dengan sebab itupenulis berharap ada

pengawasan dari orang yang bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

1.WHO. HIV /AIDS Fact sheet Updated November 2017.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs360/en/. Published (2017).
2. Kementrerian kesehatan republik Indonesia Direktorat Jendral Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Laporan Perkembangan HIV- AIDS & Infeksi Menular
Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2017. Jakarta (2018)
3. Dinas Kesehatan DIY. Profil Kesehatan DIY tahun 2017. Dinas Kesehatan DIY
(2017).
4. PKBI DIY. Data Kasus HIV dan AIDS D.I Yogyakarta. PKBI DIY. (2015)
https://pkbi-diy.info/data-kasus-hiv-aids-d-i-yogyakarta/
5. WHO. HIV /AIDS Fact sheet Updated November 2017.
https://www.who.int/features/qa/71/en/. Published (2017).
6. Faizah A, Siregar, 2008. AIDS dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia.
Medan: USU Digital Library. Available From : http://repository.usu.ac.id. [Accesed 4
Maret 2010].
7. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI Situasi dan Analisis
HIV/AIDS. Kemenkes RI; 2014.
8. InfoDATIN. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2015.
9. Sudikno, B. S., Siswanto (2010) Pengetahuan HIV Dan AIDS Pada Remaja Di
Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010). jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3,
Agustus 2011 : 145 -154.
10. Yanti, Eka Dwi., Yulia I & Sofiana Nurcahayati. Pengaruh Pendidikan Kesehatan
dengan Menggunakan Media Audiovisual terhadap pengetahuan dan sikap remaja
mengenai upaya pencegahan penyakit menular seksual. ( Universitas Riau, 2015)
11. Anonim. 2014. Hidup dengan HIV/AIDS. Jakarta : Yayasan Spiritia
12. Anonim. 2015. Lembaran Informasi tentang HIV dan AIDS untuk Orang
yang Hidup dengan HIV/AIDS (Odha). Jakarta : Yayasan Spritia.
13. Hasdianah dkk. 2014. Imunologi Diagnosis dan Teknik Biologi Molekuler.
Yogyakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai